1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hasil penelitian multisenter di unit rawat jalan di 14 rumah sakit pendidikan
seluruh Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok studi nyeri Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia pada bulan Mei 2002, melaporkan adanya 4.456
kasus nyeri, dengan jumlah penderita laki-laki 2.200 orang dan perempuan
sebanyak 2.256 orang. Nyeri bukan hanya gejala pasif dari sebuah penyakit, tetapi
lebih merupakan agretifitas penyakit itu sendiri yang dapat menyebabkan berbagai
perubahan di otak yang mendasari nyeri kronik (Meliala, 2004).
Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingkatkan dan melindungi dan
sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tidak
mengenakkan, sebagian menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya.
Pada beberapa penyakit, misalnya pada tumor ganas dalam fase akhir,
meringankan nyeri kadang-kadang merupakan satu-satunya tindakan yang
berharga (Mutschler, 1991).
Pembiayan dan nilai kerugian akibat nyeri punggung di Amerika Serikat
mencapai 2.585 milyar dolar per tahun dan Inggris sekitar 6 milyar pounsterling
per tahun (Meliala, 2004). Kerugian-kerugian ini sebagian besar disebabkan oleh
berkurangnya jam kerja dan meningkatnya biaya pengobatan, sehingga secara
langsung memberatkan perekonomian suatu negara. Jadi nyeri ternyata dapat
1
2
menjadikan individu berubah secara fisiologis, psikologis bahkan secara sosial
ekonomi. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa obat pereda nyeri sangat
dibutuhkan oleh masyarakat dunia, sehingga penemuan-penemuan senyawa baru
sebagai obat pereda nyeri sampai saat ini masih terus dilakukan.
Analgetika merupakan suatu senyawa yang digunakan untuk mengurangi
atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay dan Rahardja,
2002). Obat-obat analgetik dan antiinflamasi non steroid (AINS) adalah obat yang
paling sering diresepkan oleh dokter. Penggunaan obat-obat ini makin jelas
meningkat, pada tahun 1985 diperkirakan 30 juta pasien di dunia menggunakan
obat-obat tersebut (Rochmad, 2002).
Kurkumin merupakan senyawa alam yang berasal dari tanaman Curcuma
longa L., Curcuma domestika Val, maupun Curcuma xanthorrhiza Roxb., dari
familia Zingiberaceae. Kunyit telah banyak digunakan oleh masyarakat sebagai
obat tradisional. Dari hasil penelitian telah banyak diketahui aktivitas dari
kurkumin, antara lain sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri dan
antikanker (Majeed et al., 1995, Tonnasen et al., 1987).
Dari hasil penelitian Sardjiman (2000), Gamavuton-0 (GVT-0) yang
merupakan senyawa analog kurkumin dilaporkan bersifat lebih stabil dibanding
kurkumin dan memiliki daya antiinflamasi pada tikus wistar yang diinduksi
karagenin dengan ED50 36,6 mg/kgBB (p.o), lebih poten daripada fenilbutason
(ED50 = 58,8 mg/Kg BB p.o) dan sebanding dengan kurkumin (ED50 = 36
mg/KgBB, p.o).
Garam natrium dan kalium dari kurkumin pernah dilaporkan memiliki
3
aktivitas sebagai anti radang dan penghilang rasa sakit yang lebih poten
dibandingkan kurkumin (Supardjan dkk., 2013). Sebagai garam, baik natrium
maupun garam kalium dari kurkumin memiliki kelebihan lain yaitu sangat larut di
dalam air, sehingga dapat dibuat sediaan cair yang stabil. Sebagai garam dari
analog kurkumin, garam kalium dari 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on
(garam kalium mono GVT-0, garam KMGVT-0) diduga memiliki aktivitas
sebagai anti radang dan penghilang rasa sakit yang poten dan diharapkan lebih
poten dan memiliki kelarutan yang lebih baik dalam air, baik dibandingkan
dengan kurkumin maupun parasetamol (Supardjan dkk., 2013).
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap senyawa garam
KMGVT-0 secara in vivo untuk membuktikan bahwa senyawa ini memiliki
potensi daya analgetik yang poten melalui parameter nilai ED50. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan pengembangan senyawa
KMGVT-0 sebagai obat analgetik baru.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Apakah senyawa KMGVT-0 memiliki efek analgetik pada mencit jantan galur
BALB/C yang diinduksi asam asetat?
