15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Konsep dan Teori Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan sistem deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia pada waktu mendatang dengan didasarkan pada berbagai teori dan konsep ekonomi yang berkaitan satu sama lain. Teori dan konsep yang mendasari penelitian ini sangat terkait dengan variabel utang pemerintah dan variabel-variabel makroekonomi lainnya yang berkaitan satu dengan lainnya. Pemahaman terhadap berbagai konsep dan teori terkait dengan utang pemerintah merupakan hal yang penting karena menjadi dasar dalam penetapan masalah yang dibahas dalam penelitian. Selain itu, penggunaan konsep dan teori yang tepat juga sangat berperan dalam upaya memperoleh validitas dan reabilitas data yang tinggi dalam penelitian yang dilakukan. Adapun teori dan konsep ekonomi terkait dengan utang luar negeri yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada sub bab selanjutnya berikut ini. 2.1.1 Teori Siklus Bisnis Teori Siklus Bisnis menyatakan bahwa fluktuasi dalam perekonomian dapat terjadi akibat adanya guncangan pada salah satu variabel makroekonomi tertentu. Misalnya saja bila terjadi guncangan terhadap kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa, maka hal tersebut dapat mengubah tingkat output dan kesempatan kerja alamiah. Guncangan ini tidak diinginkan, namun tidak dapat 16 dihindari. Begitu guncangan terjadi, GDP, kesempatan kerja, dan variabelvariabel makroekonomi lain akan berfluktuasi. Guncangan yang terjadi pada suatu variabel makroekonomi tertentu berdampak pula pada terjadinya perubahan dalam defisit anggaran pemerintah. Hal tersebut terjadi secara otomatis untuk menanggapi perekonomian yang berfluktuasi. Sebagai ilustrasi, ketika perekonomian mengalami resesi, pendapatan akan turun, sehingga kemampuan seseorang untuk membayar pajak menjadi berkurang. Tingkat laba yang diperoleh juga menurun, sehingga perusahaan membayar lebih sedikit pajak pendapatan. Kondisi resesi ini juga berdampak pada semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang bergantung pada bantuan pemerintah, sehingga pengeluaran pemerintah juga mengalami peningkatan secara signifikan. 2.1.2 Model Early Warning System (EWS) Model Early Warning System (EWS) merupakan suatu model yang digunakan untuk mengantisipasi apakah dan kapan suatu negara dipengaruhi oleh krisis dan ketidakstabilan ekonomi. Model ini dibangun terkait dengan siklus perekonomian khususnya pada saat krisis keuangan yang terjadi seperti di Eropa (1992-1993), Turki (1994), Amerika Latin (1994-1995) dan Asia (1997-1998). EWS pada siklus perekonomian sangat penting bagi pemerintah serta sektor riil dalam kerangka perencanaan dan formulasi kebijakan serta pengambilan keputusan. Menurut Nasution (2007), pendekatan metode untuk model EWS dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1. Macroeconometric model dan time series analysis 17 2. Business cycle analysis Kedua pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, di antaranya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.1. Kelebihan Masing-Masing Model Early Warning System Macroeconometric Model &Time Series Business cycle analysis (Composite Model Leading & Coincident Indicators) Pembentukan model didasarkan pada teori Data tersedia lebih cepat (timeliness) ekonomi dan diestimasi berdasarkan dan high frequency (monthly basis). prinsip-prinsip ekonometrika Berdasarkan model dapat dilakukan Tidak ada hubungan fungsional simulasi dengan berbagai skenario antara leading dengan coincident index maupun reference series, sehingga tidak diperlukan proyeksi atau pengasumsian nilai variable bebas. Model dapat menjelaskan hubungan antar Leading index dapat memberikan variabel secara kuantitatif deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan perekonomian secara gregat baik level maupun laju pertumbuhannya. Dengan kata lain, metode ini dapat memberikn signal tentang kemungkinan terjadinya turningpoint dalam beberapa periode mendatang. Sumber : InterCafe (2007) 18 Tabel 2.2. Kekurangan Masing-Masing Model Early Warning System Macroeconometric Model &Time Series Business cycle analysis (Composite Model Leading & Coincident Indicators) Pembentukan model dengan frekuensi tinggi Komponen pembentuk indeks dipilih seringkali sulit karena keterbatasan