BAB II Tinjauan Pustaka_ G11uhi

advertisement
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan
pesisir
utara
Jakarta
merupakan daerah yang rentan terhadap
perubahan garis pantai. Pengaruh perubahan
tata guna lahan dan fenomena kenaikan
muka laut yang mengakibatkan perubahan
garis pantai. Akibat perubahan garis pantai
ini sering terjadi bencana di wilayah pesisir,
yang salah satunya adalah kejadian banjir
rob (pasang). Banjir rob (pasang) terjadi
pada
saat
kondisi
pasang
maksimum/tertinggi (High Water Level)
menggenangi daerah-daerah yang lebih
rendah dari muka laut rata-rata (mean sea
level). Limpasan air laut dengan bantuan
gaya gravitasi akan mengalir menuju
tempat-tempat rendah, kemudian akan
menggenangi daerah-daerah tersebut.
DKI Jakarta sebagai pusat kota dan
perekonomian di Indonesia yang memiliki
garis pantai sepanjang ± 32 km di pesisir
bagian utara serta 40 % daerah Jakarta
merupakan dataran rendah, maka wilayah
pantai ini jelas terkena dampak banjir rob
(pasang). Terjadinya pembangunan di setiap
titik wilayah Jakarta, seiring dengan laju
peningkatan kepadatan penduduk membuat
daratan menjadi padat bangunan. Kondisi
seperti ini yang menjadikan perubahan
wilayah yang basah menjadi daratan yang
kering dengan melakukan pembangunan
wilayah basah tanpa melihat dampak yang
akan terjadi. Wilayah- wilayah pesisir utara
Jakarta yang sering mengalami banjir rob
(pasang) meliputi wilayah Muara Baru,
Muara Angke, Pluit, Marunda, dan
Cilincing.
Pemilihan pesisir utara Jakarta sebagai
daerah yang dikaji dalam penelitian ini
karena hampir sepanjang musim baik musim
hujan maupun kemarau daerah ini selalu
mengalami banjir rob (pasang). Namun
banjir rob (pasang) di kawasan pesisir
Jakarta semakin diperparah dengan adanya
perubahan penggunaan lahan pada pesisir
pantai yang mengakibatkan perubahan garis
pantai. Alasan ini yang menjadi fokus
penelitian dalam menganalisis genangan
akibat banjir rob (pasang), serta pengaruh
kenaikan muka laut terhadap genangan
banjir rob (pasang) sebagai prediksi kejadian
tersebut.
Penelitian lain yang sudah dilakukan
oleh Indah (2009), dengan penelitian banjir
rob (pasang) menyatakan bahwa limpasan
permukaan yang berasal dari DAS yang
bermuara ke laut tidak mempengaruhi
kejadian banjir rob (pasang) tersebut. Hal ini
menjadi alasan untuk melakukan penelitian
dengan tema yang sama yaitu banjir rob
(pasang) dengan fokus perubahan garis
pantai antara tahun 2003 dan 2008 dan tidak
melakukan analisis pengaruh parameter dari
limpasan permukaan yang berasal dari DAS
(Daerah Aliran Sungai) maupun curah hujan.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi penggunaan lahan di
wilayah pesisir utara Jakarta dengan
menggunakan citra satelit SPOT dan
ALOS.
2. Menganalisis perubahan garis pantai,
serta hubungannya dengan penggunaan
lahan dan kejadian banjir rob (pasang).
3. Membuat prediksi area genangan banjir
rob (pasang) kemudian memetakan
genangannya.
1.3 Batasan Penelitian
Penelitian ini dititik beratkan pada
hubungan dari penggunaan lahan dan
perubahan garis pantai dengan kejadian
banjir rob (pasang) di wilayah pesisir utara
Jakarta, tanpa mengkaji penyebab kejadian
banjir rob (pasang) lainnya misalnya Land
Subsidence, curah hujan, serta DAS (Daerah
Aliran Sungai).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Daerah Kajian
2.1.1 Geografis Teluk Jakarta
Pesisir utara Jakarta merupakan
dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ±
7 meter di atas permukaan laut, terletak pada
posisi 5° 56' 15'' - 6° 55' 30'' LS dan 106° 43'
00'' – 106° 58' 30'' BT , dengan batas di
sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung
Pasir dan di sebelah Timur berbatasan
Tanjung Karawang. Luas perairan Teluk
Jakarta sekitar 514 km2 dan panjang garis
pantainya lebih kurang 80 km dimana 32 km
merupakan garis pantai Daerah Khusus
Ibukota DKI Jakarta (Setiapermana dan
Nontji, 1980).
Sistem perairan Teluk Jakarta
dipengaruhi oleh limpasan air 13 muara
sungai yang melewati wilayah kota Jakarta.