2. Bagaimana daya analgetik dan berapa nilai ED50 pada senyawa KMGVT-0?
4
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui adanya efek analgetik senyawa KMGVT-0 pada mencit jantan galur
BALB/C yang diinduksi asam asetat.
2. Mengetahui potensi daya analgetik senyawa KMGVT-0 dibandingkan dengan
parasetamol yang dinyatakan dalam nilai ED50.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara umum memberikan informasi efek analgetik senyawa KMGVT-0.
2. Memberikan informasi nilai ED50 senyawa KMGVT-0.
3. Memberikan data praklinik yang menjadi dasar penelitian selanjutnya pada
pengembangan kandidat obat baru KMGVT-0 sebagai analgetik.
E. Tinjauan Pustaka
1. Patofisiologi Nyeri
Nyeri adalah suatu mekanisme protektif pada tubuh. Nyeri timbul bilamana
jaringan sedang tertusuk (Guyton, 1994). Nyeri timbul jika rangsang mekanik,
termal, kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang
nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang
disebut senyawa nyeri (Mutschler, 1991). Menurut Zullies (2011), berdasarkan
lamanya nyeri, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan kronis, yang berbeda
cukup signifikan.
5
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri dengan durasi sampai 7 hari yang biasanya terjadi
secara tiba-tiba. Penyebabnya mungkin diketahui atau tidak. Gejala dapat
berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari, sampai satu minggu dan biasanya
dihubungkan dengan luka jaringan, inflamasi, suatu prosedur yang berhubungan
dengan pembedahan, proses kelahiran bayi, atau suatu gangguan penyakit yang
singkat, dan bisa juga diikuti dengan kecemasan atau tekanan emosional.
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri dengan durasi lebih lama, bahkan bisa berbulanbulan atau bertahun-tahun, dan sering dianggap sebagai penyakit itu sendiri. Nyeri
ini bisa menjadi memburuk jika ada faktor lingkungan dan psikologis yang
mempengaruhi. Nyeri kronis umumnya tidak mempan terhadap pengobatan, dan
hal ini bisa menyebabkan gangguan yang berat bagi pasien. Pada beberapa kasus,
dapat terjadi serangan nyeri akut pada problem nyeri kronis.
Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi menjadi nosiseptif dan neuropatik.
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulasi langsung pada
reseptor nyeri (nosiseptor) oleh rangsang baik secara mekanis, kimia atau panas.
Nyeri nosiseptif dibedakan lagi menjadi nyeri somatik dan visceral (Mycek dkk.,
2001).
Nyeri somatik masih dibedakan menjadi nyeri permukaan dan nyeri
dalam. Apabila rangsang bertempat pada kulit maka rasa yang terjadi disebut
nyeri permukaan, sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang dan
jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri dalaman (visceral) atau nyeri perut ini
terjadi antara lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah
6
kurang dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1991), sedangkan nyeri
neuropatik yaitu nyeri yang mengimplikasikan adanya cedera pada struktur saraf,
yang menyebabkan fungsi sistem saraf menyimpang, baik pusat maupun perifer
(Mycek dkk., 2001).
Dalam penjalaran nyeri pada sistem saraf pusat, sinyal nyeri tajam yang
cepat dirangsang oleh stimuli mekanik atau suhu, sinyal ini dijalarkan melalui
saraf perifer ke medulla spinalis oleh serabut-serabut kecil tipe Aδ pada kecepatan
penjalaran 6 sampai 30 m/detik. Sebaliknya, tipe rasa nyeri lambat khususnya
distimulasi nyeri tipe kimiawi tetapi juga oleh stimuli mekanik dan suhu yang
menetap, nyeri lambat kronik ini oleh serabut tipe C dengan kecepatan penjalaran
0,5 sampai 2 m/detik. Karena sistem persarafan rasa nyeri ini bersifat rangkap,
maka stimulus nyeri yang hebat dan datangnya mendadak akan menimbulkan
sensasi nyeri yang sifatnya “rangkap”. Rasa nyeri tajam dijalarkan ke otak oleh
jaras serabut Aδ, yang selanjutnya akan diikuti oleh sedetik atau lebih rassa nyeri
lambat yang dijalarkan oleh jaras serabut C. Rasa nyeri tajam dan cepat akan
memberitahu penderita adanya suatu kerusakan dan, karena itu, membuat
penderita untuk segera bereaksi memindahkan dirinya dari stimulus tadi.
