II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Lanskap Sejarah Harris dan Dines (1988) menjelaskan bahwa lanskap sejarah merupakan lanskap yang berasal dari masa lampau, yang di dalamnya terdapat bukti fisik tentang keberadaan manusia di dalamnya. Lanskap sejarah (historical landscape) adalah bagian dari lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu didalamnya sebagai bukti fisik dari keberadaan manusia di atas bumi ini (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Goodchild (1990) juga menjelaskan bahwa suatu lanskap dikatakan memiliki daya tarik historis jika di dalamnya memuat satu atau beberapa kondisi lanskap berikut ini : 1. Merupakan contoh yang menarik dari sebuah tipe lanskap sejarah. 2. Memuat bukti yang menarik untuk dipelajari 3. Memiliki keterkaitan dengan seseorang, masyarakat atau peristiwa penting dalam sejarah. 4. Memiliki nilai-nilai penting dalam sejarah terkait dengan bangunan atau monumen sejarahnya. 2.2. Kota tua sebagai Lanskap Sejarah Kawasan kota tua merupakan salah satu contoh lanskap bersejarah karena memiliki kriteria-kriteria sebagai lanskap yang mencirikan karakter dan identitas lanskap pada periode waktu tertentu pada masa lampau. Nilai lanskap sejarah suatu kota tidak dapat terlepas dari nilai sejarah kota itu sendiri. Nilai sejarah suatu kota selain terdapat pada bangunannya, juga pada lingkungan ataupun kawasan yang berhubungan dengan kota tersebut misalnya, wajah jalan, lokasi sejarah, fasade bangunan atau taman-taman sebagai unsur-unsur penting dari bentuk dan sifat kota (Attoe, 1988). Usaha perlindungan terhadap kota bersejarah perlu dilakukan guna menghindari lenyapnya lingkungan kota atau warisan-warisan peninggalan kuno yang memiliki identitas tersendiri yang unik. Warisan budaya ini dapat menggambarkan dan menggabungkan kehidupan masa lampau dengan masa kini 7 sehingga menghasilkan kesinambungan yang mengikat satu generasi dengan generasi berikutnya. 2.3. Pelestarian Lanskap Sejarah Pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau merusak keberadaan atau nilai yang dimilikinya. Menurut Goodchild (1990), lanskap sejarah perlu dilestarikan karena memiliki arti penting, yaitu : 1. Menjadi bagian penting dan bagian integral dari warisan budaya. 2. Menjadi bukti fisik dan arkeologis dari warisan sejarah. 3. memberi kontribusi bagi keberlanjutan pembangunan kehidupan berbudaya. 4. Memberi kenyamanan publik (public amenity). 5. Memberikan nilai ekonomis dan dapat mendukung pariwisata. Tindakan, perlakuan atau treatment kegiatan pelestarian adalah berbagai upaya atau proses penerapan cara-cara untuk mempertahankan, mendukung keutuhan bentuk dan karakter dari suatu kawasan dan elemen-elemen pembentuknya (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Dalam pengelolaan untuk pelestarian lanskap sejarah, terdapat pilihan bentuk tindakan teknis yang dapat dilakukan. Beberapa tindakan yang perlu dilakukan terhadap lanskap bersejarah menurut Harvey dan Buggey (1988) adalah : 1. Preservasi, yaitu mempertahankan tapak sebagaimana adanya tanpa diperkenankan adanya tindakan perbaikan dan perusakan pada obyek. 2. Konservasi, yaitu tindakan pelestarian untuk mencegah kerusakan lebih jauh dengan mengarahkan perkembangan di masa depan untuk menjaga agar lanskap sejarah tidak dihancurkan atau diubah dengan cara yang tidak sesuai. 3. Rehabilitasi, yaitu tindakan untuk memperbaiki lanskap ke arah standar-standar modern dengan tetap menghargai dan mempertahankan karakter-karakter sejarah. 4. Restorasi, yaitu meletakkan kembali sekuat mungkin apa yang semula ada pada tapak. 