Ketiga belas sungai tersebut terdiri dari 3
sungai besar, yaitu Sungai Citarum, Sungai
Bekasi, dan Sungai Ciliwung serta 10 sungai
kecil, yaitu: Sungai Kamal, Sungai
1
Cengkareng Drain, Sungai Angke, Sungai
Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter,
Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai
Grogol, dan Sungai Pesanggrahan (Damar,
2003).
Teluk Jakarta merupakan perairan
dangkal yang pada umumnya memiliki
kedalaman
kurang
dari
30 meter
(Setiapermana dan Nontji, 1980). Dasar
perairan melandai ke arah utara menuju Laut
Jawa. Perairan Teluk Jakarta dapat dibagi
dalam tiga zona yaitu zona barat, timur, dan
tengah. Zona barat dipengaruhi oleh sungaisungai yang sebelum bermuara di perairan
teluk, melalui kota metropolitan Jakarta.
Zona tengah selain mendapat pengaruh dari
sungai-sungai tersebut juga dipengaruhi oleh
aktivitas beberapa buah pelabuhan, yaitu :
Pelabuhan Pelindo, Pelabuhan Sunda
Kelapa, Pelabuhan Cilincing, dan lain-lain.
Sementara itu, zona timur mendapat
pengaruh dari sungai Citarum dan beberapa
sungai kecil yang melalui daerah indrustri
dan pemukiman Bekasi.
2.1.2 Kondisi Iklim
Ketinggian dari permukaan laut
antara 0-20 meter, dari tempat tertentu ada
yang dibawah permukaan laut yang sebagian
besar terdiri dari rawa-rawa/empang air
payau. Wilayah Jakarta Utara merupakan
pantai beriklim panas, dengan suhu rata-rata
27oC, curah hujan setiap tahunnya rata-rata
142,54 mm dengan maksimal curah hujan
pada bulan September. Kondisi wilayah
yang merupakan daerah pantai dan tempat
bermuaranya 9 (sembilan) sungai dan 2
(dua) banjir kanal, menyebabkan wilayah ini
merupakan daerah rawan banjir, baik
kiriman maupun banjir karena air pasang
laut.
Sungai-sungai yang mengalir ke
Teluk Jakarta ini menyebabkan perairan
tersebut menjadi tempat pembuangan
cemaran-cemaran aktivitas manusia. Pada
perairan tersebut, musim mempengaruhi
kondisi perairan karena menentukan arah
dan kecepatan arus air laut. Perairan Teluk
Jakarta dipengaruhi oleh massa air Laut
Jawa, seperti pada musim barat (NovemberApril) massa air dari Laut Natuna
mempengaruhi massa air Teluk Jakarta
sedangkan pada musim timur (Mei-Oktober)
arus berasal dari Laut Jawa bagian Timur
(Pemprov DKI Jakarta, 2010).
Pada musim barat umumnya curah
hujan sangat tinggi, sehingga zat-zat
pencemar yang berasal dari daratan juga
meningkat akibat proses pencucian oleh air
hujan. Selain itu pada musim barat, juga
sering terjadi arus pasang akibat arah arus
yang dipengaruhi angin pada musim barat.
2.2 Kejadian Banjir ROB di Wilayah
Pesisir
Banjir rob (pasang) merupakan istilah
yang digunakan untuk mengatakan banjir
dari pasang air laut yang sering terjadi di
daerah Semarang. Fenomena alam yang
terjadi di banyak wilayah di Indonesia, yaitu
daerah-daerah pesisir atau pantai yang tidak
terlalu
jauh
dibelakangnya
terdapat
pegunungan. Selain Semarang wilayah DKI
Jakarta dengan pegunungan yang berada 40
km dari wilayah tersebut juga mengalami
kejadian banjir rob (pasang). Begitu pula di
beberapa kota lain seperti Medan, Brebes,
Tegal bahkan hingga ke Papua (Soehoed,
2004). Kejadian banjir rob (pasang) di
wilayah Jakarta dapat dilihat pada Gambar
1.
Gambar 1 Kejadian banjir rob (pasang) di
Penjaringan, Jakarta Utara
(www.Liputan6.com)
Pesisir Jakarta merupakan teluk yang
landai dengan lereng dasar laut rata-rata
1:300 sampai lebih kurang kedalamannya 5
meter yang baru tercapai jarak 1.500 meter
dari garis pantai. Kelandaian dari dasar laut
di wilayah pantai berangsur membentuk
daratan baru, sehingga garis pantai itu
senantiasa bergerak maju dari tahun ke tahun
sambil membentuk endapan-endapan yang
menghambat pencurahan air sungai ke laut.
