Membangun Equilibrium Sektor Finansial dan Sektor Riil

advertisement
Membangun Equilibrium Sektor Finansial dan Sektor Riil
Oleh : Agustianto
Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan dan
keuangan syari’ah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di dunia internasional
maupun di Indonesia. Konsep perbankan dan keuangan Islam yang pada mulanya di
tahun 1970-an hanya merupakan diskusi teoritis, kini telah menjadi realitas faktual yang
mencengangkan banyak kalangan. Kini lembaga perbankan syari’ah telah merambah 75
negara, tidak saja di negara-negara muslim, tetapi juga negara-negara sekuler yang
minoritas muslim seperti Denmark, Luxemburg, Inggeris, Australia dan Amerika Serikat.
Di Indonesia, dalam empat tahun belangan ini, pertumbuhan perbankan syari’ah rata-rata
mencapai 60 % setahun. Hingga Kini, asset bank syari’ah telah mencapai lebih Rp 9
trilyun dengan jaringan pelayanan mencapai 340 kantor yang tersebar di seluruh
Indonesia. Angka ini belum termasuk puluhan gerai yang dimiliki oleh Bank Muamalat.
Sementara itu, lembaga keuangan asuransi syari’ah, juga mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang cukup pesat. Sejak tahun 2001, lahir beberapa lembaga asuransi
syari’ah, seperti Asuransi Al-Mubarakah, Great Eastern Syari’ah, MAA Life Insurance,
Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera, Asuransi Beringin Jaya Sejahtera, Asuransi
Tripitaka, Asuransi Tania, Asuransi Jasindo, Darmala Manulife, Nas Re, dsb. Dengan
demikian, Asuransi Takaful yang selama ini menjadi pemain tunggal, kini telah memiliki
banyak saudara dan mitra dalam pengembangan asuransi syari’ah di Indonesia.
Kemajuan di sektor keuangan, khususnya perbankan dan asuransi, juga diikuti obligasi
syariah. Setidaknya kini ada enam perusahaan yang menjual obligasi syari’ah. Sejauh ini
lebih dari lima jenis obligasi yang sudah diluncurkan, masing-masing PT Indosat, PT
Berlian Laju Tanker, PT Bank Bukopin, PT Bank Muamalat dan PT Bank Syari’ah
Mandiri
Selain itu, gerakan ekonomi syariah di Indonesia juga diramaikan oleh kehadiran
reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah, koperasi syari’ah dan pasar modal syari’ah.
Bersamaan dengan perkembangan lembaga keuangan formal dalam bentuk perbankan
dan asuransi syari’ah, secara informal juga berkembang cukup pesat lembaga-lembaga
keuangan mikro seperti Baitul Mal wal Tamwil yang jumlahnya sudah lebih dari tiga
ribu unit di seluruh Indonesia. Di antara BMT tersebut banyak yang maju cukup pesat
dengan asset puluhan milyard rupiah dan bahkan ada di antaranya yang bisa membeli
sebuah Bank Perkereditan Rakyat (BPR) yang kemudian dikonversi menjadi BPR S
yari’ah. Data-data tentang BMT dilampirkan pada akhir tulisan ini.
Dari data-data yang ada, terlihat pertumbuhan lembaga keuangan Islam di Indonesia, baik
yang berbentuk bank maupun lembaga non bank, sangat pesat. Data-data itu
menunjukkan perkembangan yang menggembirakan pada aspek kuantitatif kelembagaan
keuangan syari’ah
Kepincangan
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syari’ah di sektor keuangan, sebagaimana
terlihat pada data-data dan paparan paparan di atas memang mengembirakan, tapi sangat
disayangkan, pertumbuhan sektor keuangan yang demikian pesat dan cepat, tidak
seimbang dengan pertumbuhan di sektor riil syari’ah. Perkembangan sektor riil syari’ah
jauh tertinggal bila dibandingkan dengan sektor keuangan. Padahal kedua sektor
ekonomi tersebut harus berjalan dengan seimbang (equilibrium).
Fenomena ketidakseimbangan itu sektor keuangan dan sektor riil tersebut sangat rawan
menimbulkan kekacauan perekonomian. Jadi, pengembangan sektor keuangan harus
diseimbangkan dengan sektor riil. Membiarkan perkembangan sektor finansial bergerak
cepat tanpa diiringi pengembangan sektor riil secara equilibrium (seimbang), tidak saja
menjadi ancaman kerusakan ekonomi, tetapi juga melanggar prinsip ekonomi syari’ah
yang paling fundamental, yaitu keharusan mengkaitkan sektor moneter (finansial )
dengan sektor riil.
Bagaimana mungkin bank-bank syari’ah dapat membangun nilai syari’ah sepenuhnya,
bila sektor riel yang akan menerima pembiayaan bank syari’ah tersebut belum tumbuh.