data berdasarkan judgment, studi literatur serta statistical test. Sehingga, beberapa ahli mengatakan metode ini atheoritical. Untuk membuat proyeksi nilai-nilai variabel Tidak dapat digunakan untuk mebuat eksogen harus terlebih dahulu simulasi dengan berbagai skenario diprediksi/diasumsikan. Kesalahan dalam serta tidak dapat menunjukkan prediksi ini akan terbawa secara kumulatif variabel ekonomi dalam bentuk dalam proyeksi nilai variabel endogen. persamaan matematika. Sumber : InterCafe (2007) 2.1.3 Definisi Business Cycle Burns dan W. Mitchel dalam bukunya Business Cycle Analysis yang terbit tahun 1946 berpendapat bahwa business cycle terjadi pada orientasi pasar ekonomi dan terlibat sepanjang waktu, tapi tidak berakibat secara berkala dari ekspansi dan kontraksi dalam sebagian besar kegiatan ekonomi. Business cyle adalah suatu jenis fluktuasi ekonomi yang terjadi pada suatu kegiatan ekonomi agregat di suatu negara. Suatu siklus terdiri dari ekspansi yang terjadi pada waktu bersamaan dalam berbagai kegiatan ekonomi, demikian pula resesi dan kontraksi yang muncul ke dalam fase ekspansi pada siklus selanjutnya. Perubahan urutan ini terjadi secara berulang tetapi tidak pada waktu-waktu tertentu. Durasi dari suatu siklus bisnis bisa bervariasi, mulai lebih dari satu tahun hingga sepuluh atau dua belas tahun. Siklus bisnis ini tidak bisa dibagi ke dalam siklus-siklus dengan karakter serupa yang lebih pendek (Zhang dan Zhuang, 2002). 19 Menurut National Bureau of Economic Research (NBER), siklus bisnis mengacu pada kegiatan ekonomi secara agregat yang titik utamanya yaitu menyatukan pergerakan dari banyak variabel ekonomi atau proses pada banyak siklusnya tersebut. Beberapa ada yang menjadi lead dan ada yang menjadi lag. Mereka cenderung untuk selalu bergerak bersama sehingga tidak bisa dihilangkan menjadi single aggregate. 2.1.4 Tahapan Business Cycle Definisi klasik business cycle oleh NBER memiliki dua fase, yaitu ekspansi dan kontraksi. Berakhirnya ekspansi dan dimulainya kontraksi dalam titik puncak (peak) sebagai waktu yang menandai tingkat yang tertinggi (kulminasi) dari penurunan secara umum kegiatan perekonomian. Berakhirnya kontraksi dan dimulainya ekspansi dalam titik trough (lembah) sebagai waktu yang menandai tingkat tertinggi dari peningkatannya. Dalam siklus perekonomian, terdapat empat tahapan business cycle, yaitu : 1. Masa depresi (depression), yaitu suatu periode penurunan permintaan agregat yang cepat dan diiringi rendahnya tingkat output dan pengangguran yang tinggi secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah 2. Masa pemulihan (recovery), yaitu peningkatan permintaan agregat yang diiringi peningkatan output dan penurunan tingkat pengangguran 3. Masa kemakmuran (prosperity), yaitu permintaan agregat yang mencapai dan kemudian melewati taraf output yang terus menerus (PDB Potensial) pada saat puncak siklus telah dicapai, dimana tingkat pengangguran tenaga kerja penuh 20 dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingkat harga-harga umum (inflasi) 4. Masa resesi (recession), yaitu suatu masa dimana permintaan agregat menurun yang mengakibatkan penurunan kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tahap awal.Seiring dengan hal ini, maka akan muncul masa depresi. 2.1.5 Business Cycle Indicators Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Indikator ekonomi mempunyai dampak besar terhadap pasar, bagaimana mengetahui, menginterpretasi dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi. Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria, dimana ada tiga kategori timing indicator yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang dihasilkannya, yaitu coincident, leading, dan lagging. Variabel-variabel ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan perbedaan sistem dan kondisi ekonomi yang dianut suatu negara, respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di masing-masing negara, dan lain sebagainya. 21 Coincident, Leading dan Lagging Indicators yang dihasilkan dari pendekatan business cycle memiliki fungsi dan karakteristik masing-masing. Adapun penjelasan mengenai ketiga indikator tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Coincident Indicators Coincident Indicators memiliki ketepatan waktu dengan variabel reference yang menunjukkan business cycle-nya. Bila dilihat dari pergerakan siklusnya, Coincident Indicators bergerak seiring dengan variabel reference. Keduanya secara grafis bergerak bersamaan, bila siklus variabel reference berada di titik puncak, maka siklus dari Coincident Indicators berada di titik puncak pula, begitu juga sebaliknya. 