universitas indonesia disertasi fakultas ekonomi program

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
“VALUE-IN-USE” SEBAGAI PENGGERAK PERILAKU PARTISIPATIF
SERTA IMPLIKASINYA PADA LOYALITAS MEREK:
SUATU PENELITIAN PADA KOMUNITAS MEREK VIRTUAL DI
INDONESIA
DISERTASI
WHONY ROFIANTO
0906599073
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA ILMU MANAJEMEN
DEPOK
JANUARI 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
“VALUE-IN-USE” SEBAGAI PENGGERAK PERILAKU PARTISIPATIF
SERTA IMPLIKASINYA PADA LOYALITAS MEREK:
SUATU PENELITIAN PADA KOMUNITAS MEREK VIRTUAL DI
INDONESIA
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor dalam Ilmu Manajemen
WHONY ROFIANTO
0906599073
HALAMAN JUDUL
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA ILMU MANAJEMEN
KEKHUSUSAN PEMASARAN
DEPOK
JANUARI 2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur, saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan
perkenan-Nya sehingga proses penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi
ini merupakan suatu upaya untuk memberikan kontribusi pada disiplin serta praktik
pemasaran khususnya pada bahasan komunitas merek virtual. Proses penyelesaian
disertasi ini merupakan bagian dari proses penulis untuk mencapai gelar Doktor
pada Program Studi Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia,
yang dalam perjalanannya banyak sekali mendapatkan bantuan serta dukungan dari
berbagai pihak.
Disertasi ini saya dedikasikan untuk kedua orang tua saya, H. Imam Suwardi
dan Hj. Suhartati atas seluruh kasih sayang, doa dan dukungan yang tiada henti
selama ini. Kepada istri tercinta, Anna Riana Putriya, atas segenap cinta, serta
dukungan moril dan materil yang telah diberikan selama ini, semoga disertasi ini
dapat menjadi inspirasi guna segera menempuh perjalanan serupa. Kepada putri
tercinta, Aisya Zafira, atas senyum dan tingkah laku yang senantiasa menjadi oase
semangat selama proses penulisan, semoga disertasi ini dapat menjadi dorongan di
kemudian hari untuk menciptakan karya yang lebih besar.
Ucapan terima kasih pertama-tama saya sampaikan kepada Bapak Dr. Adi
Zakaria Afiff selaku promotor, serta Ibu Dr. T. Ezni Balqiah dan Bapak Prof. Teddy
Pawitra, Ph.D. selaku ko-promotor atas seluruh curahan waktu, pikiran, tenaga, dan
dorongan semangat yang telah diberikan selama ini. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Sofjan Assauri selaku ketua tim penguji, serta
Bapak Prof. Agus W. Soehadi, Ph.D., Bapak Dr. Bambang Wiharto, Ibu Gita
Gayatri, Ph.D., dan Bapak Dr. Rizal Edy Halim selaku tim penguji atas segala
masukan demi menyempurnakan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga
saya sampaikan kepada segenap dosen Program Studi Ilmu Manajemen yang
selama ini telah memandu proses pembelajaran penulis selama menempuh studi
doktoral. Kepada Ibu Devi, Ibu Era, Bapak Syarif, Bapak Herman dan seluruh staff
Program Studi Ilmu Manajemen, terima kasih atas segenap bantuan dan
dukungannya selama ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Dr. Siswanto dan
Bapak Nugroho Endropranoto SE., M.B.A., yang telah menginisiasi penugasan
studi lanjut. Terima kasih kepada YPPI atas dukungan sebagian pendanaan studi
serta kepada Ibu Dr. Siti Sundari dan Bapak Subarjo Joyosumarto, Ph.D., atas izin
penyelesaian studi doktoral bagi penulis. Kepada Ibu Evi, Bapak Ramses, Ibu Ami,
Bapak Adri, Ibu Nuri, Ibu Mira, Ibu Hetty, Ibu Miharni, Bapak Riza, Bapak Andang
dan rekan-rekan studi doktoral Ilmu Manajemen, terima kasih atas persahabatan
ii
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dan diskusi yang hangat selama ini. Ucapan terima kasih yang tidak kalah besar
saya sampaikan kepada Bapak Ahmad, Ibu Rina, Bapak Fajar, Bapak Wasi, Ibu Ira,
Ibu Filda atas persahabatannya selama ini serta seluruh rekan dosen dan civitas
akademika Indonesia Banking School dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu.
Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas kebaikan dari segenap
pihak yang telah membantu dan mendukung terselesaikannya penulisan disertasi
ini. Disertasi ini merupakan hasil curahan segenap pemikiran dan upaya penulis
selama beberapa tahun terakhir. Terlepas dari sejumlah limitasi yang dimiliki oleh
disertasi ini, penulis berharap disertasi ini dapat turut memberikan kontribusi bagi
perkembangan disiplin pemasaran serta dapat memberikan kontribusi positif bagi
praktik pemasaran khususnya di Indonesia.
Depok, 24 Januari 2014
Whony Rofianto
iii
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
ABSTRAK
Nama
: Whony Rofianto
Program Studi : Ilmu Manajemen
Judul
: “Value-in-use” Sebagai Penggerak Perilaku Partisipatif serta
Implikasinya pada Loyalitas Merek: Suatu Penelitian pada
Komunitas Merek Virtual di Indonesia
Pada kebanyakan komunitas virtual, termasuk komunitas merek virtual, intensitas
perilaku partisipatif lurking selalu lebih tinggi dari intensitas perilaku partisipatif
posting. Namun demikian, sebagian besar penelitian selalu berfokus pada perilaku
partisipatif posting dan mengabaikan peran perilaku partisipatif lurking. Faktanya,
dalam konteks komunitas merek virtual pada perspektif pemasaran, perilaku
partisipatif lurking perlu mendapatkan perhatian khusus. Penelitian ini mencoba
untuk menelaah bagaimana value-in-use mendorong perilaku partisipatif posting
dan lurking serta implikasinya pada loyalitas merek. Penelitian dilakukan pada
beberapa komunitas merek virtual di Indonesia. Data dikumpulkan melalui survei
online dan dianalisis melalui Structural Equation Model. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa value-in-use fungsional mendorong perilaku partisipatif
posting maupun lurking, sementara tidak cukup bukti akan adanya dorongan valuein-use sosial. Di sisi lain, perilaku partisipatif posting dan lurking menunjukkan
dampak positif pada loyalitas merek attitudinal. Sementara itu, hanya perilaku
partisipatif lurking yang menunjukkan dampak positif pada loyalitas merek
behavioral.
Kata kunci:
Komunitas merek virtual, value-in-use, nilai, perilaku partisipatif, posting, lurking,
loyalitas merek, consumer culture theory, online game, penerbit.
iv
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
ABSTRACT
Name
: Whony Rofianto
Study Program : Management
Title
: "Value-in-use" As the Driver of Participative Behavior and the
Implications on Brand Loyalty: A Research on the Virtual Brand
Communities in Indonesia
In the majority of virtual communities, including the virtual brand community, the
intensity of lurking participative behavior is always higher than the posting
participative behavior intensity. However, most researches have always focused the
discussion on the posting participative behavior and ignoring the role of the lurking
participative behavior. In fact, in the context of the virtual brand community on a
marketing perspective, lurking participative behavior needs critical attention. This
study tries to examine how the value-in-use drive posting and lurking participative
behavior and also the implications on brand loyalty. The study was conducted on
several virtual brand communities in Indonesia. Data were collected through an
online survey and analyzed through Structural Equation Model. Results of this
study indicate that functional value-in-use drives posting and lurking participative
behavior while there is not enough evidence on social value-in-use. In the other
side, posting and lurking participative behavior shows a positive impact on
attitudinal brand loyalty. Meanwhile, only lurking participative behavior that shows
positive impact on behavioral brand loyalty.
Key words:
Virtual brand communities, value-in-use, value, participative behavior, posting,
lurking, brand loyalty, consumer culture theory, online game, publisher.
v
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
ABSTRACT ............................................................................................................ v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Penelitian Terdahulu .................................................................................... 5
1.3 Masalah dan Pertanyaan Penelitian .............................................................. 5
1.4 Kesenjangan Penelitian ................................................................................ 7
1.5 Tujuan Penelitian.......................................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................ 8
2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ...................................................................... 11
2.1 Consumer Culture Theory sebagai Landasan Teoritis Model Penelitian ... 11
2.2 Konsep dan Cakupan Komunitas Merek Virtual ....................................... 12
2.2.1 Komunitas Merek Virtual sebagai Wahana E-marketing .................. 12
2.2.2 Elemen Komunitas Merek Virtual ..................................................... 14
2.2.3 Klasifikasi Komunitas Merek Virtual................................................ 16
2.3 Value-in-use pada Komunitas Merek Virtual ............................................. 17
2.4 Perilaku Partisipatif pada Komunitas Merek Virtual ................................. 19
2.5 Loyalitas Merek .......................................................................................... 20
3. MODEL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS .............. 22
3.1 Model Penelitian ........................................................................................ 22
3.2 Pengembangan Hipotesis ........................................................................... 23
3.2.1 Pengaruh Value-in-use Fungsional Terhadap Perilaku Partisipatif
Posting dan Lurking........................................................................... 23
3.2.2 Pengaruh Value-in-use Sosial Terhadap Perilaku Partisipatif
Posting dan Lurking........................................................................... 24
3.2.3 Pengaruh Perilaku Partisipatif Posting terhadap Loyalitas Merek
Attitudinal dan Behavioral................................................................. 25
3.2.4 Pengaruh Perilaku Partisipatif Lurking terhadap Loyalitas Merek
Attitudinal dan Behavioral................................................................. 26
4. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 27
4.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 27
4.2 Populasi, Unit Analisis dan Sampel Penelitian .......................................... 27
4.3 Teknik Penghimpunan Data ....................................................................... 27
4.4. Operasionalisasi Variabel .......................................................................... 28
4.5 Teknik Analisis Data .................................................................................. 29
4.5.1 Analisis Validitas dan Reliabilitas ..................................................... 30
4.5.2 Structural Equation Modelling .......................................................... 30
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 31
vi
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
5.1 Profil Responden ........................................................................................ 31
5.2 Model Pengukuran ..................................................................................... 31
5.3 Model Struktural ........................................................................................ 34
5.3.1 Model Loyalitas Terhadap Publisher (LTP) ..................................... 35
5.3.2 Model Loyalitas Terhadap Game (LTG) ........................................... 36
5.4 Content Analysis Pada Sampel Komunitas Merek Virtual......................... 38
5.5 Pembahasan ................................................................................................ 40
5.5.1 Pengaruh Value-in-use Fungsional Terhadap Perilaku Partisipatif ... 40
5.5.2 Pengaruh Value-in-use Sosial Terhadap Perilaku Partisipatif ........... 40
5.5.3 Pengaruh Perilaku Partisipatif Posting terhadap Loyalitas Merek .... 42
5.5.4 Pengaruh Perilaku Partisipatif Lurking terhadap Loyalitas Merek ... 43
6. KONTRIBUSI DAN IMPLIKASI HASIL PENELITIAN ......................... 44
6.1 Kontribusi Hasil Penelitian ........................................................................ 44
6.1.1 Value-in-use dan CCT pada Konteks Marketplace culture ............... 44
6.1.2 Dorongan Value-in-use terhadap Perilaku Partisipatif dalam
Marketplace culture ........................................................................... 46
6.1.3 Urgensi Perilaku Partisipatif Lurking pada Marketplace culture ...... 47
6.1.4 Loyalitas Attitudinal-Behavioral pada Marketplace culture ............. 48
6.1.5 Dual Community pada Konteks Produk Game Online MMORPG ... 49
6.2 Implikasi terhadap Miskonseptualisasi Penelitian CCT ............................. 51
6.3 Implikasi Pada Praktek Manajemen Pemasaran ......................................... 52
6.3.1 Implikasi bagi Pengelolaan Komunitas Merek Virtual ..................... 52
6.3.1.1 Urgensi Selektif Wahana Pemasaran Komunitas Merek
Virtual .................................................................................. 52
6.3.1.2 Indikator Kinerja Komunitas Merek Virtual ......................... 53
6.3.1.3 Value Co-creation dan Value-in-use dalam Komunitas
Merek Virtual ....................................................................... 54
6.3.2 Implikasi bagi Publisher MMORPG di Indonesia ............................ 55
6.3.3 Implikasi pada Konteks Produk Pendidikan dan Teknologi ............. 56
7. PENUTUP ........................................................................................................ 59
7.1 Kesimpulan................................................................................................. 59
7.2 Limitasi dan Saran Penelitian Lanjut ......................................................... 60
DAFTAR KEPUSTAKAAN ................................................................................ 62
CURRICULUM VITAE ...................................................................................... 71
vii
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian ................................................... 28
Tabel 5.1. Ringkasan Uji Hipotesis Model Loyalitas Terhadap Publisher .......... 36
Tabel 5.2. Ringkasan Uji Hipotesis Model Loyalitas Terhadap Game ................ 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. CCT Sebagai Landasan Teoritis Model Penelitian ......................... 11
Gambar 2.2. Jejaring sosial (Kiri) dan Komunitas (Kanan) ................................ 13
Gambar 2.3. Offline vs Virtual Community dan Brand Community .................. 14
Gambar 2.4. Jenis Komunitas Merek Virtual ...................................................... 16
Gambar 2.5. Pergeseran Embedded Value menjadi Value-in-use ....................... 18
Gambar 2.6. Praktek-praktek dalam komunitas merek yang menciptakan value 19
Gambar 2.7. Rerangka Attitude-Behavior Loyalty ............................................. 21
Gambar 3.1. Model Penelitian ............................................................................. 23
Gambar 5.1. Path diagram keluaran Model struktural LTP ............................... 35
Gambar 5.2. Path diagram keluaran model struktural LTG ............................... 37
Gambar 5.3. Irisan in-game community dengan out-of-game community ........... 41
Gambar 6.1. Proses penciptaan value pada komunitas merek virtual ................. 45
viii
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BBAB 11.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proliferasi dan kemajuan yang sangat cepat pada sistem komunikasi
berbasis teknologi, khususnya yang terkait dengan komputer dan internet telah
membawa perubahan mendasar pada bagaimana perusahaan dan konsumen
berinteraksi (Parasuraman & Zinkan, 2002; Laroche, 2009; Muniz & Schau 2011).
Komunikasi tradisional yang bersifat satu arah “one-to-many” telah bergeser ke
arah interaksi “many-to-many” dengan adanya media baru yang dimediasi oleh
komputer atau sering disebut dengan world wide web (Hoffman & Novak, 1996;
Yadav & Varadarajan, 2005; Sheth & Sisodia, 2006).
Keberadaan media komunikasi baru tersebut memberikan dampak
perubahan pada perilaku konsumen. Semakin banyak konsumen memanfaatkan
mediasi komputer untuk memperoleh informasi dan melakukan transaksi di
samping tetap memanfaatkan media tradisional (Verhoef, Neslin & Vroomen,
2007; Casalo, Flavián & Guinalíu, 2010; Hernández, Jimenez & Martin, 2010). Hal
ini disebabkan oleh nilai 6C yang dapat diciptakan melalui media internet yaitu
convenience, cost, choice, customization, communication dan control (Berkowitz,
Kerin, Hartley & Rudelius, 2000). Sebagai dampak lanjutannya konsumen
berevolusi menjadi konsumen digital dengan beberapa karakteristik kunci yaitu
banyak menuntut, menginginkan banyak hal secara instan, nyaman dengan media
internet, memegang kendali, mudah berpaling, mencari pengalaman, serta vokal
(Baker, 2003; Ryan & Jones, 2009).
Persaingan yang semakin ketat, fragmentasi media, meningkatnya biaya
pemasaran, konsumen yang semakin pandai dan daur hidup teknologi yang semakin
pendek peran pemasaran relasional menjadi semakin penting (Andersen, 2005;
Keller, 2008). Terkait dengan kondisi tersebut komunitas merek dinilai sebagai
salah satu wahana pemasaran yang dapat dipergunakan untuk membangun dan
memelihara hubungan relasional antara pemasar dengan pelanggan (Hoffman &
Novak 1996; Cova 1997; Muñiz & O’Guinn, 2001, Merz, He, & Vargo, 2009).
Interaksi yang terjadi antara pelanggan dengan pelanggan lainnya dan pemasar
dalam komunitas merek dalam jangka panjang dapat memperkuat hubungan
relasional pelanggan dengan sesama pelanggan, produk, merek dan juga pemasar
(McAlexander, Schouten, & Koenig, 2002; McAlexander, Kim & Roberts, 2003).
Komunitas merek (brand community) dapat didefinisikan sebagai sebagai
komunitas khusus yang terikat secara non-geografis atas dasar seperangkat
hubungan sosial terstruktur antar para pengagum suatu merek (Muniz & O’Guinn,
2001).
Komunitas merek banyak dibahas dalam telaah marketplace culture, satu
dari empat ranah penelitian dalam consumer culture theory (CCT) sebagai suatu
rumpun penelitian yang membahas aspek sosiocultural, experiential, symbolic dan
ideologi dari konsumsi (Arnould & Thomson, 2005). Dewasa ini peneliti CCT
1
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
berupaya untuk memahami dan menjelaskan fenomena value co-creation pada
komunitas merek virtual, mediasi komunitas merek virtual, serta implikasinya bagi
tercapainya tujuan-tujuan pemasaran (Arnould & Thompson, 2007). Pembahasan
CCT mencakup berbagai aspek dalam komunitas merek virtual mulai dari value
yang tercipta di dalamnya, dampaknya pada perilaku anggotanya, serta
implikasinya pada pemasaran. Oleh karena itu, untuk selanjutnya CCT digunakan
sebagai landasan teori utama dalam penelitian ini. Dengan keberadaan teknologi
komunikasi berbasis internet, konsep komunitas merek kemudian diperluas dengan
keberadaan komunitas merek virtual yang merupakan kumpulan individu dengan
ketertarikan yang sama akan suatu hal, terpisah secara geografis namun terkait satu
dengan yang lain dalam suatu jaringan hubungan relasional yang dinamis tanpa
adanya kontak secara fisik (Kozinets, 1999; Dholakia, Bagozzi & Pearo, 2004;
Sicilia & Palazon, 2008). Komunitas merek virtual berbeda dengan komuitas merek
tradisional dengan adanya mediasi komunikasi elektronik yang meminimumkan
kendala ruang dan waktu (Slabeva & Schmid, 2001).
Mediasi komunikasi tersebut juga berdampak pada perluasan bentuk
perilaku partisipasi anggota komunitas dari partisipasi offline melalui keikutsertaan
pada parade di jalan, camp atau kegiatan offline lainnya (Schouten & McAlexander,
1995; McAlexander, Schouten, & Koenig, 2002; McAlexander, Kim & Roberts,
2003) kemudian mengakomodasi perilaku partisipasi melalui diskusi, menulis atau
membaca pesan digital pada media komunitas merek virtual (Dholakia et al., 2004;
Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke &
Andrews, 2004). Perilaku partisipasi dengan menulis pesan dan berdiskusi dikenal
dengan istilah posting, sementara itu perilaku partisipasi membaca pesan digital
pada media komunitas virtual dikenal dengan istilah lurking (Nonnecke & Preece,
1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004).
Berdasarkan kecenderungan bentuk partisipasinya, posting ataukah lurking,
anggota komunitas merek virtual kemudian dapat dikelompokkan dalam dikotomi
poster lurker. Poster merupakan anggota komunitas virtual yang selain membaca
pesan dan mencari informasi juga berpartisipasi dengan menulis pesan, sementara
lurker merupakan anggota komunitas virtual yang membaca pesan dan mencari
informasi namun jarang atau tidak pernah menuliskan pesan (Nonnecke & Preece,
1999). Dalam prakteknya, tidak mudah untuk mengklasifikasikan seorang anggota
komunitas sebagai poster atau lurker. Ada definisi yang secara tegas menyatakan
bahwa lurker merupakan anggota komunitas virtual yang tidak pernah menuliskan
pesan (Nonnecke, Preece & Andrews, 2004). Sementara itu definisi yang lain
menyatakan bahwa lurker adalah anggota komunitas virtual yang rutin
mengunjungi komunitasnya namun sangat jarang menuliskan pesan (Rafaeli, Ravid
& Soroka, 2004). Lebih jauh lagi, tipe poster/lurker bersifat dinamis. Poster dapat
berlaku sebagai lurker dan juga sebaliknya pada waktu dan situasi tertentu. Lurker
dapat berubah menjadi poster jika merasa aman dan perlu untuk berinteraksi dalam
komunitas merek virtual. Seseorang yang menjadi anggota pada beberapa
komunitas virtual dapat berperilaku sebagai poster pada satu komunitas virtual dan
berperilaku sebagai lurker pada komunitas virtual yang lain karena adanya kendala
seperti keterbatasan sumber daya berupa waktu dan tenaga (Nonnecke & Preece,
1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach, 2004).
2
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Bertolak dari tidak mudahnya mengklasifikasikan anggota komunitas
virtual dalam kategori poster/lurker dan adanya dinamika tipe anggota, penelitian
ini akan difokuskan pada perilaku partisipasi posting dan lurking yang dimiliki oleh
poster maupun lurker dengan perbedaan pada kecenderungan atau intensitasnya.
Untuk selanjutnya dalam penelitian ini perilaku menulis pesan, komentar atau
berdiskusi dalam komunitas virtual akan disebut sebagai perilaku partisipatif
posting. Sementara itu, perilaku membaca pesan atau mencari informasi dalam
komunitas virtual akan disebut sebagai perilaku partisipatif lurking.
Perubahan lingkungan pemasaran akibat adanya teknologi komunikasi
berbasis internet terjadi secara global, termasuk di Indonesia. Meskipun tingkat
penetrasi internet di Indonesia baru mencapai 16,1% dari total jumlah
penduduknya, namun demikian tingkat pertumbuhannya selama periode tahun
2000-2011 mencapai 1.880% yang berarti jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
data agregat Asia dan dunia (data www.internetworldstats.com bulan Maret 2011).
Seiring pertumbuhan pengguna internet di Indonesia yang cukup tinggi,
komunitas merek virtual juga mengalami pertumbuhan. Hal yang cukup menarik
berdasarkan hasil observasi peneliti atas sejumlah komunitas virtual di Indonesia
adalah bahwa salah satu komunitas merek virtual dari produk game online yaitu
forum Gemscool memiliki anggota yang cukup banyak bahkan mendekati jumlah
anggota www.kaskus.com, komunitas virtual umum yang sering disebut sebagai
komunitas virtual terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota lebih dari 3 juta dan
lebih dari 370 juta posting per bulan juli 2011. Makin meningkatnya internetisasi
dalam perekonomian, serta makin maraknya penggunaan teknologi media sosial
termasuk komunitas merek virtual sebagai salah satu bagiannya, menimbulkan
kebutuhan akan adanya pemahaman tentang pola dasar dari interaksi dan
komunikasi dalam komunitas merek virtual. Dalam penelitian ini, pola dasar
tersebut akan ditelaah melalui konstruk perilaku partisipatif, termasuk faktor
penggerak serta implikasi pemasarannya. Terkait dengan hal tersebut peneliti
menggarisbawahi beberapa urgensi dari topik penelitian ini.
Pertama, masih perlu dilakukan penelitian yang mencakup perilaku
partisipatif lurking pada komunitas merek virtual. Pada penelitian tentang
komunitas virtual, partisipasi merupakan salah satu konstruk yang sering dibahas
karena dinilai sebagai faktor penting guna menjamin kelangsungan hidup
komunitas (Koh & Kim, 2004, Dholakia et al., 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu,
2007; Lin, 2008; Thompson & Sinha, 2008). Namun demikian, penelitian yang
dilakukan masih terbatas pada pembahasan perilaku partisipatif posting sementara
perilaku partisipatif lurking masih jarang mendapatkan perhatian (Nonnecke &
Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004;
Shang et al., 2006). Padahal, rasio jumlah lurker terhadap poster misalnya pada
komunitas virtual terbuka seperti AOL dan MSN dapat mencapai 98% (Katz, 1998).
Hal ini mengindikasikan masih terbukanya peluang penelitian lebih lanjut tentang
faktor penggerak, perilaku lurking pada komunitas merek virtual, serta
implikasinya bagi pemasaran.
Kedua, perlu dilakukan penelitian yang menelaah value-in-use sebagai
penggerak perilaku partisipatif dalam komunitas merek virtual di tengah penelitian
yang cenderung mengarah pada value-in-exchange. Pergeseran paradigma “goodsdominant” logic menjadi “service-dominant” logic termasuk konsep “value-in3
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
exchange” menjadi “value-in-use” (Vargo & Lusch, 2004; Lusch, vargo & Wessels,
2008) telah diakomodasi dalam CCT (Arnould & Thomson, 2005; Arnould, 2007).
Pada penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa faktor penggerak partisipasi
anggota dalam komunitas virtual, antara lain adalah motivasi (Dholakia et. al, 2004;
Riding & Gefen, 2004), kualitas informasi dan sistem (Lin, 2008), brand
involvement (Shang et. al, 2006). Namun demikian, belum ditemukan penelitian
yang secara spesifik menelaah value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif
dalam komunitas merek virtual. Oleh karena itu, masih perlu diteliti bagaimana
peran value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif anggota komunitas
merek virtual mengingat value yang tumbuh pada komunitas merek virtual
merupakan hasil co-creation para anggotanya dengan pengelola atau produsen.
Ketiga, masih perlu melakukan penelitian pada loyalitas merek sebagai
implikasi dari perilaku partisipatif dalam komunitas merek virtual dengan meninjau
aspek attitudinal dan behavioral. Pada sejumlah penelitian komunitas merek
virtual, loyalitas merek dinilai sebagai hal yang penting untuk ditelaah sebagai
bentuk implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif anggota komunitas merek
virtual (McAlexander, Kim; & Roberts, 2003; Algesheimer, Dholakia & Herrmann,
2005; Shang et al., 2006). Loyalitas pelanggan memberikan berbagai dampak
positif bagi pemasar seperti sensitivitas harga yang lebih rendah (Lynch & Ariely,
2000), word-of-mouth positif (Dick & Basu, 1994; Hagel & Amstrong (1997),
kemungkinan berpaling pada pesaing lebih rendah (Yi & La, 2004; Thompson &
Sinha 2008), profitabilitas perusahaan (Zeithaml, Berry, & Parasuraman, 1996;
Srinivasan, Anderson & Ponnavolu, 2002; Bowman, & Narayandas, 2004), serta
customer equity (Venkatesan & Kumar, 2004; Berger, Eechambadi, George,
Lehmann, Rizley, & Venkatesan, 2006; Gupta, Hanssens, Hardie, Kahn, Kumar,
Lin, & Sriram, 2006). Sejumlah peneliti meninjau loyalitas dari aspek attitudinal
(Shang et al., 2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Zhou, Zhang, Su & Zhou,
2011), sementara itu sejumlah peneliti lain meninjau loyalitas dari aspek behavioral
(McAlexander, Kim & Roberts 2003; Thompson & Sinha 2008). Loyalitas
attitudinal didefinisikan sebagai tingkat komitmen konsumen terhadap suatu
merek, sementara loyalitas behavioral didefinisikan sebagai loyalitas yang
diindikasikan dengan perilaku nyata seperti pembelian ulang (Chaudhuri &
Holbrook, 2001). Berdasarkan pendapat akan perlunya untuk menggunakan kedua
aspek tersebut dalam mengukur loyalitas merek (Dick & Basu; 1994; Oliver 1999;
Chaudhuri & Holbrook, 2001), maka dalam penelitian ini akan diadopsi konsep
loyalitas merek yang mencakup loyalitas attitudinal dan behavioral sebagai
implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif anggota komunitas merek virtual.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan masih perlu untuk melakukan
suatu penelitian tentang “value-in-use” sebagai faktor penggerak perilaku
partisipatif posting maupun lurking serta implikasinya pada loyalitas merek, pada
konteks komunitas merek virtual di Indonesia. Penelitian ini sejalan dengan CCT
yang menilai perlunya meneliti komunitas merek virtual untuk memahami dan
menjelaskan value co-creation, termasuk value-in-use, juga mediasi perilaku
partisipatif dalam komunitas merek virtual serta implikasi bagi tercapainya tujuan
pemasaran yaitu loyalitas merek (Arnould & Thompson, 2007).
4
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
1.2 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan telaah pada literatur yang ada, penulis menyimpulkan adanya
upaya peneliti pemasaran untuk mengadakan perubahan pada konten maupun
batasan disiplin pemasaran sebagai respon atas perubahan yang terjadi pada
lingkungan pemasaran (Brown, 2005). Konsep interactivity muncul dengan adanya
teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju (Yadav & Varadarajan,
2005). Kondisi tersebut kemudian memberikan dampak perubahan pada perilaku
konsumen yang kini berada di lingkungan multimedia dan multichannel (Dholakia,
Kahn, Reeves, Rindfleisch, Stewart & Taylor, 2010). Perubahan juga terjadi pada
pemasar yang berupaya untuk memanfaatkan teknologi interaktif pada konteks ritel
(Varadarajan, Srinivasan, Vadakkepatt, Yadav, Pavlou, Krishnamurthy & Tom
Krause, 2010), serta berupaya menerapkan strategi komunikasi pada media network
(Kozinets, Valck, Wojnicki & Wilner, 2010).
Paradigma pemasaran telah bergeser ke arah konsep pemasaran relasional
(Morgan & Hunt, 1994; Andersen, 2005). Salah satu pembahasan yang muncul
terkait dengan paradigma baru tersebut adalah komunitas merek yang kemudian
diperluas menjadi komunitas merek virtual (Muniz & O’guin, 2001; McAlexander,
Schouten, & Koenig, 2002; Schau, Muniz & Arnould 2009; Szmigin & Reppel
2001). Pembahasan ini merupakan salah satu topik bahasan pada CCT sebagai
kelompok penelitian yang membahas aspek sosiocultural, experiential, symbolic
dan ideologi dari konsumsi (Arnould & Thomson, 2005).
Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk membahas perilaku
partisipatif sebagai konstruk penting pada komunitas merek virtual (Nonnecke &
Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004;
Valck, Bruggen & Wierenga, 2009), faktor penggeraknya (Dholakia, Bagozzi, &
Pearo, 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Kim, Park & Jin, 2008; Sicilia &
Palazon, 2008; Lin, 2008; Ridings & Gefen, 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu,
2010), serta dampaknya pada loyalitas merek (Kim, Lee & Hiemstra, 2003; Shang,
Chen & Liao, 2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Thompson & Sinha, 2008).
Hal yang masih terbuka untuk diteliti adalah konsep value-in-use sebagai
konsep penting dalam pemasaran (Vargo & Lusch, 2004; Lusch, Vargo & Wessels,
2008; Macdonald, Wilson, Martinez & Toossi, 2011) sebagai faktor penggerak
perilaku partisipatif pada komunitas merek virtual. Penyertaan perilaku partisipatif
lurking yang selama ini masih jarang mendapat perhatian dalam penelitian
komunitas merek virtual (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke &
Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004; Schlutz & Beach, 2004), serta
implikasi perilaku partisipatif terhadap loyalitas merek baik attitudinal maupun
behavioral secara integratif (Dick & Basu 1994, Baldinger & Rubinson, 1996;
Oliver, 1999; Chaudhuri & Holbrook, 2001).
