FRAKSINASI KOMPONEN AKTIF ANTIBAKTERI

advertisement
1
PENDAHULUAN
Bakteri
merupakan
mikroorganisme
prokariotik yang khas, bersel tunggal, dan
tidak mengandung struktur yang terbatasi
membran di dalam sitoplasmanya (Pelczar dan
Chan 1986). Ukurannya yang mikro dan
mudah berkembang biak menyebabkan
bakteri tersebar hampir di setiap tempat dan
dapat tumbuh di wilayah dengan kondisi
umum hingga ekstrim. Bakteri juga dapat
tumbuh dan berkembang biak dengan baik di
permukaan kulit dan di dalam tubuh manusia
maupun hewan.
Bakteri ada yang bersifat patogen dan ada
pula yang nonpatogen. Bakteri patogen
merupakan
bakteri
yang
berpotensi
menyebabkan infeksi ataupun penyakit, baik
dalam jumlah yang sedikit ataupun saat
jumlahnya melebihi normal. Sementara itu,
bakteri nonpatogen merupakan bakteri yang
tidak berpotensi menyebabkan infeksi
penyakit tertentu pada manusia ataupun
hewan inangnya.
Beragamnya bakteri patogen yang dapat
menyebabkan infeksi ataupun penyakit telah
memacu penggunaan antibiotik sebagai obat
utama. Antibiotik bekerja secara spesifik pada
proses tertentu dalam daur hidup bakteri.
Sistem mekanisme resistensi terhadap
antibiotik mungkin dilakukan oleh bakteri
sasaran sehingga mutasi pada bakteri mungkin
dapat terjadi dan memungkinkan munculnya
strain bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Hal ini menyebabkan antibiotik biasanya
diberikan dalam dosis yang menyebabkan
bakteri segera mati dalam jangka waktu cukup
lama agar tidak terjadi mutasi pada bakteri.
Namun demikian, pemberian dosis yang
tinggi dalam jangka waktu cukup lama
terkadang memberikan efek samping yang
tidak diinginkan dalam tubuh.
Penggunaan antibiotik sintetik maupun
semi-sintetik umumnya memiliki efek
samping tertentu yang tidak diharapkan,
terutama apabila antibiotik tersebut digunakan
secara terus-menerus. Oleh karena itu,
penelitian-penelitian mengenai zat antibakteri
alami terus dilakukan. Hingga saat ini, banyak
penelitian yang dilakukan untuk mencari
senyawa-senyawa metabolit sekunder dari
tumbuhan yang memiliki aktivitas antibakteri.
Produk bahan alam seperti metabolit
sekunder, baik senyawa murni maupun dalam
bentuk ekstrak, memiliki peluang untuk
dikembangkan dalam dunia pengobatan.
Senyawa bahan alam tersebut memiliki efek
terapis yang signifikan terhadap bakteri,
jamur, maupun virus yang bersifat patogen
terhadap hewan dan manusia. Efek terapis
yang ditimbulkan juga lebih aman tanpa efek
samping (Parthasarathy et al. 2009).
Salah satu tanaman yang berpotensi
dikembangkan dalam dunia pengobatan
adalah berenuk (Crescentia cujete Linn).
Berenuk merupakan tanaman perdu tropis
yang berkhasiat sebagai obat berbagai
penyakit. Daun berenuk dalam pengobatan
tradisional digunakan untuk mengobati luka
baru dan menurunkan hipertensi. Daun
mudanya
ditumbuk
dan
dijadikan
pengkompres untuk sakit kepala dan luka.
Sementara daging buahnya digunakan untuk
mengobati diare, flu, bronkhitis, batuk, asma,
dan uretritis (Heyne 1987).
Uji fitokimia yang dilakukan oleh
Ogbuagu (2008) memberikan informasi
bahwa daging buah berenuk mengandung
alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan
polifenol. Kandungan alkaloid, saponin, tanin,
dan polifenolnya berpotensi sebagai zat
antibakteri. Rasadah dan Houghton (1988)
juga
menyimpulkan
adanya
potensi
antibakteri dari kulit kayu, batang, dan akar
tanaman famili Bignoniaceae, termasuk
Crescentia cujete Linn. Oleh karena itu,
tanaman berenuk ini memiliki fungsi sebagai
antibakteri.