2. Leading Indicators Time series yang dipilih cenderung bergerak lebih dulu dari variabel reference dan Leading Indicators-nya juga mencapai perputaran pergantian poin terlebih dahulu terhadap posisi business cycle (puncak dan lembah). Oleh karena itu, Leading Indicators ini cikal bakal dari early warning system. Series-nya lebih sensitif dan volatile daripada Coincident Indicators, serta banyak dari mereka yang memiliki trend yang sangat lemah. Leading Indicators jarang kehilangan banyak resesi tapi indikator tersebur memiliki lebih banyak fluktuasi daripada Coincident Indicators. 3. Lagging Indicators Lagging Indicators menguatkan pergerakan dari Coincident dan Leading Indicators. Indikator ini dapat memeratakan dari kedua indikator lainnya. Bila dilihat dari siklus pergerakannya, Lagging Indicators bergerak mengikuti variabel 22 reference. Oleh karena itu, Lagging Indicators kurang berpengaruh dalam pembagunan early warning system. Hal ini disebabkan karena pergerakan indikator ini hanya memprediksi dampak penyebaran akibat terjadinya suatu fenoma ekonomi yang menjadi fokus penelitian. Coincident, Leading dan Lagging Indicators merupakan instrumen yang penting dalam pembangunan suatu early warning system. Dalam upaya mendapatkan kemungkinan sinyal-sinyal yang benar dan lebih kuat dalam mengurangi kesalahan, maka perlu disusun suatu indeks gabungan. Composite Index lebih baik daripada Individual Index, karena dalam business cycle tidak ada pembuktian dari rantai tunggal dalam menjawab permasalahan yang terjadi , yaitu gejala-gejala resesi atau ekspansi. Dengan adanya Composite Index, maka kemampuan prediksi potensial dalam Leading Indicators akan semakin optimal. 2.1.6 Leading Economic Indicators dan Peramalan Aktivitas Ekonomi Penyusunan Leading Economic Indicators (LEI) pertama kali dirintis pada tahun 1920-an oleh Badan Statistik Amerika, yang dikenal dengan Bureau of Economic Research (NBER). Pada saat itu, ilmu ekonometrika masih belum berkembang, sehingga metode penyusunan LEI pun lebih bersifat analisis deskriptif. Selain itu, karena keterbatasan dalam penyusunannya, LEI hanya disajikan dalam bentuk tabel angka-angka statistik. Pada masa itu, terdapat LEI saja dan belum memiliki composite index. Pada perkembangan selanjutnya, LEI mengalami kemajuan yang begitu pesat dalam berbagai penelitian yang dilakukan. Indikator ini mulai dikaitkan dengan 23 berbagai teori ekonomi yang relevan untuk menyusun suatu EWS yang lebih akurat. Salah satu teori ekonomi yang kini mulai banyak dikaitkan dengan LEI untuk keperluan pembangunan EWS adalah teori siklus bisnis (business cycle). Pembentukan LEI dengan pendekatan siklus bisnis mulai banyak dikembangkan didasarkan atas perhatian pada shock yang banyak terjadi berasal dari faktor internal maupun eksternal. Shock tersebut menyebabkan terjadinya fluktuasi (volatilitas) dalam perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut akan mengakibatkan naik atau turunnya aktivitas perekonomian. Perilaku naik turunnya (rebounds dan declines, atau recoveries dan recessions) perekonomian seringkali berulang pada masa-masa sesudahnya dan membentuk suatu siklus. Karena sifatnya yang terus berulang, maka adanya deteksi dini atau peramalan siklus perekonomian menjadi sangat penting, baik bagi pemerintah mapupun dunia usaha dalam rangka perencanaan dan formulasi kebijakan di bidang ekonomi serta pengambilan keputusan bisnis. Dalam analisis business cycle, dikenal tiga indikator komposit, yaitu Leading, Coincident, dan Lagging Indicators. Selain ketiga indikator komposit tersebut, dalam analisis business cycle terdapat pula reference series yang merupakan variabel untuk menggambarkan kondisi perekonomian secara keseluruhan seperti Debt to GDP, PDB, inflasi, nilai tukar, saham, indeks produksi industri, dan sebagainya. Coincident Indicators merupakan variabel yang menggambarkan kondisi perekonomian saat ini dan bergerak seiring dengan reference series. Leading Indicators merupakan variabel yang menggambarkan