Sebaliknya, nyeri lambat cenderung menjadi bertambah hebat dari waktu ke
waktu. Sensasi ini akan menyebabkan seseorang menderita rasa nyeri yang tak
tertahankan yang sifatnya terus menerus dan lama (Guyton, 1994).
7
Noksius
Kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme
Pembebasan H+ (pH < 6),
K+ (>20 mmol/L),
Asetilkolin, Serotinin,
Histamin
Pembentukan
Kinin
(bradikinin)
Prostaglandin
Sensititasi
reseptor
nyeri
Nyeri Pertama
Nyeri
Lama
Gambar 1. Mediator nyeri yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri
setelah kerusakan jaringan (Mutschler, 1991).
Rangsang nyeri yang cukup untuk menimbulkan rasa nyeri ialah kerusakan
jaringan atau gangguan metabolism jaringan. Di sini senyawa tubuh dengan
sendirinya dibebaskan dari sel-sel yang rusak, yang disebut zat nyeri (mediator
nyeri), yang menyebabkan perangsangan reseptor nyeri. Ion hidrogen termasuk
zat nyeri akibat peningkatan pelepasan H+. Ion kalium yang keluar pada
konsentrasi > 20 mmol/liter akan menyebabkan nyeri. Histamin pada konsentrasi
tinggi (10-8 g/L) terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah
dapat mensensibilisasi reseptor nyeri, sedangkan pada konsentrasi tinggi,
asetilkolin berperan sebagai zat nyeri itu sendiri. Serotonin merupakan zat nyeri
yang paling kuat dari kelompok transmiter. Prostaglandin yang dibentuk lebih
8
banyak dari peristiwa nyeri, mensensibilisasi reseptor nyeri dan menjadi penentu
nyeri lama (Mutschler, 1991).
Potensial aksi yang terbentuk pada reseptor nyeri diteruskan melalui serabut
aferen ke dalam akar dorsal sumsum tulang belakang. Di tempat ini tidak hanya
terjadi pertemuan serabut aferen yang impulsnya tumpang tindih. Namun, juga
terjadi refleks somatik, misalnya menarik tangan pada waktu tangan tersentuh
benda panas. Serabut saraf yang berakhir pada daerah formatio reticularis akan
menimbulkan reaksi vegetatif, antara lain penurunan tekanan darah dan penurunan
keringat. Tempat kontak lain yg juga penting adalah thalamus opticus, disana
rangsang tidak hanya diteruskan menuju ke tempat lokalisasi nyeri, tetapi juga
diteruskan ke sistem limbik. Sistem limbik terlibat pada penilaian emosional
nyeri, sedangkan pada korteks otak akan dihasilkan reaksi perlindungan
menghindar yang terkoordinasi. Selain sistem penghantar nyeri, terdapat pula
sistem penghambat nyeri endogen yang letaknya dalam batang otak dan sumsum
tulang belakang. Kerjanya adalah mempersulit penerusan impuls nyeri sehingga
mampu menurunkan rasa nyeri. Sistem ini menjelaskan mengapa nyeri dalam
situasi tekanan tidak terasa awalnya dan baru disadari setelah berhentinya
ketegangan. Sistem penghambatan nyeri endogen juga mempunyai fungsi
menekan lumpuhnya reaksi nyeri dalam situasi yang membutuhkan penanganan
medis, seperti kecelakaan lalu lintas (Mutschler, 1991).
