CASE REPORT SESSION *Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A213055/ April 2015 ** Pembimbing/ dr. Sulistyowati, Sp.An GENERAL ANESTESIA PADA LAPARASKOPI Ananda Ulandari, S.Ked* dr. Sulistyowati, Sp.An** KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANESTESI RUMAH SAKIT RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI 2015 1 HALAMAN PENGESAHAN CASE REPORT SESSION GENERAL ANESTESIA PADA LAPARASKOPI Oleh: Ananda Ulandari, S.Ked G1A213020 Telah disetujui dosen pembimbing pada April 2015 Dosen Pembimbing dr. Sulistyowati, Sp.An 2 KATA PENGANTAR Penulis menyampaikan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan CRS yang berjudul “General Anestesia pada Laparaskopi” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Rumah Sakit Raden Mattaher Provinsi Jambi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sulistyowati, Sp.An yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis dengan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Rumah Sakit Raden Mattaher Provinsi Jambi. Penulis menyadari bahwa CRS ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan laporan kasus ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Jambi, April 2015 Penulis 3 BAB I PENDAHULUAN Kista ovarium adalah suatu kantung yang berisi cairan atau materi semisolid yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Kista ovarium ditemukan pada sonogram transvaginal pada wanita premenopause dan 18% pada wanita postmenopausal. Ratarata kista yang ditemukan bersifat jinak. Umumnya kista fungsional terjadi pada usia reproduktif, namun bisa pada segala usia. Kista ovarium merupakan jenis yang paling sering terjadi terutama yang bersifat non neoplastik. Kista ovarium adalah suatu kantung yang berisi cairan atau materi semisolid yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Rata-rata kista yang ditemukan bersifat jinak. Umumnya kista fungsional terjadi pada usia reproduktif, namun bisa pada segala usia. Kista ovarium merupakan jenis yang paling sering terjadi terutama yang bersifat non neoplastik. Di Indonesia, frekuensi kista sebesar 27%. Sedangkan untuk kistadenoma ovarii serosum ditemukan dalam frekuensi yang hampir sama dengan kistadenoma musinosum dan dijumpai pada golongan umur yang sama. Angka kejadian kista bilateral (10 – 20%). Laparaskopi adalah suatu instrument untuk melihat rongga peritoneum, struktur rongga perlvik dan dapat juga digunakan untuk tindakan operatif. Laparoskopi operatif untuk tujuan operasi reproduksi (infertilitas) dimulai sejak tahun 1991. Kemajuannya berkembang pesat sejalan dengan perkembangan teknologi instrument. Sebagai sarana diagnostik dengan hasil yang akurat dan temuan patologi yang jelas, saat ini dapat langsung dilanjutkan dengan laparoskopi operatif terhadap patologi yang ditemukan.1,2 Anestesi berasal bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer. 3 Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum (NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna 4 menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu : Hipnosis (tidur), Analgesia (bebas dari nyeri), Relaksasi otot.3 Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran, sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Tujuan Anastesi Umum adalah Anestesi umum menjamin hidup pasien, yang memungkinkan operator melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan menghilakan rasa nyeri.3 5 BAB II LAPORAN KASUS KUNJUNGAN PRA ANESTESI 2.1. Identitas Pasien Nama : Ny. DMG Umur : 30 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : RT 13 Kasang, Jambi BB/TB/IMT : 49 kg/155 cm/20,41 Gol. Darah :A Diagnosis : kista ovarium Tindakan : laparaskopi Ruangan : kelas II No. MR : 794558 2.2. Hasil Kunjungan Pra Anestesi 2.2.1. Anamnesis A. Keluhan Utama Nyeri perut di sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu.. B. Riwayat Penyakit Sekarang 5 bukan yang lalu, pasien mengeluh keluar darah dari jalan lahir selama 1 bulan. Darah keluar sedikit-sedikit, bergumpal, coklat. Keluhan ini disertai dengan nyeri. Riwayat menstruasi tidak teratur. 2 bulan yang lalu os mengeluh nyeri perut, kemudian os terlambat haid, mual muntah (+), tes peck (+), keluar darah dari jalan lahir (+). 1 bulan yang lalu pasien dikuret PA. 20 hari yang lalu pasien memeriksaan kesehatan ke poli kebidanan untuk melakukan program hamil. Kemudian dilakukan pemeriksaan USG dan pasien dicurigai menderita kista ovarium. Pasien kemudian direncanakan untuk 6 dilakukan laparaskopi. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Riwayat menggunakan gigi palsu tidak ada. C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi (-) Riwayat asma (-) Riwayat DM (-) Riwayat batuk lama/TB (-) Riwayat operasi (-) Riwayat alergi obat (-) Riwayat sakit jantung (-) Riwayat sakit ginjal (-) Riwayat sakit hati E. Riwayat Kebiasaan Merokok (-), Alkohol (-) 2.2.2. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : Baik Kesadaran : Compos mentis GCS : 15, E4V5M6 1. Tanda vital - TD : 110/70 mmHg - N : 88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup - S : 36,5°C - RR : 20 x/menit, reguler 2. Kepala a. Mata : sklera ikterik (-/-), conjungtiva anemis (-/-), RC (+/+), edema (-/-) b. THT : tonsil T1/T1, tidak ada kesulitan membuka mulut c. Leher : pembesaran KGB (-), struma (-), JVP 5-2 cmH2O, kaku kuduk (-) 3. Thorax Pulmo - Inspeksi : pergerakan dada simetris (ka/ki), jejas (-), sikatrik (-), massa (-) - Palpasi : massa (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris kiri kanan - Perkusi - Auskultasi Cor - Inspeksi - Palpasi - Perkusi - Auskultasi : sonor di kedua paru : vesikuler kiri dan kanan, wheezing (-/-), rhonki (-/-) : ictus cordis tidak terlihat : ictus cordis teraba di ICS V, linea midclavikularis sinistra. : batas jantung dalam batas normal : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-) 7 4. Abdomen - Inspeksi : tidak tampak kelainan - Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, defans muscular (-), muscle rigidity (-), massa (-). - Perkusi : timpani (+) normal - Auskultasi : bising usus (+) normal 5. Pemeriksaan ginekologi Pemeriksaan luar: palpasi abdomen tidak teraba massa, nyeri tekan (-). 6. Ekstremitas Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2”, refleks fisiologis (+), refleks patologis (-). Kekuatan otot 5/5, sensibilitas +/+ 2.2.3. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah Rutin - WBC : 4,0 103/mm3 - RBC : 3,92 103/mm3 - Hb : 11,1 g/dl - Ht : 31,2 % - Trombosit: 284 103/mm - CT : 4’ - BT : 2’ - LED : 11 2. Kimia Darah Lengkap - Protein total : 6,5 g/dl - Albumin : 4,8 g/dl - Globulin : 1,7 g/dl - SGOT : 14 u/l - SGPT : 11 u/l - Ureum : 20 mg/dl - Kreatinin : 0,7 mg/dl - GDS : 100 g/dl 3. X-Ray Cor : normal Pulmo : KP dupleks 4. CT-Scan Tidak diperiksa 5. Pemeriksaan Penunjang Lain PA : Makroskopik : jaringan tidak beraturan dengan volume 1 cc, kecoklatan, kenyal Mikroskopik : kelenjar endometrium berdilatasi kistik Kesan : Anovulatoar bleeding 8 BAB III ANESTESI 3.1 Rencana Tindakan Anestesi Diagnosa pra bedah : Kista ovarium Tindakan bedah : Laparaskopi Status anestesi : ASA 1 Malampati :1 Persiapan pra anastesi - Pasien telah diberikan informed consent - Rawat inap - Pro laparaskopi - Persiapan operasi a. IVFD RL 20 tetes / menit b. Puasa 6 jam c. Surat persetujuan tindakan operasi d. Lab darah rutin, massa pembekuan, masa perdarahan 3.2 Jenis / Tindakan Anestesi : Tindakan Anestesi 1. Metode : General Anestesi 2. Premedikasi : ranitidin 50 mg, ondansetron 4 mg, deksametason 10 mg, sulfas atropine 0,5 mg, phentanyl 50 mg 3. Induksi : propofol 100 mg 4. Intubasi/Relaksasi : Insersi ETT no.7 difasilitasi dengan Atracurium 30 mg 5. Medikasi : - SA 0,5 mg 9 - Fentanyl 50 mg - Propofol 100 mg - Atracurium 30 mg + 10 mg + 10 mg + 10 mg - Kaltropen sup 200 mg - Tramadol 100 mg - Ketorolac 30 ml 6. Maintenance : Sevofluran MAC 1-2 % + N2O : O2 (1:1) 7. Respirasi : Napas kendali dengan Ventilator, Tidal Volume 400 ml, frekuensi 14x/i 8. Ekstubasi : setelah pasien sadar penuh Keadaan penderita selama operasi 1. Posisi pasien : terlentang 2. Intubasi : Oral, ETT no. 7 3. Penyulit intubasi : tidak ada 4. Penyulit waktu anastesi : tidak ada 5. Lama anastesi : + 2 jam 45 menit 6. Jumlah cairan Input Kebutuhan cairan, diketahui BB 49 kg - Maintenance (M) = BB X 2 cc = 98 cc - Deficit cairan karena puasa (P) = M x 6 = 588 cc - Sress operasi (SO) = BB x 6 cc (operasi sedang) = 294 cc Kebutuhan cairan selama operasi Jam I = ½ P + M + O = 686 ml Jam II = ¼ P + M + O = 539 ml Jam III = ¼ P + M + O = 539 ml Total 1764 ml Jumlah cairan yang diberikan kepada pasien : Input : RL 3 kolf 1500 ml Obat-obatan = 32 ml Total : 1532 ml Output : Perdarahan (+ 80 cc), Urine tidak dapat dinilai karena kateter tidak terpasang. 