1.3 Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Peneliti mencoba menggali fenomena nyata perilaku partisipatif, value-inuse dan loyalitas pada komunitas merek virtual di Indonesia melalui interview pada
tiga orang anggota komunitas game online Gemscool dan satu orang anggota
komunitas Megaxus. Komunitas game online dipilih sebagai tempat penggalian
5
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
awal fenomena karena jumlah anggotanya yang relatif lebih besar dibandingkan
dengan komunitas merek virtual pada kategori yang lain. Berdasarkan hasil
interview tersebut diperoleh sejumlah informasi lapangan. Manfaat utama yang
diperoleh anggota melalui komunitas merek virtual adalah mencari atau berbagi
informasi seputar penggunaan merek. Sebagian anggota komunitas merek virtual
game online lebih sering melakukan aktivitas pencarian informasi saja
(menunjukkan perilaku partisipatif lurking) sementara sebagian yang lain di
samping mencari informasi juga melakukan aktivitas berbagi informasi, berdiskusi
atau merespon pertanyaan dari anggota lain (menunjukkan perilaku partisipatif
posting).
Anggota komunitas merek virtual game online menunjukkan adanya
loyalitas terhadap merek yang diindikasikan melalui telah lamanya menggunakan
game online dengan intensitas yang cukup tinggi, kebanyakan hanya memainkan
satu game online saja, melakukan pembelian fasilitas pada game online secara
teratur serta merekomendasikan game online yang dimainkannya kepada orang
lain. Hasil interview juga mengindikasikan keberadaaan tiga fenomena menyangkut
komunitas merek virtual di Indonesia. Pertama, ada manfaat yang mendorong
anggota untuk berpartisipasi dalam komunitas merek virtual. Kedua, variasi
perilaku partisipatif posting maupun lurking terjadi pada komunitas merek virtual
di Indonesia. Ketiga, anggota komunitas merek virtual di Indonesia menunjukkan
adanya indikasi loyalitas terhadap merek terkait.
Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu, observasi di lapangan serta
in-depth interview pada sampel anggota komunitas merek virtual dirumuskan
masalah yang akan diteliti. Masalah penelitian ini menyangkut pengkajian
fenomena value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking
serta implikasinya pada loyalitas merek. Untuk selanjutnya masalah penelitian
tersebut dijabarkan dalam sejumlah pertanyaan penelitian. Adapun pertanyaan
penelitian yang diajukan dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Apakah value-in-use fungsional berpengaruh pada intensitas perilaku
partisipatif posting dalam komunitas merek virtual?
2. Apakah value-in-use fungsional berpengaruh pada intensitas perilaku
partisipatif lurking dalam komunitas merek virtual
3. Apakah value-in-use sosial berpengaruh pada intensitas perilaku partisipatif
posting dalam komunitas merek virtual
4. Apakah value-in-use sosial berpengaruh pada intensitas perilaku partisipatif
lurking dalam komunitas merek virtual
5. Apakah perilaku partisipatif posting berpengaruh pada loyalitas attitudinal
terhadap merek yang dibahas dalam komunitas merek virtual
6. Apakah perilaku partisipatif posting berpengaruh pada loyalitas behavioral
terhadap merek yang dibahas dalam komunitas merek virtual
7. Apakah perilaku partisipatif lurking berpengaruh pada loyalitas attitudinal
terhadap merek yang dibahas dalam komunitas merek virtual
8. Apakah perilaku partisipatif lurking berpengaruh pada loyalitas behavioral
terhadap merek yang dibahas dalam komunitas merek virtual.
6
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
1.4 Kesenjangan Penelitian
Berdasarkan telaah pada penelitian terdahulu tentang komunitas merek
virtual sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dapat diidentifikasi tiga
kesenjangan yang akan menjadi kontribusi penelitian ini. Pertama mengenai
kesenjangan teoritis, yang kedua merupakan kesenjangan penelitian dan ketiga
berupa kesenjangan kontekstual. Penelitian ini juga diharapkan memberikan
kontribusi praktis dalam praktek pemasaran khususnya melalui wahana komunitas
merek virtual.
Kesenjangan pertama, perlunya perluasan teori CCT dalam aplikasi
komunitas merek virtual yang tidak hanya mencakup perilaku partisipatif posting
tetapi juga mencakup perilaku partisipatif lurking, juga perlunya ditelaah peran
value-in-use sebagai penggerak kedua perilaku partisipatif tersebut. Dengan
demikian, pembahasan komunitas merek virtual sebagai salah satu perspektif dalam
CCT menjadi lebih realistik dan sesuai dengan perkembangan disiplin pemasaran.
Kesenjangan kedua, perlunya memperluas telaah loyalitas merek sebagai
implikasi perilaku partisipatif dengan mencakup baik aspek attitudinal maupun
behavioral. Loyalitas dipandang sebagai implikasi penting perilaku partisipatif
anggota komunitas merek virtual bagi pemasar (McAlexander, Kim & Roberts,
2003; Algesheimer, Dholakia & Herrmann, 2005; Shang, Chen & Liao, 2006;
Thompson & Sinha, 2008). Sebagian dari penelitian tersebut menggunakan
konstruk attitudinal loyalty sementara sebagian lainnya menggunakan konstrrak
behavioral loyalty. Sementara itu beberapa peneliti pemasaran menyarankan untuk
memandang loyalitas merek dari kedua sisi, baik attitudinal maupun behavioral
(Dick & Basu, 1994; Baldinger & Rubinson, 1996; Chaudhuri & Holbrook, 2001).
Kesenjangan ketiga, masih sedikitnya penelitian komunitas merek virtual
pada konteks Indonesia sehingga masih perlu dilakukan penelitian yang mengkaji
fenomena komunitas merek virtual di Indonesia. Sejumlah penelitian terdahulu
dilakukan pada konteks beberapa negara lain seperti Spanyol (Casalo et al., 2007;
2010; Sicilia & Palazon, 2008), Taiwan (Lin, 2008), dan Korea Selatan (Kim, Park
& Jin, 2008). Sementara itu, penelitian sejenis masih jarang dilakukan pada konteks
Indonesia. Penelitian terkait komunitas pada konteks Indonesia di antaranya adalah
potensi komunitas merek di kalangan siswa SMA (Nasution & Radiatni, 2009),
motivasi atas partisipasi pada komunitas merek (Sukoco & Wu, 2010), motivasi
atas knowledge sharing pada komunitas merek virtual (Wu & Sukoco, 2010),
dampak nilai informasi dan sosial terhadap co-consumption dan co-production pada
komunitas virtual (Sukoco & Aditya, 2011), serta motivasi atas knowledge sharing
pada jaringan pertemanan sosial (Anandya, 2010). Penelitian ini lebih
menitikberatkan pada value, khususnya value-in-use sebagai faktor penggerak
partisipasi secara lebih luas dengan mengakomodasi perilaku partisipatif posting
dan lurking, serta implikasinya pada loyalitas merek baik attitudinal maupun
behavioral pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh pihak
pemasar.
Selain berupaya memberikan kontribusi terhadap tiga kesenjangan
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini juga dimaksudkan untuk
memberikan kontribusi praktis pada praktek pemasaran melalui wahana komunitas
merek virtual khususnya di Indonesia. Melalui penelitian ini diharapkan dapat
7
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
diidentifikasi value-in-use seperti apa yang dapat mendorong perilaku partisipatif
anggota komunitas merek virtual khususnya pada komunitas merek virtual
penunjang layanan game online berikut implikasinya terhadap loyalitas merek. Hal
itu diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi pemasar dalam menciptakan
value proposition bagi anggota komunitas merek virtual. Hasil penelitian ini
tentunya juga memiliki potensi untuk diperluas pemanfaatannya pada komunitas
merek virtual untuk produk lain yang memiliki karakteristik serupa yaitu memiliki
tingkat kompleksitas tertentu dan juga menimbulkan pengalaman tertentu pada
penggunanya sehingga memicu adanya keperluan untuk mencari dan saling berbagi
informasi antar pengguna juga dengan penyedia layanan. Sebagai contoh, hasil
penelitian ini dapat diperluas pemanfaatannya pada pada konteks produk
pendidikan, serta produk teknologi seperti software atau gadget.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian dan kesenjangan penelitian yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Menganalisis dan menjabarkan value-in-use fungsional sebagai penggerak
perilaku partisipatif posting dan lurking pada komunitas merek virtual
2. Menganalisis dan menjabarkan value-in-use sosial sebagai penggerak
perilaku partisipatif posting dan lurking pada komunitas merek virtual
3. Menganalisis dan menjabarkan implikasi perilaku partisipatif posting pada
komunitas merek virtual terhadap loyalitas merek attitudinal dan behavioral
4. Menganalisis dan menjabarkan implikasi perilaku partisipatif lurking pada
komunitas merek virtual terhadap loyalitas merek attitudinal dan behavioral
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Mempertimbangkan luasnya bahasan disiplin pemasaran termasuk
marketplace culture dalam CCT, maka dilakukan pembatasan pada ruang lingkup
penelitian ini dengan meneliti value-in-use sebagai penggerak dan loyalitas merek
sebagai implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif pada konteks komunitas
merek virtual, serta membatasi research setting pada komunitas merek virtual yang
diinisiasi oleh publisher game online di Indonesia.
Pada penelitian komunitas virtual, partisipasi merupakan konstruk yang
sering dibahas karena dinilai sebagai faktor penting guna menjamin kelangsungan
hidup komunitas (Koh & Kim, 2004, Dholakia et al., 2004; Casaló, Flavián &
Guinalíu, 2007; Lin, 2008; Thompson & Sinha, 2008). Namun demikian, penelitian
yang dilakukan masih terbatas pada pembahasan perilaku partisipatif posting yang
dinilai sebagai indikator kesuksesan komunitas virtual, sementara perilaku
partisipatif lurking jarang mendapatkan perhatian karena hanya dianggap sebagai
perilaku free-rider (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews,
2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004; Shang et al., 2006). Penelitian ini
mengangkat perilaku partisipatif sebagai konstruk utama dengan penekanan pada
akomodasi kedua jenis perilaku partisipatif dalam perspektif pemasaran.
8
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Sejumlah penelitian terdahulu telah berupaya menelaah faktor-faktor yang
dianggap sebagai penggerak perilaku partisipatif, antara lain estetika, usability,
(Franco & Cataluña, 2010), kualitas informasi dan sistem (Lin, 2008), involvement
(Shang et al., 2006) serta value (Dholakia et al., 2004; Riding & Gefen, 2004).
Gruen, Osmonbekov & Czaplewski (2006) juga melakukan telaah pada partisipasi
aktif spesifik yang disebut know-how exchange dengan motivation, opportunity dan
ability sebagai penggeraknya. Pada penelitian ini, know-how exchange dapat
dipandang sebagai bagian kegiatan dari perilaku partisipatif posting. Pada konteks
komunitas merek virtual, opportunity dan ability merupakan faktor yang berada
pada ranah individu anggota komunitas yang tidak mudah dimanipulasi oleh
pemasar. Penelitian ini lebih difokuskan pada pembahasan value sebagai faktor
yang memotivasi anggota komunitas merek virtual untuk melakukan perilaku
partisipatif posting atau lurking.
Pada disiplin pemasaran, value merupakan konstruk yang sangat penting
bagi tercapainya tujuan-tujuan pemasaran (Sweeney & Soutar 2001; Khalifa, 2004;
Pawitra, 2005). Dalam perkembangan disiplin pemasaran terjadi pergeseran
paradigma goods-dominant logic menjadi service-dominant logic, termasuk di
dalamnya terjadi pergeseran konsep value, dari “value-in-exchange” menjadi
“value-in-use,” (Vargo & Lusch, 2004; Lusch, vargo & Wessels, 2008). Pada
pembahasan CCT dikenal konsep meaning making (Arnould, 2007) yang sejalan
dengan konsep value-in-use. Dengan demikian, dalam penelitian ini konsep valuein-use lebih cocok digunakan untuk merepresentasikan value sebagai penggerak
perilaku partisipatif.
Pada produk game online khususnya yang berjenis Massively Multiplayer
Online Games (MMOG) seperti yang banyak dipasarkan oleh publisher di
Indonesia dapat terbentuk dua komunitas yaitu komunitas in-game, biasanya
berbentuk guild atau clan dan komunitas out-of-game, biasanya berbentuk message
board (Ang, Zaphiris, & Wilson, 2005). Perlu digarisbawahi, komunitas merek
virtual game online yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunitas out-ofgame dalam bentuk message board yang disediakan oleh publisher game online
sebagai fasilitas penunjang dari layanan game online yang diberikan. Dengan
demikian untuk selanjutnya istilah komunitas merek virtual mengacu pada
komunitas out-of-game yang biasanya berbentuk message boards atau sering pula
disebut sebagai online forum sebagai penunjang dari layanan game online yang
diberikan oleh publisher.
Value pada konteks komunitas virtual dapat diklasifikasikan menjadi
fungsional, sosial (Kim, Park & Jin, 2008) atau fungsional, sosial dan entertainment
(Sicilia & Palazon, 2008). Aspek entertainment tidak diikutsertakan sebagai
dimensi value-in-use dalam penelitian ini karena pada umumnya komunitas merek
virtual berbentuk message boards yang merupakan suatu interface yang dapat
memfasilitasi komunikasi asynchronous berbasis text antar anggota termasuk
penyimpanan, kategorisasi dan fungsi pencarian. Sistem message boards tidak
dilengkapi dengan fitur seperti game mini pada sejumlah website merek (Sicilia &
Palazon, 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa aspek entertainment tidak
menonjol pada message boards. Di samping itu, penelitian ini mengambil konteks
komunitas merek virtual game online yang berarti dimensi entertainment lebih
9
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
menonjol pada value-in-use di dalam penggunaan game, bukan pada aktivitas
dalam komunitas merek virtual yang terbentuk di luar game.
Hirarki tujuan pemasaran dimulai dari penciptaan superior customer value
(SCV) yang mendorong kepuasan konsumen dan sustainable competitive
advantage (SCA) yang memiliki efek berantai pada terciptanya loyalitas pelanggan,
customer equity, sales volume, shareholder value dan firm value (Srivastava,
Shervani, & Fahey, 1998; Pawitra, 2005; Ramaswami, Srivastava & Bhargava,
2009; Kumar & Shah, 2009). Loyalitas pelanggan merupakan salah satu tujuan
utama yang ingin dicapai oleh pelanggan (Andreassen, 1999; Casalo et al. 2010;
Woisetschlager, Lentz & Evanschitzky, 2011). Loyalitas pelanggan memberikan
berbagai dampak positif bagi pemasar seperti sensitivitas harga yang lebih rendah
(Lynch & Ariely, 2000), word-of-mouth positif (Dick & Basu, 1994; Hagel &
Amstrong (1997), kemungkinan berpaling pada pesaing lebih rendah (Yi & La,
2004; Thompson & Sinha 2008), profitabilitas perusahaan (Zeithaml, Berry, &
Parasuraman, 1996; Srinivasan, Anderson & Ponnavolu, 2002; Bowman, &
Narayandas, 2004), serta customer equity (Venkatesan & Kumar, 2004; Berger et
al., 2006; Gupta, et al., 2006). Singkatnya, loyalitas pelanggan merupakan prasyarat
akan tercapainya tujuan-tujuan pemasaran yang lain. Oleh karena itu, pada
penelitian ini loyalitas merek dipilih sebagai implikasi pemasaran yang ditelaah.
Berdasarkan observasi personal yang dilakukan peneliti pada tiga
komunitas merek virtual game online terbesar di Indonesia yakni Gemscool,
Megaxus dan Lyto, diperoleh beberapa hal yang menjadikan komunitas game
online di Indonesia menarik untuk dijadikan sebagai research setting. Pertama,
dewasa ini game online merupakan jenis layanan yang memiliki potensi pasar
relatif besar dan berpotensi memiliki pelanggan loyal untuk durasi tertentu. Kedua,
game online terutama yang termasuk dalam kategori role playing game (permainan
peran) memiliki sistem permainan yang rumit dan kompleks sehingga cukup sulit
bagi pemain untuk dapat mempelajari sendiri semua hal dalam permainan jika
hanya mengandalkan informasi dari website. Komunitas merek virtual dapat
memfasilitasi pertukaran informasi dan pengalaman antar pemain sehingga dapat
mempermudah, memperkaya dan mempercepat proses belajar pemain akan selukbeluk permainan yang berarti menjadi suatu wahana pemasaran penting pada tipe
layanan tersebut. Ketiga, meskipun telah dilakukan sejumlah penelitian tentang
komunitas merek virtual (Andersen, 2005; Shang et al., 2006; Casalo et al., 2007);
Sicilia & Palazon, 2008) dan penelitian tentang game online (Hsu & Lu, 2004;
2007; Koo, 2008), namun demikian masih sulit ditemui penelitian yang membahas
pemanfaatan komunitas merek virtual sebagai wahana pemasaran pada konteks
layanan game online terlebih yang mengabil setting di Indonesia. Berdasarkan
alasan tersebut, penelitian ini dilakukan pada konteks komunitas merek virtual
game online di Indonesia, dengan sampel dari dari tiga publisher game online
Indonesia dengan anggota terbanyak yaitu Gemscool, Megaxus dan Lyto.
Lebih jauh lagi, pada konteks publisher game online terdapat dua entitas
merek yang dapat menjadi objek loyalitas pelanggan yaitu merek publisher sebagai
tujuan jangka panjang dan merek game online sebagai tujuan antara. Pada
penelitian ini loyalitas terhadap publisher adalah implikasi utama dari perilaku
partisipatif yang diteliti, sementara itu loyalitas terhadap game juga ditelaah sebagai
penjelasan pendamping.
10
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 2
2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Consumer Culture Theory sebagai Landasan Teoritis Model Penelitian
Penelitian ini membahas fenomena value-in-use sebagai penggerak perilaku
partisipatif posting dan lurking serta implikasinya pada loyalitas merek.
Pembahasan Consumer Culture Theory atau sering disingkat sebagai CCT,
khususnya pada telaah marketplace culture mencakup berbagai aspek dalam
komunitas merek virtual mulai dari value yang tercipta di dalamnya, dampaknya
pada perilaku anggotanya, serta implikasinya pada loyalitas merek (Arnould &
Thompson, 2007). Oleh karena itu, untuk selanjutnya CCT digunakan sebagai
landasan teori utama dalam penelitian ini. Cakupan CCT pada konstruk-konstruk
utama penelitian secara lebih rinci diilustrasikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. CCT Sebagai Landasan Teoritis Model Penelitian
Peneliti CCT berupaya untuk menelaah aspek kontekstual, simbolis dan
eksperiensial dari konsumsi pada siklus konsumsi yang terdiri atas proses akuisisi,
konsumsi dan kepemilikan, serta disposisi (Belk, 1988; Belk, Wallendorf & Sherry
1989; Holbrook, 1987). Proses tersebut menggambarkan proses perilaku konsumen
(Schiffman & Kanuk, 2007; Solomon, 2009). Agenda telaah tersebut kemudian
11
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
diklasifikasikan menjadi empat program penelitian dalam CCT, yaitu (1) consumer
identity project, (2) marketplace culture, (3) the sociohistoric patterning of
consumption dan (4) mass-mediated marketplace ideologies and consumers’
interpretative strategies (Arnould & Thomson, 2005; Ozanne & Dobscha, 2006).
Terkait dengan pergeseran paradigma dalam pemasaran dari GoodDominant Logic ke arah Service-Dominant Logic (Vargo & Lusch, 2004; 2008;
Lusch, vargo & Malter 2006), sebagian ide proposisi yang diajukan pada ServiceDominan Logic telah dikenal oleh peneliti CCT (Arnould & Thompson, 2005).
Lebih jauh lagi, penelitian CCT perlu diselaraskan dengan perkembangan teori,
praktik dan metode yang ada termasuk menelaah kemungkinan sinergi CCT dengan
perkembangan Service-Dominant Logic guna memperoleh legitimasi di masa depan
(Arnould, 2007).
Penelitian komunitas merek dapat diklasifikasikan ke dalam domain
program penelitian CCT yang kedua yaitu marketplace cultures. Hal ini didasarkan
pada alasan bahwa penelitian marketplace cultures pada CCT mencakup telaah
pada bagaimana konsumen menempa rasa solidaritas sosial dan menciptakan dunia
kultural yang berbeda, terfragmentasi, self-selected, dan terkadang bersifat
sementara melalui ketertarikan akan konsumsi yang sama (Schouten &
McAlexander, 1995; Belk & Costa 1998; Kozinets 2001; Kozinets 2002). Dalam
penelitian CCT, komunitas merek dan komunitas merek virtual sebagai elemen
mediasi sering ditinjau dari perilaku partisipatif sebagai konstruk utama dalam
pembahasan komunitas virtual (Kozinet, 1999; Muniz & O’guinn, 2001,
McAlexander et al., 2002; Kim, Lee & Hiemstra, 2003; Shang, Chen & Liao, 2006;
Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Thompson & Sinha, 2008). Khusus pada
pembahasan komunitas merek virtual sebagai salah satu bentuk komunitas virtual
perilaku partisipatif kemudian dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu perilaku
partisipatif posting dan lurking (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke &
Andrews, 2004; Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004). Berdasarkan fakta tersebut
perilaku partisipatif posting dan lurking dipilih sebagai konstruk utama dalam
penelitian ini. Sementara itu, sebagai ujung teori dapat ditinjau loyalitas merek
sebagai salah satu implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif konsumen yang
ditelaah dalam CCT (Fournier, 1998; Muniz & O’guinn, 2001, McAlexander et al.,
2002; Casalo, Flavian & Guinaliu, 2010).
2.2 Konsep dan Cakupan Komunitas Merek Virtual
2.2.1 Komunitas Merek Virtual sebagai Wahana E-marketing
Suatu komunitas biasaya dicirikan dengan adanya interaksi atau keterkaitan
sosial yang mengikat individu dalam suatu kelompok tertentu. Keterkaitan tersebut
dapat didasarkan pada alasan geografis atau alasan relasional yang melibatkan
hubungan antar individu tanpa merujuk pada suatu lokasi tertentu, contohnya
komunitas hobi, keagamaan, atau fan club. Dengan keberadaan internet sebagai
media baru dalam berkomunikasi dan berinteraksi konteks komunitas tradisional
kemudian diperluas pada komunitas virtual yang cenderung lebih dekat kepada
komunitas relasional karena tidak adanya batasan secara fisik (Koh & Kim, 2003).
Komunitas virtual merupakan salah satu dari dua tipe utama sosial media
bersama dengan jejaring sosial (social network). Jejaring sosial seperti Facebook
12
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dan Friendster merupakan wahana yang memfasilitasi hubungan interpersonal antar
individu yang sudah ada sebelumnya, misalnya keluarga, teman, atau rekan bisnis.
Tujuan seseorang bergabung dalam situs jejaring sosial adalah untuk memelihara
hubungan yang telah ada dan memperluas jejaring dengan membentuk hubunganhubungan baru. Sementara itu, komunitas merupakan kelompok individu yang
didasarkan pada ketertarikan yang sama pada suatu hal tanpa perlu ada hubungan
interpersonal sebelumnya (Wu, 2011). Setiap individu dapat menjadi bagian dari
beberapa komunitas sekaligus dalam satu waktu yang sama. Perbedaaan antara
jejaring sosial dan komunitas diilustrasikans secara grafis pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Jejaring sosial (Kiri) dan Komunitas (Kanan)
Sumber: Wu (2011)
Dengan adanya penggunaan media digital dalam berkomunikasi dan
berinteraksi komunitas virtual memiliki perbedaan dengan komunitas
tradisional/offline (Slabeva & Schmid, 2001), yaitu:

Technological mediation – anggota komunitas terhubungn melalui media
digital yang berarti meniadakan batasan fisik dan geografis dalam berinteraksi
satu sama lain

Ubiquity – dengan adanya karakteristik interactivity dan ubiquity (dapat hadir
di mana saja) media digital pembentuk komunitas dimungkinkan tanpa adanya
kendala ruang dan waktu, hal ini berarti memungkinkan komunikasi dilakukan
kapan saja dan dapat terjadi secara instan

Replacement of physical presence with an “online identity”, memungkinkan
seseorang memiliki identitas khusus di dunia virtual (misalnya melalui nick
name atau avatar) bahkan memungkinkan seseorang tampil dengan personality
yang berbeda.
Komunitas virtual merupakan kumpulan individu dengan ketertarikan yang
sama akan suatu hal, terpisah secara geografis namun terkait satu dengan yang lain
dalam suatu jaringan hubungan relasional yang dinamis tanpa adanya kontak secara
13
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
fisik (Dholakia et al., 2004; Sicilia & Palazon, 2008). Banyak diantara komunitas
virtual tersebut yang didasarkan atas ketertarikan atas suatu konsumsi yang sama
(Kozinets, 1999; Andersen 2005; Shang et al., 2006; Thompson & Sinha 2008;
Muniz & Schau 2011) yang kemudian dikenal sebagai komunitas merek virtual.
Keterkaitan antara komunitas, komunitas merek, komunitas virtual dan komunitas
merek virtual dapat diilustrasikan melalui gambar berikut.
Gambar 2.3. Offline vs Virtual Community dan Brand Community
Sumber: Sicilia & Palazon, 2008
2.2.2 Elemen Komunitas Merek Virtual
Seperangkat hubungan antar pengagum suatu merek dapat disebut sebagai
suatu bentuk komunitas merek jika memiliki tiga komponen komunitas yaitu
consciousness of kind, rituals and traditions, dan sense of moral responsibility
(Muniz & Oguin 2001). Komunitas merek virtual sebagai perluasan dari komunitas
merek memiliki elemen pembentuk yang mirip dengan komunitas merek tradisional
(Whittaker, Issacs and O’Day, 1997), yaitu:

Tujuan dan ketertarikan yang serupa. Pada komunitas merek virtual hal yang
menjadi pemersatu di kalangan anggotanya adalah ketertarikan yang sama atas
suatu merek. Hal ini biasanya dapat dengan mudah dikenali melalui pemilihan
nama komunitas merek yang dibentuk, misalnya MacClubIndonesia (komunitas
merek virtual yang dibentuk oleh para pengguna merek Mac di Indonesia).
Forum Gemscool sebagai salah satu sampel komunitas yang ditelaah dalam
penelitian ini merupakan komunitas merek virtual yang dibentuk dan difasilitasi
Gemscool, salah satu publisher game online di Indonesia. Komunitas ini
beranggotakan para pemain game online yang sama-sama memainkan online
game di bawah publisher Gemscool. Mereka bergabung dan berpartisipasi
dalam komunitas tersebut untuk menggali dan berbagi informasi maupun
14
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
pengalaman dalam mengkonsumsi layanan online game dari publisher
Gemscool.

Partisipasi, interaksi, ikatan emosional, dan aktivitas bersama di kalangan
anggota. Dalam komunitas merek virtual anggota difasilitasi untuk dapat
berpartisipasi misalnya dengan menuliskan pengalamannya, berinteraksi dan
saling memberikan dukungan melalui kegiatan percakapan atau diskusi dengan
sesama anggota, serta melakukan aktivitas bersama secara online yang kadang
kala ditambah dengan aktivitas offline seperti gathering (sering disebut sebagai
kopdar atau kopi-darat) anggota secara berkala. Interaksi tersebut yang menjadi
salah satu faktor pemerkuat ikatan emosional anggota komunitas merek virtual.
Pada konteks penelitian ini, komunitas out-of-game layanan online game
menjadi wahana untuk berinteraksi dan berdiskusi bersama melalui aktivitas
berbalas pesan yang dalam jangka waktu lama akan memperkuat ikatan
emosional di antara anggotanya.

Akses pada sumber daya bersama dan ketentuan akan akses sumber daya
tersebut. Salah satu manfaat yang ditawarkan oleh komunitas merek virtual
adalah akumulasi sumber daya informasi yang dihimpun secara kontinyu dari
kontribusi para angotanya melalui penulisan pengalaman penggunaan merek,
perluasan penggunaan atau pemecahan permasalahan terkait dengan merek
yang dikonsumsi. Sumber daya tersebut kemudian dapat diakses oleh
anggotanya dan pada kondisi tertentu dan pada derajat tertentu oleh pengunjung
di luar anggota. Sumber daya komunitas merek virtual juga dapat berbentuk
sebagai himpunan keahlian, layanan atau fasilitas transaksi yang diupayakan
bersama oleh anggota komunitas. Pada konteks penelitian ini, komunitas outof-game layanan online game menjadi wahana penyimpanan informasi dari dan
untuk anggota, serta menjadi wahana untuk meminta bantuan kepada sesama
anggota komunitas merek virtual yang memiliki keahlian-keahlian tertentu
terkait dengan layanan online game yang dimainkan.

Kebiasaan, bahasa, dan aturan yang disepakati bersama. Sebagaimana layaknya
komunitas dalam komunitas merek virtual juga lazim ditemukan adanya
kebiasaan, bahasa dan aturan khusus yang disepakati bersama. Misalnya
tatacara posting dan kategorisasi anggota berdasarkan jumlah posting dan
reputasinya. Pada konteks penelitian ini, komunitas out-of-game layanan online
game juga memiliki kebiasaan-kebiasaan dan bahasa spesifik, misalnya
panggilan “Atlantian” kepada para pemain online game Atlantica Online.
Pada konteks produk game online, komunitas merek virtual merupakan
wahana yang memiliki peran penting dalam proses penciptaan nilai bagi pelanggan.
Pelanggan pada awalnya berinteraksi dengan produk atau merek game online dalam
suatu proses konsumsi yang menciptakan value-in-use bagi mereka. Kemudian
pelanggan terlibat dalam suatu proses interaksi lebih lanjut dengan merek, penyedia
layanan (publisher dan pengelola komunitas merek virtual) serta sesama anggota
komunitas dalam komunitas merek virtual melalui media komunikasi dan interaksi
online. Interaksi tersebut dalam teori konsumunitas (Ardianto & Soehadi, 2013)
juga merupakan proses konsumsi, dalam hal ini penikmatan atas suatu makna
peristiwa, yang juga akan menciptakan value-in-use lebih jauh bagi pelanggan.
Pengalaman akibat interaksi dengan merek serta interaksi dalam komunitas tersebut
pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi pemasar dalam bentuk
15
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
kepuasan, loyalitas, empowerment, ikatan emosional, trust serta komitmen (Brodie
et al., 2013).
2.2.3 Klasifikasi Komunitas Merek Virtual
Berdasarkan struktur sosialnya (longgar atau ketat), dan fokus kelompoknya
(pertukaran informasi atau interaksi sosial), komunitas merek virtual dapat
diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu boards, rings and lists, rooms dan
dungeons, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.4 (Kozinets, 1999).
Pemahaman akan adanya klasifikasi ini dapat membantu pemasar dalam melakukan
segmentasi dan perumusan upaya pemasaran yang sesuai.
Gambar 2.4. Jenis Komunitas Merek Virtual
Sumber: Kozinets (1999)
Boards merupakan komunitas virtual yang terbentuk atas ketertarikan
khusus akan konsumsi dalam bentuk bulletin boards elektronik. Anggota boards
dapat membaca dan menulis pesan yang disusun berdasarkan judul dan tanggal atau
memberikan respon pada suatu topik diskusi. Boards memiliki pengaruh dan
cakupan yang lebih luas karena dapat diakses pula oleh penggunjung yang bukan
merupakan anggota dan hanya bertujuan mencari informasi berdasarkan pesanpesan yang ada dalam boards. Boards berpusat pada suatu aktivitas konsumsi,
sehingga memiliki segmentasi yang relatif jelas. Boards cenderung bersifat lebih
besar dan umum tidak seintim rooms dan lists. Oleh karenanya lebih
memungkinkan bagi pemasar untuk melakukan aktivitas pemasarannya tanpa kesan
yang mengganggu.