Penelitian ini bertujuan menentukan fraksi
teraktif antibakteri ekstrak kulit batang
tanaman
berenuk,
menentukan
nilai
konsentrasi hambat minimum (KHM) dan
konsentrasi bunuh minimum (KBM) dari
fraksi teraktif tersebut, dan mengidentifikasi
kandungan fitokimianya.
TINJAUAN PUSTAKA
Berenuk
Berenuk termasuk ke dalam kingdom
Plantae (tumbuhan), subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), superdivisi
Spermatophyta (tumbuhan berbiji), divisi
Magnoliophyta
(tumbuhan
berbunga),
subdivisi Angiospermae (tumbuhan berbiji
tertutup), kelas Magnoliopsida (dikotil),
subkelas Asteridae, ordo Scrophulariales,
famili Bignoniaceae, genus Crescentia,
dengan nama spesiesnya adalah Crescentia
cujete Linn.
2
Gambar 1 Tanaman Berenuk.
Berenuk umum dijumpai di daerah tropis.
Tanaman ini merupakan jenis tanaman dikotil
berbunga yang berasal dari Amerika Tengah
dan Selatan. Tanaman ini termasuk tanaman
perdu dengan tinggi sekitar 6-10 m, berdaun
hijau sepanjang tahun, dan memiliki kayu
yang kuat dengan warna putih kehitaman.
Sistem daun tanaman berenuk cukup
sederhana dengan bentuk majemuk, menyirip,
lonjong, bertepi rata, ujung daun membulat,
pangkal daun meruncing, dan bertangkai
pendek. Berenuk memiliki bunga tunggal
yang muncul dari cabang dan ranting dengan
kelopak berbentuk corong. Buahnya berwarna
hijau kekuningan berbentuk bulat besar
dengan diameter mencapai 20 cm. Buah
berenuk termasuk buah tunggal dengan kulit
buah yang kuat dan keras. Di dalamnya
terdapat pulp dengan biji berukuran kecilkecil yang menempel pada pulp (Michael
2004).
Kandungan kimia daging buah berenuk
yang telah dilaporkan antara lain alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, polifenol, vitamin
A, C, E, niasin, riboflavin, thiamin,
karbohidrat, dan mineral-mineral yang
mencakup natrium, kalium, kalsium, fosfor,
dan magnesium. Sementara itu, bagian daun,
kulit batang, dan akarnya mengandung
saponin dan polifenol (Ogbuagu 2008).
Berenuk berkhasiat mengobati berbagai
macam penyakit sehingga sering digunakan
dalam pengobatan tradisional. Batang, daun,
buah, dan akarnya sering digunakan sebagai
obat pencahar, diare, obat diuretik, otitis,
analgesik, dan antiinflamasi (Morton 1981,
Michael 2004). Pulpnya bila dicampur dengan
daun Lignum vitae telah digunakan untuk
pengobatan diabetes. Pulpnya yang belum
matang juga telah digunakan untuk
penyembuhan sakit kepala, batuk, pneumonia,
antipiretik, dan pencahar. Di Afrika bagian
tenggara, buah berenuk dapat dimakan pada
bagian pulpnya dan diyakini dapat mengobati
demam, tetanus dan kejang-kejang, muntahmuntah, menstruasi tidak lancar, dan
gangguan prostat (Burkill 1985, Morton
1981). Di beberapa daerah di Indonesia,
berenuk juga telah digunakan dalam
pengobatan
tradisional.
Di
Sulawesi
Tenggara, kulit batang berenuk direbus untuk
obat diabetes (Rahayu et al. 2006). Daun
berenuk dalam pengobatan tradisional di Jawa
digunakan untuk mengobati luka baru dan
menurunkan hipertensi. Daun mudanya
ditumbuk dan dijadikan pengkompres untuk
sakit kepala dan membersihkan luka baru.
Sementara daging buahnya digunakan untuk
mengobati diare, flu, bronkhitis, batuk, asma,
dan uretritis (Heyne 1987).