7. Monitoring : Jam 10.00 10.15 10.30 10.45 11.00 11.15 11.30 11.45 TD (mmHg) 120/70 111/72 100/70 90/60 90/59 140/96 130/80 130/80 Nadi (x/i) 100 90 77 78 80 81 77 77 10 RR (x/i) 19 14 20 18 22 20 14 15 3.3 12.00 12.15 12.30 132/91 134/86 126/78 12.45 112/68 15 23 95 24 82 14 Ruang Pemulihan (RR) 3.4 78 94 Masuk Jam : 13.00 Keadaan umum : GCS : 15 (eye 4, motorik 6, verbal 4) TD = 110/70 mmHg Nadi = 84 x/menit, regular, kuat angkat RR = 22x/menit Skoring Alderete Aktifitas :2 Respirasi :2 Warna kulit : 2 Sirkulasi :2 Kesadaran : 2 Jumlah : 10 Instruksi Post Operasi 1. 2. 3. 4. Awasi tanda-tanda vital dan perdarahan setiap 15 menit selama 24 jam Tirah baring tanpa bantal selama 24 jam Puasa sampai sadar penuh dan bising usus (+) IVFD analgetic ketorolac 30 mg + tramadol 100 mg dan ondansentron 4 mg dalam RL 500 cc 30 tpm 5. Terapi sesuai instruksi operator 3.5 Diagnosa Post Op Post op laparaskopi dengan kista ovarium bilateral 3.6 Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad fungsionam : dubia ad bonam 11 BAB IV TINJAUAN PUSTAKA 4.1 Kista Ovarium4 4.1.1 Definisi Kista adalah pertumbuhan abnormal berupa kantong (pocket, pouch) yang tumbuh abnormal di bagian tubuh tertentu. Kista ada yang berisi udara, cairan, nanah atau bahan-bahan lain. Kista ovarium adalah suatu kantung yang berisi cairan atau materi semisolid yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Kista ovarium merupakan tumor ovarium yang dapat bersifat neoplastik dan non neoplastik. 4.1.2 Klasifikasi 1. Non-neoplastik (fungsional) a. Kista folikel 12 Gambar Kista Folikel b. Kista lutein 2. Neoplastik Yang termasuk golongan ini ada 3 jenis: a. Cystadenoma mucinosum Gambar : Cystadenoma mucinosum b. Cystadenoma serosum Jenis ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan mucinosum, tetapi ukurannya jarang sampai besar sekali. Dinding luarnya dapat menyerupai kista mucinosum. Pada umumnya kistaini berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ephitelium). Gambar : Cystadenoma serosum c. Kista dermoid 13 Tumor ini merupakan bagian dari teratoma ovary bedanya ialah bahwa tumor ini bersifat kistik, jinak dan elemen yang menonjol ialah eksodermal. Selselnya pada tumor ini sudah matang. Kista ini jarang mencapai ukuran yang besar. Gambar : Kista Dermoid 4.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko Penyebab kista ovarium dan beberapa faktor resiko berkembangnya ovarium adalah wanita yang biasanya memiliki: o Riwayat kista ovarium terdahulu o Siklus haid tidak teratur o Perut buncit o Menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih muda) o Sulit hamil o Penderita Hipotiroid o Penderita kanker payudara yang pernah menjalani kemoterapi. 4.1.4 Patogenesis Tiap bulan, normalnya ovarium yang berfungsi menghasilkan kista kecil yang disebut folikel Graafian. Pada pertengahan siklus, 1 folikel dominan dengan ukuran diatas 2,8 cm melepaskan sebuah oosit matur. Folikel yang rupture tadi menjadi corpus luteum, dimana saat maturitas berukuran 1,5-2 cm dengan adanya kista di bagian tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, akan terjadi fibrosis dan penyusutan progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, corpus luteum akan membesar fdan secara gradual akan menurun ukuran nya selama kehamilan. Kista ovarium berkembang dari proses normal ovulasi yang disebut kista fungsional dan bersifat jinak. Kista dapat berupa follicular dan luteal, terkadang disebut kista Techa-lutein. Kista ini dapat distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSHdan HcG. Kista fungsional multiple dapat terjadi akibat hasil dari 14 stimulasi gonadotropin eksesiv atau sensitivitas. Kista neoplastik muncul dari perkembangan yang berlebihan dari sel di ovarium dan dapat bersifat malignan ataupun jinak. 4.1.5 Manifestasi Klinis Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala. Namun kadang – kadang kista dapat menyebabkan beberapa masalah seperti : 1. Bermasalah dalam pengeluaran urin secara komplit 2. Nyeri selama hubungan seksual 3. Masa di perut bagian bawah dan biasanya bagian – bagian organ tubuh lainnya sudah terkena. 4. Nyeri hebat saat menstruasi dan gangguan siklus menstruasi 5. Wanita post monopouse : nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi atau diare, obstruksi usus dan asietas. 4.1.6 Penegakan Diagnosa a. Anamnesa Pada anamnesa rasa sakit atau tidak nyaman pada perut bagian bawah. Rasa sakit tersebut akan bertambah jika kista tersebut terpuntir atau terjadi ruptur. Terdapat juga rasa penuh di perut. Tekanan terhadap alat-alat di sekitarnya dapat menyebabkan rasa tidak nyaman, gangguan miksi dan defekasi. Dapat terjadi penekanan terhadap kandung kemih sehingga menyebabkan frekuensi berkemih menjadi sering. b. Pemeriksaan Fisik Kista yang besar dapat teraba dalam palpasi abdomen. Walau pada wanita premonopause yang kurus dapat teraba ovarium normal tetapi hal ini adalah abnormal jika terdapat pada wanita postmenopause. Perabaan menjadi sulit pada pasien yang gemuk. Teraba massa yang kistik, mobile, permukaan massa umumnya rata. Cervix dan uterus dapat terdorong pada satu sisi. Dapat juga teraba, massa lain, termasuk fibroid 15 dan nodul pada ligamentum uterosakral, ini merupakan keganasan atau endometriosis. Padaperkusi mungkin didapatkan ascites yang pasif. c. Pemeriksaan Penunjang 1. USG 2. Foto Roentgen 3. Pengukuran serum CA-125 4. Laparoskopi Perut diisi dengan gas dan sedikit insisi yang dibuat untuk memasukan laparoskop. Melalui laparoskopi dapat diidentifikasi dan mengambil sedikit contoh kista untuk pemeriksaan PA. 4.1.7 Diagnosa Banding Kehamilan Mioma uteri Tumor kolon sigmoid Ginjal ektopik Limpa bertangkai Ascites 4.1.8 Penatalaksanaan Dapat dipakai prinsip bahwa tumor ovarium neoplastik memerlukan operasi dan tumor non neoplastik tidak. Tumor non neoplastik biasanya besarnya tidak melebihi 5 cm. Tidak jarang tumor-tumor tersebut mengalami pengecilan secara spontan dan menghilang. Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas adalah pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang mengandung tumor. Tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi perlu dilakukan pengangkatan ovarium, disertai dengan pengangkatan tuba. Seluruh jaringan hasil pembedahan perlu dikirim ke bagian patologi anatomi untuk diperikasa. Pasien dengan kista ovarium simpleks biasanya tidak membutuhkan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa pada wanita post menopause, kista yang berukuran kurang dari 5 cm dan kadar CA 125 dalam batas normal, aman untuk tidak dilakukan terapi, namun harus dimonitor dengan 16 pemeriksaan USG serial. Sedangkan untuk wanita premenopause, kista berukuran kurang dari 8 cm dianggap aman untuk tidak dilakukan terapi. Laparoskopi digunakan pada pasien dengan kista benigna, kista fungsional atau simpleks yang memberikan keluhan.. 