Nyeri akan menyebabkan reaksi refleks motorik dan reaksi psikis. Beberapa
kerja motorik timbul secara refleks dari medula spinalis karena impuls nyeri yang
memasuki subs grisea medula spinalis dapat langsung memulai refleks penarikan
9
diri yang menjauhkan tubuh atau bagian tubuh dari rangsang berbahaya (Setiasih,
2003). Reaksi refleks motorik yang dirangsang oleh nyeri ini bertujuan untuk
menghilangkan rangsang yang menyakitkan tersebut atau disebut sebagai
mekanisme bentuk melindungi diri agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut,
sedangkan reaksi psikis meliputi sedih, ansietas, menangis, depresi, dan mual.
Reaksi2 ini sangat bervariasi antara satu individu dgn individu lain (Guyton,
1994).
2. Analgetik
Analgetika adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay dan Rahadja, 2002). Berdasarkan potensi
kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua
kelompok (Mutschler, 1991) sebagai berikut :
a. Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalang nyeri yang kuat sekali dengan titik
kerja yang terletak di sistem saraf pusat. Mereka umumnya mengurangi kesadaran
(sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia).
Lagipula mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi), serta ketergantungan
fisik dan psikis (“ketagihan, adiksi”) dengan gejala-gejala abstinensi bila
pengobatan dihentikan. Secara kimiawi obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa
kelompok sebagai berikut :
1. Alkaloida candu alamiah dan sintetis, contohnya : morfin, kodein, heroin,
hidromorfon, hidrokodon dan diamin.
10
2. Pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari : Petidin dan turunanturunannya : fentanil dan sufentanil; Metadon dan turunan-turunannya :
dekstromoramida, bezritamida, piritramida, dan d-propoksifen; Fenantren
dan turunannya levorfano, termasuk pula pentazonin (Tjay dan Rahadja,
2002).
b. Analgetika perifer (non-narkotik)
Obat-obat ini juga dinamakan analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi
SSP, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan.
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut :
1. Salisilat-salisilat : natrium salisilat, asetosal, salisilamida, benorilat.
2. Derivat-derivat p-aminofenol : fenasetin dan parasetamol. Obat-obat ini yang
tidak berkhasiat antiflogistik, disebut pula derivat-derivat asetanilida.
Berhubungan efek-efek sampingnya, khususnya sianosis (kuliat membiru,
terutama bayi-bayi sangat peka) dan radang ginjal, maka asetanilid sendiri
sendiri kini tidak digunakan lagi.
3. Derivate-derivat pirazolon : antipirin, aminofenazon, dipiron, fenilbutazon
dan turunan-turunannya. Semua obat ini memiliki anti-radang, terkecuali
aspirin, yang berhubung efek-efek sampingnya kini sudah umum diganti oleh
turunannya isopropilantipirin.
4. Derivate-derivat antralinat : glafenin, asam mefenamat dan asam nifluminat
(Tjay dan Rahadja, 2002)
11
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga
konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Namun, setiap obat
menghambat enzim COX dengan cara yang berbeda (Wilmana, 2005).
3. Enzim COX
Obat-obat analgetik antiinlamasi, terutama yang non steroid bekerja dengan
cara menghambat enzim COX, baik COX-1 maupun COX-2, sedangkan enzim
COX merupakan produk metabolit dari asam arakidonat dan sangat berperan
dalam berbagai bentuk inflamasi baik akut, maupun kronik. Enzim ini terdapat
dua isoform, yaitu COX-1 dan COX-2 (Ganiswarna, 2002).
COX-1 mengkatalisis pembentukan prostaglandin di lambung, ginjal dan
platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal
lambung, ginjal dan platelet, sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya
pada tempat inflamasi, sehingga jika enzim ini terhambat akan mencegah
pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Ganiswarna, 2002).
4. Prostaglandin
Aksi analgetik antipireutik, seperti parasetamol adalah dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer
(jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai antiinflamasi (Dwiprahasto,
1989). Prostaglandin merupakan mediator analgetik atau inflamasi utama yang
terlibat dalam control temperature, transmisi nyeri, agregasi platelet. Golongan
obat NSAID menghambat aktivitas enzim COX sehingga konversi asam
arakidonat menjadi endoperoksida pada prostaglandin 2 terganggu sehingga
12
banyak berubah menjadi hiperoksida dan tidak menghambat leukotrien yang
berperan dalam inflamasi (Ganiswarna, 2002).
Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa prostaglandin
menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi.
