TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi yang membawa pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu tempoh waktu dihubungkan dengan besar populasi dari mana kasus itu berasal. Prevalensi sepadan dengan insidensi dan tanpa insidensi penyakit maka tidak akan ada prevalensi penyakit. Insidensi merupakan jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam satu periode waktu dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode tertentu. Insidensi memberitahukan tentang kejadian kasus baru. Prevalensi memberitahukan tentang derajat penyakit yang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu (Timmereck, 2001). Dalam hal ini prevalensi setara dengan insidensi dikalikan dengan rata-rata durasi kasus (Lilienfeld dan Lilienfeld, 2001 dalam Timmereck, 2001). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor tersebut adalah: a) Kasus baru yang dijumpai pada populasi sehingga angka insidensi meningkat. b) Durasi penyakit. c) Intervensi dan perlakuan yang mempunyai efek pada prevalensi. d) Jumlah populasi yang sehat. Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1. Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:11. Prevalensi LES di Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penyandang LES baru di seluruh dunia. Dapat mengenai semua ras, adapun wanita Afrika-Amerika mempunyai insidensi tiga kali lebih tinggi dibandingkan kulit putih serta memiliki kecenderungan perkembangan penyakit pada usia muda dan dengan komplikasi yang lebih serius. LES juga umum mengenai wanita hispanik, asia2. Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien rawat inap di rumah sakit. Data antara tahun 1988-1990, insidensi rata-rata penyandang LES adalah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan dan cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir. Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat, dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, terkendali ataupun remisi. Definisi LES. Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1. 2.2 Epidemiologi Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi LES di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin saja Filipina2. Manifestasi klinis MANIFESTASI KLINIS penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES Pemeriksaan Penunjang. 2.6.1 Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin. 2.6.2 Pemeriksaan Autoantibodi17. Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat Definisi Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakitcollagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. B. Epidemiologi SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesiansebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia. C. Etiologi Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui, namun terdapat banyak bukti bahwa Sistemik lupus erythematosus (SLE) bersifat multifaktor, mencakup : a. Genetik b. Infeksi c. Lingkungan d. Stress e. Cahaya matahari f. Faktor Resiko : hormon; imunitas; obat Ada sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik. 1. Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear (ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat di dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan teknik pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat spesifik untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein juga ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain. Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen nuclear dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan kompleks imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan peradangan melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering menurun pada fase aktif SLE. Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE. Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer. 2. Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol aritmia jantung). Penyakit diinduksi – obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear secara bertahap. 3. Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan lupus eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari jaringan pasien. 4. Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis SLE pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat tingkat pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan bahwa gen yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi berkembangnya autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien yang mengalami defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4) juga menarik, karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR. Tabel Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lain Antibodi Insidensi Antigen Makna Klinis 1 Antibodi antinuklear Anti-DNA 70% DNA Anti-DNA untai-ganda adalah spesifik untuk SLE; anti-DNA untaiAnti-Sm Anti-RNP Anti-histon Anti-Ro(SS-A) Anti-LA(SS-B) Anti-sentromer Anti-Sci 70 Anti-Jo 1 30% 40% 70% 30% 10% <5% <5% <5% tunggal tidak spesifik Ribonukleoprotein (Ag Smith) Spesifik untuk SLE Ribonukleprotein Titer tinggi pada penyakit Histon jaringan ikat campuran Positif pada 95% kasus Ribonukleprotein SLE yang diinduksi obat Berkaitan dengan sindrom Ribonukleprotein Sjögren dan nefritis Berkaitan dengan sindrom Sentromer Sjögren Berkaitan dengan sindrom Topoisomerase DNA CREST Berkaitan dengan tRNA sintetase sklerosis sistemik Berkaitan dengan polimiositis Antibodi lain Antikardiopilin 50% Fosfolipid Berkaitan dengan thrombosis, aborsi spontan; antkoagulan Antieritrosit Antitrombosit Antilimfosit Antineuronal 60% ? 