CASE REPORT SESSION *Kepaniteraan Klinik Senior

advertisement
CASE REPORT SESSION
*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A213055/ April 2015
** Pembimbing/ dr. Sulistyowati, Sp.An
GENERAL ANESTESIA PADA LAPARASKOPI
Ananda Ulandari, S.Ked* dr. Sulistyowati, Sp.An**
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ANESTESI RUMAH SAKIT RADEN MATTAHER
PROVINSI JAMBI
2015
1
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION
GENERAL ANESTESIA PADA LAPARASKOPI
Oleh:
Ananda Ulandari, S.Ked
G1A213020
Telah disetujui dosen pembimbing pada April 2015
Dosen Pembimbing
dr. Sulistyowati, Sp.An
2
KATA PENGANTAR
Penulis menyampaikan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan CRS
yang berjudul “General Anestesia pada Laparaskopi” sebagai kelengkapan
persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Rumah Sakit
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sulistyowati, Sp.An yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis dengan selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Rumah Sakit Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa CRS ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan
laporan kasus ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jambi, April 2015
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kista ovarium adalah suatu kantung yang berisi cairan atau materi semisolid
yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Kista ovarium ditemukan pada sonogram
transvaginal pada wanita premenopause dan 18% pada wanita postmenopausal. Ratarata kista yang ditemukan bersifat jinak. Umumnya kista fungsional terjadi pada usia
reproduktif, namun bisa pada segala usia. Kista ovarium merupakan jenis yang paling
sering terjadi terutama yang bersifat non neoplastik.
Kista ovarium adalah suatu kantung yang berisi cairan atau materi semisolid
yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Rata-rata kista yang ditemukan bersifat jinak.
Umumnya kista fungsional terjadi pada usia reproduktif, namun bisa pada segala usia.
Kista ovarium merupakan jenis yang paling sering terjadi terutama yang bersifat non
neoplastik. Di Indonesia, frekuensi kista sebesar 27%.
Sedangkan untuk kistadenoma ovarii serosum ditemukan dalam frekuensi yang
hampir sama dengan kistadenoma musinosum dan dijumpai pada golongan umur yang
sama. Angka kejadian kista bilateral (10 – 20%).
Laparaskopi adalah suatu instrument untuk melihat rongga peritoneum, struktur
rongga perlvik dan dapat juga digunakan untuk tindakan operatif. Laparoskopi operatif
untuk tujuan operasi reproduksi (infertilitas) dimulai sejak tahun 1991. Kemajuannya
berkembang pesat sejalan dengan perkembangan teknologi instrument. Sebagai sarana
diagnostik dengan hasil yang akurat dan temuan patologi yang jelas, saat ini dapat
langsung dilanjutkan dengan laparoskopi operatif terhadap patologi yang ditemukan.1,2
Anestesi berasal bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf
Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer. 3
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum
(NU).
Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
4
menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan
resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Dengan anestesi umum, akan diperoleh
triad (trias) anestesia, yaitu : Hipnosis (tidur), Analgesia (bebas dari nyeri),
Relaksasi otot.3
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID
tertentu. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle
relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot
sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Tujuan Anastesi Umum
adalah Anestesi umum menjamin hidup pasien, yang memungkinkan operator
melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan menghilakan rasa nyeri.3
5
BAB II
LAPORAN KASUS
KUNJUNGAN PRA ANESTESI
2.1.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. DMG
Umur
: 30 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat
: RT 13 Kasang, Jambi
BB/TB/IMT : 49 kg/155 cm/20,41
Gol. Darah
:A
Diagnosis
: kista ovarium
Tindakan
: laparaskopi
Ruangan
: kelas II
No. MR
: 794558
2.2.
Hasil Kunjungan Pra Anestesi
2.2.1.
Anamnesis
A. Keluhan Utama
Nyeri perut di sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu..
B. Riwayat Penyakit Sekarang
5 bukan yang lalu, pasien mengeluh keluar darah dari jalan lahir selama 1
bulan. Darah keluar sedikit-sedikit, bergumpal, coklat. Keluhan ini disertai
dengan nyeri. Riwayat menstruasi tidak teratur. 2 bulan yang lalu os mengeluh
nyeri perut, kemudian os terlambat haid, mual muntah (+), tes peck (+), keluar
darah dari jalan lahir (+). 1 bulan yang lalu pasien dikuret PA.
20 hari yang lalu pasien memeriksaan kesehatan ke poli kebidanan untuk
melakukan program hamil. Kemudian dilakukan pemeriksaan USG dan pasien
dicurigai menderita kista ovarium. Pasien kemudian direncanakan untuk
6
dilakukan laparaskopi. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Riwayat menggunakan
gigi palsu tidak ada.
C. Riwayat Penyakit Dahulu









Riwayat hipertensi (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat batuk lama/TB (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat sakit ginjal (-)
Riwayat sakit hati
E. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), Alkohol (-)
2.2.2.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaran
: Compos mentis
GCS
: 15, E4V5M6
1. Tanda vital
- TD :
110/70 mmHg
- N
:
88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
- S
:
36,5°C
- RR :
20 x/menit, reguler
2. Kepala
a. Mata
: sklera ikterik (-/-), conjungtiva anemis (-/-), RC (+/+), edema (-/-)
b. THT
: tonsil T1/T1, tidak ada kesulitan membuka mulut
c. Leher
: pembesaran KGB (-), struma (-), JVP 5-2 cmH2O, kaku kuduk (-)
3. Thorax
Pulmo
- Inspeksi
: pergerakan dada simetris (ka/ki), jejas (-), sikatrik (-), massa (-)
- Palpasi
: massa (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris
kiri kanan
- Perkusi
- Auskultasi
Cor
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi
: sonor di kedua paru
: vesikuler kiri dan kanan, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
: ictus cordis tidak terlihat
: ictus cordis teraba di ICS V, linea midclavikularis sinistra.
: batas jantung dalam batas normal
: S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
7
4. Abdomen
- Inspeksi : tidak tampak kelainan
- Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, defans muscular (-),
muscle rigidity (-), massa (-).
- Perkusi : timpani (+) normal
- Auskultasi : bising usus (+) normal
5. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan luar: palpasi abdomen tidak teraba massa, nyeri tekan (-).
6. Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2”, refleks fisiologis (+), refleks
patologis (-). Kekuatan otot 5/5, sensibilitas +/+
2.2.3.