Kebanyakan komunitas merek virtual termasuk di Indonesia berbentuk
sebagai boards atau sering disebut sebagai online forum, contohnya
macclubindonesia.com, www.blackberryforums.com, dan forum.gemscool.com.
Board pada umumnya menyediakan fasilitas penulisan pesan, pencarian pesan,
interaksi, informasi statistik dan kategorisasi anggota yang terstruktur dan mudah
untuk digunakan. Berdasarkan fakta tersebut komunitas merek virtual dalam
16
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
penelitian didefinisikan sebagai komunitas merek virtual dengan bentuk boards
yang pada prakteknya sering pula disebut sebagai online forum.
2.3 Value-in-use pada Komunitas Merek Virtual
Strategi pemasaran yang didasarkan atau berfokus pada value diyakini
sebagai suatu perspektif yang akan meningkatkan tingkat keberhasilan organisasi
(Khalifa, 2004). Penciptaan superior customer value dipandang sebagai elemen
kunci keberhasilan perusahaan (Treacy & Wiersema, 1993; Christopher, 1996;
Porter, 1996; Woodruff, 1997). Hal ini dikarenakan penghantaran produk atau jasa
yang memberikan superior value kepada pelanggan akan mendorong kepada
terciptanya loyalitas pelanggan sebagai penggerak dari performa finansial
(Reichheld, 1993; Heskett, Jones, Loveman, Sasser, & Schlesinger, 1994;
Reichheld, Markey, & Hopton, 2000). Dengan meningkatkan jumlah pelanggan
loyal sebesar 5% perusahaan dapat meningkatkan profitnya hingga hampir 100%
(Reichheld & Sasser, 1990).
Pada literatur manajemen, value dapat dipandang dari tiga sudut pandang,
yaitu shareholder value, customer value dan stakeholder value (Khalifa, 2004).
Namun demikian, customer value merupakan sumber dari value yang lain (Heskett
et al., 1994; Lemon, Rust & Zeithaml, 2001; Rust, Lemon & Zeithaml, 2004).
Shareholder value merupakan hasil dari hubungan relasional dengan pelanggan
(Gronroos, 2000). Shareholder value merupakan hasil dari sustainable competitive
advantage (Kaplan & Norton, 1996).
Dalam penelitian ini value dipandang dari sudut pandang kedua yaitu
customer value atau sering juga disebut sebagai customer perceived value. Seiring
dengan perkembangan disiplin pemasaran, khususnya pergeseran paradigma dari
“goods-dominant” logic menjadi “service-dominant” logic pandangan terhadap
customer perceived value juga mengalami pergeseran dari value-in-exchange atau
embedded value menjadi value-in-use. Pergeseran pandangan terhadap customer
value ini dapat diilustrasikan pada Gambar 2.5.
Pada “goods-dominant” logic customer value cenderung dipandang sebagai
embedded value yaitu atibut produk/jasa atau performanya yang siap dibayar oleh
pelanggan (Macdonald, Martinez, & Wilson, 2009). Contoh pandangan ini adalah
adanya pengukuran kualitas layanan seperti SERVQUAL (Parasuraman, Zeithaml,
& Berry, 1988). Pandangan tersebut kemudaian mulai bergeser ke arah value-inuse. Sebagai contoh Woodruff (1997) memandang customer value sebagai persepsi
preferensi dan evaluasi pelanggan terhadap atribut produk, performa atribut dan
konsekuensinya dalam memfasilitasi atau menghalangi tujuan pelanggan setelah
mengkonsumsinya. Pada definisi ini terdapat dua sudut pandang akan customer
value. Jika customer value dipandang dari persepsi akan atribut produk dan
performa produk maka customer value dipandang sebagai embedded value.
Sementara itu jika customer value dipandang sebagai konsekuensi yang muncul
terkait dengan tujuan pelanggan setelah mengkonsumsi produk/jasa, maka
customer value dipandang sebagai value-in-use.
17
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Gambar 2.5. Pergeseran Embedded Value menjadi Value-in-use
Sumber: Macdonald, Martinez, & Wilson (2009)
Sejumlah peneliti mencoba membuat kategorisasi value agar lebih
bermanfaat dan mudah untuk digunakan, seperti fungsional, sosial, emosional,
epistemic dan kondisional (Sheth, Newman & Gross, 1991), performa, sosial dan
emosional (Sheth & Mittal, 2004), phychic value dan utility value (Khalifa, 2004).
Sementara itu, pada beberapa penelitian dengan konteks komunitas merek virtual,
nilai dikelompokkan menjadi fungsional (functional value), sosial (social value)
dan hiburan atau entertainment value (Kim, Park & Jin, 2008; Sicilia & Palazon,
2008; Kim, Gupta & Koh, 2011).
Peneliti CCT memandang aktivitas cocreation dalam suatu komunitas
merek menciptakan value kolektif yang pada akhirnya konsumen melalui
partisipasi dalam komunitas merek baik secara offline maupun online merasakan
value-in-use sosial dan hedonik di samping benefit yang diberikan oleh perusahaan
(Schau, Muniz & Arnould, 2009). Dalam komunitas merek virtual terjadi proses
cocreation oleh pemasar dan pelanggan yang menciptaan value kolektif. Sebagai
18
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
contoh, praktek documenting menciptakan value dengan membangun basis
informasi dalam komunitas, evangelizing menciptakan value dengan memperbesar
komunitas dan meningkatkan persepsi merek, praktek empathizing menciptakan
value dengan menyediakan sumber daya afektif dalam komunitas, customizing
menciptakan value dengan menawarkan solusi yang unik namun dapat direproduksi
atas tantangan yang dihadapi pengguna merek, serta milestoning dan badging
menciptakan value dengan membangun makna merek.
Gambar 2.6. Praktek-praktek dalam komunitas merek yang menciptakan value
Sumber: Schau, Muniz & Arnould (2009)
Value kolektif sebagaimana telah diuraikan, pada akhirnya dapat
menciptakan value-in-use yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan tujuan
masing-masing anggota komunitas merek virtual. Value-in-use dapat diungkapkan
oleh pelanggan sebagaimana mereka mengungkapkan kualitas layanan setelah
menggunakannya (Macdonald et al., 2011). Pada komunitas merek virtual hal ini
berarti value-in-use merupakan hasil penilaian anggota komunitas setelah mereka
berpartisipasi dalam suatu komunitas merek virtual.
2.4 Perilaku Partisipatif pada Komunitas Merek Virtual
Masing-masing individu dapat berangkat dari motivasi yang berbeda-beda
sebagai alasan untuk bergabung dalam suatu komunitas virtual. Motivasi yang
berbeda tersebut akan berdampak pada menjadi tipe anggota seperti apa mereka
nantinya yang berarti mencerminkan pula perilaku partisipatifnya di dalam
komunitas (Kozinets, 1999; Akkinen, 2005). Pengakses komunitas virtual dapat
merupakan anggota, atau bukan anggota dari komunitas virtual, khususnya pada
komunitas virtual terbuka (memungkinkan selain anggota dapat mengakses
19
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
sebagian fungsi dari komunitas virtual). Hasil penelitian membuktikan bahwa untuk
website komunitas ritel rata-rata jumlah anggotanya berada pada kisaran 1/3 dari
total pengaksesnya, namun mereka berkontribusi pada 2/3 dari angka penjualan
online (Brown et al., 2001).
Anggota komunitas virtual kemudian diklasifikasikan lagi menjadi dua
kategori yaitu berdasarkan perilaku partisipatifnya yang menonjol yaitu "lurker"
dan “poster” (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004;
Rafaeli, Ravid & Soroka, 2004). Lurking dapat dinilai sebagai masalah ataupun
bukan, bergantung dari kondisi komunitas dan tujuan penilaiannya. Jika pada suatu
komunitas merek virtual hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada posting, maka
lurking merupakan permasalahan yang akan mengancam kelangsungan hidup
komunitas tersebut. Namun demikian, pada komunitas merek virtual yang memiliki
aktivitas posting memadai, terlebih pada komunitas virtual yang besar dan sangat
aktif, memiliki anggota yang berperilaku sebagai lurker tidak perlu dipandang
sebagai permasalahan (Preece et. al 2004). Lebih jauh lagi, jika ditinjau dari
perspektif pemasaran komunitas merek virtual dipandang sebagai suatu alternatif
wahana pemasaran melalui media internet. Jika komunitas merek virtual dipandang
sebagai wahana pemasaran, maka tujuan utamanya sepatutnya bukan kelangsungan
hidup komunitas merek virtual semata, namun lebih jauh lagi tercapainya tujuan
pemasaran seperti loyalitas merek. Dalam perspektif ini, tentunya baik poster
maupun lurker sebagai pengguna merek perlu mendapatkan perhatian yang sama
melalui penciptaan value proposition tertentu yang pada akhirnya akan dipandang
sebagai value-in-use bagi anggota melalui interaksinya di dalam komunitas merek
virtual. Nonnecke & Preece (2001) membagi alasan mengapa anggota komunitas
virtual memilih untuk menjadi lurker ke dalam empat kategori yaitu karakteristik
anggota, karakteristik komunitas, tahapan keanggotaan, dan kendala eksternal.
Selain adanya keberagaman alasan seorang anggota komunitas virtual untuk
cenderung berperilaku lurking, perilaku partisipatif sendiri bersifat dinamis. Poster
dapat berlaku sebagai lurker dan juga sebaliknya pada waktu dan situasi yang
berbeda. Seseorang yang masih berada pada fasa pengenalan terhadap suatu
komunitas virtual mungkin akan cenderung berperilaku partisipatif lurking untuk
lebih mengenal dan membiasakan diri dengan komunitasnya (Nonnecke & Preece,
2001). Pada kasus seseorang yang memiliki keanggotaan ganda yaitu menjadi
anggota pada beberapa komunitas virtual dapat berperilaku sebagai poster pada satu
komunitas virtual dan berperilaku sebagai lurker pada komunitas virtual yang lain
dengan alasan keterbatasan sumber daya berupa waktu dan tenaga (Nonnecke &
Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach, 2004).
2.5 Loyalitas Merek
Tujuan pemasaran bergerak dari penciptaan superior customer value (SCV)
yang mendorong kepuasan konsumen dan sustainable competitive advantage
(SCA) yang memiliki efek berantai pada terciptanya loyalitas pelanggan, customer
equity, sales volume dan pada akhirnya shareholder value (Pawitra, 2005).
Sejumlah penelitian menekankan pentingnya shareholder value sebagai tujuan
akhir dari kegiatan pemasaran (Srivastava, Shervani, & Fahey, 1998; Ramaswami,
Srivastava & Bhargava, 2009; Kumar & Shah 2009). Namun demikian tetap tidak
20
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dapat dikesampingkan bahwa loyalitas pelanggan merupakan prasyarat akan
tujuan-tujuan pemasaran setelahnya termasuk shareholder value (Venkatesan &
Kumar, 2004; Gupta, Hanssens, Hardie, Kahn, Kumar, Lin, & Sriram, 2006;
Berger, Eechambadi, George, Lehmann, Rizley, & Venkatesan, 2006). Oleh karena
itu, implikasi pemasaran dalam penelitian ini dibatasi pada loyalitas merek.
Loyalitas merek dapat didefinisikan sebagai komitmen yang tinggi untuk
melakukan pembelian ulang atau berlangganan suatu produk/jasa secara konsisten
di masa mendatang, sehingga menyebabkan pembelian berulang terhadap suatu
merek yang sama, meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran masih
memiliki potensi untuk menyebabkan pergeseran merek (Oliver, 1999). Penting
bagi pemasar untuk membangun dan mempertahankan hubungan dengan konsumen
secara terus-menerus terutama konsumen yang menguntungkan (Pawitra, 2005).
Konsumen yang loyal menunjukkan perilaku lebih tidak sensitif terhadap harga
daripada konsumen yang tidak loyal (Krishnamurthi & Rajan, 1991). Pada
penelitian lain juga dindikasikan bahwa loyalitas berkaitan dengan angka penjualan
di masa mendatang (Vogel, Evanschitzky & Ramaseshan, 2008) .
Ada perbedaan opini yang muncul dalam pembahasan loyalitas. Apakah
sikap (attitudinal) dan perilaku (behavioral) yang penting dalam menggambarkan
loyalitas (Casalo, Flavian & Guinaliu, 2010). Sebagian peneliti menggunakan
perilaku sebagai ukuran loyalitas (Bayus, 1992; Fornell 1992; Anderson & Sullivan
1993; Thompson & Sinha, 2008). Sebagaian peneliti lainnya menilai pembelian
ulang sebagai salah satu bentuk perilaku loyal tidak cukup menggambarkan
loyalitas merek (Dick & Basu 1994). Atas dasar pentingnya untuk
mengikutsertakan aspek attitudinal dan behavioral dalam mengukur loyalitas
merek (Dick & Basu; 1994; Oliver 1999; Chaudhuri & Holbrook, 2001), maka
dalam penelitian ini akan diadopsi konsep loyalitas merek yang mencakup loyalitas
attitudinal dan behavioral. Implementasi konsep attitudinal-behavioral dalam
pengukuran loyalitas merek juga memungkinkan klasifikasi loyalitas merek
menjadi empat kondisi, yaitu no loyalty, spurious loyalty, latent loyalty dan loyalty.
Gambar 2.7. Rerangka Attitude-Behavior Loyalty
Sumber: Dick & Basu (1994)
21
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 3
3. MODEL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
3.1 Model Penelitian
Penganut CCT menilai perlunya meneliti komunitas merek virtual untuk
memahami dan menjelaskan fenomena value co-creation, termasuk value-in-use,
juga mediasi perilaku partisipatif dalam komunitas merek virtual serta implikasi
bagi tercapainya tujuan pemasaran yaitu loyalitas merek (Arnould & Thompson,
2007). Di dalam CCT penelitian komunitas merek tercakup dalam bahasan
marketplace culture yang melibatkan terbentuknya solidaritas sosial yang
menciptakan dunia kultural yang berbeda, terfragmentasi, self-selected, dan
terkadang bersifat sementara melalui ketertarikan akan konsumsi yang sama
(Arnould & Thompson, 2005). Oleh karena itu, CCT dinilai sesuai untuk digunakan
sebagai dasar teori pada pengembangan model dalam penelitian ini.
Tiga konstruk utama dalam penelitian ini yaitu value-in-use, perilaku
partisipatif dan loyalitas merek tercakup dalam CCT. Pada penelitian terdahulu di
luar disiplin pemasaran telah ditelaah beberapa faktor penggerak perilaku
partisipatif dalam komunitas virtual seperti estetika, usability, (Franco & Cataluña,
2010), kualitas informasi dan sistem (Lin, 2008), keterlibatan (Shang et al., 2006).
Sementara itu dalam perspektif pemasaran value diniliai sebagai syarat awal
tercapainya tujuan-tujuan pemasaran (Sweeney & Soutar 2001; Khalifa, 2004;
Pawitra, 2005). Oleh karena itu, pada penelitian ini value-in-use ditempatkan
sebagai pemicu perilaku partisipatif konsumen pada komunitas merek virtual.
Komunitas merek virtual sebagai mediator ditinjau dari konstruk perilaku
partisipatif sebagai konstruk utama dalam pembahasan komunitas virtual (Kim, Lee
& Hiemstra, 2003; Shang, Chen & Liao, 2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007;
Thompson & Sinha, 2008). Sementara itu, sebagai implikasi ditinjau loyalitas
merek sebagai salah satu implikasi penting pemasaran yang ditelaah dalam CCT
(Fournier, 1998; Muniz & O’guinn, 2001, McAlexander et al., 2002; Casalo,
Flavian & Guinaliu, 2010).
Telaah marketplace culture sebagai salah satu dari empat pokok bahasan
dalam CCT mencakup proses bagaimana konsumen secara sukarela menempa rasa
solidaritas sosial dan penciptaan dunia kultural yang unik, terfragmentasi, dan
kandang bersifat sementara melalui perilaku partisipatifnya dalam komunitas
merek (Schouten & McAlexander 1995; Belk & Costa 1998; Kozinets 2001).
Telaah tersebut juga meneliti faktor penggerak perilaku partisipatif serta
implikasinya bagi pemasaran. Secara sederhana, penelitian ini mencoba untuk
meneliti apakah jika seorang anggota merasakan manfaat dari komunitas merek
virtual mereka kemudian akan senantiasa berpartisipasi dalam komunitas bahkan
dengan intensitas yang lebih tinggi guna tetap menggali manfaat tersebut. Jika
seorang anggota berpartisipasi dengan intensitas yang tinggi pada komunitas merek
virtual yang berarti semakin intens bersentuhan dengan pengguna merek, merek
dan komunikasi seputar merek apakah kemudian menjadikan loyalitasnya terhadap
merek menjadi lebih tinggi. Berdasarkan uraian tentang value-in-use sebagai
22
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
penggerak perilaku partisipatif, serta implikasinya pada loyalitas merek, maka
dalam penelitian ini diajukan model penelitian sebagaimana diilustrasikan pada
Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Model Penelitian
3.2 Pengembangan Hipotesis
Sesuai dengan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan
pada bagian awal, serta didasarkan pada CCT khususnya bahasan marketplace
culture terkait komunitas merek virtual, dalam penelitian ini dikembangkan delapan
hipotesis penelitian. Pengujian terhadap hipotesis tersebut digunakan sebagai dasar
pengembangan teori tentang keterkaitan value-in-use sebagai penggerak perilaku
partisipatif, serta implikasinya terhadap loyalitas merek. Pengujian hipotesis akan
didasarkan pada fakta empiris.
3.2.1 Pengaruh Value-in-use Fungsional Terhadap Perilaku Partisipatif
Posting dan Lurking
Seperti halnya komunitas tradisional, interaksi antar anggota dan praktek
yang terjadi dalam komunitas dapat menciptakan nilai bagi anggotanya. Pada
komunitas merek tradisional nilai tercipta melalui praktek social networking
(welcoming, empathizing, governing), community engagement (Documenting,
badging, milestoning, stalking), impression management (evangelizing, justifying)
serta brand use (customizing, grooming, commoditizing) sebagaimana
diungkapkan dalam Schau, Muniz & Arnould (2009). Hal yang membedakan
adalah bentuk komunikasi dan interaksinya yang dipermudah dengan keberadaan
teknologi komunikasi dan informasi.
Dalam penelitian ini ditinjau dua dimensi nilai yaitu fungsional dan sosial.
Nilai fungsional mencakup aspek seperti saran, informasi dan keahlian (Kim, Park
& Jin, 2008; Sicilia & Palazon, 2008; Kim, Gupta & Koh, 2011). Sejumlah
penelitian mengindikasikan adanya pengaruh positif meskipun secara tidak
23
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
langsung elemen-elemen nilai fungsional terhadap perilaku partisipatif posting
(Dholakia et al., 2004; Lin, 2008). Di sisi lain, informasi merupakan manfaat utama
yang juga ingin dicari termasuk pada kalangan lurker dan menjadi pendorong
mereka untuk berpartisipasi dalam komunitas virtual (Nonnecke & preece,1999;
2001; Nonnecke et al., 2004). Semakin besar manfaat yang dipersepsikan atau ingin
didapat oleh seorang anggota dari komunitas merek virtualnya akan mendorong
tingkat pencarian informasi melalui perilaku partisipatif lurking yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian tersebut, diajukan hipotesis tentang value-in-use fungsional
sebagai penggerak perilaku partisipatif posting maupun lurking.
H1 : Semakin tinggi value-in-use fungsional yang dipersepsikan, semakin
tinggi intensitas perilaku partisipatif posting pada komunitas merek
virtual
H2 : Semakin tinggi value-in-use fungsional yang dipersepsikan, semakin
tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking pada komunitas merek
virtual
3.2.2 Pengaruh Value-in-use Sosial Terhadap Perilaku Partisipatif Posting
dan Lurking
Nilai sosial mencakup aspek seperti pertemanan, dukungan sosial,
kebanggaan, status sosial dan social enhancement (Kim, Park & Jin, 2008; Sicilia
& Palazon, 2008; Kim, Gupta & Koh, 2011). Sejumlah penelitian mengindikasikan
adanya pengaruh secara tidak langsung elemen-elemen nilai sosial terhadap
perilaku partisipatif posting (Dholakia et al., 2004; Lin, 2008). Melalui perilaku
partisipatif posting seorang anggota komunitas merek virtual dapat memperoleh
manfaat seperti mendapatkan banyak teman, berdiskusi dengan orang lain,
membanggakan diri, atau dapat meminimalkan rasa kesepian (Flanagin & Metzger,
2001).
Sementara itu di sisi lain, sejumlah penelitian lain mengindikasikan bahwa
perilaku partisipatif bersifat dinamis. Seorang anggota komunitas merek virtual bisa
saja menilai nilai sosial yang diperoleh melalui komunitasnya adalah besar, namun
demikian belum merasa aman dan nyaman untuk menunjukkan perilaku partisipatif
posting, sehingga yang dilakukan adalah berusaha lebih mengenal dan lebih merasa
nyaman dengan melakukan aktivitas lurking (Nonnecke & Preece, 1999; Preece,
Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach, 2004). Kemungkinan lain yang bisa
terjadi adalah seorang anggota komunitas merek virtual mungkin saja
memanfaatkan komunitasnya guna mencari teman, namun demikian karena media
komunikasi berbasis internet memiliki banyak alternatif saluran komunikasi maka
dia tidak melakukan aktivitas komunikasi melalui perilaku partisipatif posting
namun dengan cara lain misalnya melalui private message atau Short Message
Service (SMS). Pada kondisi ini yang akan terlihat pada komunitas hanya perilaku
partisipatif lurking saja sementara itu perilaku partisipatif posting tidak menonjol.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini diajukan dugaan akan
adanya pengaruh positif value-in-use sosial terhadap perilaku partisipatif posting
maupun perilaku partisipatif lurking. Berdasarkan uraian tersebut, diajukan
hipotesis tentang value-in-use sosial sebagai penggerak perilaku partisipatif posting
maupun lurking.
24
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
H3 : Semakin tinggi value-in-use sosial yang dipersepsikan, semakin
tinggi intensitas perilaku partisipatif posting pada komunitas merek
virtual
H4 : Semakin tinggi value-in-use sosial yang dipersepsikan, semakin
tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking pada komunitas merek
virtual
3.2.3 Pengaruh Perilaku Partisipatif Posting terhadap Loyalitas Merek
Attitudinal dan Behavioral
Sejumlah penelitian terdahulu telah membuktikan adanya dampak positif
partisipasi dalam komunitas merek tradisional terhadap loyalitas seorang anggota
komunitas merek terhadap merek terkait komunitas merek tersebut (Andersen,
2005; Algesheimer et al., 2005; Shang et al., 2006). Tingkat partisipasi seorang
anggota dalam suatu komunitas bervariasi mulai dari sympathizer (tingkatan
partisipasi terendah), active members, practitioners hingga devotees yang memiliki
tingkat keterlibatan dan keterikatan emosional yang tinggi (Cova & Cova, 2002).
Pada konteks komunitas merek, anggota dengan tingkat partisipasi yang tinggi
dalam komunitas cenderung memiliki tingkat identifikasi dan ikatan emosional
yang tinggi terhadap merek terkait (Algesheimer et al., 2005). Identifikasi dan
ikatan emosional tersebut pada akhirnya berdampak pada tingkat loyalitas yang
lebih tinggi terhadap merek (McAlexander et al. 2002). Penjelasan tersebut juga
berlaku pada komunitas merek virtual sebagai perluasan dari komunitas merek
(Andersen, 2005; Casalo et al., 2010) dengan penyesuaian definisi partisipasi
sebagai perilaku partisipatif posting dan lurking.
Aktivitas menuliskan pesan atau berdiskusi dengan sesama anggota
komunitas merek virtual (posting) memerlukan usaha yang lebih tinggi daripada
hanya melakukan perilaku partisipatif lurking (Nonnecke & preece, 2001). Usaha
yang besar tersebut kemudian berdampak pada kecenderungan untuk lebih loyal
terhadap merek guna menghindari timbulnya masalah cognitive dissonance (Shang
et al., 2006). Pada kondisi ini cognitive dissonance atau rasa tidak nyaman timbul
karena terjadinya dua hal yang berlawanan dalam diri seorang anggota komunitas
merek virtual. Di satu sisi, poster telah mengelurakan banyak sumber daya untuk
menuliskan pesan positif terkait merek namun di sisi lain dia tidak menunjukkan
sikap atau perilaku loyal terhadap merek tersebut. Hal ini merupakan penjelasan
spesifik dari sudut pandang lain akan keterkaitan perilaku partisipatif posting
dengan loyalitas merek attitudinal.
Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa poster sangat memperhatikan
persepsi yang mungkin timbul di benak sesama anggota komunitas dalam
berperilaku (Schlosser, 2005). Hal ini berarti jika poster cenderung menuliskan
informasi positif terhadap merek dalam suatu komunitas merek virtual, maka dia
juga akan menunjukkan perilaku yang positif terhadap merek untuk menghindari
persepsi ketidakkonsistenan di benak anggota yang lain. Hal ini memberikan
argumentasi akan adanya keterkaitan antara perilaku partisipatif posting dengan
loyalitas merek behavioral.
Sejumlah penelitian terkait komunitas merek virtual telah mengindikasikan
adanya pengaruh positif perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek
25
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
attitudinal dan behavioral secara silo dengan hanya menitikberatkan pada salah
satu aspek loyalitas saja (McAlexander, Kim & Roberts 2003; Shang, Chen & Liao,
2006; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Thompson & Sinha 2008; Zhou, Zhang,
Su & Zhou, 2011). Dalam penelitian ini, loyalitas akan ditinjau dari kedua aspek
yaitu attitudinal dan behavioral (Dick & Basu; 1994; Oliver 1999; Chaudhuri &
Holbrook, 2001). Berdasarkan argumentasi yang telah diuraikan, diajukan dua
hipotesis tentang implikasi perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek.
H5 : Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting, semakin tinggi
loyalitas attitudinal terhadap merek dalam komunitas virtual
H6 : Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting, semakin tinggi
loyalitas behavioral terhadap merek dalam komunitas virtual
3.2.4 Pengaruh Perilaku Partisipatif Lurking terhadap Loyalitas Merek
Attitudinal dan Behavioral
Sebelumnya telah diuraikan argumentasi akan adanya keterkaitan antara
perilaku partisipatif dengan loyalitas merek virtual sebagai dampak dari adanya
identifikasi dan ikatan emosional (McAlexander et al. 2002; Andersen, 2005;
Casalo et al., 2010). Dampak perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek
telah dibahas pada paragraf sebelumnya. Penjelasan yang sama sebagai
argumentasi utama juga berlaku pada perilaku partisipatif lurking khususnya pada
tingkat partisipasi yang tinggi.
Salah satu alasan penting mengapa seseorang bergabung dalam suatu
komunitas merek virtual adalah guna mendapatkan akses pada informasi dan ahli
(Dholakia et. al, 2004; Riding & Gefen, 2004; Nonnecke et al., 2004; Lin, 2008).
Sebagian besar anggota komunitas merek virtual kemudian menunjukkan perilaku
partisipatif lurking, jarang sekali atau tidak pernah menuliskan pesan, karena
berbagai alasan seperti rasa malu, privasi, keamanan, kendala waktu, kendala
mekanisme dan tidak merasa perlu (Nonnecke & preece,1999; 2001; Nonnecke et
al., 2004). Melalui proses pencarian informasi tersebut pemahaman seorang
anggota komunitas merek terhadap produk/merek akan cenderung meningkat.
Sebagai dampkanya, ekspektasi terhadap produk/merek akan mendekati performa
aktualnya dan kondisi ini kemudian dapat memperkuat loyalitasnya terhadap merek
(Shang et al., 2006). Sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan
sebelumnya, loyalitas merek dalam penelitian ini akan ditinjau baik dari sisi
attitudinal maupun behavioral (Dick & Basu, 1994; Oliver 1999; Chaudhuri &
Holbrook, 2001). Berdasarkan uraian tersebut, diajukan dua hipotesis tentang
implikasi perilaku partisipatif lurking terhadap loyalitas merek attitudinal dan
loyalitas merek behavioral.
H7 : Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking, semakin tinggi
loyalitas attitudinal terhadap merek dalam komunitas virtual
H8 : Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif lurking, semakin tinggi
loyalitas behavioral terhadap merek dalam komunitas virtual
26
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 4
4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan
untuk menggambarkan karakteristik populasi atau menggambarkan hubungan antar
variabel penelitian (Cooper & Schindler, 2011). Pengambilan informasi dari sampel
dilakukan hanya sekali, hal ini berarti penelitian ini menggunakan desain crosssectional yang lebih sering digunakan pada penelitian deskriptif dibandingkan dengan
desain longitudinal (Maholtra, 2007).
Pengujian hipotesis akan didasarkan pada analisis terhadap data primer sebagai
data yang dihimpun secara khusus untuk suatu tujuan penelitian (Aaker, Kumar, Day
& Leone, 2011). Data tersebut dihimpun melalui survei, suatu metode untuk
memperoleh informasi dari responden melalui kuesioner atau interview (Malhotra,
2007).
4.2 Populasi, Unit Analisis dan Sampel Penelitian
Pada kebanyakan penelitian, tidak dimungkinkan untuk mengikutsertakan
keseluruhan anggota populasi. Oleh karena itu, sampel sebagai bagian dari populasi
kemudian dipilih untuk mewakili populasi dalam suatu penelitian (Meyers, Gamst &
Guarino, 2006). Sesuai dengan ruang lingkup penelitian yang telah diuraikan
sebelumnya, penelitian ini dibatasi pada komunitas merek virtual dari tiga publisher
game online dengan anggota terbanyak di Indonesia yaitu Gemscool, Megaxus dan
Lyto. Dengan demikian populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota
komunitas merek virtual dari ketiga publisher game online Indonesia tersebut. Unit
analisis dalam penelitian ini adalah sampel anggota komunitas merek virtual,
khususnya dari tiga komunitas game online Indonesia yang telah dipilih.
Karakteristik internet sampling yang bersifat voluntary menjadi alasan teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini diklasifikasikan pada teknik
convenience sampling (Zikmund et al., 2010). Analisis SEM dalam penelitian ini
dilakukan dengan pendekatan Maximum Likelihood (ML) yang membutuhkan jumlah
sampel minimal 5 kali jumlah variabel teramati (Wijanto, 2008). Untuk
mengakomodasi kecukupan data minimal yang disarankan sebesar 150 sampel (Hair
et al., 2006; Wijanto, 2008) maka dalam penelitian ini digunakan jumlah sampel
sebanyak 162 yang merupakan 6 kali jumlah variabel teramati (sebesar 27 variabel).
4.3 Teknik Penghimpunan Data
Instrumen pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner online interaktif dengan link yang disebarkan melalui website komunitas
merek virtual. Kuesioner berbasis web bersifat self-administered yang berarti
27
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
responden bebas menjawab pertanyaan dalam kuesioner kapanpun tanpa campur
tangan peneliti (Cooper & Schindler, 2011). Kuesioner online dibuat dan
diadministrasi dengan bantuan fasilitas dari GoogleDocs (http://docs.google.com).