Arus pasang merambat di daerah pantai yang
landai ini dan akan membuat genangan di
wilayah pantai. Akibat pengaruh tersebut
kejadian banjir rob (pasang) sering terjadi di
wilayah pesisir pantai. Pada Tabel 1,
disajikan daftar kejadian rob (pasang) di
Pesisir utara Jakarta.
2
Tabel 1. Data kejadian banjir rob (pasang) di Pesisir Jakarta
Kejadian Banjir ROB
Tanggal Kejadian
Lokasi Kejadian
(Hijriah)
9 Shaban 1428
Muara Baru
13 Dzulhijjah 1428
Muara Baru
5 Muharram 1428
Muara Baru
2 Dzulhijjah 1429
Muara Baru
16 Dzulhijjah 1429
Muara Baru
14 Muharram 1430
Marunda
Muara Baru
Penjaringan
17 Muharram 1430
14 Januari 2009
Kapuk Muara
Jalan Kapuk raya
Kaw. Pluit pelelangan
19 Jamada Aula 1430
14 Mei 2009
Muara Baru
3 Dzulkaidah 1430
22 Oktober 2009
Muara Baru
17 Dzulkaidah 1430
05 Nopember 2009
Marunda
16 Dzulhijjah 1430
04 Desember 2009
Jl. RE Martadinata
14 Safar 1431
30 Januari 2010
Jl.RE Martadinata
27 Rabiul awal 1431
13 Maret 2010
Muara Baru
4
Rajab
1431
16 Juni 2010
Jl.RE Martadinata
13 Rajab 1431
25 Juni 2010
Muara Baru
Sumber : www.liputan6.com
Tanggal Kejadian
(Masehi)
23 Agustus 2007
23 Desember 2007
04 Juni 2008
01 Desember 2008
15 Desember 2008
11 Januari 2009
Bila ditinjau kembali banjir-banjir
besar pada saat-saat bulan penuh, umumnya
pada saat air laut mengalami pasang tinggi
dan akan berlangsung genangan selama
berhari-hari sepanjang pantai. Tidak
mustahil bahwa hujan besar di pegunungan
dan wilayah Kota Jakarta serta pasang tinggi
terjadi pada saat bersamaan itulah yang
membuat efek banjir dengan sedimentasi di
wilayah muara sungai, maka tidak mustahil
pula kinerja arus pasang ini menimbulkan
arus balik pada sungai-sungai dan saluransaluran dengan akibat luapan-luapan di alur
bagian hulu (Soehoed, 2004). Kejadian
banjir rob (pasang) terjadi 2 kali dalam
setahun, yakni pada saat musim hujan dan
musim pancaroba pada saat musim barat
tiba.
2.3 Penyebab Terjadinya Banjir Rob
(Pasang)
Banjir rob (pasang) disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya yaitu :
a. Faktor-faktor alam, seperti iklim (angin,
durasi dan intensitas curah hujan yang
sangat tinggi), oseanografi (pasang surut
Tinggi Genangan
70-80 cm
50-80 cm
60 cm
10-20 cm
40 cm
20 cm
10-15 cm
30-40 cm
10-20 cm
10-20 cm
10-100 cm
60-80 cm
20-40 cm
5-10 cm
197 cm
40-50 cm
-
dan kenaikan permukaan air laut),
kondisi
geomorfologi
(dataran
rendah/perbukitan,
ketinggian,
dan
lereng, bentuk sungai), geologi dan
genangan. Ditambah kondisi hidrologi
(siklus, kaitan hulu-hilir, kecepatan
aliran).
b. Kegiatan manusia yang menyebabkan
terjadinya perubahan tata ruang yang
berdampak pada perubahan alam.
Aktivitas manusia yang sangat dinamis,
seperti pembabatan hutan mangrove
(bakau) untuk daerah hunian, konversi
lahan
pada
kawasan
lindung,
pemanfaatan
sungai/saluran
untuk
permukiman,
pemanfaatan
wilayah
retensi banjir, perilaku masyarakat, dan
sebagainya.
c. Degradasi lingkungan seperti hilangnya
tumbuhan penutup lahan pada catchment
area, pendangkalan sungai akibat
sedimentasi, penyempitan alur sungai,
dan sebagainya.
d. Jebolnya tanggul pembatas antara
daratan dan lautan seperti digambarkan
pada Gambar 2.
3
Gambar 2 Tanggul pembatas jebol akibat gelombang dan pasang surut
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Kerawanan Banjir Rob
(Pasang)
2.4.1 Penutupan Lahan
Penutupan lahan (land cover) adalah
perwujudan secara fisik (kenampakan
visual) dari vegetasi, benda alami dan unsurunsur budaya yang ada di permukaan bumi
tanpa mempermasalahkan kegiatan manusia
pada objek yang ada (Townshend dan
Verge, 1998). Di wilayah yang tingkat
perkembangannya sangat pesat dan labil,
penutupan lahan bersifat dinamis. Dinamika
tingkat perkembangan ini disebabkan oleh
faktor utamanya yaitu faktor manusia dan
faktor alam itu sendiri yang mudah berubah.
