PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME

advertisement
PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME
DALAM PENINDAKAN DAN PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA TERORISME
(Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 BNPT)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Agasti Prior
NIM : 1112048000037
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
FAKULTAS
SYARIAH
DAN
HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2016 M
PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME
DALAM PENINDAKAN DAN PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA TERORISME
(Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 BNPT)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Agasti Prior
NIM: 1112048000037
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM
STUDI
ILMU
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/ 2016 M
i
ABSTRAK
AGASTI PRIOR, NIM 1112048000037. PERAN BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN
TERORISME
DALAM
PENINDAKAN
DAN
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME (ANALISIS PERATURAN
PRESIDEN NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN TERORISME). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi
Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 1437 H/ 2016. X halaman + 68 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran BNPT dalam penindakan dan
pencegahan terorisme dengan karakteristik seperti kasus meninggalnya terduga teroris
Siyono, mengetahui kewenangan yang dimiliki oleh BNPT dan juga dasar hukum dari
kewenangan BNPT. Dalam penelitian ini dibahas dan dilatarbelakangi oleh meningkatnya
aksi teror dari tahun ke tahun dan buruknya penindakan yang dilakukan penegak hukum yang
malah menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat.
Metode penelitian yang digunakan penulis yaitu Yuridis Normatif, sedangkan
pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dan pendekatan historis (historical approach), pendekatan perundangundangan dalam penelitian ini Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan hasil penilitian ini dapat diketahui bahwasanya Peran BNPT
dalam penindakan Tindak Pidana Terorisme yaitu menkoordinasi kepada instansiinstansi pemerintah yang berwenang dalam melakukan tindak pidana terorisme, dalam
kasus Siyono yaitu densus 88, Peran BNPT dalam pencegahan tindak pidana terorisme
yaitu melalui system offline dan online yang ditujukan kepada generasi muda dengan
memberi gambaran bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu juga
Program deradikalisasi yang bertujuan untuk merubah ideologi kelompok teroris secara
drastis, yang semula radikal mejadi tidak lagi radikal.
Kata Kunci : BNPT, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,
Kewenangan, penindakan, pencegahan, Terorisme
Dosen Pembimbing
: Dr. Alfitra, S.H., M.Hum
Fitria, S.H., M.R
iv
Peran,
KATA PENGANTAR
Segala puji dan Syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: PERAN BADAN
NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DALAM PENINDAKAN DAN
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME (Analisis Peraturan Presiden
Nomor 46 Tahun 2010 BNPT). Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia
dari zaman jahiliyah ke zaman yang berilmu pengetahuan ini.
Dalam penyelesaian skripsi tak henti-hentinya penulis mengucapkan syukur dan
terimakasih atas bantuan, bimbingan, nasehat, doa dan semangatnya kepada yang
terhormat:
1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H dan Drs. Abu Thamrin, S.H,
M.Hum, Ketua dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang telah memberikan restu,
bantuan serta bimbinganya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum dan Fitria, S.H., M.R Dosen Pembimbing I dan II
yang telah memberikan bimbingan dan arahanya selama proses penulisan
skripsi ini.
4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan
v
ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahsiswa Ilmu Hukum. Semoga
ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah
SWT.
5. Nur Habibi Ihya M.H. dan Fitria, S.H., M.R, Dosen konsentrasi Kelembagaan
Negara yang berkat bimbingan dan arahanya penulis dapat menemukan judul
skripsi ini.
6. Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang telah menerima
permohonan wawancara penulis.
7. Letnan Kolonel Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan Kontra Propaganda
BNPT yang telah menyediakan waktunya untuk wawancara dengan penulis.
8. Trigus, Staff Penindakan BNPT yang telah meluangkan waktunya untuk
wawancara dengan penulis.
9. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan yang telah
menerima permohonan wawancara penulis.
10. Puri Kencana Putri, Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS
yang telah menyediakan waktunya untuk wawancara dengan penulis.
11. Segenap
staff
Perpustakaan
Fakultas
Syariah
dan
Hukum
UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan
dan memberi data guna menyelesaikan skripsi ini
12. Kedua Orang tua yang penulis sayangi dan saya hormati, Ayahanda Agus
Sugiarto dan Ibunda Titik Sri Handayani atas dukungan doa, semangat dan
vi
finansial sehingga penulis dapat menyelesaikan masa kuliah hingga mencapai
gelar Sarjana Hukum. Serta Saudara dan Saudariku, Rival Rivera dan Octavia
Nolan yang selalu menciptakan suasana rumah yang nyaman dan bahagia
sehingga memberikan energi yang luar biasa bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
13. Sahabat hatiku Aprilly Dita Permata Akmanda yang keberadaanya telah
memberi semangat, doa dan nasehat, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan
baik.
14. Sahabat Prodi Ilmu Hukum angkatan 2012, Ilmu Hukum kelas B dan Kelas
Kelembagaan Negara angkatan 2012, yang memberikan kebersamaan di masa
kuliah sehingga memberikan motivasi dalam menyelesaikan masa kuliah ini.
15. Teman satu perjuangan dalam menempuh gelar Sarjana: Agie Zaky, Dimas
Anggri, Sigit Ganda Prabowo, Renaldi Hendryan, Ade Kurniawan, Said
Agung, Muhammad Yusuf, Muhammad Anshori, Denny Fernandes, Farid
Muhajir, Bagdady, Ahmad Farhan, Soekarno Putra, Irvan Zidny, Muhammad
Raziv, Murtadlo, Lidia T. Handayani, Dilla, Rifqi, Maulana Ishaq, Rama
Wijaya, Putri Amalia dan lainya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu,
yang selalu saling menyemangati selama penulisan ini.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian
semua.
vii
Semoga skripsi ini mampu menginspirasi dan memberikan manfaat kepada
pembaca sekalian.
Jakarta, 7 September 2016
Agasti Prior
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………....…......i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI…………………………………....…….ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………....…..iii
ABSTRAK…………………………………………………………………....….iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………....……v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ix
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………….......1
A. Latar Belakang Masalah………………………………….....….1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah..…………………….....….8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..…..…………………….....…..9
D. Tinjauan Kajian Terdahulu……………………………….......10
E. Kerangka Konseptual…....................……………………........12
F. Metode Penelitian………………………………………….....13
G. Sistematika Penulisan………………………………………...18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN TERORISME…. ……...………….....20
A. Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme….……..20
B. Dasar Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme….24
C. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…………..24
1. Wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme...24
ix
2. Tugas, Fungsi dan Tujuan………………………….....…..25
3. Visi dan Misi……………………………………….....…..27
4. Kebijakan dan Strategi……………………………............28
D. Sejarah Pembentukan Densus 88……………………….....….32
BAB III
BENTUK-BENTUK ANCAMAN TERORISME TERHADAP
KEPENTINGAN NEGARA……………………………………35
A. Pengertian Terorisme……………………………………....…35
B. Karakteristik terorisme…………………………………... …..38
C. Bentuk-bentuk Ancaman Terorisme……………………… ....40
D. Dampak Ancaman Terorisme………………… …………..….43
BAB IV
PERAN BNPT DALAM PENIDAKAN TINDAK PIDANA
TERORISME……………………………………… .. ………....46
A. Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
dalam Penindakan Siyono Sebagai Terduga Terorisme……...46
B. Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam
Pencegahan Ancaman Tindak Pidana Terorisme…………….58
BAB V
PENUTUP………………………………………………………..64
A. Kesimpulan…………… ……………………………………..64
B. Saran………………………………………………………….65
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………....…………...66
x
LAMPIRAN…......................................................................................................71
1. Lampiran surat permohonan wawancara kepada pihak BNPT……….…..71
2. Lampiran surat persetujuan wawancara BNPT kepada pihak UIN………72
3. Lampiran surat permohonan wawancara kepada pidak Kontras………...73
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aksi terror yang sering terjadi belakangan ini memberikan rasa cemas,
terancam dan ketakutan bagi warga masyarakat. Hal ini memberikan citra yang
buruk bagi Indonesia kepada seluruh dunia yang mengetahuinya, selain itu juga
Penindakan yang dilakukan Pemerintah kerap menimbulkan Pro dan Kontra di
masyarakat yang menyebabkan keraguan akan kepemerintahan Indonesia pada
warga negaranya sendiri dalam memberikan perlindungan dan rasa kepada warga
negara. Menurut Prof Miriam Budiarjo Negara adalah Suatu daerah territorial
yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan menuntut warga negaranya
ketaatan
pada
peraturan
perundang-undangannya
melalui
penguasaan
monopolistis dari kekuasaan yang sah1. Berkenaan dengan hal ini, karena warga
negara telah taat pada kewajibannya untuk taat pada peraturan yang negara buat
maka warga negara juga berhak atas hak rasa aman yang diberikan oleh
negaranya.
Setiap negara pasti mempunyai tujuan-tujuan yang sudah dirancang
sebelumnya. begitupun juga Indonesia yang mempunyai beberapa tujuan yang
1
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan XIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991), h. 38
1
2
sudah tercantum dalam UUD 1945. Tujuan Negara Indonesia Terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 alenia 4.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, Yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan yang hendak dicapai dengan peran negara dalam rangka
perlindungan internal dan ketertiban dunia eksternal, bersifat negatif dalam
rangka "nahi al-munkar" terhadap segala bentuk ancaman dan tantangan yang
perlu dicegah dan ditanggulangi atau dihadapi dengan sebaik-baiknya
berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.2
Demi mewujudkan Pemerintahan yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial maka perlulah diberlakukan sebuah hukum.
Mendefinisikan kata "hukum" sangat sulit. Menurut LJ.van Apeldorn
dalam bukunya "inleiding tot de studie van het Nederlance", disebutkan bahwa
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Diterbitkan kerja sama
Mahkamah Konstitusi dengan pusat Studi HTN FH-UI, 2004), h. 52-53
3
tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang dimaksud hukum
itu, karena ia beranggapan tidak mungkin mendefinisikan hukum tersebut
dirumuskan sesuai dengan kenyataan hidup manusia didalam kemasyarakatan
dan kenegaraan.3 Namun demikian tidak berarti hukum tidak dapat didefinisikan
oleh para ahli hukum, paling tidak definisi yang diungkapkan oleh para ahli
hukum meskipun tidak mencapai pada pengertian hukum yang mencakup
keseluruhan aktifitas manusia, akan tetapi dapat memberikan batasan-batasan
terhadap pengertian hukum sebagai gambaran tentang definisi hukum.
Beragam definisi telah diungkapkan oleh para ahli hukum, dapat ditarik
pemahaman bahwa hukum sebagai kerangka yang mengandung pengertian
hukum. Pertama, peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan
masyarakat. Kedua, peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang
berwajib. Ketiga, Peraturan itu bersifat memaksa. Keempat, Sanksi terhadap
pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.4
Hukum bersifat mengatur, baik itu berupa aturan-aturan yang sifatnya
sederhana, sampai hal sifatnya substansial, semisal kehidupan berbangsa dan
bernegara. Selain bersifat mengatur, hukum juga mempunyai sanksi atau
3
LJ. von Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,1980), h. 3
4
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985), h. 22
4
hukuman bagi para pelanggarnya. Hukuman ini dikenakan kepada setiap subjek
hukum yang melanggar hukum.5
Sejak 2002, Indonesia mengalami lima serangan bom yang signifikan
yaitu bom Bali pertama pada 2002, serangan bom di Hotel J.W Marriott pada
2003, Bom Kedutaan Australia pada 2004, bom Bali kedua pada 2005, serta
serangan simultan bom di Hotel J.W Marriot serta Ritz-Carlton pada 2009.
