BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Manajemen Pengertian manajemen banyak dikemukakan oleh para ahli dengan berbagai definisi yang mempunyai ragam penekanan yang berbeda. Walaupun demikian, apabila kita menelaah definisi manajemen yang dikemukakan oleh para ahli tesebut ternyata tidak saling bertentangan satu dengan yang lainnya, bahkan dirasakan bahwa deflnisi - definisi tersebut saling berkaitan. Adapun definisi manajemen menurut Hasibuan (2007) adalah Ilmu dan seni yang mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Shemerhorn yang diterjemahkan oleh Purnama dan Dharma (2006) mengemukakan bahwa Perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengawasan dari sumber daya terutama sumber daya manusia untuk mencapai tujuan. Menurut dua definisi di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan-kegiatan dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi tersebut. 2.2 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia mengandung pengertian yang erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya manusia dalam perusahaan. Manusia sebagai salah satu faktor produksi perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari perusahaan, karena manusia sebagai penggerak aktivitas perusahaan, maka Manajemen sumber daya manusia lebih menitikberatkan kepada masalah kepegawaian Manajemen sumber daya manusia sangat penting bagi setiap perusahaan karena kelangsungan hidup setiap perusahaan tergantung kepada karyawan yang 12 bekerja pada perusahaan tersebut. Kegiatan yang dilakukan perusahaan tidak akan berjalan baik tanpa adanya manajemen sumber daya manusia yang efektif dan efisien. Perusahaan akan berusaha menjamin suatu kerja sama yang efektif dan efisien di antara para karyawannya dari pihak perusahaan, agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Tujuan pokok manajemen sumber daya manusia adalah mewujudkan pendayagunaan secara optimal sumber daya manusia di dalam suatu organisasi, sedangkan ruang lingkup manajemen sumber daya manusia adalah meliputi pengadaan, pengembangan dan pemeliharaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Menurut Mangkunegara,(2007) MSDM adalah suatu pengelolaan dengan pendayagunaan sumber daya yang ada pada individu (pegawai) Adapun Wahyudi (2002:9), menyatakan Manajemen sumber daya manusia sebagai berikut : ―Sumber Daya Manusia adalah mencangkup energi, keterampilan, bakat dan pengetahuan manusia yang dipergunakan untuk tujuan produksi dan jasa yang bermanfaat‖. Sedangkan Menurut Rivai (2008:1) MSDM adalah: ―Manajemen sumber daya manusia adalah salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian‖. Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Manajemen sumber daya manusia adalah suatu bidang manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang mengatur hubungan ketenagakerjaan agar efektif dan efisien. 2.2.2 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Di dalam manajemen sumber daya manusia atau yang disebut manajemen personalia terdapat fungsi-fungsi operasional. Menurut Hasibuan (2007:21) 13 mengelompokkan fungsi - fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi dua bagian besar, yaitu fungsi manajerial dan fungsi operatif yang mana pengelompokannya sebagai berikut: 1. Fungsi Manajerial a. Perencanaan (Planning) Perencanaan ( human resources planning ) adalah merencanakan tenaga kerja secara efektif dan efisien agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam membantu terwujudnya tujuan. Perencanaan dilakukan dengan menetapkan program kepegawaian, pengendalian, pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, kedisplinan, dan pemberentian karyawan program kepegawaian yang baik akan membantu tercapainya tujuan perusahaan, karywan dan masyarakat. b. Pengorganisasian (Organizing) Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasikan semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, mendelegasi wewenang, integrasi dan koordinasi dalam bagan organisasi (organization chart).Organisasi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan organisasi yang baik akan membantu terwujudnya tujuan secara efektif. c. Pengarahan (Directing) Pengarahan (directing) adalah kegiatan mengarahkan semua karyawan agar mau bekerja sama dan bekerja secara efektif dan efisien dalam membantu tercapainya tujuan perusahaan, keryawan, dan masyarakat. Pengarahan dilakukan pemimpin dengan menugaskan bawahan agar mengerjakan tugasnya dengan baik. d. Pengendalian (controlling) Pengendalian (controlling) adalah kegiatan mengendalikan semua karyawan, agar mentaati peraturan-peraturan perusahaan dan bekerja sesuai dengan rencana. Apabila terdapat kesalahan atau penyimpangan dilakukan tindakan perbaikan dan penyempurnaan rencana. Pengendalian karyawan meliputi 14 kehadiran, kedisiplinan, perilaku, kerjasama, pelaksanaan pekerjaan, dan menjaga situasi lingkungan pekerjaan. 