Jakarta, 20 Februari 2016 Apakah Krisis Moneter 1997 Bakal Terulang? Selama dua pekan terakhir, saya banyak memberikan analisis makroekonomi baik untuk panduan investasi dan corporate strategy pada sejumlah lembaga pendidikan. Topik dengan judul diatas termasuk yang didiskusikan. Pertanyaan tersebut sangat relevan mengingat paling tidak dua prakondisi yang melandasi krisis yang pernah terjadi 20 tahun yang lalu: Trend penguatan dollar yang disertai dengan trend penurunan harga komoditas. Silakan cermati peraga dibawah ini dimana series dollar indeks berwarna merah sementara indeks harga komoditas warna biru. Saya menilai peluang krisis ala 1997 kembali terjadi terbilang rendah paling tidak berdasarkan tiga faktor struktural. Pertama, Indonesia sudah menganut flexible exchange rate system. Kedua, sistem perbankan lebih diawasi selain menikmati kecukupan modal. Ketiga, pengelolaan utang pemerintah jauh lebih baik terutama dengan disiplin fiskal defisit yang dengan undang-undang dibatasi maksimum tiga persen GDP. Faktor tambahan, seperti terlihat pada peraga, suku bunga internasional jauh lebih rendah ketimbang 20 puluh tahun yang lalu yang memungkinkan pemerintah dan perusahaan mengakses sumber pembiayaan luar negeri. Logika penerapan flexible exchange rate untuk mencegah krisis moneter terkait dengan menekan perilaku moral hazard. Sektor swasta yang merasa nyaman dengan kestabilan nilai tukar yang dipertahankan secara sengaja oleh pemerintah cenderung ceroboh mengambil utang luar negeri melewati keperluan. Utang luar negeri ini berisiko memicu balance-sheet crisis yang sistemik bila kemudian terjadi penguatan dollar dan peningkatan suku bunga. Cermati suku bunga global sempat melesat hingga paras tertinggi 6,8%. 1 Flexible exchange rate juga mengurangi risiko currency overvaluation yang mengurangi daya saing komoditas ekspor. Perhatikan peraga dibawah ini yang menunjukkan perkembangan indeks dollar (warna merah), kurs Thai bath (warna hitam) dan rupiah (warna biru berbintik) selama tahun 1997. Terlihat fixed exchange rate yang diterapkan oleh Thailand dan Indonesia kurang mengantisipasi penguatan dollar sekitar 10% pada bulan April 1997 dari awal tahun. Sangat bisa jadi macro-investor seperti Soros melakukan spekulasi short-selling asset kedua negara ini setelah mengetahui posisi utang dan mencermati penurunan surplus perdagangan. Kejadian nampak memburuk pada semester kedua yang juga dilandasi oleh trend penguatan dollar. Pada ulasan saya dua pekan lalu sudah dijelaskan bahwa trend penguatan dollar waktu itu dilandasi faktor struktural berupa peningkatan velocity of money Amerika Serikat. Selain faktor eksternal global, kejatuhan rupiah juga dilatari oleh merosotnya cadangan devisa dari kisaran $28 milyar menjadi $12 milyar pada awal tahun 1998. Krisis nilai tukar dengan cepat menjalar menjadi krisis moneter akibat kecerobohan dunia perbankan pada waktu itu yang berutang valas berjangka pendek untuk membiayai investasi rupiah berjangka panjang, khususnya properti. Kecerobohan tidak hanya berupa currency and duration mismatch, tetapi juga berupa loan to deposit ratio yang berkisar 110%. Dengan sangat cepat modal perbankan menguap bahkan menjadi minus yang mengharuskan pemerintah melakukan rekapitalisasi dengan penerbitan surat utang negara. Harus diakui kerapuhan administrasi negara sangat berperan memicu krisis ala 1997. Saat itu pemerintah tidak memiliki catatan utang yang akurat yang dipublikasikan baik berupa jumlah, jenis mata uang, jatuh tempo, sektoral hingga berbagai term and condition lainnya. Pengelolaan utang negara saat ini jauh lebih baik dibawah Direktorat Utang pada Kementerian Keuangan. Peluang berutang secara ekseksif juga dibatasi oleh undangundang dimana defisit to GDP maksimum tiga persen. Pengelolaan keuangan negara menjadi landasan kredibilitas terlebih dengan reformasi alokasi belanja negara yang lebih produktif dan inklusif. Sejak tahun lalu reformasi dilanjutkan dengan optimalisasi penerimaan negara melalui program tax amnesty. Dengan berbagai penjelasan diatas, apakah Indonesia sepenuhnya bebas risiko krisis ekonomi (dan politik)? Saya tegaskan kita tidak pernah akan terbebas sepenuhnya dari krisis baik yang dipicu oleh faktor internal maupun eksternal. Yang harus kita antisipasi adalah risiko middle-income-trap tahun 2030 kala penduduk Indonesia menua. Akan kita bahas pada publikasi selanjutnya… Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 2