Bakteri
Bakteri merupakan sel prokariotik yang
khas, bersel tunggal, dan mengandung struktur
yang tidak dibatasi membran di dalam
sitoplasmanya. Bakteri memiliki diameter 0.51.0 µm dan panjangnya 1.5-2.5 µm. Sel-sel
individu bakteri dapat berbentuk bola, batang,
atau spiral (heliks) (Pelczar dan Chan 1986).
Berdasarkan komposisi dinding selnya,
bakteri dibedakan menjadi dua, yaitu bakteri
Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram
positif adalah bakteri yang memiliki lapisan
peptidoglikan (molekul yang tersusun atas
asam amino dan gula) yang tebal. Tebalnya
peptidoglikan ini menyebabkan bakteri tahan
terhadap sifat osmosis yang dapat memecah
sel bakteri tersebut. Lapisan peptidoglikan
pada bakteri Gram negatif lebih tipis tetapi
memiliki membran luar yang tebal sehingga
bersama-sama
dengan
peptidoglikan
membentuk mantel pelindung yang kuat untuk
sel (McKanne dan Kandel 1996).
Bakteri uji merupakan bakteri yang
digunakan dalam pengujian sifat antibakteri
suatu senyawa tertentu sehingga senyawa
tersebut dapat diketahui memiliki aktivitas
antibakteri atau tidak. Bakteri yang umum
digunakan mencakup salah satu dari jenis
bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Staphylococcus aureus termasuk famili
Micrococcaceae dan merupakan Gram positif,
tidak berspora, dan bersifat katalase positif.
Bakteri umumnya ditemukan dalam bentuk
kelompok kecil bergerombol. Micrococci ini
tersebar luas di alam bergabung dengan tanah,
debu, permukaan air, hewan, dan tanaman.
Walaupun bakteri ini merupakan pencemar
bahan pangan segar, tetapi jarang menjadi
penyebab utama kerusakan bahan pangan. Hal
ini disebabkan oleh ketidakmampuan bersaing
dengan jenis bakteri lain yang lebih cepat
tumbuh, seperti Pseudomodaceae, Entero-
3
bacteriaceae, dan Basillaceae. Namun
demikian, bakteri ini jauh lebih tahan terhadap
tekanan lingkungan, seperti suhu, garam, dan
kekeringan dibandingkan dengan jenis bakteri
lain (Buckle et al. 1985).
S. aureus merupakan penyebab berbagai
infeksi yang bernanah dan bersifat toksik pada
manusia dan hewan. Bakteri ini pada manusia
menyebabkan pneumonia (infeksi paru-paru),
osteomyelitis (radang tulang), sinusitis,
tonsilitis
(radang
amandel),
abses
(penimbunan nanah akibat infeksi bakteri),
dan endokarditis. S. aureus pada hewan
menyebabkan penyakit seperti mastitis
(pembengkakan payudara) pada sapi, pustular
dermatitis (radang kulit) pada anjing, serta
abses pada semua spesies termasuk unggas
(Jawetz et al. 2004). Infeksi yang disebabkan
oleh S. aureus juga dapat menyebabkan
meningitis (radang selaput otak). Penyakitpenyakit tersebut tidak jarang dapat
menyebabkan kematian meskipun telah
dilakukan terapi dengan antibiotik. Hal ini
terutama disebabkan oleh strain S. aureus
yang telah bermutasi, contohnya strain
methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) (Rybak dan LaPlante 2005).
Salah satu penyebab masuknya S. aureus
ke dalam tubuh adalah melalui makanan yang
tercemar oleh bakteri tersebut sehingga
menyebabkan infeksi saluran pencernaan,
diare, bahkan diare akut yang disebabkan
enterotoksin yang dihasilkan bakteri tersebut
(Rybak dan LaPlante 2005).
Sumber: hartokofiles.wordpress.com.
Gambar 2 Staphylococcus aureus.
Escherichia coli termasuk ke dalam famili
Enterobacteriaceae. Golongan bakteri ini
merupakan kelompok besar dari bakteri Gram
negatif, tidak berspora, dan berbentuk batang
kecil. Kelompok ini memiliki sifat khas, yaitu
mampu tumbuh secara aerobik maupun
anaerobik fakultatif pada beraneka macam
karbohidrat (Buckle et al. 1985).