70% 60% lupus; VDRL positif palsu Antigen permukaan eritrosit Hemolisis (jarang) Antigen permukaan trombosit Trombositopenia Antigen permukaan limfe (?) disfungsi sel T Antigen permukaan neuron (?) Lupus system syaraf pusat Uji negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak mungkin 1 ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasien D. Patofisiologi Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang anti bodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali. Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang. Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil. Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris. E. Manifestasi Klinik Keluhan utama dan pertama sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah artralgia, dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Pasien mengeluh lemas, lesu dan capek sehingga menghalanginya beraktivitas. Demam pegal linu seluruh tubuh, nyeri otot dan penurunan berat badan terdapat kelainan kulit spesifik berupa bercak malar menyerupai kupukupu dimuka dan eritema umum yang menonjol. Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid yang bermula sebagai eritema papul atau plak bersisik. Dapat pula terjadi kelaian darah berupa anemia hemoditik, kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung, gastrointestinal, gangguan saraf dan kelainan psikatrik. Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah: · Artralgia · Artritis (sinovitis) · Pembengkakan sendi · Nyeri tekan · Rasa nyeri ketika bergerak · Rasa kaku pada pagi hari. F. Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis dapat sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk membuat diagnosis yang akurat berdasarkan gejala. Ada beberapa pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi adanya autoantibody tertentu dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah autoantibody yang paling sering ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE menunjukkan hasil pemeriksaan positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan penyakit lain juga menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody yang spesifik terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi: · Antibody anti – DNA · Antibody anti – SM · Antibody anti – RNP · Antibody anti – Ro · Antibody anti – La Tidak semua individu yang mengalami SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan positif. Pemeriksaan lain yang berguna dijelaskan dalam tabel di bawah ini. Pemeriksaan Diagnostik LED Kadar komplemen Hitung darah lengkap Urinalisis Biopsy kulit ANA Autoantibody lain : Hasil Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya inflamasi Menurun pada penyakit aktif Hitung hemoglobin dan trombosit rendah Proteinuria dan hematuria Perubahan histology yang sesuai dengan lupus Positif pada sebagian besar kasus Hasil bervariasi pada individu anti – DNA, anti – SM, anti – RNP, anti – Ro, dan anti – La G. Penatalaksanaan Pengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit. Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami gejala penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan rawat inap. ml pada tiap lesi. Bercak kemerahan kecil biasanya berhasil diobati dengan krim kortikosteroid. Bercak lebih besar resisten, kadang memerlukan pengobatan selama beberapa bulan dengan kortikosteroid per-oral (ditelan) atau dengan obat imunosupresan seperti digunakan untuk mengobati lupus eritematosus sistemik. Krim steroid yang kuat sebaliknya dioleskan pada bercak kulit sebanyak 1-2 kali/hari. Sampai bercak menghilang jika bercak sudah mulai kurang bisa digunakan krim steroid yang lebih ringan. Salep cortison yang dioleskan pada lesi sering kali dapat memperbaiki keadaan dan memperlambat perkembangan penyakit. Suntikan cortison yang dioleskan pada dalam lesi juga bisa mengobati keadaan ini dan bisanya lebih efektif dari pada salep. Lupus discoid tidak disebabkan oleh malaria, tetapi obat anti malaria ( cloroquine, hydroxcloroquine ) memiliki daya anti peradangan yang ampuh bagi sebagian besar kasus lupus discoid. H. Komplikasi Komplikasi lupus eritematosus sistemik 1. Serangan pada Ginjal a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal) b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal) c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin). 2. Serangan pada Jantung dan Paru a) Pleuritis b) Pericarditis c) Efusi pleura d) Efusi pericard e) Radang otot jantung atau Miocarditis f) Gagal jantung g) Perdarahan paru (batuk darah). 3. Serangan Sistem Saraf a) Sistem saraf pusat · Cognitive dysfunction · Sakit kepala pada lupus · Sindrom anti-phospholipid · Sindrom otak · Fibromyalgia. b) Sistem saraf tepi · Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki c) Sistem saraf otonom · Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom. 4. Serangan pada Kulit · Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoid · Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an : a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin. b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh c) Lesi non spesifik - Rambut rontok (alopecia) - Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok. - Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing. 5. Serangan pada Sendi dan Otot - Radang sendi pada lupus - Radang otot pada lupus 6. Serangan pada Mata 7. Serangan pada Darah · Anemia · Trombositopenia · Gangguan pembekuan · Limfositopenia 8. Serangan pada Hati