BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Efektif dalam Menunjang
Efektivitas Penyuluhan
Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian dari komunikasi.
Hovland (1953) menjelaskan bahwa komunikasi sebagai suatu proses yang
memungkinkan seseorang menyampaikan rangsangan untuk mengubah perilaku
orang lain. Pakar komunikasi Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan
komunikasi sebagai proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu atau
banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
Verderber (1990) mendefinisikan komunikasi sebagai proses transaksional dalam
membentuk arti atau makna. DeVito (1997) menjelaskan bahwa komunikasi itu
mengacu kepada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan
menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), yang terjadi dalam suatu
konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk
melakukan umpan balik. Tubbs dan Moss (2001) mengartikan komunikasi sebagai
proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.
Komunikiasi merupakan sebuah proses. Lubis et al. (2010) menjelaskan
bahwa komunikasi merupakan proses yang memiliki empat atribut, yaitu: (1)
dinamis, artinya komunikasi selalu berubah, dan tidak dapat ditentukan kapan
dimulai dan kapan berakhir; (2) sistemik, artinya sebagai sistem, komunikasi
terdiri dari beberapa unsur yang berinteraksi dan saling mempengaruhi sistem
yang lebih luas; (3) interaksi simbolik, di mana bahasa merupakan simbol yang
digunakan orang untuk berinteraksi dengan sesamanya cara seseorang memilih
dan mengatur simbol akan mempengaruhi orang lain menginterpretasi-kan
pesannya; dan (4) makna dibentuk secara pribadi, yakni setiap orang menafsirkan
sesuatu dengan caranya sendiri, sesuai dengan persepsi dan latar belakangnya.
Karena itu dikatakan makna ada pada manusia, bukan pada kata-kata.
Hewitt (Lubis at al.,2010), menjabarkan tujuan penggunaan proses
komunikasi secara spesifik yaitu; (1) mempelajari atau mengajarkan sesuatu; (2)
mempengaruhi perilaku seseorang; (3) mengungkapkan perasaan; (4) menjelaskan
perilaku sendiri atau perilaku orang lain; (5) berpengaruh dengan orang lain;
menyelesaikan sebuah masalah; (6) mencapai sebuah tujuan; (7) menurunkan
ketegangan dan menyelesaikan konflik; (8) menstimulasi minat pada diri sendiri
atau orang lain.
Penyuluhan menggunakan komunikasi sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Proses yang dialami oleh mereka yang disuluh sejak mengetahui, memahami,
mentaati, dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan yang nyata, adalah
suatu proses komunikasi. Penjelasan tersebut menunjukkan pentingnya memenuhi
persyaratan komunikasi yang baik untuk tercapainya hasil penyuluhan yang
efektif. Leeuwis (2004) mendefinisikan penyuluhan sebagai serangkaian
intervensi komunikasi yang ditanamkan, yang diartikan antara lain untuk
membangun
dan/atau
mendorong
inovasi
yang
seharusnya
membantu
menyelesaikan situasi problematis. Komunikasi penyuluhan adalah suatu
pernyataan antar manusia yang berkaitan dengan kegiatan semua bidang
kehidupan baik secara perorangan maupun kelompok yang sifatnya umum dengan
menggunakan lambang-lambang tertentu dalam usaha meningkatkan nilai tambah
dan pendapatan, sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi dalam penyuluhan
bukan saja dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku komunikan
akan tetapi juga mampu mendorong petani untuk mandiri dan mampu
menyelesaikan situasi problematis yang dialaminya.
Komunikasi dalam penyuluhan bukan hanya proses penyampaian pesan dari
penyuluh kepada petani dan terhenti. Komunikasi dalam penyuluhan harus efektif
dan mampu memenuhi tujuan dan kebutuhan semua pihak yang berkomunikasi
dalam suatu kegiatan penyuluhan. Rogers dan Bhowmik (1971) menjelaskan
bahwa komunikasi adalah efektif bila pengalihan ide dari sumber ke penerima
menghasilkan perubahan pengetahuan, sikap, atau perilaku terang-terangan pada
diri penerima. Ketika sumber dan penerima berbagi makna, sikap, dan keyakinan
yang sama, maka komunikasi antara mereka akan lebih efektif. Rogers dan
Bhowmik (1971) juga menjelaskan bahwa kebanyakan individu menikmati
kenyamanan dari berinteraksi dengan orang lain yang serupa dalam status sosial,
pendidikan, keyakinan, dan lainnya. Perbedaan di antara sumber dan penerima
yang disebut dengan heterofili akan menyebabkan distorsi pesan, tertundanya
transmisi, pembatasan saluran komunikasi, menyebabkan disonansi kognitif,
keadaan psikologis yang tidak nyaman, dan pesan yang disampaikan mungkin
tidak konsisten dengan kepercayaan dan sikap yang ada.
Rogers dan Bhowmik (1971) menguraikan bahwa homofili dan komunikasi
yang efektif berkembang satu sama lain, dan keduanya memiliki pengaruh saling
mempengaruhi. Sebuah sumber dan penerima yang homofili akan berinteraksi
lebih dan komunikasinya relatif lebih efektif karena menciptakan konsensus yang
lebih besar dan kesamaan di antara mereka akan mendorong keduanya
berinteraksi ke tingkat yang lebih tinggi. Dari penjelasan tersebut, dapat
diasumsikan bahwa, untuk mencapai tujuan dari kegiatan SL-PTT padi maka
penyuluh harus memperhatikan perbedaan-perbedaan yang ada antara dirinya
dengan petani dan berusaha menyesuaikan diri untuk mengurangi adanya
perbedaan tersebut sehingga proses komunikasi yang dilakukan akan lebih efektif.
Homofili dan Heterofili dalam Komunikasi
Rogers dan Bhowmik (1971) menjelaskan bahwa pertukaran pesan dalam
suatu proses komunikasi paling sering terjadi pada keadaan sumber dan penerima
pesan memiliki kesamaaan satu sama lain yang disebut dengan keadaan homofili.
Homofili mengacu pada tingkat pasangan individu yang berinteraksi memiliki
kesamaan yang sepengaruh dengan atribut tertentu, seperti beliefs, nilai-nilai,
pendidikan, status sosial, dan lain-lain. Heterofili adalah derajat pasangan
individu yang berinteraksi berbeda sepengaruh dengan atribut tertentu.