keadaan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan dan bergerak mendahului coincident indicators 24 maupun reference series. Lagging Indicators adalah variabel yang mengikuti (lag) pergerakan Coincident maupun Leading Indicators. Dari ketiga indikator tersebut, Leading Indicators mendapatkan perhatian khusus karena fungsinya yang mampu memberikan deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan perekonomian secara keseluruhan. Sejak awal perkembangannya, analisis business cycle ini terutama penyusunan Leading Indicators sangat populer dalam mendeteksi siklus perekonomian. Penyusunan Leading Indicators memerlukan data dengan frekuensi yang tinggi, umumnya berupa data bulanan dengan frekuensi dan time series yang panjang. Oleh karena itu, penggunaannya masih sangat terbatas untuk penelitian yang dilakukan di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena ketersediaan data di negara berkembang pada umumnya masih belum terdokumentasi dengan baik. 2.2 Penelitian Terdahulu Terdapat begitu banyak penelitian yang dilakukan dari waktu ke waktu untuk memberikan penilaian terhadap suatu negara mengenai kemungkinan terjadinya krisis utang. Lembaga pemeringkat utang internasional menilai kemungkinan terjadinya krisis utang di suatu negara tertentu melalui kemampuannya dalam membayar kembali obligasi. Namun, dalam studi-studi selanjutnya, penilaian terhadap kemungkinan terjadinya krisis utang di suatu negara dapat dikaitkan dengan GDP per kapita, inflasi, utang eksternal, 25 pembangunan ekonomi dan sejarah negara tersebut (Cantor& Packer, 1996; Lee, 1993). Pada penelitian lebih lanjut, mulai dikembangkan early warning system (EWS) yang bertujuan untuk menghasilkan suatu sinyal yang dapat mendeteksi kesulitan pembayaran kembali utang suatu negara (debt repayment). Hampir semua literatur studi menyatakan bahwa EWS yang dibentuk pada suatu penelitian tertentu dapat digunakan untuk mendeteksi krisis utang pada suatu negara dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Waktu yang lebih panjang memang berdampak pada lebih sedikit kegagalan, karena semakin panjang waktu signaling, semakin panjang pula waktu untuk mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menghindari terjadinya krisis utang (Berg & Pattillo 1999; Kamin, 1999; Kumar et al., 2003). Bussière and Fratzscher (2002) menunjukkan metode penentuan panjang waktu yang optimal dalam sinyal peringatan dini. Dalam upaya untuk menaksir kecukupan dari suatu EWS, kemungkinan prakiraan biasanya ditransformasikan ke dalam peramalan dan dibandingkan denan indikator EWS yit. Untuk tujuan tersebut, pembuat keputusan harus menggunakan suatu cut-off atau probabilitas threshold λ yang konsisten dengan besarnya kehilangan fungsi yang terjadi. A.-M. Fuertes, E. Kalotychou (2007) berupaya menyusun suatu model EWS yang optimal dalam upaya mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis utang di negara-negara OECD dengan cara mengeksplorasi hubungan antara EWS dengan fungsi objektif pembuat keputusan. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan tersebut memiliki dua komponen utama. Pertama, adanya unsur preferensi 26 pembuat keputusan (dirumuskan dalam bentuk loss function dan risk-aversion parameter) yang digabungkan ke dalam pengujian optimal dari classifier dan penilaian dari peramalan sampel. Kedua, penelitian ini berupaya menginvestigasi kombinasi peramalan yang dilakukan. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah logit M dan logit R, K-Clustering, serta pendekatan ketiga menggunakan kombinasi keduanya (menginvestigasi tentang forecast combining). Pokok permasalahan pada fungsi objektif dan kombinasi peramalan masih kurang dibahas dalam berbagai literatur, sehingga penelitian ini lebih menekankan pada kedua hal tersebut. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi pembuat keputusan mempengaruhi pemilihan dari metodologi peramalan dan pengujian optimalnya. LOGIT-M menunjukkan non-parametric (clustering) dan judgmental (LOGIT-R) classifier dengan menghasilkan false alarms yang lebih sedikit. Lebih lanjut, ditemukan bahwa dua classifier menguasai LOGIT-M dalam kehilangan kegagalan yang lebih sedikit. Untuk keperluan pembentukan early warning system yang akurat, maka dalam penelitian ini dilakukan pemilihan variabel-variabel yang dianggap sesuai. Pemilihan variabel-variabel tersebut didasarkan pada pendekatan LOGIT-M dan K-clustering sehingga diperoleh sepuluh variabel terpilih. Adapun variabel yang terpilih tersebut adalah sebagai berikut. 