2. Fungsi Operasional a. Pengadaan Pengadaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi, penempatan orientasi dan induksi untuk menciptakan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pengadaan yang baik akan membantu terwujudnya tujuan. b. Pengembangan (Development) Pengembangan (development) adalah proses meningkatkan keterampilan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan pekerja masa kini maupun masa depan. c. Kompensasi (Compensation) Kompensasi (compensation) adalah pemberian balas jasa langsung (direct)dan tidak langsung (indirect) uang atau barang kepada karyawan sebagai imbalan jasa yang diberikan kepada perusahaan. Prinsip kompenasasi adalah adil dan layak. Adil diartikan sesuai dengan prestasi kerjanya, layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan primernya serta berpedoman pada batas upah minimum pemerintah berdasarkan internal dan eksternal konsistensi. d. pengintegrasian (Integration) Pengintegrasian (integration) adalah kegiatan untuk mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan. Perusahaan memperoleh laba, karyawan dapat memenuhi kebutuhan dari hasil pekerjaannya. Pengintegrasian merupakan hal yang penting dan sulit dalam manajemen sumber day manusia, karena mempersatukan dan kepentingan yang bertolak belakang. e. Pemeliharaan (Maintanance) 15 Pemeliharaan (maintenance) adalah kegiatan untuk memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas karyawan, agar mereka tetap mau bekerja sama sampai pensiun. Pemeliharaan yang baik akan dilakukan dengan program kesejahteraan yang berdasarkan kebutuhan sebagian besar karyawan serta berpedoman kepada internal dan eksternal kon konsistensi. f. Pemberhentian (Separation) Pemberhentian (separation) adalah putusnya hubungan seorang dari suatu perusahaan. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan perusahaan, kontrak kerja berakhir, pension dan sebab-sebab lainnya. Dengan adanya fungsi-fungsi tersebut peranan manajemen sumber daya manusia baik yang bersifat manajerial maupun operasional sangat berguna dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan. 2.3 Kepuasan kerja 2.3.1 Pengertian Kepuasan kerja Manusia dalam hidup mempunyai kebutuhan mendasar yang tidak mungkin dapat dihilangkan, karena kebutuhan tersebut mendasari perilaku seseorang. Jika seseorang dalam bekerja merasa kebutuhannya sudah terpenuhi maka akan menimbulkan kepuasan kerja dalam diri mereka. Menurut Handoko (2000:193) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai: “Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka”. Sedangkan menurut Fred Luthans terjemahan V.A Yuwono, dkk (2006) menyatakan bahwa : “Evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang puas atau tidak puas dalam bekerja‖. Jadi berdasarkan definisi-definisi di atas dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa kepuasan kerja adalah sikap pribadi seseorang terhadap 16 pekerjaannya yang timbul dari lingkungan kerjanya berdasarkan persepsi terhadap pekerjaannya seperti merasa senang atau n . Hal ini dapat terlihat nyata dalam kesesuaian anatara harapan seseorang terhadap pekerjaannya dengan apa yang didapatkan dari pekerjaan itu sendiri. 2.3.2 Teori-teori kepuasan kerja Menurut Mangkunegara (2001:1) mengemukakan teori kepuasan kerja sebagai berikut : 1. Discrepancy theory ( teori ketidaksesuaian) Menurut Edwin A locke, ketidakpuasan terhadap sejumlah aspek pekerjaan tergantung pada selisih antara apa yang di dapatkan dengan apa yang diinginkan atau diharapkan. Positive discrepancy terjadi apabila yang diperoleh ternyata lebih besar dari pada apa yang diinginkan walaupun terdapat ketidaksesuaian, tetapi menyebabkan orang menjadi puas lebih sedikit dari pada apa yang diharapkan. Semakin besar kekurangan yang dirasakan berarti semakin jauh kenyataan dan harapan. Semakin besar kekurangan yang dirasakan berarti semakin jauh kenyataan dan harapan, semakin besar pula ketidakpuasan kerja seseorang terhadap pekerjaannya. Oleh karena itu semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan karyawan, semakin tinggi pula tingkat kepuasan yang dirasakannya, dan sebaliknya jika semakin berkurangnya aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan karyawan , semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakannya. 