Berdasarkan respon yang diterima dipilih 162 respon pertama dengan jawaban yang
lengkap.
4.4. Operasionalisasi Variabel
Sesuai dengan model penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian
ini melibatkan tiga konstruk penelitian yaitu value-in-use, perilaku partisipatif dan
loyalitas merek diwakili oleh enam variabel penelitian. Variabel tersebut meliputi
value-in-use fungsional, value-in-use sosial, perilaku partisipatif posting, perilaku
partisipatif lurking, loyalitas merek attitudinal dan loyalitas merek behavioral.
Tabel 4.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel
Deskripsi
value-inuse
fungsiona
l (VIUF)
Merupakan manfaat yang
dipersepsikan pelanggan
setelah mengkonsumsi produk
atau jasa, berdasarkan
performa fungsional, utilitarian,
atau fisik (Sheth, Newman &
Gross, 1991; Sheth & Mittal,
2004; Gronroos, 2007)
value-inuse sosial
(VIUS)
Merupakan manfaat yang
dipersepsikan pelanggan
setelah mengkonsumsi produk
atau jasa, dikaitkan dengan
suatu kelompok sosial tertentu
(Sheth, Newman & Gross,
1991; Sheth & Mittal, 2004;
Gronroos, 2007)
Indikator
-
Manfaat memperoleh informasi (VIUF1)
Manfaat mempelajari hal baru (VIUF2)
Manfaat memperoleh ide (VIUF3)
Manfaat dapat memberikan kontribusi informasi
pada komunitas (VIUF4)
- Manfaat meminta bantuan (VIUF5)
- Manfaat untuk bertransaksi (VIUF6)
- Manfaat memecahkan permasalahan (VIUF7)
- Manfaat lebih memahami diri sendiri (VIUF8)
- Manfaat dapat lebih memahami orang lain
(VIUF9)
- Manfaat dapat menyampaikan keluhan (VIUF10)
- Manfaat membagi informasi pada orang lain
(VIUF11)
(Flanagin & Metzger, 2001)
- Manfaat menjadi tidak kesepian (VIUS1)
- Manfaat mendapatkan banyak teman (VIUS2)
- Manfaat dapat berdiskusi dengan orang lain
(VIUS3)
- Manfaat dapat membanggakan diri (VIUS4)
- Manfaat dapat menjadi orang yang penting
(VIUS5)
(Flanagin & Metzger, 2001)
Skala
Likert
Skala 1-7
Tidak
setujusetuju
28
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Tabel 4.1. Operasionalisiasi Variabel Penelitian (Lanjutan)
Variabel
Deskripsi
perilaku
partisipatif
posting
(PPP)
Merupakan perilaku aktif
menulis pesan, komentar
atau berdiskusi dalam
komunitas virtual (Nonnecke
et al., 2004)
perilaku
Merupakan perilaku pasif
partisipatif dengan hanya membaca
lurking
pesan namun jarang sekali
(PPL)
atau tidak pernah menuliskan
pesan dalam komunitas
(Nonnecke, Preece &
Andrews, 2004)
loyalitas
Merupakan tingkat komitmen
merek
konsumen terhadap suatu
attitudinal
merek (Chaudhuri &
(LATP) dan Holbrook, 2001)
(LATG)
loyalitas
merek
behavioral
(LBTP) dan
(LBTG)
Loyalitas yang diindikasikan
dengan perilaku nyata
seperti pembelian ulang atau
kunjungan ulang
(Chaudhuri & Holbrook,
2001)
(Nilsson & Olsen 1995)
Indikator
Skala
- Jumlah rata-rata thread yang dibuat per bulan
- Jumlah rata-rata tanggapan (reply) terhadap pesan
(posting) yang dibuat orang lain per bulan
(Shang et al., 2006, disesuaikan)
Skala rasio
melalui
open
ended
question
Skala rasio
melalui
open
ended
question
- Jumlah rata-rata jam yang digunakan untuk
membaca pesan (posting) anggota komunitas per
bulan
- Jumlah rata-rata kunjungan untuk membaca
informasi yang disampaikan oleh publisher
Gemscool/Lyto/Megaxus per bulan
(Shang et al., 2006, disesuaikan)
- Di masa mendatang, akan loyal pada
Gemscool/Lyto/Megaxus
- Masih akan memainkan game-game online dari
Gemscool/Lyto/Megaxus
- Game dari Gemscool/Lyto/Megaxus akan menjadi
pilihan pertama di masa mendatang
- Tidak akan memilih game online publisher lain jika
masih ada game online dari
Gemscool/Lyto/Megaxus
- Akan menyarankan game online dari
Gemscool/Lyto/Megaxus pada orang lain
(Yoo & Donthu, 2001; Brakus et al., 2009)
- Jumlah jam yang dialokasikan untuk bermain game
online Gemscool/Lyto/Megaxus dibagi jumlah jam
yang dialokasikan untuk online per bulan
- Jumlah rupiah yang dibelanjakan untuk membeli GCash/Koin/Mi-Cash dibagi jumlah rupiah yang
dibelanjakan untuk keperluan hiburan per bulan
(Nilsson & Olsen, 1995)
Likert
Skala 1-7
Tidak
setujusetuju
Skala rasio
melalui
open
ended
question
Catatan: Untuk variabel LATG dan LBTG objek Gemscool/Lyto/Megaxus diganti dengan merek game
online yang paling sering dimainkan saat ini
4.5 Teknik Analisis Data
Model dan hipotesis penelitian dalam studi ini dianalisis dengan model
Structural Equation Modeling (SEM) berdasarkan data empiris yang dihimpun. Data
yang digunakan merupakan data primer yang dihimpun melalui survei menggunakan
kuesioner online. Untuk pengolahan data, digunakan bantuan perangkat lunak AMOS
versi 18.
29
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
4.5.1 Analisis Validitas dan Reliabilitas
Validitas menggambarkan seberapa baik suatu pengukuran dapat mengukur
sesuatu yang hendak diukur (Bollen, K. A. 1989; Zikmund et al., 2010, Cooper &
Schindler, 2011). Dalam penelitian ini dipergunakan ukuran validitas face validity,
content validity dan construct validity. Face validity merupakan evaluasi subjektif atas
baik tidaknya secara logis skala pengukuran merepresentasikan konsep yang hendak
diukur. Content validity merupakan ukuran seberapa baik alat ukur yang dipergunakan
mencakup ranah konsep yang hendak diukur. Sementara itu, construct validity
merupakan ukuran seberapa baik suatu alat ukur dalam merepresentasikan suatu
konstruk (Zikmund et al., 2010).
Face validity dan content validity dalam penelitian ini didasarkan pada
kesesuaian alat ukur dengan teori dan penelitian yang sudah ada sebelumnya ditambah
dengan evaluasi dari tim promotor sebagai ahli dalam bidang pemasaran. Sementara
itu, construct validity diuji secara statistik dengan CFA (Confirmatory Factor
Analysis). Construct validity dalam SEM dapat ditentukan melalui kriteria berikut
(Wijanto, 2008):
-
Nilai t muatan faktor (loading factors) lebih besar dari nilai kritis (1.96)
-
Muatan faktor standar (standardized loading factors) lebih besar dari 0.7 atau
setidaknya di atas 0.5 (Igbaria, Zinatelli, Cragg, & Cavaye, 1997).
Reliabilitas merupakan indikator konsistensi dari suatu alat ukur. Suatu alat
ukur dikatakan reliabel jika pada pengukuran secara berulang menunjukkan hasil yang
serupa (Zikmund, Babin, Carr & Griffin, 2010). Pada analisis data menggunakan SEM
reliabilitas dapat diukur dengan composite reliability dan average variance extracted
(Wijanto, 2008). Hair et al. (2006) menyatakan bahwa konstruk memiliki reliabilitas
yang baik jika nilai CR ≥ 0.7 dan nilai VE ≥ 0.5.
4.5.2 Structural Equation Modelling
Structural Equation Modeling (SEM) dipilih sebagai alat analisis dalam
penelitian ini berdasarkan beberapa alasan. Pertama, SEM dapat menguji derajat
kecocokan secara umum atau goodness of fit (GOF) antara data dengan model yang
diajukan (Wijanto, 2008). Kedua, dapat mengestimasi hubungan antar vaiabel terikat
yang saling terkait secara simultan melalui model struktural. Ketiga, dapat
merepresentasikan konsep laten (unobserved) dan melakukan koreksi atas
measurement error (Hair et al., 2006). Keempat, prosedur SEM dapat melibatkan
variabel latent (unobserved) dan variabel observed (Byrne, 1998).
30
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 5
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Profil Responden
Data demografi online gaming pada akhir tahun 2010 mengindikasikan bahwa
perbandingan jumlah pemain pria dan wanita di dunia adalah 58% berbanding 42%
(www.buzzingup.com). Pada penelitian ini ditemukan fakta yang berbeda.
Perbandingan antara anggota komunitas merek virtual game online yang tentunya
merupakan pemain game online antara pria dan wanita adalah 94% berbanding 6%.
Penjelasan atas perbedaan fakta ini adalah bahwa tiga komunitas virtual game online
yang diamati pada penelitian ini dibuat oleh tiga publisher yang menyediakan game
dengan tipe kebanyakan berjenis RPG (role playing game). Biasanya tipe game seperti
ini lebih disukai oleh gamer pria dibandingkan dengan gamer wanita yang biasanya
menyukai tipe game yang lebih simpel dan sederhana.
Berdasarkan data yang dihimpun terlihat adanya penyebaran umur yang relatif
merata pada anggota komunitas merek virtual game online. Pada anak-anak dan remaja
yang secara alami biasanya masih gemar bermain, dewasa ini sudah relatif murahnya
perlengkapan komputer, jaringan internet dan menjamurnya penyedia fasilitas game
center mendorong mereka untuk kemudian menyalurkan kebutuhan bermainnya
dengan bermain game online. Di sisi lain, pada kalangan yang relatif lebih dewasa
ternyata masih menjadikan game online sebagai salah satu alternatif hiburan yang
mudah dan murah untuk dilakukan.
Berdasarkan olahan data yang dihimpun dapat dilihat penyebaran
pembelanjaan per bulan anggota komunitas merek virtual game online pada game
online yang paling sering dimainkan. Hanya sekitar 15% pemain yang tidak pernah
membelanjakan uangnya pada game online yang dimainkan karena pada dasarnya
game online yang disediakan oleh ketiga publisher yang diteliti (Gemscool, Megaxus
dan Lyto) merupakan game yang free to play, dapat diunduh dan dimainkan secara
gratis. Sementara itu 75% pemain membelanjakan sejumlah dana pada game online
yang dimainkan. Biasanya pemain akan membelanjakan sejumlah dana untuk
memperoleh fasilitas-fasilitas khusus dalam game (seperti teleportasi, peningkatan
kualitas tempur atau perolehan experience), membeli perlengkapan tempur dalam
permainan (seperti senjata atau baju tempur), atau membeli perlengkapan yang bersifat
dekoratif (seperti pakaian atau kendaraan di dalam game). Fakta ini sekaligus
menunjukkan adanya potensi pasar yang besar pada industri game online termasuk di
Indonesia.
5.2 Model Pengukuran
Berdasarkan hasil analisis terhadap data pretest telah diantisipasi bahwa ada
kemungkinan indikator value-in-use, khususnya fungsional dapat mengelompok
membentuk sejumlah dimensi jika diperhatikan dari asal sintesisnya yang terhimpun
dari kelompok-kelompok kecil dari sejumlah penelitian (Flanagin & Metzger, 2001).
31
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk terlebih dahulu melakukan exploratory
factor analysis (EFA) untuk melihat kemungkinan pengelompokan indikator menjadi
sejumlah dimensi dan memodelkan value-in-use fungsional menjadi second order
latent variable guna memperoleh nilai validitas yang lebih baik. Mengingat indikator
pada variabel value-in-use fungsional dan sosial diidentifikasi berdasarkan suatu
definisi tertentu, maka jika terjadi pengelompokan indikator di masing-masing
variabel menjadi sejumlah dimensi sangat mungkin terjadi korelasi antar individu.
Oleh karena itu, dipilih metode oblique (direct oblimin) pada saat melakukan rotasi
faktor (Ho, 2006).
Berdasarkan hasil exploratory factor analysis (EFA) terhadap 162 data sampel
terlihat adanya pengelompokan indikator value-in-use fungsional ke dalam tiga
kelompok. Kelompok pertama pada value-in-use fungsional terdiri atas indikator value
memperoleh informasi, mempelajari hal baru dan memperoleh ide. Pengelompokan
ini mirip dengan dimensi informational value, value yang diperoleh anggota
komunitas merek virtual terkait dengan kebutuhannya atas informasi (Flanagin &
Metzger, 2001, Dholakia et. al. 2004). Kelompok kedua, terdiri atas indikator manfaat
dapat memberikan kontribusi informasi pada komunitas, manfaat meminta bantuan,
manfaat untuk bertransaksi, manfaat memecahkan permasalahan, manfaat dapat
menyampaikan keluhan dan manfaat membagi informasi pada orang lain.
Pengelompokan ini mirip dengan dimensi instrumental value, value yang diperoleh
oleh anggota komunitas terkait dengan tugas tertentu (Flanagin & Metzger, 2001,
Dholakia et. al. 2004). Kelompok ketiga, terdiri atas indikator value lebih memahami
diri sendiri dan lebih memahami orang lain. Kelompok ini mirip dengan dimensi selfdiscovery value (Flanagin & Metzger, 2001, Dholakia et. al. 2004). Berdasarkan hasil
exploratory factor analysis tersebut untuk selanjutnya value-in-use fungsional
dimodelkan sebagai second-order latent variable dengan tiga dimensi yaitu
informational value (INFO), instrumental value (INST) dan self-discovery value
(SELF).
Sementara itu, indikator value-in-use sosial hanya membentuk satu faktor yang
terdiri atas value menjadi tidak kesepian, mendapat banyak teman, berdiskusi dengan
orang lain, dapat membanggakan diri dan menjadi orang yang penting bagi orang lain.
Dengan demikian, indikator-indikator tersebut sesuai dengan desain awal digunakan
untuk mengukur value-in-use sosial (VIUS). Langkah selanjutnya dilakukan estimasi
model pengukuran dengan bantuan software AMOS 18.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan two-step approach dalam
melakukan analisis terhadap model penelitian (Anderson & Gerbing, 1988). Tahap
pertama adalah melakukan analisis terhadap model pengukuran dalam sebuah model
CFA (Confirmatory Factor Analysis). Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk
menguji apakan model pengukuran memiliki validitas dan reliabilitas yang baik pada
data sampel yang digunakan. Tahap kedua adalah menambahkan lintasan atau jalur
struktural sesuai dengan hipotesis pada model pengukuran untuk menghasilkan model
hybrid. Melalui model inilah dianalisis kecocokan model secara keseluruhan serta
evaluasi terhadap hubungan-hubungan struktural yang telah diajukan sebelumnya
dalam perumusan hipotesis.
Mengingat implikasi perilaku partisipatif yang ditinjau dalam penelitian ini
melibatkan dua entitas yaitu publisher dan game, maka tinjauan loyalitas dilakukan
baik pada loyalitas terhadap publisher maupun loyalitas terhadap game. Sebagai
32
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dampaknya, analisis dilakukan melalui dua model yaitu model loyalitas terhadap
publisher dan model loyalitas terhadap game. Berangkat dari kondisi tersebut, model
pengukuran juga ditinjau pada dua model pengukuran, yaitu model pengukuran
loyalitas terhadap publisher (untuk selanjutnya disebut model LTP) dan model
pengukuran loyalitas terhadap game (untuk selanjutnya disebut model LTG).
Untuk menentukan validitas indikator dari masing-masing variabel laten
digunakan acuan standardized loading minimum 0.5
(Igbaria et al., 1997).
Berdasarkan nilai standardized loading factor yang dihasilkan serta memperhitungan
AVE dan CR yang muncul, peneliti memutuskan untuk mengeluarkan indikator
VIUF6 dan VIUF10 agar model pengukuran yang digunakan memenuhi kriteria
minimum baik di sisi validitas maupun reliabilitas. Berdasarkan hasil estimasi ulang
dapat disimpulkan bahwa pada model LTP secara umum seluruh variabel pengukuran
memiliki indikator dengan standardized loading di atas batas minimum 0.5. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator yang dipergunakan pada model
pengukuran LTP yaitu VIUF, VIUS, PPP, PPL, LATP dan LBTP pada model LTP
adalah valid. Seluruh variabel tersebut memiliki nilai CR ≥ 0.7 dan AVE ≥ 0.5, dengan
demikian dapat dikatakan keenam variabel pengukuran tersebut memiliki reliabilitas
yang baik.
Estimasi dilakukan sekali lagi untuk model pengukuran loyalitas terhadap
game (LTG) dengan path diagram yang sama namun dengan mengganti dua variabel
laten yaitu LATP dan LBTP dengan LATG dan LBTG. Pada model kedua dilakukan
perlakuan yang sama yaitu mengeluarkan indikator VIUF6 dan VIUF10. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa pada model LTG secara umum seluruh variabel
pengukuran memiliki indikator dengan standardized loading factor di atas batas
minimum 0.5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator yang
dipergunakan pada model pengukuran pada model LTG yaitu VIUF, VIUS, PPP, PPL,
LATP dan LBTP setelah mengeluarkan indikator VIUF6 dan VIUF10 adalah valid.
Variabel VIUF, VIUS, PPP, PPL, LATG dan LBTG memiliki nilai CR ≥ 0.7 dan AVE
≥ 0.5, dengan demikian dapat dikatakan keenam variabel pengukuran tersebut
memiliki reliabilitas yang baik.
Setelah validitas dan reliabilitas dapat dibuktikan pada tingkat yang baik
analisis dilanjutkan pada model struktural dengan terlebih dahulu memperhatikan
tingkat kecocokan model pengukuran. Model pengukuran LTP memiliki nilai Normed
chi-square = 2.732 (good fit), RMSEA = 0.104 (poor fit) dan CFI = 0.717 (poor fit).
Sementara itu, model pengukuran LTG memiliki nilai Normed chi-square = 2.974
(good fit), RMSEA = 0.111 (poor fit) dan CFI = 0.636 (poor fit). Mengingat tingkat
kecocokan data masih dinilai rendah, peneliti mencoba melakukan respesifikasi model
pengukuran untuk meningkatkan nilai kecocokan model pengukuran.
Pada model pengukuran LTP, berdasarkan keluaran modification indices pada
AMOS, diidentifikasi dua saran respesifikasi berupa penambahan correlated error
pada pasangan indikator pengukuran yang memiliki alasan secara konseptual (Kenny,
2012) yang memberikan dampak cukup besar pada nilai kecocokan model. Saran
tersebut adalah mengkorelasikan error e7 dengan e11 dan e15 dengan e16. Pemilihan
korelasi error tidak hanya didasarkan pada dampaknya pada kecocokan model, namun
juga memperhatikan kepatutannya secara konseptual, yaitu hanya mengkorelasikan
error pada indikator dalam satu variabel laten yang sama. Jika ditelusuri dari literatur
terdahulu indikator VIUF7 (e7) dengan VIUF11 (e11) dapat dikaitkan melalui konsep
33
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
purposive value (Dholakia et. al. 2004), sementara itu, VIUS4 (e15) dan VIUS5 (e16)
terkait dengan konsep status enhancement (Flanangin & Metzger, 2001). Saran
respesifikasi lainnya tidak diimplementasikan dalam penelitian ini karena tidak
memiliki landasan konseptual yang kuat (Hooper et al., 2008) atau tidak memberikan
dampak yang berarti pada peningkatan kecocokan model. Hasil estimasi respesifikasi
menghasilkan nilai Normed chi-square = 2.352 (good fit), RMSEA = 0.092 (mediocre
fit), serta CFI = 0.783 (poor fit). Hasil tersebut lebih baik dari hasil estimasi
sebelumnya dan hanya satu dari tiga parameter kecocokan yang digunakan yang
berada pada kategori poor fit. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
model pengukuran LTP secara umum memenuhi syarat kecocokan marginal dan
diputuskan untuk maju pada langkah berikutnya yaitu estimasi model struktural.
Pada model pengukuran LTG, berdasarkan keluaran modification indices pada
AMOS diidentifikasi tiga saran respesifikasi yang memberikan dampak cukup besar
pada nilai kecocokan model yaitu saran mengkorelasikan error e7 dengan e11, error
e15 dengan e16 serta error e24 dengan e25. Dua correlated error pertama mengacu
pada argumentasi konseptual yang sama dengan model LTP yaitu indikator VIUF7
(e7) dengan VIUF11 (e11) berasal dari konsep purposive value (Dholakia et. al. 2004),
dan VIUS4 (e15) dengan VIUS5 (e16) terkait dengan konsep status enhancement
(Flanangin & Metzger, 2001). Sementara itu LATG4 (e24) dengan LATG5 (e25)
merupakan indikator pengukur loyalitas attitudinal (Yoo & Donthu, 2001; Brakus et
al., 2009). Saran respesifikasi lainnya tidak diimplementasikan dalam penelitian ini
karena tidak memiliki landasan konseptual yang kuat atau tidak memberikan dampak
yang berarti pada peningkatan kecocokan model. Hasil estimasi respesifikasi model
pengukuran LTG menunjukkan nilai Normed chi-square = 2.443 (good fit), RMSEA
= 0.095 (mediocre fit), serta CFI = 0.741 (poor fit). Hasil tersebut lebih baik dari hasil
estimasi model pengukuran LTG sebelumnya dan hanya satu dari tiga parameter
kecocokan yang digunakan yang berada pada kategori poor fit. Berdasarkan hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa model pengukuran LTG secara umum memenuhi
syarat kecocokan marginal dan diputuskan untuk maju pada langkah berikutnya yaitu
estimasi model struktural.
5.3 Model Struktural
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam penelitian ini ada dua
entitas merek yang ditinjau loyalitas pelanggannya yaitu merek publisher (Gemscool,
Megaxus dan Lyto) dan merek game online (seperti Atlantica Online, Counter Strike
atau Point Blank). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis pada dua
model struktural untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan. Model pertama
meninjau loyalitas anggota komunitas merek virtual terhadap publisher game online
yang mereka mainkan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, model ini disebut sebagai
model loyalitas terhadap publisher (LTP). Model ini meninjau value-in-use sebagai
penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas Attitudinal Terhadap
Publisher (LATP) dan Loyalitas Behavioral Terhadap Publisher (LBTP). Model
kedua (LTG) meninjau meninjau loyalitas anggota komunitas merek virtual terhadap
game online yang mereka mainkan saat ini. Model ini meninjau value-in-use sebagai
penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas Attitudinal Terhadap
Game (LATG) dan Loyalitas Behavioral Terhadap Game (LBTG).
34
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
5.3.1 Model Loyalitas Terhadap Publisher (LTP)
Estimasi model struktural pertama dilakukan pada model Loyalitas Terhadap
Publisher (LTP). Model LTP dibangun dari variabel dan indikator berdasarkan
pengujian model pengukuran yang telah dilakukan sebelumnya dengan penambahan
sejumlah lintasan struktural sesuai dengan hipotesis penelitian. Pada Gambar 5.1
disajikan path diagram hasil estimasi model LTP berdasarkan keluaran AMOS 18.
Gambar tersebut mengilustrasikan path diagram model LTP, untuk meninjau valuein-use sebagai penggerak perilaku partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas
Terhadap Publisher.
Gambar 5.1. Path diagram keluaran Model struktural LTP
Pada penelitian ini kecocokan data dengan model (goodness of fit) ditinjau dari
tiga parameter yaitu Normed chi-square (2/df), RMSEA, dan CFI sebagaimana
diuraikan pada BAB 4. Hasil estimasi pada model struktural LTP menunjukkan nilai
Normed chi-square = 2.473 (good fit), RMSEA = 0.096 (mediocre fit), serta CFI =
0.757 (poor fit). Hanya satu dari tiga parameter kecocokan yang digunakan yang
berada pada kategori poor fit. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
model struktural LTP secara umum memenuhi syarat kecocokan marginal dan
diputuskan untuk maju pada langkah berikutnya yaitu interpretasi hasil estimasi.
Tabel 5.1 menyajikan ringkasan nilai standardized coefficient, p-value dan tvalue untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan pada model Loyalitas
Terhadap Publisher. Hipotesis yang didukung data diindikasikan dengan nilai p-value
35
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
yang lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi  dan arah besaran standardized
coefficient yang sesuai dengan dugaan. Pada penelitian ini digunakan tingkat
signifikansi  sebesar 0.05 yang lazim digunakan pada penelitian bisnis (Zikmund et
al., 2010).
Tabel 5.1. Ringkasan Uji Hipotesis Model Loyalitas Terhadap Publisher
Hipotesis
Std.coef.
P value
t-value
Kesimpulan
VIUF PPP
0.26
0.020
2.335
H1 didukung data
VIUF PPL
0.21
0.039
2.062
H2 didukung data
VIUSPPP
-0.02
0.865
-0.170
H3 tidak didukung data
VIUSPPL
0.16
0.085
1.724
H4 tidak didukung data
PPP  LATP
0.20
0.039
2.062
H5 didukung data
PPP  LBTP
-0.31
0.010
-2.562
H6 tidak didukung data
PPL  LATP
0.40
0.000
4.136
H7 didukung data
PPL  LBTP
0.24
0.035
2.105
H8 didukung data
Dengan memperhatikan tanda positif atau negatif dari standardized coefficient
serta besar kecilnya p-value pada tabel tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa H1,
H2, , H5, H7 dan H8 didukung oleh data karena memiliki arah hubungan sebagaimana
yang dihipotesiskan serta menunjukkan adanya pengaruh antar variabel yang
signifikan, ditandai dengan nilai p-value yang lebih kecil dari tingkat signifikansi 
sebesar 0.05. H3 dan H4 memiliki nilai p-value yang lebih besar dari 0.05,
mengindikasikan bahwa tidak cukup bukti untuk mendukung hipotesis.
Sementara itu, jalur PPP  LBTP menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan ( di bawah 0.05) namun dengan arah berkebalikan dengan hipotesis yang
diajukan. Dengan demikian disimpulkan adanya fakta yang bertolak belakang dengan
H6 yaitu semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting justru menunjukkan
dampak loyalitas behavioral terhadap publisher yang semakin rendah.
5.3.2 Model Loyalitas Terhadap Game (LTG)
Model kedua yang diuji adalah value-in-use sebagai penggerak perilaku
partisipatif serta implikasinya pada Loyalitas Attitudinal Terhadap Game (LATG) dan
Loyalitas Behavioral Terhadap Game (LBTG). Path diagram hasil estimasi model
LTG sebagai hasil analisis terhadap 162 sampel data sampel anggota komunitas merek
virtual game online disajikan pada Gambar 5.2. Gambar tersebut mengilustrasikan
hasil estimasi model value-in-use sebagai penggerak perilaku partisipatif serta
implikasinya pada Loyalitas Terhadap Game.
36
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Gambar 5.2. Path diagram keluaran model struktural LTG
Tabel 5.2. Ringkasan Uji Hipotesis Model Loyalitas Terhadap Game
Hipotesis
Std.coef.
P value
t-value
Kesimpulan
VIUF PPP
0.30
0.012
2.502
H1 didukung data
VIUF PPL
0.21
0.049
1.968
H2 didukung data
VIUSPPP
-0.02
0.859
-0.177
H3 tidak didukung data
VIUSPPL
0.17
0.082
1.740
H4 tidak didukung data
PPP  LATG
0.23
0.041
2.039
H5 didukung data
PPP  LBTG
-0.34
0.012
-2.519
H6 tidak didukung data
PPL  LATG
0.20
0.049
1.968
H7 didukung data
PPL  LBTG
0.24
0.048
1.976
H8 didukung data
Hasil estimasi pada model struktural LTG setelah dilakukan respesifikasi
menghasilkan nilai normed chi-square = 2.405 (good fit), RMSEA = 0.093 (mediocre
fit), serta CFI = 0.742 (poor fit). Hanya satu dari tiga parameter kecocokan yang
digunakan yang berada pada kategori poor fit. Berdasarkan hasil tersebut dapat
37
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
disimpulkan bahwa model struktiral LTG secara umum memenuhi syarat kecocokan
marginal sehingga dapat dilanjutkan pada tahap interpretasi hasil estimasi.
Tabel 5.2 menyajikan ringkasan nilai standardized coefficient, p-value dan tvalue untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan pada model Loyalitas
Terhadap Game. Hipotesis yang didukung data diindikasikan dengan nilai p-value
yang lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi  dan arah besaran standardized
coefficient yang sesuai dengan dugaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
pada penelitian ini digunakan tingkat signifikansi  sebesar 0.05.
Dengan memperhatikan tanda positif atau negatif dari standardized coefficient
serta besar kecilnya p-value pada Tabel 5.2 dapat ditarik kesimpulan bahwa H1, H2,
H5, H7 dan H8 didukung oleh data karena memiliki arah hubungan sebagaimana yang
dihipotesiskan serta menunjukkan adanya pengaruh antar variabel yang signifikan,
ditandai dengan nilai p-value yang lebih kecil dari tingkat signifikansi  sebesar 0.05.
H3 dan H4 memiliki nilai p-value yang lebih besar dari 0.05, mengindikasikan bahwa
tidak cukup bukti untuk mendukung hipotesis. Sementara itu, jalur PPP  LBTP
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan ( di bawah 0.05) namun dengan arah
berkebalikan dengan hipotesis yang diajukan. Dengan demikian disimpulkan adanya
fakta yang bertolak belakang dengan H6 yaitu semakin tinggi intensitas perilaku
partisipatif posting justru menunjukkan dampak loyalitas behavioral terhadap
publisher yang semakin rendah.
Berdasarkan analisis pada hasil estimasi model struktural LTP dan LTG dapat
dilihat bahwa pengujian hipotesis pada kedua model menunjukkan hasil yang serupa.
Hal ini berarti secara umum perilaku partisipatif lurking dalam jangka panjang
memberikan implikasi positif pada loyalitas terhadap publisher dan perilaku
partisipatif posting juga memberikan dampak positif pada loyalitas attitudinal
terhadap publisher. Lebih jauh lagi, loyalitas jangka panjang terhadap publisher dapat
dibangun dengan dukungan loyalitas terhadap masing-masing game yang sifatnya
lebih jangka pendek. Sementara itu perilaku partisipatif posting justru menunjukkan
dampak kontraproduktif terhadap loyalitas behavioral baik terhadap publisher
maupun game khususnya pada indikator yang terkait dengan share of visit, dengan
demikian tingkat perilaku partisipatif posting sebaiknya tidak terlalu didorong secara
berlebihan.
5.4 Content Analysis Pada Sampel Komunitas Merek Virtual
Untuk lebih mendapatkan pemahaman terhadap fenomena yang terjadi pada
konteks penelitian, peneliti memutuskan untuk melakukan content analysis pada
sampel komunitas merek virtual game online. Sebagai sampel, peneliti memilih forum
Gemscool sebagai forum komunitas game online yang diinisiasi oleh pihak publisher
dengan anggota terbesar di Indonesia. Mengingat banyaknya sub forum, sesuai dengan
jumlah game yang disediakan oleh pihak publisher, peneliti mengambil sampel pada
forum atlantica online, sebagai salah satu sub forum Gemscool teraktif yang selama
ini sudah diikuti dan diamati oleh peneliti.