Akibat serangan keji tersebut ratusan orang tak berdosa tewas serta ratusan
lainnya terluka.6 Dari beberapa aksi terorisme tersebut, yang terbesar dari segi
jumlah korban dan pemberitaan internasional adalah bom bali I dan II, bom di
hotel marriot1, Kedutaan Filipina, Kedutaan Australia, pasar tentena, poso, Hotel
JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 juli 2009.7
Terorisme adalah paham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-cara
keekrasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai
tujuan.8 Tindakan terorisme dilakukan dengan cara tindakan peledakan bom yang
banyak menelan korban dibanding terorisme melalui cara teror psikis, sekalipun
kedua tindakan terorisme merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan
5
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), h. 177
6
Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, (Jakarta: AS Production
Indonesia, 2013), h. 7
7
Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan
Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 1
8
Muchamad Ali Syafa'at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam
"terrorism, definisi, aksu dan regulasi", (Jakarta: Imparsial, 2003), h. 59
5
menelan korban. Dalam menghadapi ancaman maupun perang melawan
terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mengorganisir
seluruh kekuatan untuk lebih efektif dan efisien, dan melakukan peningkatan
setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi ancaman
terorisme saja pemerintah harus lebih meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga
pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan
terorisme pemerintah berkewajiban untuk memberikan penanggulangan dan
perlindungan terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan
Ancaman yang datang tanpa jeda juga memerlukan kecepatan dan
keakuratan dalam mendeteksi potensi materaliasisasi ancaman tersebut.
Kecepatan (velox) dan keakuratan (exactus)adalah substansi dalam sebuah
praktik intelejen. Intelejen harus berlomba dengan materialisasi ancaman yang
dapat terjadi kapan saja, dan dimana saja. Artinya, intelejen harus mampu
mengumpulkan informasi secara cepat guna mendeteksi dini sebuah ancaman
terhadap keamanan nasional.9
Sejalan dengan perubahan, perkembangan situasi, dan kondisi lingkungan
strategis, dan demi terwujudnya tujuan nasional negara yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban
9
A.M. Hendropriyono, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, (Jakarta:
2013), h. xi-xii
Kompas,
6
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
sebagaimana diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945, penting dilakukan
deteksi dini dan peringatan dini yang mampu mendukung upaya menangkal
segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Menghadapi ancaman dari aksi terorisme, negara wajib untuk
memberikan perlindungan kepada warga negara. Peran Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme memang sangat penting dalam upaya pemberantasan
tindak pidana terorisme dalam segala bentuk ancaman yang membahayakan
eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ancaman global yang sewaktu-waktu bisa muncul akan menjadi sangat
sulit ditangani dan menjadi sangat mahal dampaknya, maupun upaya-upaya
represi yang harus dilakukannya, manakala ancaman itu telah menjamah
targetnya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa satu-satunya strategi yang
sangat tepat untuk penanganan ancaman global adalah strategi pre-emptive
(pencegahan).10 Pencegahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi pendadakan
strategis. Dengan tujuan tersebut, teori-teori intelijen secara sistematik terbagi
dalam fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Implementasi dari
ketiga fungsi tersebut merupakan cara intelijen untuk mengetahui musuh,
10
A.M. Hendropriyono, Dari Terorisme Sampai Konflik TNI-Polri, Renungan dan Refleksi
Menjaga Keutuhan NKRI. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013), h. 143
7
kemudian menjadikannya kekuatan yang menguntungkan pihak sendiri demi
mencapai tujuan.11
Ancaman yang sudah terjadi juga tentunya butuh penanganan yang
berupa penindakan pada pelaku terorisme tersebut sebagai salah satu upaya
penanggulangan terorisme. Upaya penindakan ini biasanya menggunakan
pendekatan hukum (koersif), teteapi dirasa belum mencegah berulangnya aksi
terorisme dan seringkali memicu pertentangan di tengah masyarakat bahkan
memunculkan rasa dendam yang tinggi terhadap aparat penegak hukum.12
Aksi teror yang terjadi pada era reformasi sampai pada tahun 2013, dari
catatan hasil penelitian tim BNPT13 terjadi kurang lebih 103 aksi teror yang
terjadi, 41% di antaranya ditujukan kerumah ibadah, terutama gereja dan institusi
kristen, 43% aksi diarahkan ke tempat-tempat umum seperti mall, restoran, kafe,
hotel, gedung perkantoran dan pasar, sedangkan sisanya ditujukan kekantorkantor pemerintahan dan kantor asing seperi kantor kedutaan indonesia.
Dari hasil penelitian tim BNPT dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun
Ancaman terorisme tetap pada ke eksistensian nya dalam melakukan aksinya.
Tindakan pencegahan dan penindakan pada terorisme mutlak diperlukan untuk
11
A.M. Hendropriyono, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Kompas,
2013), h. 207
12
Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi.
(Jakarta: Daulat Press, 2014), hal. xi
13
BNPT, Perkembangan Terorisme di Indonesia, (BNPT: Sentul), 2013
8
mencegah ataupun menanggulangi ancaman terorisme tersebut melewati
penindakan yang jelas. Selain itu pengamanan pada tempat-tempat yang dirasa
sangat di incar untuk menjadi target aksi terorisme perlu diawasi oleh pihak
BNPT sebagai salah satu langkah perlindungan bagi masyarakat yang tidak
berdosa.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih
jauh bagaimana Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam
Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini sangat menarik
bagi penulis mengingat bahwa Badan Nasional Penangulangan Terorisme selama
ini kinerjanya tidak pernah diekspos oleh siapapun, dan cara kerjanya yg hampir
mirip dengan Badan Intelijen Negara. Dengan demikian penulis tertarik
mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi
dengan judul Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam
Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis
pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan
pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan
masalah.
9
Untuk
mendapatkan
pembahasan
yang
objektif,
maka
penulis
membatasinya dengan pembahasan mengenai Peran Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme Dalam Penindakan dan Pencegahan Ancaman
Terorisme.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan
masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:
a. Apa
kewenangan
Badan
Nasional
Penanggulangan
Terorisme
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dalam penidakan
ancaman terorisme?
b. Apa
Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam
mencegah ancaman Terorisme?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :
a. Untuk Mengetahui Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dalam
penidakan ancaman terorisme.
b. Untuk
mengetahui
dan
memahami
Peran
Badan
Nasional
Penanggulangan Terorisme Dalam Pencegahan Ancaman Terorisme.
10
2. Kegunaan Penelitian.
Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis
a. Kegunaan teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi
mengenai Eksistensi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam
Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme.
b. Kegunaan Praktis.
Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi
informasi bagi elemen masyarakat manapun untuk mengetahui Peran
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Penindakan dan
Pencegahan Tindak Pidana Terorisme.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu.
Nama
penulis/judul Substansi
skripsi, jurnal/ tahun
Perbedaan
dengan
penulis.
Fanny Fajriah, Model
Skripsi ini membahas
Perbedaan dari skripsi ini
Penegakan Hukum
mengenai Model
dengan skripsi penulis
Dalam Tindak Pidana
Penegakan Hukum
adalah penulis dalam
Terorisme (Analisis
Dalam Tindak Pidana
skripsinya
11
Putusan MA No.168
Terorisme
PK/PID.SUS/2013)
mempertanyakan Peran
BNPT Dalam Penindakan
dan Penegahan Tindak
Pidana Terorisme.
Sedangkan Skripsi Fanny
Fajriah ini membahas
tentang Model Penegakan
Hukum Dalam Tindak
Pidana Terorisme dengan
menganalisis Putusan
MA
Muhammad Arifin Saleh,
Skripsi ini membahas
Perbedaan skripsi ini
Penanganan Terorisme di
mengenai Penanganan
yaitu Penulis membahas
Indonesia Dalam Fiqh
Terorisme di Indonesia
tentang Peran BNPT
Siyasah dan hak Asasi
Dalam Fiqh Siyasah dan
Dalam Penindakan dan
Manusia
hak Asasi Manusia
Pencegahan Terorisme,
Bukan menurut Fiqh
Siyasah dan HAM
Agus
SB,
Terorisme:
Pencegahan,
Darurat
Kebijakan
Buku ini secara umum
Perbedaan buku ini yaitu
membahas perihal
buku ini membahas
Badan Nasional
mengenai segala sesuatu
12
Perlindungan
dan
Deradikalisasi, 2013
Penanggulangan
mengenai BNPT,
Terorisme dan segala
sedangkan penulis
kaitanya dalam
membahas mengenai
penanganan terorisme.
Peran BNPT dalam
penindakan dan
pencegahan terorisme
Jurnal : Prof. Dr. Alvi
Jurnal ini membahas
Perbedaanya adalah
Syahrin, S.h., M.S dkk,
Mengenai penyadapan
Jurnal ini membahas
Tindakan Penyadapan
yang dilakukan BIN
tindakan Penyadapan
Badan Intelijen Negara
terhadap Pelaku diduga
yang dilakukan BIN
Terhadap Orang Yang
Terorisme
terhadap Pelaku diduga
Sebagai Permulaan
Terorisme,sedangkan
Diduga Melakukan
skripsil ini membahas
Tindakan Terorisme
mengenai BNPT
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.
Terorisme adalah tindak pidana yang merugikan bagi negara dan warga
negara itu sendiri. Perlindungan bagi negara, Perlindungan dari negara untuk
warga negara juga sangat dibutuhkan untuk menjamin hak hidup warga
negaranya lepas dari rasa takut, rasa mencekam dan mendapatkan rasa aman
dalam kehidupan
13
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dibentuk dengan tujuan
penanggulangan terorisme. Penanggulangan terorisme disini mencakup dalam
hal pencegahan dan juga penindakan. BNPT dituntut untuk melaksanakan tugas
negara sebagai perlindungan negara terhadap warga negaranya sesuai dengan
amanah Pembukaan UUD 1945 yakni "Melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Penidakan disini diperlukan sebagai tindak lanjut penyelesaian dari
sebuah terror yang telah terjadi. Sedangkan pencegahan disini yaitu bagaimana
BNPT melakukan tindakan pencegahan yang dilakukan BNPT dalam mencegah
munculnya tindak pidana terorisme itu terjadi
F. Metode Penelitian.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.14
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi
penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian normatif
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta : UI Press, 1986), h. 43
14
empiris untuk mengkaji implementasi ketentuan hukum normatif (undangundang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
suatu masyarakat. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah kualitatif yaitu
penelitian yang dilakukan melalui tahap demi tahap dan makna disimpulkan
selama proses berlansgung dari awal sampai akhir kegiatan, bersifat naratif, dan
holistik.15
2. Pendekatan Penelitian.
Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu
penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian
normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa pendekatan
perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan historis (historical
approach).