Jadi prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator
kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri
yang nyata (Wilmana, 1995).
Obat mirip-aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang
ditimbulkan oleh efek langsung prostaglandin. Ini menunjukkan bahwa sintesis
prostaglandin yang dihambat oleh golongan obat ini, bukan blockade langsung
(Wilmana,1995). Proses prostaglandin, salah satu mediator rasa nyeri dapat dilihat
pada gambar 2.
13
Trauma / luka pada sel
Gangguan pada membran sel
Fosfolipid
Dihambat
kartikosteroid
Enzim
fosfolipase
Asam arakidonat
Enzim lipoksigenase
Enzim siklooksigenase
Hidroperoksid
Endoperoksid
PGG2/PGH
Dihambat
obat AINS
(“serupa
aspirin”)
PGE2, PGF2, PGD2
Tromboksan A2
Prostaksilin
Gambar 2. Biosintesis Prostaglandin (Wilmana, 1995)
14
5. Parasetamol
Parasetamol merupakan turunan paraaminofenol yang berfungsi sebagai
analgetik-antipiretik. Nama lain dari parasetamol antara lain : acetaminophen,
acetophenum,
para-acetamidophenol,
N-asetil-para-aminofenol,
dan
para
hidroksil-asetanilida (Anonim, 1995). Struktur kimia parasetamol adalah sebagai
berikut :
Gambar 3. Struktur kimia Parasetamol
Parasetamol pertama kali disintesis oleh Morse tahun 1878 dengan daya
analgetik-antipireutik setingkat para-aminofenol. Namun, khasiat tersebut baru
diperkenalkan pada tahun 1893 oleh Von Mering karena pada saat ditemukan,
masih terdapat analgetik-antipireutik pilihan (aspirin, asetanilida, fenasetin),
sehingga pemakaiannya belum dianjurkan (Donatus, 1994).
Parasetamol merupakan salah satu obat yang banyak dijumpai sebagai
analgetik. Selain bekerja sebagai analgetik, parasetamol juga memiliki efek
antipireutik. Tidak seperti NSAID, parasetamol tidak memiliki efek antiinflamasi
dan tidak mengiritasi lambung. Parasetamol merupakan analgetik yang bekerja di
perifer dan tidak menekan SSP (Bertolini et al., 2006).
Namun demikian penggunaan parasetamol perlu diperhatikan pula karena
dosis 6-12 g sudah dapat merusak hati. Hal ini disebabkan karena terbentuknya
15
metabolit toksik dalam hati, yang pada dosis 10 g dapat diikat oleh glutation.
Tetapi pada dosis yang lebih tinggi persediaan akan zat ini telah terpakai
seluruhnya dan terjadi pengikatan pada molekul-molekul makro lainnya dari selsel hati sehingga menyebabkan kerusakan yang irreversible (Tjay dan Rahadja,
2002).
Parasetamol berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit,
meleleh pada suhu ± 170o C, pH 5,3-6,5, pKa 9,5. Satu gram larut dalam 70 mL
air, 20 mL air hangat, 10 mL alcohol, 50 mL kloroform, 40 mL gliserin, dan
praktis tidak larut dalam eter. Rumus molekul parasetamol adalah C8H9NO2
dengan berat molekul 151,16 (Anonim,1995).
Absorbsi parasetamol sangat dipengaruhi oleh kecepatan pengosongan
lambung. Jika kecepatan pengosongan lambung dihampat oleh makanan,
penyakit, atau obat, maka kecepatan absorbsi parasetamol akan menurun. Dalam
keadaan puasa, absorbsi parasetamol sangat cepat dan kadar puncak dalam plasma
dicapai hanya dalam waktu 15-30 menit (Prescot,1980).
Parasetamol mengalami metabolisme fase I menghasilkan metabolit reaktif
elektrofil N-asetil-para-benzokuionimina (NAPQI) karena adanya proses oksidasi
oleh system enzim sitokrom P-450. Metabolit reaktif ini akan mengalami
detoksifikasi secara normal melalui konjugasi dengan glutation hati membentuk
konjugat parasetamol merkapturat (Madan, 1977). Tetapi jika kandungan
glutation hati dapat dihabiskan atau jika kandungannya dapat berkurang menjadi
20-30% nilai normal, maka metabolit reaktif tersebut akan berikatan dengan
makromol sel hati dan akibatnya dapat terjadi kematian sel (Donatus, 1994).
