1 PENDAHULUAN Bakteri merupakan mikroorganisme prokariotik yang khas, bersel tunggal, dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya (Pelczar dan Chan 1986). Ukurannya yang mikro dan mudah berkembang biak menyebabkan bakteri tersebar hampir di setiap tempat dan dapat tumbuh di wilayah dengan kondisi umum hingga ekstrim. Bakteri juga dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik di permukaan kulit dan di dalam tubuh manusia maupun hewan. Bakteri ada yang bersifat patogen dan ada pula yang nonpatogen. Bakteri patogen merupakan bakteri yang berpotensi menyebabkan infeksi ataupun penyakit, baik dalam jumlah yang sedikit ataupun saat jumlahnya melebihi normal. Sementara itu, bakteri nonpatogen merupakan bakteri yang tidak berpotensi menyebabkan infeksi penyakit tertentu pada manusia ataupun hewan inangnya. Beragamnya bakteri patogen yang dapat menyebabkan infeksi ataupun penyakit telah memacu penggunaan antibiotik sebagai obat utama. Antibiotik bekerja secara spesifik pada proses tertentu dalam daur hidup bakteri. Sistem mekanisme resistensi terhadap antibiotik mungkin dilakukan oleh bakteri sasaran sehingga mutasi pada bakteri mungkin dapat terjadi dan memungkinkan munculnya strain bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Hal ini menyebabkan antibiotik biasanya diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dalam jangka waktu cukup lama agar tidak terjadi mutasi pada bakteri. Namun demikian, pemberian dosis yang tinggi dalam jangka waktu cukup lama terkadang memberikan efek samping yang tidak diinginkan dalam tubuh. Penggunaan antibiotik sintetik maupun semi-sintetik umumnya memiliki efek samping tertentu yang tidak diharapkan, terutama apabila antibiotik tersebut digunakan secara terus-menerus. Oleh karena itu, penelitian-penelitian mengenai zat antibakteri alami terus dilakukan. Hingga saat ini, banyak penelitian yang dilakukan untuk mencari senyawa-senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan yang memiliki aktivitas antibakteri. Produk bahan alam seperti metabolit sekunder, baik senyawa murni maupun dalam bentuk ekstrak, memiliki peluang untuk dikembangkan dalam dunia pengobatan. Senyawa bahan alam tersebut memiliki efek terapis yang signifikan terhadap bakteri, jamur, maupun virus yang bersifat patogen terhadap hewan dan manusia. Efek terapis yang ditimbulkan juga lebih aman tanpa efek samping (Parthasarathy et al. 2009). Salah satu tanaman yang berpotensi dikembangkan dalam dunia pengobatan adalah berenuk (Crescentia cujete Linn). Berenuk merupakan tanaman perdu tropis yang berkhasiat sebagai obat berbagai penyakit. Daun berenuk dalam pengobatan tradisional digunakan untuk mengobati luka baru dan menurunkan hipertensi. Daun mudanya ditumbuk dan dijadikan pengkompres untuk sakit kepala dan luka. Sementara daging buahnya digunakan untuk mengobati diare, flu, bronkhitis, batuk, asma, dan uretritis (Heyne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan oleh Ogbuagu (2008) memberikan informasi bahwa daging buah berenuk mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan polifenol. Kandungan alkaloid, saponin, tanin, dan polifenolnya berpotensi sebagai zat antibakteri. Rasadah dan Houghton (1988) juga menyimpulkan adanya potensi antibakteri dari kulit kayu, batang, dan akar tanaman famili Bignoniaceae, termasuk Crescentia cujete Linn. Oleh karena itu, tanaman berenuk ini memiliki fungsi sebagai antibakteri. Penelitian ini bertujuan menentukan fraksi teraktif antibakteri ekstrak kulit batang tanaman berenuk, menentukan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM) dari fraksi teraktif tersebut, dan mengidentifikasi kandungan fitokimianya. TINJAUAN PUSTAKA Berenuk Berenuk termasuk ke dalam kingdom Plantae (tumbuhan), subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), superdivisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga), subdivisi Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup), kelas Magnoliopsida (dikotil), subkelas Asteridae, ordo Scrophulariales, famili