Pendekatan
perundang-undangan
dimaksudkan
untuk
memperoleh
kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme tersebut. Pendekatan Perundang-undangan dirasa perlu untuk
memastikan bahwa pada dasarnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
merupakan badan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang. Selain itu,
pendekatan perundang-undangan juga berguna bagi penulis sebagai sumber
informasi tambahan mengenai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu
sendiri.
15
A. Muri Yusuf, Metode Penelitan Kuantitatif, Kualitatif, dan Gabungan, (Jakarta: Kencana,
2014), h. 328
15
Sedangkan
pendekatan
historis
dimaksudkan
untuk
mengetahui
bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dan
perkembangan mengenai BNPT di Indonesia.
3. Sumber Penelitian.
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian
yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum
tersier yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan rincian
sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer.
Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat
segala keterangan-keterangan yang beerkaitan dengan penelitian ini. Sumbersumber tersebut berupa UUD 1945, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010
Tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Bahan
hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.16
b. Bahan hukum sekunder.
Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahanbahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat
16
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum,( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.), h. 51
16
segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terdiri
dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang
berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana,
kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang
berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi, penulis
mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2012.
c.
Bahan Hukum Tersier.
Merupakan bahan hukum
yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.17 Selain itu di skripsi, penulis
melakukan wawancara pada Kasubdit pencegahan dan Staff penidakan
BNPT.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku
yang berkaitan dengan BNPT, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus
dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.
17
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 296
17
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode
Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti,
notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.18
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data.
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk
menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum
dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan
hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam Mengenai
Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Melakukan
Penindakan Tindak Pidana Terorisme. Didalamnya akan membahas mengenai
Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dasar hukum, wewenang
fungsi, tugas, tujuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88,
18
M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif ,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.
201
18
Pengertian terorisme, bentuk terorisme, penyebab terorisme, criteria
terorisme, dampak terorisme, lalu analisis peran BNPT dalam Penindakan
tindak Pidana Terorisme.
6. Metode Penulisan
Metode penulisan ini berdasarkan buku pedoman Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.
G. Sistematika Penulisan.
Dalam penulisan skripsi ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada
skripsi-skripsi lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi
menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN TERORISME
Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Dasar
Hukum, Profil BNPT (Wewenang, Tugas, Fungsi dan Tujuan),
Densus 88.
19
BAB III
BENTUK-BENTUK
ANCAMAN
TERORISME
TERHADAP KEPENTINGAN NEGARA.
Pengertian Terorisme, Bentuk-bentuk Ancaman terorisme,
penyebab timbulnya ancaman terorisme, Dampak dari ancaman
terorisme.
BAB IV
PERAN
BNPT
DALAM
PENINDAKAN
ANCAMAN
TERORISME
Pada bab ini akan membahas mengenai analisis Peran Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam menindak tindak
pidana Terorisme.
BAB V
PENUTUP
Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang
berkaitan dengan permasalahan
tersebut
yang
penulis
dapatkan dari hasil menganalisis Eksistensi Peran Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam menindak tindak
pidana Terorisme.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN TERORIS
A. Sejarah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 inilah yang menjadi awal mula
gagasan untuk dibentuknya sebuah badan yang khusus untuk menangani
terorisme, pada saat itu pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4
Tahun 2002 dalam rangka menanggulangi kasus terorisme di bali.
Instruksi Presiden tersebut yaitu bahwa Presiden memberi mandat kepada
Mentri Kordinator Bidang Politik dan Keamanan yang saat itu dijabat oleh Susilo
Bambang Yudhoyono yang diberikan tugas untuk merumuskan kebijakan dan
strategi nasional pemberantasan terorisme dan mengkoordinasikan semua
langkah-langkah operasional pemberantasan terorisme.1
Mandat yang diberikan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan
itu
ditindak
lanjuti
dengan
dibentuknya
Desk
Koordinasi
Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang berdasarkan keputusan Menteri
Koordinator
Bidang
Politik
dan
Keamanan
Nomor:
Kep-
26/Menko/Polkam/11/2002.
1
Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum, (Bandung : PT.
Refika Aditama, 2004,), h. 22
20
21
Tujuan dalam dibentuknya DKPT ini adalah untuk membantu Menteri
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam merumuskan kebijakan bagi
pemberantasan tindak pidana terorisme yang meliputi aspek pencegahan,
penangkalan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segalan tindak
hukum yang diperlukan.2 Ketua DKPT yang ditunjuk oleh Menteri Koordinator
Bidang Politik dan Keamaan saat itu adalah Irjen Pol. Drs. Ansyaad Mbai, M.M.
Pada tanggal 31 Agustus 2009 diadakan Rapat Kerja antara Komisi I
DPR dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan yang
membahas mengenai pemberantasan terorisme. Kesimpulan dari rapat tersebut
yaitu3:
1.
Komisi I DPR RI mendukung upaya Pemerintah dalam menanggulangi
dan memberantas terorisme berdasarkan grand desain penanggulangan
terorisme, dan Komisi I DPR RI menegaskan bahwa terorisme adalah
kejahatan kemanusiaan luar biasa yang harus dijadikan musuh bersama,
oleh karena itu dibutuhkan komitmen seluruh elemen dan potensi bangsa
dalam menghadapi dan memberantas terorisme.
2.
Dalam upaya meningkatkan kapasitas dan keterpaduan penanggulangan
terorisme, Komisi I DPR RI minta Pemerintah agar meningkatkan peran
masyarakat secara optimal dalam gerakan pemberantasan terorisme sesuai
2
Kep-26/Menko/Polkam/11/2002, Tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme
3
Kesimpulan Rapat Kerja DPR, Laporan Singkat Rapat Kerja Komisi I DPR RI Dengan
Menkopolhukam Mengenai Pemberantasan Terorisme, DPR RI, 2009
22
dengan ketentuan hukum, dan mengajak masyarakat untuk turut
mencegah
berkembangnya
ajaran
sesat
yang
mengembangkan
radikalisme dan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam
mencapai tujuannya, serta agar masyarakat memberikan informasi dini
atas gejala terorisme yang terlihat disekitarnya.
3.
Untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan terorisme, Komisi I
DPR RI memandang perlu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Terorisme diperbaiki dengan antara lain
meningkatkan aspek Prevention dan kapasitas, termasuk kemungkinan
pembentukan suatu badan yang berwenang secara operasional melakukan
tugas pemberantasan/penanggulangan terorisme. Dalam hubungan ini,
Komisi I DPR RI mendesak Pemerintah untuk menerbitkan regulasi
sebagai elaborasi ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk mengatur
ketentuan lebih rinci tentang Rule of Engagement (aturan pelibatan) TNI,
terkait tugas Operasi Militer Selain Perang TNI, termasuk aturan
pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI
terhadap POLRI.
4.
Komisi I DPR RI minta Pemerintah agar dalam upaya pemberantasan
terorisme termasuk upaya penggalangan dan deradikalisasi agar fokus
23
diarahkan kepada pengejaran pelaku, aktor intelektual, dan jaringannya,
serta mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi dan terjebak dalam
pandangan dan stigmasasi bahwa terorisme terkait dengan satu agama
yang dapat memperbesar sikap saling mencurigai ditengah masyarakat,
dan melemahkan gerakan pemberantasn terorisme.
5.
Dengan semakin meningkatnya ancaman terorisme khususnya indikasi
perilaku tindakan bom bunuh diri, Komisi I DPR RI minta aparat
keamanan untuk melakukan kajian secara lengkap dan menyeluruh
mengenai latar belakang dan motivasi tindakan terorisme bunuh diri, serta
kajian
terhadap
berbagai
payung
hukum
yang
tersedia
untuk
meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap potensi ancaman
terorisme termasuk tahapan perekrutan, serta pengambilan langkahlangkah kebijakan efektif dalam rangka penanggulangan terorisme.
6.
Komisi I DPR RI minta Pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan
tindakan hukum terhadap aliran dana dari dalam dan luar negeri yang
diduga digunakan untuk tujuan mendukung dan membiayai terorisme.
Berdasarkan hasil rapat tersebut rekomendasi Komisi I DPR tersebut dan
maraknya aksi atau tindah pidana terorisme, maka dari itu Presiden Republik
Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan
24
Nasional Penanggulangan Terorisme4 tepat pada tanggal 16 juli 2010, dan
mengangkat Irjen Pol (Purn) Drs. Ansyaad Mbai, M.M. sebagai Kepala BNPT5.
B. Dasar Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Pada tahun 2010 akhirnya BNPT berdiri berdasarkan No.46 Tahun 2010
tentang pembentukan BNPT. Perpres No.46 Tahun 2010 ini yang menjadi asal
usul BNPT
Pada perkembangannya Perpres ini diubah dengan Perpres No.12 tahun
2012. Pembentukan BNPT merupakan Kebijakan Nasional Penanggulangan
Terorisme. Badan ini merupakan pengembangan dari Desk Koordinasi
Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002.
Peraturan Presiden No.46 Tahun 2010 tentang pembentukan BNPT ini
pada dasarnya adalah dasar hukum terbentuknya BNPT. Pada tahun 2012
Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2012 Tentang
perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang BNPT.
C. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
a. Wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
BNPT dibentuk merupakan sebuah regulasi sebagai elaborasi Ketentuan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
4
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Penanggulangan Terorisme
5
www.bnpt.go.id/profil.php, diakses tanggal 6 juni 2016
25
Indonesia dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia, untuk mengatur ketentuang lebih rinci tentang Rule of Engagement
(aturan pelibatan) TNI, terkait tugas Operasi Militer Selain Perang TNI,
Termasuk TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI terhadap
POLRI. Dalam hal ini, BNPT dapat membentuk Satgas-satgas yang terdiri dari
unsur-unsur terkait, juga dapat melibatkan masyarakat. Penugasan TNI dan Polri
dalam Satgas BNPT bersifat "disiapkan" atau di Bawah Kendali Operasi (BKO)6
BNPT memiliki wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan
serta strategi, dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme.
BNPT juga telah membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT)
di daerah. Pembentukan FKPT merupakan salah satu upaya BNPT mencegah
Terorisme di seluruh wilayah Indonesia. Pembentukan FKPT bertujuan untuk
menghimpun dukungan masyarakat dan pemerintah daerah dalam upaya
pencegahan terorisme dengan berbasiskan penerapan nilai kearifan lokal masingmasing daerah.7
b. Tugas, Fungsi dan Tujuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Sebagai sebuah badan, BNPT memiliki tugas pokok yang harus
dijalankan dalam melaksanakan tugas negara. Berdasarkan pasal 72 ayat 1
6
http://ramalanintelijen.net/mengenal-badan-nasional-penanggulangan-terorisme-bnpterorisme/. Diakses 8 juni 2016
7
BNPT, Modul Perkembangan Terorisme dan Pencegahan Terorisme di Daerah, (BNPT:
Sentul) 2013
26
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang BNPT, BNPT memiliki tugas
Pokok sebagai berikut:
1. Menyusun kebijakan, strategi dan program nasional di bidang
penanggulangan terorisme.
2. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam melaksanakan
kebijakan di bidang penanggulangan terorisme
3. Membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi
pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masingmasing.
Selain tugas pokok yang harus dijalankan dalam melaksanakan tugas
negara, BNPT juga memiliki fungsi sebagai berikut:8
1. Penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional bidang penanggulangan
terorisme.