2. Equity theory ( teori keadilan ) Teori ini dikembangkan oleh j. stacy Adam tahun 1963. Teori ini memperhatikan kepuasan kerja di pandang dari proses perbandingan social, yaitu seseorang akan merasakan puas atau tidak puas tergantung ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas terciptanya suatu situasi: 17 a. Input Sesuatu yang bernilai bagi seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya seperti upah, gaji, penghargaan dan kesempatan berprestasi. b. Outcomes Sesuatu yang bernilai bagi seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya seperti upah, gaji, penghargaan dan kesempatan untuk berprestasi. c. Comparison Person Adalah orang dijadikan bahan perbandingan dalam membanding rasio input-output yang dimilikinya. Comparison person ini dapat dilakukan dengan seseorang dari perusahaan lain atau dapat pula dengan dirinya sendiri pada pekerjaan sebelumnya di waktu lampau. d. Equity- inequaty Pada teori ini karyawan akan membandingkan rasio input-outcomes dari comparison person yaitu: Outcomes A = Outcomes B Input A = Input B Bila rasio outcomes-input karyawan tersebut sama atau sebanding dengan rasio dari comparison person, maka terdapat keadaan equity, tetapi sebaliknya jika karyawan mempersepsikan rasio tersebut tidak sama, keadaan inequity akan muncul dan akan timbul ketidakpuasan. Reaksi terhadap ketidakadilan dapat mengubah input pribadi menjadi usaha kerja, mengubah outcomes comparison person, memilih comparison person yang lain. 3. Social Reference Group theory ( teori pandangan kelompok) Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Kelompok acuan tersebut oleh pegawai dijadikan tolak ukur untuk 18 menila dirinya maupun lingkungan. Jadi pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjany sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan. 4. Need Fulfillment Theory ( Teori pemenuhan kebutuhan) Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhinya atau tidaknya kebutuhan seseorang. Seseorang akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Makin kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula seseorang tersebut. Begitu juga sebaliknya apabila kebutuhan seseorang tidak terpenuhi, seseorang akan merasa tidak puas. Abraham Maslow mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah sebagai berikut : a. Kebutuhan Fisiologis ( physiological Needs) Yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Yang termasuk ke dalam kebutuhan ini adalah kebutuhan makan, minum, perumahan,udara. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai yang paling dasar. b. Kebutuhan rasa aman ( Safety and Securitu Needs) Yaitu kebutuhan akan kebebasan dari ancaman, yakni merasa aman dari hal-hal yang dapat membahayakan jiwa dan fisik manusia dalam pekerjaan. c. Kebutuhan rasa memiliki ( Affiliation or Acceptance Needs) Yaitu kebutuhan social, teman, interaksi, dicintai, dan mencintai, serta di terima dalam pergaulan kelompok pekerja dan masyarakat lingkungannya. d. Kebutuhan akan harga diri ( Esteem or status Needs) Yaitu kebutuhan akan penghargaan diri dan pengakuan serta penghargaan prestise dari karyawan dan masyarakat lingkungan. e. Kebutuahan untuk mengaktualisasikan diri ( Self Actualization) Yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri dengan menggunakan kemampuan, ketrampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang 19 sangat memuaskan. Kebutuhan ini merupakan realisasi lengkap potensi seseorang secara penuh. Pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan pimpinan perusahan dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. 5. Two factor teory Teori ini dipelopori oleh Frederick Herzberg tahun 1996. Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Hezberg berpendapar bahwa situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu : Faktor pemeliharaan ( Maintenance factors), yaitu faktor-faktor yang dapat menimbulkan rasa tidak puas kepada seorang karyawan yang terdiri atas : a. Kebijakan perusahaan b. Supervise c. Hubungan antar pribadi d. Kondisi kerja e. Gaji Faktor motivasi ( Motivation factors), yaitu faktor-faktor yang dapat memuaskan dan mendorong manusia untuk bekerja dengan giat, yang terdiri atas : a. Keberhasilan pelaksanaan b. Pengakuan c. Pekerjaan itu sendiri d. Tanggung jawab e. Pengembangan potensi individu Selanjutnya Herzberg mengungkapkan bahwa faktor-faktor hygiene dapat memberikan kepuasan kerja, pemenuhan faktor-faktor hygiene dapat mencegah terjadinya ketidakpuasan. Faktor hygiene dapat digunakan sebagai alat untuk 20 meningkatkan kepuasan. Pada sisi lain kebutuhan-kebutuhan yang tergolong pada faktor motivator akan berpengaruh untuk meningkatkan kepuasan kerja. Artinya nilai faktor-faktor motivator terpenuhi dengan baik, karyawan akan memperoleh suatu kepuasan kerja. Bila faktor-faktor motivator tidak dapat terpenuhi dengan baik, makan akan terlihat adanya dua kelompok faktor yang terpisah, satu kelompok faktor dapat menyebabkan kepuasan kerja, kelompok faktor lainnya dapat meningkatkan kepuasan kerja tetapi apabila tidak dapat terpenuhi akan menurunkan kepuasan kerja dan tidak akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. 2.3.3 Faktor- faktor kepuasan kerja Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Secara umum tahap yang diamati adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan antar supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju. Karyawan memiliki dampak meningkatkan produktivitas kerja, Hal ini memberikan dampak yang menguntungkan perusahaan dan juga bagi karyawan. Kepuasn kerja dapat mempengaruhi hidup seseorang secara keseluruhan. Karena tingkat kepuasan kerja sifatnya relative, maka untuk mengukur kepuasan kerja tersebut penulis menggunakan Indikator-indikator kepuasan kerja menurut Fred Luthans terjemahan V.A Yuwono, dkk (2006:243) yaitu : 1. Pay (gaji) Gaji atau upah merupakan faktor yang penting dalam kepuasan kerja. Dan tidak hanya membantu oranf memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi juga uang merupakan alat pemenuhan yang lebih tinggi dari karyawan kadang memandang gaji atau upah atau juga pembayaran terhadap jasanya sebagai perwujudan bagaimana perusahaan memandang jasa-jasanya yang telah mereka sumbangkan bagi perusahaan. 2. The work it self ( Pekerjaan itu sendiri) 21 Setiap pekerjaan memerlukan keterampilan tertentu. Sulit tidaknya suatu pekerjaan dan bagaimana perasaan seseorang terhadap pekerjaannya tersebut akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerjanya yang akan berdampak pada unjuk kerja karyawan. 3. Promotion ( promosi jabatan) Pemeberian promosi merupakan salah satu alat pemberian imbalan (rewards) kepada karyawan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerjanya. 4. Supervision ( pengawasan) Pengawasan adalah sumber yang mempengaruhi kepuasan kerja. Keramahan dan kerjasama dari rekan-rekan sekerja adalah salah satu sumber kepuasan kerja karyawan. Kelompok kerja yang anggotanya satu sama lain ramah dan mau bekerja sama, dapat membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan. 5. Working condition ( kondisi bekerja) Kepuasan kerja dapata dipengaruhi juga oleh kondisi bekerja seperti keadaan sekitar yang nyaman dan bersih. Karyawan akan mudah mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaannya dalam suasana atau kondidi yang sangat mendukung. 2.4 Komitmen Organisasi 2.4.1 Pengertian komitmen Organisasi Porter (1998:27) yang di kutip Oleh Kuntjoro, (2002) mendefinisikan Komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi hal ini dapat ditandai dengan tiga hal yaitu: 1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi 2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi 3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan didalam organisasi. 22 Menurut Stephen P. Robbins & Timothy A Judge (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai: “Suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi‖. Sedangkan Komitmen organisasi didefinisikan oleh Fred Luthan (2005) sebagai : 1. keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; 2. keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan 3. keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan Jadi menurut berbagai kesimpulan diatas diambil suatu kesimpulan bahwa komitmen organisasi adalah mempertahankan keanggotaannya suatu keadaan dimana seorang karyawan dalam organisasi dengan bekerja sungguh- sungguh agar berhasil dalam organisasi tempatnya bekerja . 