Mengingat jumlah reply yang jauh lebih banyak dari jumlah thread, ditambah
pada saat dilakukan content analysis forum gemscool menerapkan penguncian reply
yang ditayangkan hanya pada halaman pertama (maksimal 10 pesan), maka tidak
memungkinkan untuk melakukan content analysis terhadap reply maka content
38
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
analysis ini memiliki limitasi hanya memperhitungkan penyebaran konten
berdasarkan konten pada thread yang dibuat oleh thread starter atau topic starter
(biasa disingkat sebagai TS), namun tidak pada reply. Dengan adanya limitasi tersebut
maka tujuan dari langkah content analysis ini difokuskan pada upaya untuk
mendapatkan gambaran penyebaran value-in-use yang mendasari perilaku partisipatif
posting berdasarkan konten kalimat dari thread starter.
Berdasarkan pola penyebaran thread pada klasifikasi indikator value-in-use
dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, mayoritas thread starter menginisiasi thread
dengan alasan fungsional (menggali value-in-use fungsional). Hal ini dicerminkan
dengan jumlah tread yang dapat diklasifikasikan ke dalam value-in-use fungsional
berdasarkan isi kalimat pembuka thread sebesar 80.5% sedangkan yang dapat
diklasifikasikan sebagai value-in-use sosial hanya sebesar 7%. Kesimpulan yang dapat
ditarik dari kondisi ini adalah bahwa pada konteks penelitian ini, pada pengamatan
perilaku partisipatif posting, secara relative value-in-use fungsional cenderung digali
oleh anggota komunitas merek virtual dengan jalan menginisiasi thread (berperan
sebagai thread starter) yang berarti menjelaskan sebagaian dari dorongan value-in-use
fungsional terhadap perilaku partisipatif posting. Sementara itu value-in-use sosial
kemungkinan cenderung digali oleh anggota komunitas merek virtual melalui aktivitas
merespon statement (reply) atau bahkan melalui aktivitas lurking.
Kedua, khusus untuk thread value-in-use fungsional ada empat indikator yang
paling menonjol yaitu memecahkan masalah (39.4%), menyampaikan keluhan
(13.8%), memberikan kontribusi pada komunitas (10.8%) dan memperoleh informasi
(9.1%). Tiga indikator paling menonjol yang pertama merupakan bagian dari aspek
instrumental value. Dengan demikian ada indikasi bahwa aspek instrumental value
cenderung lebih banyak digali melalui perilaku partisipatif posting dengan membuat
thread. Sementara itu untuk aspek informational value (seperti mempelajari hal baru
dan memperoleh ide) serta aspek self-discovery (memahami diri sendiri, dan
memahami orang lain) diduga lebih digali melalui perilaku partisipatif lurking. Untuk
informational value Pada kondisi tertentu, seperti belum ada sumbangan informasi
sebelumnya, atau menginginkan pemenuhan secara cepat kemudian sebagian
kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perilaku parsisipatif posting melalui pembuatan
thread (ditunjukkan oleh prosentase 9.1%). Sementara itu, sisanya merupakan hal
yang kurang digali pada konteks komunitas merek virtual yang diteliti, misalnya
bertransaksi, dibuktikan dengan jumlah thread yang sangat kecil, padahal interaksi
yang berdampak pada transaksi tidak akan terjadi tanpa didahului dengan pencetusan
thread terkait.
Ketiga, khusus untuk value-in-use sosial, perilaku partisipatif posting dengan
menginisiasi thread utamanya didorong oleh value berdiskusi, sementara itu indikator
yang lain diduga digali melalui aktivitas reply atau hanya dengan melakukan perilaku
partisipatif lurking. Penjelasan lain adalah adanya kemungkinan bahwa komunitas
merek virtual game online yang disediakan oleh pihak publisher sebagai out-of-game
community sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dari in-game community-nya.
Sebagai dampaknya, value-in-use sosial dimungkinkan untuk digali melalui interaksi
antar anggota secara lebih banyak dalam in-game community mengingat interface yang
lebih menunjang pemenuhan value-in-use sosial. Sementara itu penggalian pada outof-game community mungkin hanya diimplementasikan melalui perilaku partisipatif
lurking yang tidak dapat diidentifikasi melalui content analysis yang dilakukan.
39
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
5.5 Pembahasan
Berdasarkan ringkasan uji hipotesis sebagaimana ditampilkan sebelumnya
secara umum diperoleh hasil yang serupa untuk model LTP dan LTG. Value-in-use
Fungsional dapat dibuktikan memiliki dampak positif yang signifikan terhadap
perilaku partisipatif posting maupun lurking. Sementara itu tidak diperoleh cukup
bukti untuk mendukung dugaan adanya pengaruh value-in-use sosial terhadap perilaku
partisipatif posting dan lurking.
Pada kedua model, perilaku partisipatif posting maupun lurking terbukti
memiliki dampak positif terhadap loyalitas merek attitudinal. Dampak positif perilaku
partisipatif lurking terhadap loyalitas merek behavioral juga terbukti secara empiris.
Hal yang spesifik ditemukan melalui pengujian terhadap H6 yang mengindikasikan
adanya pengaruh yang signifikan antara perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas
merek behavioral baik terhadap publisher maupun terhadap game, namun dengan arah
yang berlawanan dengan yang diajukan dalam hipotesis. Berikut akan dijabarkan
penjelasan dari masing-masing hipotesis terkait dengan hasil estimasi model struktural
terhadap data empiris yang telah dilakukan.
5.5.1 Pengaruh Value-in-use Fungsional Terhadap Perilaku Partisipatif
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada model loyalitas terhadap publisher
maupun model loyalitas terhadap game diperoleh fakta empiris bahwa value-in-use
fungsional merupakan penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking. Hal ini
menggambarkan kondisi bahwa untuk pemenuhan value-in-use fungsional pada
konteks komunitas merek virtual, seorang anggota akan menggalinya melalui perilaku
partisipartif lurking dengan membaca thread yang sudah tersimpan di dalam forum
online misalnya untuk menggali informasi, mempelajari hal baru, menggali ide, serta
untuk lebih memahami diri sendiri dan orang lain terkait dengan komunitas merek
yang diikuti atau secara aktif melakukan perilaku partisipatif posting.
Hasil content analysis yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa hanya
sebagian kecil indikator value-in-use fungsional yang diterjemahkan menjadi perilaku
partisipatif posting (khususnya melalui pencetusan thread) yaitu memecahkan
masalah, menyampaikan keluhan, memberikan kontribusi dan memperoleh informasi.
Ada dua kemungkinan yang terjadi pada indikator value-in-use fungsional dengan
jumlah thread kecil. Kemungkinan pertama, value tersebut tidak digali melalui
perilaku partisipatif posting namun lebih digali melalui perilaku partisipatif lurking,
atau kemungkinan kedua bahwa value tersebut memang tidak terlalu menonjol pada
konteks yang diamati.
5.5.2 Pengaruh Value-in-use Sosial Terhadap Perilaku Partisipatif
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada model loyalitas terhadap publisher
dan loyalitas terhadap game tidak diperoleh cukup bukti empiris adanya pengaruh
value-in-use sosial terhadap perilaku partisipatif posting maupun lurking. Hasil
content analysis menunjukkan hasil yang senada bahwa jumlah thread value-in-use
sosial hanya sekitar 7% dari keseluruhan thread dalam komunitas merek virtual game
online yang ditinjau dan angka ini terutama disumbang oleh value dapat berdiskusi
40
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
dengan sesama pemain. Alternatif penjelasan dari temuan pada penelitian ini adalah
adanya karakteristik spesifik dari produk bahasan yaitu game online yang ditawarkan
oleh ketiga publisher lokal yang kebanyakan berjenis Massively Multiplayer Online
Role Playing Games (MMORPG). MMORPG merupakan tipe game online dengan
suatu dunia virtual yang selalu berjalan. Pemain memainkan peran sebagai satu atau
sejumlah karakter (diwakili oleh avatar di dalam game) yang berkembang
kemampuannya dan dalam dunia ini. Bersama dengan banyak pemain lainnya
kemudian terbentuk kelompok-kelompok sosial dalam dunia virtual pada game yang
sering disebut sebagai guild atau clan (Yee, 2006). Hal ini mengindikasikan bahwa
pada konteks game MMORPG terbentuk dua komunitas, yaitu komunitas virtual
dalam game dan komunitas merek virtual berupa forum online yang biasanya dibentuk
oleh pihak publisher game sebagai media pendukung layanan game.
Komunitas ganda pada konteks produk game online yang berjenis Massively
Multiplayer Online (MMOG) termasuk yang berjenis MMORPG dapat diilustrasikan
melalui gambar 5.3. Komunitas pertama adalah komunitas in-game, biasanya
berbentuk guild atau clan di mana sesama pemain dapat saling berbagi, berdiskusi,
saling membantu dan serta beraktivitas bersama. Komunitas kedua adalah komunitas
out-of-game yang menjadi konteks pada penelitian ini, biasanya berbentuk message
board atau sering dikenal sebagai forum online yang kebanyakan diciptakan dan
dikelola oleh pihak publisher game (Ang, Zaphiris, & Wilson, 2005).
Out-of-game community
Interaksi player-player
Interaksi player-game
Player
Computer game
In-game community
Gambar 5.3. Irisan in-game community dengan out-of-game community
Sumber: Ang, Zaphiris, & Wilson (2005)
41
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Sejumlah penelitian mengindikasikan adanya faktor keterbatasan sumber daya
berupa waktu dan tenaga yang mempengaruhi perilaku partisipatif seorang anggota
komunitas merek virtual (Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews,
2004; Schlutz & Beach, 2004). Berdasarkan fakta tersebut, mungkin terjadi bahwa
seorang anggota komunitas merek virtual sebetulnya dapat menggali value-in-use
sosial yang melalui komunitas out-of-game, namun demikian keterbatasan sumber
daya berupa waktu dan tenaga yang terbagi pada partisipasi di kedua tipe komunitas
yang terbentuk menyebabkan penggalian value tersebut tidak direalisasikan melalui
perilaku partisipatif posting ataupun lurking. Angggota komunitas merek virtual game
online cenderung melakukan partisipasi aktif dalam rangka penggalian value-in-use
sosial pada komunitas in-game karena interface yang lebih menunjang yaitu realtime
dan interaksi antar pemain lebih menarik secara visual.
5.5.3 Pengaruh Perilaku Partisipatif Posting terhadap Loyalitas Merek
Hasil pengujian hipotesis 5 pada model loyalitas terhadap publisher dan model
loyalitas terhadap game mengindikasikan adanya dampak yang signifikan dan searah
dengan hipotesis yang diajukan. Tingkat partisipasi yang tinggi dalam komunitas
cenderung meningkatkan identifikasi dan ikatan emosional seorang anggota
komunitas merek virtual terhadap merek. Sebagai dampaknya loyalitas anggota
komunitas merek virtual terhadap merek juga cenderung meningkat. Selain itu,
perilaku partisipatif posting melalui penulisan pesan ataupun berdiskusi dengan
sesama anggota komunitas merek virtual memerlukan upaya yang besar. Upaya yang
besar tersebut kemudian berdampak pada kecenderungan untuk lebih loyal terhadap
merek guna menghindari timbulnya masalah cognitive dissonance (Shang et al., 2006).
Aktivitas menuliskan pesan atau berdiskusi dengan sesama anggota komunitas merek
virtual melalui perilaku partisipatif posting berdampak pada kecenderungan untuk
bersikap lebih loyal terhadap merek guna menghindari timbulnya masalah cognitive
dissonance sebagaimana dibuktikan dalam penelitian ini melalui fakta loyalitas
attitudinal (pengujian H5).
Di sisi lain, pada aspek yang dapat dilihat dari luar diri anggota komunitas
merek virtual diduga perilaku partisipatif posting yang semakin tinggi juga berdampak
pada dihindarinya persepsi negatif dari sesama anggota komunitas (Schlosser, 2005)
yang dapat diindikasikan dengan semakin tingginya loyalitas behavioral anggota
komunitas tersebut, sebagaimana kemudian dituangkan pada hipotesis ke enam dalam
penelitian ini. Namun demikian, Penelitian ini mengungkap fakta yang berbeda.
Semakin tinggi intensitas perilaku partisipatif posting seseorang, justru semakin
rendah loyalitas behavioralnya terhadap merek dalam komunitas virtual. Kondisi ini
dapat dikaitkan dengan masalah keterbatasan sumber daya berupa waktu dan tenaga
(Nonnecke & Preece, 1999; Preece, Nonnecke & Andrews, 2004; Schlutz & Beach,
2004).
Produk game online memiliki karakteristik yang unik. Indikator seseorang
berperilaku loyal terhadap suatu game online bukan saja berupa share of wallet yang
tinggi tapi juga share of visit yang tinggi. Hal ini lebih menonjol pada game jenis
MMOG yang membutuhkan share of visit yang tinggi dari para pemainnya untuk
menciptakan efek suatu tatanan dunia tersendiri yang bisa memberikan pengalaman
bermain lebih baik kepada pemainnya. Di satu sisi, bermain game MMORPG menyita
42
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
waktu yang tidak sedikit bagi para pemainnya (Williams, Yee & Caplan, 2008). Di sisi
lainnya, perilaku partisipatif posting juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit bagi
seorang anggota komunitas (Nonnecke & preece, 2001). Kedua aktivitas tersebut
berbagi pada suatu alokasi waktu online dari seorang pemain game online yang juga
merupakan anggota komunitas merek virtualnya. Pada saat alokasi waktu pada satu
aktivitas ditingkatkan, dalam hal ini perilaku partisipatif posting, maka sebagai
dampaknya waktu yang dialokasikan pada kegiatan bermain game online akan
berkurang (Williams et al., 2008). Singkatnya, pada saat seorang pemain game online
yang juga anggota komunitas merek virtual perlu membagi waktu antara berperilaku
partisipatif posting dan berperilaku loyal dengan indikator share of visit yang tinggi
namun dihadapkan pada kendala keterbatasan waktu maka akan terjadi trade off di
antara keduanya. Semakin tinggi perilaku partisipatif posting dilakukan maka akan
semakin berkurang waktu yang dapat dialokasikan untuk bermain game online yang
berarti menurunkan share of visit sebagai salah satu indikator loyalitas merek
behavioral.
5.5.4 Pengaruh Perilaku Partisipatif Lurking terhadap Loyalitas Merek
Hasil pengujian hipotesis pada model loyalitas terhadap publisher maupun
terhadap game mengindikasikan bahwa H7 dan H8 didukung data. Salah satu alasan
penting mengapa seseorang bergabung dalam suatu komunitas merek virtual adalah
guna mendapatkan akses pada informasi dan ahli (Dholakia et. al, 2004; Riding &
Gefen, 2004; Nonnecke et al., 2004; Lin, 2008). Sebagian besar anggota komunitas
merek virtual kemudaian mengeksekusi keperluan tersebut melalui perilaku
partisipatif lurking, karena berabagai alasan seperti rasa malu, privasi, keamanan,
kendala waktu, kendala mekanisme dan tidak merasa perlu (Nonnecke & preece,1999;
2001; Nonnecke et al., 2004).
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi intensitas perilaku
partisipatif lurking, semakin tinggi tingkat loyalitas attitudinal maupun behavioral
seorang anggota komunitas merek virtual terutama terhadap merek publisher. Melalui
perilaku partisipatif lurking pemahaman seorang anggota komunitas merek terhadap
produk/merek akan cenderung meningkat. Sebagai dampaknya, ekspektasi terhadap
produk/merek akan mendekati performa aktualnya. Kondisi ini kemudian dapat
memperkuat tingkat loyalitas seorang anggota komunitas merek virtual game online
baik terhadap game itu sendiri maupun terhadap publisher game tersebut. Hal ini
sejalan dengan temuan Shang et al., (2006). Loyalitas tersebut kemudian tercermin
secara attitudinal berupa sikap positif terhadap game atau publisher atau secara
behavioral berupa share of wallet dan share of visit yang lebih tinggi khususnya pada
publisher.
43
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 6
6. KONTRIBUSI DAN IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
6.1 Kontribusi Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat
dijelaskan sejumlah kontribusi yang diberikan melalui penelitian ini. Kontribusi
tersebut mencakup kontribusi teoritis berupa perluasan teori CCT dengan
mengakomodasi konsep value-in-use sebagai pendorong perilaku partisipatif dalam
pembahasan marketplace culture pada konteks komunitas merek virtual, pembuktian
value-in-use khususnya fungsional sebagai penggerak perilaku partisipatif, serta
pembuktian urgensi perilaku partisipatif lurking dalam pembahasan komunitas merek
virtual. Hasil penelitian ini juga memberikan kontribusi penelitian berupa peluasan
telaah loyalitas merek sebagai implikasi perilaku partisipatif dengan mencakup aspek
attitudinal maupun behavioral secara simultan. Di sisi lain, penelitian ini juga
memberikan kontribusi kontekstual berupa penjelasan marketplace culture pada
konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh publisher produk game online di
Indonesia.
6.1.1 Value-in-use dan CCT pada Konteks Marketplace culture
Sejumlah penelitian terdahulu pada pembahasan CCT khususnya pada konteks
marketplace culture telah menggali konsep penciptaan value dalam komunitas virtual
dan komunitas merek virtual. Szmigin & Reppel (2004) mengajukan rerangka
customer bonding triangle yang didorong oleh infrastruktur teknis, service value dan
interactivity sebagai suatu proses yang dapat menciptakan value untuk semua pihak
yang terlibat dalam komunitas virtual. Schau et al. (2009) mengidentifikasi 12 praktik
umum dalam komunitas merek virtual yang merupakan proses penciptaan value
kolektif di komunitas merek virtual. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
sebetulnya value seperti apakah yang didapatkan oleh seseorang melalui
keterlibatannya dalam suatu komunitas merek virtual yang mendorong mereka untuk
terus berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Pemahaman atas hal ini dapat
membantu pemasar dalam upaya meningkatkan tingkat partisipasi dalam komunitas
merek virtual yang pada akhirnya berdampak pula pada kesuksesan pemasaran suatu
produk atau layanan.
Sejumlah penelitian mencoba mengidentifikasi value yang dapat mendorong
kesuksesan komunitas virtual. Lin (2008) menelaah aspek kualitas sistem, kualitas
informasi dan kegunaan sosial dalam komunitas virtual sebagai pendorong komitmen
pada komunitas virtual. Penelitian lain mengidentifikasi Interaction support,
Information design, navigation, access sebagai pendorong benefit (Kim et al 2008).
Sejumlah tipologi value tersebut lebih mengarah pada embedded value (Macdonald et
al. 2009) bukan real value yang dipersepsikan oleh pelanggan. Dalam pembahasan dan
pengembangan CCT diusulkan untuk lebih mengkaitkan CCT dengan perkembangan
teori pemasaran, misalnya paradigma service-dominant logic (Arnould & Thomson,
2005; Arnould, 2007). Pada paradigma service-dominant logic, embedded value yang
44
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
ditawarkan oleh produsen atau penyedia layanan berada pada provider sphere
(Gronroos & Voima, 2013). Pada saat value yang ditawarkan oleh provider
berinteraksi dengan anggota komunitas merek virtual terjadilah value co-creation yang
kemudian dipersepsikan sebagai value-in-use oleh anggota komunitas.
Salah satu kontribusi teoritis yang coba diberikan melalui penelitian ini adalah
akomodasi konsep value-in-use yang sering dibahas dalam paradigma servicedominant logic pada pembahasan marketplace culture dalam CCT sebagai salah satu
upaya menselaraskan CCT dengan perkembangan disiplin pemasaran secara umum,
termasuk sintesis alternatif pengukuran value-in-use pada konteks komunitas merek
virtual sebagai salah satu bahasan pada marketplace culture.
Berdasarkan telaah literatur, peneliti mengelompokkan bahasan value pada
penelitian marketplace culture dalam tiga kategori mengacu pada rerangka value
creation. Kategori pertama, adalah bahasan value yang ditawarkan oleh pengelola
komunitas virtual (seperti Lin, 2008; Kim et al 2008). Dalam konteks ini value
cenderung berupa embedded value (Macdonald et al. 2009). Kategori kedua, adalah
bahasan atas penciptaan value sebagai hasil co-creation antara pengelola dengan
seluruh anggota komunitas merek. Pada konteks ini Schau et al., (2009) telah mencoba
mengajukan konsep terbentuknya value dalam 12 praktek komunitas merek. Kategori
ketiga, adalah bahasan akan value aktual yang dirasakan oleh anggota komunitas
merek setelah mereka mengkonsumsi suatu layanan (dalam penelitian ini adalah
layanan komunitas merek virtual), seperti Dholakia et al. (2004) yang lebih
mengarahkan value pada konsekuensi penggunaan produk/jasa terkait dengan tujuan
pelanggan (Woodruff, 1997; Macdonald et al. 2009). Ketiga kategori penjabaran value
dalam konteks komunitas merek virtual tersebut dalam rerangka value creation
(Gronroos & Voima, 2013) disebut sebagai provider sphere, joint sphere dan customer
sphere.
Gambar 6.1. Proses penciptaan value pada komunitas merek virtual
Sumber: Adopsi rerangka Gronroos & Voima (2013)
45
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Kontribusi berikutnya dari penelitian ini adalah perumusan salah satu alternatif
pengukuran value-in-use pada konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh
pihak produsen mengingat selama ini value-in-use cukup sering dibahas pada tataran
konsep namun masih jarang direalisasikan dalam tataran teknis pengukuran
(Macdonald et al. 2009). Pengukuran value yang diusulkan dalam penelitian ini
merupakan sintesis dari indikator value yang digunakan dalam Flanagin & Metzger
(2001) serta Dholakia et al. (2004), ditambah dengan hasil eksplorasi lapangan pada
konteks penelitian yaitu value menyampaikan komplain. Penyesuaian konteks spesifik
komunitas merek virtual game online dilakukan dengan hanya mengakomodasi valuein-use fungsional dan sosial sebagaimana framework value pada konteks komunitas
merek virtual yang diajukan dalam Sicilia & Palazon (2008) dengan mengeluarkan
value-in-use entertainment. Sebagai hasilnya, pengukuran value-in-use pada konteks
komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh pihak publisher game online dirumuskan
sebagai perangkat pengukuran value-in-use fungsional (terdiri atas 11 indikator) dan
value-in-use sosial (terdiri atas 5 indikator). Hasil Exploratory Factor Analysis
mengindikasikan perlunya pertimbangan untuk memodelkan value-in-use fungsional
sebagai second order latent variable dengan tiga dimensi yaitu informational,
instrumental dan self-discovery. Sementara itu value-in-use sosial dapat dimodelkan
sebagai first order latent variable dengan lima indikator pengukuran. Hasil estimasi
model pengukuran untuk variabel value-in-use fungsional dan sosial menunjukkan
tingkat validitas dan reliabilitas yang baik (AVE > 0.5 dan CR > 0.7).
6.1.2 Dorongan Value-in-use terhadap Perilaku Partisipatif dalam Marketplace
culture
Penelitian ini mengemukakan fakta empiris atas adanya dorongan selektif
value-in-use pada perilaku partisipatif posting dan lurking yang belum dapat
dirumuskan secara jelas pada pengembangan hipotesis secara konseptual berdasarkan
literatur marketplace culture dalam CCT. Dorongan value-in-use fungsional pada
perilaku partisipatif posting dan lurking terbukti melalui data empiris. Sementara itu,
pada konteks komunitas merek virtual game online yang diinisiasi oleh publisher
dorongan value-in-use sosial tidak didukung oleh bukti empiris yang cukup.
Fakta tersebut ditambah dengan hasil content analysis yang telah dilakukan
memberikan kontribusi berupa perluasan konsep komunitas merek virtual pada
literatur marketplace culture dalam CCT yang telah ada setidaknya pada empat aspek.
Pertama, penelitian ini memberikan bukti empiris akan adanya hubungan antara aspek
penggalian informasi dengan perilaku partisipatif lurking yang sebelumnya
disimpulkan berdasarkan hasil studi eksploratif pada Nonnecke & preece (2001).
Kedua, memperluas hasil penelitian Dholakia et al., (2004) akan adanya pengaruh
langsung antara aspek instrumental value sebagai bagian dari value-in-use fungsional
dengan perilaku partisipatif posting yang tidak dimodelkan sebelumnya. Ketiga,
perluasan atas penelitian Dholakia et al. (2004) berupa adanya pengaruh langsung
antara aspek self-discovery pada value-in-use fungsional terhadap perilaku partisipatif
lurking yang tidak dimodelkan sebelumnya. Keempat, memberikan penjelasan pada
konteks yang berbeda akan tidak ditemukannya bukti empiris yang mendukung
keterkaitan antara value sosial dengan partisipasi aktif dalam komunitas virtual pada
penelitian Dholakia et al., (2004).
46
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Peneliti menduga, pola hubungan antara value-in-use dan perilaku partisipatif
sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini akan terjadi juga pada konteks lain
khususnya komunitas merek virtual yang strukturnya menciptakan keanggotaan ganda
pada dua komunitas yang saling terkait. Sebagai contoh, pola yang sama dapat terjadi
pada komunitas merek virtual dari produk yang secara alamiah membentuk komunitas
dalam konsumsinya seperti sekolah atau kampus. Pola yang sama juga diduga dapat
terjadi pada komunitas merek yang memiliki tingkat aktivitas tinggi pada dua metode
interaksi (online dan offline). Tentunya dugaan ini masih perlu diuji lebih lanjut
melalui penelitian empiris guna membuktikan generalisasinya.
6.1.3 Urgensi Perilaku Partisipatif Lurking pada Marketplace culture
Sejumlah penelitian terdahulu pada ranah marketplace culture telah
menggarisbawahi pentingnya perilaku partisipatif bagi kelangsungan hidup suatu
komunitas merek virtual (Dholakia et al., 2004; Casaló, Flavián & Guinalíu, 2007; Lin,
2008; Thompson & Sinha, 2008). Namun demikian, sebagian besar peneliti
menitikberatkan hanya pada perilaku partisipatif posting yang dianggap berkontribusi
pada kelangsungan hidup komunitas merek virtual, dengan mengabaikan tinjauan pada
perilaku partisipatif lurking yang dianggap hanya aktivitas free-riding yang tidak
memberikan kontribusi terhadap komunitasnya (Nonnecke & Preece 1999, Schultz &
Beach 2004).
Penelitian ini mencoba mengusulkan sudut pandang berbeda akan pentingnya
menelaah perilaku partisipatif baik posting maupun lurking dalam suatu analisis.
Setidaknya ada tiga alasan mendasar atas usulan tersebut. Pertama, jika dipandang dari
perspektif pemasaran, lurker maupun poster pada komunitas merek virtual merupakan
bagian pelanggan merek yang menjadi target pemasaran relasional pemasar. Oleh
karenanya tidaklah tepat jika pemasar hanya berupaya untuk memberikan fasilitas dan
penghargaan bagi perilaku partisipatif posting. Alasan kedua, tipe keanggotaan
poster/lurker yang cenderung dinamis, dengan kata lain, intensitas perilaku partisipatif
posting/lurking bersifat dinamis, sehingga tidaklah realistis jika hanya memfokuskan
pada upaya menelaah faktor pendorong perilaku partisipatif posting yang bukan tidak
mungkin membuat ketidakpuasan pada anggota komunitas merek virtual yang di suatu
saat tengah memiliki tingkat perilaku partisipatif posting rendah namun memiliki
tingkat perilaku partisipatif lurking yang tinggi padahal dikemudian hari jika dia tetap
merasa nyaman dalam komunitasnya suatu saat akan menunjukkan tingkat perilaku
posting yang lebih baik. Alasan ketiga, hasil penelitian ini memberikan bukti empiris
akan pentingnya akomodasi perilaku partisipatif lurking pada pembahasan komunitas
merek virtual. Bukti tersebut berupa adanya dampak positif perilaku partisipatif
lurking terhadap loyalitas merek baik attitudinal maupun behavioral. Hal ini berarti
upaya penciptaan loyalitas merek yang tinggi dapat ditempuh dengan meningkatkan
tingkat perilaku partisipatif lurking anggota komunitas merek virtual secara umum,
yang berarti harus dimulai dengan upaya penciptaan value-in-use pendorong yang
sesuai dan berarti harus dimulai dengan menyediakan value proposition yang dapat
mendorong terciptanya value-in-use tersebut. Hal ini memperluas paradigma yang ada
sebelumnya bahwa dalam pembahasan komunitas merek virtual hanya perlu
dipertimbangkan perilaku partisipatif posting.
47
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
6.1.4 Loyalitas Attitudinal-Behavioral pada Marketplace culture
Pada konteks komunitas merek sebagai suatu marketplace culture, anggota
dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam komunitas cenderung memiliki tingkat
identifikasi dan ikatan emosional yang tinggi terhadap merek terkait (Algesheimer et
al., 2005). Identifikasi dan ikatan emosional tersebut pada akhirnya berdampak pada
tingkat loyalitas yang lebih tinggi terhadap merek (McAlexander et al. 2002). Konsep
ini juga berlaku pada komunitas merek virtual sebagai perluasan dari komunitas merek
yang memiliki kesamaan pada sejumlah elemen pembentuknya (Andersen, 2005;
Casalo et al., 2010) dengan penyesuaian definisi partisipasi sebagai perilaku
partisipatif posting dan lurking.
Sejumlah penelitian terdahulu dalam ranah marketplace culture menelaah
implikasi pemasaran dari perilaku partisipatif, khususnya pada loyalitas pelanggan
secara parsial. Beberapa penelitian menelaah loyalitas attitudinal sebagai implikasi
pemasaran dari perilaku partisipaitf (seperti Shang et al. 2006, Casalo et al. 2007, Zhou
et al. 2011). Sementara itu, ada pula yang meninjau dari sisi loyalitas behavioral
(seperti Thompson & Sinha 2008). Penelitian ini mengakomodasi kedua jenis loyalitas
behavioral tersebut untuk melihat implikasi pemasaran perilaku partisipatif secara
lebih teliti. Penelitian ini memberikan kontribusi menambahkan generalisasi pada
penelitian marketplace culture sebelumnya atas adanya dampak positif perilaku
partisipatif lurking terhadap loyalitas merek attitudinal (Shang et al. 2006).
Berdasarkan hasil analisis, dapat dibuktikan bahwa dampak positif perilaku partisipatif
lurking terhadap loyalitas merek attitudinal juga berlaku pada konteks komunitas
merek virtual game online yang diinisiasi oleh pihak pemasar dalam hal ini publisher
game online. Penelitian ini juga memberikan bukti empiris bahwa perilaku partisipatif
lurking berdampak positif terhadap loyalitas merek behavioral. Hasil penelitian juga
menambahkan generalisasi pada peneltian sebelumnya akan adanya dampak positif
perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas merek attitudinal (Shang et al. 2006,
Casalo et al. 2010). Berdasarkan temuan ini, peneliti juga menduga bahwa efek ini
juga akan berlaku pada konteks komunitas merek virtual lainnya, misalnya komunitas
merek virtual produk teknologi seperti komunitas android dan komunitas ponsel
Samsung, atau komunitas produk otomotif seperti komunitas Nissan Livina.