Perubahan yang berasal dari faktor manusia
antara lain dipicu oleh tingkat aksebilitas,
pesatnya laju pertumbuhan penduduk, jarak
lokasi
terhadap
pusat
kegiatan
(infrastruktur). Faktor dari alam seperti iklim
dan erosi sangat mempengaruhi perubahan
di lahan yang labil terutama di daerah pantai
atau sungai.
Beberapa pendekatan yang digunakan
dalam
penutupan
lahan
diantaranya
pendekatan fungsional yang berorientasi
pada kegiatan pertanian, kehutanan,
perkotaan, dan seterusnya serta pendekatan
morfologi yang menjelaskan penutupan
lahan dengan memakai beberapa istilah
seperti, lahan rumput, lahan hutan, lahan
sawah, areal dibangun, dan sebagainya (Lo,
1995).
Jakarta Utara atau lebih tepatnya
daerah pesisir utara Jakarta yang merupakan
daerah kajian penelitian, merupakan wilayah
yang tingkat perkembangannya sangat pesat
karena menjadi pusat ibukota DKI Jakarta.
Penggunaan tanah luas daratan di
Kotamadya Jakarta Utara 154,11 km2.
Dirinci berdasarkan penggunaan
47,58 % untuk perumahan, 15,78 % untuk
areal indrustri, 8,89 % digunakan sebagai
perkantoran dan pergudangan serta sisanya
merupakan lahan pertanian, lahan kosong
dan sebagainya. Sementara luas lahan
berdasarkan status kepemilikan dapat dirinci
sebagai berikut : status hak milik 13,28 %,
Hak Guna Bangunan (HGB) sekitar 29,04%,
lainnya masih berstatus Hak Pakai, Hak
Pengelolaan dan non sertifikat (Pemprov
DKI Jakarta, 2010). Jumlah penduduk :
1.182.749 jiwa, kepadatan penduduk : 8.475
jiwa/km2, pertumbuhan penduduk 0,46%,
terdiri dari : 6 kecamatan, 31 kelurahan, 409
RW, dan 4.746 RT.
2.4.2 Garis Pantai
Garis pantai (shoreline) adalah garis
yang dibentuk oleh perpotongan antara air
laut dengan daratan pantai. Garis pantai
selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu,
baik perubahan sementara akibat pasang
surut maupun perubahan yang permanen
dalam jangka waktu yang panjang akibat
abrasi dan akresi pantai atau keduanya
(Pratikto, 2004)
Penyebab perubahan garis pantai
dipengaruhi oleh faktor alami dan
manusiawi. Faktor alami terdiri dari
sedimentasi, abrasi, pemadatan sedimen
pantai dan kondisi geologi. King, 1974
menyebutkan bahwa secara umum ada tiga
hal yang berpengaruh terhadap faktor alami
pada perubahan fisik pantai, yaitu
gelombang, pasang surut, dan angin. Faktor
manusiawi meliputi penanggulangan pantai,
reklamasi (penggurugan pantai), penggalian
sedimen pantai, penimbunan pantai,
pembabatan hutan bakau pelindung pantai,
pembuatan kanal banjir, dan pembangunan
pelabuhan atau bangunan pantai lainnya.
4
Secara garis besar perubahan pantai
ada dua macam, yaitu perubahan maju dan
perubahan mundur. Garis pantai dikatakan
bergerak maju (akresi) apabila terjadi
pengendapan
substrat
pantai
akibat
penambahan material hasil endapan dari
sungai dan laut. Garis pantai dikatakan
mundur apabila terjadi proses pengikisan
atau penggerusan pantai (abrasi) karena
pengaruh dinamika gerak laut seperti
gelombang
dan
hempasan
ombak
(Pardjaman, 1977 in Hutomo et all).
Upaya penanggulangan erosi pantai
antara lain dengan dibangunnya tembok laut
sea wall atau pelindung tebing revetment,
krib tegak lurus pantai groin dan pemecah
gelombang sejajar pantai (Pratikto, 2004).
Namun demikian upaya untuk melindungi
erosi
pantai,
seperti
pembuatan
pembangunan pelindung pantai juga dapat
menimbulkan masalah erosi pantai baru
disekitarnya.
Perubahan-perubahan garis pantai
yang terjadi dapat diinterpretasikan dan
dipetakan dari citra satelit. Perubahan garis
pantai tersebut berupa penambahan dan
pengurangan areal tiap tahun yang dapat
dihitung dan dipantau dari rekaman satelit
yang berupa citra (Hermanto, 1986).
2.4.3 Pasang Surut
Pasang surut (Sarbidi, 2002) adalah
pergerakan permukaan air laut arah vertikal
yang disebabkan pengaruh gaya tarik bulan,
matahari dan benda angkasa terhadap bumi.
Gerakan permukaan air laut berperiodik
sesuai gaya tariknya, intensitas gaya tarik
akan berfluktuasi sesuai posisi bulan,
matahari dan bumi. Posisi bulan dan bumi
akan
mempengaruhi
besar
kecilnya
tunggang air. Tunggang air (tidal range)
yaitu perbedaan tinggi air antara pasang
maksimum (High Water) dan pasang
minimum (Low Water) disebut tunggang air
dengan tinggi air rata-rata mencapai dari
beberapa meter hingga puluhan meter.
Puncak
gelombang
disebut
pasang
maksimum dan lembah gelombang disebut
pasang minimum (Wibisono, 2005).
Pasang terutama disebabkan oleh
adanya gaya tarik menarik antara dua tenaga
yang terjadi di lautan, yang berasal dari gaya
sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran
bumi pada sumbunya dan gaya gravitasi
yang berskala dari bulan. Gaya sentrifugal
adalah suatu tenaga yang didesak ke arah
luar dari pusat bumi yang besarnya lebih
kurang sama dengan tenaga yang ditarik ke
permukaan bumi. Tidak sama halnya dengan
gaya tarik gravitasi bulan di mana gaya ini
terjadi tidak merata pada bagian-bagian
permukaan bumi. Gaya ini lebih kuat terjadi
pada daerah-daerah yang letaknya lebih
dekat dengan bulan, sehingga gaya yang
terbesar terdapat pada bagian bumi yang
terdekat dengan bulan dan gaya yang paling
lemah terdapat pada bagian yang letaknya
terjauh dari bulan. Gaya tarik gravitasi
menarik laut ke arah bulan dan matahari dan
menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang
surut gravitasional di laut. Lintang dari
tonjolan pasang surut ditentukan oleh
deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi
dan bidang orbital bulan dan matahari
(Hutabarat dan Evans,1988).
Periode pasang surut adalah waktu
antara puncak atau lembah gelombang ke
puncak atau lembah gelombang berikutnya.
Nilai periode pasang surut bervariasi antara
12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit.
Pasang purnama (spring tide) terjadi ketika
bumi, bulan dan matahari berada dalam
suatu garis lurus. Pada saat itu akan
dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi
dan pasang rendah yang sangat rendah.
Pasang purnama ini terjadi pada saat bulan
baru dan bulan purnama. Pasang perbani
(neap tide) terjadi ketika bumi, bulan, dan
matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada
saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang
rendah dan pasang rendah yang tinggi.
Pasang surut perbani ini terjadi pada saat
bulan ¼ dan ¾. Sistem pasang surut
purnama (spring tide) dan perbani (neap
tide) dijelaskan pada Gambar 3 (Karl,
2002).
5
Gambar 3 Sistem pasang surut (Karl, 2002)
Dilihat dari pola gerakan muka
lautnya, pasang surut di dapat dibagi
menjadi empat jenis yaitu pasang surut
harian tunggal (diurnal), harian ganda (semi
diurnal) dan dua jenis campuran (mixed
tides). Pada jenis harian tunggal terjadi satu
kali pasang dan satu kali surut dalam sehari,
saat spring dapat terjadi dua kali pasang
sehari. Pada jenis harian ganda terjadi dua
kali pasang sehari dengan tinggi pasang dan
surut yang relatif sama. Pada pasang surut
campuran terdapat dua jenis yaitu campuran
tunggal (mixed tide prevalling diurnal dan
campuran ganda (mixed tide prevalling semi
diurnal). Pasang surut campuran tunggal
terjadi satu atau dua kali pasang sehari
dengan interval yang berbeda, sedangkan
pada campuran ganda terjadi dua kali pasang
sehari dengan perbedaan tinggi dan interval
yang berbeda. Dalam sebulan, variasi harian
dari rentang pasang surut berubah secara
sistematis terhadap siklus bulan. Rentang
pasang surut juga bergantung pada bentuk
perairan dan konfigurasi lantai samudera.
Tabel 2 Komponen-komponen harmonik pasang surut utama
Nama
Periode
Jenis
FENOMENA
Komponen
(jam)
Gravitasi bulan dengan orbit lingkaran dan
M2
12,42
sejajar ekuator bumi
Gravitasi matahari dengan orbit lingkaran
Semi-Diurnal
S2
12,00
dan sejajar ekuator bumi
Perubahan jarak bulan ke bumi akibat
N2
12,66
lintasan yang berbentuk elips
K1
23,93
Deklinasi sistem bulan dan matahari
Diurnal
O1
25,28
Deklinasi Bulan
Sumber: Triadmojo, 2007
Pasang surut bersifat periodik, data
amplitudo dan beda fase dari komponen
pembangkit pasang surut dibutuhkan untuk
meramalkan pasang surut. Komponenkomponen utama pasang surut terdiri dari
komponen tengah dan harian. Namun
demikian, karena interaksinya dengan
bentuk morfologi pantai dan superposisi
antar gelombang pasang surut komponen
utama, terbentuk komponen-komponen
pasang surut yang baru (Pond dan Pickard,
1983).