16
Ekskresi parasetamol lewat urin dalam bentuk konjugat glukuronida, sulfat,
asam merkapturat, sistein dan parasetamol utuh. Konjugat sulfat dan glukoronida
diekskresikan dengan cepat ke dalam urin. Ekskresi parasetamol bebas ke dalam
urin melalui filtrasi glomeruler kemudian mengalami reabsorpsi tubuler (Setiasih,
2003).
6. Gamavuton-0
Senyawa Gamavuton-0 (1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien3-on) merupakan salah satu senyawa analog kurkumin. Senyawa ini mempunyai
jembatan rantai karbon yang lebih pendek (pentadienon) daripada kurkumin
(heptadiendion), satu gugus karbonil dan sama sekali tidak mempunyai gugus
metilen. Senyawa ini dilaporkan mempunyai aktivitas antioksidan dan
antiinflamasi (Sardjiman, 2000).
Gambar 3. Struktur kimia Gamavuton-0
Senyawa GVT-0 mempunyai kerangka 1,5-difenil-1,4-pentadien-3-on.
Hilangnya gugus metilen dan gugus karbonil menjadi 1,4-pentadien-3-on
membuat senyawa ini menjadi senyawa yang lebih stabil daripada kurkumin,
dengan tetap memiliki sifat antioksidatif. GVT-0 dilaporkan memiliki daya
penangkapan radikal bebas OH (metode Deoksiribosa) dengan ES15 = 21,68 µM
lebih poten daripada kurkumin (ES15 = 25,77 µM) (Yuniarti, 2006).
17
Kurkumin tidak menyebabkan ulkus pada lambung usus tikus (Wahyuni,
1999), meskipun sebagian besar obat antiinflamasi non steroid yang menunjukkan
efek samping pada saluran cerna. Namun kurkumin kurang stabil pada pH > 6,5.
GVT-0 merupakan senyawa analog kurkumin yang lebih stabil dan mempunyai
daya antiinflamasi.
Dari hasil penelitian Sardjiman (2000), GVT-0 dilaporkan memiliki daya
antiinflamasi pada tikus Wistar yang diinduksi karagenin dengan ED50 36,6
mg/kgBB (p.o), lebih poten daripada fenilbutason (ED50 = 58,8 mb/Kg BB p.o)
dan sebanding dengan kurkumin (ED50 = 36 mg/KgBB , p.o). Dari penelitian–
penelitian di atas tampak jelas bahwa modifikasi molekul kurkumin menjadi
GVT-0 menyebabkan adanya perbaikan aktivitas biologisnya. Dari segi produksi,
prosedur dan bahan yang digunakan untuk sintesis GVT-0 relatif lebih sederhana
dan jauh lebih mudah didapat dan murah dibandingkan kurkumin.
Berdasarkan paparan di atas diketahui bahwa GVT-0 mempunyai aktivitas
sebagai antiinflamasi. Mekanisme kerja antiinflamasi GVT-0 adalah dengan
menghambat pelepasan mediator-mediator inflamasi (seperti bradikinin dan
prostaglandin). Mediator-mediator ini juga dapat merangsang reseptor-reseptor
nyeri dan menimbulkan nyeri, sehingga pada umumnya senyawa yang
mempunyai aktivitas antiinflamasi juga berkhasiat analgetik (Tjay dan Rahardja,
2002).
7. Garam kalium dari 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on (Kalium monogamavuton-0, KMGVT-0)
18
Senyawa garam kalium dari 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on
merupakan senyawa analog kurkumin sedangkan kurkumin merupakan zat aktif
yang terdapat dalam tanaman marga Curcuma. Beberapa analog kurkumin, yaitu
pentagavumon-0, heksagamavunon-0, dan gamavuton-0 telah disintesis dan
dilaporkan memiliki aktivitas anti inflamasi (Sardjiman et al, United States Patent
No.: US 6,541,672 B1, 2003).