E. coli pada umumnya merupakan mikrob
yang secara normal terdapat pada saluran
pencernaan hewan dan manusia. Bakteri ini
memiliki panjang 2.0-6.0 µm dan lebar 1.1-
1.5 µm. Suhu optimum bakteri ini adalah
37°C. Beberapa strain bakteri ini dapat
menyebabkan gastroentritis pada manusia dan
hewan ternak, diare, dan infeksi saluran kemih
(Jawetz et al. 2004).
Sumber: www.jpnn.com.
Gambar 3 Escherichia coli.
Antibakteri
Zat antibakteri adalah zat yang dapat
mengganggu pertumbuhan atau metabolisme
bakteri (Pelczar dan Chan 1986). Berdasarkan
aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu antibakteri
bakteriostatik yang bekerja menghambat
populasi bakteri tetapi tidak mematikan
bakterinya; dan antibakteri bakterisida yang
bekerja dengan membunuh bakteri. Umumnya
terdapat transisi antara kerja bakteriostatik dan
bakterisida. Ada beberapa antibakteri yang
bersifat bakteriostatik dapat berubah menjadi
bakterisida jika digunakan dalam dosis tinggi
(Schunack et al. 1990).
Zat antibakteri yang digunakan untuk
membasmi bakteri patogen penyebab penyakit
infeksi pada manusia harus memiliki sifat
toksisitas selektif yang tinggi. Artinya, obat
tersebut harus bersifat sangat toksik untuk
bakteri tetapi relatif atau bahkan tidak toksik
terhadap inang (Gan et al. 1980).
Suatu zat antibakteri dikatakan memiliki
spektrum luas apabila dapat membunuh
bakteri Gram positif dan Gram negatif,
spektrum sempit apabila hanya membunuh
bakteri Gram positif atau Gram negatif saja,
dan spektrum terbatas apabila hanya efektif
terhadap satu spesies bakteri tertentu saja
(Dwijoseputro 1990). Bakteri merupakan sel
hidup. Oleh karena itu, struktur sel bakteri
hampir sama dengan jenis sel makhluk hidup
lainnya. Mekanisme kerja antibakteri dapat
berlangsung melalui beberapa cara, diantaranya menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel,
menghambat kerja protein pada dinding sel,
menghambat sintesis asam nukleat, dan
menghambat metabolisme sel mikrob (Pelczar
dan Chan 1986).
4
Ekstraksi
Ekstraksi merupakan prosedur untuk
memperoleh kandungan senyawa organik dari
jaringan tumbuhan (Harborne 1987). Ekstraksi
dapat diartikan juga sebagai cara untuk
memisahkan campuran beberapa zat menjadi
komponen-komponen yang terpisah (Winarno
et al. 1973). Kelarutan zat dalam pelarut
bergantung pada kepolarannya. Zat yang polar
hanya larut dalam pelarut polar, dan
sebaliknya. Dalam ekstraksi, diperhatikan
juga selektivitas pelarut, kemampuan untuk
mengekstraksi komponen sasaran, toksisitas,
kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut
(Harborne 1987).
Metode ekstraksi yang umum digunakan
antara lain maserasi, soxhletasi, penggodokan
(refluks), ekstraksi cair-cair (partisi), dan
ekstraksi ultrasonik. Metode ekstraksi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
maserasi dan ekstraksi cair-cair.
Maserasi merupakan proses pengambilan
komponen target yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia dalam pelarut
yang sesuai dalam jangka waktu tertentu. Isi
sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di
luar sel. Larutan dengan konsentrasi tinggi
akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut
dengan konsentrasi rendah (proses difusi).
Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di
luar sel dan di dalam sel. Selama proses
maserasi, sesekali dilakukan pengadukan dan
juga dilakukan penggantian pelarut. Residu
yang diperoleh dipisahkan kemudian filtratnya
diuapkan (Sudjadi 1986). Metode maserasi
memiliki kelebihan antara lain sederhana,
relatif murah, tidak memerlukan peralatan
yang rumit, dan dapat menghindari kerusakan
komponen senyawa yang tidak tahan panas
karena metode ini dilakukan tanpa proses
pemanasan. Kelemahan metode ini antara lain
membutuhkan waktu yang cukup lama dan
menggunakan jumlah pelarut yang banyak
sehingga tidak efektif dan efisien (Meloan
1999).
Ekstraksi cair-cair merupakan metode
ekstraksi yang didasarkan pada sifat kelarutan
komponen target dan distribusinya dalam dua
pelarut yang tidak saling bercampur. Senyawa
polar akan terbawa dalam pelarut polar,
senyawa semipolar akan terbawa dalam
pelarut yang semipolar, dan senyawa nonpolar
akan terbawa dalam pelarut nonpolar.
Ekstraksi cair-cair bertahap merupakan teknik
ekstraksi cair-cair yang paling sederhana,
cukup
dengan
menambahkan
pelarut
pengekstraksi yang tidak saling bercampur
kemudian dilakukan pengocokan sehingga
terjadi distribusi zat terlarut di antara kedua
pelarut (Khopkar 2002). Dalam hal ini,
pemisahan zat yang polar dan nonpolar dapat
dilakukan dengan ekstraksi cair-cair (partisi)
dalam corong pisah. Pengocokan bertujuan
memperluas area permukaan kontak di antara
kedua pelarut sehingga pendistribusian zat
terlarut di antara keduanya dapat berlangsung
dengan baik. Syarat pelarut untuk ekstraksi
cair-cair adalah memiliki kepolaran yang
sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan
harus terpisah setelah pengocokan (Harvey
2000).
Kromatografi Kolom dan Kromatografi
Lapis Tipis
Metode pemisahan atau yang umum
dikenal sebagai fraksinasi merupakan proses
pemisahan komponen suatu ekstrak menjadi
kelompok-kelompok senyawa yang memiliki
kemiripan
karakteristik
secara
kimia.
Fraksinasi akan berjalan dengan tepat apabila
menggunakan pelarut yang paling baik dan
sesuai dalam pemisahan senyawa-senyawa
yang difraksinasi. Metode fraksinasi yang
paling umum digunakan adalah kromatografi
kolom dan kromatografi lapis tipis.
Kromatografi kolom adalah salah satu metode
kromatografi untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif senyawa kimia. Kromatografi
kolom bertujuan memurnikan dan mengisolasi
komponen
dari
suatu
campurannya.
Kromatografi jenis ini menggunakan suatu
kolom kaca yang berisi fase diam di dalamnya
(Day dan Underwood 2001).
Kromatografi kolom merupakan metode
kromatografi yang terbaik untuk pemisahan
campuran dalam jumlah besar (lebih dari satu
gram). Kolom kromatografi yang akan dipakai
dapat dibuat dengan cara menuangkan
suspensi fase diam (penjerap) dalam pelarut
yang sesuai ke dalam kolom dan dibiarkan
memampat. Pada pemisahan kromatografi
kolom, suatu pelarut pengelusi dialirkan
secara kontinu melewati kolom akibat gaya
berat atau didorong dengan tekanan,
kemudian memisahkan senyawa dalam
campuran
berdasarkan
kepolarannya.
Komponen-komponen dari campuran senyawa
yang dipisahkan keluar dari kolom, kemudian
dikumpulkan dan difraksinasi (Markham
1988). Umumnya, silika gel digunakan
sebagai fase diam kromatografi kolom, dan
proses elusinya dapat berupa elusi isokratik
5
dengan satu jenis pelarut ataupun elusi
gradien dengan beberapa jenis pelarut sesuai
dengan peningkatan kepolarannya (Harvey
2000).
Hasil pemisahan dengan kromatografi
kolom dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT).