2. Monitoring, analisa, dan evaluasi dibidang penanggulangan terorisme.
3. Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda
ideologi radikal.
4. Pelaksanaan deradikalisasi.
5. Perlindungan terhadap obyek-obyek yang potensial menjadi terget serangan
terorisme.
6. Pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapsiagaan nasional.
7. Pelaksanaan kerjasama internasional dibidang penanggulangan terorisme.
8. Perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi
dan sumber daya serta kerjasama antarinstansi
9. Pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas pencegahan, perlindungan,
deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang
penganggulangan terorisme.
Perlindungan dari negara adalah hak warga negara. Negara wajib
memberikan hak itu, karena itu Tujuan dibentuknya BNPT adalah pemberantasan
tindak pidana terorisme yang meliputi aspek pencegahan, penangkalan,
penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segalan tindak hukum yang
diperlukan.
8
Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010
27
c. Visi dan Misi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Visi BNPT adalah untuk mewujudkan penanggulangan terorisme dan
radikalisme melalui upaya sinergi institusi pemerintah dan masyarakat yang
meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi dan penindakan, serta
peningkatan kewaspadaan nasional dan kerjasama internasional untuk menjamin
terpeliharanya keamanan nasional9
Berdasarkan visi BNPT di atas, dijabarkan juga misi BNPT sebagai
langkah-langkah BNPT dalam melakukan program untuk mencapai visi tersebut.
Ada 5 poin misi BNPT yaitu:
1. Melakukan pencegahan terjadinya aksi terorisme, meningkatkan kewaspadaan
dan memberikan perlindungan terhadap obyek-obyek vital yang potensial
menjadi target serangan terorisme.
2. Melakukan deradikalisasi dan melawan propaganda ideologi radikal.
3. Melakukan penindakan aksi terorisme melalui penggalangan intelijen dan
surveillance, dan penegakan hukum melalui kordinasi dan kerjasama dengan
institusi terkait, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa.
4. Melaksanakan pembinaan kemampuan dan kesiapsiagaan nasional terhadap
ancaman aksi terorisme.
5. Melaksanakan kerjasama internasional dalam penanggulangan terorisme.
9
Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi.
(Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 75
28
d. Kebijakan dan Strategi Badan Nasionan Penanggulangan Terorisme
Kebijakan BNPT merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan
atau berorientasi pada tujuan demi kepentingan seluruh masyarakat. Kebijakan
meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi
oleh suatu kebijakan pemerintah.10
Dalam kebijakan pencegahan terorisme, ada 6 prinsip-prinsip umum dan
kerangka kerja yang harus dikedepankan:11
a. Supremasi hukum, yaitu penggunaan kerangka hukum selalu menjadi basis
pedoman dari aksi kontra teror. Independen mengandung pengertian bahwa
Indonesia akan selalu berusaha mencapai konkusi dan melakukan aksi
didalam negeri tanpa harus bergantung pada pihak manapun. Semua data
intelijen, rekomendasi dan pandangan dari pihak luar akan tetap diterima
dengan baik sebagai masukan. Pemerintah tidak akan didikte oleh kekuatan
asing manapun teteapi tetap mengandalkan kemampuan sendiri dengan kerja
yang profesional dan didasari oleh penggunaan data yang akurat.
b. Indiskriminasi, berarti dalam upaya kontra teror, pemerintah Indonesia tidak
akan menuduh dan hanya memfokuskan pada satu kelompok saja, baik itu
kelompok etnis, agama maupun kepentingan. Semua warga negara Indonesia
10
James E. Anderson, Public Policy Making, Holt, (Rinehart and winston: New York cet,
1984), h. 3
11
Kebijakan dan Strategi Pencegahan Terorisme, BNPT, h. 3-4
29
akan diperlakukan sama dibawah UU Anti Terorisme. Jika ada satu organisasi
teroris yang menjadi target operasi itu semua didasari oleh tindakan mereka
bukan karena identitas religi atau etnis mereka. Meskipun demikian,
pemerintah Indonesia juga memahami jika ada beberapa kelompok di
Indonesia yang kerap menggunakan perbedaan suku dan agama sebagai alasan
untuk memicu kekerasan.
c. Independensi, yaitu sifat bebas dalam membuat kesimpulan dan mengambil
tindakan, rekomendasi ataupun harapan masyarakat internasional diposisikan
sebagai masukan dan pertimbangan. Artinya, semua tidakan dan keputusan
tidak didasarkan pada intervensi dari pihak manapun, tetapi didasarkan pada
temuan akurat dan professional melalui proses dan mekanisme yang akuntabel
demokrasi.
d. Kordinasi, merefleksikan bahwa ancaman teror merupakan ancaman yang
melintasi batas yuridiksi satu departemen bahkan negara. Upaya untuk
menanggulanginya pun harus melintasi batas yuridiksi yang dimiliki tiap-tiap
departemen oleh karena itu koordinasi menjadi sangat penting dalam
memerangi terorisme.
e. Demokrasi, berarti pemerintah telah memahami bahwa pemberian otoritas
yang terlalu besar untuk memerangi terorisme juga membuka potensi lain.
Pemerintah Indonesia tidak akan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi
hanya demi mengajar otoritas absolut. Pemerintah Indonesia akan berusaha
30
untuk mencari keseimbangan antara otoritas pemerintah dan prinsip-prinsip
demokrasi. Kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah dalam memerangi
terorisme selalu terbuka melalui mekanisme parlemen (DPR dan MPR),
melalui media baik cetak maupun elektronik dan melalui lembaga swadaya
masyarakat.
f. Partisipasi, yang merefleksikan bahwa perang melawan teror tidak akan
berhasil dimenangkan jika menjadi tugas semata perintah. Partisipasi dari
masyarakat, kerjasama antar komunitas dan antara masyarakat dengan
pemerintah, merupakan hal yang sangat vital dalam perang melawan
terorisme.
Berbagai upaya kebijakan pencegahan telah dilakukan oleh BNPT
diantaranya:12
1. Peran Intelijen
Mengaktifkan peran intelijen yang aktif, walaupun upaya ini terkendala
oleh masih kuatnya resistensi terhadap peranan intelijen akibat trauma masa lalu
oleh kelompok-kelompok tertentu. Sehingga aparat keamanan selalu kecolongan
dan menimbulkan kesan hanya bertindak reaktif dan inisiatif lebih banyak
ditangan teroris.
12
Rhousdy Soeriatmadna dan Brigjen Pol (purn) Ivan TH Sihombing, Kiprah DKPT Dalam
Situasi Kontroversi Dan Keterbatasan,(Jakarta: S.I, 2009), h. 337-338
31
2. Hukum
Membuka wacana dalam rangka membangun perangkat hukum yang
efektif, karena selama ini kebijakan pemerintah hanya fokus pada upaya
penegakan hukum, sementara pasal hukum yang digunakan untuk mengadili
sangat lemah dan dasar atau payung hukum yang digunakan sangat lemah. Upaya
penegakan hukum selama ini hanya mampu menjerat pada tataran operator atau
pelaku di lapangan, sementara master mind, provokator dan spiritual leader beum
terjangkau. Selain itu regulasi yang ada belum mampu mempersempit ruang
gerak aktivitas terorisme.
Untuk mencapai sebuah tujuan negara yang aman dan damai BNPT
mempunyai sebuah strategi pencegahan terorisme. Strategi pencegahan terorisme
merupakan serangkaian pekerjaan dan cara bertindak dalam melakukan
pencegahan terorisme itu sendiri. Kebijakan dan strategi pencegahan terorisme
sengaja dirancang untuk mendeteksi dan mencegah berbagai macam aksi
terorisme di indonesia.
Program Pencegahan yang dilaksanakan oleh BNPT terdiri dari dua
strategi. Pertama, strategi deradikalisasi yang ditunjukan terhadap kelompok inti
dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan penangkalan, rehabilitasi,
reduksi, dan resiosialisasi.
Kedua, strategi kontra radikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok
pendukung, simpatisan, dan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan
32
pencegahan yang meliputi kegiatan pengawasan terhadap orang, senjata api, dan
muhandak, kegiatan kontra propaganda, kegiatan kewaspadaan serta kegiatan
perlindungan terhadap objek vital, trasnportasi, VVIP serta lingkungan dan
fasilitas publik.
D. Sejarah Pembentukan Densus 88
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi, di lingkungan BNPT dibentuk
Satuan Tugas-Satuan Tugas yang selanjutnya disebut Satgas yang terdiri dari
unsur-unsur instansi terkait13 yang salah satunya dari Polri. Mabes Polri
membentuk Detasemen Khusus 88/Anti Teror yang bertugas menghentikan aksi
teror dan mengungkap jaringan teroris melalui upaya penegakan hukum.
Dasar hukum pembentukan Densus 88 yaitu SK Kapolri No. 30/VI/2003
Tertanggal 20 Juni 2003, hal ini sekaligus tindak lanjut merealisasikan UU No.15
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
a) Tugas Pokok Densus 88
Densus 88 bertugas membina dan menyelanggarakan tugas dan fungsi
penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana teroris mendalam dalam rangka
penegakan hukum dengan sasaran tugas yaitu:
13
Pasal 23, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010
33
1) Keberadaan dan aktifitas setiap orang / unsur / kelompok / masyarakat /
organisasi yang diduga sebagai jaringan atau berpotensi dijadikan sebagai
jaringan terorisme.
2) Kejahatan yang bersifat terror yaitu segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana terorisme.
3) Tindak pidana ataupun pelanggaran hukum lainnya yang bermotifkan
terorisme terutana terhadap kasus yang bernuansa politik dan lintas Negara.
b) Wewenang Densus 88
Densus 88 sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang khusus bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme
memiliki wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada
Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian
Negara Republik Indonesia yang berbunyi:14
a. Melakukan pengangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang yang diperlakukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
14
Lihat Pasal 16 Ayat 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
34
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan keadaan mendesak
atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidik kepada pegawai negara
sipil menerima hasil penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan
kepada penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindak lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l diatas adalah
tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut15:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. Menghormati Hak Asasi Manusia.
Dibentuknya Densus 88 dengan cepat menjadi bintang satuan khusus anti
–teror polri yang baru. Hal ini disebabkan antara lain, luasnya kewenangan
Densus 88 khususnya dalam menangani kejahatan Terorisme. Kewenangan itu
meliputi operasi pengintaian (intelijen), Investigasi (penyelidikan), penindakan
(pasukan pemukul), sampai penyidikan (penegakan hukum).16
15
Lihat Pasal 16 Ayat 2, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
16
Galih Priatmodjo, Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap Kesatuan Elite
“Pasukan Hantu” Anti Teror. Narasi, (Jakarta: 2010), h. 47
BAB III
ANCAMAN TERORISME
A. Pengertian Terorisme
Pada prinsipnya, pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan
melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. selain itu,
perkembangan lingkungan sekitar turut mempengaruhi kompleksitan dari
ancaman itu sendiri.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002
Tentang Pertahanan Negara UU Nomor 3 Tahun 2002, yang dimaksud dengan
ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dalam negeri maupun luar negeri
yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan
keselamatan segenap bangsa.
Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti,
mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan menyebar rasa
takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh
sebelum hal-hal itu dinamai "teror" atau "terorisme"1.
