BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman kacang kedelai (Glycine

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman kacang kedelai (Glycine max (L.) Merrill)
Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai
jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai
kedelai yang dikenal sekarang kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Berasal dari
daerah Manshukuo (Cina Utara), di Indonesia, dibudidayakan mulai abad ke-17
sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Penyebaran tanaman kedelai ke
Indonesia berasal dari daerah Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria : Jepang
(Asia Timur) dan negara-negara lain di Amerika dan Afrika. (AAK,1989).
Akar tanaman kedelai terdiri atas akar tunggang, akar lateral, dan akar
serabut. Pada tanah yang gembur, akar ini dapat menembus tanah sampai
kedalaman 1,5 m. Pada akar lateral terdapat bintil-bintil akar yang merupakan
kumpulan bakteri rhizobium pengikat N dari udara. Bintil akar ini biasanya akan
terbentuk 15-20 hari setelah tanam, selain sebagai penyerap unsur hara dan
penyangga tanaman, pada perakaran merupakan tempat terbentuknya bintil/nodul
akar yang berfungsi sebagai pabrik alami terfiksasinya nitrogen udara oleh
aktivitas bakteri Rhizobium (Tambas dan Rakhman, 1986).
Kedelai berbatang semak, dengan tinggi batang antara 30-100 cm. setiap
batang dapat membentuk 3-6 cabang. Pertumbuhan batang dibedakan menjadi dua
tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan
batang ini didasarkan atas keberadaan bunga dan pucuk batang. Pertumbuhan
batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada
saat tanaman mulai berbunga. Pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan
Universitas Sumatera Utara
bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah
mulai berbunga. Begitu juga dengan bentuk daun kedelai ada dua macam, yaitu
bulat (oval) dan lancip (lanceolate) (Adisarwanto, 2005).
Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, artinya dalam setiap bunga
terdapat alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Penyerbukan terjadi pada
saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemungkinan terjadinya kawin
silang secara alami sangat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna
ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi
penyerbukan secara sempurna (Suprapto, 2001).
Polong kedelai pertama terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya
bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm, jumlah polong yang terbentuk
pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap
kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50,
bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan
semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk
polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini
kemungkinan diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning
kecoklatan pada saat masak (Adisarwanto, 2005). Biji kedelai berkeping dua yang
terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak di antara keping biji. Warna kulit biji
bermacam-macam, ada yang kuning, hitam, hijau atau coklat.
Kedelai yang tumbuh secara liar di Asia Tenggara meliputi sekitar 40
jenis. Penyebaran geografis dari kedelai mempengaruhi jenis tipenya. Terdapat 4
tipe kedelai yakni : tipe Mansyuria, Jepang, India, dan Cina. Dasar-dasar
penentuan varietas kedelai adalah menurut: umur, warna biji dan tipe batang.
Varietas kedelai yang dianjurkan yaitu: Otan, No. 27, No.29, Ringgit 317,
Sumbing 452, Merapi 520, Shakti 945, Davros, Economic Garden, Taichung
1290, TKG 1291, Clark 1293, Orba 1343, Galunggung, Lokon, Guntur, Wilis,
Dempo, Kerinci, Raung, Merbabu, Muria dan Tidar.
Di salah satu negara bagian Amerika Serikat, terdapat areal pertumbuhan
kedelai yang sangat luas sehingga menghasilkan 57% produksi kedelai dunia. Di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, saat ini kedelai banyak ditanam di dataran rendah yang tidak banyak
mengandung air, seperti di pesisir Utara Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Sulawesi Utara (Gorontalo), Lampung, Sumatera Selatan dan Bali. Kedelai
(Glycine max (L) merrill) merupakan salah satu tanaman budidaya dengan
kandungan nutrisi yang tinggi, diantaranya mengandung protein 30-50% (Richard
et al., 1984). Kandungan protein yang tinggi memberi indikasi bahwa tanaman
kedelai memerlukan hara nitrogen yang tinggi pula. Di Indonesia sampai saat ini
produksi kedelai belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri.
