6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gastritis 2.1.1. Definisi Gastritis

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gastritis
2.1.1. Definisi Gastritis
Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung secara histopatologi. Sedangkan definisi lain dari gastritis adalah proses
inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung sebagai respon terhadap jejas
(injury) yang dapat bersifat akut maupun kronik.1,16
Mukosa lambung terdiri dari sel-sel yang memproduksi asam dan enzim. Asam
dan enzim ini akan berperan dalam pencernaan makanan, sedangkan mukus berperan
dalam melindungi mukosa lambung dari asam. Ketika mukosa mengalami inflamasi,
maka produksi asam, enzim dan mukus akan terganggu. Sampai saat ini masih
belum jelas hubungan antara gambaran mikroskopi (histopatologi) dengan
keluhan pada lambung. Hubungan antara gambaran mikroskopi dengan endoskopi
juga tidak konsisten. Pada kebanyakan pasien dengan gambaran gastritis pada
pemeriksaan PA sering tidak meunjukkan kelainan saat endoskopi. 17
2.1.2. Epidemiologi Gastritis
Gastritis merupakan masalah kesehatan yang umum ditemui dalam pelayanan
klinis. Sekitar 10% kunjungan pada unit gawat darurat merupakan kasus gastritis.
Berdasarkan penelitian WHO (Word Health Organization) dilaporkan prevalensi
gastritis dibeberapa negara sebagai berikut: Inggris 22%, China 31%, Jepang
14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%. Sekitar 1,8-2,1 juta penduduk
mengalami gastritis setiap tahunnya.5,7,8
Angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8% dan
merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit. 9,10
6
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Etiologi Gastritis
Terdapat beberapa penyebab gastritis diantaranya infeksi kuman H.pylori,
gangguan fungsi sistem imun, infeksi virus seperti: enteric rotavirus, calicivirus
dan cytomegalovirus, infeksi jamur seperti: candida species, histoplasma
capsulatum dan mukonacea serta obat anti inflamasi nonsteroid, konsumsi
alkohol, usia, stress oleh karena trauma, tindakan operatif, luka bakar, dll. 7,8
Infeksi kuman H.pylori merupakan penyebab gastritis yang sangat penting.
Prevalensi infeksi H.pylori pada orang dewasa di negara berkembang ± 90%. Di
Indonesia, prevalensi kuman H.pylori yang dinilai melalui pemeriksaan urea
breath test cukup tinggi pada pasien dispepsia.9,10
Etiologi gastritis oleh Rugge atas dasar agen yang ditransmisikan yaitu : kimiawi,
fisik, faktor imun, dan idiopatik. Rugge juga membagi etiologi gastritis berdasarkan 3
bentuk utama antara lain gastritis H.pylori, gastritis kimiawi, dan gastritis autoimun.
Lalu Toljamo (2012) mengelompokkan etiologi gastritis menjadi 3 kelompok yaitu
agen kimiawi, penyakit, dan faktor fisik/mekanik. Adapun Adibi menuliskan etiologi
gastritis menjadi 2 bagian besar yaitu gastritis H. pylori dan gastritis non H. pylori. 9
Sampai saat ini belum ada klasifikasi gastritis yang dapat diterima secara
luas. Salah satu klasifikasi yang digunakan oleh banyak ahli adalah the Sydney
System yang diperbaharui. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : 10
Tabel 2.1. Klasifikasi Gastritis kronik berdasakan topograpi, morfologi & etiologi
7
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Patofisiologi Gastritis secara Umum
Terjadinya gastritis secara umum karena ketidakseimbangan faktor agresif
dan defensif, di mana faktor agresif lebih dominan daripada faktor defensif. Yang
termasuk faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks bilier, nikotin,
alkohol, NSAID, kortikosteroid, H.pylori, dan adanya radikal bebas. Yang
termasuk faktor defensif antara lain mikrosirkulasi mukosa, sel epitel permukaan,
prostaglandin, fosfolipid, mukus, bikarbonat, dan motilitas saluran pencernaan. 27
Gambar 2.1. Patofisiologi gastritis 26
Keterangan : (A) mukosa gaster normal akibat adanya keseimbangan antara faktor agresif dan
pertahanan mukosa. (B) pembentukan ulkus gaster karena ketidakseimbangan faktor agresif dan
faktor pertahanan mukosa.
