DM - ETD UGM

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolik yang
ditandai dengan kondisi hiperglikemia. Secara umum DM terdiri dari empat jenis,
yaitu tipe 1, tipe 2, DM tipe spesifik dan DM tipe gestasional. Diabetes mellitus
tipe-2 adalah penyakit endokrin yang paling sering terjadi, yaitu sekitar 80% dari
seluruh kasus diabetes (Braun et al., 1995; Sherwood, 2011; ADA, 2011).
Diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan global yang diderita
semua usia, baik anak-anak maupun lansia. Menurut WHO, sekitar 180 juta
penduduk di seluruh dunia menderita diabetes tipe-2. Jumlah ini diperkirakan
akan semakin meningkat pada tahun 2030 (Cade, 2008; Samuel, 2011). Wild et al.
(2004) mengemukakan bahwa penderita DM di Indonesia pada tahun 2030 akan
mengalami peningkatan menjadi 21,3 juta. Jumlah tersebut meningkat 2,5 kali
lipat dari jumlah penderita pada tahun 2000.
Diabetes mellitus sangat erat kaitannya dengan komplikasi (UKPDS,
2000). Komplikasi tersebut antara lain berupa mikrovaskuler seperti retinopati,
nefropati dan neuropati maupun makrovaskuler meliputi penyakit jantung iskemik
dan penyakit serebrovaskuler (Hudson et al., 2002; Setiawan & Suhartono, 2005).
Penyebab utama komplikasi pada DM adalah adanya kondisi stres oksidatif
(Droge, 2002; Wiyono, 2003).
Stres oksidatif terbentuk karena ketidakseimbangan antara radikal bebas
dan mekanisme pertahanan tubuh, yang disebabkan karena peningkatan produksi
radikal bebas, penurunan aktivitas antioksidan atau keduanya (Moussa, 2008;
Samuel, 2011; Kumawat et al., 2012). Sumber utama terjadinya stres oksidatif
pada DM adalah auto-oksidasi glukosa, produksi reactive oxygen species (ROS)
yang berlebih di mitokondria, glikasi nonenzimatik, aktivasi jalur poliol sorbitol
(Lemos et al., 2012), pembentukan lipid peroksida serta penurunan enzim-enzim
antioksidan seperti glutathion, superoksid dismutase dan asam askorbat (Moussa,
2008; Samuel, 2011).
Glikasi nonenzimatik antara glukosa dan asam amino akan membentuk
akumulasi advanced glycation endproducts (AGE). Adanya peningkatan 1% AGE
akan memberi peluang terjadinya komplikasi mikrovaskuler sebesar 37% (Hudson
et al., 2002). Advanced glycation end products akan menghasilkan berbagai efek
merugikan melalui berbagai mekanisme. Pertama, pembentukan AGE yang terjadi
pada matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya ekspansi matriks dan
selanjutnya akan menyempitkan lumen pembuluh darah. Kedua, pembentukan
AGE yang terjadi pada intraseluler akan menginduksi stres oksidatif dan
meningkatkan produksi anion superoksida pada mitokondria. Ketiga, AGE yang
berinteraksi
dengan
reseptornya
(RAGE)
akan
mengaktivasi
kaskade
proinflamasi, protrombosis (Hudson et al., 2002) dan profibrosis (Bohlender et
al., 2005).
Ginjal merupakan organ utama pembuangan akhir produk AGE. Jumlah
AGE yang meningkat dalam plasma dapat menginduksi perubahan patologik
glomerolus tikus diabetes, yaitu ekspansi matriks mesangial, fibrosis dan
peradangan (Boor et al., 2009). Ekspansi matriks mesangial menyebabkan
penurunan kapiler glomerolus sehingga mengakibatkan penurunan laju filtrasi
glomerolus (Ghosh et al., 2009). Peningkatan matriks ekstraseluler juga dapat
menyebabkan penebalan dinding pada glomerolus dan selanjutnya akan
menginduksi terjadinya glomerulosklerosis (Wendt et al., 2003). Advanced
glycation end products yang berikatan dengan reseptornya akan menyebabkan
transformasi sel tubular menjadi miofibroblas, sehingga tubulus akan menjadi
hipertrofi (Uribarri & Tuttle, 2006; Yamagishi & Matsui, 2010). Interaksi antara
RAGE dengan glikasi albumin akan mengurangi ekspresi nephrin, sehingga
menurunkan fungsi normal podosit pada daerah glomerolus yang selanjutnya
menyebabkan terjadinya perubahan muatan dan proteinuria (Wendt et al., 2003).