Kata ""teroris" (pelaku) dan Terorisme (aksi) Berasal dari kata latin
"terrere" yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa
menimbulkan kengerian, tentu saja kengerian di hati dan pikiran korbannya.
1
F. Budi Hardiman, et.al., Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2005),
h. 3
35
36
Istilah "terorisme" merupakan sebuah konsep yang memeiliki konotasi yang
sangat sensitif, karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan
penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.2
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara
sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara
dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan
orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut
terhadap orang-orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objekobjek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral,
peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, ideologi,
perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.3
Selain itu, menurut Flemming dan Stohl dalam buku Cyber Terrorism
yang ditulis oleh Andrew M. Colaric Menyatakan bahwa teroris adalah tindakan
yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan dalam individu, kelompok, atau
masyarakat dengan maksud mempengaruhi khalayak yang lebih luas. Ada dua
motovasi dasar dalam kehidupan, yaitu mencapai kekuasaan dan menghindari
penderitaan. Fokus terorisme adalah untuk menimbulkan teror melalu kekerasan
agar orang melakukan sesuatu untuk menghindari kemungkinan penderitaan
2
Abdul Wahid, et.al., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum (Bandung:
PT. Rafika Aditama, 2004), h. 22
3
Abdul Wahid, et.al., Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum (Bandung:
PT. Rafika Aditama, 2004), h. 29-30
37
dimasa depan. Dalam hal ini, bentuk kontrol dilakukan dengan paksaan pada para
partisipan yang sebenarnya tidak mau melakukannya.4
Sedangkan menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Terorisme adalah
tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan
ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan,
perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah
salah satu bentuk kejahatan yang di organisaso dengan baik (well organized),
bersifat trans-nasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskriminatif).5
Dari beberapa definisi yang telah jelaskan dari beberapa ahli dapat
disimpulkan bahwa terorisme adalah tindakan melawan hukum yang diorganisasi
dengan baik yang menyebabkan kerusakan umum atau sebuah kehancuran yang
besar dengan tujuan menimbulkan rasa takut, resah, teror dan tidak kondusif pada
individu, kelompok atau masyarakat secara luas yang dapat mengancam
kedaulatan negara.
Terorisme tidak hanya dilakukan oleh suatu kelompok ataupun individu,
negara juga bisa melakukan tindakan terorisme atau yang dikenal sebagai
terorisme negara (state terrorism). Tergantung pada konteksnyasesungguhnya,
dapat mencakup tindakan-tindakan kekerasan atau penindasan yang dilakukan
4
Andrew M. Colarik, Cyber Terrorism (United States of America : Idea Group Publishing,
2006), h. 15
5
Ma'ruf Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 3
38
oleh suatu pemerintahan atau negara proksi. Terorisme negara dapat ditujukan
kepada penduduk negara yang bersangkutan, atau terhadap penduduk negaranegara lainnya. Terorisme itu dapat dilakukan oleh angkatan bersenjata negara
itu sendiri, misalnya angkatan darat, polisi, atau organisasi-organisasi lainnya,
dan dalam hal ini biasanya ia disebut sebagai terorisme yang disponsori negara.6
B. Karakteristik Terorisme
Untuk mengetahui apa arti terorisme yang sebenernya, penting untuk
mengetahui apa yang menjadi karakteristik dari terorisme itu sendiri. Menurut
mantan kepala BNPT Saud Usman Nasution ciri-ciri terorisme yaitu:
a. Pelaku terorisme memiliki kehidupan cenderung eksklusif.
b. Hanya bergaul dengan kalangannya.
c. Cenderung mengkafirkan orang lain.7
Menurut Paul Wilkinson, Terorisme politis memilik karakteristik sebagai
berikut:
a. Merupakan intimidasi yang memaksa
b. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai
sarana untuk suatu tujuan tertentu.
c. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang
urat syaraf, yakni "bunuh satu orang menakuti seribu orang".
d. Target teror dipilih
e. Bekerja secara rahasia
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_negara#cite_ref-1, diakses: tgl 22 juni 2016
7
BNPT, Ciri-ciri Teroris Versi BNPT: Gemar Mengkafirkan orang lain dan Hidupnya
Eksklusif, www.tribunnews.com/nasional/2015/12/16/ciri-ciri-teroris-versi-bnpt-gemar-mengkafirkanorang-lain-dan-hidupnya-eksklusif, diakses: tgl 22 juni 2016
39
f. Tujuannya publisitas
g. Pesan cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara
personal.
h. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras,
misalnya "berjuang demi agama dan kemanusiaan"8
Berdasarkan matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna
tindak kekerasan guna mencapai tujuannya, Lodewijk Freidrich Paulus
menyimpulkan ciri-ciri terorisme yaitu:
a. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan. Organisasinya
merupakan kelompok - kelompok kecil, disiplin, dan militansi
ditanamkan melalui indoktrinasi dan latihan yang bertahun - tahun.
b. Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk
mencapai tujuan.
c. Tidak mengindahkan norma - norma yang berlaku, seperti agama,
hukum, dll.
d. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk
menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.9
Menurut terrorism Act 200 UK, terorisme mengandung arti sebagai
penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri:
a. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian
berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang,
bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko
serius bagi kesehatan atau keselamatan publik tertentu.
b. Penggunaan atau ancaman didesai untuk mempengaruhi pemerintah
atau untuk memnintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik.
c. Penggunaan atau ancaman yang dibuat dengan tujuan politik, agama,
atau ideologi.
d. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam suseksi yang melibatkan
senjata api dan bahan peledak.10
8
Paul Wilkinson, Terorism an The Liberal State, (London:the Macmillan Press Ltd.,1977),
h.49, Dalam Skripsi Dian Anggraeny Utomo, Dampak Penyergapan teroris oleh Densus 88 Bagi
Masyarakat Gang H. Hasan Blok Gandaria Sawangan Ciputat, 2014
9
Let. Lodewijk Freidrich Paulus, Terorisme, ditpolkom.bappenas.go.id, 2001
10
Abdul Wahid, et.al,, Kejahatan Terorisme, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h. 34
40
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulakan bahwa terdapat
beberapa kesamaan dalam karakteristik terorisme. Kesamaan karakteristik
terorisme tersebut yaitu:
a. Memakai kekerasan dalam setiap aksinya, seperti pembunuhan,
pengancuran, perampasan hak, dan teror pada masyarakat umum.
b. Bertujuan memberikan teror untuk menciptakan suasanya yang
menakutkan bagi banyak orang.
c. Memakai senjata yang berbahaya (senjata api, peledak, senjata tajam,
dan lain-lain)
d. Memliki target sasaran tertentu untuk mendapatkan publisitas.
C. Bentuk-bentuk Ancaman Terorisme
Menurut Letnan Jendral TNI Lodewijk Freidrich Paulus dalam tulisannya
mengenai terorisme dijelaskan beberapa bentuk ancaman terorisme, yaitu:
a. Bom
Taktik yang paling sering digunakan oleh kelompok teroris adalah
pengeboman. Dalam dekade terakhir ini tercatat 67% dari aksi teror
yang dilaksanakan berhubungan dengan bom.
b. Pembajakan
Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompk teroris selama
periode 1960-1970. Pembajakan terhadap kendaraan yang membawa
41
bahan makanan adalah taktik yang digunakan oleh kelompok
tupamaros di Uruguay untuk mendapatkan kesan Robinhood dan
menhancurkan propaganda dari pemerintah. Tetapi jenis pembajakan
yang lebih populer saat ini adalah pembajakan pesawat terbang
komersil.
c. Pembunuhan
Pembunuhan adalah bentuk aksi terorisme yang tertua dan masih
digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali
telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggung jawab atas
pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini
biasanya adalah pejabat pemerintah, pengusaha, politisi dan aparat
keamanan.
d. Penghadangan
Penghadangan yang telah dipersiapkan jarang sekali gagal. Hal ini
juga berlaku bagi operasi yang dilaksanakan oleh kelompok teroris.
Aksi dan gladi serta dilaksanakan secara tepat. Dalam bentuk operasi
ini waktu dan medan berpihak kepada kelompok teroris.
e. Penculikan
Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus
kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih
42
ditujukan untuk mencuri personil. Penculikan biasanya akan diikuti
oleh tuntutan tebusan berupa uang, atau tuntutan politik lainnya.
f. Penyanderaan
Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme
sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali memiliki pengertian
yang sama. Penculikan biasanya menahan korbannya di tempat yang
tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang.
Berbeda dengan penculikan, penyanderaan biasanya berhadapan
langsung dengan aparat dengan menahan sandera ditempat umum.
Tuntutan penyanderaan biasanya lebih dari sekedar materi. Biasanya
berupa tuntutan politik lebih sering dilemparkan teroris pada kasus
penyanderaan ini.
g. Perampokan
Operasi yang dilaksanakan oleh kelompok teroris adalah sangat mahal.
Untuk mendanai kegiatan mereka teroris merampok bank atau mobil
lapis baja yang membawa uang dalam jumlah besar. Perampokan bank
juga dapat digunakan sebagai ujian bagi program latihan personil baru.
h. Ancaman / Intimidasi
Meupakan suatu usaha, pekerjaan, kegiatan dan tindakan untuk
menakut-nakuti atau mengancam dengan menggunakan kekerasan
terhadap seseorang atau kelompok, didaerah yang dianggap lawan,
43
sehingga sasaran terpaksa menuruti kehendak pengancam untuk tujuan
dan maksud tertentu.11
D. Dampak Ancaman Terorisme
Pasca tumbangnya otoritariasme 1998 aksi terorisme berupa pengeboman
mulai sering terjadi. Serangkaian aksi ini diawali mulai dari kedutaan besar
Filipina dan Malaysia (Agustus 2000), Bursa Efek Jakarta/BEJ (september 2000)
dan sejumlah gereja persis dimalam natal (Desember 2000) dan serangkaian aksi
bom lainnya pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2002 adalah aksi bom yang
paling menyita perhatian masyarakat indonesia, disebut juga bom Bali I. Bom
Bali I ini adalah rangkaian dari 3 aksi pengeboman yang dilakukan di 3 tempat
berbeda oleh para pelaku terorisme. Bom yang meledak di Paddy`s Pub, Sari
Club, dan Kantor Konsulat Amerika Serikat ini tercatat memakan 202 korban
jiwa dan 2009 orang luka-luka atau cedera. Peristiwa ini dianggap sebagai
peristiwa terorisme terparah dalam sejarah indonesia.
Pada dasarnya tujuan dari tindakan terorisme yaitu menimbulkan
perasaan takut dan cemas terhadap korbannya. Secara umum, Abdullah
sumarahadi mengemukakan bahwa terorisme dapat menimbulkan bahaya yang
kompleks, antara lain:
1) Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, tidak aman dan selalu
dihantui oleh kekhawatiran dalam melakukan aktivitas. Kondisi ini dapat
11
Let. Lodewijk Freidrich Paulus, Terorisme, ditpolkom.bappenas.go.id, 2001
44
mengakibatkan terlanggarnya hak-hak individu maupun kelompok dalam
masyarakat.
2) Merusak sendi-sendi politik, karena politik dijadikan sebagai alat atau
sarana untuk melakukan kejahatan oleh pihak tertentu serta kesewenangwenangan oleh penguasa.