2.2 Gastritis H.Pylori
H.pylori pertama kali ditemukan oleh Robin Warren dan Marshall pada
tahun 1983. H.pylori merupakan bakteri gram negatif yang ditemukan pada
permukaan epitel lambung yang menginfeksi sekitar 50% dari populasi umum.
H.pylori bersifat mikroaerofilik, berbentuk batang melengkung, berukuran
8
Universitas Sumatera Utara
panjang 1-3 µm dan lebar 0,3-0,6 µm serta berflagella pada satu ujung polenya.
Bakteri ini memiliki adaptasi yang sangat baik pada kondisi asam. H.pylori
mengekskresikan urease yang berperan dalam merubah urea menjadi amonia
sehingga pH gaster meningkat. H.pylori juga dapat menghindari kontak dengan
gastric juice yang bersifat asam melalui crossing lapisan tebal dari mukus dengan
menggunakan flagelnya. 22
Epidemiologi H.pylori sekitar 50% populasi di dunia. Di negara barat seperti
USA, prevalensi H.pylori < 30% pada usia < 30 tahun dan > 75% pada usia > 60
tahun. Di Asia, prevalensi H.pylori sangat tinggi .22
Infeksi kronik dari H.pylori biasanya menyebabkan atrofi serta metaplasia
dan juga diplasia serta ca gaster. H.pylori dapat menyebabkan ulkus peptikum
(70%) dan ulkus duodeni (90%). Transmisi infeksi H.pylori melalui mulut ke
mulut atau feses ke mulut. 22,24
2.3. Virulensi H.Pylori
Kebanyakan kasus gastritis H pylori, infeksi yang terjadi merupakan
asimtomatik dan manifestasi yang terjadi hanya 10-15 % individu yang terinfeksi.
Hal ini tergantung dari virulensi dari strain H pylori, serta respon imun terhadap
bakteri ini. Perbedaan klinis dapat dijelaskan berdasarkan faktor bakteri dan
respon imun yang mendasari.26
Dua faktor virulensi yang telah terlibat dalam proses Gastritis H.pylori adalah
cytotoxin-associated gene A (CagA) dan vacuolating cytotoxin A (Vaca), yang
disekresikan oleh H. pylori. Kedua faktor virulensi ini polimorfik dan
mempengaruhi banyak jalur. CagA dan vacuolating cytotoxin A (Vaca), juga telah
terbukti mempengaruhi keadaan penyakit, dan kemungkinan faktor virulensi yang
paling baik dipelajari dari H. pylori. 11
Proses pengiriman toksin seperti urease, heat shock protein (hsp) 60,
arginase, neutropil-activating protein (Nap)-A, vacuolating cytotoxin (Vac)A,
cytotoxin-associated antigen (Cag)A dan adesin melalui lapisan sel-sel lambung
yang rusak akan mengaktifkan makrofag. Komplikasi dan gejala klinis
9
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya tergantung kemampuan virulensi dari strain H pylori menginduksi
terjadinya perubahan morfologi, vakuolisasi dan degenerasi sel epitel lambung. 11
Saat ini makin bertambah adanya bukti-bukti mengenai pengaruh faktorfaktor CagA, VacA, alel s1m1 dan adesin A2 ( BabA2) terhadap manifestasi
klinik yang dihubungkan peningkatan risiko gastritis lebih berat, atropi lambung
dan/ atau kanker lambung. 11
Strain H pylori dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu strain tipe 1 dan tipe 2.
Strain tipe 1 dengan CagA dan VacA (+) sedangkan tipe 2 dengan CagA (-) dan
sistesis VacA yang in aktif. Dibandingkan dengan tipe 2, tipe 1 lebih berperan
dalam timbulnya ulkus peptikum, radang dan kerusakan jaringan. 11
Protein Vac A diproduksi sebagai protoksin 140-kDa yang dipecah menjadi
bentuk matang 95-kDa untuk disekresi. Walaupun semua strain H pylori
membawa gen VacA namun aktivitasnya bervariasi. 8,11
Aktivitas protein VacA termasuk membuat lubang membran sel-sel epitel,
mengganggu aktifitas endosomal dan lisosom, menghambat fungsi sitoskleton,
induksi apoptosis dan mengatur imunitas. 7,8,11
Toksin VacA yang dihasilkan oleh vacA gen merangsang vakuola
sitoplasmik
dan
peningkatan
permeabilitas
yang
pada
akhirnya
akan
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel-sel epithelial lambung. Gen vacA
menunjukkan variasi alel yang signifikan pada s dan m regional. Regional s terdiri
dari 2 subtipe yaitu s1 dan s2. Subtipe s1 dibagi menjadi 3 bagian yaitu
s1a,s1b,s1c , sedangkan regional m terdiri dari m1 dan m2 subtipe. Kombinasi
pleomorfik dari s dan m regional berpengaruh terhadap aktifitas vakuolisasi dari
gen vacA. Perbedaan kombinasi genotype dari vacA menyebabkan perbedaan
level patogenitas seperti s1am1 dan s1bm1 menghasilkan jumlah toksin yang
sangat tinggi dan merupakan genotype yang paling virulen dibandingkan dengan
s1m1 yang hanya menghasilkan virulensi yang moderate. Akan tetapi, genotype
s2m1 dan s2m2 dikatakan bervirulensi rendah, hal ini didasarkan pada
kemampuan untuk menghasilkan vacuola yang rendah pula. Genotipe s1am1 dan
s1bm1 dilaporkan sering terjadi pada kasus akut gastritis, ulkus peptikum, dan
10
Universitas Sumatera Utara
karsinoma lambung, sementara itu genotype s2m1 dan s2m2 hanya dijumpai pada
ulkus lambung7,20
Gen VacA pada H. Pylori memiliki genetik heterogenenicity yang signifikan,
sehingga menghasilkan hasil klinis yang berbeda. Toksin VacA diberikan kode
oleh gen VacA untuk menginduksi vakuola sitoplasma dan meningkatkan
permeabilitas, yang mengarah ke kerusakan sel epitel lambung. 3,11,20
Sekitar 50 % dari semua strain H.Pylori mengeluarkan VacAprotein 95 -kDa
sangat imunogenik yang menginduksi vacuolization besar dalam sel epitel in
vitro. Protein VacA berperan penting dalam pogenesis pada ulkus peptikum dan
kanker lambung. 2,11
Gen CagA dengan segmen DNA 40 kb ditemukan pada salah satu ujung
cytotoxin-associated gene pathogenicity island (CagPAI), tepatnya yang mengkode
sistem sekresi tipe IV (T4SS). CagPAI dijumpai pada 95-100 % strain H pylori di
Asia. Salah satu strain spesifik yang paling penting mempengaruhi patogenesis H
pylori adalah CagPAI. Protein CagA sangat imunologik dan ditemukan sekitar 5070 % dari strain H pylori. Pada perlekatan H pylori dengan sel epitel lambung, protein
CagA ditranslokasi ke membrana sel-sel epitel melalui sistem sekresi tipe IV. Pada
membran sel epitel, Cag A menyebabkan redistribusi protein perlekatan antar sel
yang menyebabkan kebocoran sel. Selain itu, Cag A juga disebutkan dapat mengubah
struktur sel lambung, sehingga membuat bakteri melekatkan diri lebih mudah. Dalam
waktu panjang, toxin tersebut menyebabkan inflamasi kronis. 11,20
Pada dasarnya CagA merupakan kunci dari faktor virulensi masuknya H
pylori kedalam sel host. Adanya CagA dihubungkan dengan beratnya penyakit.
