Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Sekretariat Utama Biro Hukum dan Humas □ Bisnis Indonesia □ Sindo U Kompas □ Kontan □ Media Indonesia □ Rakyat Merdeka □ Mjl Tempo V Beritasatu.com U Senin 1 2 □ Selasa 3 □ Rabu 4 □ Kamis 5 □ Jumat □ Sabtu □ Minggu & 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 □Jan 26 □ Feb 27 □ Mar 28 □Apr 29 □ Mei 30 □ Jun 31 Hal: □ Jul □ Agu □ Sep Ts/Okt □ Nov □ Des K L IP IN G 2015 BERITA BPKP i BERITA NON BPKP □ Polhukam □ RB □ PDT □ KKN □ Kesra □ Infrastruktur Ekonomi □ Kemandirian Ekonomi □ Karakter Bangsa, □ Kebhinekaan /Restorasi Sos Indonesia Tone e - /N Draf RUU, KPK Hanya Boleh Tangani Kasus Rp 50 M ke Atas Rabu, 07 Oktober 2015 | 02:34 Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR sedang membahas usulan revisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan RUU Tax Amnesty masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015. Dalam draf RUU KPK yang diperoleh wartawan di Jakarta, Selasa (4/10), tampak jelas sejumlah perubahan yang dimasukkan. Pertama, pada Pasal 4 disebutkan bahwa KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Kata 'pencegahan' merupakan hal baru, karena sebelumnya adalah 'pemberantasan'. Kedua di Pasal 5, secara jelas diberi masa waktu pembentukan KPK. "Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-undang ini diundangkan," begitu bunyi draf RUU itu. Di Pasal 7 ayat (d), ada penambahan tugas KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana korupsi yang diatur UU dan atau penanganannya di Kepolisian atau Kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan pemegang kekuasaan di eksekutif, yudikatif, atau legislatif. Pada Pasal 13 yang mengatur kewenangan KPK melakukan penyidikan, penyidikan tindak pidana korupsi, juga penambahan terkait kelas kasus yang bisa dikerjakan. "Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000.00 (lima puluh miliar rupiah)," begitu bunyi Pasal 13 ayat (b). Ayat c pasal itu menekankan bahwa untuk kasus dengan kerugian negara di bawah Rp 50 miliar, KPK wajib menyerahkan tersangka dan berkas perkaranya ke Kepolisian dan Kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja. Sementara terkait wewenang penyadapan, Pasal 14 ayat (1) menyatakan KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri. Di Pasal 15, ditambahkan tugas KPK memonitor dengan melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan adminsitrasi di semua lembaga negara dan pemerintah. Untuk struktur organisasi, selain pimpinan KPK, ada tambahan dewan eksekutif yang dimuat di Pasal 22 yang terdiri dari empat anggota dewan, dan pegawai KPK. Dewan Eksekutif itu nantinya diseleksi secara terpisah, diangkat dan diberhentikan presiden, serta bertugas membantu pimpinan KPK. Pasal 24 menegaskan tugas dewan itu. "Dewan eksekutif Berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga Pemberantasan Korupsi dan melaporkannya kepada Komisioner," demikian bunyi pasal itu. Hal Komisi Sementara pegawai KPK akan diambil dari pegawai negeri sipil (PNS) di Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan kementerian yang membidangi komunikasi dan informasi. Pasal 39 menambahkan adanya dewan kehormatan yang diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran wewenang yang tidak memenuhi standar dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk teguran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian dari pegawai pada KPK. Dewan itu juga bisa mengajukan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai pada KPK. Ayat 3 Pasal 39 menjelaskan dewan kehormatan bersifat adhoc yang terdiri dari sembilan anggota yaitu tiga dari unsur pemerintah, tiga penegak hukum, dan tiga masyarakat. Pasal 41 ayat (3) menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik yang menjadi pegawai pada berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan setelah diusulkan. Selama bertugas di KPK, mereka harus diberhentikan sementara dari institusi sebelumnya. Pasal 42 menjelaskan bahwa KPK berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi, setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan seperti diatur pasal 109 ayat 2 KUHP. Draf ini diusulkan oleh Fraksi PDI-P, Hanura, Nasdem, PPP, PKB, dan Fraksi Partai Golkar. Flingga saat ini, Baleg masih menunda pembahasan apakah akhirnya RUU KPK ini masuk ke Prolegnas Prioritas 2015, hingga 12 Oktober mendatang. Hal