Bignoniaceae, genus Crescentia, dengan nama spesiesnya adalah Crescentia cujete Linn. 2 Gambar 1 Tanaman Berenuk. Berenuk umum dijumpai di daerah tropis. Tanaman ini merupakan jenis tanaman dikotil berbunga yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan. Tanaman ini termasuk tanaman perdu dengan tinggi sekitar 6-10 m, berdaun hijau sepanjang tahun, dan memiliki kayu yang kuat dengan warna putih kehitaman. Sistem daun tanaman berenuk cukup sederhana dengan bentuk majemuk, menyirip, lonjong, bertepi rata, ujung daun membulat, pangkal daun meruncing, dan bertangkai pendek. Berenuk memiliki bunga tunggal yang muncul dari cabang dan ranting dengan kelopak berbentuk corong. Buahnya berwarna hijau kekuningan berbentuk bulat besar dengan diameter mencapai 20 cm. Buah berenuk termasuk buah tunggal dengan kulit buah yang kuat dan keras. Di dalamnya terdapat pulp dengan biji berukuran kecilkecil yang menempel pada pulp (Michael 2004). Kandungan kimia daging buah berenuk yang telah dilaporkan antara lain alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, polifenol, vitamin A, C, E, niasin, riboflavin, thiamin, karbohidrat, dan mineral-mineral yang mencakup natrium, kalium, kalsium, fosfor, dan magnesium. Sementara itu, bagian daun, kulit batang, dan akarnya mengandung saponin dan polifenol (Ogbuagu 2008). Berenuk berkhasiat mengobati berbagai macam penyakit sehingga sering digunakan dalam pengobatan tradisional. Batang, daun, buah, dan akarnya sering digunakan sebagai obat pencahar, diare, obat diuretik, otitis, analgesik, dan antiinflamasi (Morton 1981, Michael 2004). Pulpnya bila dicampur dengan daun Lignum vitae telah digunakan untuk pengobatan diabetes. Pulpnya yang belum matang juga telah digunakan untuk penyembuhan sakit kepala, batuk, pneumonia, antipiretik, dan pencahar. Di Afrika bagian tenggara, buah berenuk dapat dimakan pada bagian pulpnya dan diyakini dapat mengobati demam, tetanus dan kejang-kejang, muntahmuntah, menstruasi tidak lancar, dan gangguan prostat (Burkill 1985, Morton 1981). Di beberapa daerah di Indonesia, berenuk juga telah digunakan dalam pengobatan tradisional. Di Sulawesi Tenggara, kulit batang berenuk direbus untuk obat diabetes (Rahayu et al. 2006). Daun berenuk dalam pengobatan tradisional di Jawa digunakan untuk mengobati luka baru dan menurunkan hipertensi. Daun mudanya ditumbuk dan dijadikan pengkompres untuk sakit kepala dan membersihkan luka baru. Sementara daging buahnya digunakan untuk mengobati diare, flu, bronkhitis, batuk, asma, dan uretritis (Heyne 1987). Bakteri Bakteri merupakan sel prokariotik yang khas, bersel tunggal, dan mengandung struktur yang tidak dibatasi membran di dalam sitoplasmanya. Bakteri memiliki diameter 0.51.0 µm dan panjangnya 1.5-2.5 µm. Sel-sel individu bakteri dapat berbentuk bola, batang, atau spiral (heliks) (Pelczar dan Chan 1986). Berdasarkan komposisi dinding selnya, bakteri dibedakan menjadi dua, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif adalah bakteri yang memiliki lapisan peptidoglikan (molekul yang tersusun atas asam amino dan gula) yang tebal. Tebalnya peptidoglikan ini menyebabkan bakteri tahan terhadap sifat osmosis yang dapat memecah sel bakteri tersebut. Lapisan peptidoglikan pada bakteri Gram negatif lebih tipis tetapi memiliki membran luar yang tebal sehingga bersama-sama dengan peptidoglikan membentuk mantel pelindung yang kuat untuk sel (McKanne dan Kandel 1996). Bakteri uji merupakan bakteri yang digunakan dalam pengujian sifat antibakteri suatu senyawa tertentu sehingga senyawa tersebut dapat diketahui memiliki aktivitas antibakteri atau tidak. Bakteri yang umum digunakan mencakup salah satu dari jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif. Staphylococcus aureus termasuk famili Micrococcaceae dan merupakan Gram positif, tidak berspora, dan bersifat katalase positif. Bakteri umumnya ditemukan dalam bentuk kelompok kecil bergerombol. Micrococci ini tersebar luas di alam bergabung dengan tanah, debu, permukaan air, hewan, dan tanaman. Walaupun bakteri ini merupakan pencemar bahan pangan segar, tetapi jarang menjadi penyebab utama kerusakan bahan pangan. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan bersaing dengan jenis bakteri lain yang lebih cepat tumbuh, seperti Pseudomodaceae, Entero- 3 bacteriaceae, dan Basillaceae. Namun demikian, bakteri ini jauh lebih tahan terhadap tekanan lingkungan, seperti suhu, garam, dan kekeringan dibandingkan dengan jenis bakteri lain (Buckle et al. 1985). S. aureus merupakan penyebab berbagai infeksi yang bernanah dan bersifat toksik pada manusia dan hewan. Bakteri ini pada manusia menyebabkan pneumonia (infeksi paru-paru), osteomyelitis (radang tulang), sinusitis, tonsilitis (radang amandel), abses (penimbunan nanah akibat infeksi bakteri), dan endokarditis. S. aureus pada hewan menyebabkan penyakit seperti mastitis (pembengkakan payudara) pada sapi, pustular dermatitis (radang kulit) pada anjing, serta abses pada semua spesies termasuk unggas (Jawetz et al. 2004). Infeksi yang disebabkan oleh S. aureus juga dapat menyebabkan meningitis (radang selaput otak). Penyakitpenyakit tersebut tidak jarang dapat menyebabkan kematian meskipun telah dilakukan terapi dengan antibiotik. Hal ini terutama disebabkan oleh strain S. aureus yang telah bermutasi, contohnya strain methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Rybak dan LaPlante 2005). Salah satu penyebab masuknya S. aureus ke dalam tubuh adalah melalui makanan yang tercemar oleh bakteri tersebut sehingga menyebabkan infeksi saluran pencernaan, diare, bahkan diare akut yang disebabkan enterotoksin yang dihasilkan bakteri tersebut (Rybak dan LaPlante 2005). Sumber: hartokofiles.wordpress.com. Gambar 2 Staphylococcus aureus. Escherichia coli termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae. Golongan bakteri ini merupakan kelompok besar dari bakteri Gram negatif, tidak berspora, dan berbentuk batang kecil. Kelompok ini memiliki sifat khas, yaitu mampu tumbuh secara aerobik maupun anaerobik fakultatif pada beraneka macam karbohidrat (Buckle et al. 1985). E. coli pada umumnya merupakan mikrob yang secara normal terdapat pada saluran pencernaan hewan dan manusia. Bakteri ini memiliki panjang 2.0-6.0 µm dan lebar 1.1- 1.5 µm. Suhu optimum bakteri ini adalah 37°C. Beberapa strain bakteri ini dapat menyebabkan gastroentritis pada manusia dan hewan ternak, diare, dan infeksi saluran kemih (Jawetz et al. 2004). Sumber: www.jpnn.com. Gambar 3 Escherichia coli. Antibakteri Zat antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau metabolisme bakteri (Pelczar dan Chan 1986). Berdasarkan aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu antibakteri bakteriostatik yang bekerja menghambat populasi bakteri tetapi tidak mematikan bakterinya; dan antibakteri bakterisida yang bekerja dengan membunuh bakteri. Umumnya terdapat transisi antara kerja bakteriostatik dan bakterisida. Ada beberapa antibakteri yang bersifat bakteriostatik dapat berubah menjadi bakterisida jika digunakan dalam dosis tinggi (Schunack et al. 1990). Zat antibakteri yang digunakan untuk membasmi bakteri patogen penyebab penyakit infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi. Artinya, obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk bakteri tetapi relatif atau bahkan tidak toksik terhadap inang (Gan et al. 1980). Suatu zat antibakteri dikatakan memiliki spektrum luas apabila dapat membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif, spektrum sempit apabila hanya membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja, dan spektrum terbatas apabila hanya efektif terhadap satu spesies bakteri tertentu saja (Dwijoseputro 1990). Bakteri merupakan sel hidup. Oleh karena itu, struktur sel bakteri hampir sama dengan jenis sel makhluk hidup lainnya. Mekanisme kerja antibakteri dapat berlangsung melalui beberapa cara, diantaranya menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel, menghambat kerja protein pada dinding sel, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat metabolisme sel mikrob (Pelczar dan Chan 1986). 