Bahkan, pasien kanker setidaknya dua kali lebih mungkin terinfeksi dengan strain
H. pylori yang CagA positif daripada CagA negatif. 15
CagA juga dapat menimbulkan respon proinflamasi, dan mengaktifkan signal
transduser dan aktivasi jalur transkripsi 3 (STAT3) yang berperan terhadap
cancerogenesis pada lambung. 11
Beberapa penelitian analisisis molekular pada mRNA lambung terhadap
ekspresi CagA pada H pylori telah memberikan bukti lebih lanjut, bahwa infeksi
dengan strain CagA (+) dikaitkan dengan peningkatan transkripsi IL8, IL-1 α &
11
Universitas Sumatera Utara
IL-1β dibandingkan dengan infeksi CagA (-), sehingga mungkin mencerminkan
respon sitokin dengan strain yang spesifik. Beberapa penelitian invitro yang
menggunanakan sel epitel lambung menunjukkan bahwa respon epitelial IL-8
diamati lebih spesifik dengan strain CagA (+). 13,14
Gambar 2.2 Perbedaan Patofisiologi Cag A (+), CagA (-) pada Gastritis H pylori 6
2.4. Patofisologi Gastritis H pylori
H pylori memiliki flagela yang memungkinkan bergerak dan dapat menembus
lapisan mukus epitel lambung. Selubung flagela sebagai pelindung terhadap asam
lambung. Hal ini mendukung persistensi infeksi H pylori dalam lambung. Pergerakan
flagela dirangsang aktifitas kemotaksis berbagai senyawa termasuk glutamin, histidin,
lisin, alanin, musin, urea, bikarbonas dan natrium klorida.7,8,12
Penularan infeksi H pylori terjadi antar manusia secara langsung baik melalui
oral-oral maupun feko-oral sehingga H pylori ditemukan pada saliva, muntahan
dan tinja. 7,8,12
Adanya mekanisme kemotaksis, saat H pylori berada dalam lambung dapat
melakukan gerak rotasi yang aktif disertai bantuan flagelanya, meluncur ke arah
lapisan mukus epitel lambung. 7,12
12
Universitas Sumatera Utara
Di dalam lambung H pylori berhadapan dengan imunitas bawaan sel epitel
lambung sebagai faktor anti mikroba berupa molekul protektif non spesifik seperti
laktoferin, lisosim dan defensin. Faktor anti mikroba lain yang tersedia yaitu asam
lambung. H pylori dapat beradaptasi terhadap lingkungan asam dengan
memproduksi enzim urease. Urease menghidrolisis urea menjadi amoniak dan
karbamat. Karbamat secara spontan pecah menjadi amoniak dan asam karbonat,
yang akan meningkatkan pH lambung. 7,8
Faktor lain yang memungkinkan H pylori dapat beradaptasi terhadap
lingkungannya adalah sifat bakteri tersebut mikroaerofilik, yang mempunyai
pertahanan terhadap stres oksidatif akibat respons radang mukosa. Setelah berhasil
beradaptasi, H pylori akan adesi pada permukaan epitel lambung dengan menggunakan
adesin babA dan sabA. Namun kurang dari 1 % H pylori dapat beradesi dengan sel
epitel lambung, sebagaian besar pada lapisan mukus atau dibersihkan oleh peristaltik
atau pengosongan lambung. Adesi yang erat H pylori pada sel-sel epitel lambung akan
memfasilitasi proses pengiriman toksin dan proses induksi respons imun, yang
keduanya menyebabkan kerusakan sel-sel epitel. 7,8,12
Gambar 2.3. Imunopatogenesis infeksi H.pylori 14
13
Universitas Sumatera Utara
2.5. Pemeriksaan diagnostik H.pylori
Metode diagnostik untuk mendeteksi kuman H.pylori dibagi menjadi
pemeriksaan invasif dan pemeriksaan non invasif. Beberapa metode telah
dikembangkan untuk mendeteksi keberadaan infeksi kuman H. pylori, yang dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.24,26
Tabel 2.2. Pemeriksaan diagnostik untuk H. pylori 26
Selain tabel di atas, terdapat keuntungan dan kerugian dari penggunaan
masing-masing test untuk diagnostik H.pylori. Keuntungan dan kerugian tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.3. Keuntungan dan kerugian test H.pylori 26
Test endoskopi
1. Histologi
Keuntungan
Sensitifitas dan
spesifisitas tinggi
2. Rapid Urease Test
Murah, hasil cepat,
sensitivitas dan
spesitifitas tinggi
Spesifisitas tinggi,
dapat melihat
sensitivitas bakteri
Sensitifitas &
spesifisitas tinggi,
sensitifitas antibiotik
3. Kultur
4.Polimerase Chain
Reaction
Kerugian
Mahal, memerlukan
infrastruktur & personal
training
Sensitifitas menurun
sesudah terapi
Mahal, sulit dilakukan,
ketersediaan terbatas,
sensitifitas rendah
Ketersediaan terbatas,
metode tidak standar pada
lab
14
Universitas Sumatera Utara
Test non endoskopi
1. Antibody testing
(quantitative &
qualitative)
2. Urea Breath Test
(13C dan 14C)
3.Faecal antigent test
Murah, tersedia,
NPV baik
Identifikasi aktif
H.pylori, NPV &
PPV baik, berguna
pada pre& post
terapi
Identifikasi aktif
H.pylori, NPV &
PPV baik, berguna
pada pre& post
terapi
PPV bergantung pada
prevalensi H.pylori, tidak
direkomendasikan pada post
terapi
Ketersediaan terbatas
Poliklonal test lebih baik
dibandingkan UBT, tidak
nyaman
H.pylori dapat dideteksi dari endoskopi melalui histologi, kultur, maupun tes
urease, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Semua metode
berbasis biopsi tersebut dapat mengalami kesalahan pengambilan sampel karena
infeksi tersebut bersifat patchy. Sekitar 14% pasien tidak mengalami infeksi di
antrum namun memiliki H.pylori di suatu tempat di lambung, terutama jika pasien
tersebut mengalami atrofi gaster, metaplasia intestinal, ataupun refluks empedu.