Secara umum, akumulasi AGE akan mempercepat terjadinya nefropati diabetik
(Setiawan & Suhartono, 2005).
Salah satu sumber terjadinya stres oksidatif pada DM adalah pembentukan
lipid peroksida dan akumulasi produk-produknya (Gordon et al., 2008; Moussa,
2008; Samuel, 2011). Mekanisme yang berkontribusi terhadap terbentuknya lipid
peroksida pada DM adalah hiperglikemia yang menyebabkan auto-oksidasi
glukosa, glikasi nonenzimatik antara protein dan lemak, peningkatan aktivitas
jalur poliol sorbitol, oksidasi antara AGE dan cyclooxygenase yang bergantung
pada bentukan prostaglandin H2 (PGH2) (Gordon et al., 2008). Kadar lipid
peroksida dalam tubuh dapat diukur melalui produk akhirnya yang stabil yaitu
malondialdehid (MDA). Peningkatan kadar MDA akan mengganggu membran
dan organel sel serta menginduksi terjadinya atherosklerosis dan komplikasi
mikrovaskuler pada DM (Rio et al., 2005; Salem et al., 2011; Kumawat et al.,
2012).
Penurunan aktivitas antioksidan endogen seperti glutathion (GSH) dan
superoksid dismutase (SOD) juga merupakan penyebab meningkatnya stres
oksidatif pada DM (Moussa, 2008; Samuel, 2011). Produk-produk lipid peroksida
dan oksidan lainnya seperti H2O2 dapat bereaksi dengan SOD menghasilkan
perubahan oksidatif yang menyebabkan hilangnya aktivitas enzim tersebut; selain
itu, glikasi nonenzimatik akan berakibat inaktivasi dan menurunnya jumlah SOD.
Penurunan glutathion pada DM disebabkan penggunaan NADPH oleh enzim
aldose reductase melalui jalur poliol sorbitol (Lemos et al., 2011; Kumawat et al.,
2012; Lemos et al., 2012).
Latihan fisik teratur dan terukur merupakan terapi modalitas bagi
penatalaksanaan DM (Atalay & Lasksonen, 2002; ADA, 2011). Latihan fisik yang
teratur dan terukur dapat meningkatkan homeostasis glukosa, mengurangi rasio
glukosa/insulin, dan meningkatkan sensitivitas insulin (Angelis et al., 2000). Otot
yang aktif bergerak tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa
kedalam sel, selain itu latihan fisik akan menyebabkan ambilan glukosa
meningkat 7-20 kali lipat (Indriyani et al., 2007). Jumlah permintaan energi yang
lebih tinggi tersebut akan mengurangi reaksi glikasi yang terjadi, sehingga dapat
menurunkan jumlah AGE di plasma maupun jaringan (Boor et al., 2009).
Atalay dan Laaksonen (2002) menyebutkan bahwa latihan fisik dapat
menyebabkan kerusakan oksidatif. Latihan fisik akan meningkatkan jumlah
pentana, produk dari lipid peroksida saat ekspirasi (Harjanto, 2006). Kondisi
paradoksal akan terjadi jika latihan fisik tersebut dilakukan secara teratur dan
terukur dengan memperhatikan frekuensi, intensitas, durasi dan tipe latihan fisik
tersebut (Giriwijoyo, 2008). Hal ini dikarenakan adanya peningkatan kapasitas
dan aktivitas antioksidan tubuh seperti SOD dan glutathion peroksidase (GPx),
yang berakibat pada penurunan kadar lipid peroksidase (Harjanto, 2006). Adanya
penurunan jumlah AGE maka suplai radikal bebas pada tubuh akan berkurang
(Atalay & Laaksonen, 2002).