2.2 Syarat Pertumbuhan kedelai (Glycine max (L.) Merrill)
Varietas kedelai berbiji kecil, sangat cocok ditanam di lahan dengan
ketinggian 0,5-300 m dpl. Varietas kedelai berbiji besar cocok ditanam di lahan
dengan ketinggian 300-500 m dpl. Kedelai biasanya akan tumbuh baik pada
ketinggian lebih dari 500 m dpl sehingga tanaman kedelai sebagian besar tumbuh
di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Sebagai barometer iklim yang cocok
bagi kedelai adalah bila cocok bagi tanaman jagung. Bahkan daya tahan kedelai
lebih baik dari jagung. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang
memiliki curah hujan sekitar 100-400 mm/bulan. Untuk mendapatkan hasil
optimal, tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100-200 mm/bulan
(Najiyati, 1999).
Kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang
optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30o C, bila tumbuh pada suhu yang
rendah (< 15o C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat bisa mencapai 2
minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi
kelembapan tanah tinggi, banyaknya biji yang mati akibat respirasi air dari dalam
biji yang terlalu cepat (Adisarwanto, 2005). Suhu yang dikehendaki tanaman
kedelai antara 21-34o C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman
kedelai 23-27o C. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu
yang cocok sekitar 30o C.
Universitas Sumatera Utara
Kedelai menghendaki kondisi tanah yang lembab, tetapi tidak becek.
Kondisi seperti ini dibutuhkan sejak benih ditanam hingga pengisian polong.
Kekurangan air pada masa pertumbuhan akan menyebabkan tanaman kerdil,
bahkan dapat menyebabkan kematian apabila kekeringan telah melampaui batas
toleransinya. Untuk dapat tumbuh dengan baik kedelai menghendaki tanah yang
subur, gembur, kaya akan unsur hara dan bahan organik. Bahan organik yang
cukup dalam tanah akan memperbaiki daya olah dan juga merupakan sumber
makanan bagi jasad renik yang pada akhirnya akan membebaskan unsur hara
untuk pertumbuhan tanaman. Tanah dengan kadar liat tinggi sebaiknya dilakukan
perbaikan drainase dan aerasi sehingga tanaman tidak kekurangan oksigen dan
tidak tergenang air waktu hujan besar terjadi (Rianto et al., 1997).
2.3 Pembentukan Bintil Akar dan Fiksasi N
Bintil akar merupakan organ simbiosis yang mampu melakukan fiksasi N
dari udara sehingga tanaman mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan
nitrogen dari hasil fiksasi. Fiksasi N terjadi di dekat pusat bintil akar dalam
interaksi inti sel rhizobium akan berubah menjadi bakteroid sedangkan dibagian
tengah bintil akar terbentuk pigmen merah yang disebut leghemoglobin.
Terbentuknya bintil akar melalui serangkaian proses, pertama terjadi perubahan
bentuk pada rambut akar atau melengkung yang disebabkan adanya respon
terhadap hormon pertumbuhan Indole Acetic Acid (IAA) akibat distimulasi oleh
bakteri atau respon terhadap hormon-hormon pertumbuhan lain dari kelompok
etilen. Apabila terjadi pembentukan benang-benang yang terinfeksi akan terjadi
penyusupan sel-sel Rhizobium dan sel-sel pada jaringan akar akan membentuk
bintil akar (Islami, 1995).
Pada interaksi ini sel-sel Rhizobium akan berubah bentuk menjadi
bakteroid. Banyaknya N yang di fiksasi oleh bakteri Rhizobium tergantung dari
suplai karbohidrat oleh tanaman serta kandungan N di dalam tanah. Bakteri
memerlukan karbohidrat sebagai sumber energi untuk memfiksasi N. Suatu
spesies bakteri hanya dapat bersimbiosis dengan tanaman tertentu saja. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian satu jenis tanaman leguminosa hanya membutuhkan strain Rhizobium
yang sesuai. Rhizobium yang dapat menodulasi tanaman kedelai secara efektif
dikenal sebagai Bradyrhizoium japonicum (Jordan, 1982). Bakteri B. Japonicum
memfiksasi nitrogen di dalam perakaran bersimbiosis dengan tanaman kedelai
(Madrzak et al. 1995).
Asosiasi simbiotik tanaman kedelai dengan bakteri B. Japonicum dapat
memfiksasi N diatas 200 kg N/ha/tahun (Smith & Hume, 1987). Kebutuhan N
pada tanaman kedelai dapat disuplai melalui fiksasi nitrogen biologi dengan
memilih galur-galur B. Japonicum yang efektif (Javaid dan Nasir, 2010).