8 5. Rekonstruksi, yaitu menciptakan kembali apa yang dulunya ada di tapak tetapi sudah tidak ada lagi. 6. Meletakkan apa yang sesuai pada suatu periode, skala, penggunaan dan seterusnya. Selain tindakan-tindakan di atas terdapat beberapa upaya pelestarian lain yang perlu diarahkan pada lanskap bersejarah seperti adaptive use (penggunaan adaptif) adalah upaya mempertahankan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasikan berbagai penggunaan, kebutuhan dan kondisi masa kini. Pendekatan ini akan memperkuat arti sejarah dan mempertahankan warisanwarisan sejarah yang masih ada pada lanskap dan mengintegrasikannya dengan kepentingan-kepentingan, penggunaan dan kondisi sekarang (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Revitalisasi juga merupakan salah satu upaya pelestarian lanskap bersejarah sebagai upaya mengangkat kembali fungsi awal dari suatu kawasan dengan memberikan fungsi lain sesuai kebutuhan saat ini. Merevitalisasi suatu kawasan tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan fisik semata. Upaya revitalisasi harus didasari dengan pertimbangan, bahwa di dalam area pelestarian yang di dalamnya terdapat kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya, perlu dikembangkan dan ditingkatkan secara selektif. Pada Burra Charter (1991) disebutkan, bahwa revitalisasi adalah sebuah upaya konservasi dengan cara memperbaharui suatu tempat dengan fungsi yang sama atau dengan fungsi yang lebih sesuai, agar dapat dipergunakan. Fungsi yang lebih sesuai diartikan sebagai fungsi dengan memiliki dampak yang minimal. Fitch (1990) menambahkan beberapa tindakan intervensi terhadap bangunan bersejarah yaitu : 1. Replikasi, yaitu membuat konstruksi melalui cara peniruan terhadap bangunan aslinya. 2. Facadism, yaitu mempertahankan hanya pada fasad bangunan walaupun di belakangnya merupakan bangunan baru. 3. Konversi (adaptive reuse). yaitu mengadaptasi bangunan lama dengan penggunaan baru. 9 4. Demolisi, yaitu pembongkaran atau penggantian fungsi lama dengan fungsi baru. Pelestarian lanskap sejarah sudah banyak dilakukan oleh negara-negara lain, seperti yang dilakukan di kawasan pemugaran Malaka, Malaysia. Revitalisasi dilakukan dengan pelestarian bangunan bersejarah sebagai tengaran dengan skala lingkungan yang nyaman dan suasana yang festive, Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tertata dengan baik, sebagai atraksi bagi wisatawan dan lingkungan hunian lama yang terjaga proporsi dan skalanya (Gambar 2). Gambar 2. Kawasan Pemugaran Malaka, Malaysia (Sumber: Dinas Tata Kota, 2007) Begitupula dengan kawasan budaya Bilbao, Spanyol, melalui revitalisasi kawasan sepanjang sungai dengan arsitektur sebagai ikon kota dan kawasan di tepi sungai Liffey, Dublin, Irlandia melalui upaya revitalisasi dengan meningkatkan kegiatan komersial pada bangunan lama dan menciptakan pedestrian-friendly, serta melakukan adaptasi fungsi bangunan tua dengan fungsi baru (Gambar 3). Revitalisasi ekonomi juga dilakukan pada kawasan pelestarian dengan memasukan kegiatan yang dapat men-generate melalui kegiatan tax incentive (Gambar 4). 10 (a) Bilbao, Spanyol (b) Kawasan Tepi Sungai Liffey, Irlandia Gambar 3. Contoh Kawasan Pelestarian Budaya (Sumber: Dinas Tata Kota, 2007) Gambar 4. Kawasan Pelestarian dengan Penerapan Heritage Tax Incentive (Sumber: Dinas Tata Kota, 2007) 2.4. Kualitas dan Signifikansi Laskap Sejarah Tingkat kualitas dari sebuah lanskap sejarah ditentukan oleh lima hal (Attoe, 1988) yaitu : 11 1. Being First, yaitu kualitas yang dihasilkan dari keberadaannya sebagai yang pertama. 2. Being historically noteworthy, yaitu kualitas yang dihasilkan dari keterkaitannya dengan orang atau even penting bersejarah. 3. Being exemplary, yaitu kualitas yang dihasilkan dari tingkat representasi terhadap ism/gaya/aliran tertentu. 4. Being typical, yaitu kualitas yang mewakili bentuk tradisi tertentu. 