3) Kehidupan ekonomi menjadi carut-marut karena sentimen pasar
cenderung mengikuti perilaku dan kejadian politik nasional maupun
internasional. Terjadinya terorisme disuatu wilayah menunjukan bahwa
keamanan suatu wilayah tersebut tidak aman sehigga kepercayaan pasar
menjadi rendah.
4) Terorisme mengakibatkan pengembangan atau pembumian nilai budaya
menjadi menipis karena seolah budaya masyarakat larut dalam suasana
anarkis.
5) Kehidupan agama menjadi berada dalam bayang-bayang kekuasaan dan
ketertindasan. Agama yang idealnya menjadi jalan pembebasan dari
penindasan
justru
keberadaan
terorisme
yang
bermotif
agaman
menjadikan sebaliknya12.
Selain korban jiwa, pemerintah dan masyarakatpun kadang harus
menanggung kerugian dari tindakan terorisme. Bentuk tindakan terorisme
seperti pengeboman dan perampokan akan sangat mahal akibatnya yang
12
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 76-77
45
harus ditanggung oleh pemerintah maupun masyarakat yang terkena
dampak dari aksi terorisme tersebut karena bentuk-bentuk aksi terorisme
tersebut dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar dan luas,
selain itu perampokan juga dapat merampas hak-hak individu dalam
mempertahankan harta bendanya maupun nyawa mereka sendiri yang
mempertahankannya.
BAB IV
ANALISIS PERAN BNPT DALAM PENINDAKAN
ANCAMAN TERORISME
A. Kewenangan
Badan
Nasional
Penanggulangan
Terorisme
dalam
Penindakan Siyono Sebagai Terduga Terorisme.
Terorisme merupakan ancaman yang menimbulkan kerugian yang
besar pada bangsa dan Negara. Untuk menanggulangi semua ancaman
terorisme yang sudah atau akan terjadi, pemerintah dirasa perlu untuk
membentuk suatu badan yang dapat meenyelesaikan masalah terorisme
tersebut.
Terorisme yang mewarnai negeri ini adalah buah dari fanatisme.
Fanatisme lahir dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan
pikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segalah hal ihwal yang
suci dianggap steril, tak pernah terkontaminasi, murni, bahkan ajeg.1
Maraknya ancaman terorisme juga mencerminkan bahwa nilai-nilai
kebhinekaan di negeri ini mulai berkurang. Hal ini memberikan bukti bahwa
pancasila telah kehilangan fungsinya. Padahal lahir dari norma-norma
kebijakan lokal masyarakat bangsa Indonesia yang menjamin rasa kerukunan
beragama dan keguyuban antar suku, ras dan kelompok aliran.
1
Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi.
(Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 67
46
47
Upaya menyelesaikan masalah terorisme ini adalah dengan Pemerintah
melalui kewenangannya membentuk suatu badan yang fokus pada
penanganan terorisme, yaitu BNPT. Pembentukan BNPT merupakan bagian
dari rekomendasi komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dalam rapat kerjanya dengan kementrian coordinator bidang politik , hukum
dan keamanan pada 12 juni 2006 dan 31 agustus 2009 kepada pemerintah
tentang perlunya membentuk suatu badan yang berwenang melakukan tugas
penanggulangan terorisme.2
Kehadiran BNPT merupakan kebutuhan yang mutlak butuhkan pada
saat terorisme muncul dan terus menebar kekerasan. Isu terorisme bukan
hanya
ilusi
belaka
atau
pengalihan
isu
semata.
Terorisme
selalu
memanfaatkan kelemahan Negara dengan mencari peluang disaat Negara
lengah untuk beraksi. Selama sel-sel terorisme masih ada, maka selama itu
pula ancaman terhadap kehidupan umat manusia.
Pembentukan BNPT merupakan Kebijakan Nasional Penanggulangan
Terorisme di Indonesia. Badan ini merupakan Pengembangan dari Desk
Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 20023.
2
Rapat kerja komisi 1 dpr dgn menkopolkam 12 juni dan 31 agustus 2009
3
DKPT dibentuk Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik
48
BNPT memiliki wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan serta
strategi, dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme.4
Dilihat dari sisi bahasa, kata “terorisme” berasal dari kata “to terror”
dalam bahas inggris, dalam bahasa latin kata teroria (pelaku) dan terorisme
(aksi) ini disebut Terrerre, yang berarti “gemetar” atau “menggetarkan”.
Secara sistematik leksikal terror berarti kekacauan, tindak kesewenangwenangan untuk menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, tindak kejam
dan mengancam.5
Sehubungan
dengan
populernya
kasus
meninggalnya
terduga
terorisme Siyono yang meninggal dalam proses penangkapan oleh Densus 88
yang terjadi pada 8 Maret 2016 hingga 11 maret 2016, maka Untuk
mengetahui apa arti terorisme yang sebenernya, penting untuk mengetahui apa
yang menjadi karakteristik dari terorisme itu sendiri. Menurut mantan kepala
BNPT Saud Usman Nasution ciri-ciri terorisme yaitu:
a. Pelaku terorisme memiliki kehidupan cenderung eksklusif.
b. Hanya bergaul dengan kalangannya.
b. Cenderung mengkafirkan orang lain.6
Menurut Paul Wilkinson, Terorisme politis memilik karakteristik sebagai
berikut:
4
Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi.
(Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 74
5
Abdurrahman Pribadi & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, (Jakarta:Abdika
Press. 2009), H. 9
6
www.tribunnews.com/nasional/2015/12/16/ciri-ciri-teroris-versi-bnpt-gemar-mengkafirkanorang-lain-dan-hidupnya-eksklusif, diakses: tgl 22 juni 2016
49
a. Merupakan intimidasi yang memaksa.
b. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai
sarana untuk suatu tujuan tertentu.
c. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang
urat syaraf, yakni "bunuh satu orang menakuti seribu orang".
c. Target teror dipilih.
d. Bekerja secara rahasia.
e. Tujuannya publisitas.
f. Pesan cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara
personal.
g. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras,
misalnya "berjuang demi agama dan kemanusiaan"7.
Terduga terorisme Siyono yang ditangkap pada 8 maret 2016 setelah
menjadi imam jamaah sholat maghrib di Masjid Muniroh, Desa Brengkungan
Pogung, Klaten ini meninggal setelah tiga orang berpakaian sipil tanpa surat
penangkapan membawanya pergi menggunakan mobil. Saat itu menurut
keluarga, kondisi Siyono dalam keadaan sehat dan segar.
Densus 88 dituduh melanggar Hak Asasi Manusia dan menyalahi
prosedur penangkapan, sehingga menyebabkan terduga teroris asal klaten itu
tewas. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan bahwa Siyono yang
memiliki nama samara Afif itu merupakan bagian dari kelompok terror
Jamaah Islamiyah (JI). Beliau menuturkan bahwa “…Dia kelompok JI sudah
lama. Dia itu simpan senjata api…”8
7
Wilkinson, Paul, Terorism an The Liberal State (London:the Macmillan Press Ltd., London,
1977), h.49
8
Badrodin Haiti, Kepala Polisi RI, Wawancara Kompas.com, Jakarta, 30 Maret 2016, berita
diakses pada 20 november 2016 dari http://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/19332751/Ini.
Alasan.Densus.88.Tangkap.Siyono
50
Komisioner Komnas HAM Siane Indriyani mengatakan komisinya
telah mencatat sejumlah kejanggalan pada kasus kematian Siyono yang
ditangkap pada 8 april 2016 lalu. Dia menegaskan bahwa penyebab kematian
Siyono adalah pukulan benda tumpul dibagian dada.
“Terdapat patah tulang iga sebanyak 5 buah kearah dalam dan patah
tulang dada kea rah jantung. Hal inilah yang menyebabkan kematian. Hasil
otopsi juga menunjukan tidak adanya bukti-bukti perlawanan oleh
almarhum”9
Menurut Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan
menjelaskan bahwa Kematian Siyono ini disebabkan oleh Siyono yang
melawan ditengan perjalanan kepada dua anggota Densus 88 yang
menjemputnya. Kepalanya terbentur yang membuatnya pingsan lalu
meninggal di tengah perjalanan.
“Saat penangkapan awalnya Siyono cukup kooperatif dan menuruti
perintah dari anggota. Dalam keadaan diborgol dan ditutup matanya, Siyono
dibawa oleh dua orang anggota Densus 88 untuk mencari lokasi senjata.
Namun, ditengah perjalanan Siyono meminta dibuka penutup mata dan
borgolnya. Setelah itu terjadi perkelahian di dalam mobil. Kata Anton,
untungnya anggota memiliki ilmu bela diri, dan Siyono kepalanya terbentur
9
Siane Indriani, Komisioner Komnas HAM, Wawancara Kabar24.com, Jakarta 14 maret
2016, berita diakses pada 20 november dari http://kabar24.bisnis.com/read/20160414/16/537798/inikronologi-penangkapan-terduga-teroris-siyono-di-klaten
51
lalu pingsan. Siyono yang sempat pingsan sempat dibawa kerumah sakit,
namun meninggal dunia di tengah perjalanan.”10
Banyak pihak yang meragukan kronologis tersebut. Densus 88 dituduh
melanggar Hak Asasi Manusia dan menyalahi prosedur penangkapan,
sehingga menyebabkan terduga teroris asal klaten itu tewas. Karena, selama
ini penanganan terorisme selalu dilakukan oleh banyak petugas. Dalam SOP
Densus 88, pengawalan dilakukan minimal oleh dua orang.
Hak Kewenangan BNPT dalam penindakan Siyono sebagai terduga
terorisme bisa kita lihat melalui tugas pokok BNPT. Berdasarkan Pasal 2 ayat
1 Perpres Nomor 46 tahun 2010 BNPT memiliki tugas Pokok Sebagai
berikut:11
1. Menyusun kebijakan, strategi dan program nasional di bidang
penanggulangan terorrisme.
2. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam
melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme.
3. Membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsurunsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi,
dan kewenangan masing-masing.
Dari hasil wawancara pribadi penulis dengan Letnan Kolonel
Sujatmiko Sebagai Kasubdit Kewaspadaan dan kontrapropaganda dari Bidang
Pencegahan, perlindungan dan deradikalisasi. Beliau ingin menjelaskan
10
Anton Charliyan, Kadiv Humas Mabes Polri, Wawancara FaktaPers.com. Klaten, 4 April
2016, berita diakses pada 20 November 2016 dari http://www.faktapers.com/kronologi-kematianterduga-teroris-siyono-yang-masih-menjadi-misteri.html
11
Pasal 2 ayat 1 prepres nomor 46 tahun 2010
52
bahwa telah banyak terdapat kurang paham di masyarakat yang mengira
bahwa BNPT itu sama dengan Densus 88.
“Dapat saya sampaikan disini bahwa, BNPT itu bukanlah densus.
Densus 88 tidak ada kaitannya dengan BNPT. Secara struktur keorganisasian
tidak ada hubungannya sama sekali.”12
Letnan Kolonel Sujatmiko juga menegaskan bahwa yang menjadi
wewenang BNPT dalam penindakan Terorisme yaitu penindakan yang
sifatnya hanya menkoordinasikan kepada instansi terkait sesuai dengan tugas,
fungsi dan kewenanganya masing-masing.