1. volatilitas pertumbuhan ekspor dan rasio neraca perdagangan terhadap GDP (menjadi sinyal bagi aktivitas ekonomi eksternal); 27 2. rasio total utang luar negeri terhadap GDP, rasio official debt terhadap total debt, dan rasio kredit IMF terhadap ekspor (menjadi sinyal bagi aktivitas external credit exposure) 3. credit to private sector/GDP, pertumbuhan GDP, volatilitas pertumbuhan GDP, dan nilai tukar riil (menjadi sinyal untuk menggambarkan kondisi domestik) 4. trade/GDP (menjadi sinyal mata rantai perekonomian global) Goldstein, Kaminsky, dan Reinhart (2000) juga telah mengupayakan pembentukan suatu early warning system dengan pendekatan leading indicators. Adapun perbedaannya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tersebut dilakukan untuk membangun alat deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis nilai tukar. Dalam penelitian tersebut, telah ditetapkan beberapa leading indicator baku yang digunakan sebagai acuan utama dalam pembuatan model EWS sebagaimana terlihat pada Tabel 2.3. 28 Tabel 2.3 Leading Indicators Krisis Nilai Tukar dan Alasan Ekonomi Leading Indicators NERACA PERDAGANGAN Keseimbangan neraca perdagangan / Investasi lokal kotor -Ekspor -Impor Nilai tukar efektif riil Nilai tukar terhadap US Dollar Keseimbangan Neraca Perdagangan/ Pendapatan Regional Bruto NERACA KEUANGAN Simpanan di BIS/cadangan devisa Perbedaan tingkat suku bunga di dalam negeri dengan Amerika Kewajiban asing atau harta pihak asing di sektor perbankan Cadangan Devisa -M2/cadangan devisa -Aliran modal jangka pendek/GDP -Hutang luar negeri jangka pendek/cadangan devisa SEKTOR KEUANGAN -Deposito/M2 -Kredit dalam negeri/GDP -Perbedaan tingkat suku bunga deposito -Pinjaman/deposito -M1/PDB -Pengganda M2 -Deposito di bank-bank komersial -Tingkat suku bunga domestik SEKTOR RIIL -Indeks Harga Konsumen -Indeks Pembangunan Industri Alasan Ekonomi Ekspor yang melemah dan pertumbuhan impor yang berlebihan dan nilai tukar yang terlampau kuat dapat memperburuk neraca perdagangan, dan dalam sejarah sangat berkaitan dengan terjadinya krisis keuangan dibanyak negara. Kelemahan eksternal dan nilai tukar yang terlampau kuat dapat juga menyebabkan kerawanan sektor perbankan seperti kehilangan daya kompetisi di pasar eksternal yang dapat menimbulkan krisis keuangan, kegagalan bisnis, dan penurunan kualitas pinjaman. Akhirnya, krisis perbankan dapat menyebabkan krisis keuangan. Dengan terjadinya globalisasi dan integrasi sektor keuangan, masalah neraca keuangan dapat membuat suatu negara menjadi mudah terkena guncangan. Perwujudan masalah neraca keuangan dapat berupa penurunan cadangan devisa, hutang luar negeri jangka pendek yang berlebihan, jatuh tempo pinjaman dan keridakseimbangan nilai tukar, pelarian modal ke luar negeri Krisis keuangan dan perbankan berkaitan erat dengan terjadinya pertumbuhan kredit yang sangat cepat terkait dengan kebijakan ekspansi moneter di banyak negara, sementara terjadinya penyusutan deposito perbankan, tingginya tingkat suku bunga dalam negeri, dan besarnya tingkat suku bunga deposito sering merupakan suatu gambaran terjadinya kesulitan dan masalah di sektor perbankan Terjadinya resesi dan kenaikan harga yang drastis sering mendahului terjadinya krisis perbankan dan krisis 29 -Indeks Harga Saham Gabungan SEKTOR FISKAL -Kredit BI kepada sektor pemerintahan -APBN terhadap PDB -Pengeluaran pemerintah/GDP -Kredit bersih ke sektor publik/GDP keuangan. Terjadinya defisit yang besar pada APBN, dapat memicu memburuknya posisi neraca keuangan yang akhirnya dapat menekan nilai tukar. EKONOMI GLOBAL Krisis ekonomi yang terjadi di luar -Harga minyak dunia negeri dapat menyebar pada -Nilai tukar riil antara US Dollar $ perekonomian dalam negeri. Tingginya dengan Yen Jepang harga minyak dunia merupakan suatu -Tigkat suku bunga federal pertanda bahaya bagi neraca keuangan -Pertumbuhan ekonomi Amerika dan dapat menyebabkan terjadinya krisis di dalam negeri. Tingginya tingkat suku bunga dunia sering menjadi penyebab terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Untuk beberapa negara Asia Timur, terjadinya penurunan nilai tukar Yen Jepang terhadap Dollar Amerika dapat menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terhadap Dollar Amerika juga tertekan. Sumber : Juzhong Zhuang. BIS= Bank International Settlement M2=Broad Mone GDI=Gross Domestic Investment M1=Narrow Money CPI=Consumer Price Index GDP=Gross Domestic Product Berbagai penelitian juga telah banyak dilakukan untuk menganalisis indikator-indikator variabel makroekonomi yang mungkin dapat menjadi sinyal kemungkinan terjadinya krisis finansial. Dalam berbagai penelitian tersebut, pengukuran kemungkinan terjadinya krisis finansial didasarkan pada analisis terhadap krisis nilai tukar, krisis perbankan, dan krisis utang. Adapun hasil dari penelitian tersebut disajikan pada dalam Tabel 2.4. 30 Tabel 2.4 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Indikator Interpretasi CC BC + + DC Referensi External Sector (Current Account) Nilai tukar riil Ukuran untuk perubahan daya saing internasional dan proksi untuk lebih dari (bawah) penilaian.Nilai tukar riil yang overvalued adalah diduga dapat memperbesar probabilitas terjadinya krisis financial. Pertumbuhan ekspor Indikator yang menunjukkan terjadinya kehilangan daya saing pada pasar dunia internasional market. pasar. Penurunan pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh terlalu tinggi mata uang domestik dan karenanya indicator ini menjadi proxy untuk terjadinya mata uang yang overvalue. Di sisi lain, jika pertumbuhan ekspor melambat karena alasan yang tidak terkait untuk nilai tukar, ini dapat menyebabkan tekanan devaluasi. Lemahnya sektor eksternal adalah bagian dari krisis mata uang. Besar pertumbuhan impor dapat mengakibatkan memburuknya transaksi berjalan sudah sering berhubungan dengan krisis mata uang Pertumbuhan Impor - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Kamin et al. (2001); Edison (2003); Dermirg¨uc¸Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) - + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Marchesi (2003) Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) 31 Terms of Trade Peningkatan dalam Terms of Trade (ToT) harus memperkuat posisi dari neraca pembayaran suatu negara dan karenanya menurunkan probabilitas krisis. Kemunduran dari ToT dapat mendahului terjadinya krisis mata uang. - - - Rasio Current Account terhadap GDP Kenaikan rasio ini umumnya dikaitkan dengan aliran modal masuk secara besar-besaran yang diintermediasi oleh sistem finansial domestik dan dapat memfasilitasi harga asset dan credit boom. Peningkatan surplus pada current diperkirakan akan menunjukkan kemampuan untuk mendevaluasi dan dengan demikian untuk menurunkan kemungkinan krisis. - - - + + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Kamin et al. (2001); Dermirg ¨uc¸-Kunt and Detragiache (2000); Lanoie and Lemarbre (1996) Berg and Pattillo (1999); Kamin et al. (2001); Eichengreen and Arteta (2000); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003) External Sector (Capital Account) Rasio M2 terhadap cadangan devisa Menangkap sejauh mana kewajiban sistem perbankan didukung oleh cadangan devisa. Dalam hal krisis mata uang, tiap individu mungkin terburu-buru untuk mengkonversi deposito mereka dari mata uang domestik ke mata uang asing, sehingga rasio ini menangkap kemampuan pusat bank untuk memenuhi tuntutan mereka. Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Kamin et al. (2001); Edison (2003); Dermirg¨uc¸Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) 32 Pertumbuhan Cadangan Devisa Penurunan cadangan devisa merupakan indikator yang handal sebuah mata uang di bawah tekanan devaluasi. Penurunan cadangan belum tentu diikuti oleh devaluasi, bank sentral mungkin bisa berhasil dalam mempertahankanpasak, menghabiskan jumlah besar cadangan dalam proses. Pada sisi lain, runtuh mata uang yang paling didahului oleh periode meningkatkan upayaupaya untuk mempertahankan nilai tukar, yang ditandai dengan penurunan cadangan devisa. Total nilai cadangan devisa juga digunakan sebagai indikator kesulitan keuangan negara berurusan dengan pembayaran kembali utang - Indikator-indikator ini merupakan ukuran likuiditas. Tingginya tingkat pertumbuhan ini mungkin menunjukkan kelebihan likuiditas yang mungkin menjadi alasan untuk melakukan serangan spekulatif terhadap mata uang sehingga mengarah ke krisis mata uang. + - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Marchesi (2003) Financial Sector Pertumbuhan M1 dan M2 M2 money multiplier Sebuah indikator yang terkait dengan liberalisasi finansial. Peningkatan yang besar pada money multiplier dapat dijelaskan oleh adanya penurunan besarnya persyaratan cadangan. + Kamin et al. (2001) Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) 33 Rasio utang domestik terhadap GDP Pertumbuhan kredit domestik yang sangat tinggi dapat berfungsi sebagai indikator kasar dari kerapuhan sistem perbankan. Rasio ini biasanya terbit di tahap awal krisis perbankan. Ini mungkin bahwa krisis terungkap, bank sentral dapat menyuntik uang ke bank untuk memperbaiki situasi keuangan mereka. + Excess real M1 Balance Kebijakan moneter yang longgar dapat menyebabkan krisis mata uang. + Tingkat bunga riil dalam negeri (domestik) Tingkat bunga riil dapat dianggap sebagai proksi dari liberalisasi keuangan di mana proses liberalisasi itu sendiri cenderung mengarah pada tingginya tingkat bunga riil domestik. Tingginya suku bunga menandakan bahwa likuiditas ditingkatkan untuk mengantisipasi terjadinya serangan spekulatif. Kenaikan indikator ini atas beberapa tingkat ambang mungkin mencerminkan penurunan risiko kredit + + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) Penurunan dalam hal kualitas kredit Bank domestik melakukan - Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) Lending and deposit rate spread Simpanan Bank Komersial tindakan pengambilan uang simpanannya secara bersamasama dan pelarian modal terjadi sebagai awal terjadinya krisis + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Dermirg¨uc¸Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) + Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003); Dermirg¨uc¸Kunt and Detragiache (2000) 34 Rasio Cadangan Bank terhadap Aset Bank Guncangan makroekonomi yang merugikan kemungkinan besar sedikit mengarah pada terjadinya krisis di negara dimana system perbankan nya bersifat likuid. - Dermirg¨uc¸-Kunt and Detragiache (1997) Defisit yang lebih tinggi diprediksi dapat meningkatkan probabilitas krisis, karena terjadinya defisit meningkatkan + Dermirg¨uc¸-Kunt and Detragiache (2000); Eichengreen and Arteta (2000) Domestic real and public sector Rasio Keseimbangan Fiskal Terhadap GDP kerentanan terhadap guncangan dan kepercayaan investor Rasio Utang Tingginya utang diprediksi dapat Publik meningkatkan kerentanan Terhadap GDP terhadap pembalikan dalam arus masuk modal dan maka untuk meningkatkan kemungkinan krisis. + Pertumbuhan Produksi Industri Resesi sering mendahului terjadinya krisis keuangan - Perubahan Dalam Harga Saham Ledakan harga aset yang gelembung sering mendahului krisis keuangan. - Tingkat Inflasi Tingkat inflasi mungkin terkait dengan tingkat bunga nominal yang tinggi dan mungkin menjadi sautu proksi terhadap terjadinya kesalahahan penanganan ekonomi sehingga berpengaruh negative terhadap ekonomi dan sistem perbankan + + + + Kamin et al., (2001); Lanoie and Lemarbre (1996); Eichengreen and Arteta (2000) Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) Kaminsky et al. (1998); Berg and Pattillo (1999); Edison (2003) Dermirg¨uc¸-Kunt and Detragiache (1997); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003) 35 GDP Per Kapita Negara berpendapatan tinggi kemungkinannya kecil untuk melakukan penjadwalan ulang utang mereka dibandingkan dengan negara-negara miskin karena biaya penjadwalan ulang akan cenderung lebih berat bagi ekonomi yang lebih maju. Kemerosotan kegiatan ekonomi domestik diprediksi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya krisis perbankan. Pertumbuhan Tabungan Nasional Tabungan nasional yang tinggi diprediksi dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya penjadwalan hutang - - Dermirg¨uc¸-Kunt and Detragiache (1997); Eichengreen and Arteta (2000); Lanoie and Lemarbre (1996); Marchesi (2003) - Lanoie and Lemarbre (1996) Global Economy Pertumbuhan Harga minyak yang tinggi terkait Harga Minyak dengan terjadinya resesi + Edison (2003) Dunia Tingkat Bunga Peningkatan suku bunga Amerika Internasional sering dikaitkan Serikat dengan terjadinya aliran modal keluar + + Pertumbuhan PDB OECD - - Pertumbuhan output yang lebih tinggi asing harus memperkuat ekspor dan dengan demikian mengurangi kemungkinan krisis. Edison (2003); Kamin et al. (2001); Eichengreen and Arteta (2000) Edison (2003); Kamin et al. (2001); Eichengreen and Arteta (2000) Catatan: CC, BC dan DC merupakan krisis mata uang, krisis perbankan, dan krisis utang, masingmasing. Positif (negatif) diharapkan tanda berarti bahwa nilai (rendah) yang tinggi indikator menyebabkan probabilitas yang lebih tinggi dari krisis. 