PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DALAM PENINDAKAN DAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME (Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 BNPT) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Agasti Prior NIM : 1112048000037 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438 H/2016 M PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DALAM PENINDAKAN DAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME (Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 BNPT) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Agasti Prior NIM: 1112048000037 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H/ 2016 M i ABSTRAK AGASTI PRIOR, NIM 1112048000037. PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DALAM PENINDAKAN DAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME (ANALISIS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/ 2016. X halaman + 68 Halaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran BNPT dalam penindakan dan pencegahan terorisme dengan karakteristik seperti kasus meninggalnya terduga teroris Siyono, mengetahui kewenangan yang dimiliki oleh BNPT dan juga dasar hukum dari kewenangan BNPT. Dalam penelitian ini dibahas dan dilatarbelakangi oleh meningkatnya aksi teror dari tahun ke tahun dan buruknya penindakan yang dilakukan penegak hukum yang malah menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat. Metode penelitian yang digunakan penulis yaitu Yuridis Normatif, sedangkan pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan historis (historical approach), pendekatan perundangundangan dalam penelitian ini Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hasil penilitian ini dapat diketahui bahwasanya Peran BNPT dalam penindakan Tindak Pidana Terorisme yaitu menkoordinasi kepada instansiinstansi pemerintah yang berwenang dalam melakukan tindak pidana terorisme, dalam kasus Siyono yaitu densus 88, Peran BNPT dalam pencegahan tindak pidana terorisme yaitu melalui system offline dan online yang ditujukan kepada generasi muda dengan memberi gambaran bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu juga Program deradikalisasi yang bertujuan untuk merubah ideologi kelompok teroris secara drastis, yang semula radikal mejadi tidak lagi radikal. Kata Kunci : BNPT, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kewenangan, penindakan, pencegahan, Terorisme Dosen Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H., M.Hum Fitria, S.H., M.R iv Peran, KATA PENGANTAR Segala puji dan Syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DALAM PENINDAKAN DAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME (Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 BNPT). Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang berilmu pengetahuan ini. Dalam penyelesaian skripsi tak henti-hentinya penulis mengucapkan syukur dan terimakasih atas bantuan, bimbingan, nasehat, doa dan semangatnya kepada yang terhormat: 1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H dan Drs. Abu Thamrin, S.H, M.Hum, Ketua dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang telah memberikan restu, bantuan serta bimbinganya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. 3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum dan Fitria, S.H., M.R Dosen Pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan dan arahanya selama proses penulisan skripsi ini. 4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan v ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahsiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 5. Nur Habibi Ihya M.H. dan Fitria, S.H., M.R, Dosen konsentrasi Kelembagaan Negara yang berkat bimbingan dan arahanya penulis dapat menemukan judul skripsi ini. 6. Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang telah menerima permohonan wawancara penulis. 7. Letnan Kolonel Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan Kontra Propaganda BNPT yang telah menyediakan waktunya untuk wawancara dengan penulis. 8. Trigus, Staff Penindakan BNPT yang telah meluangkan waktunya untuk wawancara dengan penulis. 9. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan yang telah menerima permohonan wawancara penulis. 10. Puri Kencana Putri, Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS yang telah menyediakan waktunya untuk wawancara dengan penulis. 11. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dan memberi data guna menyelesaikan skripsi ini 12. Kedua Orang tua yang penulis sayangi dan saya hormati, Ayahanda Agus Sugiarto dan Ibunda Titik Sri Handayani atas dukungan doa, semangat dan vi finansial sehingga penulis dapat menyelesaikan masa kuliah hingga mencapai gelar Sarjana Hukum. Serta Saudara dan Saudariku, Rival Rivera dan Octavia Nolan yang selalu menciptakan suasana rumah yang nyaman dan bahagia sehingga memberikan energi yang luar biasa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 13. Sahabat hatiku Aprilly Dita Permata Akmanda yang keberadaanya telah memberi semangat, doa dan nasehat, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. 14. Sahabat Prodi Ilmu Hukum angkatan 2012, Ilmu Hukum kelas B dan Kelas Kelembagaan Negara angkatan 2012, yang memberikan kebersamaan di masa kuliah sehingga memberikan motivasi dalam menyelesaikan masa kuliah ini. 15. Teman satu perjuangan dalam menempuh gelar Sarjana: Agie Zaky, Dimas Anggri, Sigit Ganda Prabowo, Renaldi Hendryan, Ade Kurniawan, Said Agung, Muhammad Yusuf, Muhammad Anshori, Denny Fernandes, Farid Muhajir, Bagdady, Ahmad Farhan, Soekarno Putra, Irvan Zidny, Muhammad Raziv, Murtadlo, Lidia T. Handayani, Dilla, Rifqi, Maulana Ishaq, Rama Wijaya, Putri Amalia dan lainya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, yang selalu saling menyemangati selama penulisan ini. 16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian semua. vii Semoga skripsi ini mampu menginspirasi dan memberikan manfaat kepada pembaca sekalian. Jakarta, 7 September 2016 Agasti Prior viii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………....…......i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI…………………………………....…….ii LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………....…..iii ABSTRAK…………………………………………………………………....….iv KATA PENGANTAR……………………………………………………....……v DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ix BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….......1 A. Latar Belakang Masalah………………………………….....….1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah..…………………….....….8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..…..…………………….....…..9 D. Tinjauan Kajian Terdahulu……………………………….......10 E. Kerangka Konseptual…....................……………………........12 F. Metode Penelitian………………………………………….....13 G. Sistematika Penulisan………………………………………...18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME…. ……...………….....20 A. Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme….……..20 B. Dasar Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme….24 C. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…………..24 1. Wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme...24 ix 2. Tugas, Fungsi dan Tujuan………………………….....…..25 3. Visi dan Misi……………………………………….....…..27 4. Kebijakan dan Strategi……………………………............28 D. Sejarah Pembentukan Densus 88……………………….....….32 BAB III BENTUK-BENTUK ANCAMAN TERORISME TERHADAP KEPENTINGAN NEGARA……………………………………35 A. Pengertian Terorisme……………………………………....…35 B. Karakteristik terorisme…………………………………... …..38 C. Bentuk-bentuk Ancaman Terorisme……………………… ....40 D. Dampak Ancaman Terorisme………………… …………..….43 BAB IV PERAN BNPT DALAM PENIDAKAN TINDAK PIDANA TERORISME……………………………………… .. ………....46 A. Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan Siyono Sebagai Terduga Terorisme……...46 B. Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam Pencegahan Ancaman Tindak Pidana Terorisme…………….58 BAB V PENUTUP………………………………………………………..64 A. Kesimpulan…………… ……………………………………..64 B. Saran………………………………………………………….65 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………....…………...66 x LAMPIRAN…......................................................................................................71 1. Lampiran surat permohonan wawancara kepada pihak BNPT……….…..71 2. Lampiran surat persetujuan wawancara BNPT kepada pihak UIN………72 3. Lampiran surat permohonan wawancara kepada pidak Kontras………...73 xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aksi terror yang sering terjadi belakangan ini memberikan rasa cemas, terancam dan ketakutan bagi warga masyarakat. Hal ini memberikan citra yang buruk bagi Indonesia kepada seluruh dunia yang mengetahuinya, selain itu juga Penindakan yang dilakukan Pemerintah kerap menimbulkan Pro dan Kontra di masyarakat yang menyebabkan keraguan akan kepemerintahan Indonesia pada warga negaranya sendiri dalam memberikan perlindungan dan rasa kepada warga negara. Menurut Prof Miriam Budiarjo Negara adalah Suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan menuntut warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah1. Berkenaan dengan hal ini, karena warga negara telah taat pada kewajibannya untuk taat pada peraturan yang negara buat maka warga negara juga berhak atas hak rasa aman yang diberikan oleh negaranya. Setiap negara pasti mempunyai tujuan-tujuan yang sudah dirancang sebelumnya. begitupun juga Indonesia yang mempunyai beberapa tujuan yang 1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan XIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 38 1 2 sudah tercantum dalam UUD 1945. Tujuan Negara Indonesia Terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alenia 4. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, Yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan yang hendak dicapai dengan peran negara dalam rangka perlindungan internal dan ketertiban dunia eksternal, bersifat negatif dalam rangka "nahi al-munkar" terhadap segala bentuk ancaman dan tantangan yang perlu dicegah dan ditanggulangi atau dihadapi dengan sebaik-baiknya berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.2 Demi mewujudkan Pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka perlulah diberlakukan sebuah hukum. Mendefinisikan kata "hukum" sangat sulit. Menurut LJ.van Apeldorn dalam bukunya "inleiding tot de studie van het Nederlance", disebutkan bahwa 2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Diterbitkan kerja sama Mahkamah Konstitusi dengan pusat Studi HTN FH-UI, 2004), h. 52-53 3 tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang dimaksud hukum itu, karena ia beranggapan tidak mungkin mendefinisikan hukum tersebut dirumuskan sesuai dengan kenyataan hidup manusia didalam kemasyarakatan dan kenegaraan.3 Namun demikian tidak berarti hukum tidak dapat didefinisikan oleh para ahli hukum, paling tidak definisi yang diungkapkan oleh para ahli hukum meskipun tidak mencapai pada pengertian hukum yang mencakup keseluruhan aktifitas manusia, akan tetapi dapat memberikan batasan-batasan terhadap pengertian hukum sebagai gambaran tentang definisi hukum. Beragam definisi telah diungkapkan oleh para ahli hukum, dapat ditarik pemahaman bahwa hukum sebagai kerangka yang mengandung pengertian hukum. Pertama, peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat. Kedua, peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib. Ketiga, Peraturan itu bersifat memaksa. Keempat, Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.4 Hukum bersifat mengatur, baik itu berupa aturan-aturan yang sifatnya sederhana, sampai hal sifatnya substansial, semisal kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain bersifat mengatur, hukum juga mempunyai sanksi atau 3 LJ. von Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,1980), h. 3 4 Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985), h. 22 4 hukuman bagi para pelanggarnya. Hukuman ini dikenakan kepada setiap subjek hukum yang melanggar hukum.5 Sejak 2002, Indonesia mengalami lima serangan bom yang signifikan yaitu bom Bali pertama pada 2002, serangan bom di Hotel J.W Marriott pada 2003, Bom Kedutaan Australia pada 2004, bom Bali kedua pada 2005, serta serangan simultan bom di Hotel J.W Marriot serta Ritz-Carlton pada 2009. Akibat serangan keji tersebut ratusan orang tak berdosa tewas serta ratusan lainnya terluka.6 Dari beberapa aksi terorisme tersebut, yang terbesar dari segi jumlah korban dan pemberitaan internasional adalah bom bali I dan II, bom di hotel marriot1, Kedutaan Filipina, Kedutaan Australia, pasar tentena, poso, Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 juli 2009.7 Terorisme adalah paham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-cara keekrasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan.8 Tindakan terorisme dilakukan dengan cara tindakan peledakan bom yang banyak menelan korban dibanding terorisme melalui cara teror psikis, sekalipun kedua tindakan terorisme merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan 5 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 177 6 Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, (Jakarta: AS Production Indonesia, 2013), h. 7 7 Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 1 8 Muchamad Ali Syafa'at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam "terrorism, definisi, aksu dan regulasi", (Jakarta: Imparsial, 2003), h. 59 5 menelan korban. Dalam menghadapi ancaman maupun perang melawan terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mengorganisir seluruh kekuatan untuk lebih efektif dan efisien, dan melakukan peningkatan setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi ancaman terorisme saja pemerintah harus lebih meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan terorisme pemerintah berkewajiban untuk memberikan penanggulangan dan perlindungan terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan Ancaman yang datang tanpa jeda juga memerlukan kecepatan dan keakuratan dalam mendeteksi potensi materaliasisasi ancaman tersebut. Kecepatan (velox) dan keakuratan (exactus)adalah substansi dalam sebuah praktik intelejen. Intelejen harus berlomba dengan materialisasi ancaman yang dapat terjadi kapan saja, dan dimana saja. Artinya, intelejen harus mampu mengumpulkan informasi secara cepat guna mendeteksi dini sebuah ancaman terhadap keamanan nasional.9 Sejalan dengan perubahan, perkembangan situasi, dan kondisi lingkungan strategis, dan demi terwujudnya tujuan nasional negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban 9 A.M. Hendropriyono, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, (Jakarta: 2013), h. xi-xii Kompas, 6 dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945, penting dilakukan deteksi dini dan peringatan dini yang mampu mendukung upaya menangkal segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menghadapi ancaman dari aksi terorisme, negara wajib untuk memberikan perlindungan kepada warga negara. Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme memang sangat penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dalam segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ancaman global yang sewaktu-waktu bisa muncul akan menjadi sangat sulit ditangani dan menjadi sangat mahal dampaknya, maupun upaya-upaya represi yang harus dilakukannya, manakala ancaman itu telah menjamah targetnya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa satu-satunya strategi yang sangat tepat untuk penanganan ancaman global adalah strategi pre-emptive (pencegahan).10 Pencegahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi pendadakan strategis. Dengan tujuan tersebut, teori-teori intelijen secara sistematik terbagi dalam fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Implementasi dari ketiga fungsi tersebut merupakan cara intelijen untuk mengetahui musuh, 10 A.M. Hendropriyono, Dari Terorisme Sampai Konflik TNI-Polri, Renungan dan Refleksi Menjaga Keutuhan NKRI. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013), h. 143 7 kemudian menjadikannya kekuatan yang menguntungkan pihak sendiri demi mencapai tujuan.11 Ancaman yang sudah terjadi juga tentunya butuh penanganan yang berupa penindakan pada pelaku terorisme tersebut sebagai salah satu upaya penanggulangan terorisme. Upaya penindakan ini biasanya menggunakan pendekatan hukum (koersif), teteapi dirasa belum mencegah berulangnya aksi terorisme dan seringkali memicu pertentangan di tengah masyarakat bahkan memunculkan rasa dendam yang tinggi terhadap aparat penegak hukum.12 Aksi teror yang terjadi pada era reformasi sampai pada tahun 2013, dari catatan hasil penelitian tim BNPT13 terjadi kurang lebih 103 aksi teror yang terjadi, 41% di antaranya ditujukan kerumah ibadah, terutama gereja dan institusi kristen, 43% aksi diarahkan ke tempat-tempat umum seperti mall, restoran, kafe, hotel, gedung perkantoran dan pasar, sedangkan sisanya ditujukan kekantorkantor pemerintahan dan kantor asing seperi kantor kedutaan indonesia. Dari hasil penelitian tim BNPT dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun Ancaman terorisme tetap pada ke eksistensian nya dalam melakukan aksinya. Tindakan pencegahan dan penindakan pada terorisme mutlak diperlukan untuk 11 A.M. Hendropriyono, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2013), h. 207 12 Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. (Jakarta: Daulat Press, 2014), hal. xi 13 BNPT, Perkembangan Terorisme di Indonesia, (BNPT: Sentul), 2013 8 mencegah ataupun menanggulangi ancaman terorisme tersebut melewati penindakan yang jelas. Selain itu pengamanan pada tempat-tempat yang dirasa sangat di incar untuk menjadi target aksi terorisme perlu diawasi oleh pihak BNPT sebagai salah satu langkah perlindungan bagi masyarakat yang tidak berdosa. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini sangat menarik bagi penulis mengingat bahwa Badan Nasional Penangulangan Terorisme selama ini kinerjanya tidak pernah diekspos oleh siapapun, dan cara kerjanya yg hampir mirip dengan Badan Intelijen Negara. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi dengan judul Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah. 9 Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam Penindakan dan Pencegahan Ancaman Terorisme. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu: a. Apa kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dalam penidakan ancaman terorisme? b. Apa Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam mencegah ancaman Terorisme? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. 1. Tujuan Penelitian. Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah : a. Untuk Mengetahui Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dalam penidakan ancaman terorisme. b. Untuk mengetahui dan memahami Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam Pencegahan Ancaman Terorisme. 10 2. Kegunaan Penelitian. Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis a. Kegunaan teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi mengenai Eksistensi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. b. Kegunaan Praktis. Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi informasi bagi elemen masyarakat manapun untuk mengetahui Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu. Nama penulis/judul Substansi skripsi, jurnal/ tahun Perbedaan dengan penulis. Fanny Fajriah, Model Skripsi ini membahas Perbedaan dari skripsi ini Penegakan Hukum mengenai Model dengan skripsi penulis Dalam Tindak Pidana Penegakan Hukum adalah penulis dalam Terorisme (Analisis Dalam Tindak Pidana skripsinya 11 Putusan MA No.168 Terorisme PK/PID.SUS/2013) mempertanyakan Peran BNPT Dalam Penindakan dan Penegahan Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan Skripsi Fanny Fajriah ini membahas tentang Model Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Terorisme dengan menganalisis Putusan MA Muhammad Arifin Saleh, Skripsi ini membahas Perbedaan skripsi ini Penanganan Terorisme di mengenai Penanganan yaitu Penulis membahas Indonesia Dalam Fiqh Terorisme di Indonesia tentang Peran BNPT Siyasah dan hak Asasi Dalam Fiqh Siyasah dan Dalam Penindakan dan Manusia hak Asasi Manusia Pencegahan Terorisme, Bukan menurut Fiqh Siyasah dan HAM Agus SB, Terorisme: Pencegahan, Darurat Kebijakan Buku ini secara umum Perbedaan buku ini yaitu membahas perihal buku ini membahas Badan Nasional mengenai segala sesuatu 12 Perlindungan dan Deradikalisasi, 2013 Penanggulangan mengenai BNPT, Terorisme dan segala sedangkan penulis kaitanya dalam membahas mengenai penanganan terorisme. Peran BNPT dalam penindakan dan pencegahan terorisme Jurnal : Prof. Dr. Alvi Jurnal ini membahas Perbedaanya adalah Syahrin, S.h., M.S dkk, Mengenai penyadapan Jurnal ini membahas Tindakan Penyadapan yang dilakukan BIN tindakan Penyadapan Badan Intelijen Negara terhadap Pelaku diduga yang dilakukan BIN Terhadap Orang Yang Terorisme terhadap Pelaku diduga Sebagai Permulaan Terorisme,sedangkan Diduga Melakukan skripsil ini membahas Tindakan Terorisme mengenai BNPT E. Kerangka Teoritis dan Konseptual. Terorisme adalah tindak pidana yang merugikan bagi negara dan warga negara itu sendiri. Perlindungan bagi negara, Perlindungan dari negara untuk warga negara juga sangat dibutuhkan untuk menjamin hak hidup warga negaranya lepas dari rasa takut, rasa mencekam dan mendapatkan rasa aman dalam kehidupan 13 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dibentuk dengan tujuan penanggulangan terorisme. Penanggulangan terorisme disini mencakup dalam hal pencegahan dan juga penindakan. BNPT dituntut untuk melaksanakan tugas negara sebagai perlindungan negara terhadap warga negaranya sesuai dengan amanah Pembukaan UUD 1945 yakni "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". Penidakan disini diperlukan sebagai tindak lanjut penyelesaian dari sebuah terror yang telah terjadi. Sedangkan pencegahan disini yaitu bagaimana BNPT melakukan tindakan pencegahan yang dilakukan BNPT dalam mencegah munculnya tindak pidana terorisme itu terjadi F. Metode Penelitian. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.14 Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian normatif 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta : UI Press, 1986), h. 43 14 empiris untuk mengkaji implementasi ketentuan hukum normatif (undangundang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan melalui tahap demi tahap dan makna disimpulkan selama proses berlansgung dari awal sampai akhir kegiatan, bersifat naratif, dan holistik.15 2. Pendekatan Penelitian. Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tersebut. Pendekatan Perundang-undangan dirasa perlu untuk memastikan bahwa pada dasarnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme merupakan badan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga berguna bagi penulis sebagai sumber informasi tambahan mengenai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu sendiri. 15 A. Muri Yusuf, Metode Penelitan Kuantitatif, Kualitatif, dan Gabungan, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 328 15 Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan mengenai BNPT di Indonesia. 3. Sumber Penelitian. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan rincian sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer. Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat segala keterangan-keterangan yang beerkaitan dengan penelitian ini. Sumbersumber tersebut berupa UUD 1945, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Bahan hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.16 b. Bahan hukum sekunder. Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahanbahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat 16 Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum,( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.), h. 51 16 segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terdiri dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi, penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. c. Bahan Hukum Tersier. Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.17 Selain itu di skripsi, penulis melakukan wawancara pada Kasubdit pencegahan dan Staff penidakan BNPT. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan BNPT, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. 17 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 296 17 Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.18 5. Metode Pengolahan dan Analisis Data. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam Mengenai Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Melakukan Penindakan Tindak Pidana Terorisme. Didalamnya akan membahas mengenai Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dasar hukum, wewenang fungsi, tugas, tujuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88, 18 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif ,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 201 18 Pengertian terorisme, bentuk terorisme, penyebab terorisme, criteria terorisme, dampak terorisme, lalu analisis peran BNPT dalam Penindakan tindak Pidana Terorisme. 6. Metode Penulisan Metode penulisan ini berdasarkan buku pedoman Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015. G. Sistematika Penulisan. Dalam penulisan skripsi ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada skripsi-skripsi lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Dasar Hukum, Profil BNPT (Wewenang, Tugas, Fungsi dan Tujuan), Densus 88. 19 BAB III BENTUK-BENTUK ANCAMAN TERORISME TERHADAP KEPENTINGAN NEGARA. Pengertian Terorisme, Bentuk-bentuk Ancaman terorisme, penyebab timbulnya ancaman terorisme, Dampak dari ancaman terorisme. BAB IV PERAN BNPT DALAM PENINDAKAN ANCAMAN TERORISME Pada bab ini akan membahas mengenai analisis Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam menindak tindak pidana Terorisme. BAB V PENUTUP Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang berkaitan dengan permasalahan tersebut yang penulis dapatkan dari hasil menganalisis Eksistensi Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam menindak tindak pidana Terorisme. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORIS A. Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 inilah yang menjadi awal mula gagasan untuk dibentuknya sebuah badan yang khusus untuk menangani terorisme, pada saat itu pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 dalam rangka menanggulangi kasus terorisme di bali. Instruksi Presiden tersebut yaitu bahwa Presiden memberi mandat kepada Mentri Kordinator Bidang Politik dan Keamanan yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang diberikan tugas untuk merumuskan kebijakan dan strategi nasional pemberantasan terorisme dan mengkoordinasikan semua langkah-langkah operasional pemberantasan terorisme.1 Mandat yang diberikan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan itu ditindak lanjuti dengan dibentuknya Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang berdasarkan keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor: Kep- 26/Menko/Polkam/11/2002. 1 Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2004,), h. 22 20 21 Tujuan dalam dibentuknya DKPT ini adalah untuk membantu Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam merumuskan kebijakan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme yang meliputi aspek pencegahan, penangkalan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segalan tindak hukum yang diperlukan.2 Ketua DKPT yang ditunjuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamaan saat itu adalah Irjen Pol. Drs. Ansyaad Mbai, M.M. Pada tanggal 31 Agustus 2009 diadakan Rapat Kerja antara Komisi I DPR dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan yang membahas mengenai pemberantasan terorisme. Kesimpulan dari rapat tersebut yaitu3: 1. Komisi I DPR RI mendukung upaya Pemerintah dalam menanggulangi dan memberantas terorisme berdasarkan grand desain penanggulangan terorisme, dan Komisi I DPR RI menegaskan bahwa terorisme adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa yang harus dijadikan musuh bersama, oleh karena itu dibutuhkan komitmen seluruh elemen dan potensi bangsa dalam menghadapi dan memberantas terorisme. 2. Dalam upaya meningkatkan kapasitas dan keterpaduan penanggulangan terorisme, Komisi I DPR RI minta Pemerintah agar meningkatkan peran masyarakat secara optimal dalam gerakan pemberantasan terorisme sesuai 2 Kep-26/Menko/Polkam/11/2002, Tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme 3 Kesimpulan Rapat Kerja DPR, Laporan Singkat Rapat Kerja Komisi I DPR RI Dengan Menkopolhukam Mengenai Pemberantasan Terorisme, DPR RI, 2009 22 dengan ketentuan hukum, dan mengajak masyarakat untuk turut mencegah berkembangnya ajaran sesat yang mengembangkan radikalisme dan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuannya, serta agar masyarakat memberikan informasi dini atas gejala terorisme yang terlihat disekitarnya. 3. Untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan terorisme, Komisi I DPR RI memandang perlu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme diperbaiki dengan antara lain meningkatkan aspek Prevention dan kapasitas, termasuk kemungkinan pembentukan suatu badan yang berwenang secara operasional melakukan tugas pemberantasan/penanggulangan terorisme. Dalam hubungan ini, Komisi I DPR RI mendesak Pemerintah untuk menerbitkan regulasi sebagai elaborasi ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk mengatur ketentuan lebih rinci tentang Rule of Engagement (aturan pelibatan) TNI, terkait tugas Operasi Militer Selain Perang TNI, termasuk aturan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI terhadap POLRI. 4. Komisi I DPR RI minta Pemerintah agar dalam upaya pemberantasan terorisme termasuk upaya penggalangan dan deradikalisasi agar fokus 23 diarahkan kepada pengejaran pelaku, aktor intelektual, dan jaringannya, serta mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi dan terjebak dalam pandangan dan stigmasasi bahwa terorisme terkait dengan satu agama yang dapat memperbesar sikap saling mencurigai ditengah masyarakat, dan melemahkan gerakan pemberantasn terorisme. 5. Dengan semakin meningkatnya ancaman terorisme khususnya indikasi perilaku tindakan bom bunuh diri, Komisi I DPR RI minta aparat keamanan untuk melakukan kajian secara lengkap dan menyeluruh mengenai latar belakang dan motivasi tindakan terorisme bunuh diri, serta kajian terhadap berbagai payung hukum yang tersedia untuk meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap potensi ancaman terorisme termasuk tahapan perekrutan, serta pengambilan langkahlangkah kebijakan efektif dalam rangka penanggulangan terorisme. 6. Komisi I DPR RI minta Pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan tindakan hukum terhadap aliran dana dari dalam dan luar negeri yang diduga digunakan untuk tujuan mendukung dan membiayai terorisme. Berdasarkan hasil rapat tersebut rekomendasi Komisi I DPR tersebut dan maraknya aksi atau tindah pidana terorisme, maka dari itu Presiden Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan 24 Nasional Penanggulangan Terorisme4 tepat pada tanggal 16 juli 2010, dan mengangkat Irjen Pol (Purn) Drs. Ansyaad Mbai, M.M. sebagai Kepala BNPT5. B. Dasar Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Pada tahun 2010 akhirnya BNPT berdiri berdasarkan No.46 Tahun 2010 tentang pembentukan BNPT. Perpres No.46 Tahun 2010 ini yang menjadi asal usul BNPT Pada perkembangannya Perpres ini diubah dengan Perpres No.12 tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan Kebijakan Nasional Penanggulangan Terorisme. Badan ini merupakan pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002. Peraturan Presiden No.46 Tahun 2010 tentang pembentukan BNPT ini pada dasarnya adalah dasar hukum terbentuknya BNPT. Pada tahun 2012 Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2012 Tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang BNPT. C. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme a. Wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT dibentuk merupakan sebuah regulasi sebagai elaborasi Ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik 4 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Penanggulangan Terorisme 5 www.bnpt.go.id/profil.php, diakses tanggal 6 juni 2016 25 Indonesia dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, untuk mengatur ketentuang lebih rinci tentang Rule of Engagement (aturan pelibatan) TNI, terkait tugas Operasi Militer Selain Perang TNI, Termasuk TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI terhadap POLRI. Dalam hal ini, BNPT dapat membentuk Satgas-satgas yang terdiri dari unsur-unsur terkait, juga dapat melibatkan masyarakat. Penugasan TNI dan Polri dalam Satgas BNPT bersifat "disiapkan" atau di Bawah Kendali Operasi (BKO)6 BNPT memiliki wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan serta strategi, dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme. BNPT juga telah membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah. Pembentukan FKPT merupakan salah satu upaya BNPT mencegah Terorisme di seluruh wilayah Indonesia. Pembentukan FKPT bertujuan untuk menghimpun dukungan masyarakat dan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan terorisme dengan berbasiskan penerapan nilai kearifan lokal masingmasing daerah.7 b. Tugas, Fungsi dan Tujuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Sebagai sebuah badan, BNPT memiliki tugas pokok yang harus dijalankan dalam melaksanakan tugas negara. Berdasarkan pasal 72 ayat 1 6 http://ramalanintelijen.net/mengenal-badan-nasional-penanggulangan-terorisme-bnpterorisme/. Diakses 8 juni 2016 7 BNPT, Modul Perkembangan Terorisme dan Pencegahan Terorisme di Daerah, (BNPT: Sentul) 2013 26 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang BNPT, BNPT memiliki tugas Pokok sebagai berikut: 1. Menyusun kebijakan, strategi dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. 2. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme 3. Membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masingmasing. Selain tugas pokok yang harus dijalankan dalam melaksanakan tugas negara, BNPT juga memiliki fungsi sebagai berikut:8 1. Penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional bidang penanggulangan terorisme. 2. Monitoring, analisa, dan evaluasi dibidang penanggulangan terorisme. 3. Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal. 4. Pelaksanaan deradikalisasi. 5. Perlindungan terhadap obyek-obyek yang potensial menjadi terget serangan terorisme. 6. Pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapsiagaan nasional. 7. Pelaksanaan kerjasama internasional dibidang penanggulangan terorisme. 8. Perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya serta kerjasama antarinstansi 9. Pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penganggulangan terorisme. Perlindungan dari negara adalah hak warga negara. Negara wajib memberikan hak itu, karena itu Tujuan dibentuknya BNPT adalah pemberantasan tindak pidana terorisme yang meliputi aspek pencegahan, penangkalan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segalan tindak hukum yang diperlukan. 8 Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 27 c. Visi dan Misi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Visi BNPT adalah untuk mewujudkan penanggulangan terorisme dan radikalisme melalui upaya sinergi institusi pemerintah dan masyarakat yang meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi dan penindakan, serta peningkatan kewaspadaan nasional dan kerjasama internasional untuk menjamin terpeliharanya keamanan nasional9 Berdasarkan visi BNPT di atas, dijabarkan juga misi BNPT sebagai langkah-langkah BNPT dalam melakukan program untuk mencapai visi tersebut. Ada 5 poin misi BNPT yaitu: 1. Melakukan pencegahan terjadinya aksi terorisme, meningkatkan kewaspadaan dan memberikan perlindungan terhadap obyek-obyek vital yang potensial menjadi target serangan terorisme. 2. Melakukan deradikalisasi dan melawan propaganda ideologi radikal. 3. Melakukan penindakan aksi terorisme melalui penggalangan intelijen dan surveillance, dan penegakan hukum melalui kordinasi dan kerjasama dengan institusi terkait, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa. 4. Melaksanakan pembinaan kemampuan dan kesiapsiagaan nasional terhadap ancaman aksi terorisme. 5. Melaksanakan kerjasama internasional dalam penanggulangan terorisme. 9 Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 75 28 d. Kebijakan dan Strategi Badan Nasionan Penanggulangan Terorisme Kebijakan BNPT merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan demi kepentingan seluruh masyarakat. Kebijakan meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan pemerintah.10 Dalam kebijakan pencegahan terorisme, ada 6 prinsip-prinsip umum dan kerangka kerja yang harus dikedepankan:11 a. Supremasi hukum, yaitu penggunaan kerangka hukum selalu menjadi basis pedoman dari aksi kontra teror. Independen mengandung pengertian bahwa Indonesia akan selalu berusaha mencapai konkusi dan melakukan aksi didalam negeri tanpa harus bergantung pada pihak manapun. Semua data intelijen, rekomendasi dan pandangan dari pihak luar akan tetap diterima dengan baik sebagai masukan. Pemerintah tidak akan didikte oleh kekuatan asing manapun teteapi tetap mengandalkan kemampuan sendiri dengan kerja yang profesional dan didasari oleh penggunaan data yang akurat. b. Indiskriminasi, berarti dalam upaya kontra teror, pemerintah Indonesia tidak akan menuduh dan hanya memfokuskan pada satu kelompok saja, baik itu kelompok etnis, agama maupun kepentingan. Semua warga negara Indonesia 10 James E. Anderson, Public Policy Making, Holt, (Rinehart and winston: New York cet, 1984), h. 3 11 Kebijakan dan Strategi Pencegahan Terorisme, BNPT, h. 3-4 29 akan diperlakukan sama dibawah UU Anti Terorisme. Jika ada satu organisasi teroris yang menjadi target operasi itu semua didasari oleh tindakan mereka bukan karena identitas religi atau etnis mereka. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia juga memahami jika ada beberapa kelompok di Indonesia yang kerap menggunakan perbedaan suku dan agama sebagai alasan untuk memicu kekerasan. c. Independensi, yaitu sifat bebas dalam membuat kesimpulan dan mengambil tindakan, rekomendasi ataupun harapan masyarakat internasional diposisikan sebagai masukan dan pertimbangan. Artinya, semua tidakan dan keputusan tidak didasarkan pada intervensi dari pihak manapun, tetapi didasarkan pada temuan akurat dan professional melalui proses dan mekanisme yang akuntabel demokrasi. d. Kordinasi, merefleksikan bahwa ancaman teror merupakan ancaman yang melintasi batas yuridiksi satu departemen bahkan negara. Upaya untuk menanggulanginya pun harus melintasi batas yuridiksi yang dimiliki tiap-tiap departemen oleh karena itu koordinasi menjadi sangat penting dalam memerangi terorisme. e. Demokrasi, berarti pemerintah telah memahami bahwa pemberian otoritas yang terlalu besar untuk memerangi terorisme juga membuka potensi lain. Pemerintah Indonesia tidak akan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi hanya demi mengajar otoritas absolut. Pemerintah Indonesia akan berusaha 30 untuk mencari keseimbangan antara otoritas pemerintah dan prinsip-prinsip demokrasi. Kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah dalam memerangi terorisme selalu terbuka melalui mekanisme parlemen (DPR dan MPR), melalui media baik cetak maupun elektronik dan melalui lembaga swadaya masyarakat. f. Partisipasi, yang merefleksikan bahwa perang melawan teror tidak akan berhasil dimenangkan jika menjadi tugas semata perintah. Partisipasi dari masyarakat, kerjasama antar komunitas dan antara masyarakat dengan pemerintah, merupakan hal yang sangat vital dalam perang melawan terorisme. Berbagai upaya kebijakan pencegahan telah dilakukan oleh BNPT diantaranya:12 1. Peran Intelijen Mengaktifkan peran intelijen yang aktif, walaupun upaya ini terkendala oleh masih kuatnya resistensi terhadap peranan intelijen akibat trauma masa lalu oleh kelompok-kelompok tertentu. Sehingga aparat keamanan selalu kecolongan dan menimbulkan kesan hanya bertindak reaktif dan inisiatif lebih banyak ditangan teroris. 12 Rhousdy Soeriatmadna dan Brigjen Pol (purn) Ivan TH Sihombing, Kiprah DKPT Dalam Situasi Kontroversi Dan Keterbatasan,(Jakarta: S.I, 2009), h. 337-338 31 2. Hukum Membuka wacana dalam rangka membangun perangkat hukum yang efektif, karena selama ini kebijakan pemerintah hanya fokus pada upaya penegakan hukum, sementara pasal hukum yang digunakan untuk mengadili sangat lemah dan dasar atau payung hukum yang digunakan sangat lemah. Upaya penegakan hukum selama ini hanya mampu menjerat pada tataran operator atau pelaku di lapangan, sementara master mind, provokator dan spiritual leader beum terjangkau. Selain itu regulasi yang ada belum mampu mempersempit ruang gerak aktivitas terorisme. Untuk mencapai sebuah tujuan negara yang aman dan damai BNPT mempunyai sebuah strategi pencegahan terorisme. Strategi pencegahan terorisme merupakan serangkaian pekerjaan dan cara bertindak dalam melakukan pencegahan terorisme itu sendiri. Kebijakan dan strategi pencegahan terorisme sengaja dirancang untuk mendeteksi dan mencegah berbagai macam aksi terorisme di indonesia. Program Pencegahan yang dilaksanakan oleh BNPT terdiri dari dua strategi. Pertama, strategi deradikalisasi yang ditunjukan terhadap kelompok inti dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan penangkalan, rehabilitasi, reduksi, dan resiosialisasi. Kedua, strategi kontra radikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok pendukung, simpatisan, dan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan 32 pencegahan yang meliputi kegiatan pengawasan terhadap orang, senjata api, dan muhandak, kegiatan kontra propaganda, kegiatan kewaspadaan serta kegiatan perlindungan terhadap objek vital, trasnportasi, VVIP serta lingkungan dan fasilitas publik. D. Sejarah Pembentukan Densus 88 Untuk melaksanakan tugas dan fungsi, di lingkungan BNPT dibentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang selanjutnya disebut Satgas yang terdiri dari unsur-unsur instansi terkait13 yang salah satunya dari Polri. Mabes Polri membentuk Detasemen Khusus 88/Anti Teror yang bertugas menghentikan aksi teror dan mengungkap jaringan teroris melalui upaya penegakan hukum. Dasar hukum pembentukan Densus 88 yaitu SK Kapolri No. 30/VI/2003 Tertanggal 20 Juni 2003, hal ini sekaligus tindak lanjut merealisasikan UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. a) Tugas Pokok Densus 88 Densus 88 bertugas membina dan menyelanggarakan tugas dan fungsi penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana teroris mendalam dalam rangka penegakan hukum dengan sasaran tugas yaitu: 13 Pasal 23, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 33 1) Keberadaan dan aktifitas setiap orang / unsur / kelompok / masyarakat / organisasi yang diduga sebagai jaringan atau berpotensi dijadikan sebagai jaringan terorisme. 