Selain itu, pasca-eradikasi dengan efektivitas parsial, infeksi dalam kadar rendah
dapat terlewatkan pada biopsi melalui endoskopi. Hal ini menimbulkan
overestimasi efikasi eradikasi dan tingkat reinfeksi. Penghambat pompa proton
mempengaruhi pola kolonisasi H.pylori di lambung dan mengurangi akurasi
biopsi di antrum. Oleh karena itu, pedoman konsensus merekomendasikan untuk
dilakukan biopsi multipel dari antrum dan korpus untuk histologi dan satu untuk
metode lain (baik kultur maupun pemeriksaan urease).26
2.5.1. Pemeriksaan invasif
1. Histologi
Meskipun H.pylori dapat dikenali dari bagian yang diwarnai dengan hematoksilin
dan eosin saja, dibutuhkan pengecatan tambahan (seperti Giemsa, Genta, Gimenez,
perak Warthin-Starry, violet Creosyl) untuk mendeteksi infeksi dalam kadar rendah
dan untuk menunjukkan karakteristik morfologi H.pylori. Keuntungan pemeriksaan
15
Universitas Sumatera Utara
secara histologi selain dapat disimpan, irisan dari biopsi dapat diperiksa kapanpun;
dan adanya gastritis, atrofi, ataupun metaplasia intestinal dapat pula diperiksa.
Spesimen biopsi dari bagian lain lambung dapat disimpan dalam formalin untuk
diproses hanya jika histologi antrum tidak dapat disimpulkan.26
2. Kultur
Isolasi mikrobiologi adalah baku emas teoritis untuk identifikasi infeksi
bakteri, namun kultur H.pylori kurang dapat dipercaya. Risiko pertumbuhan
berlebih maupun kontaminasi membuatnya kurang sensitif, dan metode ini
adalah metode yang paling tidak mudah dikerjakan bersama endoskopi.
Meskipun hanya sedikit pusat kesehatan yang secara rutin menawarkan isolasi
mikrobiologis H.pylori, prevalensi strain multiresisten membuat metode kultur
dan uji sensitivitas terhadap antibiotik menjadi persyaratan bagi pasien dengan
infeksi persisten dengan kegagalan terapi.26
3. Uji urease
Metode ini bersifat cepat dan sederhana untuk deteksi infeksi H.pylori namun hanya
menunjukkan ada atau tidaknya infeksi. Pemeriksaan CLO dan pemeriksaan urease
yang lebih murah ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang serupa.
