pendahuluan - IPB Repository

advertisement
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu herbal di Indonesia yang telah dikenal sebagai tanaman
afrodisiaka adalah purwoceng (Pimpinella alpina Molk.). Herbal dari genus
Apiaceae ini terkenal karena khasiatnya yang dapat meningkatkan stamina dan
meningkatkan libido. Purwoceng telah menjadi salah satu komoditasi tanaman
obat komersial yang diolah sebagai obat tradisional (jamu) ataupun minuman khas
masyarakat di daerah asalnya yaitu dataran tinggi Dieng. Pada saat ini purwoceng
telah diperdagangkan dan dikonsumsi sebagai obat atau jamu diantaranya berupa
bubuk dan kapsul atau dijadikan sebagai campuran kopi, teh, dan susu. Seluruh
bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional. Menurut
Heyne (1987), ekstrak purwoceng dapat digunakan sebagai obat diuretik, tonik,
dan terutama sebagai afrodisiaka.
Darmawati dan Roostika (2006) melaporkan bahwa beberapa aspek yang
telah diteliti sampai tahun 2006 antara lain mengenai budidaya, kultur in vitro,
fitokimia serta efek farmakologi sedangkan aspek reproduksi belum banyak
dilaporkan. Sidik et al. (1975) melaporkan bahwa dalam akar purwoceng
terkandung bergapten, isobergapten, dan spondin yang semuanya termasuk ke
dalam kelompok furanokumarin. Caropeboka dan Lubis (1975) melaporkan pula
bahwa purwoceng mengandung senyawa kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan
beberapa macam senyawa gula (oligosakarida). Penelitian yang dilakukan oleh
Suzery et al. (2004) menemukan adanya kandungan senyawa stigmasterol dalam
akar purwoceng.
Selain itu, aktivitas farmakologis dari ekstrak purwoceng memiliki daya
kerja untuk meningkatkan aktifitas motorik, meningkatkan sensibilitas,
merangsang susunan syaraf pusat serta dapat meningkatkan tingkah laku seksual
pada jantan (Caropeboka 1980). Beberapa peneliti masih menduga bahwa
mekanisme kerja senyawa aktif dari purwoceng berpengaruh langsung untuk
merangsang syaraf pusat atau langsung diubah menjadi testosteron di dalam
darah. Berbagai penelitian ekstrak purwoceng dalam bidang reproduksi yang
telah dilakukan antara lain peningkatan level hormon LH (luteinizing hormone),
FSH (follicle stimulating hormone), testosteron (Taufiqqurachman 1999), tingkat
libido, spermatogenesis (Juniarto 2004), bobot ovarium dan uterus (Hapsari
2011), efek androgenik terhadap anak ayam jantan (Usmiati 2010) dan androgenik
pada organ reproduksi betina dara (Achmadi 2011).
Konsentrasi hormon testosteron akan meningkat secara normal ketika
masa pubertas dicapai dan menurun seiring meningkatnya umur. Menurut
Taufiqqurachman (1999) peningkatan level hormon LH dan testosteron yang
terjadi sebagai akibat dari senyawa bioaktif yang terdapat pada purwoceng
berhubungan dengan keadaan tubulus seminiferus dalam proses pembentukan
spermatozoa. Selain itu, hormon androgen juga bertanggung jawab terhadap
perkembangan kelenjar asesoris diantaranya kelenjar prostat. Pada manusia
dengan adanya peningkatan hormon dihidrotestosteron (DHT) yang berlebihan
dapat memicu hiperplasia kelenjar prostat dan menyebabkan benign prostatic
hyperplasia (BPH).
2
Menurut Sjamsuhidayat dan De Jong (1998), adanya ketidaknormalan
kelenjar prostat diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem endokrin
khususnya golongan androgen yang berkorelasi dengan adanya pertambahan umur
dan pola hidup. Informasi mengenai kelanjutan efek dari peningkatan level
hormon testosteron terhadap organ reproduksi jantan dan hormon androgen
lainnya yaitu DHT masih belum jelas. Hormon DHT diduga berpengaruh terhadap
kelenjar prostat. Sampai saat ini penelitian yang menitikberatkan pengaruh
pemberian ekstrak purwoceng terhadap organ reproduksi jantan khusunya pada
kelenjar asesoris masih jarang dilaporkan. Kelenjar asesoris memiliki peran
penting pada hewan jantan. Oleh karena itu diperlukan studi mengenai
histomorfologi tubulus seminiferus dan kelenjar prostat tikus (Rattus novergicus)
serta konsentrasi hormon androgen pasca pemberian ekstrak purwoceng
(Pimpinella alpina Molk.).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tahapan
spermatogenesis dalam tubulus seminiferus dan aktifitas kelenjar prostat
kelompok umur tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng. Tujuan lainnya
adalah untuk mempelajari tingkat produksi hormon androgen (testosteron dan
DHT) setiap kelompok umur tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng
serta menentukan dosis yang memberikan pengaruh terbaik pada masing-masing
kelompok umur.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
perubahan histomorfologik dan kinerja hormon androgen pada tikus jantan pasca
pemberian ekstrak purwoceng. Manfaat lainnya diharapkan dapat memberikan
informasi awal mengenai pengaruh ekstrak purwoceng terhadap produksi semen.
