Kecil, Kemungkinan Pelarian Dana Inflasi Tinggi Sudah Dimaklumi Investor Kamis, 5 Juni 2008 | 01:13 WIB Jakarta, Kompas - Imbal hasil aset dalam denominasi rupiah di Indonesia dianggap paling menarik di kawasan regional Asia. Oleh karena itu, kecil kemungkinan terjadinya pelarian dana besar-besaran secara mendadak dari Indonesia. Sementara itu, kurs rupiah tertekan lebih karena faktor inflasi. Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A Sarwono, Rabu (4/6) di Jakarta, menjelaskan, kurs rupiah tertekan karena terjadi penguatan dollar AS terhadap hampir semua mata uang. Jadi, pelemahan rupiah bukan dipicu oleh faktor fundamental perekonomian Indonesia. Menurut Hartadi, inflasi yang tinggi di Indonesia umumnya sudah dimaklumi investor sebagai dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak. ”Adapun ekspektasi inflasi akan menurun kembali. Prospek pertumbuhan ekonomi juga masih baik sehingga aset rupiah tetap menarik,” ujar Hartadi. Kurs rupiah terus tertekan dalam pekan ini. Dalam perdagangan kemarin, kurs tengah BI ditutup Rp 9.316 per dollar AS, melemah dibandingkan dengan sehari sebelumnya Rp 9.313 per dollar AS. Pengamat moneter Iman Sugema menjelaskan, level BI Rate sebesar 8,25 persen saat ini sudah tergolong tinggi dan tetap menarik bagi investor. ”Suku bunga riil antara BI Rate dan inflasi di Indonesia memang negatif. Namun, semua negara juga mengalami hal sama, bahkan dengan tingkat negatif yang lebih tinggi, termasuk AS,” katanya. Gertakan pasar Kalaupun ada pelarian dana sehingga memperlemah nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir, itu sifatnya hanya sementara dan bukan dalam skala besar. ”Pelemahan rupiah belakangan ini hanya gertakan dari pasar agar BI menaikkan BI Rate,” kata Iman. Berdasarkan laporan BI, selisih suku bunga dalam negeri dan luar negeri (uncovered interest rate parity) mencapai 5,17 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan negara regional lain. Indikator ketertarikan SUN (yield spread obligasi Pemerintah Indonesia dan US T-Note) bahkan meningkat dari 6,59 persen pada Maret 2008 menjadi 9,14 persen pada akhir April 2008. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasil negara-negara kawasan regional yang berkisar minus 1,23 persen sampai 4,86 persen. Sementara itu, pengamat pasar keuangan dan valuta asing, Farial Anwar, mengatakan, ”Inflasi yang tinggi akan menggerus aset-aset rupiah. Jika selisih negatif antara BI Rate dan inflasi semakin lebar, aset rupiah menjadi semakin tidak menarik.” Karena itu, kata Farial, BI Rate sebaiknya dinaikkan untuk memperkecil gap negatif dengan inflasi sekaligus menjaga investor tetap memegang aset rupiah. Namun, Farial mengakui, kenaikan BI Rate merupakan dilema bagi bank sentral karena akan memicu kenaikan suku bunga kredit dan menambah beban pembayaran bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Posisi SBI per 4 Juni 2008 sebesar Rp 182,4 triliun dengan porsi asing Rp 17,5 triliun. Adapun posisi SUN sebesar Rp 508,8 triliun dengan porsi asing Rp 91,67 triliun. (FAJ)