2.4.2 Karakteristik komitmen organisasi Komitmen organisasional, dari definisi-definisi yang telah di ungkapkan memiliki karakter-karakter yang khusus, yang salah satunya adalah rasa identifikasi terhadap organisasi. Identifikasi yang di maksud adalah kepercayaan terhadap organisasi dan nilai-nilai yang di anut oleh organisasi tersebut. Karakter yang lain adalah kesiapan dan kesediaan untuk memberikan usaha terbaik bagi organisasi ( keterlibatan). Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena 23 adanya keterlibatan pegawai menyebabkan mereka akan senang bekerja sama dengan pimpinan ataupun dengan sesame rekan kerja. Hasil riset menunjukan bahwa tingkat kehadiran mereka yang merasa memiliki rasa keterlibatan yang tinggi umumnya tinggi pula (Steers, 1985). Jadi tingkat kemangkiran individu tersebut lebih rendah daripada pegawai yang keterlibatannya rendah. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah dengan memancing partisipasi mereka kedalam berbagai kesempatan pengambilan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang telah diputuskan adalah keputusan bersama. Disamping itu, dengan melakukan hal tersebut maka pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian utuh organisasi, dan sebagai konsekuensinya mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan. Aspek lain dalam komitmen organisasional adalah loyalitas yang memiliki makna kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun (Kuntjoro,2002). Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi dimana mereka bekerja.hal ini bisa di upayakan bila pegawai merasakan adanya kepuasan di dalam organisasi tempat dia bergabung untuk bekerja. 2.4.3 Jenis komitmen organisasi Jenis komitmen organisasi yang dikutip dari artikel Kuntjoro ( 2002) adalah sebagai berikut : 1. Menurut mowday, porter, dan steers Komitmen organisasional dari mowday, porter, dan steers lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasional ini 24 mempunyai dua bagian yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku, yang termasuk kedalam sikap adalah : a. Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisai. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi . rasa kebanggaan menjadi bagian organisasi. b. Keterlibatan sesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hamper semua tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan padanya. c. Kehangatan, afeksi, dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Sedangkan yang termasuk kehendak untuk bertingkah laku adalah : a. Kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampak melalui kesediaan bekerja melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat maju. Pegawai dengan komitmen tinggi biasanya ikut memperhatikan nasib organisasi. b. Keinginan tetap berada di dalam organisasi. Pada pegawai yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alas an untuk keluar dari organisasi dan berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu lama. Maka, seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi, terlibat dengan sungguh-sungguh dalam pekerjaan dan ada loyalitas serta afeksi positif terhadap organisasi. Selain itu akan muncul juga 25 sikap untuk berusaha searah dengan tujuan organisasi dan berkeinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka waktu yang panjang. 2. Menurut Mayer dan Allen. Menurut Mayer dan Allen seperti yang di kutip oleh Kuntojoro (2000) membagi komitmen organisasional kedalam tiga komponen yaitu : a. Affective commitment (komitmen afektiv), adalah sutu komitmen yang berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi hingga keterlibatan anggota dengan kegiatan yang ada dalam organisasi. Dalam hal ini, individu tetap bertahan dalam organisasi karena keinginannya sendiri. b. Normative Commitment (komitmen normatf), adalah suatu kondisi yang menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada dalam organisasi.Dalam komitmen normatif, anggota merasa bertanggungjawab pada organisasi, anggota tetap tinggal dalam organisasi karena merasa wajib untuk tinggal dalam organisasi tersebut. c. Continuance commitment (komitmen kontinuan), berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi, dimana anggota menyadari bahwa ia akan mengalami kerugian seandainya meninggalkan organisasi. Dalam komitmen kontinuan ini, aggota memikirkan mengenai apa yang harus dikorbankan seandainya ia meninggalkan organisasi. Dalam hal ini anggota memutuskan untuk menetap dalam suatu organisasi karena menganggapnya sebagai kebutuhan. 