4.1.9 Komplikasi a. Perdarahan b. Torsio. c. Rasa tidak nyaman pada perut dan dapat menekan vesica urinaria d. Kanker (maligna) 4.1.10 Prognosis Prognosis untuk kista jinak baik. Dapat residual dan terjadi di ovarium kontralateral. 4.2 Laparaskopi5,15 Bedah laparoskopi, disebut juga bedah minimally invasive, atau keyhole surgery merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen melalui irisan kecil (biasanya 0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah tradisional yang memerlukan irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli bedah masuk ke badan pasien. Pemanfaatan laparoskopi untuk diagnostik maupun terapeutik dengan menggunakan insufflator otomatis diawali pada tahun 1970. Semm pada tahun 1983, memulai melakukan apendektomi. Saat ini telah dipergunakan chargecouple device (CCD), three chip camera, video monitor, high-definition camera, true color image, sehingga diperoleh gambaran lapangan operasi yang makin jelas (Soper et al., 2004). Instrumen Laparoskopi Elemen kunci pada laparoskopi adalah penggunaan laparoskop. Ada dua tipe laparoskop yaitu: (1) sistem teleskop batang, yang biasanya dihubungkan dengan kamera video (single chip atau three chip); (2) laparoskop digital dimana charge-couple device ditempatkan pada ujung laparoskop. Laparoskopi juga menggunakan lampu yang dingin seperti 17 halogen atau xenon. Lapangan operasi dilihat dengan hand instrument yang dimasukkan abdomen melalui trokar 5 mm atau 10 mm. Gas karbondioksida dimasukkan ke dalam abdomen sehingga menaikkan dinding abdomen di atas organ intraabdomen menjadi seperti kubah untuk menghasilkan ruang bekerja. Penggunaan gas karbondioksida karena gas ini terdapat di dalam tubuh manusia dan dapat diserap oleh jaringan dan dibuang melalui sistem pernafasan. Selain itu, karbondioksida juga tidak mudah terbakar, sehingga tidak mengganggu alat kauter selama prosedur laparoskopi. Ruang laparoskopi modern dapat dilihat pada Gambar 1a. Adapun perlengkapan yang dibutuhkan dalam laparoskopi menurut Scott-Conner (2006) adalah sebagai berikut: meja operasi elektrik (bila tersedia), dua video monitor, suction irrigator, electrosurgical unit dengan bantalan ground, ultrasonically activated scissors, scalpel, perlengkapan laparoskop lain: sumber cahaya, insufflator, video cassette recorder (VCR), color printer, monitor on articulating arm, camera-processor unit (Gambar 1b), c-arm x-ray unit (jika direncanakan cholangiography), meja mayo yang dilengkapi instrumen laparoskopi, antara lain: scalpel nomor 11 dan 15 beserta pegangannya, towel clips, Veress needle (Gambar 1c), pipa insufflator dengan micropore filter, kabel fiberoptik dihubungkan ke laparoskop dengan sumber cahaya, video kamera dengan kabelnya, kabel yang dihubungkan instrumen laparoskopi ke electrosurgical unit, curved hemostatic forceps, retraktor kecil untuk umbilikus, trokar (Gambar 1c dan 1d), laparoscopic instruments, antara lain: atraumatic graspers; Locking toothed jawed graspers; needle holders; dissectors: curved, straight, right-angle; bowel grasping forceps; babcock clamp; scissors: metzenbaum, hook, microtip; fan retractors: 10mm, 5mm; specialized retractors, seperti endoscopic curved retractors; biopsy forceps; tru-Cut biopsy-core needle, monopolar electrocautery dissection tools, yang terdiri dari: L-shaped hook dan spade-type dissector/coagulator (Gambar 1e), ultrasonically activated scalpel, antara lain: scalpel, ball coagulator, hook dissector, dan scissors dissector/coagulator/transector (Gambar 1d), endocoagulator probe, basket yang terdiri dari: clip appliers, endoscopic stapling devices, pretied suture ligatures, endoscopic suture materials, dan extra trocars (Gambar 1f) 18 Prosedur laparoskopi dapat dipergunakan untuk bermacam-macam pembedahan seperti laparoscopic cholecystectomy, laparoscopic common bile duct surgery, laparoscopic fundoplication for GERD, laparoscopic Nissen and Toupet fundoplication, laparoscopic gastric banding for morbid obesity, laparoscopic Heller esophagomyotomy for achalazia, laparoscopic splenectomy, laparoscopic appendectomy, laparoscopic left colectomy, laparoscopic right colectomy, laparoscopic total colectomy, laparoscopic rectopexy for rectal prolapse, laparoscopic hernia repair, dan lain-lain (Dulucq, 2005). 4.3 General Anastesia Klasifikasi ASA Klasifikasi ini penting untuk menilai keadaan penderita sebelum operasi : 19 ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat hingga aktifitas rutin terbatas. ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktifitas rutin penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat. ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. 4.3.1 Premedikasi Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dilakukan, dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan, dan ketika pasien bangun dari anestesi. Tujuan Premedikasi sangat beragaman, diantaranya : - Mengurangi kecemasan dan ketakutan - Memperlancar induksi dan anesthesia - Mengurangi sekresi ludah dan broncus - Meminimalkan jumlah obat anesthetic - Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah - Menciptakan amnesia - Mengurangi isi cairan lambung - Mengurangi reflek yang membahayakan 4.3.2 Induksi Anestesi Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Sebelum memulai induksi anestesia sebaiknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Persiapan alat - Scope : Laringoscope dan Stetoscope - Tubes : Pipa trakea yang diplih sesuai usia 20 - Airway : Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat pasien tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan nafas. - Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway. - Introducer: Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea mudah untuk dimasukkan. - Conector : Penyambung antara pipa dan alat anesthesia - Suction : Penyedot lendir. Induksi Intravena : Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hari-hati, perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dengan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberi oksigen. 4.3.3. Rumatan Anestesi Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi dan campuran keduanya. Rumatan anestesia bertujuan menciptakan keadaan hypnotis, anelgesia cukup dan relaksasi otot lurik yang baik. Pembahasan : Pada pasien ini rumatan anestesi dipilh secara inhalasi, yaitu menggunakan N2O : O2 dengan 1 :1 dan ditambah isoflurance 1 – 2 vol%. 4.3.4 Intubasi Trakea Indikasi Intubasi : - Menjaga jalan nafas dari gangguan apapun. - Mempermudah ventilasi dan oksigenisasi - Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi Kesulitan Intubasi : - Leher pendek berotot - Mandibula Menonjol - Maksila menonjol 21 - Uvula tidak terlihat (malampati 3 atau 4) - Gerakan sendi temporo mandibula terbatas - Gerakan vertebra cervical terbatas Komplikasi Intubasi Selama Intubasi : - Trauma gigi geligi - Laserasi bibir, gusi dan laring - Merangsang simpatis - Aspirasi - Spasme bonchus Selama Extubasi : - Spasme laring - Aspirasi Gangguan fonasii - Edema glottis-subglotis - Infeksi laring, faring, trakea. Kriteria Malampati : Gradasi 1 2 3 4 Pilar Faring + - Uvula + + - Palatum Mole + + + - 4.3.5 Ekstubasi - Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika : - Intubasi kembali akan menemukan kesulitan - Adanya resiko Aspirasi - Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesi sudah ringan, dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring. - Sebelum tindakan hendaknya rongga mulut, laring, faring dibersihkan dari sekret dan cairan. 