5. Being rare, yaitu kualitas yang didapatkan dari tingkat kelangkaan. Menurut Burra Charter Australia (1981), cultural significance adalah sebuah konsep untuk membantu dalam mengestimasi nilai suatu tempat atau ruang yang memiliki signifikansi untuk dapat memahami masa lampau untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang. Terdapat banyak penilaian yang dapat digunakan dalam cultural significance Burra Charter Australia, seperti aesthetic (estetika), historic (kesejarahan), scientific (keilmuan) dan social (sosial) serta penilaian lain dapat digunakan sesuai dengan konteks permasalahan pada ruang tersebut. Adapun penjelasan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut : a. Historic Value, sebagai nilai yang berasal dari kerangka, kejadian dan aktivitas sejarah yang mempengaruhi sebuah ruang. b. Aesthetics Value, sebagai nilai yang berasal dari persepsi yang diterima dengan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria tersebut dapat berupa bentuk, skala dan proporsi, warna tekstur dan sebagainya. c. Scientific Value, nilai yang berasal dari ketersediaan dan tingkat representasi serta kontribusi informasi. d. Social Value mencakup kualitas suatu tempat terhadap lingkungan sekitar. Pengaruh tersebut dapat berupa spiritual, politik dan kultural. e. Pendekatan lain sebagai penilaian tambahan yang dapat digunakan untuk memahami cultural significance dari suatu kawasan. 2.5. Pengertian dan Fungsi Ruang Terbuka Publik Menurut Garnham (1985) ruang terbuka publik merupakan ruang terbuka yang dapat diakses secara bebas dan spontan oleh publik baik secara visual maupun fisik. Kemudian Hakim (2002) menyatakan bahwa ruang terbuka publik 12 dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh semua orang dan didalamnya mengandung unsur-unsur kegiatan manusia, seperti bermain, berjalan-jalan, olahraga dan sebagainya. Namun tidak termasuk ruang untuk kepentingan khusus seperti taman rumah/kantor lapangan upacara, lapangan terbang dan sebagainya. Menurut Hakim (2002), ruang terbuka yang bersifat publik memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Terletak di luar massa bangunan 2. Dapat dimanfaatkan oleh setiap orang 3. Memberi kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan seperti berjalan kaki, bermain, olahraga, duduk dan sebagainya. 4. Tidak untuk kepentingan khusus seperti taman rumah/kantor lapangan upacara, lapangan terbang dan sebagainya. 5. Bukan yang hanya untuk keindahan dan ekologis belaka Menurut Carr (1992) kriteria ruang publik secara esensial ada tiga yakni : 1. Dapat memberi makna atau arti bagi masyarakat setempat secara individual maupun kelompok (meaningful). 2. Tanggap terhadap semua keinginan pengguna dan dapat mengakomodir kegiatan yang ada pada ruang publik tersebut (responsive). 3. Dapat menerima kehadiran berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa ada diskriminasi (democratic) walaupun kebebasan tersebut perlu pengendalian fungsi-fungsi ruang, sirkulasi lalu lintas dan parkir kendaraan bermotor, penempatan pedagang kaki lima dan sebagainya. Dharmawan (2005) mendefinisikan ruang publik dari sudut pandang perkotaan sebagai kawasan yang dapat menciptakan karakter kota, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya. Fungsi ruang publik dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat, baik formal (seperti upacara bendera, sholat Ied, dan peringatan peringatan yang lain) maupun informal (seperti pertemuan individual, pertemuan kelompok masyarakat dalam acara santai dan rekreatif atau politis. 13 2. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor jalan yang menuju ke arah ruang publik tersebut dan sebagai ruang pengikat dilihat dari struktur kota, sekaligus sebagai pembagi ruang-ruang fungsi bangunan di sekitarnya serta ruang untuk transit bagi masyarakat yang akan pindah ke arah tujuan lain. 3. Sebagai tempat kegiatan pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman, pakaian, souvenir, dan jasa entertainment seperti tukang sulap, tarian kera dan ular, dan sebagainya terutama di malam hari. 4. Sebagai paru paru kota yang semakin padat, sehingga masyarakat banyak yang memanfaatkan sebagai tempat olah raga, bermain dan santai bersama keluarga. Ruang publik yang menarik akan selalu dikunjungi oleh masyarakat luas dengan berbagai tingkat kehidupan sosial-ekonomi-etnik, tingkat pendidikan, perbedaan umur dan motivasi atau tingkat kepentingan