2.5 kesiapan individu untuk berubah 2.5.1 Definisi kesiapan individu untuk berubah Mencapai keberhasilan dalam melakukan perubahan, organisasi harus senantiasa berada dalam keadaan yang siap untuk berubah. Namun kesiapan organisasi untuk berubah juga perlu di dukung oleh karyawan yang terbuka, 26 mempersiapkan diri dengan baik, dan siap untuk berubah (Eby,et,all 2002). Banyak peneliti menemukan bahwa kesiapan untuk berubah merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan usaha untuk melakukan perubahan ( Berneth dalam Madsen et,al 2005) Adapun pengertian kesiapan individu untuk berubah mrnurut Holt, Armenakis, Field , & Harris (2007) mendefinisi kesiapan individu untuk berubah adalah Sikap komprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh isi (apa yang berubah), proses (bagaimana perubahan di implementasikan), konteks (dimana lingkungan perubahan bisa terjadi), dan individu ( karakteristik individu yang di minta untuk berubah ) yang terlibat di dalam suatu perubahan‖. Sedangkan menurut (Madsen,2005) Kesiapan untuk berubah diartikan sebagai sekumpulan pemikiran dan kemauan individu untuk menghadapi perubahan tertentu Menurut Simpson (2002) kesiapan individu untuk berubah dipengaruhi oleh sejauh mana pengetahuan dan teknologi baru bisa di adopsi oleh warga organisasi.Kesiapan merefleksikan keyakinan, sikap, dan intense anggota-anggota organisasi bergantung pada sejauh mana perubahan diperlukan dan kapasitas organisasi untuk melaksanakan perubahan tersebut dengan sukses, kesiapan merupakan tanda kognitif bagi seseorang untuk memilih antara tingkah laku menahan ( resistensi) dan mendunkung usaha perubahan. Untuk mengurangi resitensi anggota organisasi, maka perlu dibentuk kesiapan untuk berubah terlebih dahulu. Selanjutnya, Berneth ( dalam Madsen et al, 2005 ) menjelaskan bahwa kesiapan lebih dari sekedar memahami perubahan dan/ atau meyakini perubahan. Kesiapan merupakan kumpulan dari pikiran dan intense menuju usaha perubahan yang spesifik. Kesiapan untuk berubah akan meningkatkan potensi bagi efektifitas usaha perubahan (Armenakis et al,1993). Berdasarkan uraian diatas, peneliti mendefinisikan kesiapan individu untuk berubah sebagai suatu sikap yang dipengaruhi oleh berbagai hal seperti perubahan itu sendiri, lingkungan organisasi dan karakteristik individu yang terlibat di dalam suatu perubahan yang memperlihatkan kecenderungan individu 27 untuk menyetujui,menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini. 2.5.2 Faktor yang mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah Penelitian mengenai kesiapan individu untuk berubah menemukan bahwa pembuktian terhadap adanya kebutuhan untuk berubah, keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk melaksanakan perubahan dengan sukses (Cunningham et al., 2002) dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses perubahan ( Cunningham et al., 2002; Eby et al., 2000; Weber & Weber, 2001) memiliki kontribusi terhadap kesiapan individu untuk menghadapi perubahan organisasi. selain itu kesiapan individu untuk berubah diawali oleh adanya persepsi terhadap manfaat dari perubahan ( Prochaska, velicer, rossi, Goldstein, marcus, rakowski, fiore, Harlow, redding, rosenbloom, & rossi, 1994) adanya resiko untuk gagal dalam perubahaan ( Armenakis et al.,1993), dan adanya tuntutan dari luar organisasi untuk melakukan perubahan ( Pettigrew, 1987). Kepuasan kerja juga mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah. Karyawan yang merasa nyaman dalam pekerjaannya ( yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi) dan yang memiliki unjuk kerja yang tinggi akan cenderung untuk memiliki sikap positif terhadap perubahan (McNabb & sepic, 1995). Hanpacern, et al. (1998) juga menemukan adanya hubungan antara kesiapan untuk berubah dengan hubungan social tempat ia kerja, budaya organisasi, dan hubungan manajemen kepemimpinan. Studi yang dilakukan oleh Good, page, dan young; Goulet dan singh ( dalam Madsen et all., 2005); Tompson & Warner (1997); Yoon & Thye (2002) ; Zangaro (2001) menunjukan bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara komitmen organisasi, keterlibatan kerja, stress kerja dan kepuasan kerja dengan kesiapan individu untuk berubah. 