4.3.6 Medikasi - Atropin o Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen 22 o Saluran nafas → mengurangi sekret hidung, hidung, mulut, faring dan bronkus o Saluran cerna → Antispasmodik ( menghambat peristaltik lambung dan usus) o ESO : Mulut kering, gangguan miksi, meteorismus, retensio urin dan muka merah. o Dosis Atropin : 0,01-0,04 mg Indikasi : Parkinsonisme, antispasmodik, mengurangi sekresi lendir saluran nafas (rinitis), dan medikasi preanestetik (mengurangi lendir saluran nafas) - Petidin Pemberian petidin bertujuan untuk mengurangi rangsang nyeri pada saat operasi. - Propofol adalah obat induksi intavena yang memiliki efek depresi nafas lebih sedikit, dan memiliki efek menurunkan tekanan darah. - Atrakurium Termasuk pelumpuh otot nondepolarisasi dengan susunan molekul steroid, dan bersifat intermediate acting. Dengan dosis awal 0,6 – 1 mg/ kg BB dan efek samping aktifasi histamine dan hipotensi. Namun baik pada ginjal dan hepar. Obat ini bekerja dengan menghalangi asetilcholine menempati reseptornya dan tidak menyebabkan depolarisasi, sehingga tidak terjadi fasikulasi - Neostigimin Merupakan penawar dari pelumpuh otot. Bekerja pada sambung saraf otot, mencegah asetilcholine-esterase bekerja, sehingga asetilcholine dapat bekerja. Dosis yang digunakan adalah 0,04 – 0,08 mg/kgBB. Obat ini bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi , keringatan, bradikardi, untuk itu pemberiannya harus disertai obat vagolitik yaitu atropin dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB. - Ketorolac Cara kerja ketrolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa menganngu reseptor opoid di sistem saraf pusat. Ketorolac dapat diberikan secara oral, im, atau iv. Dosis awal 10- 30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuia kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari-hari dapat dibatasi 23 maksimal 90 mg dan untuk berat < 50kg, manila atau gangguan faal ginjal dibtasi maksimal 60 mg. - Tramadol Adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu. Dan kelemahan analgesinya 10-20% dibandingkan morfin. Tramadol dapat diberikan im atau iv dengan dosis 50-100 mg dn dapat diulang tip 4-6jam. Dengan dosis maksimal 400 mg perhari. 4.3 Anestesi pada Laparaskopi 4.3.1 Efek Fisiologi Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO 2 dan juga pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi: 4.3.2 Efek Kardiovaskular Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama dengan penurunan awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi denyut jantung (HR). Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO2 intra peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 – 40%) setelah induksi anestesi dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum. Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR. Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan kembali ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum. Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada interaksi beberapa faktor : 1. Faktor penderita 24 Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah ststus kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya prosedur laparoskopi. Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi, pneumoperitoneum menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya SVR sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan cardiac output yang lebih besar. Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi – difusi, dengan adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac output. Pasien ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan peak airway pressure yang lebih tinggi untuk mencapai normokarbia sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac output yang lebih besar. Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang tinggi serta tekanan arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac output yang lebih besar. 2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum) Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO 2 menghasilkan pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks tonus vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia. Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan pembuluh darah vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat diikuti secara perlahan dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan afterload dan biasanya secara nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan besarnya penurunan ini sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada pasien sehat yang akan menjalani laparoskopi organ intra abdomen, Dexter dkk. dengan menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama insuflasi peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk. 25 merekomendasikan batas tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO2 dengan efek hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg. Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks. Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH 2O/18 mmHg) cenderung membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada beberapa pasien. Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin. Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa mencegah perubahan hemodinamik. 3. Efek dari posisi pasien Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi organ intra abdomen dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º trendelenburg. Posisi pasien kemudian berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head up position) dengan ditekan kelateral kiri untuk memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan meminimalkan disfungsi 26 diafragma. Perubahan posisi pada pasien dengan pneumoperitonium menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah balik vena (venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan arteri rata – rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat. Pola perubahan cardiac output dan tekanan arteri pada pasien dengan penyakit jantung ringan sampai berat mirip dengan pasien sehat. Namun secara kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan tekanan intraabdomen dan posisi head-up mengakibatkan penurunan aliran darah vena femoralis, stasis pada vena – vena tungkai bawah, diperburuk dengan posisi litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi terjadinya tromboemboli. Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload), namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Posisi trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya pada pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada pasien dengan glaucoma akut. 4. Efek Absorbsi Sistemik gas CO2 Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO2. Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan menurunkan nilai ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran katekolamin. 27 Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan tekanan intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata – rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif paru, gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular. 5. Respon neurohumoral Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan adanya aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk. menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP. Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin. Efek Respirasi 1. Efek Mekanik Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat menyebabkan 4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO2, pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli gas. Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume paru, penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway pressure). Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien sehat, obesitas, dan ASA III – IV. Penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan dengan posisi terlentang dan induksi 28 anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO 2 dan perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway pressure). Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang selama laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC, atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat merokok yang lama atau pasien dengan penyakit paru. Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma. FRC, volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa berkembang menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat, namun pada pasien obesitas, pasien tua, dan pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen. 2. Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2 CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak mudah terbakarseperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi. Dibandingkan dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek samping emboli gas,CO2juga mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit. Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi, khususnya pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya penurunan pH darah dan 29 peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO2 merupakan nilai yang tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO2 selama insuflasi CO2 pada pasien dengan penyakit paru berat. Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan penurunan pH. Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30 menit setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi organ intra abdomen pada posisi head up. Peningkatan PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi lokal, PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 – 30 menit untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen yang rendah. Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah dicapai dengan peningkatan 10 – 25% ventilasi alveolar. Efek Pada Sistem Lain 30 Sistem Gastrointestinal Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi insidensi regurgitasi. Sirkulasi Hepatoportal Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua organ, kecuali glandula adrenal. Fungsi Ginjal Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine. Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan tekanan intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan 31 refleks vasodilatasi pada sistem saraf pusat dan hal ini juga turut meningkatkan tekanan intrakranial. Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas morbid. Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini. Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi ginjal, pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat – obat nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan resiko ketidakadekuatan pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi. Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan asidosis selama laparoskopi organ intra abdomen. Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi ataukonversikan ke prosedur terbuka. Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi, profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis low-molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau Clexane enoxaparin sodium 20 – 32 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length graduated compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit. Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat mengurangi nyeri pasca operasi. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi. Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien, khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi. Teknik Anestesi Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome pasien. Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain, anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi laparoskopi. Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi. Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi organ – organ intraabdomen yang 33 tidak optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk laparoskopi organ intra abdomen. Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi pembedahan. Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alasan : adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan. Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars. Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya disesuaikan untuk pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien. Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi mempertahankan PETCO2 kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 – 25% peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar dan 34 menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat – obatan vasodilator seperti nikardipin, agonis α2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung. Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20 mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan. Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari ketrampilan ahli bedah dan pasiennya tidak obesitas. Manajemen jalan nafas Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan ventilasi akibat pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Laryngeal mask airway (LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien one day care (ODC). Pemantauan kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal mendeteksi refluk esophageal pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan menggunakan LMA. Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi organ intra abdomen dengan dengan tekanan intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan ballon pipa endotrakeal mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk isi lambung. Pelumpuh otot Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot 35 dengan neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan penggunaan neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi yang direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot. Nitrous Oxide (N2O) Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena kemampuan N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi, gangguan lapangan pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca operasi, namun secara klinis tidak signifikan pada prosedur pendek dan sedang. N2O lebih mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N 2), ruang udara tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk. mendapatkan adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4 jam pernafasan dengan N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama laparoskopi organ intra abdomen diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa N2O berdifusi kedalam CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari 29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2 jam. N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi 17% bila tidak menggunakan N2O. Obat Induksi Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil. 36 Obat Anestesi Inhalasi Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat – obat inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah dan kurang aritmogenik. Analgesia Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan interpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi organ intra abdomen dapat terjadi karena penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter oddi yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti glucagon dan nalokson. Walaupun laparoskopi organ intra abdomen merupakan prosedur invasif yang minimal, namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu setelah operasi. Obat – obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek samping. Pemberian obat anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan tidak melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan. Pemberian obat anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam volume 10 – 100 ml, signifikan mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tanda – tanda toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur intraperitoneum ini belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri visceral berupa rasa tidak enak setelah laparoskopi organ intra abdomen tidak berkurang dengan pemberian 80 ml bupuvakain 0,125% intraperitoneum. Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV) 37 PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 – 75% pasien) dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih kontroversial. Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid dengan obat – obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 – 1 mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 – 5 mg), dan deksamethason 4 – 8 mg, disertai dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid. Monitoring Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate, kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III – IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum, perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO2 dan Δa-ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA II – III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya 38 PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi paru terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi. Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner. Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah Insuflasi CO2 pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO2 dan hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2. Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba – tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi. Komplikasi Intraoperasi yang Spesifik Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum CO2 meliputi : 1. Trauma vaskular Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat – alat pembedahan terutama veress needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen 39 atas ± 0,03 – 0,06% dan menurun dengan meningkatnya pengalaman pembedahan. Perdarahan bisa terjadi oleh karena insersi veress needle atau trokar mengenai pembuluh darah besar intraabdomen atau trauma pada pembuluh darah dinding abdomen, seperti aorta, vena cava inferior, pembuluh darah iliaka, dan hematom retroperitoneum, biasanya merupakan trauma vaskular yang terdiagnosa terlambat oleh karena terbatasnya visualisasi, yang awalnya ditandai dengan terjadinya hipotensi yang tidak bisa diterangkan. 2. Trauma Gastrointestinal Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang bisa menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium. Trauma gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi distensi lambung dan adhesi yang disebabkan oleh operasi abdomen sebelumnya. 3. Aritmia jantung Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab meliputi : hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO2 intraperitoneum dan peningkatan reflek tonus vagus saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan peritoneum, dan manipulasi organ visceral, khususnya bila anestesi kurang dalam. Jenis gangguan aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah bradikardia sampai asistol. Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus (pengurangan insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas atropine) 4. Emfisema Subkutis Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang disengaja (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi pelvis) dan insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang peritoneum pada laparoskopi dicapai dengan cara insersi buta veress needle melalui insisi kecil subumbilikus. Insuflasi CO2 ekstraperitoneum bisa terjadi jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau 40 retroperitoneum saat insuflasi. Insiden dari komplikasi insuflasi ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 – 2%. Emfisema subkutan yang luas bisa mengenai abdomen, dada, leher, dan paha. Emfisema subkutis ditandai ditandai dengan adanya krepitasi diatas dinding abdomen. Peningkatan absorbsi CO2 menyebabkan peningkatan tiba – tiba ETCO2 dan hiperkapnea, dan asidosis respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutis karena insuflasi ekstraperitoneum. Kehati – hatian teknik pembedahan saat insersi veress needle dan penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi mengurangi insiden komplikasi ini. 5. Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum atau ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang mengancam nyawa. Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek embrional, defek diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla emfisematus. Pada laparoskopi organ intra abdomen, pneumothorak dapat terjadi saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi. Diduga mekanisme terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2 sekitar aorta dan hiatus esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis pleuroperitoneum). Tension pneumothorak pernah ditemukan selama laparoskopi organ intra abdomen, dan berhubungan dengan defek diafragma kongenital. Rupture dari bulla paru dapat menyebabkan tension pneumothorak terpisah dari pneumoperitoneum. Pneumothorak bisa tidak terdeteksi intraoperasi, atau keberadaannya bisa dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan jalan nafas yang tidak bisa dijelaskan, hipoksemia – hiperkapnea, emfisema bedah, atau jika tension pneumothorak terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala hipotensi yang berat. Jika diduga ada pneumotorak, foto thorak harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan hemodinamik tidak stabil atau secara klinis nyata menunjukkan pneumothorak tension, segera lakukan pengempisan abdomen dan pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak. Selanjutnya 41 penatalaksanaannya tergantung dari status hemodinamik. Jika pasien stabil, abdomen bisa diinsuflasi kembali dan prosedur dapat diteruskan. Pneumothorak kecil yang terdeteksi saat akhir operasi dan tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dapat diterapi secara konservatif. CO2 dalam ruang pleura sangat cepat diabsorbsi setelah pengempisan abdomen dan tidak memerlukan pemasangan WSD. Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat prosedur laparoskopi. Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi memegang peranan terjadinya komplikasi ini. Penatalaksanaan tergantung pada tingkat gangguan hemodinamik yang terjadi. Pengempisan pneumoperitoneum dan observasi ketat harus dilakukan pada pasien dengan komplikasi ini. 6. Emboli Gas CO2 Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat prosedur laparoskopi. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah tindakan pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli gas meliputi penempatan veress needle intravena yang tidak disengaja, aliran CO2 kedalam pembuluh darah dinding abdomen dan pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada permukaan hepar saat diseksi kandung empedu. Tanda dan beratnya efek emboli CO2meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill wheel murmur’, tidak seperti emboli udara biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO2 karena penurunan aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati defek paten foramen ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli CO2 serebral. Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi transesofageal sekitar 69% pasien yang menjalani laparoskopi organ intra abdomen, tetapi tanpa efek kardiopulmoner yang signifikan. Wadhwa dkk. tidak menemukan emboli gas pada 100 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi dengan menggunakan Doppler prekordial. Monitoring yang baik dan meningkatkan kewaspadaan kita dapat menghasilkan deteksi dini dan mencegah komplikasi lebih berat dari emboli CO2 ini 42 Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi : Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini sejumlah gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang karena busa yang ringan berpindah kebagian lateral dan kaudal outflow ventrikel kanan. Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk memperbaiki hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan dampak emboli gas. Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan seperlunya dengan memperbesar ruang rugi fisiologis. Jika cara – cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter vena sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara. Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar mungkin bermanfaat untuk memecah emboli CO2 menjadi gelembung yang kecil. Pemulihan Dan Pemantauan Pasca Operasi Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma pembedahan, ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi paru, penyembuhan lebih cepat, dan perawatan rumah sakit lebih pendek. Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh karena tidak adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi abdomen bagian atas. Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan trauma otot dan nyeri insisional yang kurang dibandingkan dengan pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi setelah paling tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi organ intra abdomen sehingga PaO2 masih rendah setelah laparoskopi organ intra abdomen. Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi laparoskopi, untuk itu harus diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab disfungsi ini adalah peregangan diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh karena aferen yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatic yang berasal dari dinding abdomen mendesak aksi inhibisi dari nervus prenikus. Pada 43 pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV1 dan kapasitas vital parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30 – 38%. Force vital capacity menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48% setelah pembedahan terbuka. Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO2 dari pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi terbuka. Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum menyebabkan stasis vena yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli paru. Insiden emboli paru yang fatal setelah laparoskopi organ intra abdomen adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu 0,8%. Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode perioperasi dapat mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang minimal bisa memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi resiko DVT Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin dilakukan pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini perlu dipertimbangkan untuk memberikan obat profilaksis. 44 BAB V PEMBAHASAN Pasien Ny. DMG 30 tahun, dirawat di ruang kelas II dengan diagnosa kista ovarium. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana pada pasien ini adalah dengan tindakan pembedahan, yaitu laparaskopi. Pada saat kunjungan pra anastesi, dari anamnesis didapatkan 5 bulan yang lalu, pasien mengeluh haid tidak lancar dan lama. 1 bulan yang lalu hamil dan mengalami keguguran dan dilakukan kuret. 20 hari yang lalu pasien memeriksaan kesehatan ke poli kebidanan untuk melakukan program hamil. Kemudian dilakukan pemeriksaan USG dan pasien dicurigai menderita kista ovarium. Pasien kemudian direncanakan untuk dilakukan laparaskopi. Riwayat penyakit sistemik disangkal, alergi disangkal, menggunakan obat-obatn disangkal, riwayat kebiasaan merokok dan alcohol disangkal. Status fisik pasien ini adalah ASA I, yaitu Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, status generalisata dalam normal, status lokalisata dalam batas normal. Hasil pemeriksaan penunjang terutama factor pembekuan dalam batas normal, hemoglobin darah dalam batas normal. EKG dalam batas normal, rontgen thorak KP dupleks, namun dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan pada paru. Ini adalah alasan status fisik pasien adalah ASA I. Pada pasien ini pemilihan jenis anastesi adalah anastesi umum. Tindakan premedikasi pada pasien ini yaitu : ondansentron 4 mg, ranitidine 50 mg, dexametason 10 mg. Pada pasien ini diberikan Ranitidine 50 mg, tujuannya adalah untuk mencegah pneumonitis asam, sebab cairan lambung bersifat asam dengan PH 2,5 dapat menyebabkan keadaan tersebut. Maka dipilihlah antagonis reseptor H2 histamin. Pada pasien ini juga diberikan ondansentron 4 mg untuk mengurangi mual dan muntah pasca pembedahan. Deksametason diberikan untuk mengurangi histamin release, sehingga dapat mengurangi alergi pada pasien. Diberikan sulfas atrofin 0,50 mg untuk mengurangi sekresi ludah dan 45 saluran nafas serta mencegah vagal refkleks. Fenthanyl diberikan sebagai obat untuk memudahkan induksi. Induksi menggunakan propofol 100 mg. Propofol dipilih karena kelebihan propofol yaitu pasien terlihat lebih segar pada periode pasca bedah, muntah tidak ditemukan, penderita dapat berjalan lebih cepat. Rumatan anastesi dilakukan dengan cara inhalasi dan IV. Rumatan IV menggunakan opioid dosis tinggi yaitu fentanyl 10-50 mcg/kg. dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan pelumpuh otot. Sementara rumatan anastesi secara inhalasi menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 1:1 ditambah sevofluran 1-2 vol%. N2O jenis obat inhalasi yang stabil pada tekanan dan suhu kamar. Sementara sevofluran merupakan jenis obat inhalasi terbaru yang induksi dan pulih dari anastesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas serta tidak mudah menguap seperti halotan, isofluran, desfluran, dan metoksifluran. Serta aman digunakan, tidak berisiko mudah terbakar seperti eter. Sementara klorofom tidak digunakan karena toksiknya pada hati. Pada kasus ini, pemberian rumatan anastesi sudah tepat, dimana dilakukan secara inhalasi dengan perbandingan N2O dan O2 (1:1) ditambah dengan sevofluran 1-2 vol %. Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot yaituu salah satunya atracurium besilat yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolon yang berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini dari yang lain adalah tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler secara bermakna. Dosis yang dapat diberikan untuk dilakukan intubasi adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/IV. Sementara pada kasus ini, atracurium diberikan dengan dosis 60 mg, pemberian dosis atracurium pada kasus ini sudah tepat karena rentang dosis minimal dan maksimal yang dapat diberikan pada pasien ini adalah 24,5 mg – 29,4 mg. 46 Selama operasi, dilakukan pemantauan. Pemantauan yang dilakukan adalah tekanan darah setiap 15 menit, nadi, RR, saturasi oksigen. Intake cairan telah diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien. Urin output tidak dapat dipantau karena tidak dilakukan pemasangan kateter. Perdarahan diperkirakan sebanyak 80 ml, yang beasal dari luka operasi, kista, dan kuret. Intubasi dilakukan dengan tujuan untuk menjaga oatensi jalan nafas, mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi dan mencegah aspirasi dan regurgitasi. Pada pasien ini tidak ditemukan penyulit intubasi, dengan grade malampati. Pada pukul 11.45 operasi selesai, dilakukan suction pada pasien dan ETT dicabut setelah terlebih dahulu diberikan VTP untuk memberikan kesempatan pengeluaran atau secret keluar dari glottis. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali menimbulkan kesulitan dan adanya risiko aspirasi. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anastesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring dari secret dan cairan lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan dimana ekstubasi dilakukan ketika efek anastesi sudah ringan dan pasien sudah mulai bernafas spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi. Pasien masuk ke ruangan pemulihan pukul 13.00 WIB. Keadaan umum cukup, kesadaran CM, GCS 15. Tanda vital dalam keadaan stabil, pernafasan baik. Skoring Aldrete dengan 10. Pemantauan dilakukan selama 45 menit dan tidak terjadi komplikasi post operasi. Pukul 13.45 os pindah ke ruang kelas II. Saran dari bagian anastesi yaitu pantau vital sign tiap 15 menit, tidur terlentang tanpa memakai bantal 1x24 jam post operasi, puasa sampai sadar penuh dan bising usus positif, serta lanjutkan terapi sesuai instruksi operator. Instruksi yang diberikan sudah tepat, perlunya observasi keadaan umum, vital sign 24 jam pertama post operasi sangat penting untuk menilai apakah ada komplikasi yang terjadi pasca pembedahan. Pada kasus operasi besar sering mengalami dehidrasi maka dari itu penting untuk memantau balans cairan dan output. 47 BAB V KESIMPULAN 48 Pemeriksaan pra anastesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anastesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya. Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anastesi umum pada operasi laparaskopi pada pasien wanita 30 tahun, status fisik ASA 1 dengan diagnosis kista ovarium Pasien bernama Ny. DMG usia 30 tahun dengan diagnosa kista ovarium. Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang saat pra anestesi didapatkan pasien termasuk ASA 1 dengan menggunaan teknik general anastesi dengan ET no. 7, respirasi terkontrol. Untuk mencapai hasil maksimal dari anastesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anastesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anastesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anastesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian. Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada laparaskopi dan mekanismenya yaitu : 1. Penurunan volume paru, penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway pressure). Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien sehat. Hal ini terjadi karena penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) dan komplian paru yang berhubungan dengan posisi terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO2 dan perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway pressure). 2. Peningkatan frekuensi denyut jantung, tekanan vena sentral, dan cardiac output. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah 49 cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks, frekuensi denyut jantung meningkat karena peningkatan SVR. 3. Hipotensi karena Tekanan insuflasi yang tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada beberapa pasien. 4. Bradikardi karena hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO2. Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium. 5. Peningkatan tekanan darah, takikardi, dan resiko aritmia karena hiperkarbia yang akan menstimulasi system syaraf simpatis. 6. Pergeseran pipa ETT karena posisi trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen. 7. Takipnea karena Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit 8. Peningkatan PaCO2 karena difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah, selain itu disebabkan karena absorbsi CO2 dari ruang peritoneum. 9. Sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP 10. Penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine karena peningkatan tekanan intra abdomen mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler ginjal. 11. Peningkatan tekanan intrakranial karena peningkatan tekanan intra abdomen akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan tekanan intrakranial dan intraokuler selain itu juga disebabkan karena hiperkapnia yang kemudian menyebabkan refleks vasodilatasi pada sistem saraf pusat. 50 12. Emfisema subkutis karena jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi. 13. Pneumothorak dapat disebabkan karena adanya defek embrional, defek diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla emfisematus. Terjadi saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi. Diduga mekanisme terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO 2 sekitar aorta dan hiatus esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis pleuroperitoneum). 14. Pneumomediastinum dan pneumoperikardium karena tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi. 15. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah tindakan pneumoperitoneum. Mekanisme emboli gas meliputi penempatan veress needle intravena yang tidak disengaja, aliran CO2 kedalam pembuluh darah dinding abdomen dan pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada permukaan hepar saat diseksi kandung empedu. Tanda dan beratnya efek emboli CO2 meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill wheel murmur’, tidak seperti emboli udara biasa, pada emboli gas CO 2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO 2 karena penurunan aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati defek paten foramen ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli CO2 serebral. 16. Trauma vascular 17. Trauma organ intra abdomen. 51 DAFTAR PUSTAKA 1. Gomel V. Isobaric laparoscopy. Canada J Obstet Gynecol: JOGC.2007;29(6):493-4 2. 2. Hadisaputra W. Peran laparoskopi operatif pada nyeri pelvis kronis. Indones J Obstet Gynecol. 2006;30(3):152-5. 3. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 197-205 4. Prawiroharjo S. Ilmu kebidanan. YBPSP. Jakarta. 1985: 626-38 5. Dulucq, J. L., 2005, Tips and Techniques in Laparoscopic Surgery, Springer, 1243. 6. Haris, H. W., 2008, Surgery Basic Science and Clinical Evidence, Biliery System, Springer, 47: 911-943. 7. Leo, J., Filipovic, G., Krementsova, J., Norblad, R., and Söderholm, M., 2006, Open Cholecystectomy for All Patients in the Era of Laparoscopic Surgery – A Prospective Cohort Study, BMC Surger, 6:1471-82. 8. MacFadyen, V., 2004, Laparoscopic Surgery of the Abdomen, Bruce, 71:115. 52 9. Schietroma, M., Cartel, F., Franchi, L., Mazzotta, C., Sozio, A., et al., 2004, A comparison of Serum Interleukin-6 Concentrations in Patients Treated by Colecystectomy via Laparotomy or Laparoscopy, Hepato-gastroenterology, 51:1595-99. 10. Scott-Conner, C. E.H., 2006, The SAGES Manual Fundamentals of Laparoscopy,Thoracoscopy, and GI Endoscopy, Springer, 5-6. 11. Soper, N. J., Swanstrom, L. L, and Eubanks, W.S., 2004, Mastery of Endoscopy and Laparoscopic Surgery, Lippincott Williams & Wilkins, 2-5. 12. Tayeb, M., Raza, S. A., Khan, M. R., and Azami, R., 2005, Conversion from Laparoscopic to Open Cholecystectomy: Multivariate analysis of preoperative risk factors, 51:17- 20. 13. Vittimberga, F. J., Foley, D. P., Meyers, W. C., and Caller ,M. P., 1998, Laparoscopic Surgery and the Systemic Immune Response, Ann Surg, 227: 326– 34. 14. Whelan, R. L., 2006, The SAGES Manual Perioperative Care in Minimally Invasive Surgery, Springer, 69-71. 15. Wikipedia, 2009a, Laparoscopic surgery, The Free Encyclopedia,. Wikipedia, 2009b, Cholecystectomy, The Free Encyclopedia. 16. Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi. Anestesia umum. Jakarta : FKUI, hal. 291-300 17. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi ke-25. Jakarta: EGC; 1998. 18. Bakhriansyah HM. Anestesi Umum. FK UNLAM Banjarbaru 19. Latief S.A, Suryadi KA & Dachlan, MR. eds. Petunjuk praktis Anestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi intensif FKUI. Jakarta; 2009. hal : 46-47 53