yang berlainan. Berdasarkan Project for Public Space (2001) dijelaskan bahwa keberhasilan dari ruang publik ditentukan oleh 4 hal yaitu : 1) kenyamanan dan image; 2) akses dan linkage; 3) fungsi ekonomi; 4) fungsi sosial. Montgomery (1998) menambahkan beberapa indikator yang menentukan tingkat vitalitas pada ruang terbuka publik seperti proporsi kepemilikan masyarakat lokal, pola waktu aktivitas, kehadiran street markets, keberadaan aktivitas sosial dan sebagainya. Jacobs (1993) menambahkan bahwa pertimbangan atas penilaian ruang terbuka (streets atau squares) ditentukan atas skala, proporsi, ritme dan hubungannya dengan ruang terbuka lain. 2.6. Elemen Ruang Terbuka Publik Menurut Carmona et al. (2003) terdapat dua elemen ruang terbuka yaitu elemen lantai (ground) dan elemen bidang vertikal (wall). Elemen lantai dapat dilihat dari bentuk geometri, proporsinya dengan ketinggian bidang vertikal dan tekstur yang terdiri dari perkerasan (hardscape) dan bervegetasi (softscape). Elemen bidang vertikal di perkotaan biasanya berupa building facade yang dapat dilihat dari dinding, atap dan kolom. Sedangkan berdasarkan material pembentuknya, ruang terbuka terdiri dari elemen hard landscaping dan soft landscaping. Hard landscaping merupakan lanskap yang menggunakan elemen dengan material berupa perkerasan 14 (hardscape) pada ruang terbuka, seperti lantai dari batu, dinding bangunan dan street furniture (bangku, telephone box, lighting dan sebagainya). Sedangkan soft landscaping merupakan lanskap yang menggunakan elemen vegetasi sebagai meterialnya, seperti rumput dan pohon. Keberadaan vegetasi pada lanskap perkotaan selain dapat berfungsi secara ekologis, juga dapat memberikan perasaan tersendiri seperti membentuk skala dan kontinuitas pada sebuah ruang. Menurut Robinson (1992), penempatan pohon atau vegetasi lainnya harus ditempatkan secara tepat dan memberikan efek yang tepat. Penempatan vegetasi pada jalan lurus (straight line), ruang formal dan informal harus diterapkan dengan strategi yang berbeda. Dalam English Heritage (2000) dipaparkan bahwa penempatan elemen softscape pada perkotaan tidak selalu cocok. Pemilihan dan penempatan vegetasi harus dipertimbangkan efeknya terhadap kota dan disesuaikan dengan karakter kawasan (Gambar 5). Gambar 5. Strategi penempatan pohon pada jalan (street trees) (Sumber: English Heritage, 2000) 15 Oleh karena itu terdapat beberapa strategi dalam pemilihan dan penempatan elemen tersebut, yaitu : 1. Penampilan vegetasi harus sesuai dengan konteks sejarah atau konteks lokal 2. Mempertimbangkan kesesuaian material dengan penampilan 3. Memperhatikan tingkat kesehatan dan kekuatannya dalam jangka waktu yang lama 4. Mempertimbangkan kebersihan akibat sampah daun yang terkumpul, getah atau perusakan. 5. Memberikan perhatian kepada pejalan kaki, misalnya sebagai gerbang atau pengarah 6. Memberikan keamanan dan kenyamanan berlalu lintas, tidak menghalangi pejalan kaki menyeberang. 7. Memberikan keamanan dan kenyamanan, serta perhatian bagi penyandang cacat. Menurut Booth (1990), secara umum ada 7 bentuk pohon yakni fastigate (ramping dan meruncing), columnar (lonjong), spreading (melebar), rounded (bulat), pyramidal (piramid), weeping (merunduk) dan picturesque (seperti lukisan). Sedangkan kriteria yang harus dipenuhi dalam pemilihan pohon tepi jalan adalah sebagai berikut : 1. Memberikan keteduhan 2. Sistem percabangan tidak ekstensif, agar tidak mengganggu instalasi jalan. 3. Sistem perakaran cukup menembus ke dalam Pohon yang memenuhi kriteria peneduh biasanya adalah yang memiliki bentuk spreading (melebar). Pohon yang memiliki percabangan ekstensif adalah ki hujan atau trembesi (Samanea Saman), flamboyan (delonix regia), beringin (Ficus benjamina). Sedangkan pohon yang memenuhi kriteria naungan cukup dengan percabangan yang tidak ekstensif adalah tanjung (Mimussops elengi), bungur (Lagerstroemia losreginae), mahoni (Swietenia mahogani), kere payung (Filicium decipiens). 