2.5.3 Domain-Domain dari kesiapan individu untuk berubah 28 Domain-domain dari kesiapan individu untuk berubah ( Holt et al.,2007), Yaitu: 1. Appropriateness ( ketepatan untuk melakukan perubahan) Individu merasakan adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang prospektif, serta befokus pada manfaat dari perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, dan kongruensi tujuan perusahaan dengan tujuan perubahan. 2. Change efficacy ( rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah) Individu merasa bahwa ia memiliki kemampuan dan dapat menyelesaikan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan perubahan yang ada 3. Management support ( Dukungan manajemen ) Individu merasa bahwa pemimpin dan manajemen dalam organisasi memiliki komitmen dan mendukung pelasanaan perubahan yang ada. 4. Personel benefit ( manfaat bagi individu ) Individu merasa bahwa ia akan memperoleh manfaat dari pelaksanaan perubahan yang ada. 2.5.4 Pengukuran kesiapan individu untuk berubah Dalam mengukur kesiapan individu untuk berubah, peneliti perlu memperhatikan beberapa perspektif yang terkandung di dalam domaindomain kesiapan individu untuk berubah antara lain ( Holt et all., 2007): a. Proses perubahan: langkah-langkah yang dilakukan selama implementasi perubahan. Salah satu dimensi dari proses perubahan adalah sejauh mana partisipasi pegawai diperbolehkan b. Isi dari perubahan organisasi : inisiatif spesifik yang diperkenalkan ( dan karakteristiknya). Secara tipikal, isi dari perubahan organisasi terarah pada administrasi, prosedur, teknologi atau karakteristik struktural dari organisasi. 29 c. Konteks organisasi : kondisi dan lingkungan dimana para pegawai berfungsi dalam organisasi. d. Atribut Individual dari pegawai : beberapa pegawai lebih menghendaki adanya perubahan organisasi daripada pegawai yang lainnya. Pengukuran kesiapan individu untuk berubah dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Meskipun metode kualitatif memberikan informasi yang kaya dan spesifik ( Isabella dalam Holt et al., 2007), metode kuantitatif merupakan metode yang sesuai, memberikan keuntungan yang unik bagi manajer, konsultan dan pengembangan organisasi, dan peneliti dalam lingkungan atau suasana tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh efisiensi yang diperoleh dari pendistribusian instrumen kuantitatif yang memiliki daerah cakupan yang luas dalam periode waktu yang cukup singkat. Pond, Armenakis, dan Green serta fox, Elisson, dan keith ( dalam Armenakis et all., 1993) Membuktikan Kesiapan individu untuk berubah dapat digunakan dengan menggunakan metode kuesioner, wawancara, dan observasi. 2.6 Pengaruh kepuasan kerja dan Komitmen organisasi terhadap Kesiapan individu untuk berubah Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keefektifan organisasi adalah kesiapan individu untuk berubah. Organisasi yang memiliki anggota yang siap untuk berubah akan dapat melaksanakan perubahan dengan lebih efektif daripada organisasi dengan anggota yang tidak siap berubah. untuk itu, pemahaman mengenai kesiapan individu untuk berubah menjadi hal yang penting bagi organisasi ( Ciliana, 2008). Kesiapan individu untuk berubah dapat dipahami dengan mempelajari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah. 30 Studi-studi sebelumnya menunjukan bahwa pembuktian terhadap adanya kebutuhan untuk berubah. Keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk melaksanakan perubahan dengan sukses (Cunningham et al., 2002), Dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses perubahan ( Cunningham et al., 2002; Eby et al., 2000; Weber & Weber, 2001) memiliki kontribusi terhadap kesiapan individu untuk menghadapi perubahan organisasi. Selain itu ditemukan pula bahwa kesiapan individu untuk berubah diawali oleh adanya persepsi terhadap manfaat dari perubahan (Armenakis et al., 1993). Dan adanya tuntutan dari luar organisasi untuk melakukan perubahan ( Pettigrew, 1987). Namun, penelitian mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah belum begitu banyak dilakukan (Medsen et al., 2005) oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap kesiapan individu untuk berubah. 