2) Kejahatan yang bersifat terror yaitu segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme. 3) Tindak pidana ataupun pelanggaran hukum lainnya yang bermotifkan terorisme terutana terhadap kasus yang bernuansa politik dan lintas Negara. b) Wewenang Densus 88 Densus 88 sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang khusus bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi:14 a. Melakukan pengangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; 14 Lihat Pasal 16 Ayat 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 34 i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidik kepada pegawai negara sipil menerima hasil penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindak lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l diatas adalah tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut15: a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati Hak Asasi Manusia. Dibentuknya Densus 88 dengan cepat menjadi bintang satuan khusus anti –teror polri yang baru. Hal ini disebabkan antara lain, luasnya kewenangan Densus 88 khususnya dalam menangani kejahatan Terorisme. Kewenangan itu meliputi operasi pengintaian (intelijen), Investigasi (penyelidikan), penindakan (pasukan pemukul), sampai penyidikan (penegakan hukum).16 15 Lihat Pasal 16 Ayat 2, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 16 Galih Priatmodjo, Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap Kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror. Narasi, (Jakarta: 2010), h. 47 BAB III ANCAMAN TERORISME A. Pengertian Terorisme Pada prinsipnya, pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. selain itu, perkembangan lingkungan sekitar turut mempengaruhi kompleksitan dari ancaman itu sendiri. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara UU Nomor 3 Tahun 2002, yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan menyebar rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai "teror" atau "terorisme"1. Kata ""teroris" (pelaku) dan Terorisme (aksi) Berasal dari kata latin "terrere" yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian, tentu saja kengerian di hati dan pikiran korbannya. 1 F. Budi Hardiman, et.al., Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2005), h. 3 35 36 Istilah "terorisme" merupakan sebuah konsep yang memeiliki konotasi yang sangat sensitif, karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.2 Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang-orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objekobjek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, ideologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.3 Selain itu, menurut Flemming dan Stohl dalam buku Cyber Terrorism yang ditulis oleh Andrew M. Colaric Menyatakan bahwa teroris adalah tindakan yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan dalam individu, kelompok, atau masyarakat dengan maksud mempengaruhi khalayak yang lebih luas. Ada dua motovasi dasar dalam kehidupan, yaitu mencapai kekuasaan dan menghindari penderitaan. Fokus terorisme adalah untuk menimbulkan teror melalu kekerasan agar orang melakukan sesuatu untuk menghindari kemungkinan penderitaan 2 Abdul Wahid, et.al., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2004), h. 22 3 Abdul Wahid, et.al., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2004), h. 29-30 37 dimasa depan. Dalam hal ini, bentuk kontrol dilakukan dengan paksaan pada para partisipan yang sebenarnya tidak mau melakukannya.4 Sedangkan menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang di organisaso dengan baik (well organized), bersifat trans-nasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskriminatif).5 Dari beberapa definisi yang telah jelaskan dari beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa terorisme adalah tindakan melawan hukum yang diorganisasi dengan baik yang menyebabkan kerusakan umum atau sebuah kehancuran yang besar dengan tujuan menimbulkan rasa takut, resah, teror dan tidak kondusif pada individu, kelompok atau masyarakat secara luas yang dapat mengancam kedaulatan negara. Terorisme tidak hanya dilakukan oleh suatu kelompok ataupun individu, negara juga bisa melakukan tindakan terorisme atau yang dikenal sebagai terorisme negara (state terrorism). Tergantung pada konteksnyasesungguhnya, dapat mencakup tindakan-tindakan kekerasan atau penindasan yang dilakukan 4 Andrew M. Colarik, Cyber Terrorism (United States of America : Idea Group Publishing, 2006), h. 15 5 Ma'ruf Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 3 38 oleh suatu pemerintahan atau negara proksi. Terorisme negara dapat ditujukan kepada penduduk negara yang bersangkutan, atau terhadap penduduk negaranegara lainnya. Terorisme itu dapat dilakukan oleh angkatan bersenjata negara itu sendiri, misalnya angkatan darat, polisi, atau organisasi-organisasi lainnya, dan dalam hal ini biasanya ia disebut sebagai terorisme yang disponsori negara.6 B. Karakteristik Terorisme Untuk mengetahui apa arti terorisme yang sebenernya, penting untuk mengetahui apa yang menjadi karakteristik dari terorisme itu sendiri. Menurut mantan kepala BNPT Saud Usman Nasution ciri-ciri terorisme yaitu: a. Pelaku terorisme memiliki kehidupan cenderung eksklusif. b. Hanya bergaul dengan kalangannya. c. Cenderung mengkafirkan orang lain.7 Menurut Paul Wilkinson, Terorisme politis memilik karakteristik sebagai berikut: a. Merupakan intimidasi yang memaksa b. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu. c. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni "bunuh satu orang menakuti seribu orang". d. Target teror dipilih e. Bekerja secara rahasia 6 https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_negara#cite_ref-1, diakses: tgl 22 juni 2016 7 BNPT, Ciri-ciri Teroris Versi BNPT: Gemar Mengkafirkan orang lain dan Hidupnya Eksklusif, www.tribunnews.com/nasional/2015/12/16/ciri-ciri-teroris-versi-bnpt-gemar-mengkafirkanorang-lain-dan-hidupnya-eksklusif, diakses: tgl 22 juni 2016 39 f. Tujuannya publisitas g. Pesan cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal. h. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya "berjuang demi agama dan kemanusiaan"8 Berdasarkan matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna tindak kekerasan guna mencapai tujuannya, Lodewijk Freidrich Paulus menyimpulkan ciri-ciri terorisme yaitu: a. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan. Organisasinya merupakan kelompok - kelompok kecil, disiplin, dan militansi ditanamkan melalui indoktrinasi dan latihan yang bertahun - tahun. b. Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk mencapai tujuan. c. Tidak mengindahkan norma - norma yang berlaku, seperti agama, hukum, dll. d. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.9 Menurut terrorism Act 200 UK, terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri: a. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik tertentu. b. Penggunaan atau ancaman didesai untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk memnintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik. c. Penggunaan atau ancaman yang dibuat dengan tujuan politik, agama, atau ideologi. d. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam suseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak.10 8 Paul Wilkinson, Terorism an The Liberal State, (London:the Macmillan Press Ltd.,1977), h.49, Dalam Skripsi Dian Anggraeny Utomo, Dampak Penyergapan teroris oleh Densus 88 Bagi Masyarakat Gang H. Hasan Blok Gandaria Sawangan Ciputat, 2014 9 Let. Lodewijk Freidrich Paulus, Terorisme, ditpolkom.bappenas.go.id, 2001 10 Abdul Wahid, et.al,, Kejahatan Terorisme, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h. 34 40 Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulakan bahwa terdapat beberapa kesamaan dalam karakteristik terorisme. Kesamaan karakteristik terorisme tersebut yaitu: a. Memakai kekerasan dalam setiap aksinya, seperti pembunuhan, pengancuran, perampasan hak, dan teror pada masyarakat umum. b. Bertujuan memberikan teror untuk menciptakan suasanya yang menakutkan bagi banyak orang. c. Memakai senjata yang berbahaya (senjata api, peledak, senjata tajam, dan lain-lain) d. Memliki target sasaran tertentu untuk mendapatkan publisitas. C. Bentuk-bentuk Ancaman Terorisme Menurut Letnan Jendral TNI Lodewijk Freidrich Paulus dalam tulisannya mengenai terorisme dijelaskan beberapa bentuk ancaman terorisme, yaitu: a. Bom Taktik yang paling sering digunakan oleh kelompok teroris adalah pengeboman. Dalam dekade terakhir ini tercatat 67% dari aksi teror yang dilaksanakan berhubungan dengan bom. b. Pembajakan Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompk teroris selama periode 1960-1970. Pembajakan terhadap kendaraan yang membawa 41 bahan makanan adalah taktik yang digunakan oleh kelompok tupamaros di Uruguay untuk mendapatkan kesan Robinhood dan menhancurkan propaganda dari pemerintah. Tetapi jenis pembajakan yang lebih populer saat ini adalah pembajakan pesawat terbang komersil. c. Pembunuhan Pembunuhan adalah bentuk aksi terorisme yang tertua dan masih digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini biasanya adalah pejabat pemerintah, pengusaha, politisi dan aparat keamanan. d. Penghadangan Penghadangan yang telah dipersiapkan jarang sekali gagal. Hal ini juga berlaku bagi operasi yang dilaksanakan oleh kelompok teroris. Aksi dan gladi serta dilaksanakan secara tepat. Dalam bentuk operasi ini waktu dan medan berpihak kepada kelompok teroris. e. Penculikan Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih 42 ditujukan untuk mencuri personil. Penculikan biasanya akan diikuti oleh tuntutan tebusan berupa uang, atau tuntutan politik lainnya. f. Penyanderaan Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali memiliki pengertian yang sama. Penculikan biasanya menahan korbannya di tempat yang tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang. Berbeda dengan penculikan, penyanderaan biasanya berhadapan langsung dengan aparat dengan menahan sandera ditempat umum. Tuntutan penyanderaan biasanya lebih dari sekedar materi. Biasanya berupa tuntutan politik lebih sering dilemparkan teroris pada kasus penyanderaan ini. g. Perampokan Operasi yang dilaksanakan oleh kelompok teroris adalah sangat mahal. Untuk mendanai kegiatan mereka teroris merampok bank atau mobil lapis baja yang membawa uang dalam jumlah besar. Perampokan bank juga dapat digunakan sebagai ujian bagi program latihan personil baru. h. Ancaman / Intimidasi Meupakan suatu usaha, pekerjaan, kegiatan dan tindakan untuk menakut-nakuti atau mengancam dengan menggunakan kekerasan terhadap seseorang atau kelompok, didaerah yang dianggap lawan, 43 sehingga sasaran terpaksa menuruti kehendak pengancam untuk tujuan dan maksud tertentu.11 D. Dampak Ancaman Terorisme Pasca tumbangnya otoritariasme 1998 aksi terorisme berupa pengeboman mulai sering terjadi. Serangkaian aksi ini diawali mulai dari kedutaan besar Filipina dan Malaysia (Agustus 2000), Bursa Efek Jakarta/BEJ (september 2000) dan sejumlah gereja persis dimalam natal (Desember 2000) dan serangkaian aksi bom lainnya pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2002 adalah aksi bom yang paling menyita perhatian masyarakat indonesia, disebut juga bom Bali I. Bom Bali I ini adalah rangkaian dari 3 aksi pengeboman yang dilakukan di 3 tempat berbeda oleh para pelaku terorisme. Bom yang meledak di Paddy`s Pub, Sari Club, dan Kantor Konsulat Amerika Serikat ini tercatat memakan 202 korban jiwa dan 2009 orang luka-luka atau cedera. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah indonesia. Pada dasarnya tujuan dari tindakan terorisme yaitu menimbulkan perasaan takut dan cemas terhadap korbannya. Secara umum, Abdullah sumarahadi mengemukakan bahwa terorisme dapat menimbulkan bahaya yang kompleks, antara lain: 1) Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, tidak aman dan selalu dihantui oleh kekhawatiran dalam melakukan aktivitas. Kondisi ini dapat 11 Let. Lodewijk Freidrich Paulus, Terorisme, ditpolkom.bappenas.go.id, 2001 44 mengakibatkan terlanggarnya hak-hak individu maupun kelompok dalam masyarakat. 2) Merusak sendi-sendi politik, karena politik dijadikan sebagai alat atau sarana untuk melakukan kejahatan oleh pihak tertentu serta kesewenangwenangan oleh penguasa. 3) Kehidupan ekonomi menjadi carut-marut karena sentimen pasar cenderung mengikuti perilaku dan kejadian politik nasional maupun internasional. Terjadinya terorisme disuatu wilayah menunjukan bahwa keamanan suatu wilayah tersebut tidak aman sehigga kepercayaan pasar menjadi rendah. 4) Terorisme mengakibatkan pengembangan atau pembumian nilai budaya menjadi menipis karena seolah budaya masyarakat larut dalam suasana anarkis. 5) Kehidupan agama menjadi berada dalam bayang-bayang kekuasaan dan ketertindasan. Agama yang idealnya menjadi jalan pembebasan dari penindasan justru keberadaan terorisme yang bermotif agaman menjadikan sebaliknya12. Selain korban jiwa, pemerintah dan masyarakatpun kadang harus menanggung kerugian dari tindakan terorisme. Bentuk tindakan terorisme seperti pengeboman dan perampokan akan sangat mahal akibatnya yang 12 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 76-77 45 harus ditanggung oleh pemerintah maupun masyarakat yang terkena dampak dari aksi terorisme tersebut karena bentuk-bentuk aksi terorisme tersebut dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar dan luas, selain itu perampokan juga dapat merampas hak-hak individu dalam mempertahankan harta bendanya maupun nyawa mereka sendiri yang mempertahankannya. BAB IV ANALISIS PERAN BNPT DALAM PENINDAKAN ANCAMAN TERORISME A. Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan Siyono Sebagai Terduga Terorisme. Terorisme merupakan ancaman yang menimbulkan kerugian yang besar pada bangsa dan Negara. Untuk menanggulangi semua ancaman terorisme yang sudah atau akan terjadi, pemerintah dirasa perlu untuk membentuk suatu badan yang dapat meenyelesaikan masalah terorisme tersebut. Terorisme yang mewarnai negeri ini adalah buah dari fanatisme. Fanatisme lahir dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segalah hal ihwal yang suci dianggap steril, tak pernah terkontaminasi, murni, bahkan ajeg.1 Maraknya ancaman terorisme juga mencerminkan bahwa nilai-nilai kebhinekaan di negeri ini mulai berkurang. Hal ini memberikan bukti bahwa pancasila telah kehilangan fungsinya. Padahal lahir dari norma-norma kebijakan lokal masyarakat bangsa Indonesia yang menjamin rasa kerukunan beragama dan keguyuban antar suku, ras dan kelompok aliran. 1 Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 67 46 47 Upaya menyelesaikan masalah terorisme ini adalah dengan Pemerintah melalui kewenangannya membentuk suatu badan yang fokus pada penanganan terorisme, yaitu BNPT. Pembentukan BNPT merupakan bagian dari rekomendasi komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rapat kerjanya dengan kementrian coordinator bidang politik , hukum dan keamanan pada 12 juni 2006 dan 31 agustus 2009 kepada pemerintah tentang perlunya membentuk suatu badan yang berwenang melakukan tugas penanggulangan terorisme.2 Kehadiran BNPT merupakan kebutuhan yang mutlak butuhkan pada saat terorisme muncul dan terus menebar kekerasan. Isu terorisme bukan hanya ilusi belaka atau pengalihan isu semata. Terorisme selalu memanfaatkan kelemahan Negara dengan mencari peluang disaat Negara lengah untuk beraksi. Selama sel-sel terorisme masih ada, maka selama itu pula ancaman terhadap kehidupan umat manusia. Pembentukan BNPT merupakan Kebijakan Nasional Penanggulangan Terorisme di Indonesia. Badan ini merupakan Pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 20023. 2 Rapat kerja komisi 1 dpr dgn menkopolkam 12 juni dan 31 agustus 2009 3 DKPT dibentuk Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik 48 BNPT memiliki wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan serta strategi, dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme.4 Dilihat dari sisi bahasa, kata “terorisme” berasal dari kata “to terror” dalam bahas inggris, dalam bahasa latin kata teroria (pelaku) dan terorisme (aksi) ini disebut Terrerre, yang berarti “gemetar” atau “menggetarkan”. Secara sistematik leksikal terror berarti kekacauan, tindak kesewenangwenangan untuk menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, tindak kejam dan mengancam.5 Sehubungan dengan populernya kasus meninggalnya terduga terorisme Siyono yang meninggal dalam proses penangkapan oleh Densus 88 yang terjadi pada 8 Maret 2016 hingga 11 maret 2016, maka Untuk mengetahui apa arti terorisme yang sebenernya, penting untuk mengetahui apa yang menjadi karakteristik dari terorisme itu sendiri. Menurut mantan kepala BNPT Saud Usman Nasution ciri-ciri terorisme yaitu: a. Pelaku terorisme memiliki kehidupan cenderung eksklusif. b. Hanya bergaul dengan kalangannya. b. Cenderung mengkafirkan orang lain.6 Menurut Paul Wilkinson, Terorisme politis memilik karakteristik sebagai berikut: 4 Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 74 5 Abdurrahman Pribadi & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, (Jakarta:Abdika Press. 2009), H. 9 6 www.tribunnews.com/nasional/2015/12/16/ciri-ciri-teroris-versi-bnpt-gemar-mengkafirkanorang-lain-dan-hidupnya-eksklusif, diakses: tgl 22 juni 2016 49 a. Merupakan intimidasi yang memaksa. b. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu. c. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni "bunuh satu orang menakuti seribu orang". c. Target teror dipilih. d. Bekerja secara rahasia. e. Tujuannya publisitas. f. Pesan cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal. g. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya "berjuang demi agama dan kemanusiaan"7. Terduga terorisme Siyono yang ditangkap pada 8 maret 2016 setelah menjadi imam jamaah sholat maghrib di Masjid Muniroh, Desa Brengkungan Pogung, Klaten ini meninggal setelah tiga orang berpakaian sipil tanpa surat penangkapan membawanya pergi menggunakan mobil. Saat itu menurut keluarga, kondisi Siyono dalam keadaan sehat dan segar. Densus 88 dituduh melanggar Hak Asasi Manusia dan menyalahi prosedur penangkapan, sehingga menyebabkan terduga teroris asal klaten itu tewas. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan bahwa Siyono yang memiliki nama samara Afif itu merupakan bagian dari kelompok terror Jamaah Islamiyah (JI). Beliau menuturkan bahwa “…Dia kelompok JI sudah lama. Dia itu simpan senjata api…”8 7 Wilkinson, Paul, Terorism an The Liberal State (London:the Macmillan Press Ltd., London, 1977), h.49 8 Badrodin Haiti, Kepala Polisi RI, Wawancara Kompas.com, Jakarta, 30 Maret 2016, berita diakses pada 20 november 2016 dari http://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/19332751/Ini. Alasan.Densus.88.Tangkap.Siyono 50 Komisioner Komnas HAM Siane Indriyani mengatakan komisinya telah mencatat sejumlah kejanggalan pada kasus kematian Siyono yang ditangkap pada 8 april 2016 lalu. Dia menegaskan bahwa penyebab kematian Siyono adalah pukulan benda tumpul dibagian dada. “Terdapat patah tulang iga sebanyak 5 buah kearah dalam dan patah tulang dada kea rah jantung. Hal inilah yang menyebabkan kematian. Hasil otopsi juga menunjukan tidak adanya bukti-bukti perlawanan oleh almarhum”9 Menurut Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan menjelaskan bahwa Kematian Siyono ini disebabkan oleh Siyono yang melawan ditengan perjalanan kepada dua anggota Densus 88 yang menjemputnya. Kepalanya terbentur yang membuatnya pingsan lalu meninggal di tengah perjalanan. “Saat penangkapan awalnya Siyono cukup kooperatif dan menuruti perintah dari anggota. Dalam keadaan diborgol dan ditutup matanya, Siyono dibawa oleh dua orang anggota Densus 88 untuk mencari lokasi senjata. Namun, ditengah perjalanan Siyono meminta dibuka penutup mata dan borgolnya. Setelah itu terjadi perkelahian di dalam mobil. Kata Anton, untungnya anggota memiliki ilmu bela diri, dan Siyono kepalanya terbentur 9 Siane Indriani, Komisioner Komnas HAM, Wawancara Kabar24.com, Jakarta 14 maret 2016, berita diakses pada 20 november dari http://kabar24.bisnis.com/read/20160414/16/537798/inikronologi-penangkapan-terduga-teroris-siyono-di-klaten 51 lalu pingsan. Siyono yang sempat pingsan sempat dibawa kerumah sakit, namun meninggal dunia di tengah perjalanan.”10 Banyak pihak yang meragukan kronologis tersebut. Densus 88 dituduh melanggar Hak Asasi Manusia dan menyalahi prosedur penangkapan, sehingga menyebabkan terduga teroris asal klaten itu tewas. Karena, selama ini penanganan terorisme selalu dilakukan oleh banyak petugas. Dalam SOP Densus 88, pengawalan dilakukan minimal oleh dua orang. Hak Kewenangan BNPT dalam penindakan Siyono sebagai terduga terorisme bisa kita lihat melalui tugas pokok BNPT. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor 46 tahun 2010 BNPT memiliki tugas Pokok Sebagai berikut:11 1. Menyusun kebijakan, strategi dan program nasional di bidang penanggulangan terorrisme. 2. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme. 3. Membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsurunsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Dari hasil wawancara pribadi penulis dengan Letnan Kolonel Sujatmiko Sebagai Kasubdit Kewaspadaan dan kontrapropaganda dari Bidang Pencegahan, perlindungan dan deradikalisasi. Beliau ingin menjelaskan 10 Anton Charliyan, Kadiv Humas Mabes Polri, Wawancara FaktaPers.com. Klaten, 4 April 2016, berita diakses pada 20 November 2016 dari http://www.faktapers.com/kronologi-kematianterduga-teroris-siyono-yang-masih-menjadi-misteri.html 11 Pasal 2 ayat 1 prepres nomor 46 tahun 2010 52 bahwa telah banyak terdapat kurang paham di masyarakat yang mengira bahwa BNPT itu sama dengan Densus 88. “Dapat saya sampaikan disini bahwa, BNPT itu bukanlah densus. Densus 88 tidak ada kaitannya dengan BNPT. Secara struktur keorganisasian tidak ada hubungannya sama sekali.”12 Letnan Kolonel Sujatmiko juga menegaskan bahwa yang menjadi wewenang BNPT dalam penindakan Terorisme yaitu penindakan yang sifatnya hanya menkoordinasikan kepada instansi terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenanganya masing-masing. “Penindakan yang kita laksanakan disini yaitu penindakan yang sifatnya mengkordinasikan sebetulnya, tidak melatih. Kita bertanggung jawab mengkoordinasikan untuk membentuk suatu kondisi kesiapsiagaan yang tinggi. Mengkondisikan, (contoh hei polri, sudah siap belum nih? Untuk pasukannya bagaimana?) begitu juga pada TNI. Dan kemudian ada hal-hal yang khusus kita juga menyiapkan sarana latihan. Pada saat latihan juga mereka tetap menggunakan Standar Opreasional Prosedur masing-masing satuan. Karena satuan itu yang melaksanakan fungsi pembinaan. Contoh SOP menembak atau SOP pertempuran jarak dekat, setiap satuan mempunyai SOP yang mungkin antara TNI dan Polri berbeda. Melaksanakan latihan disini (BNPT) membawa SOP nya masing2. Artinya BNPT tidak melatih tetapi 12 Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016 Pencegahan, 53 hanya mengkordinasikan (Contoh : ayo siap, ayolatihan, ini ada perkembangan seperti ini ayo kita selesaikan, perintah presiden ini selesaikan.).”13 Selain itu adapun permasalahan tentang penetapan Siyono sebagai Terduga Terorisme. Letnan Kolonel Sujatmiko menegaskan bahwa untuk penetapan status Siyono sebagai terduga terorisme, itu bukanlah wewenang dari BNPT. Menurutnya, penetapan sebagai terduga terduga terorisme ini sudah melalui proses hukum. “Penetapan terduga terorisme ini kan sudah proses hukum, proses hukum kan sudah ada lembaga hukumnya dalam hal ini kepolisian.”14 Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan salah satu staff bidang penindakan, Bapak Trigus. Ketika penulis bertanya kepada beliau dengan menanyakan proses penetapan Siyono sebagai terduga terorisme itu seperti apa, beliau membantah bahwa wewenang BNPT. Dia menyatakan dengan tegas bahwa BNPT dalam hal ini hanya sebagai badan kordinasi. “Itu bukan BNPT, disini hanya badan kordinasi. Yang menetapkan sebagai terduga yaitu Densus 88, kan mereka yang tau dilapangan seperti apa. Jadi sebelum ditangkap dilakukan pengintaian terhadap terduga teroris tersebut oleh Densus 88. Jadi yang member tugas penangkapan itu dari 13 Pencegahan, 14 Pencegahan, Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016 Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016 54 Densus 88 sendiri. Mereka sendiri yang menentukan ini layak atau tidak untuk ditangkap, lalu setiap perkembangannya diberitahu ke BNPT.”15 Begitu juga masalah penangkapan Siyono. BNPT melalui Letnan Kolonel Sujatmiko membantah bahwa yang mempunyai keputusan ataupun yang mempunyai Standar Operasional Prosedur tersebut bukanlah BNPT, melainkan pihak Densus 88 sendiri. “Jadi yang memiliki Standar Operasional Prosedur penangkapan tersebut adalah Densus 88. Penidakan secara real di lapangan, menangkap teroris a, b ataupun c itu ya sesuai tugasnya masing-masing. Tapi tetap, BNPT yang melaksanakan koordinasi.” Sebagai staff penindakan BNPT Bapak Trigus juga menjelaskan bahwa yang mempunya SOP penangkapan tersebut ialah pihak Densus 88 karena pihak densuslah yang menangkap mereka. Pihak BNPT hanya menerima laporan selama pengintaian, penangkapan dan segala tindakan hukum yang dilakukan pihak Densus sebagai bentuk koordinasi. “Yang punya SOP penangkapan, penindakan terorisme ini adalah Densus 88 karna BNPT hanya badan koordinasi, jadi Densus yang menindak mereka. Setelah penindakan Densus harus melaporkan ke BNPT bahwa telah 15 Trigus, Staff Bidang Penindakan, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016 55 melakukan penangkapan teroris atas nama siapa, lokasi dimana, waktu dan jam, Seperti itu.”16 Setiap tindakan hukum Densus 88 terhadap penindakan terorisme haruslah berkordinasi dengan pihak BNPT. Mulai dari sebelum ingin melakukan pengintaian, setelah melakukan pengintaian, ingin melakukan penangkapan, ataupun setelah terjadi penangkapan sesuai dengan wewenang BNPT yaitu koordinator dalam bidang pencegahan terorisme. Berdasarkan pemantauan dan investigasi yang dilakukan KontraS, ternyata bukan hanya kasus siyono saja yang telah terjadi pelanggaran HAM. Alih-alih tindak pidana terorisme menurun, pelanggaran ham justru menjadijadi, misalkan pada kurun 2011 hingga 2013, KontraS mencatat :17 Kasus 1 Densus menembak seorang warga sipil yang bernama Nur Iman di Sukoharjo Jawa Tengah, dimana pada saat itu Densus 88 hendak ,mengejar tersangka teroris yang bernama Sigit Qordhowi dan Hendro Yunianto. 2 Dugaan Pelanggaran Ham Menembak seorang warga sipil yang tidak bersalah sehingga hilangnya hak untuk hidup seseorang. Densus salah menangkap sasaran, Salah menangkap sasaran yang seorang warga sipil bernama Wahono menyebabkan hilang nya hak menjadi korban salah tangkap, hingga kebebasan pribadi seseorang. mengakibatkan batal perkawinanya di Lampung. 16 Trigus, Staff Bidang Penindakan, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016 17 Artikel Data Investigasi KontraS: Potret Buram Densus 88 Anti-Teror Dalam Bingkai Hak Asasi Manusia. Jakarta, 2016 56 3 Densus menembak dua orang yang Menghilangkan nyawa dua identitasnya tidak diketahui hingga orang tanpa tahu identitas yang tewas, di Cawang Jakarta Timur. bersangkutan 4 Densus menangkap dua orang masyarakat sipil yang tidak bersalah di Tulung Agung, Jawa Timur, masingmasing adalah Mugi Hartanto, seorang guru sekolah dasar, dan Sapari, seorang karyawan swasta, keduanya sempat ditahan selama tujuh hari berturut-turut, sebelum akhirnya dibebaskan karena tidak cukup bukti. Menangkap dua orang masyarakat sipil tanpa cukup bukti yang mengakibatkan hilangnya hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama. 5 Densus melakukan penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi terhadap orang yang dianggap teroris, di Poso Sulawesi Tengah. Aksi ini kemudia ramai di perbincangkan, setelah muncul dalam video youtube yang berdurasi sekitar 13 menit. Penyiksaan terhadap orang yang di anggap teroris yang menghilangkan hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak. Dalam kasus meninggalnya terduga terorisme Siyono ini, Densus 88 sudah melanggar Hak Asasi Manusia sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan menyalahi prosedur penangkapan. Sebagai contoh Hak Asasi Manusia yang dilanggar oleh Densus 88 dalam meninggalnya Siyono yaitu pada pasal 4 UU Hak asasi Manusia menjelaskan bahwa Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. 57 Menurut penulis ini disebabkan antara lain karena luasnya kewenangan Densus 88 khususnya dalam menanggulangi kejahatan terorisme. Kewenangan itu meliputi operasi pengintaian (intelijen), investigasi (penyelidikan), penindakan (pasukan pemukul), sampai penyidikan (penegakan hukum).18 Menurut KontraS, masalah dari penegakan hukum untuk sektor anti terorisme biasanya adalah aparat yang sudah dibekali kemampuan untuk melumpuhkan kelompok-kelompok teroris itu langsung menggunakan tindakan melumpuhkan dan tidak ada semacam evaluasi sejauh mana kemudian tindakan-tindakan yang melumpuhkan itu tidak berimplikasi pada tercabutnya hak-hak dari orang yg baru diduga bersalah atau diduga terlibat pada kejahatan terorisme19. Seharusnya bnpt bisa melakukan fungsinya secara lebih baik bahwa sebenarnya bnpt memiliki fungsi koordinasi terhadap penindakan terorisme dengan memastikan bahwa setiap penindakan yang dilakukan Densus 88 sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang lain, termasuk Hak Asasi Manusia. 18 Galih Priatmodjo, Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap Kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror. Narasi, (Jakarta: 2010), h. 47 19 Puri Kencana Putri, Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Wawancara Pribadi, Jakarta, 28 September 2016 58 B. Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Pencegahan Ancaman Tindak Terorisme Dinamika terorisme di Indonesia selalu mengalami perubahan pola yang dinamis baik dalam bentuk modus, pola propaganda, rekruitmen maupun jaringannya. Terorisme seakan tidak pernah mati, dan apa yang paling berbahaya dari terorisme bukan sekedar panggung aksi kekerasan yang diperagakan, tetapi paham dan ideologi yang mampu merubah pandangan dan pola piker masyarakat. Salah satu kelompok paling rentan dari infiltrasi paham dan ideologi radikal terorisme adalah kalangan generasi muda. Hal ini disebabkan di berbagai ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, generasi muda makin memikat, lantaran tuntutan perannya bagi bangsa dan Negara. Tidak berlebihan bila mengingat bahwa anak muda sebagai harapan bagi generasi mendatang yang akan memainkan peran bagi bangsa dan Negara.20 Menurut Letnan Kolonel Sujatmiko Sebagai Kasubdit Kewaspadaan dan kontrapropaganda dari Bidang Pencegahan, perlindungan dan deradikalisasi, upaya pencegahan yang BNPT lakukan yaitu dengan system online dan offline. Pencegahan yang sifatnya offline oleh BNPT ini seperti seminar, workshop, ataupun dialog langsung bersama BNPT yang khusus ditujukan kepada generasi muda seperti mahasiswa. 20 BNPT. Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, & deradikalisasi,(Sentul:2015), h. 1 59 Selain itu yang dimaksud pencegahan system online yaitu seperti workshop yang dilakukan pihak BNPT dimedia sosial dengan menggaet para penggiat dunia maya dengan cara memeberi mereka gambaran bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar. Kemudian, mereka diarahkan secara lugas dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami bagi generasi muda untuk melawan paham kekerasan didunia maya.21 Pada awalnya pemikiran hanya terfokuskan pada pemberantasan terorisme melalui pendekatan militer, tetapi pada kenyataanya hal itu malah memberikan hasil yang tidak maksimal. Karna pada kenyataanya apabila menggunakan pendekatan militer makin membuat kelompok terorisme ini semakin militan. Maka dari itu dipilihlah pendekatan yang disebut deradikalisasi. Munculnya istilah deradikalisasi disebabkan pertama, karena tumbuh suburnya paham radikal yang mengatasnamakan agama yang kemudia naik kelas menjadi teroris serta memnghancurkan hidup dan kehidupan, memporakporandakan tatanan dan tuntunan beragama, serta masyarakat dan bernegara. Kedua, Upaya mengajak masyarakat yang radikal terutama terpidana teroris, mantan napi teroris, keluarga dan jaringannya agar kembali kejalan yang benar berdasarkan aturan agama, moral, dan etika yang senapas dengan 21 Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016 Pencegahan, 60 esensi ajaran semua agama yang sangat menghargai keragaman dan perbedaan. Deradikalisasi, merupakan segala upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menajadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainya) bagi orang yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih pada upaya melakukan perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau keyakinan seseorang22. Deradikalisasi adalah bagian dari strategi kontra terorisme. Deradikalisasi dipahami sebagai sebuah cara merubah ideologi kelompok teroris secara drastis. Perubahan drastis ini berwujud bukan hanya individu diharapkan terbebas dari tindakan kekerasan, namun juga melepaskan diri dari kelompok radikal yang menaunginya selama ini. Menurut Irjen. Pol. Dr. Drs. Petrus Reinhard Golose, M.M. yang menjabat sebagai Deputi Bidang Kerja Sama Internasional BNPT, Deradikalisasi adalah segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdispliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial 22 BNPT. Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, & deradikalisasi, (Sentul : 2016), h. 23 61 budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal atau prokekerasan.23 Deradikalisasi yang digunakan BNPT sebagai salah program pencegahan terorisme ini ditujukan terhadap kelompok inti dan militant terorisme dengan melaksanakan kegiatann, penangkalan, rehabilitasi, deidelogisasi merupakan reedukasi, dan resosialisasi. Prorgram penangkalan ideologi atau pendekatan kognitif program deradikalisasi dilakukan dengan menghentikan proses pemahaman dan penyebaran ideologi islam radikal yang dimiliki oleh kelompok teroris. Program ini sering disebut sebagai deideologisasi. Program ini menjadi kunci utama dalam penyadaran atau proses reorientasi pemikiran teroris agar dapat kembali kepada pemahaman islam yang hakiki.24 Pada dasarnya, program rehabilitasi merupakan upaya sistematis melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran serta melakukan pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada napi teroris dan keluarganya. Program rehabilitasi ini dilakukan kepada pelaku terorisme yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh pengadilan dan telah 23 Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 174 24 Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. (Jakarta: Daulat Press, 2014), hal.114. 62 ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) sebagai narapidana tindak pidana terorisme. Reedukasi merupakan kelanjutan dari program rehabilitasi. Reedukasi dimaksudkan sebagai upaya memberikan pemahaman ulang terhadap napi teroris, mantan napi teroris, dan keluarganya tentang ajaran agama yang damai. Dalam reedukasi dilakukan transformasi pemikiran, pemahaman, dan sikap, yaitu memberikan pencerahan tentang ajaran agama dan kebangsaan yang mengusung nilai-nilai kedamaian, toleransi, dan sikap terbuka terhadap sejumlah perbedaan yang ada dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa. Program resosialisasi dimaksudkan sebagai keseluruhan upaya mengembalikan napi teroris atau mantan napi teroris dan keluarganya agar dapat hidup dan berinteraksi dengan masyarakat secara baik. Resosialisasi ini ditujukan untuk merubah pemahaman dan sikap radikal teroris, agar dapat kembali menjadi warga yang baik. Sederhananya, deradikalisasi ditujukan untuk mengubah seseorang yang semula radikal menjadi tidak lagi radikal, termasuk diantaranya adalah menjauhkan mereka dari kelompok radikal tempar mereka bernaung. Program deradikalisasi ini menjadi lebih banyak berbentuk "Soft approach", baik 63 kepada masyarakat secara luas, kelompok tertentu maupun kepada individuindividu tertentu yang masuk dalam jejaring kelompok radikal. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan a. Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dalam penindakan tindak pidana terorisme adalah wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan serta strategi, dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme. Selain itu, Wewenang Tersebut juga tertuang dalam tugas pokok BNPT yang harus dilaksanakan dalam menjalankan tugas Negara Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor 46 Tahun 2010 di mana tugas pokok BNPT di sini menyusun kebijakan, strategi di bidang terorisme, mengkoordinasi instansi-intansi dalam melaksanakan kebijakan di bidang terorisme. Penindakan yang dilaksanakan BNPT sifatnya hanya mengkoordinasikan dengan instansi-instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenanganya. Selain itu juga dalam kenyataanya BNPT belum melaksanakan kewenanganya secara optimal dengan dibuktikan adanya pelanggaran ham dalam kasus Siyono tersebut. b. Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam pencegahan ancaman terorisme adalah BNPT telah melakukan pencegahan melalui system offline dan online yang ditujukan kepada generasi 64 65 muda dengan memberi gambaran bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu juga Program deradikalisasi yang mana ini juga bagian dari program pencegahan. Deradikalisasi ini bertujuan untuk merubah ideologi kelompok teroris secara drastic, yang semula radikal mejadi tidak lagi radikal. B. Saran 1. Presiden dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan terorisme dirasa masih kurang dalam menjelaskan sejauh apa kewenangan BNPT dalam penindakan terorisme itu sendiri. 2. BNPT seharusnya bisa melakukan fungsinya secara lebih baik bahwa sebenarnya bnpt memiliki fungsi koordinasi terhadap penindakan terorisme dengan memastikan bahwa setiap penindakan yang dilakukan Densus 88 sudah sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang lain, termasuk Hak Asasi Manusia. 3. Presiden dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan terorisme seharusnya juga menjelaskan tentang apa saja kewenangan BNPT dalam melakukan Pencegahan tindak pidana terorisme yang sampai sekarang belum tertuang di Perpres Nomor 46 Tahun 2010 sebagai dasar hukum BNPT itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Abu Hayyan, dan Abdurrahman Pribadi. Membongkar Jaringan Teroris, Jakarta:Abdika Press. 2009 Amin, Ma'ruf. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2011 Apeldorn, LJ. Von. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980 Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Diterbitkan kerja sama Mahkamah Konstitusi dengan pusat Studi HTN FH-UI, 2004 Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1991 Bungin, M. Burhan. Penelitian Kualitatfi ,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007 Colarik, Andrew M. Cyber Terrorism United States of America, Idea Group Publishing, 2006 Djelantik, Sukawarsini. Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Nasional, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010 E. Anderson, James. Public Policy Making, Holt, Rinehart and winston, New York, 1984 Gary J Schmith, dan Abram N Shulsky. Silent Warfare; Understanding the World of Intelligence. Virginia: Brasseys’sInc, 2002 Hardiman, F. Budi dkk. Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi, Jakarta: Imparsial, 2005 66 67 Hendropriyono, A.M. Dari Terorisme Sampai Konflik TNI-Polri, Renungan dan Refleksi Menjaga Keutuhan NKRI. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013 Hendropriyono, A.M. Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, Jakarta: Kompas, 2013 Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2008 Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986 Mbai, Ansyaad. Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, Jakarta: AS Production Indonesia, 2013 Priatmodjo, Galih. Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap Kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror. Narasi, Jakarta: 2010 Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: Armico, 1985 SB, Agus. Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. Jakarta: Daulat Press, 2014 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986 Suseno, Franz Magnis. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama , 1990 Syafa'at, Muchamad Ali. Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam "terrorism, definisi, aksu dan regulasi", Jakarta: Imparsial, 2003 Wahid, Abdul. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum, Bandung : PT. Refika Aditama, 2004, Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012 68 Wilkinson, Paul, Terorism an The Libreal State, Macmillan Press Ltd., London, 1977 London: the Yusuf, A. Muri. Metode Penelitan Kuantitatif, Kualitatif, dan Gabungan, Jakarta: Kencana, 2014 Perundang-undangan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, Tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia Karya Ilmiah BNPT. Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, & deradikalisasi, Sentul: 2015 BNPT. Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, & deradikalisasi, Sentul : 2016 BNPT. Kebijakan dan Strategi Pencegahan Terorisme, Sentul: BNPT 2013. BNPT. Modul Perkembangan Terorisme dan Pencegahan Terorisme di Daerah. Sentul: BNPT 2013. BNPT. Perkembangan Terorisme di Indonesia. Sentul: BNPT, 2013 Brigjen Pol (purn) Ivan TH Sihombing, dan Rhousdy Soeriatmadna. Kiprah DKPT Dalam Situasi Kontroversi Dan Keterbatasan, 2009 Let. Lodewijk Freidrich Paulus, “Terorisme” Jurnal ditpolkom.bappenas. 2001. Politik 69 Media Internet https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_negara#cite_ref-1, diakses: tgl 22 juni 2016 http://kabar24.bisnis.com/read/20160414/16/537798/ini-kronologipenangkapan-terduga-teroris-siyono-di-klaten. diakses pada 20 november 2016 http://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/19332751/Ini.Alasan.De nsus.88.Tangkap.Siyono. diakses pada 20 november 2016 http://www.faktapers.com/kronologi-kematian-terduga-teroris-siyonoyang-masih-menjadi-misteri.html. berita diakses pada 20 November 2016 www.antarasumbar.com/berita/international/d/21/316797/pakistannyatakan-teroris-adalah-musuh-negara.html/. Diakses 15 november 2016 www.bnpt.go.id/profil.php, diakses tanggal 6 juni 2016 www.ramalanintelijen.net/?p=6514. Diakses 8 juni 2016 www.tribunnews.com/nasional/2015/12/16/ciri-ciri-teroris-versi-bnptgemar-mengkafirkan-orang-lain-dan-hidupnya-eksklusif. diakses pada 22 juni 2016 Wawancara Trigus, Staff Bidang Penindakan, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016 Sujatmiko, Letnan Kolonel. Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016 70 Puri Kencana Putri, Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Wawancara Pribadi, Jakarta, 28 September 2016 LAMPIRAN 71 72 73