Rogers dan Bhowmik (1971) mengkonseptualisasikan homofili dan
heterofili atas dasar pengukuran menjadi dua tingkatan, yaitu: (1) subyektif, yaitu
tingkatan kesamaan antara sumber atau penerima dalam mempersepsikan suatu
obyek; dan (2) obyektif, yaitu tingkat kesamaan diamati dari karteristik antara
sumber dan penerima. Dalam proses komunikasi baik sumber dan penerima
berperilaku sesuai dengan persepsi mereka atas reaksi yang diharapkan dari satu
sama lain dan pesan yang disampaikan. Jelas bahwa efek dari sebuah pesan pada
perilaku penerima tergantung pada cara penerima merasakan situasi komunikasi
termasuk derajat dari homofili atau heterofili. Investigasi Rogers dan Bhowmik
(1971) sebelumnya menunjukkan bahwa pada umumnya: (1) derajat homofili
subyektif berkorelasi positif dengan tingkat homofili obyektif, meskipun tidak
dengan sempurna; (2) tingkat homofili subyektif dianggap lebih tinggi daripada
derajat homofili obyektif; dan (3) homofili subyektif lebih erat terkait dari
homofili obyektif dengan peubah lain seperti daya tarik interpersonal dan
frekuensi interaksi.
Rogers dan Bhowmik (1971) menyatakan bahwa komunikasi antara
individu akan lebih efektif ketika sumber dan penerimanya homophilous. Ketika
sumber dan penerima memiliki kesamaan makna, sikap, dan keyakinan, dan kode
bersama, komunikasi di antara keduanya adalah lebih efektif. Kebanyakan
individu menikmati kenyamanan dari berinteraksi dengan orang lain yang serupa
dalam status sosial, pendidikan, keyakinan, dan lainnya. Interaksi yang heterofili
menyebabkan distorsi pesan, tertundanya transmisi, pembatasan saluran
komunikasi, dapat menyebabkan disonansi kognitif, dan keadaan psikologis yang
tidak nyaman. Homofili dan komunikasi yang efektif berkembang satu sama lain,
dan keduanya memiliki pengaruh saling tergantung dalam peningkatan kecil di
salah satu pihak akan mengarahkan peningkatan kecil di sisi lain, dan lain-lain.
Sebuah pasangan sumber dan penerima yang homofili akan berinterkasi lebih
banyak. Ada berapa proporsi yang dapat terjadi dari pasangan sumber dan
penerima yang homofili, yaitu: (1) komunikasi yang terjadi relatif lebih efektif,
dan (2) akan menciptakan lebih besar konsensus dan kesamaan di antara
keduanya. Hal tersebut sangat bermanfaat sehingga akan menyebabkan keduanya
berinteraksi ke tingkat yang lebih tinggi.
Selain kondisi homofili subyektif dan homofili obyektif, Rogers dan
Bhowmik (1971) juga mengungkapkan bahwa rasa empati maupun simpati
mempengaruhi efektivitas komunikasi. Jika sumber dapat melihat dengan baik
perasaan dari penerima pesannya dan mereka berbagi perasaan, adalah mungkin
makna pesan yang disampaikan oleh sumber akan sama dengan makna yang
dipahami oleh penerima. Ketika sumber memiliki empati yang tinggi dengan
penerima walaupun keadaan keduanya adalah heterofili secara karakteristik, maka
mereka benar-benar homofili dalam arti sosial-psikologis.
Rakhmat (2003) menyatakan bahwa ketika komunikator ingin mempengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan kesamaan antara
dirinya dengan penerima pesan. Usaha untuk menegaskan kesamaan antara diri
komunikator dengan penerima pesan dikenal sebagai strategy of identification
atau establishing common grounds. Komunikator dapat mempersamakan dirinya
dengan penerima pesan dengan menegaskan persamaan dalam kepercayaan sikap,
maksud, dan nilai-nilai sepengaruh dengan suatu persoalan. Simons (Rakhmat,
2003) menerangkan bahwa ada empat hal yang menyebabkan komunikator yang
dipersepsi memiliki kesamaan dengan penerima pesan cenderung lebih efektif
dalam berkomunikasi, yaitu: (1) kesamaan mempermudah proses penyandibalikan (decoding), yakni proses menterjemahkan lambang-lambang yang diterima
menjadi gagasan-gagasan; (2) kesamaan membantu membangun premis yang
sama, premis yang sama mempermudah proses deduktif, dan bila kesamaan
relevan dengan topik persuasi, orang akan terpengaruh oleh komunikator; (3)
kesamaan menyebabkan penerima pesan tertarik pada komunikator; dan (4)
kesamaan menumbuhkan rasa hormat dan percaya pada komunikator.
Strong dan Israel (2009) pernah meneliti mengenai pengaruh kehomofilian
penyuluh dengan kliennya terhadap persepsi orang dewasa. Strong dan Israel
(2009) menguraikan bahwa penyuluhan harus memastikan kepuasan peserta
penyuluhan dengan pelayanan yang diberikan oleh media penyuluhan.
Dalam akuntabilitas lingkungan yang meningkat, hal ini menjadi penting bahwa
peserta penyuluhan merasa puas dengan pelayanan penyuluhan yang diberikan.
Mereka melihat bahwa kehomofilian antara agen dan klien mempengaruhi
kepuasan
pelayanan
penyuluhan.
Melalui
penelitiannya
terhadap
klien
penyuluhan di Florida, dan digabung dengan data survei dari klien penyuluhan
yang menyelesaikan survei kepuasan pelayanan penyuluhan dengan data tentang
karakteristik agen, maka temuan yang didapat menyatakan bahwa ketika klien dan
ras agen berbeda, terjadi penurunan kecil tetapi signifikan dari skor kepuasan
pelayanan dari pada klien dan agen yang memiliki ras sama. Demikian pula,
ketika perbedaan pendidikan meningkat, klien cenderung akan puas dengan
layanan penyuluhan yang disediakan. Temuan menunjukkan perlunya strategi
untuk mengatasi “masalah heterofili”. Salah satu strategi adalah meningkatkan
upaya merekrut agen minoritas. Strategi lain adalah untuk meningkatkan perhatian
dalam seminar pengembangan profesional untuk membangun ketrampilan dalam
mengajar klien yang berbeda dalam satu cara atau lebih.
