15 BAB II TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 1. Pengertian hubungan industrial dan kaitannya dengan hubungan industrial Pancasila Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan hubungan industrial merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.13 Kaitan antara hubungan industrial dengan hubungan industrial Pancasila adalah bahwa di Indonesia, hubungan industrial didasarkan pada hubungan industrial pancasila. Hubungan industrial Pancasila adalah hubungan antara unsur-unsur dalam produksi yaitu buruh, pengusaha, dan pemerintah, yang didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, inti dari pola hubungan industrial Pancasila adalah bahwa setiap perselisihan perburuhan yang terjadi harus diupayakan diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada tiga asas yang digunakan yaitu : 13 Lalu Husni I, Op.Cit Hal. 17 16 1. Asas Partner in Production Di sini buruh dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan buruh mampu meningkatkan hasil usaha/produksi. Karena itu masing-masing pihak merupakan kawan dalam meningkatkan kesejahteraan buruh dan meningkatkan hasil produksi. Hal ini tercermin dalam sistem co-determination. 2. Asas Partner in Profit Hasil yang dicapai perusahaan itu seharusnya bukan untuk dinikmati oleh pengusaha saja, tetapi juga dinikmati oleh buruh yang turut serta dalam mencapai hasil produksi tersebut. Asas ini dilaksanakan jika di perusahaan itu terjadi peningkatan kesejahteraan sosial para buruhnya sejalan dengan peningkatan hasil produksi. 3. Asas Partner in Responsibility Buruh dan pengusaha memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama meningkatkan hasil produksi. Rasa tanggung jawab kedua belah pihak ini akan mendorong hasil produksi yang lebih meningkatkan lagi.14 Untuk mengoperasikan Hubungan Industrial Pancasila tersebut telah ditetapkan berbagai sarana yaitu : 1. Lembaga Bipartit/Tripartit 14 Imam Sjahputra Tunggal, Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan ke-1, Harvarindo, Jakarta 2000 (selanjutnya disebut Imam Sjahputra Tunggal I), Hal. 19 17 Melaalui lembaga bipartit/tripartit, setiap perselisihan yang terjadi dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui lembaga bipartit berarti penyelesaiannya dilaksanakan melalui dua pihak, yaitu buruh dan pengusaha (secara interen). Penyelesaian melalui lembaga tripartit berarti mengundang pihak pemerintah untuk ikut serta menyelesaikan perselisihan yang terjadi secara musyawarah untuk mufakat. 2. Kesepakatan Kerja Bersama (Perjanjian Perburuhan) Melalui paerjanjian perburuhan para pihak yang terikat dalam hubungan kerja mengetahui secara jelas apa yang menjadi hak dan kewajibannya, sehingga dengan demikian dapat diharapkan mencegah timbulnya perselisihan. 3. Peradilan Perburuhan Melalui peradilan perburuhan, setiap perselisihan yang timbul dapat diselesaikan secara damai, sehingga kemungkinan untuk mogok/lockout dapat dicegah sedini mungkin. 4. Peraturan PerUndang-Undangan Perburuhan Peraturan PerUndang-Undangan perburuhan mutlak diperlukan mutlak dan harus dapat mengakomodasi semua kepentingan pekerja maupun pengusaha, sehingga dengan demikian kepastian hukum dapat tercipta dan dapat mengurangi terjadinya perselisihan perburuhan yang dapat menimbulkan tindakan mogok/lock-out. 5. Pendidikan Perburuhan 18 Melalui pendidikan perburuhan, baik pekerja maupun pengusaha sadar akan hak dan kewajibannya, sehingga dengan demikian dapat ditekan sedemikian rupa terhadap terjadinya perselisihan perburuhan. 6. Masalah khusus yang harus diperhatikan yaitu masalah upah dan maslah pemogokan.15 Dalam ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diterangkan yang dimaksud dengan lembaga kerja bipartit (LKS bipartit) adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri atas pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.16 2. Pengertian perselisihan hubungan industrial Raja Gukguk menyebutkan perselisihan kolektif atau perselisihan perseorangan antara majikan atau serikat majikan dengan buruh atau buruh perorangan mengenai pelaksanaan atau penafsiran perjanjian perburuhan atau perjanjian kerja.17 Dalam buku Lalu Husni mengutip pendapat Ronny Hanitijo konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka 15 Imam Sjahputra Tunggal, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Harvarindo Jakarta 2005 (selanjutnya disebut Imam Sjahputra Tunggal II), Hal.21 16 Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, Hal. 97 17 Erman Raja Gugguk, Perjanjian Perburuhan, Raja Grafindo Persada Jakarta, 2004 Hal. 98 19 masing-masing yang tidak dapat meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing.18 Sedangkan Joni Emirzon memberikan pengertian konflik/perselisihan/ percekcokan yang dikutip dalam buku Lalu Husni adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama.19 Sebelum Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dipakai sebagai dasar dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, dasar hukum yang dipakai adalah Undang-Undang No. 22 tahun 1957 Tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau beberapa serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syaratsyarat kerja dan atau keadaan perburuhan.20 Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan 18 Lalu Husni I, Op.Cit Hal.2 19 Lalu Husni I, Loc.Cit. 20 Iman Sjahputra Tunggal, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo Jakarta 2007 (selanjutnya disebut Imam Sjahputra Tunggal III), Hal.34 20 industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.21 21 Abdul Khakim, Op.Cit, Hal. 145 perselisihan antara serikat