1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tingkat produksi susu nasional yang masih rendah, tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional, sehingga menjadi tantangan bagi usaha ternak sapi perah untuk melakukan pengembangan produksi. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan usaha ternak sapi perah karena produksi susu pada provinsi ini mencapai 34.81% dari produksi susu nasional. Pada tahun 2010 populasi sapi perah di Provinsi Jawa Barat sebanyak 117 060 ekor dan populasi ternak sapi perah terbesar di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Bandung Barat khususnya wilayah Kecamatan Lembang. Pada tahun 2010, populasi sapi perah di Kabupaten Bandung Barat sebanyak 31 816 ekor (Ditjennak 2010). Daerah ini memiliki rataan produksi susu terbesar di Jawa Barat sehingga mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Kecamatan Lembang terletak pada ketinggian 1 200 hingga 1 257 meter di atas permukaan laut dan memiliki suhu yang berkisar antara 15.6 sampai 16.8 oC pada musim hujan dan 30.5 sampai 32.7 oC pada musim kemarau (rataan suhu mencapai 15 sampai 18 oC) (Marliani 2008). Rata-rata produksi susu di Lembang 10 sampai 15 liter/ekor/hari dan masih di atas rata-rata produksi susu di Indonesia yang hanya 8 sampai 12 liter/ekor/hari. Ketergantungan terhadap pakan tambahan berupa konsentrat juga menjadi sangat tinggi guna mempertahankan produksi susu. Hal ini disebabkan kebutuhan nutrisi sapi perah yang sedang produksi belum dapat dipenuhi dari pakan hijauan. Kualitas konsentrat yang baik (mengandung protein kasar 18 sampai 19%) umumnya menggunakan bahan baku impor sebagai sumber protein seperti bungkil kedele, pollard dan lain-lain. Hal ini menyebabkan harga konsentrat menjadi tinggi, sedangkan harga susu masih relatif rendah, dan akan berpengaruh terhadap keuntungan peternak. Guna mendapatkan keuntungan dari usaha sapi perahnya, mayoritas peternak lebih memilih membeli konsentrat yang harganya dapat terjangkau atau lebih murah tetapi mempunyai kualitas yang kurang baik. Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap produksi susu, sehingga diperlukan alternatif untuk mengganti pakan konsentrat dengan yang murah dan selalu tersedia, tanpa mempengaruhi produksi susu bahkan dapat meningkatkan produksi susu. Menurut Sukira dan Krisnan (2009), sumber bahan baku pakan lokal berbasis pertanian dan agroindustri di Indonesia sangat melimpah, namun ketersediaan bahan pakan tersebut sebagai makanan ternak masih belum termanfaatkan secara baik dan optimal. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menekan biaya pakan dan penggunaan bahan pakan alternatif yang berasal dari limbah industri yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, diharaokan dapat menekan biaya pakan. Perumusan Masalah Salah satu limbah yang sangat potensial untuk digunakan adalah limbah dari pengolahan minyak sawit berupa bungkil inti sawit (BIS). Bungkil inti sawit 2 berpotensi sebagai bahan pakan alternatif sumber protein dan energi, namun penggunaannya masih terbatas karena belum banyak penelitian tentang penggunaan BIS pada sapi perah. Bungkil inti sawit adalah hasil sampingan dari industri minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak. Menurut Sinurat et al. (2004), BIS merupakan bahan pakan yang mengandung protein yang cukup tinggi yaitu ada pada kisaran 14.6 sampai 19.0%. Bahan lain sebagai sumber protein dan energi adalah distillers dried grains with solubles (DDGS), namun bahan ini masih perlu diimpor dari negara produsen DDGS. Walaupun kandungan proteinnya masih lebih rendah dibandingkan bungkil kedele, tetapi harganya relatif lebih murah, sehingga masih memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai pengganti bungkil kedele. Distillers dried grains with solubles adalah produk samping utama dari pengolahan etanol dan memiliki protein dan energi yang baik digunakan untuk pakan ternak. Sebagian besar DDGS berbahan dasar jagung. Menurut Rokhayati (2010), jagung dikenal sebagai bahan pakan sumber energi dan merupakan bahan pakan yang lambat terdegradasi dalam rumen. Menurut NRC (2003), DDGS memiliki kandungan protein kasar sebesar 29.7% dan fosfor sebesar 0.83%. Penelitian Schingoethe et al. (2009) mengungkapkan bahwa penggunaan DDGS dalam ransum seimbang sebesar 20% bahan kering atau lebih, dapat menghasilkan produksi susu yang sama bahkan bisa lebih tinggi dari pada pemberian 10 %. Kebutuhan energi ternak bergantung pada proses fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh. Status fisiologis ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakannya. Nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan adalah jumlah energi yang terkandung dalam pakan (Tobing 2010). Pencampuran sebagian konsentrat oleh bahan baku lokal BIS dan bahan baku impor DDGS, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah di Lembang. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pencampuran konsentrat oleh bahan baku pakan lokal BIS dan bahan baku pakan impor DDGS sebagai pengganti konsentrat, terhadap produksi susu sapi perah di Lembang. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan produksi susu sapi perah, menurunkan biaya pakan dan meningkatkan pendapatan peternak sapi perah di Lembang.