Homofili Obyektif
Rogers dan Bhowmik (1971) menjelaskan bahwa tingkat homofili obyektif
adalah tingkat kesamaan dalam berkomunikasi diamati dari karteristik antara
individu yang berkomunikasi. Rogers dan Shoemaker (1971) membedakan
kondisi homofili dalam dua kondisi, yaitu: (1) sumber dan penerima merasakan
kesamaan dalam karakteristik status sosial, status ekonomi, pendidikan, sikap, dan
kepercayaan; (2) terdapat perbedaan dalam karakteristik status sosial, status
ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan. Komunikasi akan lebih efektif pada
kondisi homofili daripada kondisi heterofili. Dodd (1982) membuat klasifikasi
tentang dimensi-dimensi homofili ke dalam : (1) homofili dalam penampilan, (2)
homofili dalam latar belakang, (3) homofili dalam sikap, (4) homofili dalam nilai,
dan (5) homofili dalam kepribadian. Schirato dan Yell (2000) menyebutkan
bahwa ada dua belas aspek kesamaan dan perbedaan antara sumber dan penerima
yang mempengaruhi proses komunikasi yaitu: (1) gender, (2) preferensi seksual,
(3) umur, (4) agama, (5) pekerjaan, (6) kekayaan, (7) afiliasi politik, (8)
ketertarikan hiburan, (9) nilai sosial, (10) etnik atau suku, (11) kualifikasi
pendidikan, dan (12) pengalaman. Berdasarkan dari uraian-uraian tersebut, maka
tingkat kesamaan karakteristik antara penyuluh dengan petani yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah kesamaan karakteristik: (1) umur, (2) jenis kelamin,
(3) pendidikan, (4) pengalaman, (5) suku/etnik, (6) status sosial ekonomi, (7)
kepercayaan, dan (8) sikap.
Umur. Perbedaan ataupun kesamaan umur antara sumber dan penerima
dalam sebuah komunikasi dapat mempengaruhi efektivitas komunikasinya.
Schirato dan Yell (2000) mencontohkan pengaruh perbedaan umur terhadap
efektivitas komunikasi. Seorang bos yang berumur lima puluh tahun dan
bawahannya yang berumur dua puluh tahun. Bos tersebut berpesan bahwa “kita
butuh seseorang untuk membersihkan toilet. Pergi dan lakukan sekarang, dan
selesaikan dalam waktu tiga puluh menit, dan jangan memutar musik yang berisik
karena itu akan menyebabkan konsetrasi orang lain yang sedang bekerja akan
terganggu.”Pesan yang disampaikan oleh bos kepada bawahan sangat jelas.
Bagaimanapun, ketika bawahan mendengarkan seluruh perintah yang
dikatakan oleh bosnya, hal-hal yang telah diperintahkan tidak berarti memiliki
makna yang sama bagi bos dan bawahannya. Bos yang memberi perintah
beranggapan bahwa perintah yang diberikan adil dan wajar. Bawahan yang
menerima perintah menganggap perintah tersebut adalah penghinaan dan ia tidak
menjalankan perintah tersebut. Bawahan yang masih muda dan belum bersikap
dewasa beranggapan bahwa membersihkan toilet itu sama dengan merendahkan
derajadnya, namun bos tidak mengerti bahwa pekerjaan membersihkan toilet
tersebut merupakan pekerjaan yang merendahkan. Bos yang memiliki umur jauh
lebih tua memiliki kedewasaan diri dan beranggapan bahwa membersihkan toilet
merupakan sebuah tanda kefleksibilitasan seseorang, tanda bahwa seseorang
memiliki kerendahan hati atau membumi, dan tanda bahwa bawahannya
mematuhi instruksi dan hal tersebut merupakan sebuah penilaian bahwa
bawahannya merupakan pekerja yang berharga. Secara teori, komunikasi yang
dilakukan oleh bos kepada bawahannya tidak efektif dikarenakan perbedaan
umur. Perbedaan umur yang jauh menyebabkan perbedaan pengalaman dan sikap
untuk bertindak terhadap sesuatu.
Jenis
Kelamin.
Perbedaan
jenis
kelamin
antara
indivudu
yang
berkomunikasi dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi. Devito (2007)
menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki cara belajar yang berbeda
dalam hal mendengarkan untuk menggunakan pesan verbal dan nonverbal.
Perbedaan cara ini dapat menimbulkan kesulitan yang cukup besar dalam
berkomunikasi. Tannen (Devito, 2007) menyatakan bahwa perempuan berusaha
untuk membangun pengaruh lebih dekat dan menggunakan mendengarkan untuk
mencapai tujuan. Tujuan dari seorang pria dalam berkomunikasi adalah untuk
dihormati sehingga ia berusaha untuk menunjukkan keahlian dan pengetahuannya.
Seorang wanita dalam berkomunikasi berusaha untuk disukai sehingga ia akan
berusaha untuk mengungkapkan kesepakatan dengan pendapat pria.
Pendidikan. Houle (1975) menyatakan bahwa pendidikan merupakan
proses pengembangan pengetahuan, keterampilan maupun sikap, dilakukan secara
terencana, sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf
hidup. Soekanto (2002) menyatakan bahwa pendidikan mengajarkan kepada
individu aneka macam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu
bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan
juga cara berpikir. Cara berpikir seseorang akan mempengarhi cara pandang
seseorang terhadap sesuatu. Apabila perbedaan cara pandang terjadi dalam sebuah
komunikasi
antara
individu
atau
kelompok,
maka
hal
tersebut
akan
memungkinkan terjadinya komunikasi yang tidak efektif.
Pengalaman.
Padmowiharjo (1994) medefinisikan pengalaman sebagai
suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang
tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai
hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang
akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang
dimiliki dalam proses belajar.
Pengalaman
individu
dapat
mempengaruhi
efektivitas
komunikasi.
Kesamaan dan perbedaan pengalaman akan menetukan efektif atau tidaknya
sebuah proses komunikasi. Dale (Rakhmat 2003) telah membuktikan bahwa
pengalaman mempengaruhi penafsiran seseorang terhadap sesuatu. Dale telah
menguji pengaruh dari pengalaman terhadap penafsiran melalui Facial Meaning
Sensitivity Test (FMST). Melalui tes tersebut diketahui bahwa orang-orang yang
telah dilatih dengan FMST memiliki persepsi yang lebih cermat dibandingkan
yang belum pernah melakukan FMST. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
diasumsikan bahwa jika dua orang yang memiliki pengalaman yang berbeda
berkomunikasi, maka pengalaman keduanya akan mempengaruhi efektivitas dari
komunikasi tersebut.