Simbiosis antara tanaman kedelai dengan B. Japonicum merupakan sebuah proses
kompleks yang melibatkan gen dari keduanya yang membentuk fiksasi N pada
nodul di perakaran (Provorov dan Vorob’ev, 2000).
2.4 Efektivitas Rhizobium
Isolat bakteri di uji efisiensinya dengan menumbuhkannya pada media
tanah gambut. Pada akhir periode masa tanam dikumpulkan data mengenai
penampakan tanaman dalam arti warna dan kekuatan, jumlah bintil akar yang
terbentuk pada sistem perakaran, bobot kering dan kandungan nitrogen tanaman
(Rao, 1994).
Sifat Rhizobium adalah keefektifan strain yang memiliki kemampuan
untuk membentuk bintil akar yang mempunyai potensi menambat N udara.
Tingkat keefektifan strain ini bervariasi dengan kultivar tanaman, tanah dan iklim
pertumbuhan, serta mampu berkompetisi dengan strain rhizobium yang spesifik
dan efektif. Kemampuan suatu bakteri bintil akar untuk menodulasi suatu inang
tertentu disebut infektivitas, sedangkan kemampuan relatif suatu asosiasi antara
bakteri dan tumbuhan untuk mengasimilasi N 2 disebut efektivitas. Tidak semua
bakteri bintil akar mampu memfiksasi tanaman pepolongan, disamping itu galur
bakteri yang infektif belum tentu efektif. Jadi adanya bintil tidak menjamin bahwa
suatu tanaman pepolongan dapat memanfaatkan N 2 (Rao, 1994). Pembentukan
bintil merupakan ciri dari bakteri penambat N 2 simbiotik. Spesies Rhizobium
Universitas Sumatera Utara
menginfeksi inang-inang spesifik, beberapa dapat berkembang lebih cepat dari
yang lainnya. Masalah kespesifikan ini dapat diatasi seperti pada Phaseolus
vulgaris dan R. Leguminosarum.
2.5. Tanah Mineral
Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang telah
tersusun dalam horizon-horizon, terdiri atas campuran bahan mineral dan bahan
organik, merupakan media untuk tumbuhnya tanaman terutama jika cukup
tersedia air dan udara. Mineral tanah adalah mineral yang terkandung di dalam
tanah dan merupakan salah satu bahan utama penyusun tanah. Mineral dalam
tanah berasal dari pelapukan fisik dan kimia dari batuan yang merupakan bahan
induk tanah, rekristalisasi dari senyawa-senyawa hasil pelapukan lainnya atau
pelapukan (alterasi) dari mineral primer dan sekunder yang ada. Mineral
mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu tanah, antara lain sebagai
indikator cadangan sumber hara dalam tanah dan indikator muatan tanah beserta
lingkungan pembentukannya. Tanah terdiri atas dua kelompok, yaitu tanah
mineral dan tanah organik. Tanah mineral terbentuk dari batu dan sedimen.
Kandungan bahan organik tidak lebih dari 5%, sebagian besar tanah terbentuk dari
bahan mineral yang disebut tanah mineral. Tanah Organik terbatas < 1% tanah
dunia terbentuk dari peat (gambut), muck, dan sisa tanaman, pada daerah rawa
atau daerah sangat basah. Kandungan bahan organik tanah bisa lebih dari 20%
(Soil Survey Staff, 2003).
Tanah non-organik atau tanah mineral terbentuk dari batuan sehingga
mengandung mineral. Sebaliknya, tanah organik (organosol/humosol) terbentuk
dari pemadatan terhadap bahan organik yang terdegradasi. Tanah non-organik
didominasi oleh mineral. Mineral ini membentuk partikel pembentuk tanah.
