pendahuluan - IPB Repository

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bangsa Cina telah mengenal kain sutera sejak lama dan komoditas tersebut
mulai menyebar luas melalui jalur perdagangan yang dikenal dengan nama “Jalur
Sutera”. Kain sutera merupakan komoditas berkualitas tinggi dari tenunan
(tradisional maupun modern) serat hasil pengokonan ulat sutera. Ada dua macam
ulat sutera, yaitu ulat sutera murbei dan non murbei. Ulat sutera murbei makan
daun murbei, contoh spesiesnya adalah Bombyx mori, sedangkan ulat sutera non
murbei (ulat sutera liar) jumlahnya cukup banyak diantaranya adalah Attacus
atlas, Cricula trifenestrata dan Antheraea spp. Ulat sutera liar ini termasuk jenis
polifagus, yaitu memakan banyak jenis makanan. Peigler (1989), jenis makanan
yang dapat dikonsumsi Attacus atlas sebanyak 90 genus tumbuhan dari 48 famili.
Beberapa ulat sutera liar dapat ditemukan di Indonesia, diantaranya Attacus atlas
dan Cricula trifenestrata. Hal ini kemungkinan karena sumber makanan dapat
tersedia sepanjang tahun di Indonesia.
Ulat sutera murbei maupun non murbei mempunyai siklus hidup sempurna
(metamorfosis holometabola) yaitu telur, larva (ulat), imago (ngengat) dan pupa.
Secara umum fase pupa merupakan fase yang bernilai ekonomis karena pada fase
ini kokon terbentuk dan selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar kain
sutera. Kain sutera banyak dikenal orang karena keunggulannya, diantaranya
karena sifatnya yang mudah menyerap keringat, anti mikroba, mengkilat, halus
(Sihombing 1999, Faatih 2005), eksotik, benang yang panjang, lembut, tidak
mudah kusut, tahan panas, dan tidak menimbulkan rasa gatal (Sutera Indonesia
2004).
Perkembangan zaman telah mengubah paradigma tentang sutera. Kokon ulat
sutera tidak lagi hanya dimanfaatkan sebagai bahan kain sutera (tekstil) namun
sudah mulai dimanfaatkan di berbagai bidang seperti kosmetik dan medis
(Padamwar & Pawar 2004) dengan memanfaatkan protein penyusun kokon yaitu
fibroin dan serisin (Fabiani et al. 1996). Fibroin adalah protein serat sedangkan
serisin merupakan perekatnya. Serisin membungkus filamen yang sangat kecil
(serat fibroin) pada kokon, bobotnya 20-30% dari bobot total kokon (Masahiro et
al. 2000). Serisin Bombyx mori terdiri dari 18 jenis asam amino yang sebagian
1
besar merupakan kelompok senyawa polar kuat seperti senyawa yang
mengandung gugus hidroksil, karboksil, dan kelompok amino (Wei et al. 2005).
Banyak penelitian terkait dengan protein sutera terutama serisin pada
Bombyx mori. Mulai dari cara ekstraksi, kerja gen serisin dan bahkan
pemanfaatannya sebagai biomaterial di bidang medis dan kosmetik. Hal ini
bermula dari melimpahnya hasil ikutan industri pengolahan kokon yang belum
bisa dimanfaatkan. Hasil ikutan tersebut menjadi masalah lingkungan yang cukup
serius karena mengandung bahan organik tinggi (BOD 8219.6 mg/l) sehingga
perlu pengolahan lebih lanjut. Gulrajani et al. (2008) menyatakan bahwa
pengolahan dengan cara ekstraksi protein serisin dapat menurunkan kadar BOD
hingga 86,7%.
Protein serisin mempunyai potensi tinggi sebagai biomaterial. Dalam bidang
kosmetik, protein serisin dapat digunakan sebagai cream dan lotion pada kulit
karena dapat meningkatkan elastisitas kulit, mencegah kekerutan dan penuaan dini
(Padamwar & Pawar 2004). Dalam medis, protein serisin dapat digunakan untuk
menyembuhkan luka dan menghambat penyebaran tumor (Zhaorigetu et al. 2003,
Aramwit & Sangcakul 2007). Masakazu et al. (2003) menemukan bahwa aktivitas
serisin secara biologis dapat mencegah terbentuknya sel mati dan merangsang
pertumbuhan sel baru.
Hasil-hasil penelitian tentang serisin masih terbatas pada spesies Bombyx
mori. Hal ini karena sebagian besar industri pengolahan kokon menggunakan
kokon Bombyx mori sebagai bahan dasar, tidak terkecuali di Indonesia. Akan
tetapi selain Bombyx mori, Indonesia juga mempunyai potensi ulat sutera liar
Attacus atlas yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Attacus atlas mempunyai
sifat polivoltin (banyak generasi dalam satu tahun), polifagus dan bobot kokon
yang relatif lebih besar dari kokon Bombyx mori. Bobot kokon Bombyx mori 1,5
– 2,5 g (Atmosoedarjo et al. 2000) sedangkan bobot kokon Attacus atlas sekitar 9
g (Solihin & Fuah 2010). Komposisi serat kokon Bombyx mori dan Attacus atlas
sama yaitu terdiri dari protein fibroin dan serisin, akan tetapi karakteristik
spesifiknya belum diketahui. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut
mengenai protein serisin pada Attacus atlas agar potensi dan pemanfaatannya
dapat dikembangkan dengan baik seperti halnya pada Bombyx mori.
2
Protein serisin dapat diisolasi dari hasil ikutan (larutan) dari pengolahan
kokon (proses degumming) karena serisin merupakan protein larut air yang diduga
terlarut dalam hasil ikutan tersebut. Akan tetapi Indonesia belum mempunyai
industri pengolahan sutera Attacus atlas sehingga perlu adanya studi lebih lanjut
tentang teknik degumming yang dapat menghasilkan rendemen protein serisin
tertinggi dengan hasil fibroin yang masih baik juga. Hal ini selaras dengan tujuan
awal dari pengolahan kokon yaitu mendapatkan kualitas fibroin yang baik. Proses
degumming kokon Attacus atlas akan merujuk pada Aini (2009) dan Suriana
(2011).
Karakterisasi protein serisin dari Attacus atlas sangat diperlukan untuk
mengetahui sifat protein tersebut. Hal ini diperlukan dalam proses pemurnian
protein dan pemanfaatannya lebih lanjut di berbagai bidang terutama sebagai
biomaterial.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
-
Menghasilkan teknik ekstraksi protein serisin dari kokon Attacus atlas
dengan rendemen protein serisin tertinggi
-
Mengetahui karakteristik crude protein serisin Attacus atlas.
3
Download