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin
- WBC
: 4,0 103/mm3
- RBC
: 3,92 103/mm3
- Hb
: 11,1 g/dl
- Ht
: 31,2 %
- Trombosit: 284 103/mm
- CT
: 4’
- BT
: 2’
- LED
: 11
2. Kimia Darah Lengkap
- Protein total : 6,5 g/dl
- Albumin : 4,8 g/dl
- Globulin : 1,7 g/dl
- SGOT
: 14 u/l
- SGPT
: 11 u/l
- Ureum
: 20 mg/dl
- Kreatinin : 0,7 mg/dl
- GDS
: 100 g/dl
3. X-Ray
Cor : normal
Pulmo : KP dupleks
4. CT-Scan
Tidak diperiksa
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
PA :
Makroskopik : jaringan tidak beraturan dengan volume 1 cc, kecoklatan, kenyal
Mikroskopik : kelenjar endometrium berdilatasi kistik
Kesan : Anovulatoar bleeding
8
BAB III
ANESTESI
3.1
Rencana Tindakan Anestesi
Diagnosa pra bedah : Kista ovarium
Tindakan bedah
: Laparaskopi
Status anestesi
: ASA 1
Malampati
:1
Persiapan pra anastesi
- Pasien telah diberikan informed consent
- Rawat inap
- Pro laparaskopi
- Persiapan operasi
a. IVFD RL 20 tetes / menit
b. Puasa 6 jam
c. Surat persetujuan tindakan operasi
d. Lab darah rutin, massa pembekuan, masa perdarahan
3.2 Jenis / Tindakan Anestesi :
 Tindakan Anestesi
1. Metode
: General Anestesi
2. Premedikasi : ranitidin 50 mg, ondansetron 4 mg, deksametason 10 mg,
sulfas atropine 0,5 mg, phentanyl 50 mg
3. Induksi
: propofol 100 mg
4. Intubasi/Relaksasi :
Insersi ETT no.7 difasilitasi dengan Atracurium 30 mg
5. Medikasi :
- SA 0,5 mg
9
- Fentanyl 50 mg
- Propofol 100 mg
- Atracurium 30 mg + 10 mg + 10 mg + 10 mg
- Kaltropen sup 200 mg
- Tramadol 100 mg
- Ketorolac 30 ml
6. Maintenance : Sevofluran MAC 1-2 % + N2O : O2 (1:1)
7. Respirasi
: Napas kendali dengan Ventilator, Tidal Volume 400 ml,
frekuensi 14x/i
8. Ekstubasi : setelah pasien sadar penuh
 Keadaan penderita selama operasi
1. Posisi pasien
: terlentang
2. Intubasi
: Oral, ETT no. 7
3. Penyulit intubasi : tidak ada
4. Penyulit waktu anastesi : tidak ada
5. Lama anastesi
: + 2 jam 45 menit
6. Jumlah cairan
Input
Kebutuhan cairan, diketahui BB 49 kg
- Maintenance (M) = BB X 2 cc = 98 cc
- Deficit cairan karena puasa (P) = M x 6 = 588 cc
- Sress operasi (SO) = BB x 6 cc (operasi sedang) = 294 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ P + M + O = 686 ml
Jam II = ¼ P + M + O = 539 ml
Jam III = ¼ P + M + O = 539 ml
Total 1764 ml
Jumlah cairan yang diberikan kepada pasien :
Input : RL 3 kolf  1500 ml
Obat-obatan = 32 ml
Total : 1532 ml
Output : Perdarahan (+ 80 cc), Urine tidak dapat dinilai karena kateter tidak
terpasang.
7. Monitoring :
Jam
10.00
10.15
10.30
10.45
11.00
11.15
11.30
11.45
TD (mmHg)
120/70
111/72
100/70
90/60
90/59
140/96
130/80
130/80
Nadi (x/i)
100
90
77
78
80
81
77
77
10
RR (x/i)
19
14
20
18
22
20
14
15
3.3
12.00
12.15
12.30
132/91
134/86
126/78
12.45
112/68
15
23
95
24
82
14
Ruang Pemulihan (RR)






3.4
78
94
Masuk Jam
: 13.00
Keadaan umum : GCS : 15 (eye 4, motorik 6, verbal 4)
TD = 110/70 mmHg
Nadi = 84 x/menit, regular, kuat angkat
RR = 22x/menit
Skoring Alderete
Aktifitas
:2
Respirasi
:2
Warna kulit : 2
Sirkulasi
:2
Kesadaran : 2
Jumlah
: 10
Instruksi Post Operasi
1.
2.
3.
4.
Awasi tanda-tanda vital dan perdarahan setiap 15 menit selama 24 jam
Tirah baring tanpa bantal selama 24 jam
Puasa sampai sadar penuh dan bising usus (+)
IVFD analgetic ketorolac 30 mg + tramadol 100 mg dan ondansentron 4 mg
dalam RL 500 cc 30 tpm
5. Terapi sesuai instruksi operator
3.5 Diagnosa Post Op
Post op laparaskopi dengan kista ovarium bilateral
3.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Kista Ovarium4
4.1.1
Definisi
Kista adalah pertumbuhan abnormal berupa kantong (pocket, pouch)
yang tumbuh abnormal di bagian tubuh tertentu. Kista ada yang berisi udara,
cairan, nanah atau bahan-bahan lain. Kista ovarium adalah suatu kantung yang
berisi cairan atau materi semisolid yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Kista
ovarium merupakan tumor ovarium yang dapat bersifat neoplastik dan non
neoplastik.
4.1.2
Klasifikasi
1. Non-neoplastik (fungsional)
a. Kista folikel
12
Gambar Kista Folikel
b. Kista lutein
2. Neoplastik
Yang termasuk golongan ini ada 3 jenis:
a. Cystadenoma mucinosum
Gambar : Cystadenoma mucinosum
b. Cystadenoma serosum
Jenis ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan mucinosum, tetapi
ukurannya jarang sampai besar sekali. Dinding luarnya dapat menyerupai kista
mucinosum. Pada umumnya kistaini berasal dari epitel permukaan ovarium
(germinal ephitelium).
Gambar : Cystadenoma serosum
c. Kista dermoid
13
Tumor ini merupakan bagian dari teratoma ovary bedanya ialah bahwa
tumor ini bersifat kistik, jinak dan elemen yang menonjol ialah eksodermal. Selselnya pada tumor ini sudah matang. Kista ini jarang mencapai ukuran yang
besar.
Gambar : Kista Dermoid
4.1.3
Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab kista ovarium dan beberapa
faktor resiko berkembangnya ovarium adalah wanita yang biasanya memiliki:
o Riwayat kista ovarium terdahulu
o Siklus haid tidak teratur
o Perut buncit
o Menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih muda)
o Sulit hamil
o Penderita Hipotiroid
o Penderita kanker payudara yang pernah menjalani kemoterapi.
4.1.4
Patogenesis
Tiap bulan, normalnya ovarium yang berfungsi menghasilkan kista kecil
yang disebut folikel Graafian. Pada pertengahan siklus, 1 folikel dominan
dengan ukuran diatas 2,8 cm melepaskan sebuah oosit matur. Folikel yang
rupture tadi menjadi corpus luteum, dimana saat maturitas berukuran 1,5-2 cm
dengan adanya kista di bagian tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit,
akan terjadi fibrosis dan penyusutan progresif. Namun bila terjadi fertilisasi,
corpus luteum akan membesar fdan secara gradual akan menurun ukuran nya
selama kehamilan.
Kista ovarium berkembang dari proses normal ovulasi yang disebut kista
fungsional dan bersifat jinak. Kista dapat berupa follicular dan luteal, terkadang
disebut kista Techa-lutein. Kista ini dapat distimulasi oleh gonadotropin,
termasuk FSHdan HcG. Kista fungsional multiple dapat terjadi akibat hasil dari
14
stimulasi gonadotropin eksesiv atau sensitivitas. Kista neoplastik muncul dari
perkembangan yang berlebihan dari sel di ovarium dan dapat bersifat malignan
ataupun jinak.
4.1.5
Manifestasi Klinis
Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala.
Namun kadang – kadang kista dapat menyebabkan beberapa masalah seperti :
1. Bermasalah dalam pengeluaran urin secara komplit
2. Nyeri selama hubungan seksual
3. Masa di perut bagian bawah dan biasanya bagian – bagian organ tubuh lainnya sudah
terkena.
4. Nyeri hebat saat menstruasi dan gangguan siklus menstruasi
5. Wanita post monopouse : nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi atau diare,
obstruksi usus dan asietas.
4.1.6 Penegakan Diagnosa
a. Anamnesa
Pada anamnesa rasa sakit atau tidak nyaman pada perut bagian bawah.
Rasa sakit tersebut akan bertambah jika kista tersebut terpuntir atau terjadi
ruptur. Terdapat juga rasa penuh di perut. Tekanan terhadap alat-alat di
sekitarnya dapat menyebabkan rasa tidak nyaman, gangguan miksi dan defekasi.