Tekstur tanah demikian ditentukan oleh komposisi tiga partikel pembentuk tanah:
pasir, lanau (debu), dan lempung. Tanah pasiran didominasi oleh pasir, tanah
lempungan didominasi oleh lempung. Tanah dengan komposisi pasir, lanau, dan
lempung yang seimbang dikenal sebagai geluh (loam). Warna tanah merupakan
Universitas Sumatera Utara
ciri utama yang paling mudah diingat orang. Warna tanah sangat bervariasi, mulai
dari hitam kelam, coklat, merah bata, jingga, kuning, hingga putih. Selain itu,
tanah dapat memiliki lapisan-lapisan dengan perbedaan warna yang kontras
sebagai akibat proses kimia (pengasaman) atau pencucian (leaching). Tanah
berwarna hitam atau gelap seringkali menandakan kehadiran bahan organik yang
tinggi, baik karena pelapukan vegetasi maupun proses pengendapan di rawa-rawa.
Warna gelap juga dapat disebabkan oleh kehadiran mangan, belerang, dan
nitrogen. Warna tanah kemerahan atau kekuningan biasanya disebabkan
kandungan besi teroksidasi yang tinggi; warna yang berbeda terjadi karena
pengaruh kondisi proses kimia pembentukannya. Suasana aerobik/oksidatif
menghasilkan warna yang seragam atau perubahan warna bertahap, sedangkan
suasana anaerobik/reduktif membawa pada pola warna yang bertotol-totol
(Hardjowigeno, 1985).
2.6. Tanah Gambut
Tanah gambut merupakan tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan
sehingga mempunyai kadar bahan organik yang sangat tinggi. Tanah ini
berkembang terutama di daerah dalam kondisi anaerob (tergenang). Tanah gambut
pada umumnya mempunyai derajat kemasaman yang sangat tinggi sebagai akibat
tingginya kandungan asam organik. Nilai pH tanah berkisar antara 3-5. Kadar
nitrogen sangat rendah dibandingkan dengan kadar karbon, hingga nilai
perbandingan C/N menjadi sangat tinggi, yang menunjukkan sangat lambatnya
proses pelapukan berlangsung. Gambut terbentuk dari serasah organik yang
terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik
(humifikasi) lebih tinggi daripada laju dekomposisi nya.
Dalam klasifikasi tanah (soil taksonomi), tanah gambut termasuk ordo
Histosol (Histos dari bahasa Yunani : jaringan). Tanah histosol didefenisikan
sebagai tanah yang mengandung bahan organik lebih 20% (bila tanah tersebut
tidak mengandung liat) atau lebih dari 30% (bila tanah mengandung 60% liat atau
lebih) dan tebalnya secara kumulatif lebih dari 40 cm (Soil Survey Staf, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh kedalaman dan lapisan mineral di
bawah gambut. Makin tebal gambut makin miskin lapisan atasnya. Gambut yang
terbentuk di atas endapan pasir kuarsa lebih miskin dari gambut yang terbentuk
diatas endapan liat (Hardjowigeno, 1996).
Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting
adalah tingkat dekomposisi tanah gambut, kerapatan lindak, irreversible dan
subsiden. Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut
dibedakan menjadi gambut kasar atau fibrik yaitu gambut memiliki lebih dari 2/3
bahan organik kasar, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila
diremas >75% seratnya masih tersisa. Gambut sedang atau hemik memiliki ½-2/3
bahan organik kasar, setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali,
berwarna coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%. Gambut halus atau
saprik memiliki bahan organik kasar kurang dari 1/3, bahan asalnya tidak dikenali,
berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi,
namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman.
Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah direklamasi.
Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki
kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan atas gambut
eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa
serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang
tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut. Mesotrofik adalah gambut
yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa. Gambut
oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa.
Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai
biasanya tergolong gambut oligotrofik (Hardjowigeno, 1996).
Tanah gambut di Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2,8-4,5 dan
kemasaman potensial mencapai > 5 cmol/kg, ketersediaan unsur-unsur makro
Universitas Sumatera Utara
N,P,K, serta jumlah unsur mikro pada umumnya juga rendah. Kadar bahan
organik dan nitrogen tinggi (Murayama dan Bakar 1996) disebabkan tanah
gambut berasal dari sisa-sisa tumbuhan. Penyebarannya seluas sekitar 18 juta ha
maka luas lahan gambut Indonesia menempati urutan ke-4 dari luas gambut dunia
setelah Kanada; Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Kalimantan Barat merupakan
propinsi yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia yaitu seluas 4,61
juta ha, diikuti oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Selatan dengan
luas masing-masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48 juta hektar.
Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari tumbuhan
purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan < 40 cm. Proses
penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang
berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Download