Kerangka Pemikiran
Pimpinella alpina Molk. atau lebih dikenal sebagai tanaman purwoceng
dilaporkan memiliki khasiat afrodisiaka yang mampu meningkatkan kadar
hormon testosteron pada tikus jantan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
purwoceng memiliki kandungan beberapa senyawa kimia antara lain saponin,
sterol, stigmasterol, bergapten, isobergapten, spondin, kumarin, sejumlah kecil
alkaloid dan karbohidrat golongan oligosakarida. Efek dari beberapa kandungan
senyawa bioaktif tersebut dapat meningkatkan sensibilitas, merangsang susunan
syaraf pusat dan meningkatkan aktivitas motorik. Beberapa senyawa bioaktif yang
terkandung di dalam purwoceng dapat memacu peningkatan hormon testosteron
dan memberikan pengaruh terhadap tingkah laku seksual pada hewan jantan.
Hormon testosteron digunakan sebagai substrat dasar dalam spermatogenesis di
dalam tubulus seminiferus. Pada tubulus seminiferus terdapat beberapa kelompok
sel-sel germinal yang menyusun beberapa lapisan dan setiap lapisan menunjukkan
perbedaan generasi (Widotama 2008). Jumlah sel spermatogenik sangat
tergantung pada aktivitas tubulus seminiferus yang dipengaruhi oleh sistem
hormon, sehingga faktor endokrin mempunyai efek paling penting terhadap
3
spermatogenesis. Testosteron di produksi melalui rangsangan hipotalamus,
hipofisis anterior dan sampai ke organ target yaitu testis. Tingginya konsentrasi
testosteron akan memengaruhi stimulasi ke hipotalamus melalui mekanisme
umpan balik negatif (negative feedback mechanism) dan secara otomatis menekan
pengeluaran GnRH (Gonadothropin Releasing Hormone).
Hormon testosteron kemudian direduksi menjadi hormon DHT melalui
suatu mekanisme enzimatis. Enzim yang bertanggung jawab dalam proses
tersebut adalah enzim 5α-reductase. DHT adalah metabolit sekunder dari hormon
testosteron yang lebih kuat khususnya dalam perkembangan organ kelamin
sekunder pada jantan. Hormon DHT memiliki peran yang penting dalam
perkembangan kelenjar prostat. Adanya peningkatan level hormon testosteron
diduga selain memengaruhi proses spermatogenesis, juga akan memberikan
pengaruh terhadap konsentrasi metabolit sekundernya yaitu DHT dan dapat
memberikan pengaruh terhadap aktivitas organ sekunder lainnya seperti kelenjar
asesoris khususnya prostat dalam memproduksi cairan prostat.
Secara alamiah, pada masa pubertas terjadi peningkatan level hormon
testosteron yang optimum dan menurun pada umur tua. Pemilihan umur hewan
coba juga menjadi salah satu pertimbangan. Pemilihan umur hewan coba juga
menjadi salah satu pertimbangan, karena diketahui bahwa terdapat perbedaan
konsentrasi hormonal ketika masa pubertas konsentrasi hormon androgen
(testosteron) meningkat dan pada umur tua konsentrasi hormon akan secara alami
menurun. Pemberian ekstrak purwoceng akan memengaruhi proses reproduksi
pada tikus jantan, yaitu keberadaan hormon androgen dalam sirkulasi darah
ataupun organ target dari masing-masing hormon (perubahan morfologi dan
aktivitas dari jaringan dan organ reproduksi tertentu).
Berdasarkan gagasan yang telah dijelaskan, terdapat beberapa pertanyaan
yang ingin dijawab melalui penelitian ini. Pertama, apakah pemberian ekstrak
purwoceng dengan dosis bertingkat memengaruhi derajat spermatogenesis dalam
tubulus seminiferus tikus jantan pada setiap kelompok umur. Kedua, adakah
pengaruh dari pemberian ekstrak purwoceng terhadap kinerja kelenjar prostat.
Ketiga, apakah purwoceng memengaruhi aktivitas kelenjar prostat. Keempat,
bagaimanakah konsentrasi hormon androgen (testosteron dan DHT) tikus putih
jantan pada setiap kelompok umur dan apakah terdapat perbedaan respon terkait
dosis ekstrak purwoceng pada tingkatan umur tertentu. Melalui penelitian inilah
diharapkan dapat dibuktikan, apakah pemberian herbal yang telah dikenal sebagai
afrodisiaka yang berasal dari ekstrak purwoceng akan memengaruhi tubulus
seminiferus, kelenjar prostat serta hormon androgen. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian terhadap tubulus semiferus untuk membuktikan derajat
spermatogenesis dan aktivitas kelenjar prostat serta pengujian hormon androgen.
4
Ekstrak purwoceng
Hipotalamus
Hipofisa anterior
FSH
LH
Testis
(sertoli&leydig)
Testosteron
Organ seks primer
(testis : Spermatogenesis)
Enzim 5α-reduktase
Dihidrotestosteron
Organ seks sekunder
(asesoris : prostat)
Gambar 1
Bagan Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran maka dapat diambil hipotesis
sebagai berikut, yaitu : (1) terjadi peningkatan derajat spermatogenesis dalam
tubulus seminiferus pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca
pemberian ekstrak purwoceng; (2) terjadi peningkatan aktivitas kelenjar prostat
pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak
purwoceng; (3) terjadi peningkatan produksi hormon androgen (testosteron dan
DHT) pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak
purwoceng.
Download