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan
metode kromatografi adsorpsi yang menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina
yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau
logam yang keras sebagai fase diam. Fase
diam KLT seringkali mengandung zat yang
dapat berpendar dalam sinar ultraviolet. Fase
gerak yang digunakan pada KLT merupakan
pelarut atau campuran pelarut yang sesuai
(Houghton & Raman 1998). Data hasil KLT
diberikan dalam bentuk nilai Rf senyawa
dalam sistem pelarut tertentu. Nilai Rf
dihitung berdasarkan pergerakan zat relatif
terhadap garis depan pelarut dalam sistem
KLT dan dihitung melalui perbandingan jarak
tempuh zat dengan jarak tempuh garis depan
pelarut.
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
gelas, neraca analitik, oven, penguap putar,
inkubator, autoklaf, pipet mikro, laminar air
flow biosafety, jarum ose, pengaduk magnet,
lempeng pemanas, spektrometer sinar tampak
(Spectronic 20D+), pelat mikro 96-sumur,
mikroplate reader BIO-RAD Model 680 XR,
pipa kapiler, bejana kromatografi, dan kolom.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
simplisia serbuk kulit batang tanaman
berenuk, metanol, akuadestilata, n-heksana,
etil asetat, diklorometana, dimetil sulfoksida
(DMSO), FeCl3 1%, anhidrida asam asetat,
kloroform, NH4OH, dietil eter, pereaksi
Lieberman-Burchard, serbuk Mg, amil
alkohol, H2SO4 2 M, pereaksi Dragendorff,
Meyer, dan Wagner, HCl pekat, silika gel G60
(Merck 230-400 mesh), pelat silika gel G60
F254 (Merck), alumunium foil, agar nutrien
(Nutrient Agar, NA), kaldu nutrien (Nutrient
Broth, NB), larutan NaCl fisiologis 0.85%,
isolat bakteri Staphylococcus aureus (Gram
positif) dan Escherichia coli (Gram negatif)
tipe liar, kertas cakram (Whatman No.1
diameter 6.0 mm), dan antibiotik amoksisilin.
Metode
Metode penelitian mengikuti diagram alir
pada Lampiran 1 yang meliputi penyiapan
sampel, penentuan kadar air, ekstraksi bagian
tanaman, ekstraksi cair-cair, uji aktivitas
antibakteri, penentuan eluen terbaik dengan
KLT, fraksinasi menggunakan kromatografi
kolom, penentuan KHM dan KBM fraksi
teraktif, dan analisis fitokimia.
Penyiapan Sampel
Bagian kulit batang segar tanaman
berenuk dikumpulkan dari daerah Babakan
Lio, Darmaga, Bogor, pada minggu kedua
bulan April 2010. Bahan segar tanaman
dicuci, dipotong kecil-kecil, dikeringudarakan, kemudian digiling hingga diperoleh
simplisia serbuk. Simplisia serbuk selanjutnya
disimpan dalam wadah kedap udara.
Penentuan Kadar Air Simplisia Berenuk
Cawan porselin dicuci bersih dan
dikeringkan di dalam oven bersuhu 105°C
selama 30 menit. Selanjutnya cawan
didinginkan dalam eksikator selama 30 menit,
kemudian ditimbang bobot kosongnya.
Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam
cawan dan dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105°C selama 2x24 jam. Cawan beserta
isinya didinginkan dalam eksikator sekitar 30
menit
kemudian
ditimbang.
Proses
pengeringan dan penimbangan diulang
kembali sampai diperoleh bobot konstan.
Penentuan kadar air dilakukan sebanyak tiga
kali ulangan.
Kadar air (%) = A – B x 100%
A
Keterangan:
A = bobot bahan sebelum dikeringkan (g)
B = bobot bahan setelah dikeringkan (g)
Ekstraksi
Serbuk kulit batang tanaman berenuk
sebanyak 150 g dimaserasi dengan 600 mL
metanol pada suhu ruang selama 24 jam.
Setelah itu, maserat dipisahkan kemudian
residu dimaserasi kembali dengan jenis dan
jumlah pelarut yang sama. Maserasi dilakukan
sebanyak 3 kali pengulangan. Semua maserat
dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap
putar. Bobot ekstrak kering yang diperoleh
kemudian ditimbang. Rendemen ekstrak
dihitung dengan membandingkan bobot
ekstrak yang diperoleh terhadap bobot sampel
Download