Garam natrium dan kalium dari kurkumin pernah dilaporkan memiliki
aktivitas sebagai anti radang yang penghilang rasa sakit yang lebih poten
dibandingkan kurkumin. Sebagai garam, baik garam natrium maupun garam
kalium dari kurkumin memiliki kelebihan lain yaitu sangat larut di dalam air,
sehingga dapat dibuat sediaan cair yang stabil. Sebagai garam dari analog
kurkumin, garam kalium dari 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on diduga
memiliki aktivitas sebagai anti radang dan penghilang rasa sakit yang poten.
Secara ekonomis, produksi senyawa ini diperkirakan cukup murah karena
menggunakan bahan-bahan dasar yang murah dan mudah didapat di Indonesia
karena diproduksi di Indonesia, yaitu vanillin (hasil fermentasi dari biji tanaman
vanili (Vanilia planifolia)), aseton, dan kalium hidroksida.
Garam 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on yang dibuat dengan
mereaksikan vanillin, aseton, dan kalium hidroksida. Senyawa tersebut memiliki
ciri-ciri berupa : serbuk berwarna merah kecoklatan (merah bata), tidak berbau
dan berasa khas (menebalkan lidah), belum melebur pada suhu 2000C, sangat
mudah larut dalam air. Serbuk tersebut jika dilarutkan dalam air dan diasamkan
akan menjadi serbuk berwarna kuning dengan titik lebur 124-1270C yang tidak
19
larut dalam air, dan jika serbuk kuning tersebut dilakukan identifikasi dengan
kromatografi gas-spektrometri massa didapat waktu retensi 17,076 menit dan m/z
ion molekuler 192 (100%). Perbedaan senyawa tersebut dengan 4-(4’-hidroksi-3’metoksifenil)-3-buten-2-on adalah penggantian hidrogen asam dari gugus fenol
dengan kalium.
Rumus struktur senyawa tersebut adalah sebagai berikut :
K+-
Gambar 4. Struktur kimia Kalium mono-gamavuton-0
8. Metode Uji Daya Analgetik
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh seberapa
besarnya rasa sakit yang dialami dengan menggunakan hewan uji sehingga dapat
membantu manusia dalam penemuan suatu obat baru. Pembagian metode daya
analgetik berdasarkan jenis analgetik menurut Turner (1965) sebagai berikut :
A. Analgetika Narkotik
1. Metode Jepitan Ekor
Sekelompok tikus diinjeksi senyawa uji dengan dosis tertentu secara
subkutan dan intravena. Tiga puluh kemudian jepitan arteri dari karet tipis
dipasang pada pangkal ekor selama 30 menit. Tikus yang tidak diberi analgetik
akan berusaha terus melepaskan diri dari jepitan tersebut karena rasa sakit begitu
20
dirasakan. Respon positif adanya daya analgetik dapat dicatat jika tidak ada usaha
dari tikus untuk melepaskan diri dari jepitan selama 15 menit.
2. Metode Pengukuran Tekanan
Metode ini menggunakan alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada
tikus dengan cara seragam, alat tersebut terdiri dari 2 syringe yang dihubungkan
ujungnya, yang rata-rata bersifat elastic, fleksibel dan terdapat pipa plastic yang
berisi dengan sebuah cairan sisa pipa dihubungkan dengan manometer. Syringe
yang pertama, diletakkan pada posisi vertikal dengan ujung menghadap ke atas.
Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada
penghisap dari syringe kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan system
hidrolik pada syringe pertama kemudian dengan ekor tikus. Manometer akan
membaca ketika mencit member respon. Respon tikus pertama adalah merontaronta kemudian akan memberikan tanda kesakitan.
3. Metode rangsang panas
Metode ini menggunakan lempeng panas (hot plate) yang terdiri dari
silinder untuk mengendalikan. Hot plate bersuhu antara 50-55 dilengkapi dengan
pemanas yang berisi campuran yang sebanding antara aseton dan etilformat yang
mendidih. Tikus yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral,
diletakkan pada hot plat yang sudah disiapkan. Respon tikus dalam bentuk
menjilat-jilat telapak kakinya lalu akan melompat pada silinder. Selang waktu
antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon, yang disebut waktu reaksi,
dapat diperpanjang oleh pengaruh obat-obat analgetik. Perpanjangan waktu reaksi
21
ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas
analgetik.