16 2.7. Tipologi Ruang Terbuka Publik Menurut Carmona et al. (2003) ruang terbuka publik (public open space) terdiri dari dua tipe yaitu ‘street’ dan ‘square’. Pada prinsipnya ‘streets ‘merupakan ruang yang dinamis dan penuh pergerakan, sedangkan ‘squares’ merupakan ruang statis dengan sedikit pergerakan. Pengertiannya secara rinci akan dijelaskan di bawah ini : 1. Streets adalah ruang tiga dimensi yang dibatasi/dilingkupi oleh bangunanbangunan disepanjang/disampingnya yang didalamnya dapat berisi jalan (road) ataupun tidak. Bentuk street dapat dianalisis berdasarkan kualitas polarnya, sebagai kombinasi yang memberikan keberagaman yang kuat, seperti visual yang dinamis (visually dynamic) atau visual yang statis (visually static); tertutup (enclosed) atau terbuka (open); panjang (long) atau pendek (short); lebar (wide) atau sempit (narrow); lurus (straight) (lurus) atau lengkung (curved); formal (formallity) or informal (informality). Karakter street ditentukan oleh elemen-elemen yang terdiri dari lantai (floorscape) dan atap (skyline). Menurut Jacobs (1993), streets yang memiliki karakter fisik yang kuat adalah yang memiliki volume dengan bentuk yang positif dan memberikan perasaan yang kuat. Kontinuitas dari dinding bangunan (continuity of the street wall) dan rasio antara lebar dengan ketinggian juga menentukan perasaan terhadap ruang terbuka (sense of enclosure). Ruang yang memiliki rasio antara lebar dengan tingginya adalah 4:1 atau lebih, maka akan memberikan perasaan terhadap ruang (sense of enclosure) yang lemah, rasio 2:1 sampai 2,5:1 memberikan perasaan terhadap ruang (sense of enclosure) yang baik, sedangkan 1:1 adalah rasio optimum kenyamanan yang dapat dirasakan pada sebuah street (Gambar 6). W H W/H>1,5 W/H>1-1,5 W/H<1 Keterangan : W/H = width to height Gambar 6. Rasio Lebar-Tinggi pada Street 17 2. Squares adalah ruang yang dibatasi oleh bangunan-bangunan di sekelilingnya. Menurut Zuckers (1959) terdapat lima tipe square yaitu : a. Closed square, ruang yang dibatasi hanya oleh jalan di sekelilingnya. b. Dominated square, ruang yang dibentuk, diarahkan dan didominasi oleh sebuah bangunan atau beberapa bangunan di sekelilingnya. c. Nuclear square, ruang yang terbentuk di pusat. d. Grouphed square, ruang terbuka yang terbentuk dari integrasi beberapa ruang terbuka. e. Amorphous square, ruang terbuka yang tidak memiliki bentuk tertentu/ tidak beraturan. Menurut Collins and Collins (1965) terdapat beberapa prinsip artistik yang menentukan kualitas visual dan estetika pada public square yaitu 1) enclosure sebagai sebuah perasaan yang muncul pada ruang dengan batas di sekelilingnya, 2) freestading sclupture mass sebagai sebuah prinsip estetika bangunan yang tercermin melalui fasadenya, 2) shape yang didefinisikan melalui proporsi antara kedalaman dan lebarnya, 4) monument sebagai pusat atau fokus dari ruang terbuka. Menurut Carmona et al. (2003) streets dan squares memiliki karakteristik yang terdiri dari formal dan informal. Karakter formal memiliki sense of enclosure yang kuat. Karakter tersebut dicerminkan dari desain lantai dan street furniture yang tertib dengan pola yang simetris. Karakter informal terasa lebih rileks dengan variasi arsitektur yang lebih bebas dan beragam serta memiliki pola yang asimetris. Menurut Kostof (1992) berdasarkan bentuknya, ruang terbuka terdiri dari dua jenis, yaitu : 1) ruang terbuka memanjang (linier) misal : ruang terbuka jalan dan sungai, 2) ruang terbuka membulat (square, circle, oval, triangle, organic). Dharmawan (2005) berpendapat bahwa tipologi ruang publik dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan bentuk variasi dan karakternya sejalan dengan kebutuhan manusia, yaitu: 1. Taman Umum (Public Park) Ruang terbuka yang termasuk taman ini adalah taman dengan skala nasional yang biasanya sebagai landmark tingkat nasional kota seperti Monumen Nasional (Monas). Selain itu juga berupa taman pusat kota (downtown parks) 18 yang berada di kawasan