2.4.4 Kenaikan Muka Laut
Kenaikan muka laut merupakan
fenomena naiknya muka air laut terhadap
6
rata-rata muka laut (titik acu benchmark di
darat) akibat pertambahan volume air laut.
Perubahan tinggi permukaan air laut dapat
dilihat sebagai suatu fenomena alam yang
terjadi secara periodik maupun menerus.
Perubahan secara periodik dapat dilihat dari
fenomena pasang surut air laut, sedangkan
kenaikan air laut yang menerus adalah
seperti yang teridentifikasi oleh pemanasan
global. Fenomena naiknya muka laut yang
direprsentasikan dengan SLR (sea level rise)
dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian
thermal (thermal expansion) sehingga
volume air laut bertambah. Selain itu,
mencairnya es di kutub dan gletser juga
memberikan kontribusi terhadap perubahan
kenaikan muka laut. Beberapa tahun terakhir
ini, perubahan sea level rise di estimasi dari
pengukuran dari stasiun pasang surut
(Nurmaulia, et all, 2006). Dampak yang
terjadi secara permanen antara lain
perubahan kondisi ekosistem pantai,
meningkatnya erosi, makin cepatnya
kerusakan yang terjadi bergantung pada
tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi
pantai.
Menurut IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change), memperkirakan
bahwa pada kurun waktu 100 tahun
terhitung mulai tahun 2000 permukaan air
laut akan meningkat setinggi 15-90 cm
dengan kepastian peningkatan setinggi 48
cm. Apabila perkiraan IPCC tentang
kenaikan muka laut terjadi, maka
diperkirakan Indonesia akan kehilangan
2.000 pulau. Hal ini pula yang akan
menyebabkan mundurnya garis pantai di
sebagian besar wilayah Indonesia (Mimura,
2000).
Indonesia yang merupakan negara
kepulauan dengan mayoritas populasinya
terbesar di sekitar wilayah pesisir. Dampak
negatif yang dapat dirasakan langsung dari
fenomena kenaikan muka laut diantaranya
erosi garis pantai, penggenangan wilayah
daratan, meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir, meningkatnya dampak
badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan
akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah
pesisir. Meskipun demikian sampai saat ini
karakteristik serta perilaku dari fenomena
naiknya muka laut di wilayah region
perairan Indonesia belum dipahami secara
baik dan komprehensif. Jadi, perilaku
kedudukan muka laut baik variasi temporal
maupun spasialnya di wilayah Indonesia
merupakan salah satu informasi penting
yang diperlukan untuk perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan suatu wilayah
secara berkelanjutan.
2.5 Citra Satelit Sumberdaya Alam
2.5.1 SPOT-5
Satelit SPOT-5 (Systeme Pour
I’Observation de la Terre-5) merupakan
kelanjutan dari program seri satelit remote
sensing (Prahasta, 2008). Satelit komersial
ini merupakan kerjasama antara Perancis,
Swedia, dan Belgia dibawah koordinasi
Centre National d’Etudes Spatial (CNES).
Satelit
pengamatan
bumi
SPOT-5
diluncurkan dari pusat luar angkasa The
Guiana, Kourou, Guyana, Perancis.
Satelit pengamatan SPOT-5 memiliki
banyak kelebihan dibandingkan satelit SPOT
pendahulunya. Kemampuan kualitas citra
yang lebih tinggi sehingga menjamin
keefektifan solusi penambahan harga citra
yaitu dengan peningkatan resolusi sebesar
2,5–5 meter untuk pankromatik serta 10
meter untuk multispektral, satelit SPOT-5
memberikan keseimbangan ideal antara
resolusi yang tinggi dan luas area cakupan.
Satelit SPOT-5 dilengkapi dengan
beberapa sensor, diantaranya sensor High
Resolution Geometric (HRG), sensor High
Resolution Streosopic (HRS) yang memiliki
kemampuan untuk produksi digital terrain
model (DEM), dan sensor vegetasi
(Prahasta, 2008).
Karakteristik dari citra satelit SPOT5, serta sensornya dijelaskan pada Tabel 3.