Dapat terjadi penekanan terhadap kandung kemih sehingga menyebabkan
frekuensi berkemih menjadi sering.
b. Pemeriksaan Fisik
Kista yang besar dapat teraba dalam palpasi abdomen. Walau pada wanita
premonopause yang kurus dapat teraba ovarium normal tetapi hal ini adalah abnormal
jika terdapat pada wanita postmenopause. Perabaan menjadi sulit pada pasien yang
gemuk. Teraba massa yang kistik, mobile, permukaan massa umumnya rata. Cervix dan
uterus dapat terdorong pada satu sisi. Dapat juga teraba, massa lain, termasuk fibroid
15
dan nodul pada ligamentum uterosakral, ini merupakan keganasan atau endometriosis.
Padaperkusi mungkin didapatkan ascites yang pasif.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. USG
2. Foto Roentgen
3. Pengukuran serum CA-125
4. Laparoskopi
Perut diisi dengan gas dan sedikit insisi yang dibuat untuk memasukan
laparoskop. Melalui laparoskopi dapat diidentifikasi dan mengambil sedikit
contoh kista untuk pemeriksaan PA.
4.1.7
Diagnosa Banding
 Kehamilan
 Mioma uteri
 Tumor kolon sigmoid
 Ginjal ektopik
 Limpa bertangkai
 Ascites
4.1.8
Penatalaksanaan
Dapat dipakai prinsip bahwa tumor ovarium neoplastik memerlukan operasi dan
tumor non neoplastik tidak. Tumor non neoplastik biasanya besarnya tidak melebihi 5
cm. Tidak jarang tumor-tumor tersebut mengalami pengecilan secara spontan dan
menghilang. Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas adalah
pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang
mengandung tumor. Tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi perlu dilakukan
pengangkatan ovarium, disertai dengan pengangkatan tuba.
Seluruh jaringan hasil pembedahan perlu dikirim ke bagian patologi
anatomi untuk diperikasa. Pasien dengan kista ovarium simpleks biasanya tidak
membutuhkan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa pada wanita post
menopause, kista yang berukuran kurang dari 5 cm dan kadar CA 125 dalam
batas normal, aman untuk tidak dilakukan terapi, namun harus dimonitor dengan
16
pemeriksaan USG serial. Sedangkan untuk wanita premenopause, kista
berukuran kurang dari 8 cm dianggap aman untuk tidak dilakukan terapi.
Laparoskopi digunakan pada pasien dengan kista benigna, kista
fungsional atau simpleks yang memberikan keluhan..
4.1.9
Komplikasi
a. Perdarahan
b. Torsio.
c. Rasa tidak nyaman pada perut dan dapat menekan vesica urinaria
d. Kanker (maligna)
4.1.10 Prognosis
Prognosis untuk kista jinak baik. Dapat residual dan terjadi di ovarium
kontralateral.
4.2 Laparaskopi5,15
Bedah laparoskopi, disebut juga bedah minimally invasive, atau keyhole
surgery merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen melalui irisan
kecil (biasanya 0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah tradisional yang
memerlukan irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli bedah masuk ke badan
pasien.
Pemanfaatan laparoskopi untuk diagnostik maupun terapeutik dengan
menggunakan insufflator otomatis diawali pada tahun 1970. Semm pada tahun
1983, memulai melakukan apendektomi. Saat ini telah dipergunakan chargecouple device (CCD), three chip camera, video monitor, high-definition camera,
true color image, sehingga diperoleh gambaran lapangan operasi yang makin
jelas (Soper et al., 2004).
Instrumen
Laparoskopi
Elemen
kunci pada laparoskopi adalah
penggunaan laparoskop. Ada dua tipe laparoskop yaitu: (1) sistem teleskop
batang, yang biasanya dihubungkan dengan kamera video (single chip atau three
chip); (2) laparoskop digital dimana charge-couple device ditempatkan pada
ujung laparoskop. Laparoskopi juga menggunakan lampu yang dingin seperti
17
halogen atau xenon. Lapangan operasi dilihat dengan hand instrument yang
dimasukkan abdomen melalui trokar 5 mm atau 10 mm. Gas karbondioksida
dimasukkan ke dalam abdomen sehingga menaikkan dinding abdomen di atas
organ intraabdomen menjadi seperti kubah untuk menghasilkan ruang bekerja.
Penggunaan gas karbondioksida karena gas ini terdapat di dalam tubuh manusia
dan dapat diserap oleh jaringan dan dibuang melalui sistem pernafasan. Selain
itu, karbondioksida juga tidak mudah terbakar, sehingga tidak mengganggu alat
kauter selama prosedur laparoskopi.
Ruang laparoskopi modern dapat dilihat pada Gambar 1a. Adapun
perlengkapan yang dibutuhkan dalam laparoskopi menurut Scott-Conner (2006)
adalah sebagai berikut: meja operasi elektrik (bila tersedia), dua video monitor,
suction irrigator, electrosurgical unit dengan bantalan ground, ultrasonically
activated scissors, scalpel, perlengkapan laparoskop lain: sumber cahaya,
insufflator, video cassette recorder (VCR), color printer, monitor on articulating
arm, camera-processor unit (Gambar 1b), c-arm x-ray unit (jika direncanakan
cholangiography), meja mayo yang dilengkapi instrumen laparoskopi, antara
lain: scalpel nomor 11 dan 15 beserta pegangannya, towel clips, Veress needle
(Gambar 1c), pipa insufflator dengan micropore filter, kabel fiberoptik
dihubungkan ke laparoskop dengan sumber cahaya, video kamera dengan
kabelnya, kabel yang dihubungkan instrumen laparoskopi ke electrosurgical unit,
curved hemostatic forceps, retraktor kecil untuk umbilikus, trokar (Gambar 1c
dan 1d), laparoscopic instruments, antara lain: atraumatic graspers; Locking
toothed jawed graspers; needle holders; dissectors: curved, straight, right-angle;
bowel grasping forceps; babcock clamp; scissors: metzenbaum, hook, microtip;
fan retractors: 10mm, 5mm; specialized retractors, seperti endoscopic curved
retractors; biopsy forceps; tru-Cut biopsy-core needle, monopolar electrocautery
dissection
tools,
yang
terdiri
dari:
L-shaped
hook
dan
spade-type
dissector/coagulator (Gambar 1e), ultrasonically activated scalpel, antara lain:
scalpel,
ball
coagulator,
hook
dissector,
dan
scissors
dissector/coagulator/transector (Gambar 1d), endocoagulator probe, basket yang
terdiri dari: clip appliers, endoscopic stapling devices, pretied suture ligatures,
endoscopic suture materials, dan extra trocars (Gambar 1f)
18
Prosedur laparoskopi dapat dipergunakan untuk bermacam-macam
pembedahan seperti laparoscopic cholecystectomy, laparoscopic common bile
duct surgery, laparoscopic fundoplication for GERD, laparoscopic Nissen and
Toupet fundoplication, laparoscopic gastric banding for morbid obesity,
laparoscopic Heller esophagomyotomy for achalazia, laparoscopic splenectomy,
laparoscopic appendectomy, laparoscopic left colectomy, laparoscopic right
colectomy, laparoscopic total colectomy, laparoscopic rectopexy for rectal
prolapse, laparoscopic hernia repair, dan lain-lain (Dulucq, 2005).
4.3 General Anastesia
Klasifikasi ASA
Klasifikasi ini penting untuk menilai keadaan penderita sebelum operasi :
19
ASA I
: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II
: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA III
: Pasien dengan penyakit sistemik berat hingga aktifitas rutin terbatas.
ASA IV
: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktifitas
rutin penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V
: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
4.3.1 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan, dan ketika pasien bangun dari
anestesi.