pusat kota, berbentuk lapangan hijau yang dikelilingi pohon-pohon peneduh atau berupa hutan kota dengan pola tradisional atau dapat pula dengan menggunakan desain pengembangan baru (Gambar 7). (a) Monumen Nasional, Jakarta (b) Gwacheon Central Park, Korea Gambar 7. Contoh Tipe Taman Umum (Sumber : Dharmawan, 2005) Taman Lingkungan (neighborhood park) juga merupakan ruang terbuka untuk kegiatan umum yang dikembangkan di lingkungan perumahan seperti bermain anak-anak, olah raga dan bersantai bagi masyarakat di sekitarnya. Taman kecil (mini park) merupakan taman berukuran kecil yang dikelilingi oleh bangunan, termasuk air mancur yang digunakan untuk mendukung suasana taman tersebut, seperti taman-taman di pojok-pojok lingkungan/setback bangunan (Gambar 8). (a) Guangjangdong Hyundai Parkvill, Korea (b) Yongin Suji LG Village, Korea Gambar 8. Contoh Tipe Taman Lingkungan (Sumber : Dharmawan, 2005) 19 2. Lapangan dan Plasa (Squares and Plaza) Lapangan Pusat Kota (Central square) ini merupakan bagian pengembangan sejarah yang berlokasi di pusat kota dan sering digunakan untuk kegiatan kegiatan formal seperti upacara peringatan hari nasional. Sedangkan plasa pengikat (Corporate Plaza) berfungsi sebagai pengikat dari bangunanbangunan komersial atau perkantoran, berlokasi di pusat kota dan pengelolaannya dilakukan oleh pemilik kantor (Gambar 9). (a) Simpang Lima, Semarang (b) Hua Wei Technologies Training Centre, Korea Gambar 9. Contoh Lapangan dan Plaza (Sumber: Dharmawan, 2005) 3 . Ruang Peringatan (Memorial) Ruang ini merupakan ruang publik yang digunakan untuk memperingati memori kejadian penting bagi umat man usia atau masyarakat di tingkat lokal atau nasional. 4. Pasar (Markets) Pasar adalah ruang terbuka atau ruas jalan yang digunakan untuk pasar yang biasanya bersifat temporer dan berlokasi di rumah yang tersedia, seperti jalan, plasa atau lapangan parkir. 5. Jalan (Streets) Bagian-bagian dari jalan terdiri dari : b. Pedestrian sisi jalan (pedestrian sidewalk) c. Suatu jalan yang ditutup bagi kendaraan bermotor, dan diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki. d. Mal transit (transit mall). 20 e. Jalur lambat (traffic restricted streets). f. Jalan yang digunakan sebagai ruang terbuka dan diolah dengan desain pedestrian agar lalu lintas kendaraan terpaksa berjalan lamban. g. Ruang komunitas (community open space) sebagai ruang-ruang kosong di lingkungan perumahan yang didesain dan dikembangkan serta dikelola sendiri oleh masyarakat setempat. 2.8. Perkembangan Ruang Terbuka Publik Pusat Kota Menurut Kostof (1992) keberadaan ruang terbuka publik adalah saksi dari perubahan kebutuhan manusia dari waktu ke waktu untuk menemukan kembali fakta fisik suatu komunitas di pusat kota. Menurut Kostof (1992) perkembangan ruang terbuka publik di pusat kota pada beberapa tempat di dunia dari masa ke masa dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, lingkungan, serta teknologi sebagaimana diuraikan sebagai berikut : 2.8.1. Periode Abad Pertengahan (476 SM -1350) a. Kristen di Eropa Sejalan dengan kepentingan agama dan pertahanan, ruang terbuka terbentuk karena kebutuhan akan urban void dimana jalan-jalan kota yang berliku dan sempit bermuara, bertujuan untuk tempat persiapan ibadah di gereja (parvis) atau melakukan kegiatan massal, sekaligus tempat mengepung musuh yang masuk ke kota. Ruang terbuka publik di pusat kota, biasanya dekat dengan dengan gereja atau katedral, balai kota, dan sumur publik; mempunyai konfigurasi tidak menentu; sering tidak ada jalan yang melintasi secara lurus; tempat penduduk berkumpul; kebanyakan menyatu dengan harmoni sebagai elemen estetis kota. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan masyarakat biasanya adalah aktifitas perdagangan, berjalan-jalan, bertemu teman, berbincang-bincang, duduk-duduk atau mengambil air di air mancur. Setiap tahun pada musim panas, untuk menghormati Bunda Maria diselenggarakan festival Palio berupa parade, pacuan kuda dan pertarungan kerbau. Kegiatan ini merupakan bentuk aktivitas budaya yang didasari oleh kebutuhan spiritual masyarakat yang banyak dijumpai pada setiap ruang terbuka publik di pusat kota. 21 b. Islam dari Timur Tengah Hingga Spanyol Dalam banyak kasus, ruang terbuka kota untuk publik adalah courtyard mesjid (Kostof, 1992). Musholla adalah ruang terbuka luas yang ada di dekat mesjid yang digunakan penduduk muslim untuk berdo'a. Courtyard mulai ada di Madinah sejak Nabi Muhammad mengajarkan untuk melakukan sholat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan terbuka. Musholla juga berfungsi sebagai tempat eksekusi sehingga dapat dilihat oleh seluruh penduduk sebagai peringatan bagi yang bersalah, dan sering dijadikan tempat mengadakan pasar. "Di Musholla terdapat suatu tembok yang lurus dan panjang yang berorietasi ke Mekkah sebagai tanda kiblat" (Kostof 1992). 2.8.2. Periode Abad Renaisan (abad XIV-XVII) a. Itali Kembalinya orde klasik dimana terdapat bentuk persegi atau trapezoid, simetris bilateral dan motif arsitektur klasik menghiasi pinggir ruang terbuka serta penggunaan paras menuju ruang terbuka publik. Proporsi ruang terbuka ditujukan untuk melihat bangunan publik dari jarak jauh. Ruang terbuka publik dihiasi oleh detail yang kaya dan berbagai pertunjukan seni, seperti air mancur, patung-patung, tugu-tugu, tangga-tangga, dan perkerasan. Bentuk-bentuk renaisan juga di terapkan dalam ruang terbuka yang telah ada sejak zaman medieval. Ekspresi kebutuhan masyarakat di ruang terbuka publik di zaman medieval tetap muncul di zaman renaisan yang tercermin pada fungsi ruang terbuka publik yang digunakan untuk halaman gereja, halaman balai kota, pasar, tempat berkumpul publik atau tempat melakukan ibadah massal. Aktivitas publik yang dilakukan diruang terbuka publik berupa kegiatan berjalan-jalan, melihat-lihat, duduk-duduk, berbincang-bincang, istirahat, menyambah dewa, makan, minum, memberi makan merpati dan lain-lain. Pertandingan kerbau diselenggarakan untuk menghormati tamu agung pada akhir tahun 1780-an, kemudian piazza tetap digunakan menjadi panggung bagi acaraacara gereja. b. Perancis Ruang terbuka publik bermula dari keputusan raja untuk membuat suatu ruang terbuka yang diperuntukkan bagi perumahan mewah para bangsawan. 22 Kebanyakan dari ruang terbuka tersebut berbentuk persegi, dimana pada acara perayaan hari besar dapat menampung puluhan ribu orang. Terbentuknya ruang terbuka publik di tengah tempat tinggal di Perancis ini merupakan preseden penting bagi pembentukan ruang terbuka sejenis di Eropa. Sejalan dengan perkembangan demokrasi di tengah masyarakat saat Revolusi Perancis, ruang terbuka publik di pusat kota menjadi bernilai politik dengan adanya demonstrasi dan pergerakan rakyat yang bertempat di ruang terbuka publik di pusat kota. c. Inggris Untuk memenuhi kebutuhan rumah dan taman dengan gaya aristokrat maka dibentuklah kompleks rumah deret dengan fasade yang mewah yang mengelilingi suatu ruang terbuka publik. Kembalinya keluarga raja dari Perancis sekaligus membawa gaya taman formal Perancis pada ruang terbuka publiknya, yaitu bentuk persegi dengan poros sebagai penghubung antar ruang. f. Belanda Lanskap Belanda sebagian besar adalah dataran rendah yang berada di pesisir pantai. Iklim dan kondisi tanahnya baik untuk pertanian dan daerah pesisirnya merupakan potensi maritim yang besar. Kemudian Betanda berkembang menjadi negeri maritim yang kuat dengan kota-kota di tepi taut dengan suatu sistem kanal yang menggunakan teknologi baru pada masa itu untuk memecahkan masalah sempitnya lahan. Sebagian besar rakyatnya hidup dari pertanian, peternakan dan perdagangan melalui laut. Kekuatan maritim menjadikannya salah satu negara kolonial. Pada tahun 1609 negeri Belanda membebaskan diri dari Spanyol dengan tetap mempertahankan sistem monarki. 