“Penindakan yang kita laksanakan disini yaitu penindakan yang
sifatnya mengkordinasikan sebetulnya, tidak melatih. Kita bertanggung jawab
mengkoordinasikan untuk membentuk suatu kondisi kesiapsiagaan yang
tinggi. Mengkondisikan, (contoh hei polri, sudah siap belum nih? Untuk
pasukannya bagaimana?) begitu juga pada TNI. Dan kemudian ada hal-hal
yang khusus kita juga menyiapkan sarana latihan. Pada saat latihan juga
mereka tetap menggunakan Standar Opreasional Prosedur masing-masing
satuan. Karena satuan itu yang melaksanakan fungsi pembinaan. Contoh SOP
menembak atau SOP pertempuran jarak dekat, setiap satuan mempunyai SOP
yang mungkin antara TNI dan Polri berbeda. Melaksanakan latihan disini
(BNPT) membawa SOP nya masing2. Artinya BNPT tidak melatih tetapi
12
Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang
Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016
Pencegahan,
53
hanya mengkordinasikan (Contoh
:
ayo
siap, ayolatihan, ini
ada
perkembangan seperti ini ayo kita selesaikan, perintah presiden ini
selesaikan.).”13
Selain itu adapun permasalahan tentang penetapan Siyono sebagai
Terduga Terorisme. Letnan Kolonel Sujatmiko menegaskan bahwa untuk
penetapan status Siyono sebagai terduga terorisme, itu bukanlah wewenang
dari BNPT. Menurutnya, penetapan sebagai terduga terduga terorisme ini
sudah melalui proses hukum.
“Penetapan terduga terorisme ini kan sudah proses hukum, proses
hukum kan sudah ada lembaga hukumnya dalam hal ini kepolisian.”14
Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan salah satu staff bidang
penindakan, Bapak Trigus. Ketika penulis bertanya kepada beliau dengan
menanyakan proses penetapan Siyono sebagai terduga terorisme itu seperti
apa, beliau membantah bahwa wewenang BNPT. Dia menyatakan dengan
tegas bahwa BNPT dalam hal ini hanya sebagai badan kordinasi.
“Itu bukan BNPT, disini hanya badan kordinasi. Yang menetapkan
sebagai terduga yaitu Densus 88, kan mereka yang tau dilapangan seperti apa.
Jadi sebelum ditangkap dilakukan pengintaian terhadap terduga teroris
tersebut oleh Densus 88. Jadi yang member tugas penangkapan itu dari
13
Pencegahan,
14
Pencegahan,
Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang
Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016
Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang
Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016
54
Densus 88 sendiri. Mereka sendiri yang menentukan ini layak atau tidak untuk
ditangkap, lalu setiap perkembangannya diberitahu ke BNPT.”15
Begitu juga masalah penangkapan Siyono. BNPT melalui Letnan
Kolonel Sujatmiko membantah bahwa yang mempunyai keputusan ataupun
yang mempunyai Standar Operasional Prosedur tersebut bukanlah BNPT,
melainkan pihak Densus 88 sendiri.
“Jadi yang memiliki Standar Operasional Prosedur penangkapan
tersebut adalah Densus 88. Penidakan secara real di lapangan, menangkap
teroris a, b ataupun c itu ya sesuai tugasnya masing-masing. Tapi tetap, BNPT
yang melaksanakan koordinasi.”
Sebagai staff penindakan BNPT Bapak Trigus juga menjelaskan
bahwa yang mempunya SOP penangkapan tersebut ialah pihak Densus 88
karena pihak densuslah yang menangkap mereka. Pihak BNPT hanya
menerima laporan selama pengintaian, penangkapan dan segala tindakan
hukum yang dilakukan pihak Densus sebagai bentuk koordinasi.
“Yang punya SOP penangkapan, penindakan terorisme ini adalah
Densus 88 karna BNPT hanya badan koordinasi, jadi Densus yang menindak
mereka. Setelah penindakan Densus harus melaporkan ke BNPT bahwa telah
15
Trigus, Staff Bidang Penindakan, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016
55
melakukan penangkapan teroris atas nama siapa, lokasi dimana, waktu dan
jam, Seperti itu.”16
Setiap tindakan hukum Densus 88 terhadap penindakan terorisme
haruslah berkordinasi dengan pihak BNPT. Mulai dari sebelum ingin
melakukan pengintaian, setelah melakukan pengintaian, ingin melakukan
penangkapan, ataupun setelah terjadi penangkapan sesuai dengan wewenang
BNPT yaitu koordinator dalam bidang pencegahan terorisme.
Berdasarkan pemantauan dan investigasi yang dilakukan KontraS,
ternyata bukan hanya kasus siyono saja yang telah terjadi pelanggaran HAM.
Alih-alih tindak pidana terorisme menurun, pelanggaran ham justru menjadijadi, misalkan pada kurun 2011 hingga 2013, KontraS mencatat :17
Kasus
1 Densus menembak seorang warga sipil
yang bernama Nur Iman di Sukoharjo
Jawa Tengah, dimana pada saat itu
Densus 88 hendak ,mengejar tersangka
teroris yang bernama Sigit Qordhowi
dan Hendro Yunianto.
2
Dugaan Pelanggaran Ham
Menembak seorang warga sipil
yang tidak bersalah sehingga
hilangnya hak untuk hidup
seseorang.
Densus salah menangkap sasaran, Salah menangkap sasaran yang
seorang warga sipil bernama Wahono menyebabkan hilang nya hak
menjadi korban salah tangkap, hingga kebebasan pribadi seseorang.
mengakibatkan batal perkawinanya di
Lampung.
16
Trigus, Staff Bidang Penindakan, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016
17
Artikel Data Investigasi KontraS: Potret Buram Densus 88 Anti-Teror Dalam Bingkai Hak
Asasi Manusia. Jakarta, 2016
56
3
Densus menembak dua orang yang Menghilangkan nyawa dua
identitasnya tidak diketahui hingga orang tanpa tahu identitas yang
tewas, di Cawang Jakarta Timur.
bersangkutan
4
Densus
menangkap
dua
orang
masyarakat sipil yang tidak bersalah di
Tulung Agung, Jawa Timur, masingmasing adalah Mugi Hartanto, seorang
guru sekolah dasar, dan Sapari, seorang
karyawan swasta, keduanya sempat
ditahan selama tujuh hari berturut-turut,
sebelum akhirnya dibebaskan karena
tidak cukup bukti.
Menangkap
dua
orang
masyarakat sipil tanpa cukup
bukti yang mengakibatkan
hilangnya
hak
kebebasan
pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama.
5
Densus melakukan penyiksaan dan
perbuatan tidak manusiawi terhadap
orang yang dianggap teroris, di Poso
Sulawesi Tengah. Aksi ini kemudia
ramai di perbincangkan, setelah muncul
dalam video youtube yang berdurasi
sekitar 13 menit.
Penyiksaan terhadap orang
yang di anggap teroris yang
menghilangkan hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak
diperbudak.
Dalam kasus meninggalnya terduga terorisme Siyono ini, Densus 88
sudah melanggar Hak Asasi Manusia sesuai dengan Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan menyalahi prosedur
penangkapan. Sebagai contoh Hak Asasi Manusia yang dilanggar oleh Densus
88 dalam meninggalnya Siyono yaitu pada pasal 4 UU Hak asasi Manusia
menjelaskan bahwa Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi
Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
57
Menurut penulis ini disebabkan antara lain karena luasnya kewenangan
Densus
88
khususnya
dalam
menanggulangi
kejahatan
terorisme.
Kewenangan itu meliputi operasi pengintaian (intelijen), investigasi
(penyelidikan),
penindakan
(pasukan
pemukul),
sampai
penyidikan
(penegakan hukum).18
Menurut KontraS, masalah dari penegakan hukum untuk sektor anti
terorisme biasanya adalah aparat yang sudah dibekali kemampuan untuk
melumpuhkan kelompok-kelompok teroris itu langsung menggunakan
tindakan melumpuhkan dan tidak ada semacam evaluasi sejauh mana
kemudian tindakan-tindakan yang melumpuhkan itu tidak berimplikasi pada
tercabutnya hak-hak dari orang yg baru diduga bersalah atau diduga terlibat
pada kejahatan terorisme19.
Seharusnya bnpt bisa melakukan fungsinya secara lebih baik bahwa
sebenarnya bnpt memiliki fungsi koordinasi terhadap penindakan terorisme
dengan memastikan bahwa setiap penindakan yang dilakukan Densus 88
sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang lain, termasuk Hak
Asasi Manusia.
18
Galih Priatmodjo, Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap Kesatuan Elite
“Pasukan Hantu” Anti Teror. Narasi, (Jakarta: 2010), h. 47
19
Puri Kencana Putri, Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 28 September 2016
58
B. Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam Pencegahan
Ancaman Tindak Terorisme
Dinamika terorisme di Indonesia selalu mengalami perubahan pola
yang dinamis baik dalam bentuk modus, pola propaganda, rekruitmen maupun
jaringannya. Terorisme seakan tidak pernah mati, dan apa yang paling
berbahaya dari terorisme bukan sekedar panggung aksi kekerasan yang
diperagakan, tetapi paham dan ideologi yang mampu merubah pandangan dan
pola piker masyarakat.
Salah satu kelompok paling rentan dari infiltrasi paham dan ideologi
radikal terorisme adalah kalangan generasi muda. Hal ini disebabkan di
berbagai ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, generasi muda makin
memikat, lantaran tuntutan perannya bagi bangsa dan Negara. Tidak
berlebihan bila mengingat bahwa anak muda sebagai harapan bagi generasi
mendatang yang akan memainkan peran bagi bangsa dan Negara.20
Menurut Letnan Kolonel Sujatmiko Sebagai Kasubdit Kewaspadaan
dan
kontrapropaganda
dari
Bidang
Pencegahan,
perlindungan
dan
deradikalisasi, upaya pencegahan yang BNPT lakukan yaitu dengan system
online dan offline. Pencegahan yang sifatnya offline oleh BNPT ini seperti
seminar, workshop, ataupun dialog langsung bersama BNPT yang khusus
ditujukan kepada generasi muda seperti mahasiswa.
20
BNPT. Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan,
& deradikalisasi,(Sentul:2015), h. 1
59
Selain itu yang dimaksud pencegahan system online yaitu seperti
workshop yang dilakukan pihak BNPT dimedia sosial dengan menggaet para
penggiat dunia maya dengan cara memeberi mereka gambaran bagaimana
kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar. Kemudian, mereka diarahkan
secara lugas dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami bagi generasi muda
untuk melawan paham kekerasan didunia maya.21
Pada awalnya pemikiran hanya terfokuskan pada pemberantasan
terorisme melalui pendekatan militer, tetapi pada kenyataanya hal itu malah
memberikan hasil yang tidak maksimal. Karna pada kenyataanya apabila
menggunakan pendekatan militer makin membuat kelompok terorisme ini
semakin militan.
Maka dari itu dipilihlah pendekatan yang disebut deradikalisasi.
Munculnya istilah deradikalisasi disebabkan pertama, karena tumbuh
suburnya paham radikal yang mengatasnamakan agama yang kemudia naik
kelas menjadi teroris serta memnghancurkan hidup dan kehidupan,
memporakporandakan tatanan dan tuntunan beragama, serta masyarakat dan
bernegara.