Pada konteks komunitas merek virtual produk teknologi dan otomotif yang
memiliki karakteristik kompleksitas produk yang relatif tinggi, komunitas merek
virtual memberikan wahana untuk menggali informasi, solusi, pengalaman dan ide
melalui perilaku partisipatif lurking. Hal ini dapat meninkatkan kualitas konsumsi
pelanggan, mereduksi ketidakpuasan, sekaligus meningkatkan integrasi pelanggan
terhadap merek. Sebagai implikasinya, serupa dengan konteks layanan game online
keberadaan komunitas merek virtual dapat mendorong loyalitas attitudinal dan
behavioral pada tingkat yang lebih tinggi. Di sisi lain, pada konteks produk teknologi
dan otomotif, komunitas merek virtual juga merupakan wahana untuk melakukan
perilaku partisipatif posting, baik yang bersifat sharing atau memberi kontribusi
maupun yang bersifat penggalian saran atau permintaan bantuan. Hal ini berpotensi
untuk meningkatkan pengalaman atas merek dan integrasi terhadap merek. Sebagai
implikasinya, serupa dengan hasil penelitian ini, memberikan dampak positif pada
loyalitas attitudinal terhadap merek. Hal yang berbeda dengan hasil penelitian ini
adalah, loyalitas behavioral pada konteks produk teknologi dan otomotif tidak
melibatkan ukuran share of visit atau share of time sehingga diduga, sebagaimana
48
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
penelitian terdahulu, perilaku partisipatif posting akan berdampak positif pada
loyalitas behavioral terhadap merek.
Lebih jauh lagi, penggunaan loyalitas attitudinal-behavioral dalam penelitian
ini memberikan setidaknya dua kontribusi bagi disiplin pemasaran khususnya pada
bahasan marketplace culture. Pertama, penelitian ini memberikan fakta baru atas
konsep marketplace culture yang telah ada sebelumnya atas dampak positif perilaku
partisipatif posting terhadap loyalitas behavioral (Andersen, 2005; Schlosser, 2005).
Penelitian ini memberikan bukti empiris akan adanya suatu kondisi batas, bahwa pada
konteks produk yang salah satu parameter loyalitas behavioralnya adalah intensitas
waktu penggunaan yang intensif seperti game online perilaku partisipatif posting
justru berdampak negatif pada loyalitas behavioral. Adanya kondisi batas ini tidak
dapat dipotret dan dijelaskan dengan baik jika digunakan telaah implikasi parsial
hanya pada loyalitas attitudinal atau behavioral saja. Pada konteks produk game online
tampak bahwa alokasi sumber daya untuk melakukan perilaku partisipatif posting
relatif signifikan mengganggu alokasi waktu untuk melakukan aktivitas konsumsi
yaitu menghabiskan waktu dengan bermain game online. Dalam hal ini, pelanggan
game online harus melakukan trade-off alokasi waktunya pada dunia maya antara
bermain game online dengan intensitasnya dalam melakukan perilaku partisipatif
posting. Peneliti menduga hasil tersebut akan berlaku pada semua jenis MMORPG
yang memiliki sifat intensif dan investatif dari sisi waktu. Sementara itu, pada jenis
game online yang lebih santai seperti The Sims hal ini bisa saja tidak terjadi.
Kedua, hasil penelitian ini juga memberikan gambaran pentingnya wahana
komunitas merek virtual dalam pembentukan loyalitas terhadap merek. Perilaku
partisipatif lurking berpotensi untuk membentuk true brand loyalty (Bloemer &
Kasper, 1995) dengan memperbesar kecenderungan atas loyalitas attitudinal dan
behavioral sekaligus. Sementara itu perilaku partisipatif posting setidaknya
membentuk latent loyalty (Dick & Basu, 1994) yang pada suatu saat jika ketersediaan
sumber daya waktu di sisi pelanggan lebih besar memungkinkan pula untuk terjadinya
true brand loyalty. Fakta ini yang belum dapat terungkap pada sejumlah penelitian
terdahulu yang hanya menggunakan salah satu tipe loyalitas dalam meneliti komunitas
merek virtual.
6.1.5 Dual Community pada Konteks Produk Game Online MMORPG
Komunitas merek virtual pada umumnya hanya berlangsung melalui satu
bentuk interface biasanya berbentuk message boards atau dalam prakteknya dewasa
ini lebih dikenal dengan sebutan online forum (seperti pada Dholakia et al., 2004;
Shang et al. 2006; Casalo et al., 2010). Pada konteks komunitas merek virtual yang
diinisiasi oleh publisher game online terjadi fenomena terbentuknya dual community
(in-game dan out-of game) yang pada penelitian ini diindikasikan saling terkait jika
ditinjau dari proses penggalian value-in-use oleh anggotanya. Oleh karena itu, pada
konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh publisher game online
pendefinisian komunitas virtual perlu diperluas dengan mengakomodasi adanya
fenomena dual community.
Komunitas merek virtual untuk produk game online berjenis MMORPG yang
diinisiasi oleh pihak pemasar, dalam hal ini publisher, memiliki karakteristik yang
berbeda sebagai akibat dari karakteristik dan cara mengkonsumsi layanannya yang
49
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
unik. Pelanggan MMORPG menikmati layanannya dalam suatu dunia virtual dan
berinteraksi bersama dengan banyak sekali pelanggan lain. Interaksi tersebut dengan
dukungan interface dan alur cerita dari masing-masing game kemudian menciptakan
tatanan masyarakat virtual yang terdiri atas banyak kelompok-kelompok kecil yang
sering disebut dengan clan atau guild. Kelompok-kelompok tersebut memiliki elemen
sebagaimana layaknya komunitas. Hal ini yang kemudian disebut dengan in-game
community (Ang et al. 2005). Di sisi lain, kompleksitas tipe permainan MMORPG
kemudian disikapi oleh publisher pada umumnya dengan menciptakan komunitas
merek virtual berbentuk online forum untuk menunjang layananya kepada para
pemain. Komunitas ini yang kemudian disebut dengan out-of-game community (Ang
et al. 2005).
Penelitian ini mengindikasikan keterkaitan yang erat antara komunitas in-game
dan out-of-game pada konteks MMORPG di Indonesia berupa adanya pembagian
fungsi dalam proses pemenuhan kebutuhan anggota komunitas merek terkait dengan
game online yang dimainkannya. Hasil anasisis hipotesis pada model struktural
membuktikan bahwa value-in-use fungsional diterjemahkan menjadi perilaku
partisipatif posting dan lurking. Hasil content analysis yang dilakukan memberikan
penjelasan lebih dalam, bahwa aspek instrumental lebih digali melalui perilaku
partisipatif posting, sementara aspek informasi dan self-discovery lebih digali melalui
perilaku partisipatif lurking. Di sisi lain, value-in-use sosial yang secaara konseptual
dapat digali melalui perilaku partisipatif pada komunitas out-of-game ternyata tidak
serta merta diterjemahkan demikian. Faktanya, pengamatan peneliti selama menjalani
hidup virtual dengan sesama pemain game online mengindikasikan bahwa mayoritas
pemain ingin bermain secara bersama, bukan secara individu. Oleh karenanya, mereka
kemudian bergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang disebut sebagai guild atau
clan di dalam permainan (in-game community). Lebih jauh lagi, dalam komunitas ingame juga tersedia fasilitas komunikasi antar anggota guild atau clan, dan pada
konteks ini juga ada anggota kelompok yang aktif berkomunikasi (mirip dengan
melakukan perilaku partisipatif posting dalam komunitas out-of-game) sementara
sebagian lainnya hanya membaca isi komunikasi rekan-rekannya (mirip dengan
melakukan perilaku partisipatif lurking dalam komunitas out-of-game).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pemain game online
(terlibat dalam komunitas in-game) yang dalam konteks penelitian ini juga sekaligus
sebagai anggota komunitas merek virtual (terlibat dalam komunitas out-of-game)
menggali value-in-use secara selektif dari kedua komunitas tersebut. Value-in-use
fungsional dapat banyak digali melalui komunitas out-of-game, sementara value-inuse sosial lebih banyak digali melalui komunitas in-game. Sebagai implikasinya,
secara teoritis konsep komunitas merek virtual pada layanan MMORPG perlu
didefinisikan sebagai dual community atau komunitas ganda (in-game dan out-ofgame) yang saling terkait dalam pemenuhan kebutuhan pelanggannya. Definisi ini
tidak berlaku bagi tipe game online yang tidak menyediakan wahana interaksi dan
komunikasi langsung antar pemain di dalam permainannya. Sementara itu, secara
praktis hal ini menunjukkan pentingnya komunitas merek virtual (komunitas out-ofgame) sebagai pendamping layanan game online (komunitas in-game) guna
memberikan layanan secara utuh kepada pelanggan.
50
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
6.2 Implikasi terhadap Miskonseptualisasi Penelitian CCT
Arnould & Thompson (2005) menggarisbawahi adanya tiga
miskonseptualisasi berkelanjutan pada penelitian CCT yaitu: (1) peneliti CCT hanya
meneliti konteks khusus, (2) Perbedaan penelitian CCT dengan research tradition
pemasaran pada umumnya adalah pada metodenya dan penelitian CCT hanya
mengimplementasikan metode kualitatif, (3) Penelitian CCT tidak memiliki relevansi
manajerial.
Terkait dengan miskonseptualisasi pertama, penelitian ini sebagaimana
layaknya penelitian lain memilih suatu konteks spesifik, yaitu komunitas merek virtual
game online yang diinisiasi oleh pihak publisher. Namun demikian dalam batas
tertentu sebagian dari hasil penelitian ini memiliki kontribusi dan implikasi yang
potensial untuk dapat digeneralisasi. Pembuktian akan pengaruh perilaku partisipatif
posting dan lurking terhadap loyalitas merek attitudinal dan behavioral dengan
pengecualian pada H6 menambah generalisasi atas penelitian marketplace culture
sebelumnya (seperti Shang et al. 2006, Casalo et al. 2010) dan dapat digeneralisasi
pada komunitas merek virtual pada konteks yang lain seperti diilustrasikan pada
bagian 6.1.4. Di sisi lain, pengujian dorongan value-in-use khususnya fungsional,
terhadap perilaku partisipatif posting dan lurking memberikan dukungan fakta empiris
atas konsep dalam pembahasan marketplace culture (seperti Nonnecke & preece,
1999; 2001; Nonnecke et al., 2004) dan sebelum ada pembuktian sebaliknya peneliti
berpendapat bahwa kondisi ini juga akan berlangsung pada komunitas merek virtual
pada konteks yang lain. Sebagai ilustrasi, secara umum informasi (Nonnecke & preece,
2001) dan solusi atas permasalahan (Flanagin & Metzger, 2001) merupakan sebagian
alasan bagi pelanggan untuk berpartisipasi pada komunitas merek virtual. Hal itu
kemudian akan sebagiannya akan direalisasikan melalui perilaku partisipatif lurking
guna mencari informasi yang dibutuhkan atau solusi atas permasalahan yang ada
dengan membaca dari thread dan posting yang tersimpan pada kumunitas merek
virtual. Jika tindakan tersebut belum membuahkan hasil, sebagian anggota komunitas
merek virtual akan mencoba menggalinya secara aktif melalui perilaku partisipatif
posting dengan bertanya atau meminta bantuan kepada sesama anggota komunitas
merek virtual. Dengan adanya potensi generalisasi sebagaimana telah diuraikan,
ditambah penggunaan konsep yang sejalan dengan perkembangan disiplin pemasaran
dewasa ini (seperti komunitas merek virtual, value-in-use, partisipasi, serta loyalitas
merek) pada penelitian CCT khususnya pada bahasan marketplace culture, penelitian
ini berupaya untuk dapat menambah legitimasi CCT dalam komunitas pemasaran
(Coskuner-Balli, 2013). Upaya tersebut ditujukan untuk turut memberikan kontribusi
pada minimisasi miskonsepsi pertama pada penelitian CCT.
Terkait dengan miskonseptualisasi kedua, peneliti setuju bahwa sebagian besar
penelitian CCT dilakukan dengan metode kualitatif. Peneliti tidak menyanggah
pemilihan tersebut karena pada konteks discovery pada penelitian-penelitian awal
untuk mengangkat fenomena dan merumuskan penjelasan dan konsep awal akan suatu
fenomena penelitian kualitatif merupakan salah satu alternatif yang baik untuk dipilih.
Sementara itu, penelitian ini merupakan upaya untuk mengembangkan konsep
marketplace culture yang telah ada dengan upaya untuk menutup sebagian
kesenjangan yang masih ada yang dalam implementasinya selain menerapkan metode
kualitatif berupa observasi melalui nentografi dan interview awal untuk mendapatkan
gambaran detil mengenai konteks penelitian kemudian dilanjutkan dengan pembuktian
51
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
hipotesis secara empiris menggunakan metode kuantitatif yang cukup lazim
diimplementasikan pada konteks justification. Penggunaan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif pada penelitian ini menunjukkan adanya methodological pluralism
(Arnould & Thompson, 2005) sebagai upaya untuk turut berkontribusi pada
minimisasi miskonseptualisasi CCT yang kedua.
Terkait dengan miskonseptualisasi ketiga, penelitian ini mencoba untuk lebih
mendekatkan penelitian marketplace culture dengan relevansi manajerial.
Sebagaimana telah sering diuraikan pada bagian sebelumnya, sebagian besar
penelitian marketplace culture hanya menitikberatkan telaah pada perilaku partisipatif
posting dengan mengesampingkan perilaku partisipatif lurking. Pada lingkup tertentu,
yaitu menjaga keberlangsungan komunitas virtual peneliti tidak menyanggah cara
pandang ini. Namun demikian, guna mencapai relevansi manajerial khususnya dalam
perspektif pemasaran, cara pandang tersebut dinilai kurang memadai. Penelitian ini
menawarkan sudut pandang yang lebih relevan secara manajerial, bahwa dalam
perspektif pemasaran perilaku partisipatif lurking yang dilakukan oleh anggota
komunitas merek virtual juga dapat memberikan kontribusi positif secara manajerial
berupa loyalitas merek yang lebih tinggi sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai
oleh pemasar. Kontribusi tersebut menjadi lebih kritikal mengingat pada umumnya
jumlah anggota yang lebih intens melakukan perilaku partisipatif lurking lebih besar
dari jumlah anggota komunitas merek virtual yang melakukan perilaku partisipatif
posting (Katz, 1998). Singkatnya, dengan mengangkat urgensi perilaku partisipatif
lurking, penelitian ini mencoba memperluas pandangan marketplace culture yang ada
sebelumnya guna meningkatkan relevansi penelitian pada implikasi manajerial
pemasaran. Dengan demikian peneliti berpendapat bahwa upaya ini merupakan salah
satu kontribusi untuk me minimisasi miskonseptualisasi CCT yang ketiga. Implikasi
manajerial dari hasil penelitian ini, khususnya yang terkait dengan aspek pemasaran
diuraikan secara lebih rinci pada bagian berikut.
6.3 Implikasi Pada Praktek Manajemen Pemasaran
Sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi penunjang bagi pemasar dalam menciptakan value
proposition bagi anggota komunitas merek virtual khususnya pada layanan game
online berjenis MMORPG. Hasil penelitian ini juga dapat diperluas pemanfaatannya
pada komunitas merek virtual untuk produk lain yang memiliki karakteristik serupa
yaitu memiliki tingkat kompleksitas tertentu dan juga menimbulkan pengalaman
tertentu pada penggunanya sehingga memicu adanya keperluan untuk mencari dan
saling berbagi informasi antar pengguna juga dengan penyedia layanan. Berikut
diuraikan secara lebih terperinci implikasi hasil penelitian ini pada praktik pemasaran.
6.3.1 Implikasi bagi Pengelolaan Komunitas Merek Virtual
6.3.1.1 Urgensi Selektif Wahana Pemasaran Komunitas Merek Virtual
Penelitian ini membuktikan adanya dampak positif perilaku partisipatif posting
dan lurking terhadap loyalitas merek pada konteks produk game online. Hal ini
memperkuat hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang pentingnya komunitas
52
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
merek virtual sebagai salah satu wahana alternatif dalam melakukan upaya pemasaran.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa mungkin tidak semua tipe produk cocok dan
perlu ditunjang dengan komunitas merek virtual.
Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan pertimbangan perlu atau
tidaknya suatu produk ditunjang oleh komunitas merek virtual. Pertama, tingkat
utilisasi internet (mulai dari adopsi hingga intensitas penggunaan internet) di kalangan
target market produk yang ditawarkan. Semakin tinggi tingkat adopsi dan intensitas
penggunaan internet target market yang dilayani semakin memungkinkan komunitas
merek virtual dijadikan sebagai salah satu wahana pemasaran.
Kedua, tingkat kompleksitas produk atau layanan yang ditawarkan. Semakin
tinggi tingkat kompleksitas produk dan layanan yang membuat pelanggan perlu tempat
untuk mencari informasi, bertanya, dan mencari solusi permasalahan semakin perlu
dibuat komunitas merek virtual sebagai penunjang dari produk atau layanan yang
diberikan. Contoh dari produk atau layanan tersebut adalah produk gadget, otomotif,
komputasi, software, role playing game, dan produk-produk berteknologi tinggi
lainnya.
Ketiga, aspek product involvement dalam mengkonsumsi produk yang terkait
dengan keterlibatan konsumen dalam memilih produk serta konsekuensinya. Semakin
tinggi karakteristik produk involvement suatu produk atau layanan, apalagi yang
membutuhkan evaluasi berdasarakan pengalaman orang lain yang telah menggunakan,
semakin perlu diciptakan komunitas merek virtual. Dalam konteks ini komunitas
merek virtual dapat menjadi sarana untuk berbagi pengalaman serta menggali
informasi dan pengalaman orang lain sebelum memutuskan untuk membeli produk.
Sebagai contoh adalah produk tujuan wisata.
Keempat, derajat kepentingan komunikasi dua arah antara pemasar-pelanggan
dan pelanggan-pelanggan. Semakin tinggi derajat kepentingan komunikasi dua arah
tersebut semakin perlu komunitas merek virtual diciptakan. Komunikasi pada konteks
ini dapat dimaksudkan untuk berbagai kepentingan mulai dari pencarian informasi,
solusi permasalahan, komplain, penggalian umpan balik hingga penggalian inovasi
pengembangan produk dan layanan. Contoh dari penjelasan ini adalah produk-produk
teknologi, software, rumah sakit, dan pendidikan.
6.3.1.2 Indikator Kinerja Komunitas Merek Virtual
Literatur terdahulu cenderung mengedepankan perilaku partisipatif posting
sebagai indikator keberhasilan komunitas merek virtual karena perilaku tersebut
dinilai sebagai urat kehidupan suatu komunitas virtual. Sementara itu, perilaku
partisipatif lurking condong dikesampingkan karena dinilai hanya sebagai aktivitas
free riding. Hal ini tidak salah, khususnya pada konteks komunitas virtual secara
umum dan dari sudut pandang keberlangsungan hidup komunitas virtual. Penelitian
ini mencoba memberikan suatu alternatif cara pandang dari perspektif pemasaran.
Dari perspektif pemasaran, keberhasilan komunitas merek virtual dapat dilihat
setidaknya dari dua aspek utama yaitu jumlah anggota dan tingkat aktivitas dari
komunitas tersebut. Jumlah anggota menandakan antusiasme pengguna merek untuk
bergabung dalam komunitas merek virtual yang mencerminkan tingginya kebutuhan
53
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
akan komunitas merek virtual tersebut serta memberi gambaran seberapa besar jumlah
pengguna merek.
Tingkat aktivitas komunitas merek virtual menggambarkan seberapa besar
manfaat yang dirasakan oleh anggotanya dan merupakan pertanda masih hidup atau
tidaknya suatu komunitas merek virtual. Penelitian ini menyarankan agar definisi
tingkat aktivitas komunitas merek virtual tidak dipandang secara sempit hanya pada
aktivitas posting anggotanya. Perilaku partisipatif lurking sepatutnya juga dipandang
sebagai aktivitas anggota yang juga mencerminkan hidupnya suatu komunitas merek
virtual.
Pada umumnya online forum dewasa ini dilengkapi dengan fasilitas yang
menggambarkan jumlah total anggota berikut identitas virtualnya termasuk informasi
kapan mereka mulai bergabung dalam komunitas virtual hingga rekaman aktivitasnya
baik posting maupun lurking. Hal yang menjadi permasalahan adalah paradigma
pemasar yang masih memandang indikator keberhasilan suatu komunitas merek
virtual secara sempit pada perilaku partisipatif posting dibandingkan dengan perluasan
cara pandang dengan mengakomodasi ukuran perilaku partisipatif lurking.
6.3.1.3 Value Co-creation dan Value-in-use dalam Komunitas Merek Virtual
Penelitian ini membuktikan bahwa value-in-use fungsional dan value-in-use
sosial merupakan pendorong perilaku partisipatif dengan kadar yang berbeda. Valuein-use berada pada ranah anggota komunitas yang tercipta melalui value co-creation
di ranah bersama dan dapat didorong oleh value proposition penyelenggara komunitas
merek virtual (dalam konteks ini adalah publisher) pada ranah provider. Sebagai
implikasinya, dalam rangka meningkatkan aktivitas komunitas yang akan tercermin
dari perilaku partisipatif posting dan lurking pihak pemasar harus mencoba membuat
value proposition yang mendorong kedua kategori value-in-use untuk mendorong
perilaku partisipatif.
Jika ditinjau lebih dalam value-in-use fungsional mencakup sejumlah aspek
yang lebih spesifik antara lain Informational, instrumental dan self-discovery. Pemasar
dapat menempuh sejumlah upaya spesifik yang dapat mendorong ketiga aspek tersebut
guna meningkatkan perilaku partisipatif anggota komunitas merek virtual. Aspek
informational berupa indikator memperoleh informasi, mempelajari hal baru dan
memperoleh ide. Value ini dapat didorong penciptaanya melalui praktik value cocreation (Schau et al. 2009) documenting (narasi perjalanan relasional dengan merek),
grooming (prosedur atau ritual terkait konsumsi merek) dan customizing (modifikasi
merek untuk mencocokkan dengan kebutuhan individu atau kelompok). Sebagai
contoh, pada komunitas merek virtual game online, praktik documenting terdiri atas
posting dan diskusi pengalaman, tips, pengumuman atau informasi terkait dengan
game online yang dibahas. Praktik grooming terdiri atas posting dan diskusi tata cara
dan prosedur elemen-elemen dalam permainan serta aturan main dalam permainan
yang menjadi kesepakatan umum dunia maya game online terkait. Praktik customizing
terdiri atas posting dan diskusi strategi permainan dan modifikasi karakter dalam game
online. Praktik value co-creation tersebut dapat coba didorong oleh pihak pemasar
dengan menyediakan value proposition berupa interface dokumentasi forum online
yang handal dan memudahkan. Mencari, mendorong dan memberi penghargaan bagi
poster yang produktif menginisiasi pembahasan atau memberikan kontribusi aktif
54
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
pada praktik grooming dan customizing. Jika upaya tersebut belum memadai,
khususnya pada komunitas merek virtual yang masih baru atau memiliki tingkat
partisipatif posting yang masih rendah maka pihak pemasar perlu menempatkan staff
khusus yang bertugas untuk memberikan kontribusi informasi termasuk yang terkait
dengan grooming dan customizing.
Aspek instrumental terdiri atas indikator memberikan kontribusi pada
komunitas, membagi informasi, meminta bantuan, memecahkan masalah,
menyampaikan keluhan serta bertransaksi. Value ini dapat didorong penciptaanya
melalui praktik value co-creation commoditizing (perilaku atau sikap terkait pasar
yang ditujukan pada sesama anggota atau provider) dan staking (mengakomodasi
variasi dan pengelompokkan di dalam komunitas merek virtual). Praktik value cocreation tersebut dapat coba didorong oleh pihak pemasar dengan menyediakan value
proposition berupa pembuatan sejumlah sub-forum untuk memudahkan
pengelompokkan diskusi dalam komunitas merek virtual, interface komunikasi baik
umum atau pribadi yang handal dan mudah digunakan, serta penempatan perwakilan
dari pihak pemasar yang memadai untuk merespon secara cepat permasalahan,
komplain atau saran dari anggota komunitas merek virtual.
6.3.2 Implikasi bagi Publisher MMORPG di Indonesia
Pada komunitas merek virtual game online yang diinisiasi pihak publisher di
Indonesia biasanya digunakan kebijakan satu akun dapat dijadikan identitas untuk
mengakses seluruh game yang disediakan termasuk komunitas merek virtualnya.
Untuk akses komunitas merek virtual anggota otomatis dapat mengaksesnya pada saat
mereka membuat akun di website portal publisher seperti pada forum Gemscool.
Dalam pandangan pihak luar, termasuk yang berpotensi untuk kemudian menjadi
anggota komunitas merek virtual, jumlah anggota merupakan sebagian indikator dari
aset dan kekuatan komunitas. Oleh karena itu, bukan strategi yang salah pada konteks
komunitas out-of-game layanan MMORPG untuk mengambil kebijakan aktivasi
keanggotaan langsung seperti yang dilakukan forum Gemscool.
Untuk menjaring pelanggan baru, dalam hal ini pemain yang membuat akun di
website portal publisher dan mencoba memainkan game online yang disediakan
lazimnya publisher melakukan sejumlah upaya komunikasi pemasaran. Upaya
tersebut dapat berupa pemasangan iklan pada majalah remaja, majalah game, majalah
anime, majalah komputer, serta website atau forum online yang terkait dengan bahasan
game, anime atau komputer. Tidak jarang pula publisher membagikan DVD installer
game online secara gratis kepada konsumen. Upaya lain yang dilakukan adalah
penyelenggaraan event berupa expo di pusat-pusat keramaian atau lomba game online
bekerja sama dengan warnet dan game center. Sementara itu, untuk mendorong
konsumen yang sudah menjadi pemain agar kemudian mulai melakukan perilaku
partisipatif baik posting maupun lurking pihak publisher dapat menempuh upaya
menarik perhatian dan mendorong trial dengan mengadakan event komunitas out-ofgame seperti sayembara foto avatar terbaik atau pooling berhadiah yang informasinya
disampaikan dalam komunitas in-game. Di samping itu pihak publisher dapat
memberlakukan sistem pengumuman singkat akan update-update terbaru dalam
komunitas in-game yang di hubungkan dengan halaman dalam forum online untuk
informasi yang lebih detil dan lengkap.
55
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Penelitian ini menyarankan penggunaan dua indikator sekaligus yaitu perilaku
partisipatif posting dan lurking sebagai indikasi aktif tidaknya suatu komunitas merek
virtual. Hal ini berbeda dari kebanyakan pendapat selama ini yang hanya
menitikberatkan pada perilaku partisipatif. Apresiasi terhadap perilaku partisipatif
posting sudah sering diterapkan, seperti pemberian gelar berjenjang berdasarkan
jumlah posting. Yang belum mendapatkan perhatian adalah perlunya memberikan
apresiasi yang seimbang pada perilaku partisipatif lurking misalnya dengan juga
menciptakan gelar berjenjang berdasarkan intensitas perilaku partisipatif lurking.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perilaku partisipatif lurking
berdampak positif pada loyalitas merek baik attitudinal maupun behavioral. Hal ini
berarti, upaya untuk memelihara dan meningkatkan tingkat perilaku partisipatif
lurking akan memberikan dampak yang baik bagi pemasar. Aspek yang paling
menonjol untuk mendorong perilaku partisipatif lurking berdasarkan penelitian ini
adalah informational value-in-use. Implikasinya, pemasar perlu menawarkan value
proposition yang dapat mendorong terciptanya informational value-in-use, seperti
interface penyimpanan, penyortiran dan pencarian informasi yang memudahkan serta
handal. Dorongan dari sisi lain dapat diupayakan misalnya dengan memberikan reward
baik materi atau non materi bagi kontributor informasi, aktivis diskusi, moderator, atau
dengan menempatkan secara khusus seseorang yang cakap seputar topik pembicaraan
komunitas merek virtual sebagai seorang generator informasi. Pada konteks ini
komunitas merek virtual berperan sebagai wahana content marketing, suatu proses
pengelolaan konten guna menarik pelanggan, mempertahankan serta mengubah
perilakunya (Bosomoworth, & Chaffey, 2011). Bagi pengunjung yang bukan
merupakan anggota, konten informasi pada komunitas merek virtual berpotensi
menarik mereka untuk mencoba memainkan game online yang dibahas. Bagi
anggotanya, konten informasi komunitas merek virtual berpotensi meningkatkan
kualitas layanan yang diberikan sehingga meningkatkan kecenderungan bagi anggota
komunitas merek virtual untuk loyal terhadap pihak publisher.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa perilaku partisipatif posting
justru berdampak negatif pada loyalitas behavioral yang diindikasikan oleh jumlah
jam bermain serta jumlah dana yang dibelanjakan pada produk game online. Memang
temuan ini spesifik pada konteks produk MMORPG yang memiliki karakeristik
penggunaan waktu yang intensif dan investatif. Implikasinya, pemasar tidak perlu
mentargetkan mayoritas pemainnya untuk memiliki tingkat perilaku partisipatif
posting yang tinggi dalam komunitas merek virtual karena hal ini kontraproduktif bagi
tingkat loyalitas behavioral pemain.
6.3.3 Implikasi pada Konteks Produk Pendidikan dan Teknologi
Komunitas merek virtual game online berjenis MMORPG yang diinisiasi oleh
pihak publisher sebagai konteks penelitian berimplikasi pada adanya hasil penelitian
yang berlaku spesifik pada konteks ini dan hasil penelitian yang dapat diperluas
pemanfaatannya pada konteks lain. Hasil yang sangat spesifik khususnya menyangkut
karakteristik indikator loyalitas merek behavioral yang melibatkan pengalokasian
waktu khusus secara intensif untuk mengkonsumsi layanan pada produk game online
berjenis MMORPG serta implikasinya pada hubungan antara perilaku partisipatif
posting dengan loyalitas merek behavioral. Dalam hal ini, hasil penelitian berlaku
56
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
spesifik hanya pada konteks komunitas merek virtual game online berjenis MMORPG.
Sementara itu, hasil penelitian menyangkut value-in-use, dampaknya pada perilaku
partisipatif posting dan lurking serta implikasinya terhadap loyalitas merek khususnya
attitudinal dan behavioral sebagai dampak perilaku partisipatif lurking dapat
diimplementasikan pada konteks produk yang lain. Dalam hal ini akan diuraikan
secara singkat implementasi pada produk perangkat smartphone dan pendidikan
tinggi.
Dewasa ini perangkat ponsel semakin didominasi oleh jenis smartphone
dengan kelebihannya melakukan banyak fungsi dalam satu perangkat serta
kemampuan kustomisasi dan personalisasi yang sangat tinggi. Sebagai dampaknya
produk ponsel menjadi semakin canggih, dari sudut pandang lain berarti
kompleksitasnya menjadi lebih tinggi dan memerlukan pembelajaran dan pemahaman
khusus untuk mempergunakannya secara optimal. Implikasinya, pihak produsen perlu
wahana alternatif yang dapat mempercepat proses belajar dan pencarian informasi bagi
pelanggan, sarana penanganan masalah serta komplain pelanggan yang responsif,
sarana pembentuk ikatan antar pelanggan dan antara pelanggan dengan merek maupun
produsen. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi secara lebih baik melalui komunitas
merek virtual karena sebagaian pekerjaan akan diambil alih secara suka rela oleh
anggota komunitas merek virtual, seperti membagi informasi terkait produk dan
pemanfaatannya, mencari solusi akan permasalahan dan komplain dari pelanggan,
serta membentuk ikatan antara pelanggan, merek dan produsen. Value-in-use yang
didapatkan oleh pelanggan melalui komunitas merek virtual kemudian akan
diterjemahkan menjadi tingkat partisipasi yang lebih tinggi dalam komunitas dan
kemudian akan berimplikasi pada loyalitasnya yang lebih baik terhadap merek
sebagaimana telah dibuktikan secara empiris pada penelitian ini untuk konteks produk
game online.
