BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, pola penyakit bergeser dari penyakit infeksi menjadi penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif merupakan penyakit kronik menahun yang mampu mempengaruhi produktivitas seseorang, dimana progresivitas akan bertambah seiring bertambahnya usia seseorang. Salah satu penyakit degeneratif yang berkaitan erat dengan penyakit metabolisme dan pergeseran pola konsumsi makanan adalah diabetes mellitus (DM) (Suharmiati, 2003). Diabetes mellitus merupakan suatu kelainan metabolisme yang ditandai oleh karakteristik seperti hiperglikemia kronis dengan gangguan hasil metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang berpengaruh pada sekresi insulin, gerak insulin atau keduanya. Pengaruh diabetes mellitus berupa kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan beberapa organ (Riyadi, 2008). Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF), prevalensi DM di Indonesia menduduki peringkat ke-4 setelah Cina, India, dan Amerika yaitu sebesar 8,6% dari total penduduk Indonesia. Secara epidemilogi diperkirakan bahwa pada tahun 2025 jumlahnya melebihi 21 juta jiwa. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi DM yang terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 2,1% dimana jumlah tersebut meningkat 1,1% dibanding tahun 2007, sedangkan proporsi penduduk usia ≥15 tahun dengan DM sebesar 6,9%. Prevalensi DM juga cenderung lebih tinggi 1 2 pada perempuan, masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi, dan indeks kepemilikan tinggi serta masyarakat perkotaan. Hasil temuan tersebut membuktikan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan yang membutuhkan penanganan yang tepat dalam pengobatannya maupun pencegahannya (Departemen Kesehatan RI, 2006). Diagnosis utama pada penyakit DM adalah meningkatnya kadar glukosa dalam plasma darah yang melebihi batas normal (hiperglikemia). Hal ini disebabkan oleh kelainan pada metabolisme karbohidrat. Hiperglikemia dapat menyebabkan komplikasi kronik seperti penyakit kardiovaskuler (iskemik miokard, kardiomiopati), gangren, kegagalan kronis ginjal, retinopati serta neuropati. Komplikasi terjadi apabila kontrol terhadap kadar glukosa darah buruk sehingga penderita penyakit DM harus memperhatikan makanannya (IDF, 2007). Tujuan terapi pada DM adalah untuk mengontrol kadar glukosa darah dengan pemberian obat hipoglikemik oral atau agen antihiperglikemik dan insulin. Namun, dalam penatalaksanaannya masih mengalami keterbatasan yaitu adanya efek samping yang tidak diharapkan. Selain itu, obat yang memiliki efek farmakologis juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Alasan inilah yang menyebabkan meningkatnya ketertarikan pada penggunaan sumber alam dari tanaman lokal sebagai salah satu alternatif dalam terapi diet DM. Selain itu, sumber alam dari tumbuhan juga dikenal memiliki efek toksisitas rendah (Subroto, 2006). Saat ini, penanganan penyakit dengan modifikasi pola konsumsi pangan merupakan salah satu alternatif pencegahan dan pengobatan penyakit yang murah dan mudah (Barclay, 2008). Pendekatan konsep indeks glikemik (IG) dan 3 beban glikemik (BG) merupakan salah satu manajemen diet yang dapat diterapkan dalam usaha pencegahan dan penanganan penyakit DM. Konsep pendekatan IG dan BG terbukti memiliki pengaruh dalam pencegahan dan penanganan penyakit (Schulze, 2004). Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa diet rendah IG dapat mempengaruhi resistensi insulin (Liu et al., 2000; Ford and Liu 2001; Ludwig et al., 2003). Makanan dengan IG rendah akan dicerna dan diubah perlahan menjadi glukosa dimana fluktuasi peningkatan kadar glukosa relatif pendek. Konsep ini mampu mengendalikan kadar glukosa dalam darah (Widowati et al., 2010). Tanaman lokal yang belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat alternatif adalah garut dan gembili. Garut dapat menjadi alternatif sumber pangan potensial karena menghasilkan umbi berkualitas tinggi dan mudah dibudidayakan (Murdiati et al., 2011). Kadar karbohidrat yang cukup tinggi dari kedua umbi tersebut dapat digunakan untuk mensubsitusi tepung terigu. Selain karena kandungan karbohidrat yang tinggi juga karena IG yang rendah. IG dari garut sebesar 14, sedangkan IG gembili sebesar 90 (Marsono, 2002). Hasil olahan dari tepung gembili dan tepung garut dapat diwujudkan dalam bentuk mie basah. Mie basah merupakan salah satu bahan pangan yang cukup potensial sebagai sumber karbohidrat alternatif. Hasil survei yang dilakukan oleh Survei Sosial Ekonomi Pertanian (Susenas) menunjukkan bahwa konsumsi mie basah di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 0,2% (Witasari, 2008). Selain itu, produk mie basah juga dapat dikombinasikan dengan produk olahan lain sehingga diharapkan dapat mengurangi kejenuhan diabetesi. Penggunaan tepung terigu sebagai bagian formulasi mie basah bertujuan untuk memperoleh 4 gluten yang terdapat pada tepung terigu. Gluten pada tepung terigu berfungsi sebagai pengenyal agar mie tidak mudah putus. Mie basah formulasi tepung garut (Maranta arundinacea), tepung gembili (Dioscorea esculenta), dan tepung terigu diharapkan memiliki IG dan BG yang rendah sehingga dapat menjadi salah satu produk pangan bagi penderita DM tipe 2 dimana IG yang disarankan untuk diabetesi adalah sebesar <55 dan BG sebesar adalah <10. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang muncul terkait IG dan BG terhadap pengolahan mie basah formulasi tepung garut (Maranta arundinacea), tepung gembili (Dioscorea esculenta), dan tepung terigu adalah berapakah IG dan BG mie basah formulasi tepung garut (Maranta arundinacea), tepung gembili (Dioscorea esculenta), dan tepung terigu? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui IG dan BG dari mie basah formulasi tepung garut (Maranta arundinacea), tepung gembili (Dioscorea esculenta), dan tepung terigu. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Program Studi Gizi Kesehatan Sebagai bahan pustaka dalam rangka untuk memperkaya ilmu pengetahuan terutama dalam pemanfaatan umbi-umbi lokal di Indonesia. 5 2. Bagi Masyarakat Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan umbi lokal seperti garut dan gembili serta mengenalkan konsep IG dan BG kepada masyarakat sehingga masyarakat mampu memilih bahan makanan yang sesuai untuk diabetesi. 3. Bagi Peneliti Sebagai referensi penelitian selanjutnya mengenai pemanfaatan garut dan gembili dalam pembuatan makanan fungsional bagi diabetesi. E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian Indeks Glikemik dan Beban Glikemik Singkong (Manihot utilissima) Goreng dan Rebus yang dilakukan oleh Irawati (2012). Penelitian ini mengenai pengaruh pengolahan singkong (Manihot utilissima) terhadap indeks glikemik. Singkong dibagi menjadi dua pengolahan yaitu singkong goreng dan rebus. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada bahan makanan yang diujikan dan cara pengolahan bahan makanan. Persamaan penelitian ini adalah metode analisis glukosa darah dan kriteria subjek serta memperhitungkan IG dan BG makanan. 2. Penelitian Effect of Food Processing on Glycemic Response to White Yam (Dioscorea rotunda) Meals yang dilakukan oleh Jimoh et al. (2008). Penelitian ini mengenai pengaruh proses pengolahan yam putih (Dioscorea rotunda) terhadap respon glikemik. Yam putih diproses menjadi beberapa macam pengolahan yaitu yam rebus, yam tumbuk, dan amala (yam yang diolah dengan cara dipotong seperti keripik kemudian dimasak 6 setengah matang pada suhu 800C kemudian dijemur selama 72 jam lalu dihaluskan). Perbedaan penelitian yang dilakukan adalah bahan makanan yang diujikan. Persamaan penelitian ini adalah rentang waktu pengambilan darah setiap 30 menit selama 2 jam. 3. Penelitian Glycemic Index of Sweet Potato as Affected by Cooking Method yang dilakukan oleh Allen et al. (2012). Penelitian ini mengenai pengaruh metode pengolahan ubi jalar (sweet potato) terhadap nilai IG. Metode pengolahan meliputi pemanasan pada suhu 1630C selama satu jam, pengovenan selama lima menit pada microwave 1000 watt, pengeringan pada suhu 600C selam 16 jam, dan steaming (penguapan) pada suhu 1000C selama 45 menit. Perbedaan penelitian yang dilakukan adalah bahan makanan yang diujikan. Persamaan penelitian yang dilakukan adalah jumlah subjek penelitian, rentang waktu pengambilan darah kapiler yaitu setiap 30 menit selama 2 jam, dan pangan standar yang digunakan yaitu glukosa. 4. Penelitian Glycemic Index of Selected Nigerian Foods for Apparently Healthy People yang dilakukan oleh Akinlua et al. (2013). Penelitian ini mengenai penentuan IG pada beberapa makanan khas Nigeria yaitu buncis rebus, akara, moinmoin, dan ofuloju. Hasil dari penelitian tersebut adalah IG dari buncis rebus sebesar 56, IG akara sebesar 44, IG moinmoin sebesar 41, dan IG ofulujo sebesar 54. Perbedaan penelitian yang dilakukan adalah bahan makanan yang diujikan dan cara pengolahan bahan makanan uji. Persamaan penelitian yang dilakukan adalah metode pengambilan darah dan pangan standar yang digunakan yaitu glukosa. 7 5. Penelitian The Effect of Extrusion Processing on the Glycemic Index of Dry Bean Products yang dilakukan oleh Oosthuizen et al. (2005). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan IG pada pasta dan muffin yang terbuat dari tepung kacang kering. Perbedaan penelitian yang dilakukan adalah bahan makanan yang diujikan. Persamaan penelitian yang dilakukan adalah pangan standar yang digunakan dan metode pengambilan darah kapiler.