Etnis/Suku.
Zanden (1990) mengartikan etnis sebagai kelompok yang
dapat di identifikasi pada budaya bahasa dasar, praktek rakyat, cara berpakaian,
gerak-gerik, tingkah laku dan agama. Phadnis (Mulyana dan Rakhmat, 1998)
memandang bahwa identitas etnis seseorang mengemuka lewat tanda-tanda
budaya.Shibutani dan Morato (Mulyana dan Rakhmat, 1998) mengungkapkan
bahwa secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat ciri
sosiokultural yang membedakan kelompok-kelompok etnis antara yang satu
dengan lainnya. Sebuah etnis tentunya memegang nilai-nilai dan norma tertentu.
Nilai dan norma yang dipegang biasannya akan mempengaruhi pandangan atau
persepsi seseorang. Apabila dikaitkan dengan efektivitas komunikasi, ada
kemungkinan bahwa perbedaan etnis dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi
karena adanya pandangan yang berbeda dari masing-masing etnis.
Status Sosial dan Ekonomi. Phillips (1979) mengartikan status sosial
sebagai derajad kehormatan atau prestise yang diberikan oleh atau diterima dari
masyarakat. Perbedaan status sosial antara dua dindividu yang berkomunikasi
berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi yang dilakukan keduanya. Mulyana
dan Rakhmat (1998) menjelaskan bahwa perbedaan status dan kelas sosial
menyebabkan orang-orang berstatus beda sulit menyatakan opini secara bebas dan
terus terang dalam diskusi atau perdebatan. Pada masa lalu, orang yang berstatus
lebih rendah harus menyatakan rasa hormat kepada atasannya.
Di beberapa negara, terkadang status tidak terlalu mempengaruhi seseorang
dalam berkomunikasi. Mulyana dan Rakhmat (1998) menguraikan bahwa di
Amerika Serikat, orang merasa adalah suatu hal yang baik dan juga wajar untuk
mengemukakan sesuatu kepada atasan, mengatakan kepada atasan sesuatu yang
sesungguhnya yang difikirkan, bahkan sekalipun orang yang berstatus lebih
rendah tidak sependapat dengan atasannya. Tentu saja orang yang berstatus lebih
rendah tidak selalu melakukannya, tetapi ia berfikir bahwa ia harus melakukannya, dan ia merasa berdosa apabila tidak menyampaikan pikiran-pikirannya secara
terus terang. Jelas bahwa budaya Amerika tidak mementingkan status dalam
berkomunikasi.
Mar’at dan Kartono (2006) mengartikan status ekonomi sebagai kedudukan
seseorang atau keluarga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan.Status
ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang
pokok. Aristoteles (Phillips, 1979) membagi masyarakat secara ekonomi menjadi
3 kelas atau golongan terdiri atas: (1) golongan sangat kaya yang merupakan
kelompok kecil dalam masyarakat, terdiri dari pengusaha, tuan tanah, dan
bangsawan; (2) golongan kaya yang merupakan golongan yang cukup banyak
terdapat dalam masyarakat, terdiri dari para pedagang dan sebagainya; dan (3)
golongan miskin yang merupakan golongan terbanyak dalam masyarakat,
kebanyakan dari rakyat biasa. Karl Marx (Phillips 1979) membagi masyarakat
menjadi tiga golongan, yaitu: (1) golongan kapitalis dan borjuis yaitu golongan
yang menguasai tanah dan alat produksi, (2) golongan menengah yaitu golongan
yang terdiri dari para pegawai pemerintahan, dan (3) golongan proletar yaitu
golongan yang tidak mempunyai atau memiliki tanah dan alat produksi termasuk
didalamnya adalah kaum buruh atau pekerja pabrik.
Kepercayaan. Hohler, et al. (Rakhmat, 2003) menguraikan kepercayaan
sebagai suatu komponen kognitif dari faktor sosiolopsikologis. Kepercayaan tidak
ada pengaruh dengan hal gaib, tetapi keyakinan bahwa sesuatu itu “benar” atau
“salah” atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, atau “intuisi”. Rakhmat
(2003) menjelaskan bahwa kepercayaan memberikan perspektif pada manusia
dalam mempersepsi kenyataan, memberikan dasar bagi pengambil keputusan dan
menentukan sikap terhadap obyek sikap. Bila seseorang percaya bahwa anak
mendatangkan rezeki, kampanye KB tidak menghasilkan apapun sebelum orang
itu memperoleh kepercayaan baru. Asch (Rakhmat, 2003) menguraikan bahwa
kepercayaan
dibentuk
oleh
pengetahuan,
kebutuhan,
dan
kepentingan.
Pengetahuan berpengaruh dengan jumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang.
Kebutuhan dan kepentingan juga sering mewarnai kepercayaan seseorang. Setiap
individu mempunyai pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan dalam berkomunikasi. Perbedaan dan persamaan dari pengetahuan, kebutuhan, dan
kepentingan tersebut memungkinkan terjadinya perbedaaan dari kepercayaan dua
individu atau lebih yang yang berkomunikasi. Perbedaan dalam kepercayaan
tersebut akan memungkinkan memberikan pengaruh terhadap efektivitas
komunikasi.
Sikap. Sherif dan Sherif (Rakhmat, 2003) menganggap sikap sebagai
sejenis motif sosiogenesis yang diperoleh melalui proses belajar. Allport
(Rakhmat, 2003) melihat sikap sebagai kesiapan syaraf sebelum memeberikan
respon. Dari berbagai definisi, Rakhmat (2003) menyimpulkan sikap dalam
beberapa hal, yaitu: (1) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi,
berfikir, dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi, atau nilai; (2) sikap
mempunyai daya pendorong atau motivasi; (3) sikap relatif lebih tetap dan
cenderung dipertahankan; (4) sikap mengandung aspek evaluatif yaitu
mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan; dan (5) sikap timbul
dari pengalaman dan merupakan hasil dari proses belajar. Sikap yang berbeda
anatara individu yang berkomunikasi memungkinkan memberikan pengaruh pada
efektivitas komunikasi.