Namun, sensitivitas pemeriksaan urease seringkali lebih tinggi dibanding metode
berbasis biopsi karena seluruh spesimen biopsi ditempatkan di dalam media
sehingga dapat menghindari sampel tambahan ataupun kesalahan proses terkait
histologi maupun kultur. Sensitivitas pemeriksaan urease biopsi terlihat jauh lebih
rendah (sekitar 60%) pada pasien dengan perdarahan saluran cerna atas. Namun
kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan menempatkan beberapa sampel biopsi di
dalam satu vial untuk pemeriksaan. 26
2.5.2. Pemeriksaan non-invasif
1. Serologi
Infeksi H.pylori menimbulkan respon mukosa lokal dan antibodi sistemik. Antibodi
IgG terhadap H.pylori dalam sirkulasi dapat dideteksi melalui antibodi enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA) atau uji aglutinasi lateks. Pemeriksaan
tersebut umumnya sederhana, reprodusibel, tidak mahal, dan dapat dilakukan
16
Universitas Sumatera Utara
terhadap sampel yang disimpan. Metode ini banyak digunakan dalam studi
epidemiologi, termasuk studi retrospektif untuk menentukan prevalensi maupun
insiden infeksi. Individu sangat bervariasi terkait respon antibodi terhadap antigen
H.pylori, dan tidak ada antigen yang sama yang dapat dikenali melalui serum dari
semua subyek. Oleh karena itu akurasi pemeriksaan serologis bergantung kepada
antigen yang digunakan sehingga penting untuk melakukan validasi lokal terhadap
ELISA H.pylori. Pada orang tua dengan infeksi yang telah berlangsung lama,
gastritis atrofi dikaitkan dengan hasil negatif palsu. Konsumsi obat anti-inflamasi
non-steroid juga dilaporkan mempengaruhi akurasi ELISA. Titer antibodi turun
secara perlahan pasca-keberhasilan eradikasi sehingga serologi tidak dapat
digunakan untuk menentukan eradikasi H.pylori ataupun untuk menentukan tingkat
reinfeksi. Meskipun titer antibodi IgM terhadap H.pylori menurun seiring
bertambahnya usia, tidak ada assay yang menunjukkan akuisisi baru. Karena infeksi
ini biasanya asimtomatik, sulit untuk mengidentifikasi dan menegakkan jalur
transmisi. Keuntungan metode serologi adalah perkembangan uji finger prick yang
menggunakan assay fase solid terfiksir untuk mendeteksi adanya imunoglobulin
H.pylori. Near patient test (NPT) dapat dilakukan di pusat kesehatan primer dan
lebih sederhana dibanding 13C-urea breath test yang merupakan satu-satunya NPT
yang digunakan saat ini. Namun akurasi NPT serologis lebih rendah dibanding yang
dilaporkan untuk pemeriksaan ELISA standar menggunakan preparat antigen yang
sama. Pemeriksaan ini sering digunakan untuk menenangkan pasien, namun saat ini
belum ada studi yang membandingkan akurasi, efektivitas biaya, dan nilai jaminan
dari 13C-urea breath test dengan NPT serologis di pusat kesehatan primer.26
2. Urea breath test (UBT)
Deteksi non-invasif terhadap H. pylori melalui uji
13
C-urea breath test memiliki
prinsip dasar yaitu larutan yang dilabel urea dengan karbon-13 akan dihidrolisasi
secara cepat di sepanjang mukosa lambung dan melalui sirkulasi sistemik,
diekskresikan sebagai
13
CO2 dalam udara ekspirasi. Pemeriksaan ini mendeteksi
infeksi saat ini dan tidak bersifat radioaktif, dapat digunakan sebagai uji skrining
untuk H.pylori, menilai eradikasi, dan mendeteksi infeksi pada anak. Pemeriksaan
17
Universitas Sumatera Utara
14
C-urea breath test mirip dengan 13C-urea breath test namun bersifat radioaktif dan
tidak dapat dilakukan di pusat kesehatan primer.26
3. Faecal antigen test
Dalam pemeriksaan antigen di feses, ELISA sandwich sederhana digunakan
untuk mendeteksi keberadaan antigen H. pylori yang terbungkus feses. Studi
melaporkan sensitivitas dan spesifisitas yang mirip dengan 13C-urea breath test
(>90%) dan teknik ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai NPT.
Keutungan utama dari pemeriksaan ini adalah dalam studi epidemiologi
berskala besar terhadap akuisisi H. pylori pada anak.26
2.6 Peranan Sitokin Inflamasi terhadap Gastritis H.pylori
Inflamasi kronis H pylori melibatkan netrofil, limfosit (sel T dan B), sel plasma,
dan makrofag, sesuai dengan tingkat degenerasi dan kerusakan selnya. Mekanisme
inflamasi lainnya melalui kontak langsung dengan sel epitel lambung dan merangsang
pembentukan serta pelepasan sitokin inflamasi. Adanya inflamasi karena H pylori dapat
ditunjukkan dengan peningkatan IL-1β, IL-2, IL-6, IL-8 dan TNF-α. 26
Inflamasi lambung ditemukan bervariasi pada pasien yang terinfeksi dengan
H pylori tergantung dari respon imun pejamu terhadap organisme. Mekanisme
inflamasi terhadap infeksi H pylori melibatkan respon imun spesifik dan imun non
spesifik, seperti terlihat pada gambar di bawah ini. 25
Gambar 2.4. TNF-α yang berhubungan dengan H. pylori
18
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4. Sitokin yang dihasilkan sebagai implikasi dari gastritis H. pylori 18
TNF-α berperan untuk meningkatkan reaksi inflamasi dan diyakini berperan
penting dalam kerusakan mukosa gaster akibat H.pylori. TNF-α menyebabkan
kaskade inflamasi terhadap infeksi, respons inflamasi berlebihan di mukosa gaster
yang berhubungan dengan inhibisi sekresi asam lambung dan kerentanan yang lebih
tinggi terhadap Ca gaster.20 Pada gastritis kronis terjadi inflamasi pada mukosa
lambung selama >2 minggu sehingga terjadi peningkatan sitokin pada darah.23
Infeksi H.pylori berkontribusi terhadap rekrutmen neutrofil dan limfosit yang
menyebabkan kerusakan epitel melalui pelepasan sitokin, salah satunya TNF-α.