Kedua, Upaya mengajak masyarakat yang radikal terutama terpidana
teroris, mantan napi teroris, keluarga dan jaringannya agar kembali kejalan
yang benar berdasarkan aturan agama, moral, dan etika yang senapas dengan
21
Sujatmiko, Kasubdit Kewaspadaan dan KontraPropaganda Bidang
Perlindungan dan Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016
Pencegahan,
60
esensi ajaran semua agama yang sangat menghargai keragaman dan
perbedaan.
Deradikalisasi, merupakan segala upaya untuk mentransformasi dari
keyakinan atau ideologi radikal menajadi tidak radikal dengan pendekatan
multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainya) bagi orang
yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih
pada upaya melakukan perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau
keyakinan seseorang22.
Deradikalisasi
adalah
bagian
dari
strategi
kontra
terorisme.
Deradikalisasi dipahami sebagai sebuah cara merubah ideologi kelompok
teroris secara drastis. Perubahan drastis ini berwujud bukan hanya individu
diharapkan terbebas dari tindakan kekerasan, namun juga melepaskan diri dari
kelompok radikal yang menaunginya selama ini.
Menurut Irjen. Pol. Dr. Drs. Petrus Reinhard Golose, M.M. yang
menjabat sebagai Deputi Bidang Kerja Sama Internasional BNPT,
Deradikalisasi adalah segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal
melalui pendekatan interdispliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial
22
BNPT. Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, &
deradikalisasi, (Sentul : 2016), h. 23
61
budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal atau prokekerasan.23
Deradikalisasi yang digunakan BNPT sebagai salah program
pencegahan terorisme ini ditujukan terhadap kelompok inti dan militant
terorisme dengan
melaksanakan
kegiatann,
penangkalan,
rehabilitasi,
deidelogisasi
merupakan
reedukasi, dan resosialisasi.
Prorgram
penangkalan
ideologi
atau
pendekatan kognitif program deradikalisasi dilakukan dengan menghentikan
proses pemahaman dan penyebaran ideologi islam radikal yang dimiliki oleh
kelompok teroris. Program ini sering disebut sebagai deideologisasi. Program
ini menjadi kunci utama dalam penyadaran atau proses reorientasi pemikiran
teroris agar dapat kembali kepada pemahaman islam yang hakiki.24
Pada dasarnya, program rehabilitasi merupakan upaya sistematis
melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada
orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran serta melakukan
pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada napi teroris dan
keluarganya. Program rehabilitasi ini dilakukan kepada pelaku terorisme yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh pengadilan dan telah
23
Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi.
(Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 174
24
Agus SB, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi.
(Jakarta: Daulat Press, 2014), hal.114.
62
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) sebagai narapidana tindak
pidana terorisme.
Reedukasi merupakan kelanjutan dari program rehabilitasi. Reedukasi
dimaksudkan sebagai upaya memberikan pemahaman ulang terhadap napi
teroris, mantan napi teroris, dan keluarganya tentang ajaran agama yang
damai.
Dalam reedukasi dilakukan transformasi pemikiran, pemahaman, dan
sikap, yaitu memberikan pencerahan tentang ajaran agama dan kebangsaan
yang mengusung nilai-nilai kedamaian, toleransi, dan sikap terbuka terhadap
sejumlah perbedaan yang ada dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan
berbangsa.
Program resosialisasi dimaksudkan sebagai keseluruhan upaya
mengembalikan napi teroris atau mantan napi teroris dan keluarganya agar
dapat hidup dan berinteraksi dengan masyarakat secara baik. Resosialisasi ini
ditujukan untuk merubah pemahaman dan sikap radikal teroris, agar dapat
kembali menjadi warga yang baik.
Sederhananya, deradikalisasi ditujukan untuk mengubah seseorang
yang semula radikal menjadi tidak lagi radikal, termasuk diantaranya adalah
menjauhkan mereka dari kelompok radikal tempar mereka bernaung. Program
deradikalisasi ini menjadi lebih banyak berbentuk "Soft approach", baik
63
kepada masyarakat secara luas, kelompok tertentu maupun kepada individuindividu tertentu yang masuk dalam jejaring kelompok radikal.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku dalam penindakan tindak pidana
terorisme adalah wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan
serta strategi, dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan
terorisme. Selain itu, Wewenang Tersebut juga tertuang dalam tugas
pokok BNPT yang harus dilaksanakan dalam menjalankan tugas
Negara Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor 46 Tahun 2010 di
mana tugas pokok BNPT di sini menyusun kebijakan, strategi di
bidang
terorisme,
mengkoordinasi
instansi-intansi
dalam
melaksanakan kebijakan di bidang terorisme. Penindakan yang
dilaksanakan BNPT sifatnya hanya mengkoordinasikan dengan
instansi-instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenanganya. Selain itu juga dalam kenyataanya BNPT belum
melaksanakan kewenanganya secara optimal dengan dibuktikan
adanya pelanggaran ham dalam kasus Siyono tersebut.
b. Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam pencegahan
ancaman terorisme adalah BNPT telah melakukan pencegahan
melalui system offline dan online yang ditujukan kepada generasi
64
65
muda dengan memberi gambaran bagaimana kehidupan berbangsa
dan bernegara. Selain itu juga Program deradikalisasi yang mana ini
juga bagian dari program pencegahan. Deradikalisasi ini bertujuan
untuk merubah ideologi kelompok teroris secara drastic, yang semula
radikal mejadi tidak lagi radikal.
B. Saran
1.
Presiden dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan
Nasional Penanggulangan terorisme dirasa masih kurang dalam
menjelaskan sejauh apa kewenangan BNPT dalam penindakan
terorisme itu sendiri.
2.
BNPT seharusnya bisa melakukan fungsinya secara lebih baik bahwa
sebenarnya bnpt memiliki fungsi koordinasi terhadap penindakan
terorisme dengan memastikan bahwa setiap penindakan yang
dilakukan Densus 88 sudah sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang lain, termasuk Hak Asasi Manusia.
3.
Presiden dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan
Nasional Penanggulangan terorisme seharusnya juga menjelaskan
tentang apa saja kewenangan BNPT dalam melakukan Pencegahan
tindak pidana terorisme yang sampai sekarang belum tertuang di
Perpres Nomor 46 Tahun 2010 sebagai dasar hukum BNPT itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abu Hayyan, dan Abdurrahman Pribadi. Membongkar Jaringan
Teroris, Jakarta:Abdika Press. 2009
Amin, Ma'ruf. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta:
Erlangga, 2011
Apeldorn, LJ. Von. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1980
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta:
Diterbitkan kerja sama Mahkamah Konstitusi dengan pusat
Studi HTN FH-UI, 2004
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama, 1991
Bungin, M. Burhan. Penelitian Kualitatfi ,Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007
Colarik, Andrew M. Cyber Terrorism United States of America, Idea
Group Publishing, 2006
Djelantik, Sukawarsini. Terorisme Tinjauan Psiko-Politis,
Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Nasional,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010
E. Anderson, James. Public Policy Making, Holt, Rinehart and
winston, New York, 1984
Gary J Schmith, dan Abram N Shulsky.
Silent Warfare;
Understanding the World of Intelligence. Virginia:
Brasseys’sInc, 2002
Hardiman, F. Budi dkk. Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi,
Jakarta: Imparsial, 2005
66
67
Hendropriyono, A.M. Dari Terorisme Sampai Konflik TNI-Polri,
Renungan dan Refleksi Menjaga Keutuhan NKRI. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2013
Hendropriyono, A.M. Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia,
Jakarta: Kompas, 2013
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing, 2008
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Mbai, Ansyaad. Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, Jakarta:
AS Production Indonesia, 2013
Priatmodjo, Galih. Densus 88 The Undercover Squad: Mengungkap
Kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror. Narasi, Jakarta:
2010
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: Armico, 1985
SB, Agus. Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan,
dan Deradikalisasi. Jakarta: Daulat Press, 2014
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press,
1986
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama , 1990
Syafa'at, Muchamad Ali. Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi
Kebebasan dalam "terrorism, definisi, aksu dan regulasi",
Jakarta: Imparsial, 2003
Wahid, Abdul. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan
Hukum, Bandung : PT. Refika Aditama, 2004,
Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012
68
Wilkinson, Paul, Terorism an The Libreal State,
Macmillan Press Ltd., London, 1977
London: the
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitan Kuantitatif, Kualitatif, dan
Gabungan, Jakarta: Kencana, 2014
Perundang-undangan
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, Tentang Pembentukan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia
Karya Ilmiah
BNPT. Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme, Deputi Bidang
Pencegahan, Perlindungan, & deradikalisasi, Sentul: 2015
BNPT.
Ensiklopedi Pencegahan Terorisme, Deputi Bidang
Pencegahan, Perlindungan, & deradikalisasi, Sentul : 2016
BNPT. Kebijakan dan Strategi Pencegahan Terorisme, Sentul: BNPT
2013.
BNPT. Modul Perkembangan Terorisme dan Pencegahan Terorisme
di Daerah. Sentul: BNPT 2013.
BNPT. Perkembangan Terorisme di Indonesia. Sentul: BNPT, 2013
Brigjen Pol (purn) Ivan TH Sihombing, dan Rhousdy Soeriatmadna.
Kiprah DKPT Dalam Situasi Kontroversi Dan Keterbatasan,
2009
Let. Lodewijk Freidrich Paulus, “Terorisme” Jurnal
ditpolkom.bappenas. 2001.
Politik
69
Media Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_negara#cite_ref-1, diakses: tgl
22 juni 2016
http://kabar24.bisnis.com/read/20160414/16/537798/ini-kronologipenangkapan-terduga-teroris-siyono-di-klaten. diakses pada 20
november 2016
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/19332751/Ini.Alasan.De
nsus.88.Tangkap.Siyono. diakses pada 20 november 2016
http://www.faktapers.com/kronologi-kematian-terduga-teroris-siyonoyang-masih-menjadi-misteri.html. berita diakses pada 20
November 2016
www.antarasumbar.com/berita/international/d/21/316797/pakistannyatakan-teroris-adalah-musuh-negara.html/.
Diakses
15
november 2016
www.bnpt.go.id/profil.php, diakses tanggal 6 juni 2016
www.ramalanintelijen.net/?p=6514. Diakses 8 juni 2016
www.tribunnews.com/nasional/2015/12/16/ciri-ciri-teroris-versi-bnptgemar-mengkafirkan-orang-lain-dan-hidupnya-eksklusif.
diakses pada 22 juni 2016
Wawancara
Trigus, Staff Bidang Penindakan, Wawancara Pribadi, Sentul,
23 Agustus 2016
Sujatmiko, Letnan Kolonel. Kasubdit Kewaspadaan dan
KontraPropaganda
Bidang
Pencegahan,
Perlindungan
dan
Deradikalisasi, Wawancara Pribadi, Sentul, 23 Agustus 2016
70
Puri Kencana Putri, Wakil Koordinator Bidang Strategi dan
Mobilisasi KontraS, Wawancara Pribadi, Jakarta, 28 September 2016
LAMPIRAN
71
72
73
Download