Pada penelitian ini digunakan sensor HRG
(High Resolution Geometric). Dua sensor
HRG merupakan instrumen yang berasal
dari HRVIR SPOT 4 yang mampu
menghasilkan data pada empat tingkat
resolusi yang sama. Sensor dengan resolusi
sebesar 2,5 meter yang menghasilkan konsep
sampling yang unik disebut Supermode.
Supermode
menggunakan
teknik
pemrosesan
yang
canggih
untuk
menghasilkan gambar 2,5 meter dari dua
gambar 5 meter dimana kedua gambar ini
diperoleh secara bersamaan. Satelit SPOT-5
disajikan pada Gambar 4.
7
Gambar 4 Satelit SPOT (CNES, 1999)
Pengolahan citra satelit SPOT pada
penelitian ini dengan sensor HRG, yaitu
hanya pada band 1 (hijau) , band 2 (merah),
dan band 3 (near infrared) karena ketiga
band tersebut memiliki resolusi yang sama
yaitu 10 meter.
2.5.2 ALOS
Satelit ALOS (Advanced Land
Observing Satellite) diluncukan oleh Japan
Aerospace Exploration Agency (JAXA),
memiliki lebar 3,5 meter, panjang 4,5 meter
dan tinggi 6,5 meter dengan Solar Battery
Paddle memiliki lebar 22 meter x 3 meter
yang merupakan satelit pengamatan bumi
terbesar yang pernah dibangun Jepang
(Restec, 2008). Alos merupakan satelit yang
diutamakan untuk pengamatan daratan,
observasi wilayah, pemantauan bencana
alam, dan survei sumber daya alam. Satelit
ALOS diprogramkan untuk meneruskan dan
meningkatkan fungsi satelit JERS-1
(Japanese Earth Resources Satellite-1) dan
satelit ADEOS (Advanced Earth Observing
Satellite).
ALOS mempunyai tiga instrumen
penginderaan jauh, yaitu Panchromatic
Remote-sensing Instrument for Stereo
Mapping (PRSIM) untuk pemetaan elevasi
digital yang memiliki resolusi spasial 2,5
meter, Advance Visible and Near Infrared
Radiometer type 2 (AVNIR-2) untuk
observasi penutupan lahan secara tepat yang
memiliki resolusi spasial 10 meter, dan
Phased Array type L-band Synthetic Apertur
Radar
(PALSAR)
untuk
observasi
permukaan bumi dan cuaca pada siang dan
malam hari yang terdiri dari high resolution
dan ScanSAR yang masing-masing memiliki
resolusi spasial 10 meter dan 100 meter
(JAXA, 2007).
Karakteristik citra ALOS, serta
sensornya dijelaskan pada Tabel 3. Pada
penelitian ini digunakan citra satelit ALOS
sensor AVNIR-2. AVNIR-2 adalah suatu
sensor yang dirancang untuk meneruskan
sensor VNIR/OPS pada satelit JERS-1
adalah satelit Jepang untuk pengamatan
daratan. AVNIR/ADEOS adalah sensor
optik dengan 4 kanal spectral, mempunyai
resolusi spasial 10 m untuk pengamatan
daratan dan zona-zona garis pantai. Sensor
AVNIR-2 merupakan peningkatan dari
sensor AVNIR/ADEOS. Satelit ALOS
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Satelit ALOS (JAXA, 2007)
Pengolahan citra satelit ALOS pada
sensor AVNIR-2 dari band 2, band 3, dan
band 4. Pada kedua citra, digunakan band
yang memiliki domain spektral sama yaitu
band hijau, band merah, band NIR. Nilai
spektral masing-masing band pada kedua
citra memiliki nilai yang hampir sama, yaitu
di dominasi oleh warna merah yang
dihasilkan dari pantulan vegatasi yang
mendominasi penutupan lahan daerah
penelitian.
8
Tabel 3 Karakteristik citra satelit SPOT-5 dan ALOS
Karakteristik
Tanggal
Peluncuran
SPOT-5
ALOS
03 Mei 2002
24 Januari 2006
Ukuran Scene
60 x 60 km
70 x 70 km
Orbit
Sun-Syncrronous
Sun-Syncrronous
Sub-Reccurent
Ketinggian
832 km diatas equator
691,65 km diatas equator
Inklinasi
98o
98,16 o
Periode Orbit
101 menit
2 hari
Sensor
HRG, HRS, dan Vegetation
PRSIM, AVNIR-2, PALSAR, dan
ScanSAR
Siklus Kembali
26 hari
46 hari
Sensor* HRG
: 0,50 – 0,59 µm
: 0,61 – 0,68 µm
: 0,78 – 0,89 µm
Domain Spektral
1. Hijau
2. Merah
3. NIR
Resolusi Spasial
1. Hijau
2. Merah
3. NIR
: 10 m
: 10 m
: 10 m
1.
2.
3.
4.