Bodger et al melaporkan bahwa ada hubungan signifikan antara IL-6, IL-8, TNF-α
pada pasien yang terinfeksi H.pylori. Sitokin ini berkorelasi dengan derajat
inflamasi dan aktivitas neutrofil, di mana makin tinggi kadar sitokin sebanding
dengan peningkatan derajat inflamasi dan aktivitas neutrofil.26
Makrofag yang teraktivasi akan menstimulasi terjadinya inflamasi melalui
sekresi sitokin (terutama TNF-α dan IL1-β), kemokin dan short-lived lipid
mediator (platelet activating factor /PAF, prostaglandin, leukotrien). Kerja
kolektif dari macrophage-derived cytokine dan lipid mediator adalah menginduksi
inflamasi lokal yang banyak mengandung neutrofil yang akan memfagositosis dan
menghancurkan patogen. Selain itu, makrofag yang teraktivasi (bersama neutrofil)
memfagositosis jaringan yang mati dan memfasilitasi perbaikan jaringan akibat
infeksi. 21,22
19
Universitas Sumatera Utara
TNF-α merupakan sitokin utama pada respons inflamasi akut. Infeksi yang
berat dapat memicu produksi TNF dalam jumlah besar yang menimbulkan reaksi
sistemik. TNF disebut TNF-α atas dasar historis dan untuk membedakannya dari
TNF-β atau limfotoksin. 25
TNF-α diproduksi oleh neutrofil, limfosit yang diaktifkan, makrofag sel NK,
dan beberapa sel non limfoid seperti astrosit, sel endotel dan sel otot polos,
sementara TNF-β nampaknya hanya diproduksi oleh sel T. 23
LPS (lipopolysakarida) adalah endotoxin dari H pylori yang merupakan
rangsangan poten untuk mensekresi TNF. IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan
sel NK juga merangsang makrofag antara lain meningkatkan sintesis TNF. TNF
memiliki efek biologik antara lain pengerahan neutrofil dan monosit ke tempat
infeksi serta mengaktifkan sel-sel tersebut untuk menyingkirkan mikroba,
memacu ekspresi molekul adesi sel endotel vaskular terhadap leukosit,
merangsang makrofag mensekresi kemokin dan menginduksi kemotaksis dan
pengerahan leukosit, merangsang fagosit mononuklear. 24
TNF-α adalah sitokin proinflamasi yang berperan penting dalam respon baik
akut maupun kronis pada infeksi virus, bakteri, dan parasit. Bioaktivitas TNF-α
terjadi melalui terikatnya TNF-α pada reseptor seluler spesifik TNF-R, TNF-R1
(p55) dan TNF-R2 (p75), yang berbeda berat molekul, lokasi, dan fungsinya.
TNF-R1 tersebar di banyak tempat, sementara TNF-R2 lebih terbatas
distribusinya, yaitu pada sel-sel asal hematopoietin. TNF-R1 memperantarai
kebanyakan respon seluler yang diinduksi TNF-α, termasuk aktivasi faktor
traskripsi seperti NF-κB dan apoptosis 25
TNF-α, IL1-β bekerja pada imunitas alami dan inflamasi. Sumber utama
kedua sitokin tersebut adalah fagosit mononuklear yang teraktivasi. Interleukin-1
diproduksi oleh fagosit mononuklear yang teraktivasi karena adanya induksi
produk bakterial seperti LPS dan oleh beberapa sitokin lainnya seperti TNF-α.
TNF-α tidak hanya diproduksi oleh makrofag , tetapi juga oleh neutrofil, sel epitel
seperti keratinosit dan sel endotel. 22,25
20
Universitas Sumatera Utara
Download