Sikap memang relatif tetap dan cenderung dipertahankan, tetapi bukan
sepenuhnya tidak dapat berubah. Ma’rat dan Kartono (2006) menyatakan bahwa
perubahan sikap seseorang bersisi dua, yaitu: (1) perubahan sikap dalam arah
yang sudah ada yang disebut penguatan, dan (2) perubahan sikap dalam arah yang
sebaliknya yang disebut diputar balik. Ma’rat dan Kartono (2006) menguraikan
sejumlah penyebab yang perlu diperhatikan dalam perubahan sikap dari individu,
yaitu: (1) individu sering mencari sumber informasi yang mendukung
pendapatnya yang sudah ada; (2) banyak informasi melalui media massa tidak
datang secara langsung kepada individu, tetapi disampaikan oleh pemimpin opini
dalam kelompok dimana individu termasuk didalamnya dan pemimpin opini akan
memberikan informasi yang menekankan sudut pandang kelompok; dan (3)
informasi yang menyimpang kerap kali diubah bentuknya sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan padangannya sendiri.
Homofili Subyektif
Rogers dan Bhowmik (1971) menjelaskan bahwa homofili subyektif
adalah tingkatan kesamaan antara sumber atau penerima dalam memandang suatu
obyek. Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan, maka tingkat kehomofilian subyektif dapat diukur dengan membandingkan persepsi penyuluh dan
petani terhadap sesuatu obyek. Tingkat kehomofilian penyuluh dan petani dalam
kegiatan SL-PTT padi dapat diukur melalui persepsi penyuluh dan petani terhadap
PTT padi.
Persepsi. Banyak ahli-ahli psikologi telah mendifinisikan persepsi dalam
berbagai pendapat. Gulo (1982) mendefinisikan persepsi sebagai proses seseorang
menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indra-indra yang
dimilikinya.
Verderber
(1990)
mendefinisikan
persepsi
sebagai
proses
menafsirkan informasi indrawi. Yusuf (1991) menjelaskan persepsi sebagai
“pemaknaan hasil pengamatan.” DeVito (1997) mendefinisikan persepsi sebagai
proses ketika seseorang menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang
mempengaruhi indra kita. Desiderato (Rakhmat,2003) mendefinisikan persepsi
sebagai pemberian makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).
Persepsi merupakan sebuah proses. Menurut Litterer (Asngari, 1984),
persepsi adalah pemahaman atau pengertian tentang segala sesuatu yang ada
disekitarnya. Litterer (Asngari 1984) menunjukkan bahwa persepsi orang
dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta, atau tindakan.
Karena itu, individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang
dipikulkan padanya. Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-bagian dari
informasi, dia dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran yang
menyeluruh. Orang itu akan menggunakan informasi yang diperolehnya untuk
menyususn gambaran menyeluruh. Litterer (Asngari 1984) menerangkan bahwa
persepsi seseorang terbentuk melalui tiga mekanisme yaitu selective, closure, dan
interpretation (Gambar 1).
pembentukan
persepsi
Pengamatan masa silam
Mekanisme
pembentukan
persepsi
Interpretation
Informasi
sampai
ke individu
Persepsi
Selectivity
Closure
Perilaku
Gambar 1. Proses Pembentukan Persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984)
Informasi yang sampai pada seseorang menyebabkan individu yang
bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau menyaringnya,
kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang
bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai fakta keseluruhan
informasi itu. Pada fase interpretasi, pengalaman masa silam dan dahulu
memegang peranan penting. Dengan demikian makna tersebut sangat penting bagi
pengertiannya. Litterer (Asngari, 1984) menekankan bahwa persepsi seseorang
terhadap sesuatu yang dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi
perilakunya. Sebaliknya, bila ia beranggapan bahwa hal tersebut dipandang nyata,
walau kenyataannya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi tindakan
perilakunya.
Setiap manusia memiliki persepsinya masing-masing. Persepsi seseorang
bisa serupa, sama atau seragam, bisa juga berbeda. Penyuluh dan petani sebagai
mahkluk manusia sudah pasti memiliki persepsi. Petani padi yang telah
menjalankan
budidayanya
pasti
memiliki
persepsi
tersendiri
mengenai
budidayanya baik dalam hal cara mempertahankan, mengelola, dan meningkatkan
budidayanya. Penyuluh yang dibekali oleh ilmu pengetahuan melalui pendidikan
formal maupun nonformal seperti pelatihan juga memiliki persepsi mengenai cara
mengembangkan budidaya agar berhasil. Berdasarkan penjelasan tentang persepsi,
maka ketika petani padi dan penyuluh berinterkasi dalam bentuk komunikasi pada
kegiatan penyuluhan budidaya berbagai kemungkinan dapat terjadi. Perilakuperilaku yang timbul setelah adanya kegiatan penyuluhan akan dipengaruhi oleh
persepsi para petani dan penyuluh terhadap obyek penyuluhan atau program
maupun persepsi satu dengan yang lainnya atau persepsi petani terhadap penyuluh
dan persepsi penyuluh terhadap petani.
Beberapa penelitian mengenai persepsi petani terhadap penyuluhan
pertanian pernah dilakukan sebelumnya. Saker dan Itohara (2009) pernah meneliti
persepsi petani terhadap pelayanan penyuluhan dan penyuluh di Bangladesh.
Penelitiannya mengungkapkan bahwa dari 90 orang petani organik kecil sebagai
sampel dari kabupaten Madhupur yaitu petani dari anggota kelompok
PROSHIKA, mayoritas (62%) dari petani responden memiliki persepsi yang baik
tentang efektivitas layanan organisasi penyuluhan pertanian PROSHIKA dalam
perbaikan mata pencaharian para petani, 50 persen dari petani responden merasa
bahwa para penyuluh dari PROSHIKA cukup kredibel di bidangnya dan sekitar
52 persen dari petani responden memiliki persepsi yang lebih baik tentang kualitas
penyuluh pertanian lapangan.
Hasil regresi mengidentifikasikan bahwa
kredibilitas penyuluh pertanian lapangan, frekuensi kontak dengan penyuluh, jenis
layanan penyuluhan yang diterima petani dan pendidikan petani telah signifikan
pengaruh
dengan
efektivitas
layanan
penyuluhan.