2.7 Pengaruh kepuasan kerja terhadap kesiapan individu untuk berubah Kepuasan kerja merupakan perasaan, sikap dan persepsi orang terhadap pekerjaannya, baik secara keseluruhan maupun dari aspek-aspek pekerjaannya, yang menghasilkan emosi yang menyenangkan bagi orang tersebut. Pada penelitian ini, kepuasan kerja seseorang terlihat dari lima aspek yaitu kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap rekan sekerja, supervision, promosi jabatan dan kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri. Penulis beranggapan bahwa individu yang puas dengan pekerjaannya akan siap berubah daripada karyawan yang tidak puas terhadap pekerjaannya. Hal ini disebabkan oleh adanya sikap dan perasaan yang positif terhadap perubahan. Yang di hasilkan dari sikap dan perasaan yang positif individu terhadap pekerjaannya. 31 Menurut McNabb dan Sepic (1995), kepuasan kerja dapat mempengaruhi kesiapan seseorang untuk berubah pegawai dan manager yang nyaman dengan pekerjaan mereka ( yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi) akan memiliki sikap yang positif terhadap perubahan. Sikap positif tersebut dapat meningkatkan kesiapan individu untuk berubah pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil study Holt et al. (2007) yang menunjukan adanya hubungan langsung yang positif antara kepuasan kerja dengan factor appropriateness dan change efficacy dari kesiapan individu untuk berubah. Hal ini berarti kepuasan kerja yang tinggi akan meningkatkan perasaan individu akan ketepatan untuk melakukan perubahan serta meningkatkan kepercayaan individu terhadap kemampuan diri untuk dapat menyelesaikan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan perubahan. 2.8 Pengaruh Komitmen organisasi terhadap kesiapan individu untuk berubah Komitmen organisasi merupakan sikap kerja seseorang yang merupakan hasil dari identifikasi diri dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi. Yang mempengaruhi keputusan pekerja untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Pada penelitian ini, komitmen seseorang terhadap organisasi dilihat dari 3 komponen yaitu afektif, berkesinambungan dan normatif, individu yang berkomitmen terhadap organisasi akan memiliki instensi untuk tetap tinggal dalam organisasi dan memiliki unjuk kerja ysng baik. Selain itu, individu dengan komitmen yang tinggi terhadap organisasi juga akan berdedikasi dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi (Porter, Steers, Mowday, & Boulian dalam Zingaro, 2001). Peneliti berpendapat bahwa perubahan merupakan salah satu proses yang dapat membawa organisasi untuk mencapai tujuannya. Individu yang memiliki komitmen terhadap organisasi akan memandang perubahan sebagai hal yang bermanfaat bagi organisasi. Selain itu individu yang memiliki 32 komitmen juga akan berpartisipasi secara aktif dalam perubahan agar organisasi dapat mencapai tujuannya. Oleh karena itu, individu yang memiliki komitmen terhadap organisasi akan lebih siap untuk berubah daripada individu yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. Study yang dilakukan oleh Eby et al. (2000) menunjukan bahwa ketika pegawai berpartisipasi dalam aktivitas perubahan ( demonstrasi yang mungkin muncul dari adanya komitmen organisasi), mereka lebih mungkin untuk memiliki tingkat kesiapan yang lebih tinggi. Peneliti-peneliti lain (Good, Page, &Young; Thye, 2002;Zangaro, 2001) juga menemukan adanya hubungan tidak langsung antara komitmen organisasi dengan kesiapan individu untuk berubah . Penemuan diperkuat oleh hasil study dari Madsen et al., (2005) yang menunjukan bahwa komitmen organisasi memiliki hubungan yang kuat dengan kesiapan individu untuk berubah. Selain itu Holt et al, ( 2007) juga menemukan bahwa komitmen afektif memiliki hubungan yang positif dengan faktor appropriateness dan change efficacy dari kesiapan individu untuk berubah. Hal ini berarti karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi akan dapat meningkatkan perasaan individu terhadap ketepatan untuk melakukan perubahan serta meningkatkan kepercayaan individu terhadap kemampuan diri untuk dapat menyelesaikan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan perubahan. 33