Hasil penelitian ini juga dapat diaplikasikan pada produk pendidikan tinggi
yang memenuhi empat hal yang menjadi pertimbangan urgensi komunitas merek
virtual sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu tingkat utilisasi internet,
kompleksitas produk, tingkat product involvement dan urgensi komunikasi dua arah.
Pendidikan tinggi dikonsumsi oleh segmen yang dewasa ini memiliki tingkat utilitas
internet yang tinggi, khususnya yang berada di kota-kota besar dengan infrastruktur
internet yang sudah relatif memadai. Pendidikan memiliki tingkat kompleksitas yang
tinggi baik dari sisi layanan maupun dalam proses konsumsinya yang memakan waktu
relatif lama. Produk pendidikan merupakan produk yang tidak murah dan memiliki
konsekuensi serta komitmen yang tinggi setelah dipilih, oleh karenanya perlu
informasi sebanyak mungkin termasuk pengalaman dari pelanggannya sebagai
informasi pendukung dalam penentuan pilihan. Karena proses konsumsinya yang
relatif lama dan value tercipta melalui proses value co-creation dari sejumlah pihak
maka dibutuhkan wahana yang dapat memfasilitasi terjadinya komunikasi dua arah
antar pelanggan, pelanggan dengan penyedia maupun dengan pihak lain yang terkait.
Dalam hal ini komunitas merek virtual dapat menjadi alternatif wahana pemasaran
untuk meningkatkan layanan dan tingkat loyalitas pelanggan pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi merupakan suatu layan yang kompleks, terdiri atas konten
yang luas pada lingkup tertentu, diatur melalui sejumlah pola dan regulasi (misalnya
kurikulum dan peraturan akademik), merupakan proses pengembangan hard skill
maupun soft skill dalam kurun waktu yang tidak singkat yang merupakan hasil
57
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
kolaborasi interaktif dari banyak pelaku (mahasiswa, dosen, tenaga didik, pelaku
bisnis, pihak manajemen, serta masyarakat). Konsumsi atas layanan yang kompleks
dan tidak singkat tersebut membutuhkan wahana interaksi guna memenuhi kebutuhan
akan informasi, solusi, ide, kontribusi, pemahaman, diskusi, pengakuan dan lain
sebagainya di dalam prosesnya. Praktek interaksi tradisional yang berlangsung dalam
lingkungan perguruan tinggi memang telah terbukti menjembatani pemenuhan
kebutuhan tersebut. Namun demikian, perubahan lingkungan pelanggan (banyak
gangguan, banyak aktivitas, kompetisi yang semakin ketat) ditambah perubahan pada
pelanggan menjadi pelanggan modern memberikan tantangan baru bagi pemasar
termasuk pada layanan pendidikan tinggi untuk memberikan layanan yang terbaik bagi
pelanggannya.
Perkembangan media komunikasi berbasis internet termasuk terciptanya
komunitas merek virtual, salah satunya yang berbentuk forum online memberikan
wahana alternatif untuk mendukung layanan pada pendidikan tinggi khususnya yang
terkait dengan interaksi antar pelaku dan mendukung proses value co-creation. Di
tengah lingkungan yang lebih sibuk, banyak gangguan dan kompetitif, ditambah
perubahan pada karakteristik pelanggan modern, komunitas merek virtual dipandang
dapat menjadi alternatif wahana untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, solusi,
ide, kontribusi, pemahaman, diskusi, pengakuan dan lain sebagainya. Melalui
komunitas merek virtual pemenuhan kebutuhan dalam hal ini dipandang sebagai
proses penciptaan value-in-use dapat dilakukan secara lebih cepat, kapan pun, dari
mana pun, mudah dan nyaman. Sesuai dengan hasil penelitian ini, value-in-use yang
tergali melalui komunitas merek virtual khususnya fungsional akan mendorong tingkat
partisipasi yang lebih intensif baik berupa perilaku posting maupun lurking. Tingkat
perilaku partisipatif posting dan lurking yang lebih tinggi kemudian berpotensi
meningkatkan loyalitas pelanggan khususnya secara attitudinal karena lebih baiknya
aspek penikmatan pengalaman dan integrasi yang lebih tinggi terhadap merek. Dalam
hal ini definisi pelanggan utama adalah mahasiswa namun tentunya dapat diperluas
penjelasannya dengan mencakup seluruh stake holder seperti dosen, tenaga didik,
pihak manajemen, orang tua mahasiswa, alumni, dunia kerja serta masyarakat,
tentunya yang terkait dengan pemanfaatan komunitas merek virtual tersebut. Sebagai
tambahan indikator loyalitas attitudinal dan behavioral tentunya tidak dimaksudkan
untuk disamakan secara mentah namun disesuaikan seperti pada loyalitas attitudinal
akan tetap menjalin hubungan relasional serta menyebarkan informasi positif.
58
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
BAB 7
7. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Penelitian ini berupaya meneliti konsep value-in-use fungsional dan sosial
sebagai penggerak perilaku partisipatif posting dan lurking pada konteks komunitas
merek virtual pada sampel publisher game online di Indonesia serta implikasinya pada
loyalitas merek attitudinal dan behavioral baik terhadap merek game maupun merek
publisher. Dalam hal ini komunitas merek virtual diinisiasi oleh publisher game online
sebagai penyedia layanan, bukan oleh konsumen sebagaimana terjadi pada
kebanyakan komunitas merek. Game online yang dikelola oleh publisher di Indonesia
pada umumnya berjenis MMORPG dan komunitas merek virtual yang kemudian
dibentuk pada umumnya berbentuk message board.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data empiris yang
dihimpun melalui survei dengan wahana kuesioner online. Unit analisis yang ditelaah
adalah 162 orang responden sebagai sampel anggota komunitas merek virtual game
online dari tiga publisher game online terbesar di Indonesia yaitu Gemscool, Lyto dan
Megaxus. Data yang dihimpun kemudian dianalisis melalui suatu Structural Equation
Model dengan bantuan software AMOS 18.
Berdasarkan hasil analisis, sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
dirumuskan dapat disimpulkan empat hal. Pertama, value-in-use fungsional
merupakan pendorong perilaku partisipatif posting maupun lurking dengan intensitas
yang lebih menonjol pada perilaku partisipatif lurking. Kedua, value-in-use sosial
merupakan penggerak perilaku partisipatif lurking namun tidak cukup bukti untuk
membuktikannya sebagai penggerak perilaku partisipatif posting. Temuan ini
dijelaskan dengan konsep terbentuknya komunitas ganda yaitu komunitas in-game dan
komunitas out-of-game pada konteks komunitas merek virtual game online yang
diinisiasi oleh pihak publisher yang di Indonesia mayoritas berjenis MMORPG.
Ketiga, adanya dampak positif dari perilaku partisipatif posting terhadap loyalitas
merek attitudinal, sementara pada loyalitas merek behavioral justru terjadi hubungan
negatif, berlawanan dengan hipotesis yang diajukan. Fenomena ini dijelaskan dengan
konsep keterbatasan sumber daya waktu yang membuat anggota komunitas merek
virtual harus melakukan trade off alokasi waktu antara perilaku partisipatif posting
dengan loyalitas merek behavioral. Keempat, dibuktikan adanya dampak positif
perilaku partisipatif lurking terhadap loyalitas merek attitudinal maupun behavioral.
Hal ini menegaskan pentingnya mengakomodasi perilaku partisipatif lurking dalam
pembahasan komunitas merek virtual karena memberikan implikasi pemasaran yang
positif.
Analisis pada model LTP dan LTG menunjukkan hasil yang serupa. Hal ini
berarti secara umum perilaku partisipatif lurking dalam jangka panjang memberikan
implikasi positif pada loyalitas terhadap publisher baik secara attitudinal maupun
behavioral. Sementara itu perilaku partisipatif posting memberikan dampak positif
pada loyalitas attitudinal terhadap publisher. Lebih jauh lagi, loyalitas jangka panjang
59
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
terhadap publisher dapat dibangun dengan dukungan loyalitas terhadap masingmasing game yang sifatnya lebih jangka pendek, ditunjukkan dengan kemiripan hasil
estimasi pada kedua model.
Penelitian ini memberikan sejumlah kontribusi bagi perkembangan disiplin
pemasaran khususnya pada telaah CCT. Kontribusi tersebut mencakup kontribusi
teoritis berupa perluasan teori CCT dengan mengakomodasi konsep value-in-use
sebagai pendorong perilaku partisipatif dalam pembahasan marketplace culture pada
konteks komunitas merek virtual, pembuktian adanya dorongan langsung value-in-use
fungsional dan sosial terhadap perilaku partisipatif posting, serta pembuktian urgensi
perilaku partisipatif lurking dalam pembahasan komunitas merek virtual. Hasil
penelitian ini juga memberikan kontribusi penelitian berupa demonstrasi peluasan
telaah loyalitas merek sebagai implikasi perilaku partisipatif dengan mencakup aspek
attitudinal maupun behavioral secara simultan. Di sisi lain, penelitian ini juga
memberikan kontribusi kontekstual berupa penjelasan marketplace culture pada
konteks komunitas merek virtual yang diinisiasi oleh publisher produk game online di
Indonesia. Sebagai tambahan, penelitian ini juga memberikan implikasi pada upaya
mereduksi adanya miskonsepsi pada penelitian CCT.
7.2 Limitasi dan Saran Penelitian Lanjut
Terlepas dari kontribusi yang berusaha diberikan melalui penelitian ini,
terdapat beberapa limitasi yang membuka pada alternatif penelitian lebih lanjut tentang
peran komunitas merek virtual sebagai wahana pemasaran. Berikut diuraikan sejumlah
limitasi penelitian ini serta alternatif penelitian lanjut yang dapat ditempuh untuk
memperluas penjelasan fenomena komunitas merek virtual pada pembahasan
marketplace culture.
Pertama, penelitian ini difokuskan untuk menggali keberadaan dampak dari
perilaku partisipatif terhadap loyalitas merek, yang berarti berfokus pada pengaruh
komunitas out-of-game sebaga penunjang dari suatu layanan game online. Temuan
dalam penelitian ini mengindikasikan adanya kaitan erat antara komunitas out-of-game
dengan komunitas in-game sebagai komunitas ganda pada konteks produk MMORPG.
Hal ini membuka peluang untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut pada konteks
produk MMORPG yang mengakomodasi komunitas out-of-game dan komunitas ingame untuk membuktikan secara empiris dugaan pembagian upaya penggalian valuein-use yang saling terkait pada komunitas ganda tersebut.
Kedua, penelitian ini berupaya menggali dampak perilaku partisipatif terhadap
loyalitas merek dengan mengisolasi pengamatan hanya pada dampak komunitas merek
virtual. Tujuan tersebut telah tercapai melalui penelitian ini. Penelitian lebih lanjut
dapat dilakukan dengan memasukkan unsur persepsi akan aspek game online yang
dibahas seperti kualitas grafik, alur cerita, interface permainan, dukungan interaksi
antar pemain, kehandalan koneksi terhadap server guna mengetahui seberapa besar
sebenarnya kontribusi yang diberikan komunitas out-of-game dibandingkan dengan
kualitas beberapa aspek game online yang ditinjau.
Ketiga, sejumlah indikator behavioral yaitu indikator perilaku partisipatif
posting, perilaku partisipatif lurking dan loyalitas merek behavioral dalam penelitian
ini diukur melalui metode self-report yang di satu sisi memiliki kelebihan berupa
60
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
kepraktisan, murah, tidak membebani serta memiliki tingkat penerimaan yang lebih
tinggi namun memiliki keterbatasan di sisi validitas dan reliabilitas, khususnya yang
disebabkan oleh permasalahan bias respon dan recall (Prince et al., 2008). Penelitian
lanjutan, khususnya yang dapat diinisiasi bersama dengan pihak publisher akan
membuka peluang untuk digunakannya metode pengukuran direct measure
berdasarkan database komunitas merek virtual yang memiliki tingkat akurasi dan
presisi yang lebih tinggi (Prince et al., 2008)
Keempat, penelitian ini menggunakan desain penghimpunan data crosssectional yang relatif mudah dan murah untuk diimplementasikan. Pendekatan crosssectional dipandang memadai jika hubungan antar konstruk relatif kuat (Rindfleisch,
Malter, Ganesan, & Moorman, 2008). Dengan mempertimbangkan karakteristik
value-in-use dan perilaku partisipatif yang bersifat dinamis, maka penelitian lanjut
dengan metode penghimpunan data longitudinal atau multiple cross-sectional dinilai
berpotensi untuk memperluas temuan yang telah diperoleh pada penelitian ini (Louis,
Robins, Dockery, Spiro, & Ware, 1986).
Kelima, sebagai penelitian awal yang mendalami implementasi konsep valuein-use termasuk penterjemahannya dalam indikator pengukuran yang lebih nyata pada
konteks komunitas merek virtual, penelitian ini diawali dengan rerangka konseptual
value yang lebih umum cakupanya yaitu fungsional dan sosial (Sicilia & Palazón,
2008). Hasil penelitian ini menemukan adanya potensi penjelasan selektif berdasarkan
aspek yang lebih mendalam khususnya akan peran value-in-use fungsional terhadap
perilaku partisipatif dikaitkan dengan aspek spesifik seperti informasi, instrumental
dan self-discovery. Hal ini membuka peluang penelitian lebih lanjut untuk mendetilkan
pengujian dan penjelasan akan adanya pengaruh selektif value-in-use menggunakan
kerangka konseptual yang lebih spesifik.
Keenam, penelitian ini menggunakan konsep value-in-use dalam
mendefinisikan value (Vargo & Lusch, 2004; Gronroos, 2007) dan merujuk pada
(Woodruff, 1997; Macdonald et al. 2009; 2011) dalam operasionalisasinya. Sementara
itu seiring dengan proses penyelesaian penelitian konsep value-in-use kemudian
diperluas menjadi value-in-context yang mendefinisikan value secara lebih luas
sebagai suatu konseptualisasi multi konteks mulai dari micro-context yang
membingkai pertukaran layanan dyadic antar individu pelaku (actor), kemudian
membentuk penjelasan meso-context yang membingkai pertukaran antar dyad sebagai
suatu hubungan triad, kemudian membentuk penjelasan macro-context yang
membingkai pertukaran antar triad sebagao suatu jejaring kompleks (complex
networks) dan pada akhirnya pada level meta-context pertukaran antar jejaring
kompleks membentuk suatu service ecosystem. Hal yang masih menjadi permasalahan
adalah fenomena value-in-context yang kompleks tersebut tidak dapat diukur secara
objektif Lobler & Hahn (2013). Namun demikian Lobler & Hahn (2013) menawarkan
suatu skala pengukuran value-in-context berdasarkan perspektif pelaku yang terdiri
dari lima dimensi yaitu IIt, It  I, I You, YouI dan I (-Me). Pada batas tertentu
dimensi-dimensi tersebut beririsan dengan operasionalisiasi value-in-use fungsional
dan sosial dalam penelitian ini, hanya saja pengukuran value-in-context Lobler & Hahn
(2013) lebih dapat berlaku umum sementara definisi value-in-use pada penelitian ini
lebih bersifat konteks spesifik pada komunitas merek virtual. Terlepas dari kelebihan
dan kekurangan tersebut terbuka alternatif penelitian lebih lanjut yang
mengakomodasi value-in-context sebagai penggerak perilaku partisipatif.
61
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aaker, D. A., Kumar, V., Day, G. S. & Leone, R. P. (2011). Marketing research. Hoboken, N.J: Wiley.
Adjei, M. T., Noble, S. M., & Noble, C. H. (2010). The influence of C2C communications in online brand
communities on customer purchase behavior. Journal of the Academy of Marketing Science, 38(5),
634-653.
Akkinen, M. (2005). Conceptual Foundations of Online Communities, Helsinki School of Economics Working
Papers, W-387.
Algesheimer, R., Dholakia, U. M., & Herrmann, A. (2005). The Social Influence of Brand Community:
Evidence from European Car Clubs. Journal of Marketing, 69, 19-34.
Anandya, D. (2010). Motivation, Opportunity dan Ability (MOA) sebagai Anteseden bagi Interaksi Antar
Pengguna Situs Jaringan Pertemanan Sosial dan Implikasinya bagi Persepsi Nilai Keanggotaan dan
Loyalitas Anggota: Perspektif Pemasaran Internet. Desertasi pada Program Pascasarjana Ilmu
Manajemen, FE-UI. Depok.
Anderson, J., & Gerbing, D. (1988). Structural equation modeling in practice: A review and recommended twostep approach. Psychological bulletin, 103(3), 411–423.
Andersen, P. H. (2005). Relationship marketing and brand involvement of professionals through web-enhanced
brand communities: The case of Coloplast. Industrial Marketing Management, 34, 39–51.
Anderson, E. W., & Sullivan, M. W. (1993). The Antecedents and Consequences of Customer Satisfaction for
Firms. Marketing Science, 12, 2, 125-143.
Andreassen, T. W. (1999). What drives customer loyalty with complaint resolution? Journal of Service
Research, 1(4), 324–332.
Ang, C. S., Zaphiris, P., & Wilson, S. (2005). Social Interaction in Game Communities and Second Language
Learning. The 19th British HCI Group Annual Conference (pp. 5-6). Edinburgh, UK.
Arbuckle, J. L. (2010). IBM SPSS Amos ™ 19 User’s Guide. Chicago: Amos Development Corporation.
Ardianto, E., & Soehadi, A. W. (2013). Consumunity Marketing: Strategi Pemasaran Berbasis Komunitas.
Jakarta: Prasetya Mulya Publishing.
Arnould, E. J., & Thompson, C. J. (2005). Consumer Culture Theory (CCT): Twenty Years of Research.
Journal of Consumer Research, 31(4), 868-882.
Arnould, E. J. (2006), Consumer Culture Theory: Retrospect and Prospect, European Advances in Consumer
Research, 7.
Arnould, E. J. (2007), Service-Dominant Logic and Consumer Culture Theory: Natural Allies in an Emerging
Paradigm, Research in Consumer Behavior, 11, 57-76
Arnould, E. J., & Thompson, C. J. (2007), Consumer Culture Theory (and We Really Mean Theoretics):
Dilemmas and Opportunities Posed By an Academic Branding Strategy, Research in Consumer
Behavior, 11, 3-24
Arnould, E. J., & Price, L. L. (1993). River Magic: Extraordinary Experience and the Extended Service
Encounter. Journal of Consumer Research, 20, 1, 24-45.
Arnould, E. J., & Wallendorf, M. (1994). Market-Oriented Ethnography: Interpretation Building and Marketing
Strategy Formulation. Journal of Marketing Research, 31, 4, 484-504.
Bagozzi, R. P., & Yi, Y. (1988). On the evaluation of structural equation models. Journal of the Academy of
Marketing Science, 16(1), 74-94.
Baker, S (2003). New Consumer Marketing: Managing a Living Demand System, John Wiley & Sons
Baldinger, A. L., & Rubinson, J. (1996). Brand Loyalty: The Link between Attitude and Behavior. Journal of
Advertising Research, 36, 6, 22.
Bayus, B. L. (1992). Brand Loyalty and Marketing Strategy: An Application to Home Appliances. Marketing
Science, 11(1), 21-38.
Belk, R. W (1986), What Should Acr Want To Be When It Grows Up?, in Advances in Consumer Research
Vol. 13, eds. Richard J. Lutz, Provo, UT : Association for Consumer Research, 423-424
Belk, R. W. (1988). Possessions and the Extended Self. Journal of Consumer Research, 15(2), 139-168.
Belk, R. W., & Costa, J. A. (1998). The Mountain Man Myth: A Contemporary Consuming Fantasy. Journal
of Consumer Research, 25(3), 218-240.
Belk, R. W., Wallendorf, M., & Sherry, J. F. (1989). The Sacred and the Profane in Consumer Behavior:
Theodicy on the Odyssey. Journal of Consumer Research, 16 (1), 1-38.
Bentler, P. M., & Chou, C.-P. (1987). Practical Issues in Structural Modeling. Sociological Methods &
Research, 16(1), 78–117.
Berger, P. D., Eechambadi, N., George, M., Lehmann, D. R., Rizley, R., & Venkatesan, R. (2006). From
Customer Lifetime Value to Shareholder Value: Theory, Empirical Evidence, and Issues for Future
Research. Journal of Service Research, 9(2), 156-167.
Berkowitz, E. N., Kerin, R. A., Hartley S. W. & Rudelius, W. (2000). Interactive Marketing and Electronic
Commerce, McGraw-Hill.
62
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Berry, L. L. (1995). Relationship Marketing of Services--Growing Interest, Emerging Perspectives. Journal of
the Academy of Marketing Science, 23(4), 236-245.
Bettany, S. (2007). The Material Semiotics Of Consumption Or Where (And What) Are The Objects In
Consumer Culture Theory?. Research in Consumer Behavior, 11, 41-56.
Bloemer, J. M. M., & Kasper, H. D. P. (1995). The complex relationship between consumer satisfaction and
brand loyalty. Journal of Economic Psychology, 16, 2, 311.
Bollen, K. A. (1989). Structural Equations with Latent Variables. New York: Wiley.
Bosomoworth, D., & Chaffey, D. (2011). Content Marketing Strategy Seven Steps to Success Guide. Smart
Insights Limited.
Bowes, J. (2002). Building online communities for professional networks. Global Summit of Online Knowledge
Networks, Adelaide, Australia, March (pp. 71-74).
Bowman, D., & Narayandas, D. (2004). Linking Customer Management Effort to Customer Profitability in
Business Markets. Journal of Marketing Research, 41(4), 433-447.
Brakus, J. J., Schmitt, B. H., & Zarantonello, L. (2009). Brand Experience: What Is It? How Is It Measured?
Does It Affect Loyalty? Journal of Marketing, 73(3), 52-68.
Brodie, R. J., Ilic, A., Juric, B., & Hollebeek, L. (2013). Consumer engagement in a virtual brand community:
An exploratory analysis. Journal of Business Research, 66(1), 105–114.
Brown, S. L., Tilton A., & Woodside, D. M. (2002) The case for on-line communities, McKinsey Quarterly:
The
Online
Journal
of
McKinsey
&
Company,
https://www.mckinseyquarterly.com/article_print.aspx?L2=16&L3=44&a
Brown, S. W. (2005). Marketing Renaissance: Opportunities and Imperatives for Improving Marketing
Thought, Practice, and Infrastructure. Journal of Marketing, 69(4), 1-25
Bruhn, M. (2003). Relationship marketing: Management of customer relationships. Harlow, England: Pearson
Education/Financial Times.
Byrne, B. M. (1998). Structural equation modeling with LISREL, PRELIS, and SIMPLIS: Basic concepts,
applications, and programming. Mahwah, N.J: L. Erlbaum Associates.
Carlson, B. D., Suter, T. A., & Brown, T. J. (2008). Social versus psychological brand community: The role of
psychological sense of brand community. Journal of Business Research, 61, 4, 284-291.
Casaló, L., Flavián, C., & Guinalíu, M. (2007). The impact of participation in virtual brand communities on
consumer trust and loyalty: The case of free software. Online Information Review, 31, 6, 775-792.
Casaló, L. V., Flavián, C., & Guinalíu, M. (2010). Relationship quality, community promotion and brand
loyalty in virtual communities: Evidence from free software communities. International Journal of
Information Management.
Casaló, L. V., Flavián, C., & Guinalíu, M. (2011). Understanding the intention to follow the advice obtained in
an online travel community. Computers in Human Behavior, 27(2), 622-633.
Chaffey, D., Chadwick, F. E., Johnston, K., & Mayer, R. (2006), Internet Marketing: Strategy, Implementation
and Practice, Prentice Hall
Chan, K.W., & S. Y. Li (2010), Understanding consumer-to-consumer interactions in virtual communities: The
salience of reciprocity, Journal of Business Research
Chang, H. H., & Chuang, S. S. (2011). Social capital and individual motivations on knowledge sharing:
Participant involvement as a moderator. Information & Management, 48(1), 9-18.
Chaudhuri, A., & Holbrook, M. B. (2001). The Chain of Effects from Brand Trust and Brand Affect to Brand
Performance: The Role of Brand Loyalty. The Journal of Marketing, 65, 2, 81-93.
Chen, F. F., Sousa, K. H., & West, S. G. (2005). Teacher’s Corner: Testing Measurement Invariance of SecondOrder Factor Models. Structural Equation Modeling: A Multidisciplinary Journal, 12(3), 471–492.
Choi, D., & Kim, J. (2004). Why people continue to play online games: In search of critical design factors to
increase customer loyalty to online contents. CyberPsychology & Behavior, 7(1), 11–24.
Christensen, L. B., Johnson, B., & Turner, L. (2011). Research methods, and design, and analysis (11th ed.).
Harlow: Pearson Education.
Christopher, M. (1996). From brand values to customer value. Journal of Marketing Practice Applied
Marketing Science, 2(1), 55-66.
Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2011). Business research methods (11th ed.). New York: McGraw-Hill.
Cooil, B., Keiningham, T. L., Aksoy, L., & Hsu, M. (2007). A Longitudinal Analysis of Customer Satisfaction
and Share of Wallet: Investigating the Moderating Effect of Customer Characteristics. Journal of
Marketing, 71(1), 67-83.
Coskuner-Balli, G. (2013). Market practices of legitimization: Insights from Consumer Culture Theory.
Marketing Theory, 13(2), 193–211.
Coulter, R. A., Price, L. L., & Feick, L. (September 01, 2003). Rethinking the Origins of Involvement and
Brand Commitment: Insights from Postsocialist Central Europe. Journal of Consumer Research, 30
(2), 151-169
Cova, B. (1997). Community and consumption: Towards a definition of the ‘‘linking value’’ of product or
services. European Journal of Marketing, 31(3/4), 297–316.
Day, G. S., & Montgomery, D. B. (1999), Charting New Directions for Marketing, Journal of Marketing, 63,
3-13.
63
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Department of Trade and Industry of U.K. (2004) E-marketing Achieving Best Practicein Your Business
Dholakia, U. M. , R. P. Bagozzia and L. K. Pearo (2004) A social influence model of consumer participation
in network and small-group-based virtual communities, International Journal of Research in
Marketing, 21, 241–263
Dholakia, U. M., Kahn, B. E., Reeves, R., Rindfleisch, A., Stewart, D., & Taylor, E. (2010). Consumer behavior
in a multichannel, multimedia retailing environment. Journal of Interactive Marketing, 24, 2, 86-95.
Dick, A., & Basu, K. (1994). Customer loyalty: Toward an integrated conceptual framework. Journal of the
Academy of Marketing Science, 22, 2, 99-113.
Edvardsson, B., Tronvoll, B., & Gruber, T. (2010). Expanding understanding of service exchange and value
co-creation: a social construction approach. Journal of the Academy of Marketing Science, 39(2),
327-339
Ellsworth, J. H. & Ellworth, M. V. (1995). Marketing on the Internet, John Wiley & Sons.
Firat, A. F., & Venkatesh, A. (1995). Liberatory Postmodernism and the Reenchantment of Consumption.
Journal of Consumer Research, 22, 3, 239-267.
Fischer, E., Bristor, J. & Gainer, B. (1996). Creating Or Escaping Community?: An Exploratory Study Of
Internet Consumers' behaviors. in Advances in Consumer Research Volume 23, eds. Kim P. Corfman
and John G. Lynch Jr., Provo, UT : Association for Consumer Research, 178-182.
Flanagin, A. J. & Metzger, M. J. (2001). Internet use in the contemporary media environment. Human
Communication Research, 27(1), 153-181.
Fuller, Matzler, & Hoppe (2008). Brand Community Members as a Source of Innovation. The Journal of
Product Innovation Management, 25, 608-619.
Fournier, S. (1998). Consumers and Their Brands: Developing Relationship Theory in Consumer Research.
Journal of Consumer Research, 24(4), 343-353.
Fournier, S., & Avery, J. (2011). The uninvited brand. Business Horizons, 54(3), 193-207.
Franco, S. M. J., & Cataluna, R. F. J. (2010). Virtual travel communities and customer loyalty: Customer
purchase involvement and web site design. Electronic Commerce Research and Applications, 9(2),
171-182.
Gillete, F. (2011). Kebangkitan dan Kejatuhan Myspace, Bloomberg Businessweek, 14-20 Juli.
Gupta, S., & Kim, H.W. (2004), Virtual Community: Concepts, Implications, and Future Research Directions,
Proceedings of the Tenth Americas Conference on Information Systems, New York.
Grayson, K., & Martinec, R. (2004). Consumer Perceptions of Iconicity and Indexicality and Their Influence
on Assessments of Authentic Market Offerings. Journal of Consumer Research, 3 (2), 296-312
Grayson, K., & Shulman, D. (2000). Indexicality and the Verification Function of Irreplaceable Possessions: A
Semiotic Analysis. Journal of Consumer Research, 27, 1, 17-30.
Grönroos, C. (1995), Relationship Marketing: The Strategy Continuum. Journal of the Academy of Marketing
Science. 23 (4): 252-254.
Grönroos, C. (1997). Value-driven Relational Marketing: from Products to Resources and Competencies.
Journal of Marketing Management, 13, 5, 407.
Grönroos, C. (2000). Service management and marketing: A customer relationship management approach. 2nd
ed., Wiley, Chichester.
Grönroos, C. (2007). In search of a new logic for marketing: Foundations of contemporary marketing theory.
Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
Grönroos, C., & Voima, P. (2013). Critical service logic: making sense of value creation and co-creation.
Journal of the Academy of Marketing Science, 41(2), 133–150.
Gruen, T., Osmonbekov, T., & Czaplewski, A. (2006). eWOM: The impact of customer-to-customer online
know-how exchange on customer value and loyalty. Journal of Business Research, 59(4), 449–456.
Gupta, S., Hanssens, D., Hardie, B., Kahn, W., Kumar, V., Lin, N., Ravishanker, N., & Sriram, S. (2006).
Modeling Customer Lifetime Value. Journal of Service Research, 9, 2, 139-155.
Gummesson, E., (1999). Total relationship marketing: From the 4Ps - product, price, promotion, place - of
traditional marketing management to the 30Rs - the thirty relationships - of the new marketing
paradigm. Boston, Mass: Butterworth-Heinemann.
Hagel, J., & Armstrong, A. G. (1997). Net gain: Expanding markets through virtual communities. Journal of
Interactive Marketing (Vol. 13, pp. 55-65).
Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B., Anderson, R. E & Tatham, R. L. (2006). Multivariate data analysis. Upper
Saddle River, N.J: Pearson Prentice Hall.
Hanna, R., Rohm, A., & Crittenden, V. L. (2011). We’re all connected: The power of the social media
ecosystem. Business Horizons, 54(3), 265-273.
Hardesty, D. M., & Bearden, W. O. (2004). The use of expert judges in scale development Implications for
improving face validity of measures of unobservable constructs. Journal of Business Research, 57(2),
98-107.