Penelitian
tersebut
menyimpulkan bahwa jika PROSHIKA memberikan penekanan pada peningkatan
kredibilitas penyuluh pertanian lapangan mereka dan memastikan kunjungan
lapangan yang lebih intensif lebih dari penyuluh maka efektivitas layanan
penyuluhan dari PROSHIKA akan meningkat dan akhirnya membantu dalam
perluasan pertanian organik di Bangladesh.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi
Paket teknologi di bidang pertanian merupakan suatu kesatuan dari beberapa
teknologi yang mencakup cara, metode, sarana, dan alat yang digunakan atau
tindakan dalam budidaya kearah yang lebih baik dan menguntungkan. Teknologi
budidaya (panca budidaya) padi sawah yang diperkenalkan sejak tahun 1963,
yang meliputi: (1) penggunaan benih varietas unggul, (2) bercocok tanam yang
baik, (3) pemupukan, (4) pengaturan air, dan (5) pengendalian hama dan penyakit.
Agar peningkatan produksi lebih baik maka pemerintah menambahkan dua paket
teknologi lainnya, yaitu: panen dan pascapanen. Perpaduan teknologi panca
budidaya dengan teknologi panen dan pascapanen dikenal dengan nama teknologi
sapta budidaya.
Perkembangan teknologi budidaya padi mulai dari tahun 1969, dengan
nama programnya BIMAS, yang kemudian disempurnakan lagi, samapai pada
tahun 1974. Dengan perkembangan kondisi dan kemajuan teknologi program
tersebut mengalami penyempurnaan mulai dari PHT, INSUS, dan OPSUS, yaitu
sampai tahun 1984. Pada dekade ini varietas unggul yang telah dilepas kurang
lebih 30 jenis varietas unggul. Dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1994
program berubah menjadi SUPRA INSUS dengan penambahan jumlah varietas
yang ditemukan sebanyak kurang lebih 40 jenis. Perkembangan zaman selalu
diikuti perkembangan teknologi, pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2000
berubah nama menjadi GEMA PALAGUNG, selang selama enam tahun Balai
Penelitian Tanaman Padi Subang telah memproduksi varietas baru sebanyak 27
jenis.
Dalam pengembangan pola intensifikasi selama ini hanya terkonsentrasi
pada perakitan teknologi secara parsial. Akibat penggunaan teknologi yang tidak
terorganisir dengan teknologi lain dapat menyebabkan turunnya tingkat kesuburan
tanah, ditandai dengan pelandaian produksi. Pelandaian produksi sebagai
rendahnya peningkatan produktivitas yang member konsekuensi terhadap
rendahnya peningkatan pendapatan (Makruf et al, 2004)
PTT adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam
upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan.
PTT padi dirancang berdasarkan pengalaman implementasi berbagai sistem
intensifikasi padi yang pernah dikembangkan di Indonesia. Tujuan penerapan
PTT padi adalah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani padi
serta memelihara lingkungan produksi melalui pengelolaan air, tanaman, OPT,
dan Iklim terpadu (Departemen Pertanian, 2008).
PTT
mencakup
empat
unsur,
yaitu;
(1)
integrasi,
yaitu
pada
pengimplementasiannya di lapangan, PTT mengintegrasikan sumberdaya lahan,
air, tanaman, OPT, dan iklim untuk mampu meningkatkan produktivitas lahan dan
tanaman sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani;
(2) interaksi, yaitu PTT berlandaskan pada pengaruh sinergis atau interaksi antara
dua atau lebih komponen; (3) dinamis, yaitu selalu mengikuti perkembangan
teknologi dan penerapannya disesuaikan dengan keinginan dan pilihan petani,
oleh karena itu PTT selalu bercirikan spesifik lokasi dimana teknologi yang
dikembangkan
melalui
pendekatan
PTT
senantiasa
mempertimbangkan
lingkungan fisik, biofisik, iklim, dan kondisi sosial ekonomi petani setempat; dan
(4) partisipatif, yaitu membuka ruang bagi petani untuk memilih, mempraktekkan,
dan bahkan menyempurnakan PTT, serta menyampaikan pengetahuan yang
dimiliki kepada petani lain (Departemen Pertanian, 2008).
Pengembangan model PTT harus didasarkan kepada masalah dan kendala
yang ada dilokasi setempat yang dapat diketahui melalui penelaahan partisipatif
dalam waktu singkat (Participatory Rural Appraisal, PRA). Melalui PRA
keinginan dan harapan petani dapat diketahui, dan karakteristik lingkungan
biofisik, kondisi sosial ekonomi, budaya petani setempat dan masyarakat sekitar
dapat dipahami. Langkah berikutnya adalah penyususnan komponen teknologi
yang sesuai dengan karakteristik dan masalah di daerah pengembangan.
Komponen teknologi tersebut bersifat dinamis, karena sesuai akan waktu yang
mengalami perbaikan perubahan, sesuai dengan perkembangan inovasi dan
masukan dari petani dan masyarakat setempat (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Badan Litbang Pertanian (2007) menyusun alternatif komponen teknologi
yang dapat diintroduksi dalam pengembangan model PTT yang terdiri atas:
(1)
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi utama yang mampu
meningkatkan
produktivitas
padi
dan
pendapatan
petani.
Dengan
tersedianya varietas padi yang telah dilepas pemerintah, kini petani dapat
memilih varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Varietas
padi yang telah dilepas adalah IR 64, Ciherang, Ciliwung, Way Apo Buru,
IR 42, Widas, Membrano, Cisadane, IR 66, Cisokan, Cirata, dan IR 36.
(2)
Benih bermutu: penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor
tinggi sangat disarankan, karena: (a) benih bermutu akan menghasilkan bibit
yang sehat dengan akar yang banyak, (b) benih yang baik akan
menghasilkan perkecambahan dan pertmbuhan yang seragam, (c) ketika
ditanam pindah, bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan
regar, (d) benih yang baik akan memperoleh hasil yang tinggi. Gabah padi
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu gabah yang memiliki Densitas
Tinggi (DT) dan gabah yang memiliki Densitas Rendah (DR). Gabah DT
memiliki spesifik gravitasi sekurang-kurangnya 1.20, sedangkan gabah DR
memiliki spesifik gravitasi hanya 1.05 bahkan kurang.