4 Ekstraksi Ekstraksi merupakan prosedur untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan (Harborne 1987). Ekstraksi dapat diartikan juga sebagai cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Kelarutan zat dalam pelarut bergantung pada kepolarannya. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, dan sebaliknya. Dalam ekstraksi, diperhatikan juga selektivitas pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi komponen sasaran, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut (Harborne 1987). Metode ekstraksi yang umum digunakan antara lain maserasi, soxhletasi, penggodokan (refluks), ekstraksi cair-cair (partisi), dan ekstraksi ultrasonik. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi dan ekstraksi cair-cair. Maserasi merupakan proses pengambilan komponen target yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam jangka waktu tertentu. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan dengan konsentrasi tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi, sesekali dilakukan pengadukan dan juga dilakukan penggantian pelarut. Residu yang diperoleh dipisahkan kemudian filtratnya diuapkan (Sudjadi 1986). Metode maserasi memiliki kelebihan antara lain sederhana, relatif murah, tidak memerlukan peralatan yang rumit, dan dapat menghindari kerusakan komponen senyawa yang tidak tahan panas karena metode ini dilakukan tanpa proses pemanasan. Kelemahan metode ini antara lain membutuhkan waktu yang cukup lama dan menggunakan jumlah pelarut yang banyak sehingga tidak efektif dan efisien (Meloan 1999). Ekstraksi cair-cair merupakan metode ekstraksi yang didasarkan pada sifat kelarutan komponen target dan distribusinya dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur. Senyawa polar akan terbawa dalam pelarut polar, senyawa semipolar akan terbawa dalam pelarut yang semipolar, dan senyawa nonpolar akan terbawa dalam pelarut nonpolar. Ekstraksi cair-cair bertahap merupakan teknik ekstraksi cair-cair yang paling sederhana, cukup dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak saling bercampur kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi distribusi zat terlarut di antara kedua pelarut (Khopkar 2002). Dalam hal ini, pemisahan zat yang polar dan nonpolar dapat dilakukan dengan ekstraksi cair-cair (partisi) dalam corong pisah. Pengocokan bertujuan memperluas area permukaan kontak di antara kedua pelarut sehingga pendistribusian zat terlarut di antara keduanya dapat berlangsung dengan baik. Syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah memiliki kepolaran yang sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan harus terpisah setelah pengocokan (Harvey 2000). Kromatografi Kolom dan Kromatografi Lapis Tipis Metode pemisahan atau yang umum dikenal sebagai fraksinasi merupakan proses pemisahan komponen suatu ekstrak menjadi kelompok-kelompok senyawa yang memiliki kemiripan karakteristik secara kimia. Fraksinasi akan berjalan dengan tepat apabila menggunakan pelarut yang paling baik dan sesuai dalam pemisahan senyawa-senyawa yang difraksinasi. Metode fraksinasi yang paling umum digunakan adalah kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis. Kromatografi kolom adalah salah satu metode kromatografi untuk analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa kimia. Kromatografi kolom bertujuan memurnikan dan mengisolasi komponen dari suatu campurannya. Kromatografi jenis ini menggunakan suatu kolom kaca yang berisi fase diam di dalamnya (Day dan Underwood 2001). Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi yang terbaik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari satu gram). Kolom kromatografi yang akan dipakai dapat dibuat dengan cara menuangkan suspensi fase diam (penjerap) dalam pelarut yang sesuai ke dalam kolom dan dibiarkan memampat. Pada pemisahan kromatografi kolom, suatu pelarut pengelusi dialirkan secara kontinu melewati kolom akibat gaya berat atau didorong dengan tekanan, kemudian memisahkan senyawa dalam campuran berdasarkan kepolarannya. Komponen-komponen dari campuran senyawa yang dipisahkan keluar dari kolom, kemudian dikumpulkan dan difraksinasi (Markham 1988). Umumnya, silika gel digunakan sebagai fase diam kromatografi kolom, dan proses elusinya dapat berupa elusi isokratik 5 dengan satu jenis pelarut ataupun elusi gradien dengan beberapa jenis pelarut sesuai dengan peningkatan kepolarannya (Harvey 2000). Hasil pemisahan dengan kromatografi kolom dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode kromatografi adsorpsi yang menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam yang keras sebagai fase diam. Fase diam KLT seringkali mengandung zat yang dapat berpendar dalam sinar ultraviolet. Fase gerak yang digunakan pada KLT merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai (Houghton & Raman 1998). Data hasil KLT diberikan dalam bentuk nilai Rf senyawa dalam sistem pelarut tertentu. Nilai Rf dihitung berdasarkan pergerakan zat relatif terhadap garis depan pelarut dalam sistem KLT dan dihitung melalui perbandingan jarak tempuh zat dengan jarak tempuh garis depan pelarut. BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, neraca analitik, oven, penguap putar, inkubator, autoklaf, pipet mikro, laminar air flow biosafety, jarum ose, pengaduk magnet, lempeng pemanas, spektrometer sinar tampak (Spectronic 20D+), pelat mikro 96-sumur, mikroplate reader BIO-RAD Model 680 XR, pipa kapiler, bejana kromatografi, dan kolom. Bahan-bahan yang digunakan adalah simplisia serbuk kulit batang tanaman berenuk, metanol, akuadestilata, n-heksana, etil asetat, diklorometana, dimetil sulfoksida (DMSO), FeCl3 1%, anhidrida asam asetat, kloroform, NH4OH, dietil eter, pereaksi Lieberman-Burchard, serbuk Mg, amil alkohol, H2SO4 2 M, pereaksi Dragendorff, Meyer, dan Wagner, HCl pekat, silika gel G60 (Merck 230-400 mesh), pelat silika gel G60 F254 (Merck), alumunium foil, agar nutrien (Nutrient Agar, NA), kaldu nutrien (Nutrient Broth, NB), larutan NaCl fisiologis 0.85%, isolat bakteri Staphylococcus aureus (Gram positif) dan Escherichia coli (Gram negatif) tipe liar, kertas cakram (Whatman No.1 diameter 6.0 mm), dan antibiotik amoksisilin. Metode Metode penelitian mengikuti diagram alir pada Lampiran 1 yang meliputi penyiapan sampel, penentuan kadar air, ekstraksi bagian tanaman, ekstraksi cair-cair, uji aktivitas antibakteri, penentuan eluen terbaik dengan KLT, fraksinasi menggunakan kromatografi kolom, penentuan KHM dan KBM fraksi teraktif, dan analisis fitokimia. Penyiapan Sampel Bagian kulit batang segar tanaman berenuk dikumpulkan dari daerah Babakan Lio, Darmaga, Bogor, pada minggu kedua bulan April 2010. Bahan segar tanaman dicuci, dipotong kecil-kecil, dikeringudarakan, kemudian digiling hingga diperoleh simplisia serbuk. Simplisia serbuk selanjutnya disimpan dalam wadah kedap udara. Penentuan Kadar Air Simplisia Berenuk Cawan porselin dicuci bersih dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105°C selama 30 menit. Selanjutnya cawan didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, kemudian ditimbang bobot kosongnya. Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C selama 2x24 jam. Cawan beserta isinya didinginkan dalam eksikator sekitar 30 menit kemudian ditimbang. Proses pengeringan dan penimbangan diulang kembali sampai diperoleh bobot konstan. Penentuan kadar air dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Kadar air (%) = A – B x 100% A Keterangan: A = bobot bahan sebelum dikeringkan (g) B = bobot bahan setelah dikeringkan (g) Ekstraksi Serbuk kulit batang tanaman berenuk sebanyak 150 g dimaserasi dengan 600 mL metanol pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah itu, maserat dipisahkan kemudian residu dimaserasi kembali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Semua maserat dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap putar. Bobot ekstrak kering yang diperoleh kemudian ditimbang. Rendemen ekstrak dihitung dengan membandingkan bobot ekstrak yang diperoleh terhadap bobot sampel