Latihan fisik yang teratur diduga mampu menurunkan kadar AGE di
plasma maupun jaringan, serta menurunkan kadar lipid peroksidase. Penulis telah
meneliti tentang efek latihan fisik teratur dan terukur pada tikus jantan yang
diinduksi streptozotocin (STZ) terhadap kadar glukosa darah, ekspresi reseptor
advanced glycation end-products di glomerolus dan kadar malondialdehid di
ginjal.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
1. Apakah kadar glukosa darah tikus jantan yang diinduksi STZ serta diberi
latihan fisik yang teratur dan terukur lebih rendah daripada glukosa darah
tikus jantan yang diinduksi STZ saja?
2. Apakah ekspresi RAGE di glomerolus tikus jantan yang diinduksi STZ serta
diberi latihan fisik yang teratur dan terukur lebih rendah daripada ekspresi
RAGE di glomerolus tikus jantan yang diinduksi STZ saja?
3. Apakah kadar malondialdehid ginjal tikus jantan yang diinduksi STZ serta
diberi latihan fisik yang teratur dan terukur lebih rendah daripada
malondialdehid ginjal tikus jantan yang diinduksi STZ saja?
I.3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengevaluasi manfaat latihan fisik dalam mencegah komplikasi pada ginjal
akibat hiperglikemia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengevaluasi perbedaan glukosa darah pada tikus jantan yang diinduksi
STZ serta diberikan latihan fisik teratur dan terukur dengan tikus jantan
yang diinduksi STZ saja.
b. Mengevaluasi perbedaan ekspresi RAGE di glomerolus pada tikus jantan
yang diinduksi STZ serta diberikan latihan fisik teratur dan terukur dengan
tikus jantan yang diinduksi STZ saja.
c. Mengevaluasi perbedaan kadar malondialdehid di ginjal pada tikus jantan
yang diinduksi STZ serta diberikan latihan fisik teratur dan terukur dengan
tikus jantan yang diinduksi STZ saja.
I.4. Keaslian Penelitian
1. Kurdak et al. (2010). Penelitian ini menggunakan 4 kelompok tikus, yaitu
kelompok kontrol exercise, kelompok kontrol sedentary, kelompok diabetes
exercise dan kelompok diabetes sedentary. Fokus pada penelitiannya yaitu
pengukuran glukosa plasma, albuminuria, creatinin plasma dan kreatinin
clearance. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun terjadi
penurunan creatinin clearance, namun exercise yang dilakukan secara teratur,
aerobik dengan intensitas sub maksimal (moderat) terbukti mencegah
perkembangan mikroalbuminuria dan nefropati diabetik. Protokol exercise
dilakukan treadmill selama 8 minggu, dengan frekuensi 2x30 menit per hari
selama 5 hari per pekan. Intensitas latihan adalah 75% VO2 max dengan
kemiringan 8º.
2. Boor et al. (2009). Fokus pada penelitiannya adalah pengukuran kadar AGE,
morfologi ginjal, hitung sel glomerolus, RNA extraction dan urinary
metabolit (metabolomic). Protokol exercise dilakukan dengan intensitas
bertahap selama 10 minggu.
3. Ghosh et al. (2009). Penelitiannya berfokus pada evaluasi fungsi dan
morfologi ginjal, sinyal apoptosis dan stress oksidatif. Protokol exercise
dilakukan selama 7 minggu dengan frekuensi 1 jam per hari.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah fokus materi pada ekspresi RAGE
di glomerolus dan kadar MDA di ginjal pada tikus Sprague dawley yang diinduksi
STZ dosis rendah (35mg/kgBB) setelah latihan fisik teratur dan terukur. Adapun
protokol latihan fisik mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Souza et al. (2007).
I.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuktikan secara ilmiah tentang
efek latihan fisik yang teratur dapat mencegah komplikasi akibat hiperglikemia
kronis. Berdasarkan hal tersebut, latihan fisik yang teratur dapat dijadikan
habitual life style untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Download