1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu penyebab terjadinya pemanasan global adalah meningkatnya gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO₂) di atmosfer, dimana penurunan fungsi kawasan hutan (deforestasi) menjadi salah satu penyebab meningkatnya konsentrasi karbon dioksida yang seharusnya tersimpan dalam tumbuhan. Hutan dianggap menjadi salah satu mekanisme pengurangan emisi (mitigasi) karbon jika dilakukan secara lestari karena hutan sebagai sistem yang dinamis sangat besar peranannya terhadap perubahan lingkungan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominansi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Di dalam salah satu fungsinya, hutan berperan sebagai hutan produksi yang merupakan kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Kementrian Kehutanan 1999). Pada Bali Road Map:Key Issues Under Negotiation tahun 2007, pengelolaan lestari dari hutan (Sustainable Management of Forest - SFM ) merupakan salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon yang termasuk di dalam upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (REDD+). Di negaranegara maju biomassa tegakan antara lain digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi kegiatan pengelolaan hutan lestari, karena jumlah stok biomassa tergantung pada terganggu atau tidaknya hutan, ada atau tidaknya permudaan alam, dan peruntukan hutan (IPCC 1995). Biomassa merupakan ukuran penting untuk menilai perubahan struktur hutan. Perubahan dalam biomassa hutan bisa disebabkan oleh suksesi alami atau kegiatan manusia seperti silvikultur, pemanenan, dan pendegradasian, serta dampak alami dari kebakaran dan perubahan iklim. Biomassa hutan juga relevan dengan isu perubahan iklim. Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik diatas tanah pada pohon, termasuk daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). 2 Secara konvensional, informasi biomassa dapat diketahui melalui kegiatan survey lapangan secara langsung atau terestris. Akan tetapi saat ini informasi mengenai komponen hutan serta perubahannya semakin banyak dibutuhkan sehingga pengambilan informasi melalui survey lapangan semakin tidak efisien dan tidak maksimal dalam hal luasan serta jangka waktu yang diperlukan. Pengambilan informasi skala besar dan skala yang luas telah dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh untuk mendukung kebutuhan informasi yang berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini biomassa sebagai parameter yang penting dalam mengukur perubahan struktur hutan dapat diduga dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (Hush et al. 2003). Siregar dan Heriyanto (2010) melakukan penelitian secara terestis dari tahun 2002 sampai tahun 2005 terhadap kandungan biomassa karbon pada skenario hutan sekunder di Maribaya Bogor, studi tersebut menunjukan kandungan karbon rata-rata sebesar 17.25 ton C/ha atau setara dengan kandungan biomassa rata-rata 34.5 ton/ha. Teknologi penginderaan jarak jauh dapat digunakan melalui teknologi dengan deteksi pasif (optik) dan deteksi aktif (radar). Salah satu satelit yang membawa sensor radar adalah satelit ALOS (Advance Land Observing Satellite) yang merupakan satelit penginderaan jarak jauh milik JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency), diluncurkan pada Januari 2006. Alat yang digunakan dalam penginderaan jarak jauh disebut sebagai alat perekam objek atau sensor. Sensor terdapat pada wahana (platform) dan letaknya jauh dari objek yang dikaji sehingga diperlukan radiasi dan reflektansi tenaga elektromagnetik oleh objek tersebut. Tenaga radiasi objek yang ditangkap oleh sensor baik yang dipancarkan atau dipantulkan dapat menghasilkan citra sesuai dengan wujud aslinya (Purwadhi 2001). Dahlan (2005) melakukan penelitian model pendugaan kandungan karbon pada tegakan Acacia mangium dengan menggunakan citra optik yaitu Landsat ETM+ dan SPOT-5, hasil studi menunjukan Landsat ETM+ dapat digunakan dalam model pendugaan karbon dengan korelasi sebesar 42,8%. Akan tetapi untuk citra SPOT-5 memiliki nilai model kandungan karbon yang berbeda dengan nilai karbon aktual sehingga tidak dapat digunakan. Citra optik yang tergantung pada tenaga matahari akan membatasi waktu perekaman objek yang direkam, selain itu 3 citra optik dipengaruhi kondisi cuaca sehingga adanya awan pada citra hasil perekaman sangat mempengaruhi informasi kualitas data. Kondisi iklim tropis Indonesia memungkinkan adanya kabut pada musim penghujan dan asap akibat kebakaran pada musim kemarau, sehingga penggunaan citra optik dapat mempengaruhi kualitas data perekaman. Salah satu sensor radar yang terdapat dalam satelit ALOS adalah PALSAR. PALSAR dilengkapi dengan sensor SAR single band dengan polarimetri lengkap yang dapat mengatasi kelemahan citra optik, yaitu dapat menembus awan. Menurut Nurharyati (2008), terdapat hubungan antara NIR (Near Infrared Radiometer) dengan polarisasi HH dan HV ALOS PALSAR sehingga perlu kajian lanjut tentang ALOS dalam mendeteksi kelas biomassa. Awaya (2009) melakukan studi di daerah Palangkaraya mengenai analisis regresi hubungan antara biomassa dan koefisien backscatter dari data PALSAR. Hasil studi tersebut menunjukan bahwa polarisasi HV memiliki hubungan yang lebih baik dengan biomassa dibandingkan polarisasi HH. Divayana (2011) melakukan penelitian terhadap kandungan biomassa pada tegakan karet dan tegakan sawit di Sumatera Utara dengan menggunakan citra Landsat (sensor optik) dan citra ALOS PALSAR (sensor radar). Hasil kajian tersebut menyebutkan bahwa citra ALOS PALSAR menghasilkan model penduga biomassa lebih baik dibandingkan citra Landsat. Rauste et al (2007) melakukan penelitian mengenai pemrosesan dan analisis data citra ALOS PALSAR di daerah Heinavesi, Finlandia. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa polarisasi silang (HV) dari L-band SAR memiliki korelasi yang lebih baik dengan biomassa hutan dibandingkan dengan polarisasi searah (HH) dengan nilai saturasi sekitar 150 m3/ha. Pendugaan biomassa dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh merupakan ilmu baru dan memerlukan dukungan simpanan biomassa di lapangan, untuk memperoleh tingkat ketelitian yang tinggi diperlukan pembangunan persamaan alometrik spesifik site (Maulana dan Pandu). Atas ketidakefisienan metode terestris, kelemahan citra optik dalam perekaman wilayah berawan, serta perlunya pendugaan biomassa yang spesifik site maka studi menekankan pada estimasi kandungan biomassa menggunakan citra radar ALOS PALSAR di areal kerja IUPHHK PT. Trisetia Intiga. 4 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk membangun model penduga biomassa pada IUPHHK-HA di PT. Trisetia Intiga Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter. 1.3 Ruang Lingkup Areal kajian meliputi seluruh areal kerja IUPHHK PT. Trisetia Intiga yang merupakan jenis hutan lahan kering bekas tebangan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh dugaan biomassa hutan alam lahan kering dan menjadi salah satu solusi dalam mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Keluaran dari penelitian ini adalah model penduga biomassa menggunakan citra ALOS PALSAR Resolusi 50 meter dan peta sebaran biomassa di areal kerja IUPHHK PT. Trisetia Intiga.