Tujuan Premedikasi sangat beragaman, diantaranya :
-
Mengurangi kecemasan dan ketakutan
-
Memperlancar induksi dan anesthesia
-
Mengurangi sekresi ludah dan broncus
-
Meminimalkan jumlah obat anesthetic
-
Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
-
Menciptakan amnesia
-
Mengurangi isi cairan lambung
-
Mengurangi reflek yang membahayakan
4.3.2 Induksi Anestesi
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Sebelum memulai induksi anestesia sebaiknya disiapkan peralatan
dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat
dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik.
Persiapan alat
- Scope
: Laringoscope dan Stetoscope
- Tubes
: Pipa trakea yang diplih sesuai usia
20
- Airway : Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat pasien tidak sadar,
untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan nafas.
- Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.
- Introducer: Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea
mudah untuk dimasukkan.
- Conector
: Penyambung antara pipa dan alat anesthesia
- Suction
: Penyedot lendir.
Induksi Intravena :
Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hari-hati, perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dengan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberi oksigen.
4.3.3. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi dan
campuran keduanya. Rumatan anestesia bertujuan menciptakan keadaan
hypnotis, anelgesia cukup dan relaksasi otot lurik yang baik.
Pembahasan :
Pada pasien ini rumatan anestesi dipilh secara inhalasi, yaitu
menggunakan N2O : O2 dengan 1 :1 dan ditambah isoflurance 1 – 2 vol%.
4.3.4 Intubasi Trakea
Indikasi Intubasi :
-
Menjaga jalan nafas dari gangguan apapun.
-
Mempermudah ventilasi dan oksigenisasi
-
Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan Intubasi :
-
Leher pendek berotot
-
Mandibula Menonjol
-
Maksila menonjol
21
-
Uvula tidak terlihat (malampati 3 atau 4)
-
Gerakan sendi temporo mandibula terbatas
-
Gerakan vertebra cervical terbatas
Komplikasi Intubasi
Selama Intubasi :
-
Trauma gigi geligi
-
Laserasi bibir, gusi dan laring
-
Merangsang simpatis
-
Aspirasi
-
Spasme bonchus
Selama Extubasi :
-
Spasme laring
-
Aspirasi Gangguan fonasii
-
Edema glottis-subglotis
-
Infeksi laring, faring, trakea.
Kriteria Malampati :
Gradasi
1
2
3
4
Pilar Faring
+
-
Uvula
+
+
-
Palatum Mole
+
+
+
-
4.3.5 Ekstubasi
- Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali akan menemukan kesulitan
- Adanya resiko Aspirasi
- Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesi sudah ringan, dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring.
- Sebelum tindakan hendaknya rongga mulut, laring, faring dibersihkan dari sekret
dan cairan.
4.3.6 Medikasi
-
Atropin
o Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen
22
o Saluran nafas → mengurangi sekret hidung, hidung, mulut, faring
dan bronkus
o Saluran cerna → Antispasmodik ( menghambat peristaltik lambung
dan usus)
o ESO : Mulut kering, gangguan miksi, meteorismus, retensio urin dan
muka merah.
o Dosis Atropin : 0,01-0,04 mg
Indikasi : Parkinsonisme, antispasmodik, mengurangi sekresi lendir saluran
nafas (rinitis), dan medikasi preanestetik (mengurangi lendir saluran nafas)
-
Petidin
Pemberian petidin bertujuan untuk mengurangi rangsang nyeri pada saat
operasi.
-
Propofol adalah obat induksi intavena yang memiliki efek depresi nafas
lebih sedikit, dan memiliki efek menurunkan tekanan darah.
-
Atrakurium
Termasuk pelumpuh otot nondepolarisasi dengan susunan molekul steroid, dan
bersifat intermediate acting. Dengan dosis awal 0,6 – 1 mg/ kg BB dan efek
samping aktifasi histamine dan hipotensi. Namun baik pada ginjal dan hepar.
Obat ini bekerja dengan menghalangi asetilcholine menempati reseptornya
dan tidak menyebabkan depolarisasi, sehingga tidak terjadi fasikulasi
-
Neostigimin
Merupakan penawar dari pelumpuh otot. Bekerja pada sambung saraf otot,
mencegah asetilcholine-esterase bekerja, sehingga asetilcholine dapat
bekerja. Dosis yang digunakan adalah 0,04 – 0,08 mg/kgBB. Obat ini
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi , keringatan,
bradikardi, untuk itu pemberiannya harus disertai obat vagolitik yaitu atropin
dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB.
-
Ketorolac
Cara kerja ketrolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
menganngu reseptor opoid di sistem saraf pusat. Ketorolac dapat diberikan
secara oral, im, atau iv. Dosis awal 10- 30 mg dan dapat diulang setiap 4-6
jam sesuia kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari-hari dapat dibatasi
23
maksimal 90 mg dan untuk berat < 50kg, manila atau gangguan faal ginjal
dibtasi maksimal 60 mg.
-
Tramadol
Adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu. Dan
kelemahan analgesinya 10-20% dibandingkan morfin. Tramadol dapat
diberikan im atau iv dengan dosis 50-100 mg dn dapat diulang tip 4-6jam.
Dengan dosis maksimal 400 mg perhari.
4.3 Anestesi pada Laparaskopi
4.3.1 Efek Fisiologi
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek
meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO 2 dan
juga pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi
aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:
4.3.2 Efek Kardiovaskular
Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi
vaskular sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama
dengan penurunan awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari
frekuensi denyut jantung (HR).
Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali
dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO2 intra
peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan
penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 – 40%) setelah induksi anestesi
dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya
penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum.
Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR.
Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan
kembali ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum.
Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada
interaksi beberapa faktor :
1. Faktor penderita
24
Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah ststus
kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya
prosedur laparoskopi. Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi,
pneumoperitoneum menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar
karena meningkatnya SVR sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan
menurunkan cardiac output yang lebih besar.
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi –
difusi, dengan adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan
cardiac output. Pasien ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar
dan peak airway pressure yang lebih tinggi untuk mencapai normokarbia
sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac output yang lebih besar. Pada
pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum
pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang
tinggi serta tekanan arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan
pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac output
yang lebih besar.
2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum)
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO 2 menghasilkan
pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks
tonus vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia.
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan
pembuluh darah vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat
diikuti secara perlahan dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah
arteri meningkatkan afterload dan biasanya secara nyata mengakibatkan
peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan besarnya penurunan ini
sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada pasien sehat yang
akan menjalani laparoskopi organ intra abdomen, Dexter dkk. dengan
menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output
menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi
dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti
mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama
insuflasi peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk.
25
merekomendasikan
batas
tekanan
intraabdomen
selama
insuflasi
oleh
CO2 dengan efek hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung,
tekanan vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat
ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah
cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH 2O/18 mmHg) cenderung
membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan
menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload
dan cardiac output pada beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara
meningkatkan
volume
sirkulasi
sebelum
dilakukan
pneumoperitoneum.
Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau
memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan
mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression device, atau
dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri
tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen
meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan
pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau
obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat
penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi
secara signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit
bisa mencegah perubahan hemodinamik.
3. Efek dari posisi pasien
Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi organ intra
abdomen dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º
trendelenburg. Posisi pasien kemudian berubah keposisi kebalikan posisi
trendelenburg (head up position) dengan ditekan kelateral kiri untuk
memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan meminimalkan disfungsi
26
diafragma.
Perubahan
posisi
pada
pasien
dengan
pneumoperitonium
menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan
tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan
aliran darah balik vena (venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan
arteri rata – rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat.
Pola perubahan cardiac output dan tekanan arteri pada pasien dengan penyakit
jantung ringan sampai berat mirip dengan pasien sehat. Namun secara kuantitatif
perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan tekanan intraabdomen dan posisi
head-up mengakibatkan penurunan aliran darah vena femoralis, stasis pada vena
– vena tungkai bawah, diperburuk dengan posisi litotomi dengan fleksi pada
lutut merupakan predisposisi terjadinya tromboemboli.
Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral
(preload), namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini
merupakan respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis
dan baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih
besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang
disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara
potensial
dan
meningkatkan
kebutuhan
oksigen
miokardium.
Posisi
trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya pada pasien
dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan peningkatan
tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada pasien dengan
glaucoma akut.
4.
Efek Absorbsi Sistemik gas CO2
Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs
CO2. Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan
menurunkan nilai ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap
hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang
dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran
katekolamin.
27
Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko
aritmia. Usaha untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau
frekuensi
nafas
akan
meningkatkan
tekanan
intrathoraks,
selanjutnya
menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata – rata arteri
pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif
paru, gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.
5. Respon neurohumoral
Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama
pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan
pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan
menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan adanya
aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk.
menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah
insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan
aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.
Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin
semua dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam
meningkatkan
afterload.
Stimulasi
mekanik
reseptor
peritoneum
juga
mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.
Efek Respirasi
1. Efek Mekanik
Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum
pada laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang
dapat menyebabkan 4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO2,
pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli gas.
Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan
volume paru, penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan
nafas (peak airway pressure). Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien
sehat, obesitas, dan ASA III – IV. Penurunan kapasitas residu fungsional (FRC)
dan koplian paru yang berhubungan dengan posisi terlentang dan induksi
28
anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO 2 dan perpindahan ke
sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi ventilasi
dan perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway
pressure).
Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat
jarang selama laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan
penurunan FRC, atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan
intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat merokok yang lama atau
pasien dengan penyakit paru.
Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan
diafragma. FRC, volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan
bisa berkembang menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi
dengan baik oleh pasien sehat, namun pada pasien obesitas, pasien tua, dan
pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi
trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa
endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama
kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.
2. Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2
CO2 adalah
pilihan
gas
untuk
insuflasi
pada
bedah
laparoskopi. CO2 tidak mudah terbakarseperti N2O, sehingga dapat digunakan
secara aman untuk diatermi. Dibandingkan dengan helium, kelarutan CO2 darah
lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek samping emboli
gas,CO2juga mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi
CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan
dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.
Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas
daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena
difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah
yang ditandai dengan peningkatan PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada
insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi intraperitoneum. Dampak
dari peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi, khususnya pada pasien dengan
penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya penurunan pH darah dan
29
peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum dan pasien
ini membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang
juga lebih tinggi. Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri
pada pasien ini. Gradient PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA
III. ETCO2 merupakan nilai yang tidak dapat dipercaya untuk mengetahui
PaCO2 selama insuflasi CO2 pada pasien dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah
peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya
komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30
menit setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi
mekanik selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau
laparoskopi organ intra abdomen pada posisi head up. Peningkatan
PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan
anestesi lokal, PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat.
Pada anestesi umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak
mencukupi untuk menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi
ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan
komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 – 30 menit
untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas
spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan
intraabdomen yang rendah.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama
pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek
ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien
dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung jawab
meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang fisiologis
dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus
seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah
dicapai dengan peningkatan 10 – 25% ventilasi alveolar.
Efek Pada Sistem Lain
30
Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk
terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat
peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama
pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada
tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi insidensi
regurgitasi.
Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik
pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin,
dan vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan
tahanan vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti
pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg menyebabkan
penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga mengakibatkan disfungsi
hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode postoperative. Terdapat
penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua organ, kecuali glandula
adrenal.
Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah
jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah
vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH
plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan
resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan
produksi urine.
Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler
Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan
spinal lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga
meningkatkan tekanan intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan
31
refleks vasodilatasi pada sistem saraf pusat dan hal ini juga turut meningkatkan
tekanan intrakranial.
Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi
Kontra
indikasi
medis
pembedahan
laparoskopi
adalah
relatif.
Pembedahan laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat
antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas morbid.
Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia,
ventrikuloperitoneal shunt, dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum
dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan shunt ini, dengan melakukan
klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap tekanan
intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi
tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini.
Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi
ginjal, pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk
mengoptimalkan hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari
penggunaan obat – obat nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi,
laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena disfungsi
respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan
dengan resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan resiko
ketidakadekuatan pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi
perfusi. Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas
vital dan tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan
mengalami hiperkapnea dan asidosis selama laparoskopi organ intra abdomen.
Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin memerlukan penghilangan
insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi ataukonversikan
ke prosedur terbuka.
Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama
laparoskopi, profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan
memberikan tromboprofilaksis low-molecular-weight heparin (LMWH) seperti
fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau Clexane enoxaparin sodium 20 –
32
40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length graduated
compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten
pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari
sebelum pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan
untuk pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid
dapat bermanfaat mengurangi nyeri pasca operasi. Penggunaan klonidin dan
deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi dan mempertahankan
stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya tidak
perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi
saat terjadi perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum
dan posisi pasien, khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel.
Pasien dengan gagal jantung kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang
terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak daripada pasien
denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini
keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko
intraoperasi dalam menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.
Teknik Anestesi
Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi
anestesi lokal dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi
umum. Pemilihan teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome
pasien.
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik
lain, anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik
yang paling aman untuk operasi laparoskopi.
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat
(sterilisasi tuba perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan
punya motivasi. Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak
enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi organ – organ intraabdomen yang
33
tidak optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik anestesi lokal ini
untuk laparoskopi organ intra abdomen.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural
dan spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal
karena pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi,
perubahan posisi yang ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa
menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini membutuhkan blok
pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk
mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi
pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh
otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa
alasan : adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan
intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah
hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena
pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena
tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik,
mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama
ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi
trokars. Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk
meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat insersi trokar dan
mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan pada pasien
obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan
teknik
ventilasi
spontan
tidak
dianjurkan
dalam
perspektif
adanya
disesuaikan
untuk
pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.
Selama
pneumoperitoneum
kontrol
ventilasi
mempertahankan PETCO2 kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak
lebih dari 15 – 25% peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema
subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih daripada peningkatan volume
tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan pneumothorak spontan
atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar dan
34
menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat – obatan vasodilator seperti
nikardipin, agonis α2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak
hemodinamik pneumoperitoneum dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi
pada pasien dengan penyakit jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin
untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih
dari 20 mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan
menjaga kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan
tonus vagus selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk injeksi jika
diperlukan.
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen
dan ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur
pendek seperti sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot
tergantung dari ketrampilan ahli bedah dan pasiennya tidak obesitas.
Manajemen jalan nafas
Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi
mekanik untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan
ventilasi akibat pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi.
Laryngeal mask airway (LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara
luas. LMA, khususnya LMA pro seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada
prosedur yang pendek untuk pasien one day care (ODC). Pemantauan kontinyu
terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal mendeteksi refluk esophageal
pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan menggunakan LMA.
Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi organ intra abdomen dengan
dengan tekanan intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa
diperkirakan dan meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan
ballon pipa endotrakeal mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk
isi lambung.
Pelumpuh otot
Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan
profil efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot
35
dengan neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi
(PONV) setelah laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan,
dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain
menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan penggunaan
neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi yang
direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak
meningkatkan insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh
otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari.
Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus diseimbangkan dengan
resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.
Nitrous Oxide (N2O)
Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena
kemampuan N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan
distensi, gangguan lapangan pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca
operasi, namun secara klinis tidak signifikan pada prosedur pendek dan sedang.