Sensor* AVNIR-2
Biru
: 0,42 – 0,50 µm
Hijau : 0,52 – 0,60 µm
Merah : 0, 61– 0,69 µm
NIR
: 0,76 – 0,89 µm
1.
2.
3.
4.
Biru
Hijau
Merah
NIR
: 10 m
: 10 m
: 10 m
: 10 m
Sumber : Prahasta, 2008 ; JAXA, 2007
Keterangan : * Sensor citra satelit yang digunakan dalam penelitian
2.6 Digital Elevation Models
Digital Elevation Model atau DEM
adalah model digital yang memberikan
informasi
bentuk
permukaan
bumi
(topografi) dalam bentuk data lainnya. Data
DEM ini merupakan data digital berformat
raster yang memiliki informasi koordinat
posisi (x,y) dan elevasi (z) pada setiap pixel
atau selnya. DEM terdiri dari 2 informasi,
yaitu : data ketinggian (topografi) dan data
posisi koordinat dari ketinggian tersebut di
permukaan bumi (Bambang dan Firsan,
2007). Data DEM dari permukaan bumi
merupakan informasi yang sangat penting
dalam membantu proses koreksi dan analisis
citra seperti koreksi citra karena pengaruh
ketinggian (orthorektrfikasi), pembuatan
kontur, tampilan citra 3D, analisis
manajemen bencana (penentuan daerah
rawan bencana banjir, longsor, dan tsunami),
penyusunan tata ruang, penurunan level
tanah (land subsidence) dan yang lainnya
(Trisakti, 2005). Pada penelitian ini data
DEM
dapat
digunakan
untuk
menggambarkan kondisi topografi wilayah
yang diteliti sebagai salah satu data
pendukung dalam analisa daerah kejadian
banjir rob (pasang).
Data DEM dapat dibuat berdasarkan
data titik tinggi (spot height) yang dapat
diperoleh dari hasil pengolahan foto udara,
citra satelit secara fotogrametri atau citra
RADAR melalui proses inferometri. Data
DEM juga dapat diperoleh dengan
melakukan pengolahan terhadap berbagai
peta topografi atau peta rupabumi. Secara
konvensional DEM juga dapat diperoleh
melalui
survei
lapangan
dengan
menggunakan berbagai alat survei yang
banyak digunakan untuk survei lokasi. Data
DEM yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data DEM hasil perekaman space
shuttle (NASA) yaitu GDEM 30 meter.
Pengolahan data DEM akan selalu
menghasilkan kesalahan (sink) dari proses
interpolasi yang akan berpengaruh terhadap
akurasi data. Hasil pengolahan dari data
DEM dengan proses-proses di atas tidak
sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi
dari kenampakan yang ada. Untuk
meningkatkan kualitas topografi tersebut
pada pekerjaan data DEM perlu di sesuaikan
dengan data survei, sehigga kenampakan
9
topografi wilayah yang direkam tersebut
dapat terwakili pada data DEM.
2.7 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis adalah
suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mendapatkan gambaran situasi ruang
muka bumi yang diperlukan untuk
menjawab atau menyelesaikan suatu
masalah yang terdapat dalam ruang muka
bumi yang bersangkutan. Rangkaian
kegiatan tersebut meliputi pengumpulan,
penataan, pengolahan, penganalisaan, dan
penyajian
data-data/fakta-fakta
yang
terdapat dalam ruang muka bumi tertentu.
Data/fakta yang terdapat dalam ruang muka
bumi tersebut sering juga disebut sebagai
data spasial, dan hasil analisisnya disebut
informasi geografis atau informasi spasial.
Jadi SIG didefinisikan sebagai suatu
rangkaian kegiatan pengumpulan, penataan,
pengolahan, dan penganalisaan data/fakta
spasial sehingga diperoleh informasi spasial
untuk menjawab suatu masalah dalam ruang
muka bumi tertentu. Untuk memperjelas
pengertian SIG, perlu ditambahkan bahwa
dalam pengertian yang lebih luas lagi harus
dimasukkan dalam definisi SIG selain
perangkat kelas dan perangkat lunak, juga
pemakai dan organisasinya, serta data yang
dipakai, sebab tanpa faktor tersebut SIG
tidak akan berjalan secara operasional.
III. METODOLOGI
3.1 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran
Atmosfer, Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
pada bulan Maret 2010 hingga bulan
November 2010 dengan pesisir utara Jakarta
sebagai daerah genangan banjir rob
(pasang). Tahapan dalam penelitian ini
adalah melakukan studi pustaka, perolehan
data citra satelit, pengolahan data lapang dan
data citra, serta analisis hasil pengolahan
data dalam bentuk laporan akhir penelitian.
Wilayah daerah penelitian ditunjukkan pada
Gambar 6.
Gambar 6 Lokasi penelitian
10
Download