(3)
Bibit muda akan menghasilkan anakan lebih tinggi dibandingkan dengan
bila menggunakan bibit lebih tua, Untuk mendapatkan bibit dan
pertumbuhan tanaman yang baik, harus diperhatikan beberapa kegiatan,
antara lain: (a) persiapan pembibitan yang baik, (b) gunakan bahan organik
pada fase pembibitan, dan (c) lindungi bibit padi dari serangan hama.
(4)
Jumlah bibit dan sistem tanam (populasi): direkomendasikan menanam bibit
per rumpun dengan jumlah yang lebih sedikit, yaitu tidak lebih dari 3 bibit
per rumpun, karena kalau lebih banyak, kompetisi antar bibit dalam satu
rumpun lebih tinggi. Jarak tanam yang dianjurkan dengan model tegel
dengan jarak 20 centimeter di kali 20 centimeter (25 rumpun per meter
persegi), atau 25 centimeter di kali 25 centimeter (16 rumpun per meter
persegi), menggunakan model legowo 4;1 dengan jarak tanam 20 centimeter
dikali 10 centimeter dikali 40 centimeter (36 rumpun per meter persegi),
model legowo dua berbanding satu dengan jarak tanam 40 centimeter di kali
20 centimeter di kali 10 centimeter. Cara tanam berselang-seling dua baris
dan satu baris kosong. Sistem sejajar legowo mempunyai beberapa
keuntungan, yaitu: (a) semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian
pinggir yang biasanya memberikan hasil lebih tinggi (efek tanaman
pinggir); (b) pengendalian hama, penyakit, dan gulma lebih mudah; (c)
menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan
keong mas, atau untuk mina padi, dan (d) penggunaan pupuk lebih berdaya
guna.
(5)
Pemupukan N berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD): agar efektif dan
efisien, penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan
ketersediaan hara dalam tanah. Kebutuhan N tanaman dapat diketahui
dengan cara mengukur tingkat kehijauan warna daun padi menggunakan
BWD. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang pemupukan ke dua
(tahapan anakan aktif, 23 sampai dengan28 hari setelah tanam) dan
pemupukan ketiga (tahap primordial, 38 sampai dengan 42 hari setelah
tanam).
(6)
Bahan organik yang telah dikomposkan berperan penting dalam perbaikan
sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sumber nutrisi tanah. Sumber
bahan kompos antara lain berasal dari limbah organik seperti sisa-sisa
tanaman (jerami, batang, dahan), sampah rumah tangga, kotoran ternak,
arang sekam, dan abu dapur.
(7)
Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi
lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Kondisi ini
bertujuan: (a) menghemat irigasi, (b) memberi kesempatan pada akar
tanaman untuk mendapatkan udara, (c) mencegah timbulnya keracunan besi,
(d) mencegah penimbunan asam organik dan gas J2S yang menghambat
perkembangan akar, (e) menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen, (f) memudahkan pembenaman pupuk dalam tanah,
(g) memudahkan pengendalian hama keong mas, dan (h) mengurangi
kerusakan tanaman padi karena hama tikus.
(8)
Pengendalian gulma secara terpadu dapat dilakukan dengan cara pengolahan
tanah yang sempurna, mengatur air dipetakan sawah, menggunakan benih
padi bersertifikat, hanya menggunakan kompos sisa tanaman dan kompos
pupuk kandang yang menggunakan herbisida apabila investasi gula sudah
tinggi. Keuntungan penggunaan alat mekanis adalah: (a) ramah lingkungan,
(b)
lebih
ekonomis,
hemat
tenaga
kerja
dibandingkan
dengan
penyianganbiasa dengan tangan, (3) meningkatkan sirkulasi udara di dalam
tanah dan merangsang pertumbuhan akar padi akan lebih baik, dan (4)
apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah pemupukan akan
membenamkan pupuk ke dalam tanah, sehingga pemberian pupuk menjadi
lebih efisien.
(9) Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu merupakan pendekatan
pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian
dilakukan agar tidak terlalu menganggu keseimbangan alami dan tidak
menimbulkan kerugian besar. Cara pengendalian diantaranya dilakukan
monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman sehingga penggunaan
teknologi pengendalian dapat diterapkan. Langkah-langkah pengendalian
akan berbeda dari setiap hama yang akan dikendalikannya.
(10) Penanganan panen dan pasca panen: penanganan ini harus tepat untuk itu,
ada beberapa hal yaitu antara lain: (a) potong padi dengan sabit gerigi, (b)
panen dilakukan oleh kelompok pemanen yang professional, (c) perontokan
segera dilakukan tidak boleh lebih dari 2 hari karena akan menyebabkan
kerusakan beras, (d) menggunakan terpal sebagai alas yang cukup, (e)
pengeringan, dan (f) penggilingan dan penyimpanan.
PTT telah diujicobakan semenjak tahun 2001 pada lahan petani dengan
melibatkan petani setempat di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi
Selatan. Hasil uji coba tersebut menunjukkan bahwa inovasi teknologi baru ini
meningka tkan hasil padi sekitar 7 sampai dengan 38 persen. Dengan demikian
PTT mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut (Badan
Litbang Pertanian, 2003)
Atas keyakinan dari hasil ujicoba PTT pada MK 2001, maka kegiatan
pengembangan tahun 2002 diperluas daerah percontohannya menjadi 19 lokasi
yang dulunya hanya 9 lokasi. Hasil padi dalam kegiatan percontohan ini beragam
antar lokasi. Produksi padi melalui pendekatan PTT mulai dari 5,99 ton per
hektar sampai dengan 6,51 ton per hektar, sedangkan populasi padi di daerah yang
sama tanpa pendekatan PTT hanya 3,70 ton per hektar samapai dengan 7,70 ton
per hektar (Badan Litbang Pertanian, 2003)
Inovasi Pendekatan PTT Padi
Pengertian Inovasi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), inovasi
merupakan ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek baru yang dapat
dirasakan sebagai suatu yang baru oleh masyarakat atau individu yang menjadikan
sasaran penyuluhan. Lionberger dan Gwin (1982), mengartikan inovasi bukan
sekedar sesuatu yang baru, namun lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai
baru atau sesuatu yang dapat menolong terjadinya dalam masyarakat lokalitas atau
komunitas tertentu. Lebih luas dijelaskan oleh Mardikanto (2009) bahwa inovasi
adalah susuatu ide, prilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang
belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan atau diterapkan oleh sebagian
besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau
mendorong
terjadinya
perubahan-perubahan
di
segala
aspek
kehidupan
masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh
masyarakat yang bersangkutan.