36 Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan berbagai pendefinisian berbeda atas interpretasi kondisi krisis utang yang melanda suatu negara. Secara khusus, suatu negara dikategorikan sedang mengalami krisis utang bila negara tersebut melakukan perjanjan penjadwalan ulang pembayaran utang atau negosiasi (debt rescheduling agreement or negotiation). Ada beberapa penelitian yang menggunakan kombinasi dari beberapa definisi krisis utang, dan ada juga penelitian yang menggunakan suatu peristiwa atau pengukuran tertentu dari debt rescheduling yang dilakukan suatu negara. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Berg and Sachs (1988), Lee (1991), Balkan (1992), Lanoie and Lemarbre (1996), and Marchesi (2003), mendefinisikan krisis utang hanya menggunakan konsep debt rescheduling yang dilakukan suatu negara. Penggunaan konsep debt rescheduling ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi secara tepat kapan periode waktu suatu negara tertentu melakukan penjadwalan ulang atas pembayaran utang luar negerinya. Dengan menggunakan klasifikasi tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa Indonesia pernah mengalami krisis utang. Hal ini didasarkan pada terjadinya debt rescheduling yang dilakukan Indonesia pada periode waktu tertentu sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.5. 37 Tabel 2.5 Periode Waktu Pelaksanaan Debt Rescheduling Atas Pembayaran Utang Luar Negeri Indonesia Debt Rescheduling Periode Waktu Desember 1966 Oktober 1967 Oktober 1968 April 1970 Juni 1998 September 1998 April 2000 April 2002 Sumber : Marcheisie, 2003 Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi Kerangka kesepakatan untuk melakukan restrukturisasi atas utang swasta sebesar 80,23 miliar USD. Jatuh Tempo Utang dari 6Agustus 1998 hingga 31 Maret 2000 Pembayaran utang non-publik dan publik dijadwal ulang kembali pada tingkat pasar yang sesuai Pembayaran utang non-publik dan publik dijadwal ulang kembali pada tingkat pasar yang sesuai 38 2.3 Kerangka Pemikiran Berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia menimbulkan adanya kekhawatiran mengenai kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Fenomena-fenomena tersebut di antaranya adalah adanya kecenderungan Penelitian ini menekankan pada upaya pembentukan suatu sistem deteksi dini yang dapat mengukur kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia secara tepat. Dalam upaya pembentukan alat deteksi dini tersebut, digunakan pendekatan leading economic indicators (LEI). Pendekatan tersebut digunakan berdasarkan suatu pemikiran bahwa pada suatu perekonomian global, variabel-variabel ekonomi saling trekait satu sama lain. Dengan demikian, bila terjadi suatu shock (guncangan) pada salah satu variabel, maka hal tersebut akan berpengaruh pada variabel lain. Shock tersebut dapat berupa guncangan internal maupun eksternal.yang berdampak pada fluktuasi ekonomi. Adanya fluktuasi yang terjadi kemungkinan memiliki pola berulang sehingga dapat membentuk suatu siklus yang disebut dengan siklus bisnis (business cycle). Berdasarkan alur pemikiran seperti yang diuraikan sebelumnya, maka kerangka pemikiran dalam pelaksanaan penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. 39 Fenomena yang terjadi : •Kecenderungan peningkatan sumber pembiayaan eksternal (utang luar negeri) untuk menutupi defisit anggaran •Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor publik (pemerintah) • Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor swasta MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN TERJADINYA KRISIS UTANG DI INDONESIA PADA PERIODE WAKTU MENDATANG Pembangunan early warning system (EWS) dengan pendekatan business cycle analysis Teori Siklus Bisnis •trade/GDP •nilai tukar •tingkat inflasi •cadangan devisa •dan lain-lain Teori Ricardian Tentang Utang •Konsumsi Rumah Tangga Teori Keynesian •Tabungan Masyarakat •Tabungan Nasional Dapat dibentuk Coincident Debt Index, Leading Debt Index dan Lagging Debt Index Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran