Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk dapat mempertahankan karyawannya yang bertalenta. Employee engagement diwujudkan dengan hasrat/keinginan dan energi karyawan untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi dalam melayani konsumen/pelanggan. Employee engagement mencakup kemauan dan kemampuan karyawan untuk memberikan usaha secara berkelanjutan untuk mencapai kesuksesan organisasi (Cook, 2008). Employee engagement dapat memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan karyawan dan perusahaan. Engagement sangat bermanfaat bagi organisasi. Engagement yang ada pada karyawan, dapat menguntungkan perusahaan karena tidak akan kehilangan karyawannya yang berbakat. Karyawan akan merasa terikat terhadap perusahaannya sehingga tidak akan mudah untuk berpindah pada perusahaan lain meskipun perusahaan tersebut lebih bagus. Employee engagement merupakan variabel yang sangat penting bagi sebuah organisasi/perusahaan. Employee engagement dapat membuat karyawan menjadi lebih termotivasi untuk memberikan kinerja yang maksimal. Apabila karyawan merasa memiliki keterikatan dengan organisasi/perusahaan tempatnya bekerja, maka karyawan dengan sukarela akan memberikan hasil kerja yang terbaik. Employee engagement pada dasarnya mempunyai beberapa definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai pemanfaatan diri dari anggota organisasi terhadap aturan pekerjaan, dalam mengikat karyawan dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif, dan emosional pada kinerja. Dasar pemikirannya adalah bahwa orang mempunyai 1 2 dimensi dalam dirinya, yang pada kondisi tepat, mereka lebih memilih untuk menggunakan dan menunjukkannya melalui kinerja. Dimensi tersebut digunakan untuk mengubah energi pribadi ke dalam tenaga kerja fisik, kognitif, dan emosional. Macey dan Schneider (2008) mengungkapkan konsep dari employee engagement terbagi menjadi tiga, yaitu sifat (trait), bagian (state), dan perilaku (behavior) yang masih saling terkait. Trait engagement menunjukkan bahwa engagement sebagai suatu sifat atau watak dapat dipandang sebagai kecenderungan untuk mendapatkan pengalaman dari bagian yang menguntungkan. Hal tersebut menyangkut tentang pandangan mengenai pengalaman yang positif dalam kehidupan dan pekerjaan, misalnya proactive personality, trait positive affect, conscientiousness. State engagement menyangkut tentang kekuatan perasaan yang menggambarkan beberapa bentuk dari absorption, attachment, dan enthusiasm, misalnya kepuasan, involvement, komitmen, empowerment. Behavioral engagement menyangkut tentang aturanaturan mengenai tingkah laku, misalnya Organizational Citizenship Behavior (OCB), Role Expansion, Adaptive (Macey & Schneider, 2008). Berdasarkan pendapat dari berbagai ahli di atas, maka peneliti mengambil definisi yang dikemukakanoleh Kahn (1990) untuk dipergunakan dalam penelitian ini. Kahn (1990) menyebutkan bahwa employee engagement adalah pemanfaatan diri dari anggota organisasi terhadap aturan pekerjaan, dalam mengikat karyawan dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif, dan emosional pada kinerja. Hal ini karena definisi employee engagement tersebut sudah sesuai dengan tujuan penelitian ini. 3 Employee engagement dapat diprediksi dengan berbagai variabel, salah satunya adalah kepuasan kerja. Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai tingkatan seberapa besar seorang karyawan menyukai pekerjaannya. Setiap karyawan mengembangkan sikap positif atau negatif terhadap pekerjaan dan lingkungan mereka (Ellickson, 2002 dalam Abraham 2012). Hubungan antara kepuasan kerja dengan employee engagement sudah pernah diteliti sebelumnya. Maylett dan Riboldi (dalam Abraham, 2012) dalam White paper yang mereka susun menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan komponen untuk membuat karyawan merasa terikat. Locke (1976) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai kebahagiaan atau bagian emosi positif yang dihasilkan dari penilaian terhadap pekerjaan atau pengalaman kerja. Locke (1976) mengasumsikan bahwa kepuasan kerja dihasilkan dari interaksi antara kognisi dan afeksi yang dipikirkan oleh individu tentang pekerjaannya dan perasaannya mengenai pemikiran tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Abraham (2012) menghasilkan temuan bahwa kepuasan kerja merupakan anteseden dalam employee engagement. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya kepuasan kerja, maka employee engagement juga akan terbentuk melalui kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan. Faktor-faktor dari kepuasan kerja yaitu job, benefits, recognition, cooperation, fair treatment, sound company policies, team spirit dan performance management system, dapat meningkatkan kepuasan kerja pada karyawan yang akan memunculkan adanya employee engagement. Oleh karena itu, kepuasan kerja dapat dijadikan sebagai salah satu prediktor untuk melihat adanya employee engagement pada karyawan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa apabila kepuasan kerja karyawan tercapai, maka employee engagement pada karyawan juga akan 4 terbentuk dan dapat meningkat seiring dengan peningkatan kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kepuasan kerja diasosiasikan dengan gaji, stres kerja, empowerment, kebijakan perusahaan, pencapaian, perkembangan diri, hubungan dengan orang lain, dan kondisi pekerjaan (Tan & Waheed, 2011). Robbins (2001) menyebutkan bahwa kepuasan kerja merupakan bagian emosional yang dirasakan secara khusus oleh individu terhadap pekerjaan atau lingkungan kerjanya. Locke (1976) mengindikasikan bahwa biasanya kepuasan kerja memunculkan kesehatan fisik, mental, dan kehidupan sosial. Coster (1992) menyebutkan bahwa pekerjaan dapat memiliki kehidupan seseorang, apabila orang tersebut merasa puas dengan pekerjaannya. Breed dan Breda (1997) menyatakan bahwa kepuasan kerja mungkin berdampak pada ketidakhadiran, komplain, dan ketidaknyamanan karyawan. Hal tersebut menunjukkan bahwa karyawan yang merasa puas akan lebih produktif dan dapat bertahan di dalam suatu organisasi untuk jangka waktu yang lama dibandingkan dengan karyawan yang kurang merasa puas. Karyawan tersebut akan kurang memberi manfaat bagi organisasi dan cenderung lebih besar kemungkinan untuk keluar dari pekerjaannya (Crossman, 2003). Jose dan Mampilly (2012) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa kepuasan kerja karyawan merupakan anteseden bagi employee engagement. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepuasan kerja dapat dijadikan sebagai prediktor untuk employee engagement. Karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaannya, secara otomatis karyawan tersebut juga memiliki keterikatan terhadap perusahaannya. Kepuasan kerja merupakan implementasi dari perasaan 5 karyawan terhadap pekerjaan yang dimilikinya. Semakin karyawan merasa puas terhadap pekerjaannya, maka akan semakin terikat terhadap pekerjaan tersebut. Teori yang diungkapkan oleh Frederick Herzberg (Noel, 1976) dalam Two Factor Theory menyebutkan bahwa ada dua faktor yang dapat menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan. Faktor yang pertama yaitu Maintenance Factors atau dapat juga disebut sebagai Hygiene Factors yang berhubungan dengan aspek ekstrinsik pekerjaan. Faktor yang kedua yaitu Motivational Factors atau dapat juga disebut sebagai Motivators yang berhubungan aspek intrinsik pekerjaan. Hygiene factors tidak dapat berkontribusi pada pemunculan kepuasan, tetapi hanya dapat menghindari munculnya ketidakpuasan. Motivators merupakan faktor yang memotivasi karyawan untuk bekerja secara produktif. Hygiene factors dapat mencegah timbulnya ketidakpuasan serta rendahnya performansi seseorang. Hygiene factors mencakup beberapa faktor yaitu Company Policy and Administration, Supervision, Physical Working Conditions, Interpersonal Relations (with peers, subordinate, and superiors), Status, Job Security, Salary, dan Personal Life. Hygiene factor merupakan respon mengenai perasaan negatif yang berhubungan dengan job context. Motivational factors dapat memicu timbulnya kepuasan yang akan meningkatkan pencapaian produktivitas perusahaan. Motivational factors mencakup beberapa faktor yaitu Achievement, Recognition, Work Itself, Responsibility, Advancement, dan Growth. Motivators merupakan respon mengenai perasaan positif yang berhubungan dengan job content. Konsep kepuasan kerja yang akan digunakan dalam penelitian ini apabila berdasarkan pembahasan dari two factor theory lebih mengarah kepada hygiene factors sehingga ketidakpuasan dari individu dapat dihindari. Kepuasan kerja yang 6 akan diungkap merupakan kepuasan dari diri individu terhadap pekerjaannya, yang meliputi beban kerja, dukungan dari atasan, training yang diperoleh dari perusahaan, reward, tujuan perusahaan, dan standar pelayanan baik terhadap konsumen maupun karyawan. Berdasarkan pendapat dari berbagai ahli di atas, maka peneliti mengambil definisi kepuasan kerja dari Robbins (2001) untuk dipergunakan dalam penelitian ini. Robbins (2001) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja merupakan bagian emosional yang dirasakan secara khusus oleh individu terhadap pekerjaan atau lingkungan kerjanya. Hal ini karena definisi kepuasan kerja tersebut sudah sesuai dengan tujuan penelitian ini. Prediktor lain dalam employee engagement selain kepuasan kerja yaitu well-being. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara well-being dengan engagement (Shuck & Reio, 2013). Wright (dalam Dulagil, 2012) mengungkapkan bahwa well-being merupakan pendapat atau penilaian global dan subjektif terhadap suatu pengalaman secara positif dan relatif sedikit mengandung unsur emosi negatif. Berdasarkan penelitian, ditemukan bukti bahwa seseorang dengan tingkat well-being yang tinggi terhadap pekerjaannya akan lebih produktif dalam bekerja (Wright & Cropanzano, 2000 dalam Dulagil, 2012). Teori yang dikemukakan oleh Ryff dan Singer (1996) memberikan penjelasan mengenai pengertian well-being berasal dari perspektif perkembangan rentang hidup, yang menekankan perbedaan tantangan yang dihadapi pada berbagai fase dari kehidupan. Model dari well-being dipusatkan dalam teori yang mengangkat mengenai dimensi inti dalam well-being tersebut, yaitu self- 7 acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Ryff dan Singer (1996) memberikan penjelasan pada masing-masing dimensi dari well-being. Self Acceptance didefinisikan sebagai keistimewaan utama dari kesehatan mental sebaik karakteristik dari aktualisasi diri, fungsi optimal dan kedewasaan. Positive Relations with Others menekankan pada pentingnya kehangatan, kepercayaan pada hubungan interpersonal. Autonomy sangat menekankan pada kualitas kemantapan diri, kemandirian, dan aturan perilaku dari dalam. Environmental Mastery merupakan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang nyaman untuk kondisi psikologisnya. Purpose in Life lebih menekankan pada tujuan dan pemaknaan terhadap kehidupan sehingga individu mempunyai target dan arah yang akan dicapai untuk dapat merasakan bahwa hidup itu bermakna. Personal Growth merupakan upaya dalam optimalisasi fungsi psikologis dari individu, bukan hanya karakteristik tetapi juga pengembangan potensi untuk tumbuh dan berkembang sebagai seorang individu. White (2008) mengungkapkan bahwa konsep dari well-being dikenal sulit untuk didefinisikan secara tepat. Hal tersebut karena bagaimana individu memahami well-being akan sangat berbeda pada konteks yang berbeda. Konsep well-being secara lebih lanjut digambarkan dalam empat dimensi, yaitu doing well, feeling good, doing good, dan feeling well. Doing well – feeling good merupakan formulasi bersama untuk well-being yang menangkap dua aspek dari well-being. Doing well menyampaikan dimensi material dari kesejahteraan atau standar kehidupan. Feeling good mengekspresikan dimensi subjektif dari persepsi pribadi dan tingkat kepuasan. Doing good – feeling well menunjukkan bahwa dimensi 8 moral, sering berhubungan dengan religiusitas, sangat penting bagi individu. Berdasarkan penelitian dari White (2008), beberapa orang mengungkapkan bahwa well-being tidak sesederhana seperti good life, tetapi lebih mengenai living a good life. Hal ini merefleksikan pilihan individu yang tidak sederhana, tetapi memberikan batasan nilai yang lebih luas mengenai berbagi pemahaman tentang bagaimana yang ada dan seharusnya. Feeling well mengindikasikan pentingnya kesehatan untuk well-being (White, 2008). Penelitian yang lain, Robertson dan Cooper (2010) menyebutkan bahwa individu dengan tingkat well-being yang tinggi dipastikan akan mempunyai tingkat engagement yang tinggi pula. Well-being merupakan dasar yang lebih baik untuk dapat membangun engagement yang akan menguntungkan bagi individu dan organisasi. Employee engagement dapat berkelanjutan apabila well-being yang dimiliki oleh individu sangat tinggi. Robertson dan Cooper (2010) mengasosiasikan well-being dengan pengalaman positif (suasana hati dan emosi) dan faktor-faktor seperti kepuasan dalam hidup, dengan kata lain, well-being melibatkan perasaan bahagia. Robertson dan Flint-Taylor (2008) mendefinisikan well-being di dalam pekerjaan sebagai kecenderungan dan bagian dari tujuan psikologis yang dialami oleh individu ketika mereka bekerja. Konsep well-being terbagi menjadi dua, yaitu subjective well-being dan psychological well-being. Pengertian dari subjective well-being (SWB) dapat dibagi ke dalam tiga kategori (Diener, 1984). Pertama, SWB didefinisikan dengan kriteria eksternal seperti kebaikan atau kesucian. Kriteria well-being bukan berdasarkan penilaian subjektif, tetapi berdasarkan kerangka penilaian dari pengamatnya. Kedua, definisi SWB difokuskan pada pertanyaan apa yang membuat seseorang 9 menilai hidupnya secara positif. Definisi ini disebut sebagai kepuasan hidup dan mengandalkan pada standar tuntutan untuk hidup yang baik. Dalam hal ini, SWB berhubugan dengan kepuasan. Ketiga, definisi SWB yang menandakan suatu dampak positif yang lebih berpengaruh secara dominan daripada dampak negatif, sehingga lebih menekankan pada pengalaman emosi yang menyenangkan. Hal ini berarti bahwa seseorang mengalami emosi yang sebagian besar menyenangkan selama periode hidupnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam subjective well-being lebih memfokuskan pemahaman mengenai kepuasan dalam hidup dan pengaruh-pengaruh positif yang menyertai pengalaman hidup seseorang. Subjective well-being lebih bersifat hedonic, yaitu kesenangan atau kebahagiaan yang akan menimbulkan kepuasan dalam hidup. Hedonic mengandung kriteria untuk memaksimalkan kesenangan dan menghindari timbulnya rasa sakit atau kekecewaan. Ryff (1989) menyatakan bahwa teori untuk mendefinisikan psychological well-being mengikuti perspektif perkembangan masa hidup, yang menekankan tantangan yang berbeda-beda dihadapkan pada berbagai tahapan siklus hidup. Psychological well-being (PWB) lebih bersifat eudaimonic, yaitu menekankan pada tingkat realisasi diri, ekspresi personal, dan cara-cara untuk aktualisasi diri. Eudaimonic bertumpu pada asumsi bahwa individu berusaha untuk berfungsi sepenuhnya dan menyadari bakat mereka yang unik. PWB mempunyai 6 dimensi yang mencakup kesejahteraan secara luas, meliputi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, pertumbuhan pribadi, dan otonomi. Robertson & Cooper (2010) mengungkapkan bahwa individu dengan tingkat psychological well-being yang tinggi akan mampu menunjukkan keaslian dan 10 fleksibel, memberikan respon yang lebih baik terhadap feedback yang kurang baik, memberikan penilaian positif tentang orang lain, menunjukkan tingkat engagement yang tinggi, lebih produktif, serta merasa seperti hidup selamanya, jarang sakit, dan bahagia dalam pekerjaan dan kehidupan. Psychological well-being dalam pekerjaan mencakup bagian afektif dari pengalaman kerja, perasaan positif dari pengalaman pekerjaan, dan kerangka waktu dalam hal pembagian waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Penelitian kali ini akan menggunakan konsep well-being yang lebih difokuskan pada psychological well-being yang lebih menekankan realisasi dan pemanfaatan potensi individu secara penuh sehingga individu dapat menerima diri sendiri apa adanya. Dengan demikian, individu tersebut dapat menciptakan kehidupan sesuai dengan keinginannya serta mampu mengembangkan diri secara terus-menerus. Berdasarkan pendapat dari berbagai ahli di atas, maka peneliti mengambil definisi well-being yang dikemukakan oleh Robertson dan Flint-Taylor (2008) untuk dipergunakan dalam penelitian ini. Robertson dan Flint-Taylor (2008) mengungkapkan bahwa well-being di dalam pekerjaan sebagai kecenderungan dan bagian dari tujuan psikologis yang dialami oleh individu ketika mereka bekerja. Hal ini karena definisi well-being tersebut sudah sesuai dengan tujuan penelitian ini. Kepuasan kerja dan well-being karyawan dapat dibentuk oleh perusahaan. Kepuasan kerja karyawan dapat dibentuk melalui manajemen SDM yang memadai, seperti promosi, mutasi, pelatihan, kondisi fisik karyawan dan lingkungan kerja, pengembangan bakat, ketrampilan dan minat, serta melalui reward. Apabila hal-hal tersebut dapat dipenuhi oleh perusahaan, maka karyawan akan merasa dihargai dan diperhatikan sehingga timbul rasa nyaman dan adanya 11 kesan positif yang dirasakan oleh karyawan. Perasaan nyaman dan pengalaman positif dari karyawan tersebut merupakan bagian emosional yang dirasakan secara khusus oleh karyawan terhadap pekerjaannya. Karyawan yang sudah mendapatkan kesan emosional yang positif akan menjadi antusias terhadap pekerjaannya sehingga mampu memberikan kontribusinya secara optimal untuk keberhasilan perusahaan dan bersedia memberikan tenaga ekstra untuk penyelesaian pekerjaannya. Oleh karena itu, apabila kepuasan kerja karyawan terpenuhi, maka karyawan akan mampu terlibat secara emosional terhadap pekerjaan dan perusahaannya. Hal ini akan memberikan dampak positif bahwa karyawan tersebut juga akan mempunyai keterikatan yang kuat terhadap pekerjaan dan perusahaannya. Selain kepuasan kerja, well-being juga dapat dibentuk oleh perusahaan. Usaha yang dapat dilakukan untuk membentuk well-being tersebut antara lain, menciptakan hubungan yang positif antar karyawan, memberikan kesempatan kepada karyawan untuk berkembang, mandiri dan beraktualisasi diri. Karyawan dengan well-being yang tinggi akan menunjukkan kemampuan untuk sepenuhnya membawa diri ke dalam pekerjaannya, untuk menjadi bagian yang berarti dalam hidupnya, terlibat secara kognitif, emosional dan perilaku. Individu yang mempunyai well-being akan menunjukkan hal-hal yang positif terhadap pengalaman kerjanya dan mampu menerima dirinya apa adanya. Individu yang mampu menerima diri apa adanya akan mengenali kelebihan dan kelemahannya dengan baik sehingga dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan keinginannya. Pengembangan diri tersebut dapat berupa aktualisasi diri di dalam pekerjaan yang dikuasainya. Individu yang dapat beraktualisasi diri akan menunjukkan kinerja yang maksimal sehingga lebih produktif dalam bekerja. 12 individu yang produktif memperlihatkan keterlibatannya secara penuh di dalam pekerjaan sehingga akan memunculkan keterikatan individu terhadap pekerjaan dan perusahaannya. Sridevi (2010) mengungkapkan beberapa hal yang dapat digunakan untuk menjaga agar karyawan mempunyai engagement, diantaranya: 1. Pelaksanaan seleksi karyawan yang efektif dengan disertai program orientasi yang efektif pula. 2. Pembentukan engagement dari atas karena tidak akan ada karyawan yang terlibat apabila pemimpinnya tidak terlibat. 3. Manajer harus mampu meningkatkan komunikasi dua arah. 4. Memastikan bahwa karyawan memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya. 5. Memberikan pelatihan yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan karyawan. 6. Membangun mekanisme reward, dimana pekerjaan yang baik akan dihargai melalui berbagai insentif berupa material maupun non material. 7. Membangun budaya perusahaan yang khas dengan mendorong karyawan untuk bekerja keras dan menghidupkan kisah-kisah sukses. 8. Mengembangkan sistem manajemen kinerja yang kuat sehingga manajer dan karyawan akan bertanggungjawab atas perilakunya di tempat kerja. 9. Fokus pada karyawan yang memiliki kinerja terbaik untuk mengurangi turn over dan mempertahankan atau meningkatkan kinerja perusahaan. Permasalahan secara khusus mengenai employee engagement yang terjadi di PT. KIEC terlihat dari perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan. Perilaku yang nampak adalah mengenai pemanfaatan jam kerja yang masih belum efektif 13 untuk digunakan sebagai waktu penyelesaian pekerjaan. Perilaku-perilaku tersebut antara lain keterlambatan masuk kerja, memperpanjang jam istirahat, penggunaan jam kerja untuk urusan pribadi, serta bercanda dan beristirahat di pantry ketika jam kerja. Data keterlambatan masuk kerja yang diperoleh selama 3 bulan terakhir yaitu bulan Juni, Juli, dan Agustus berturut-turut sebesar 45%, 49%%, dan 43% dari jumlah karyawan. Selain itu, perusahaan juga sudah memberlakukan punishment untuk keterlambatan dengan menampilkan 10 besar keterlambatan pada layar LCD yang terpasang di lobby kantor dan adanya pemotongan gaji karyawan. Pemberlakuan punishment tersebut ternyata belum mampu memberikan efek jera kepada karyawan karena masih banyak karyawan yang tetap datang terlambat ke kantor. Perilaku-perilaku yang ditunjukkan tersebut sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Kahn (1990) mengenai dimensi dari employee engagement, yaitu fisik, kognitif, dan emosional. Dimensi fisik ditunjukkan dari perilaku keterlambatan masuk kantor dan penggunaan jam kerja untuk urusan pribadi. Dimensi kognitif terlihat dari karyawan yang kurang fokus pada pekerjaan karena menggunakan jam kerja untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Dimensi emosional terlihat dari ketidakseriusan karyawan dalam menghadapi pekerjaannya, seperti berbincang-bincang di pantry dan bercanda ketika jam kerja. Berdasarkan beberapa hal tersebut, terlihat bahwa employee engagement masih belum tumbuh secara optimal di PT. KIEC. Upaya untuk memaksimalkan employee engagement tersebut dapat dilakukan dengan peningkatan kepuasan kerja dan well-being dari karyawan. Oleh karena itu, kepuasan kerja dan well-being 14 dari karyawan di perusahaan tersebut digunakan sebagai prediktor untuk meningkatkan employee engagement dari setiap karyawan. Penelitian ini akan membahas secara khusus mengenai prediktor dari employee engagement. Sesuai dengan penjelasan yang telah diberikan di atas, maka penelitian ini akan menggunakan variabel kepuasan kerja dan well-being yang diharapkan mampu memprediksi adanya employee engagement pada karyawan. Variabel tersebut dipilih karena dengan adanya kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan, maka persahaan dapat mempertahankan karyawannya untuk tidak berpindah pada perusahaan lain. Hal itu mengindikasikan bahwa karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaannya, maka karyawan akan merasa lebih terikat dengan pekerjaan dan organisasi/perusahaan tempatnya bekerja sehingga muncul adanya employee engagement. Selain itu, employee engagement juga diharapkan dapat diprediksi dengan menggunakan variabel well-being. Karyawan dengan tingkat well-being yang tinggi juga akan mempunyai tingkat employee engagement yang tinggi. Apabila karyawan merasa bahagia dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya, maka karyawan tersebut akan merasa nyaman berada dalam organisasi/perusahaan tempatnya bekerja. Kenyamanan yang sudah didapatkan selanjutnya akan membuat karyawan tidak ingin meninggalkan pekerjaannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan kepuasan kerja dan well-being dalam memprediksi employee engagement. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan implikasi bagi ilmu pengetahuan terutama psikologi bidang industri dan organisasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana baru bagi keilmuan bidang psikologi sehingga menambah informasi dalam pengetahuan, khususnya mengenai employee engagement. 15 Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan implikasi bagi karyawan dan perusahaan untuk meningkatkan employee engagement. Upaya peningkatan employee engagement dapat dilakukan melalui pemenuhan kepuasan kerja dan well-being dari karyawan. Apabila diketahui bahwa kepuasan kerja dan well-being mampu memprediksi employee engagement, maka perusahaan dapat menggunakan variabel tersebut untuk meningkatkan employee engagement karyawannya. Apabila kepuasan kerja dan well-being tidak terbukti mampu memprediksi employee engagement, maka perlu dilakukan penelitian lagi untuk mendapatkan variabel lain yang dapat memprediksi employee engagement. Berdasarkan urain di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja dan well-being dapat menjadi prediktor dari employee engagement.