Van den Ban dan Hawkins (1999) menjelaskan bahwa inovasi merupakan
suatu gagasan, metode, atau obyek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru,
tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Sebagai materi
penyuluhan inovasi teknologi tersebut yang akan disampaikan kepada pelaku
utama dan pelaku usaha harus mendapatkan rekomendasi dari lembaga
pemerintah kecuali inovasi yang berasal dari pengetahuan tradisional (Undangundang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan).
Kaitan dengan teknologi pertanian, Sugarda et al. (2001) menjelaskan
bahwa inovasi adalah teknologi yang dianggap masih baru oleh penggunanya.
Teknologi sendiri diartikan sebagai sebuah rancangan tindakan instrumenal atau
sebagai penolong untuk mengurangi ketidakpastian dalam pengaruh sebab akibat
yang terdapat dalam upaya meraih hasil yang diinginkan. Inovasi teknologi baru
selalu mempunyai dua komponen, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak.
Arintadisastra et al. (2001) mengartikan inovasi sebagai teknologi yang
merupakan tindakan atau langkah pembaharuan dalam pelaksanaan kegiatan yang
terjadi karena adanya teknologi baru baik dalam aspek produksi maupun dalam
pemasaran yang layak diterapkan oleh petani dan telah teruji adaptasinya dengan
kondisi setempat pembangunan pertanian mensyaratkan adanya proses dan
jaringan alih teknologi dari sumber teknologi kepada para petani secara
berkelanjutan.
Karakteristik Inovasi. Untuk dapat memperkirakan sejauh mana inovasi
teknologi dapat dipahami oleh penggunanya, perlu diperhatikan karakteristik
inovasi tersebut. Rogers (1995) menyebutkan lima ciri inovasi yaitu sebagai
berikut:
(1)
Keuntungan relatif. Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan keuntungan
relative sebagai tingkatan suatu ide baru dianggap lebih baik dari ide-ide
atau cara-cara sebelumnya. Apabila memang benar inovasi baru tersebut
akan memberikan keuntungan yang relatif besar dari nilai yang dihasilkan
oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan
lebih cepat.
(2)
Keselarasn Inovasi. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya dan
kepercayaan, dengan inovasi yang diperkenalkan sebelumnya, atau dengan
keperluan yang dirasakan penggunan (Sugarda et al. 2001). Inovasi yang
tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi
secepat dengan yang kompetibel. Kompatibilitas memberikan jaminan lebih
besar dan resikol lebih kecil bagi penerima, membuat ide baru itu lebih
berarti bagi penerima. Suatu inovasi mungkin lebih kompetibel dengan: (a)
nilai-nilai dan kepercayaan sosiokultural, (b) ide-ide diperkenalkan terlebih
dahulu, dan (c) sesuai dengan kebutuhan klien terhadap inovasi.
(3)
Tingkat Kerumitan. Untuk mempelajari dan menggunakan inovasi adalah
tingkat dimana suatu inovasi dianggap sulit untuk dimengerti dan
digunakan. Suatu ide baru mungkin dapat digolongkan kedalam continuum
“rumit-sederhana”.
Inovasi tertentu begitu mudah dapat dipahami oleh
penerima tertentu, sedangkan bagi yang lainnya tidak. Kerumitan inovasi
menurut pengamatan anggota sistem sosial, berpengaruh negatif dengan
kecepatan adopsi. Artinya, makin mudah inovasi teknologi baru tersebut
dapat dipraktekkan, maka maikn cepat pula proses adopsi inovasi dapat
berjalan leboh cepat, jadi penyajian inovasi baru tersebut harus lebih
sederhana (Soekartawi et al. 1986)
(4)
Dapat dicoba. Dapat dicoba adalah suatu tingkat suatu inovasi baru dapat
dicoba dalam skala kecil. Kemudahan inovasi untuk dapat dicoba oleh
pengguna berkaitan dengan keterbatasan sumberdaya yang ada. Inovasi
dapat dicoba sedikit demi sedikit akan lebih cepat dipakai oleh pengguna
dari pada inovasi yang tidak dapat dicoba sedikit demi sedikit (Sugarda et
al. 2001). Apabila inovasi semakin mudah dan dapat dicoba maka proses
adopsi inovasi yang dilakukan petani relatif cepat (Soekartawi et al. 1988).
(5)
Dapat diamati. Dapat diamati yang dimaksud adalah tingkat dimana hasilhasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Hasil-hasil tersebut mudah
dikomunikasi dan dilihat oleh orang lain. Jika inovasi tersebut mudah
dilihat, maka calon-calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani
tahap percobaan, melainkan ketahap berikutnya.
Tahapan Adopsi Inovasi. Studi adopsi mengindikasikan bahwa adopsi
inovasi bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, tetapi merupakan langkah akhir
dalam berbagi tindakan berurutan, yang terdiri atas ide-ide yang bervariasi tentang
jumlah yang pasti, sifat dan urutan langkah yang dilaluinnya Rogers (1995)
menyusun tahapan adospi inovasi kedalam lima tahap, yaitu:
(1) Sadar (awareness), dimana petani menyadari dan mulai mengetahui tentang
adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh
(2) Minat (interest), tahap ini merupakan tahap dimana petani mulai
mengumpulkan informasi-informasi untuk mengetahui lebih banyak tentang
segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan penyuluh
(3) Evaluasi (evaluation), dimana petani melakukan penilaian terhadap
baik/buruk atau bermanfaatnya suatu inovasu yang telah diketahui
informasinya secara lebih lengkap. Pada penilaian ini, petani tidak hanya
melakukan penilaian terhadap aspek teknisnya saja, tetapi juga aspek
ekonomi, maupun aspek sosial budaya, bahkan seringkali juga ditinjau dari
aspek politis atau kesesuaian dengan kebijakan pembangunan nasional dan
regional.
(4) Mencoba (trial), dimana petani mulai mencoba inovasi yang ditawarkan
dalam bentuk skala kecil sebelum menerapkan dalam skala yang lebih luas
lagi.
(5) Menerapkan (adoption), dimana petani menerima atau menerapkan inovasi
dengan penuh keyakinan verdasarkan penilaian dan uji coba yangtelah
dilakukan dan diamatinya sendiri.
Download