4. Metode potensi petidin
Pada metode ini dibutuhkan hewan uji dalam jumlah besar. Tiap kelompok
tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 bagian. Diberi
petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgetik
dihitung dengan bantuan metode rangsang panas.
5. Metode antagonis nalorfin
Uji analgetik dengan metode ini dibuat untuk menunjukkan aksi dari obatobat seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan untuk meniadakan aksi dari
morfin, biasanya hewan yang dipakai adalah mencit, tikus dan anjing. Hewan uji
diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti dengan pemberian
nalorfin (0,5-10,0 mg/kgBB) secara intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin
dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya terlepas sehingga
meniadakan efek morfin.
6. Metode kejang oksitosin
Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari
posterior, yang dapat menyebabkan kontraksi uterus sehingga menimbulkan
kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kontraksi abdominal sehingga menarik
pinggang dan kaki belakang. Penurunan kejang diamati dan ED50 dapat
diperkirakan. Selain morfin, senyawa analgetik yang dapat diuji dengan metode
ini antara lain heroin, metadon, kofein dan meferidin.
22
7. Metode pencelupan air panas
Pada metode ini, tikus disuntik secara intraperitonial dengan senyawa uji,
kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air panas (580C). Respon tikus terlihat dari
hentakan ekornya yg menghindari panas.
B. Analgetik golongan non narkotik
1. Metode geliat rangsang kimia
Pada metode ini, rangsangan kimia berupa rasa nyeri yg timbul pada hewan
uji karena pemberian zat kimia secara intraperitonial. Zat yg sering digunakan
sebagai induktor rasa nyeri antara lain : asam asetat dan fenilkuinon. Metode ini
cukup peka untuk pengujian analgetik menggunakan senyawa dengan daya
analgetik lemah. Metode ini sederhana, reprodusibel dan hasilnya tidak spesifik.
Pemberian senyawa analgetik akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
sehingga respon gerakan geliat yang timbul berkurang atau tidak terjadi sama
sekali, frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang
dirasakan. Senyawa pembanding yang sering digunakan dalam metode ini adalah
analgetik non narkotik yaitu asetosal dan sodium asetil asetat. Obat ini dinilai
kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduks
secara kimia pada hewan uji.
2. Metose podolorimeter
Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur daya analgetik. Alas
kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan listrik untuk
mengukur daya analgetik. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang
23
bisa mengalirkan listrik. Respon ditandai dengan suara dari tikus tersebut.
Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.
3. Metode rektodolorimeter
Tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas
tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan.
Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda
tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan
dengan konduktor yang berbeda di gulungan atas. Tegangan sering digunakan
untuk menimbulkan suara mencit adalah 1 sampai 2 volt.
F. Landasan Teori
Kalium mono gamavuton-0 (KMGVT-0) merupakan garam dari analog
kurkumin yang diduga memiliki aktivitas daya analgetik karena kurkumin yang
merupakan senyawa induk terbukti memiliki daya antiinflamasi dengan
menghambat enzim siklooksigenase sehingga prostaglandin yang merupakan zat
nyeri tidak terbentuk. KMGVT-0 mempunyai kelarutan yang relatif lebih baik
dibanding kurkumin sehingga diharapkan memiliki ketersediaan hayati yang lebih
baik sehingga memiliki aktivitas farmakologi yang lebih baik pula.
Penelitian uji analgetik pernah dilakukan pada gamavuton-0 dan monogamavuton-0 dan terbukti bahwa kedua senyawa tersebut mengandung efek
analgetik. Aktivitas analgetik KMGVT-0 belum pernah dibuktikan sehingga
dalam penelitian ini akan dilakukan uji efek analgetik KMGVT-0 menggunakan
metode writhing test dengan pembanding parasetamol sehingga diperoleh potensi
24
relatif KMGVT-0. Penggunaan parasetamol sebagai kontrol positif didasari
asumsi bahwa KMGVT-0 tidak menekan sistem saraf pusat.
G. Hipotesis
KMGVT-0 merupakan garam dari analog kurkumin yang secara in-vivo
mempunyai efek analgetik yang poten pada mencit dengan metode writhing test.
Download