2.8.3. Periode Eropa Modern (1700-1837) Di Inggris telah terjadi perubahan pada konsep ruang terbuka yang tadinya terpengaruh taman formal Perancis menjadi taman informal yang menyerupai pemadangan alam yang alami. Ruang terbuka publik di pusat kota yang tadinya berupa perkerasan dan patung di tanami pohon-pohon agar tampak lebih alami pada tahun 1800-an. Peran utama square bukan hanya sebagai tempat aktivitas publik, upacara rakyat, pasar, atau tempat parade, tapi sebagai tempat sirkulasi publik dan 23 berkumpul. Square juga sebagai tempat untuk jalan-jalan berkeliling dan mengagumi, terbuka untuk semua orang, tidak eksklusif dan menjadi tempat untuk memperhatikan tingkah-polah orang lain sebagai simulasi dari rasa kebersamaan bermasyarakat. Hal ini lah yang menjadi alasan dibangunnya Travalgar Square sebagai simbol dari kota, negara dan imperium. 2.8.4. Periode Dunia Baru di Amerika (1600-1993) a. Meksiko Ruang terbuka publik di pusat kota telah menjadi ekspresi kebutuhan rakyat asli Meksiko sebagai tempat berkumpul dan melakukan upacara. Ruang terbuka publik di pusat kota di Meksiko yang disebut zacalo telah menjadi panggung keseharian masyarakat dan berbagai peristiwa penting. Zacalo merupakan tempat dimana budaya asli masyarakat Amerika Latin masih terpelihara dengan baik. Salah satu budaya tersebut adalah kegiatan paseo, yaitu berjalan-jalan pada sore hari di ruang terbuka publik, dimana bangku-bangku taman dipenuhi masyarakat dan tari-tarian dimulai oleh remaja putra dan putri yang saling berpengangan tangan. Sepanjang hari zacalo selalu ramai dengan aktivitas masyarakat, anak-anak bermain, pemusik lokal mengadakan pertunjukan, pedagang menawarkan jasa dan barang dagangan hingga peristiwa penting seperti narapidana dihukum gantung (pada zaman kolonial Spanyol) dan perayaan hari kemerdekaan. b. Amerika Serikat Pada periode kolonial (1620-1791) ruang terbuka publik di pusat kota merupakan ruang bersama, digunakan untuk latihan tentara, tempat mengembala sapi, atau pertahanan terakhir jika kota diserang. Didekat ruang terbuka tersebut terdapat gereja, sekolah, tempat pertemuan, dan pasar. Pada masa tersebut ruang terbuka publik terbentuk berdasarkan struktur kota yang terencana dengan pemusatan fasilitas publik, pasar, gereja, sekolah dan tempat pertemuan. Salah satu dari lima square yang paling terkenal adalah Monterey square yang berada di Bull Street berada pada sumbu menuju State House. Terjadi perubahan bentuk ruang terbuka publik yang tadinya formal dan 24 simetris menjadi bentuk informal yang lebih "alami". Ruang terbuka yang terbentuk pada masa ini antara lain adalah Central Park, New York tahun 1858. 2.8.5. Periode abad ke dua puluh di Amerika Serikat Perkembangan teknologi dan gaya hidup telah banyak mempengaruhi kebutuhan masyarakat pada ruang terbuka publik di pusat kota. Orang tidak lagi pergi ke ruang terbuka publik untuk berbelanja membeli makanan, mengambil air di air mancur umum, mendengar berita atau pengumuman. Masyarakat bersosialisasi di rumah pribadinya dimana segala kebutuhannya dari mulai air, listrik, berita, surat, iklan, TV, dan internet tersedia. Masalah ruang terbuka di pusat kota yang tidak ramah terhadap pejalan kaki menjadi perhatian pada akhir tahun 50-an hingga awal 60-an. Pada tahun 1961 pemerintah kota New York mengeluarkan peraturan yang memberikan bonus penambahan jumlah lantai bagi gedung yang menyediakan ruang terbuka publik di lantai dasarnya. Peraturan ini membuat pengembang beriomba-lomba membuat ruang terbuka publik di gedungnya dengan berbagai desain yang monumental. Tetapi kebanyakan dari ruang terbuka publik tersebut tidak dipakai oleh publik untuk melakukan aktivitas selain hanya melintas saja. Hal ini disebabkan rancangan ruang terbuka publik tersebut mengabaikan kepentingan kebutuhan masyarakat. Seperti yang terjadi pada City Hall Plaza di Boston (19621969) yang dirancang mengikuti Piazza del Campo di Sienna tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka publik di pusat kota, karena lebih mementingkan fisik arsitektur daripada kenyamanan kebutuhan masyarakat.