Hernández, B., Jiménez, J., & Martín, M. J. (2010). Customer behavior in electronic commerce: The moderating
effect of e-purchasing experience. Journal of Business Research, 63, 9, 964.
Heskett, J. L., Jones, T. O., Loveman, G. W., Sasser, W. E., & Schlesinger, L. A. (1994). Putting the ServiceProfit Chain to Work. Harvard Business Review, 72(2), 164-174.
64
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Ho, R. (2006). Handbook of univariate and multivariate data analysis and interpretation with SPSS. Boca
Raton: Chapman & Hall.
Ho, S.-H., & Huang, C.-H. (2009). Exploring success factors of video game communities in hierarchical linear
modeling: The perspectives of members and leaders. Computers in Human Behavior, 25, 3, 761-769.
Hoffman, D. L., & Novak, T. P. (1996). Marketing in hypermedia Computer-Mediated environments:
Conceptual foundations. Journal of Marketing, 60 (3), 50-68.
Holbrook, M. B. (1987). What is Consumer Research? Journal of Consumer Research, 14(1), 128
Holt, D. B. (1995), How Consumers Consume: A Typology of Consumption Practices, Journal of Consumer
Research, 22.
Hooper, D., Coughlan, J., & Mullen, M. (2008). Structural equation modelling: guidelines for determining
model fit. Electronic Journal of Business Research Methods, 6(1), 53–60.
Hou, A. C. Y., Chern, C.-C., Chen, H.-G., & Chen, Y.-C. (2011). Migrating to a new virtual world: Exploring
MMORPG switching through human migration theory. Computers in Human Behavior, 27(5)
Hsu, C. L., & Lu, H. P. (2004). Why do people play on-line games? An extended TAM with social influences
and flow experience. Information and Management, 41, 7, 853-868.
Hsu, C.L., & Lu, H.P. (2007). Consumer behavior in online game communities: A motivational factor
perspective. Computers in Human Behavior, 23, 3, 1642.
Ibrahim, R.M.S (2000), Perintisan WWW di Indonesia diakses dari http://rms46.vlsm.org/00-11.html, Juli
2011.
Igbaria, M., Zinatelli, N., Cragg, P., & Cavaye, A. L. M. (1997). Personal Computing Acceptance Factors in
Small Firms: A Structural Equation Model. MIS Quarterly, 21, 279–305.
Jang, H., Olfman, L., Ko, I., Koh, J., & Kim, K. (2008). The Influence of On-Line Brand Community
Characteristics on Community Commitment and Brand Loyalty. International Journal of Electronic
Commerce, 12(3), 57-80.
Jeong, E., & Jang, S. S. (2011). Restaurant experiences triggering positive electronic word-of-mouth (eWOM)
motivations. International Journal of Hospitality Management, 30(2), 356-366.
Joe, S. W., Chiu, C. K., & Hsiao, C. Y. (2009). Understanding The Loyalty Formation of Online Games From
A Perspective of Sex Role Differences. Quality and Quantity, 43(5), 731-741.
Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2010). Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social
Media. Business Horizons, 53(1), 59-68.
Kalyanam, K. & McIntyre, S. (2002), The E-marketing Mix: A Contribution of the E-Tailing Wars, Journal of
the Academy of Marketing Science, 30 (4), 487-499.
Kang, J., Ko, I., & Ko, Y. (2009). The Impact of Social Support of Guild Members and Psychological Factors
on Flow and Game Loyalty in MMORPG. Proceedings of the 42nd Hawaii International Conference
on System Sciences. 1-9.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). The balanced scorecard: Translating strategy into action. Boston, Mass:
Harvard Business School Press.
Kardes, F. R., Cline, T. W., & Cronley, M. L. (2011). Consumer behavior: Science and practice. Mason, Ohio:
South-Western Cengage Learning.
Karr,
D.
(2009).
Business
Misuse
of
Social
Media
Marketing,
diunduh
dari
http://www.marketingtechblog.com/social-media-marketing/social-media-marketing/.
Kates, S. (2002). The Protean Quality of Subcultural Consumption: An Ethnographic Account of Gay
Consumers. Journal of Consumer Research, 29(3), 383-399.
Kattiyapornpong, U. & Miller, K. E. (2009). Reasons why dissatisfied customers exhibit behavioral loyalty.
Proceedings of the 25th IMP Conference: Euromed management, IMP Group, France.
Katz,
J.
(1998).
Luring
the
Lurkers.
Retrieved
from
http://news.slashdot.org/article.pl?no_d2=1&sid=98/12/28/1745252
Keller, K. L. (2008). Strategic brand management: Building, measuring, and managing brand equity. Upper
Saddle River, N.J: Pearson.
Kenny, D. A. (2012). Measuring Model Fit. http://davidakenny.net/cm/fit.htm, diakses bulan Mei 2013.
Khalifa, A. S. (2004). Customer value: a review of recent literature and an integrative configuration.
Management Decision, 42(5), 645-666.
Kim, H. W., Gupta, S., & Koh, J. (2011). Investigating the intention to purchase digital items in social
networking communities: A customer value perspective. Information & Management, 48, 6, 228-234.
Kim, H.-S., Park, J. Y., & Jin, B. (2008), Dimensions of online community attributes Examination of online
communities hosted by companies in Korea, International Journal of Retail & Distribution
Management, 36 (10), 812-830.
Kim, J. H., Bae, Z.-T., & Kang, S. H. (2008), The Role of Online Brand Community In New Product
Development: Case Studies on Digital Product Manufacturers in Korea, International Journal of
Innovation Management, 12 (3), 357-376.
Kim, W. G., Lee, C., & Hiemstra, S. J. (2004). Effects of an online virtual community on customer loyalty and
travel product purchases. Tourism Management, 25, 3, 343-355.
Keller, K. L. (2008). Strategic brand management: Building, measuring, and managing brand equity. Upper
Saddle River, N.J: Prentice Hall.
65
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Kohler, T., Fueller, J., Stieger, D., & Matzler, K. (2011). Avatar-based innovation: Consequences of the virtual
co-creation experience. Computers in Human Behavior, 27(1), 160-168.
Koo, D. M. (2009). The moderating role of locus of control on the links between experiential motives and
intention to play online games. Computers in Human Behavior, 25, 2, 466-474.
Kotler, P., Jain, D., & Suvit, M. (2002). Marketing moves: A new approach to profits, growth, and renewal.
Boston, Mass: Harvard Business School Press.
Kozinets, R. V. (1999) E-Tribalized Marketing?: The Strategic Implications of Virtual Communities of
Consumption, European Management Journal, 17, 252–264
Kozinets, R. V. (2002), Can Consumers Escape the Market? Emancipatory Illuminations from Burning Man,
Journal of Consumer Research, 29
Kozinets, R. V., De Valck, K., Wojnicki, A. C., & Wilner, S. J. S. (2010). Networked Narratives: Understanding
Word-of-Mouth Marketing in Online Communities. Journal of Marketing, 74(2), 71-89.
Kumar, V., & Shah, D. (2009). Expanding the role of marketing: From customer equity to market capitalization.
Journal of Marketing, 73, 6, 119-136.
Krishnamurthi, L., & Raj, S. P. (1991). An Empirical Analysis of the Relationship between Brand Loyalty and
Consumer Price Elasticity. Marketing Science, 10(2), 172-183.
Laroche, M. (2009). Advances in internet consumer behavior and marketing strategy: Introduction to the special
issue. Journal of Business Research.
Leão, A. L. M. S., & Mello, S. C. B. (2007). The means-end approach to understanding customer values of an
on-line newspaper. Brazilian Administration Review, 4 (1).
Lehmann, D. R. (1996), Presidential Address: Knowledge Generalization and the Conventions of Consumer
Research; A Study in Inconsistency, in Advances in Consumer Research, Vol. 23, ed. Kim Corfman
and John Lynch, Association for Consumer Research, Provo, UT: 1–5.
Lemon, B. K. N., Rust, R. T., & Zeithaml, V. A. (2001). What Drives Customer Equity. Marketing
Management, 10(1), 20-25.
Levy, P (2011), Facebook, Linkedin and Digitas: The State of Social, Marketing News, 03.15
Lin, H. (2008). Determinants of successful virtual communities: Contributions from system characteristics and
social factors. Information & Management, 45(8), 522-527.
Lind, D. A., Marchal, W. G., & Wathen, S. A. (2008). Basic statistics for business & economics. Boston:
McGraw-Hill /Irwin.
Löbler, H. & Hahn, M. (2013). Measuring Value-in-Context from a Service-Dominant Logic’s Perspective, in
Naresh K. Malhotra (ed.) Review of Marketing Research, Volume 10. Emerald Group Publishing
Limited, 255-282.
Louis, T., Robins, J., Dockery, D., Spiro, A., & Ware, J. H. (1986). Explaining discrepancies between
longitudinal and cross-sectional models. Journal of chronic Disseases, 39(10), 831–839.
Lusch, R. F., Vargo, S. L., & Malter, A. J. (2006). Marketing as Service-Exchange. Organizational Dynamics,
35(3), 264-278.
Lusch, R. F., Vargo, S. L., & Tanniru, M. (2009). Service, value networks and learning. Journal of the Academy
of Marketing Science, 38(1), 19-31.
Lusch, R. F., Vargo, S. L., & Wessels, G. (2008). Toward a conceptual foundation for service science:
Contributions from service-dominant logic. IBM Systems Journal, 47(1), 5-14.
Lynch, J., & Ariely, D. (2000). Wine online: Search costs affect competition on price quality and distribution.
Marketing Science, 19(1), 83–103.
Macdonald, E. K., Martinez, V., & Wilson, H. (2009). Towards the Assessment of the Value-in-use of ProductService Systems: a Review. Conference Dunedin New, (c), 1-12. Performance Measurement
Association.
Macdonald, E. K., Wilson H., Martinez, V., & Toossi, A. (2011), Assessing value-in-use: A conceptual
framework and exploratory study. Industrial Marketing Management, 40, 671–682.
Malhotra, N. K. (2007). Marketing research: An applied orientation (5th ed.). Upper Saddle River, NJ:
Pearson/Prentice Hall.
Mäntymäki, M., & Salo, J. (2011). Teenagers in social virtual worlds: Continuous use and purchasing behavior
in Habbo Hotel. Computers in Human Behavior, 27(6), 2088-2097.
Mathwick, C., Malhotra, N., & Rigdon, E. (2001). Experiential value: conceptualization, measurement and
application in the catalog and Internet shopping environment. Journal of Retailing, 77(1), 39-56.
McAlexander, J. H., Kim, S. K., & Roberts, S. D. (2003). Loyalty: The Influences of Satisfaction and Brand
Community Integration. Marketing Theory and Practice, 11(4), 1-11.
McAlexander, J. H., Schouten, J. W., & Koenig, H. F. (2002). Building Brand Community. Journal of
Marketing, 66(1), 38-54.
McWilliam, G. (2000). Building Stronger Brands through Online Communities, Sloan Management Review.
Spring, 43-54.
Marchi, G., Giachetti, C., & Gennaro, P. (2011). Extending lead-user theory to online brand communities: The
case of the community Ducati. Technovation, 31(8), 350-361.
Merz, M. A., He, Y., & Vargo, S. L. (2009). The evolving brand logic: a service-dominant logic perspective.
Journal of the Academy of Marketing Science, 37(3), 328-344.
66
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Meyers, L. S., Gamst, G., & Guarino, A. J. (2006). Applied multivariate research: Design and interpretation.
Thousand Oaks: Sage Publications.
MiniWatts
Marketing
Group,
World
Internet
Usage
and
Population
Statistics
www.internetworldstats.com/stats.htm
Mohammed, R., Fisher, R., Jaworski, B. & Paddison, G. (2003). Internet Marketing: Building Advantage in a
Networked Economy, Mc Graw Hill.
Morgan, R. M., & Hunt, S. D. (1994). The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing. The Journal
of Marketing, 58, 3, 20-38.
Muniz, A. M. Jr. and O’guinn, T. C. (2001). Brand Community, Journal Of Consumer Research, 27, 412-432.
Muñiz, A. M. Jr., & Schau, H. J. (2011). How to inspire value-laden collaborative consumer-generated content.
Business Horizons, 54(3), 209-217.
Murray, K. B., & Bellman, S. (2010). Productive play time: the effect of practice on consumer demand for
hedonic experiences. Journal of the Academy of Marketing Science, 39(3), 376-391.
Murray, Jeff B. & Julie L. Ozanne (1991). The Critical Imagination: Emancipatory Interests in Consumer
Research, Journal of Consumer Research, 18 (2), 129–44.
Nambisan, P., & Watt, J. H. (2010). Managing customer experiences in online product communities. Journal
of Business Research, 64 (8), 889-895.
Nasution, R. A., & Radiatni, K. (2009). Pond’s Brand Community Potentials Among High School Female
Students in Bandung. Business Strategy and Marketing, 8(1).
Nilsson, O., S. & Olsen, J., K. (1995). Measuring Consumer Retail Store Loyalty, in European Advances in
Consumer Research Volume 2, eds. Flemming Hansen, Provo, UT: Association for Consumer
Research.
Nonnecke, B., & Preece, J. (1999). Shedding light on lurkers in online communities. Ethnographic Studies in
Real and Virtual Environments: Inhabited Information Spaces and Connected Communities. 123–
128.
Nonnecke, B., & Preece J. (2001). Why Lurkers Lurk, Americas Conference on Information Systems, 2001.
Nonnecke, B., Preece, J., & Andrews, D. (2004). What lurkers and posters think of each other,. Proceedings of
the 37th Hawaii International Conference on System Sciences, Hawaii, USA.
Oliver R. L. (1999). Whence Consumer Loyalty, Journal of Marketing, 63, 33-44.
Ouwersloot, H., & Odekerken-Schröder, G. (2008). Who’s who in brand communities – and why? European
Journal of Marketing, 42(5/6), 571–585.
Ozanne, Julie L. and Susan Dobscha (2006), “Transformative Consumer Culture Theory?” Advances in
Consumer Research, 33 eds. Cornelia Pechmann and Linda L. Price, Association for Consumer
Research, 520.
Pan, Y., & Zhang, J. Q. (2011). Born Unequal: A Study of the Helpfulness of User-Generated Product Reviews.
Journal of Retailing, 87(4), 598–612.
López, E. P., Gidumal, J. B., Taño, D. G., & Armas, R. D. (2011). Intentions to use social media in organizing
and taking vacation trips. Computers in Human Behavior, 27(2), 640–654.
Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1988). SERVQUAL: A Multiple-Item Scale for Measuring
Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retailing, 64(1), 12-40.
Parasuraman, A., & Zinkhan, G. M. (2002). Marketing to and serving customers through the internet: An
overview and research agenda, Journal of the Academy of Marketing Science, 30 (4), 286-295.
Patterson, A. (2012). Social-networkers of the world, unite and take over: A meta-introspective perspective on
the Facebook brand. Journal of Business Research, 65(4), 527–534.
Pawitra, T. (2005), Redefinisi Pemasaran, Prasetya Mulya Management Research Series, 1.
Peck, H., Payne, A., Christopher, M, & Clark, M. (1999). Relationship marketing: Strategy and
implementation. Oxford: Butterworth Heinemann.
Pepper,
D.
(2009).
Customer
Loyalty:
Is
It
an
Attitude?
Or
a
Behavior?.
http://www.peppersandrogersgroup.com/blog/2009/10/customer-loyalty-is-it-an-atti.html. Diunduh
pada bulan Juli 2011.
Ping, R. A. (2004). On assuring valid measures for theoretical models using survey data. Journal of Business
Research, 57(2), 125-141.
Ping, R. A. (2009). "Is there any way to improve Average Variance Extracted (AVE) in a Latent Variable (LV)
X (Revised)?" [on-line paper]. http://home.att.net/~rpingjr/ImprovAVE1.doc
Porter, M. E. (1996). What is strategy? Harvard Business Review, 74(6), 61-78. Harvard Business School
Publication Corp.
Preece J., B. Nonnecke & D. Andrews (2004). The top five reasons for lurking: improving community
experiences for everyone. Computers in Human Behavior, 20, 201–223.
Prince, K. (2013). The Importance of Measuring Behavior. Retrieved from http://bcotb.com/the-importanceof-measuring-behavior/
Prince, S. A, Adamo, K. B., Hamel, M. E., Hardt, J., Gorber, S. C., & Tremblay, M. (2008). A comparison of
direct versus self-report measures for assessing physical activity in adults: a systematic review. The
international journal of behavioral nutrition and physical activity, 5, 56.
67
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Qu, H., & Lee, H. (2011). Travelers’ social identification and membership behaviors in online travel
community. Tourism Management, 32(6), 1-9.
Rafaeli, S., Ravid, G., & Soroka, V. (2004). De-lurking in Virtual Communities: A Social Communication
Network Approach to Measuring the Effects of Social and Cultural Capital (INPMS03). Proceedings
of the Annual Hawaii International Conference on System Sciences, 203-203.
Ramaswami, S. N., Srivastava, R. K., & Bhargava, M. (2009). Market-based capabilities and financial
performance of firms: insights into marketing's contribution to firm value. Journal of the Academy of
Marketing Science, 37, 2, 97-116.
Reichheld, F., & Sasser, W. (1990). Zero defections: quality comes to services. Harvard business review, 68
(September-October), 105–111.
Reichheld, F. (1993). Loyalty-Based Management. Harvard Business Review, 71(2), 64-73.
Reichheld, F., Markey, R. G., & Hopton, C. (2000). The loyalty effect – the relationship between loyalty and
profits. European Business Journal, 12(3), 134-139.
Rheingold, H. (1993). The virtual community: Homesteading on the electronic frontier. Reading, Mass:
Addison-Wesley Pub. Co.
Ridings, C. M. & Gefen, D. (2004). Virtual Community Attraction: Why People Hang Out Online. Journal of
Computer Mediated Communication, 10 (1).
Rindfleisch, A., Malter, A. J., Ganesan, S., & Moorman, C. (2008). Cross-sectional versus longitudinal survey
research: concepts, findings, and guidelines. Journal of Marketing Research, 45(3), 261–279.
Rust, R. T., Lemon, K. N., & Zeithaml, V. A. (2004). Return on Marketing: Using Customer Equity to Focus
Marketing Strategy. Journal of Marketing, 68(1), 109-127.
Ryan, D. & Jones, C. (2009). Understanding Digital Marketing: Marketing Strategies for Engaging the Digital
Generation, Kogan Page.
Sachse, S. B., & Mangold, S. (2011). Brand equity dilution through negative online word-of-mouth
communication. Journal of Retailing and Consumer Services, 18(1), 38-45.
Schau, H. J., Muniz Jr, A. M., & Arnould, E. J. (2009). How brand community practices create value. Journal
of Marketing, 73(5), 30–51.
Schumacker, R. E., & Lomax, R. G. (1996). A beginnerʼs guide to structural equation modeling. Mahwah NJ.
Lawrence Erlbaum.
Schiffman, L. G., & Kanuk, L. L. (2007). Consumer behavior. Upper Saddle River, N.J: Pearson Prentice Hall.
Schlosser, A. (2005). Posting versus lurking: Communicating in a multiple audience context. Journal of
Consumer Research, 32(September), 260–265.
Schouten, J. W., & Mcalexander, J. H. (1995). Subcultures of Consumption: An Ethnography of the New
Bikers. Journal of Consumer Research, 22(1), 43-61.
Schultz
&
Beach
(2004)
From
Lurkers
to
Posters.
Diunduh
dari
http://flexiblelearning.net.au/resources/lurkerstoposters.pdf
Settles, C. (1995). Cybermarketing: Essentials for Success, Ziff-avis Press.
Shang, R.-A., Chen, Y.-C., & Liao, H.-J. (2006). The value of participation in virtual consumer communities
on brand loyalty. Internet Research, 16(4), 398–418.
Sheth, J. N., & Mittal, B. (2004). Customer behavior: A managerial perspective. Mason, Ohio: Thomson/SouthWestern.
Sheth, J. N., Newman, B. I. & Gross, B. L. (1991). Why we buy what we buy: A theory of consumption values.
Journal of Business Research. 22(2), 159-170.
Sheth, J. N., & Sisodia, R. (2006). Does marketing need reform?: Fresh perspectives on the future. Armonk,
N.Y: M.E. Sharpe.
Shiue, Y.-C., Chiu, C.-M., & Chang, C.-C. (2010). Exploring and mitigating social loafing in online
communities. Computers in Human Behavior, 26(4), 768-777.
Sicilia, M., & Palazón, M. (2008). Brand communities on the internet: A case study of Coca-Cola’s Spanish
virtual community. Corporate Communications: An International Journal, 13(3), 255–270.
Simonson, I., Carmon, Z., Dhar, R., Drolet, A., & Nowlis, S. M. (2001). Consumer research: in search of
identity. Annual review of psychology, 52, 249–275.
Sirdeshmukh, D., Singh, J., & Sabol, B. (2002). Consumer Trust, Value, and Loyalty in Relational Exchanges,
The Journal of Marketing. 66, 15-37.
Slabeva, K. S., & Schmid, B. F. (2001). A Typology of Online Communities and Community Supporting
Platforms. Proceedings of the 34th Hawaii International Conference on System Sciences. 1–10.
Solomon, M. R. (2009). Consumer behavior: Buying, having, and being. Upper Saddle River, NJ:
Pearson/Prentice Hall.
Sparks, B. A., & Browning, V. (2011). The impact of online reviews on hotel booking intentions and perception
of trust. Tourism Management, 32(6). 1310-1323.
Spaulding, T. J. (2010). How can virtual communities create value for business? Electronic Commerce
Research and Applications, 9(1), 38-49.
Spiggle, S. (1994). Analysis and Interpretation of Qualitative Data in Consumer Research. Journal of Consumer
Research, 21, 3, 491-503.
68
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Srinivasan, S. S., Anderson, R., & Ponnavolu, K. (2002). Customer loyalty in e-commerce: an exploration of
its antecedents and consequences. Journal of Retailing, 78(1), 41-50.
Srivastava, R. K., Shervani, T. A., & Fahey, L. (1998). Market-Based Assets and Shareholder Value: A
Framework for Analysis. The Journal of Marketing, 62, 1, 2-18.
Sterne, J. (2010). Social media metrics: How to measure and optimize your marketing investment. Hoboken,
N.J: John Wiley.
Stokes, R. (2009). eMarketing: The Essential Guide to Online Marketing. Quirk eMarketing
Strauss, J., & Frost, R. (2009). E-marketing. Pearson Prentice Hall.
Sukoco, B. M., & Aditya, M. L. (2011). Pengaruh Nilai Informasi dan Sosial pada Co-Consumption dan CoProduction antar Anggota Kaskus : Perspektif Modal Sosial. Jurnal Manajemen Teknologi, 10(3),
264–280.
Sukoco, B., & Wu, W. (2010). The personal and social motivation of customers’ participation in brand
community. African Journal of Business Maganement, 4(5), 614–622.
Sweeney, J. C., & Soutar, G. N. (2001). Consumer perceived value: The development of a multiple item scale.
Journal of Retailing, 77(2), 203-220.
Szmigin, I., & Reppel, A. E. (2004). Internet community bonding: the case of macnews.de. European Journal
of Marketing, 38, 626-640.
Szmigin, I., Canning, L., & Reppel, A. E. (2005). Online community: enhancing the relationship marketing
concept through customer bonding. International Journal of Service Industry Management, 16(5),
480–496.
Takahashi, M., Fujimoto, M., & Yamasaki, N. (2003). The active lurker: influence of an in-house online
community on its outside environment. In GROUP ’03: Proceedings of the 2003 international ACM
SIGGROUP conference on Supporting group work (pp. 1-10).
Takahashi, M., Fujimoto, M., & Yamasaki, N. (2007). Active Lurking: Enhancing the Value of In-House Online
Communities through the Related Practices around the Online Communities. MIT Sloan Research
Paper No 464607 CCI Working Paper No 2007006.
Thompson, S., & Sinha, R. (2008). Brand communities and new product adoption: the influence and limits of
oppositional loyalty. Journal of marketing, 72(November), 65–80.
Treacy, M., & Wiersema, F. (1993). Customer intimacy and other value disciplines. Harvard Business Review,
71(1), 84-93.
Tsai, H.-T., & Huang, H.-C. (2007). Determinants of e-repurchase intentions: An integrative model of
quadruple retention drivers. Information & Management, 44(3), 231-239.
Tsai, H.-T., Huang, H.-C., & Chiu, Y.-L. (2012). Brand community participation in Taiwan: Examining the
roles of individual-, group-, and relationship-level antecedents. Journal of Business Research, 65(5),
676–684.
Urban, G. L. (2003), Digital Marketing Strategy: Text and Cases, Prentice Hall
Ulaga, W., & Eggert, A. (2005). Relationship value in business markets: the construct its dimensions. Journal
of Business-to-Business Marketing, 12(1), 73–99.
Valck, K., Bruggen, G. H., & Wierenga, B. (2009). Virtual communities: A marketing perspective. Decision
Support Systems, 47(3), 185–203.
Varadarajan, P. R. & Yadav, M. S. (2002). Marketing Strategy and the Internet: An Organizing Framework.
Journal of the Academy of Marketing Science, 30 (4), 296-312.
Varadarajan, R., Vadakkepatt, G. G., Yadav, M. S., Srinivasan, R., Pavlou, P. A., Krishnamurthy, S., & Krause,
T. (2010). Interactive technologies and retailing strategy: A review, conceptual framework and future
research directions. Journal of Interactive Marketing, 24, 2, 96-110.
Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2004). Evolving to a New Dominant Logic for Marketing. Journal of Marketing,
68(1), 1-17.
Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2006). Service-dominant logic: What it is, what it is not, what it might be. In R.
F. Lusch, & S. L. Vargo (Eds.), The service-dominant logic of marketing: Dialog, debate, and
directions (pp. 43–56). Armonk, NY: ME Sharpe.
Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2008). Service-dominant logic: Continuing the evolution. Journal of the Academy
of Marketing Science, 36, 1, 1-10.
Vargo, S., Maglio, P., & Akaka, M. (2008). On value and value co-creation: A service systems and service
logic perspective. European Management Journal, 26(3), 145-152.
Venkatesan, R., & Kumar, V. (2004). A Customer Lifetime Value Framework for Customer Selection and
Resource Allocation Strategy. Journal of Marketing, 68, 106-125.
Verhoef, P. C., Neslin, S. A., & Vroomen, B. (2007). Multichannel customer management: Understanding the
research-shopper phenomenon. International Journal of Research in Marketing, 24, 2, 129.
Vogel, V., Evanschitzky, H., & Ramaseshan, B. (2008). Customer Equity Drivers and Future Sales. Journal of
Marketing, 72(6), 98-108.
Watson, R.T, Pitt, L. F., Berthon, P. & Zinkhan, G. M. (2002). U-Commerce: Expanding the Universe of
Marketing, Journal of the Academy of Marketing Science, 30 (4), 333-347.
Wells, W. D. (1993). Discovery-Oriented Consumer Research. Journal of Consumer Research, 19(4), 489.
69
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Whittaker, S., Issacs, E., & O’Day, V. (1997) Widening the Net: Workshop report on the theory and practice
of physical and network communities, SIGCHI Bulletin, 29, 3, 27–30.
Wijanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8: Konsep dan Tutorial. Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Williams, D., Yee, N., & Caplan, S. E. (2008). Who plays, how much, and why? Debunking the stereotypical
gamer profile. Journal of Computer-Mediated Communication, 13(4), 993–1018.
Woisetschlager, D., Hartleb, V., & Blut, M. (2008). How to Make Brand Communities Work: Antecedents and
Consequences of Consumer Participation. Journal of Relationship Marketing, 7(3), 237-256.
Woisetschläger, D. M., Lentz, P., & Evanschitzky, H. (2011). How habits, social ties, and economic switching
barriers affect customer loyalty in contractual service settings. Journal of Business Research, 64, 800808.
Woodruff, R. B. (1997). Customer value: The next source for competitive advantage. Journal of the Academy
of Marketing Science, 25(2), 139-153.
Wright, P. (2002). Marketplace metacognition and social intelligence. Journal of consumer research, 28, 677–
682.
Wu, S.-C., & Fang, W. (2010). The effect of consumer-to-consumer interactions on idea generation in virtual
brand community relationships. Technovation, 30(11-12), 570-581.
Wu, J.-J., Chen, Y.-H., & Chung, Y.-S. (2010). Trust factors influencing virtual community members: A study
of transaction communities. Journal of Business Research, 63(9-10), 1025-1032.
Wu, M. (2011). Community vs. Social Network. Diunduh dari http://lithosphere.lithium.com/t5/BuildingCommunity-the-Platform/Community-vs-Social-Network/ba-p/5283, 17 januari 2012.
Wu, W., & Sukoco, B. (2010). Why Should I Share? Examining Consumers’motives and Trust on Knowledge
Sharing. Journal of Computer Information Systems, 11–19.
Yadav, M. S., & Varadarajan, R. (2005). Interactivity in the Electronic Marketplace: An Exposition of the
Concept and Implications for Research. Journal of the Academy of Marketing Science, 33(4), 585603.
Yang, H.-E., Wu, C.-C., & Wang, K.-C. (2009). an empirical analysis of online game service satisfaction and
loyalty. Expert Systems with Applications, 36(2), 1816-1825.
Ye, Q., Law, R., Gu, B., & Chen, W. (2011). The influence of user-generated content on traveler behavior: An
empirical investigation on the effects of e-word-of-mouth to hotel online bookings. Computers in
Human Behavior, 27(2), 634-639.
Yee, N. (2006). The Psychology of Massively Multi-User Online Role-Playing Games. In R. Schroeder & A.S. Axelsson (Eds.), Avatars at work and play: Collaboration and interaction in shared virtual
environments (pp. 187-207). Springer-Verlag.
Yi, Y., & La, S. (2004).What influences the relationship between customer satisfaction and repurchase
intention? Investigating the effects of adjusted expectations and customer loyalty. Psychology &
Marketing, 21(5), 351–373.
Yoo, B. & Donthu, N. (2001). Developing and validating a multidimensional consumer-based brand equity
scale. Journal of Business Research, 52(1), 1-14.
Zeithaml, V. A. (1988). Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A Means-End Model and Synthesis
of Evidence. Journal of Marketing, 52(3).
Zeithaml, V. A., Berry, L. L., & Parasuraman, A. (1996). The Behavioral Consequences of Service Quality.
Journal of Marketing, 60(2), 31.
Zhao, F. (2008). Improve Customers’ Loyalty in Online Gaming: An Empirical Study. Journal of Computer
and Information Technology, 1(3), 51-59.
Zhou, Z., Jin, X.L., Vogel, D. R., Fang, Y., & Chen, X. (2011). Individual motivations and demographic
differences in social virtual world uses: An exploratory investigation in Second Life. International
Journal of Information Management, 31(3), 261-271.
Zhu, F., & Zhang, X. M. (2010). Impact of Online Consumer Reviews on Sales: The Moderating Role of
Product and Consumer Characteristics. Journal of Marketing, 74(2), 133-148.
Zhou, Z., Q. Zhang, C. Su & N. Zhou (2011). How do brand communities generate brand relationships?
Intermediate mechanisms, Journal of Business Research
Zikmund, W. G., Babin, B. J., Carr, J. C., & Griffin, M. (2010). Business research methods (8th ed.). Mason,
OH: South-Western Cengage Learning.
70
Ringkasan Disertasi Whony Rofianto
Universitas Indonesia, Depok 24 Januari 2014
Download