N2O lebih mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N 2), ruang udara tertutup akan
mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk. mendapatkan
adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4 jam
pernafasan dengan N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama
laparoskopi organ intra abdomen diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa
N2O berdifusi kedalam CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari 29%,
level seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2 jam.
N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper
dalam studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari
49% menjadi 17% bila tidak menggunakan N2O.
Obat Induksi
Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan
pemulihannya yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi
yang lebih kecil.
36
Obat Anestesi Inhalasi
Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya
bila terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat – obat
inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai
efek depresi miokardium lebih rendah dan kurang aritmogenik.
Analgesia
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi
umum untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl,
alfentanyl dan remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah
stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan interpretasi hasil kolangiografi
intraoperasi selama laparoskopi organ intra abdomen dapat terjadi karena
penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter
oddi yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti
glucagon dan nalokson.
Walaupun laparoskopi organ intra abdomen merupakan prosedur invasif yang
minimal, namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional,
dan nyeri bahu setelah operasi. Obat – obat analgesia multimodal kombinasi
dengan opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi
dosis opioid untuk meminimalkan efek samping. Pemberian obat anestesi lokal
melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan tidak melibatkan blok
neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan. Pemberian obat
anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam volume 10 – 100 ml,
signifikan mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tanda – tanda
toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur intraperitoneum ini belum
pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri visceral berupa rasa tidak enak
setelah laparoskopi organ intra abdomen tidak berkurang dengan pemberian 80
ml bupuvakain 0,125% intraperitoneum.
Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV)
37
PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga
merupakan gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 –
75% pasien) dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan
lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi
secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih kontroversial. Drainase isi
lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid dengan obat
– obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor
antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis
terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan
tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai
antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang
tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada
akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan
multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat
kombinasi droperidol 0,625 – 1 mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau
dolasetron 2.5 – 5 mg), dan deksamethason 4 – 8 mg, disertai dengan hidrasi
yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.
Monitoring
Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang
menjalani prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang
digunakan : pulse rate, kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2),
Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary airway
pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III – IV
untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum, perubahan
posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan
monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien
sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO2 dan Δa-ETCO2 meningkat lebih
besar pada pasien ASA II – III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada
pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak dengan
penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila
secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya
38
PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan
sebagai indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan memberikan
petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia
selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi paru terjadi jika cardiac output
menurun dengan cepat oleh karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi
yang berlawanan dengan posisi trendelenburg, atau terjadi emboli gas.
Selanjutnya distensi abdomen menurunkan komplian paru. Volume tidal yang
besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan
menyebabkan
pergerakan/perpindahan
lapangan
operasi.
Pilihan
untuk
menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi
nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk
dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya
pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi.
Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting
untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi
dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah
Insuflasi
CO2 pada
pasien
sehat.
Sebaliknya
pasien
dengan
penyakit
kardiopulmoner PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO2 dan hal
ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang
diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu
mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah
pergerakan pasien tiba – tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan
trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.
Komplikasi Intraoperasi yang Spesifik
Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum
CO2 meliputi :
1. Trauma vaskular
Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat – alat pembedahan terutama
veress needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen
39
atas ± 0,03 – 0,06% dan menurun dengan meningkatnya pengalaman
pembedahan. Perdarahan bisa terjadi oleh karena insersi veress needle atau
trokar mengenai pembuluh darah besar intraabdomen atau trauma pada
pembuluh darah dinding abdomen, seperti aorta, vena cava inferior, pembuluh
darah iliaka, dan hematom retroperitoneum, biasanya merupakan trauma
vaskular yang terdiagnosa terlambat oleh karena terbatasnya visualisasi, yang
awalnya ditandai dengan terjadinya hipotensi yang tidak bisa diterangkan.
2. Trauma Gastrointestinal
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar
meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang
bisa menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium.
Trauma gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas. Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi distensi
lambung dan adhesi yang disebabkan oleh operasi abdomen sebelumnya.
3. Aritmia jantung
Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab
meliputi : hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO2 intraperitoneum dan
peningkatan reflek tonus vagus saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan
peritoneum, dan manipulasi organ visceral, khususnya bila anestesi kurang
dalam. Jenis gangguan aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah
bradikardia sampai asistol.
Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus
dipertimbangkan
untuk
melakukan
tindakan:
menghilangkan
stimulus
(pengurangan insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas
atropine)
4. Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang
disengaja (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi
pelvis) dan insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang
peritoneum pada laparoskopi dicapai dengan cara insersi buta veress needle
melalui insisi kecil subumbilikus. Insuflasi CO2 ekstraperitoneum bisa terjadi
jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau
40
retroperitoneum
saat
insuflasi.
Insiden
dari
komplikasi
insuflasi
ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 – 2%. Emfisema subkutan yang luas bisa
mengenai abdomen, dada, leher, dan paha. Emfisema subkutis ditandai ditandai
dengan adanya krepitasi diatas dinding abdomen. Peningkatan absorbsi
CO2 menyebabkan peningkatan tiba – tiba ETCO2 dan hiperkapnea, dan asidosis
respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutis karena insuflasi
ekstraperitoneum. Kehati – hatian teknik pembedahan saat insersi veress needle
dan penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi mengurangi
insiden komplikasi ini.
5. Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium
Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum
atau ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang
mengancam nyawa. Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek embrional,
defek diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla
emfisematus. Pada laparoskopi organ intra abdomen, pneumothorak dapat terjadi
saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi. Diduga mekanisme
terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2 sekitar aorta dan hiatus
esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi
rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau
melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis
pleuroperitoneum).
Tension
pneumothorak
pernah
ditemukan
selama
laparoskopi organ intra abdomen, dan berhubungan dengan defek diafragma
kongenital. Rupture dari bulla paru dapat menyebabkan tension pneumothorak
terpisah dari pneumoperitoneum.
Pneumothorak bisa tidak terdeteksi intraoperasi, atau keberadaannya bisa
dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan jalan nafas yang tidak bisa
dijelaskan, hipoksemia – hiperkapnea, emfisema bedah, atau jika tension
pneumothorak terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala hipotensi yang
berat. Jika diduga ada pneumotorak, foto thorak harus dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan hemodinamik tidak stabil atau secara
klinis nyata menunjukkan pneumothorak tension, segera lakukan pengempisan
abdomen dan pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak. Selanjutnya
41
penatalaksanaannya tergantung dari status hemodinamik. Jika pasien stabil,
abdomen bisa diinsuflasi kembali dan prosedur dapat diteruskan. Pneumothorak
kecil yang terdeteksi saat akhir operasi dan tidak menyebabkan gangguan
hemodinamik dapat diterapi secara konservatif. CO2 dalam ruang pleura sangat
cepat diabsorbsi setelah pengempisan abdomen dan tidak memerlukan
pemasangan WSD.
Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat
prosedur laparoskopi. Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi
memegang peranan terjadinya komplikasi ini. Penatalaksanaan tergantung pada
tingkat gangguan hemodinamik yang terjadi. Pengempisan pneumoperitoneum
dan observasi ketat harus dilakukan pada pasien dengan komplikasi ini.
6. Emboli Gas CO2
Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat
prosedur laparoskopi. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat,
sianosis, dan asistol setelah tindakan pneumoperitoneum. Kemungkinan
mekanisme emboli gas meliputi penempatan veress needle intravena yang tidak
disengaja, aliran CO2 kedalam pembuluh darah dinding abdomen dan pembuluh
darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada
permukaan hepar saat diseksi kandung empedu. Tanda dan beratnya efek emboli
CO2meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi
pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill wheel murmur’, tidak seperti emboli
udara biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu
baru terjadi penurunan ETCO2 karena penurunan aliran darah ke paru. Emboli
paradoksikal yang melewati defek paten foramen ovale,defek septum atrium bisa
menyebabkan emboli CO2 serebral.
Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi
transesofageal sekitar 69% pasien yang menjalani laparoskopi organ intra
abdomen, tetapi tanpa efek kardiopulmoner yang signifikan. Wadhwa dkk. tidak
menemukan emboli gas pada 100 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi
ginekologi dengan menggunakan Doppler prekordial. Monitoring yang baik dan
meningkatkan kewaspadaan kita dapat menghasilkan deteksi dini dan mencegah
komplikasi lebih berat dari emboli CO2 ini
42
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :

Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum

Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini
sejumlah gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang
karena busa yang ringan berpindah kebagian lateral dan kaudal outflow ventrikel
kanan.

Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk memperbaiki
hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan dampak emboli gas.

Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan seperlunya
dengan memperbesar ruang rugi fisiologis.

Jika cara – cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter vena
sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara.

Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar mungkin
bermanfaat untuk memecah emboli CO2 menjadi gelembung yang kecil.
Pemulihan Dan Pemantauan Pasca Operasi
Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma
pembedahan, ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi
paru, penyembuhan lebih cepat, dan perawatan rumah sakit lebih pendek.
Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi
oleh karena tidak adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah
operasi abdomen bagian atas. Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan
trauma otot dan nyeri insisional yang kurang dibandingkan dengan pembedahan
terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi setelah paling tidak
dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi organ intra abdomen sehingga
PaO2 masih rendah setelah laparoskopi organ intra abdomen. Peningkatan
kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi laparoskopi, untuk itu harus diberikan
oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab disfungsi ini adalah
peregangan diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh
karena aferen yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatic yang
berasal dari dinding abdomen mendesak aksi inhibisi dari nervus prenikus. Pada
43
pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV1 dan kapasitas vital
parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30 – 38%. Force vital capacity
menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48% setelah
pembedahan terbuka.
Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan
PETCO2 dari pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca
operasi terbuka.
Peningkatan
tekanan
intraabdomen
saat
pneumoperitoneum
menyebabkan stasis vena yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli
paru. Insiden emboli paru yang fatal setelah laparoskopi organ intra abdomen
adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu 0,8%.
Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode perioperasi
dapat mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang
minimal bisa memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi
resiko DVT
Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin
dilakukan pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini
perlu dipertimbangkan untuk memberikan obat profilaksis.
44
BAB V
PEMBAHASAN
Pasien Ny. DMG 30 tahun, dirawat di ruang kelas II dengan diagnosa
kista ovarium. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana pada pasien ini
adalah dengan tindakan pembedahan, yaitu laparaskopi. Pada saat kunjungan pra
anastesi, dari anamnesis didapatkan 5 bulan yang lalu, pasien mengeluh haid
tidak lancar dan lama. 1 bulan yang lalu hamil dan mengalami keguguran dan
dilakukan kuret. 20 hari yang lalu pasien memeriksaan kesehatan ke poli
kebidanan untuk melakukan program hamil. Kemudian dilakukan pemeriksaan
USG dan pasien dicurigai menderita kista ovarium. Pasien kemudian
direncanakan untuk dilakukan laparaskopi.
Riwayat penyakit sistemik disangkal, alergi disangkal, menggunakan
obat-obatn disangkal, riwayat kebiasaan merokok dan alcohol disangkal. Status
fisik pasien ini adalah ASA I, yaitu Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal,
status generalisata dalam normal, status lokalisata dalam batas normal. Hasil
pemeriksaan penunjang terutama factor pembekuan dalam batas normal,
hemoglobin darah dalam batas normal. EKG dalam batas normal, rontgen thorak
KP dupleks, namun dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan
kelainan pada paru. Ini adalah alasan status fisik pasien adalah ASA I.
Pada pasien ini pemilihan jenis anastesi adalah anastesi umum. Tindakan
premedikasi pada pasien
ini yaitu : ondansentron 4 mg, ranitidine 50 mg,
dexametason 10 mg. Pada pasien ini diberikan Ranitidine 50 mg, tujuannya
adalah untuk mencegah pneumonitis asam, sebab cairan lambung bersifat asam
dengan PH 2,5 dapat menyebabkan keadaan tersebut. Maka dipilihlah antagonis
reseptor H2 histamin. Pada pasien ini juga diberikan ondansentron 4 mg untuk
mengurangi mual dan muntah pasca pembedahan. Deksametason diberikan
untuk mengurangi histamin release, sehingga dapat mengurangi alergi pada
pasien. Diberikan sulfas atrofin 0,50 mg untuk mengurangi sekresi ludah dan
45
saluran nafas serta mencegah vagal refkleks. Fenthanyl diberikan sebagai obat
untuk memudahkan induksi.
Induksi menggunakan propofol 100 mg. Propofol dipilih karena
kelebihan propofol yaitu pasien terlihat lebih segar pada periode pasca bedah,
muntah tidak ditemukan, penderita dapat berjalan lebih cepat.
Rumatan anastesi dilakukan dengan cara inhalasi dan IV. Rumatan IV
menggunakan opioid dosis tinggi yaitu fentanyl 10-50 mcg/kg. dosis tinggi
opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan pelumpuh otot. Sementara rumatan anastesi secara inhalasi
menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 1:1 ditambah
sevofluran 1-2 vol%.
N2O jenis obat inhalasi yang stabil pada tekanan dan suhu kamar.
Sementara sevofluran merupakan jenis obat inhalasi terbaru yang induksi dan
pulih dari anastesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan nafas serta tidak mudah menguap seperti halotan,
isofluran, desfluran, dan metoksifluran. Serta aman digunakan, tidak berisiko
mudah terbakar seperti eter. Sementara klorofom tidak digunakan karena
toksiknya pada hati.
Pada kasus ini, pemberian rumatan anastesi sudah tepat, dimana
dilakukan secara inhalasi dengan perbandingan
N2O dan O2 (1:1) ditambah
dengan sevofluran 1-2 vol %.
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot yaituu
salah satunya atracurium besilat yang merupakan obat pelumpuh otot non
depolarisasi yang relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang
berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai
efek akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler secara bermakna. Dosis yang dapat diberikan untuk dilakukan
intubasi adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/IV.
Sementara pada kasus ini, atracurium diberikan dengan dosis 60 mg,
pemberian dosis atracurium pada kasus ini sudah tepat karena rentang dosis
minimal dan maksimal yang dapat diberikan pada pasien ini adalah 24,5 mg –
29,4 mg.
46
Selama operasi, dilakukan pemantauan. Pemantauan yang dilakukan
adalah tekanan darah setiap 15 menit, nadi, RR, saturasi oksigen. Intake cairan
telah diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien. Urin output tidak dapat
dipantau karena tidak dilakukan pemasangan kateter. Perdarahan diperkirakan
sebanyak 80 ml, yang beasal dari luka operasi, kista, dan kuret.
Intubasi dilakukan dengan tujuan untuk menjaga oatensi jalan nafas,
mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi dan mencegah aspirasi dan
regurgitasi. Pada pasien ini tidak ditemukan penyulit intubasi, dengan grade
malampati.
Pada pukul 11.45 operasi selesai, dilakukan suction pada pasien dan ETT
dicabut setelah terlebih dahulu diberikan VTP untuk memberikan kesempatan
pengeluaran atau secret keluar dari glottis. Ekstubasi ditunda sampai pasien
benar-benar sadar, jika intubasi kembali menimbulkan kesulitan dan adanya
risiko aspirasi. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anastesia sudah
ringan dengan catatan tidak terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan
rongga mulut, laring, faring dari secret dan cairan lainnya.
Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan dimana ekstubasi
dilakukan ketika efek anastesi sudah ringan dan pasien sudah mulai bernafas
spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.
Pasien masuk ke ruangan pemulihan pukul 13.00 WIB. Keadaan umum
cukup, kesadaran CM, GCS 15. Tanda vital dalam keadaan stabil, pernafasan
baik. Skoring Aldrete dengan 10. Pemantauan dilakukan selama 45 menit dan
tidak terjadi komplikasi post operasi. Pukul 13.45 os pindah ke ruang kelas II.
Saran dari bagian anastesi yaitu pantau vital sign tiap 15 menit, tidur terlentang
tanpa memakai bantal 1x24 jam post operasi, puasa sampai sadar penuh dan
bising usus positif, serta lanjutkan terapi sesuai instruksi operator.
Instruksi yang diberikan sudah tepat, perlunya observasi keadaan umum,
vital sign 24 jam pertama post operasi sangat penting untuk menilai apakah ada
komplikasi yang terjadi pasca pembedahan. Pada kasus operasi besar sering
mengalami dehidrasi maka dari itu penting untuk memantau balans cairan dan
output.
47
BAB V
KESIMPULAN
48
Pemeriksaan pra anastesi memegang peranan penting pada setiap operasi
yang melibatkan anastesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul
sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anastesi umum pada
operasi laparaskopi pada pasien wanita 30 tahun, status fisik ASA 1 dengan
diagnosis kista ovarium
Pasien bernama Ny. DMG usia 30 tahun dengan diagnosa kista ovarium.
Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang saat pra anestesi didapatkan
pasien termasuk ASA 1 dengan menggunaan teknik general anastesi dengan ET
no. 7, respirasi terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anastesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anastesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama
operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anastesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anastesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian.
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
laparaskopi dan mekanismenya yaitu :
1. Penurunan volume paru, penurunan komplian paru, dan peningkatan
tekanan puncak jalan nafas (peak airway pressure). Komplian
paru
menurun 30 – 50% pada pasien sehat. Hal ini terjadi karena penurunan kapasitas
residu fungsional (FRC) dan komplian paru yang berhubungan dengan posisi
terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi
CO2 dan perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan
perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan jalan nafas (airway pressure).
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung, tekanan vena sentral, dan cardiac
output. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah
49
cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks, frekuensi
denyut jantung meningkat karena peningkatan SVR.
3. Hipotensi karena Tekanan insuflasi yang tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg)
cenderung membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior)
yang akan menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan
cepat preload dan cardiac output pada beberapa pasien.
4. Bradikardi karena hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi
karena absorbs CO2. Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas
miokardium.
5. Peningkatan tekanan darah, takikardi, dan resiko aritmia karena
hiperkarbia yang akan menstimulasi system syaraf simpatis.
6. Pergeseran pipa ETT karena posisi trendelenburg cenderung menyebabkan
pergeseran trakea ke atas. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi
abdomen.
7. Takipnea karena Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan
CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi
semenit
8. Peningkatan PaCO2 karena difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam
jumlah besar kedalam darah, selain itu disebabkan karena absorbsi CO2 dari
ruang peritoneum.
9. Sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan
tekanan intragastrik karena peningkatan IAP
10. Penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine karena peningkatan tekanan
intra abdomen mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada
curah jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran
darah vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan
ADH plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan
meningkatkan resistensi vaskuler ginjal.
11. Peningkatan tekanan intrakranial karena peningkatan tekanan intra abdomen
akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal lumbal
dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan
tekanan intrakranial dan intraokuler selain itu juga disebabkan karena
hiperkapnia yang kemudian menyebabkan refleks vasodilatasi pada sistem saraf
pusat.
50
12. Emfisema subkutis karena jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan
preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi.
13. Pneumothorak dapat disebabkan karena adanya defek embrional, defek
diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla emfisematus.
Terjadi saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi. Diduga mekanisme
terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO 2 sekitar aorta dan hiatus
esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi
rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau
melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis
pleuroperitoneum).
14. Pneumomediastinum dan pneumoperikardium karena tekanan intraabdomen
yang tinggi saat insuflasi.
15. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah
tindakan pneumoperitoneum. Mekanisme emboli gas meliputi penempatan
veress needle intravena yang tidak disengaja, aliran CO2 kedalam pembuluh
darah dinding abdomen dan pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau
ke dalam pembuluh darah pada permukaan hepar saat diseksi kandung empedu.
Tanda dan beratnya efek emboli CO2 meliputi hipotensi dengan kolap
kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill
wheel murmur’, tidak seperti emboli udara biasa, pada emboli gas CO 2,
ETCO2 meningkat sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO 2 karena
penurunan aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati defek
paten foramen ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli
CO2 serebral.
16. Trauma vascular
17. Trauma organ intra abdomen.
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Gomel
V.
Isobaric
laparoscopy.
Canada
J
Obstet
Gynecol:
JOGC.2007;29(6):493-4 2.
2. Hadisaputra W. Peran laparoskopi operatif pada nyeri pelvis kronis. Indones J
Obstet Gynecol. 2006;30(3):152-5.
3. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 197-205
4. Prawiroharjo S. Ilmu kebidanan. YBPSP. Jakarta. 1985: 626-38
5. Dulucq, J. L., 2005, Tips and Techniques in Laparoscopic Surgery, Springer, 1243.
6. Haris, H. W., 2008, Surgery Basic Science and Clinical Evidence, Biliery
System, Springer, 47: 911-943.
7. Leo, J., Filipovic, G., Krementsova, J., Norblad, R., and Söderholm, M., 2006,
Open Cholecystectomy for All Patients in the Era of Laparoscopic Surgery – A
Prospective Cohort Study, BMC Surger, 6:1471-82.
8. MacFadyen, V., 2004, Laparoscopic Surgery of the Abdomen, Bruce, 71:115.
52
9. Schietroma, M., Cartel, F., Franchi, L., Mazzotta, C., Sozio, A., et al., 2004, A
comparison of Serum Interleukin-6 Concentrations in Patients Treated by
Colecystectomy via Laparotomy or Laparoscopy, Hepato-gastroenterology,
51:1595-99.
10. Scott-Conner, C. E.H., 2006, The SAGES Manual Fundamentals of
Laparoscopy,Thoracoscopy, and GI Endoscopy, Springer, 5-6.
11. Soper, N. J., Swanstrom, L. L, and Eubanks, W.S., 2004, Mastery of Endoscopy
and Laparoscopic Surgery, Lippincott Williams & Wilkins, 2-5.
12. Tayeb, M., Raza, S. A., Khan, M. R., and Azami, R., 2005, Conversion from
Laparoscopic to Open Cholecystectomy: Multivariate analysis of preoperative
risk factors, 51:17- 20.
13. Vittimberga, F. J., Foley, D. P., Meyers, W. C., and Caller ,M. P., 1998,
Laparoscopic Surgery and the Systemic Immune Response, Ann Surg, 227: 326–
34.
14. Whelan, R. L., 2006, The SAGES Manual Perioperative Care in Minimally
Invasive Surgery, Springer, 69-71.
15. Wikipedia, 2009a, Laparoscopic surgery, The Free Encyclopedia,. Wikipedia,
2009b, Cholecystectomy, The Free Encyclopedia.
16. Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi. Anestesia umum. Jakarta :
FKUI, hal. 291-300
17. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi ke-25. Jakarta: EGC; 1998.
18. Bakhriansyah HM. Anestesi Umum. FK UNLAM Banjarbaru
19. Latief S.A, Suryadi KA & Dachlan, MR. eds. Petunjuk praktis Anestesiologi.
Edisi ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi intensif FKUI. Jakarta; 2009. hal :
46-47
53
Download