Bagaimana mungkin pula asuransi syari’ah tumbuh membantu perlindungan secara
syari’ah sepenuhnya bila dana yang terhimpun sulit diinvestasikan ke sektor riil.
Demikian pula reksadana syari’ah, perusahaan sektor riil mana yang akan dipasarkan
dan dikelola sahamnya, bila sektor riilnya belum dibenahi. Pendek kata, sektor riil
syari’ah tercerabut dari kemajuan sektor finansial syari’ah. Padahal sektor riil sangat
mengharapkan dana dan modal dari sektor finansial, baik dari lembaga perbankan,
asuransi, maupun reksadana syari’ah.
Sementra itu, data-data menunjukkan bahwa, lembaga perbankan syari’ah yang biasa
dikenal dengan bank bagi hasil, ternyata dalam pembiyaannya masih dominan
menerapkan produk murabahah (jual-beli), yang cendrung bersifat konsumtif, karena
sasarannya pada umumnya digunakan untuk membiayai kenderaan dan rumah, bukan
usaha sektor riil syari’ah yang produktif.
Dengan demikian, fokus pembiayaan perbankan syari’ah di Indonesia masih pada produk
murabahah (dengan margin yang tetap) dengan porsi 72,21 persen. Sedangkan
pembiayaan produk bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) masing-masing 14,33
persen dan 2, 86 persen dari total pembiyaan yang diberikan.
Melihat masih dominannya produk murabahah yang cendrung bersifat konsumtif, bukan
produktif, maka perlu pengalihan pembiayaan dari murabahah ke mudharabah dan
musyarakah di sektor industri dan perdagangan.
Meskipun produk murabahah bisa digunakan untuk keperluan modal kerja, seperti
mesin pabrik, kenderaan perusahaan, namun sasaran pembiyaan murabahah masih
didominasi kebutuhan konsumtif masyarakat, bukan kebutuhan usaha yang produktif.
Di masa depan, produk – produk bank syari’ah mestinya secara terus-menerus
diarahkan kepada sektor produktif, seperti, home industri, agribisnis, hotel syari’ah,
rumah makan, pengusaha konveksi, sampai kepada bengkel syari’ah. Orientasi
pengembangan ekonomi ke sektor riil, telah dianjurkan oleh Bank Indonesia dalam blue
print pengembangan perbankan syari’ah.
Menghadapi kondisi sektor riil syari’ah yang belum tumbuh, maka ummat Islam
Indonesia (masyarakat ekonomi syari’ah) harus menggeser orientasi pengembangan
ekonomi Islam ke sektor riil syari’ah.
Prinsip Ekonomi Islam
Dalam ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter
dalam definisi ekonomi Islam adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di
pasar riil, sehingga jika menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik
perekonomian Islam adalah perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang
dianjurkan Islam, ”Allah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan
riba”.(QS.2:275). Ayat tersebut secara tegas membolehkan jual-beli atau perdagangan dan
mengharamkan riba. Jual beli atau perdagangan adalah kegiatan bisnis sektor riel.
Kegiatan bisnis sektor keuangan tanpa dikaitkan dengan sektor riil adalah aktivitas ribawi
yang dilarang dalam ekonomi Islam.
Oleh karena keharusan terkaitnya sektor moneter dan sektor riil, maka perbankan
syari’ah mengembangkan sistem bagi hasil, jual beli dan sewa. Dalam bagi hasil,
terdapat bisnis sektor riil yang dibiayai dengan pembagian keuntungan yang fluktuatif.
Demikian pula dalam jual beli, ada sektor riil yang mendasari kebolehan penambahan
(ziyadah) dalam harta.
Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian
menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga. Karena sesungguhnya, bagi
hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau rugi.
Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif. Islam
tidak mengenal konsep time value of money, Jadi penerapan sistem bagi hasil pada
hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena
memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam
perekonomian.
Ekonomi Islam bukan saja menjanjikan kestabilan “moneter” tetapi juga pembangunan
sektor riil yang lebih kokoh. Krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis multi
dimensi di Indonesia ini, tak dapat diobati dengan varibel yang menjadi sumber krisis
sebelumnya, yaitu sistem bunga dan utang, artinya tidak bisa dengan mengutak-atik suku
bunga tetapi harus oleh variabel yang jauh dari karakteristik itu, yaitu dengan sistem bagi
hasil dalam dunia perbankan dan lembaga finansial lainnya.
Fatwa MUI tentang pelarangan bunga, dalam perspektif ekonomi, adalah sebuah upaya
untuk mengobati krisis yang melanda Indonesia sejak 6 tahun terakhir, karena kalau
sistem bunga masih dipertahankan, seratusan trilyun uang rakyat yang berasal dari pajak
dan kenaikan harga BBM, listrik dan telephon, digunakan untuk kepentingan membayar
bunga yang disumbangkan untuk bank-bank raksasa dalam bentuk bunga obligasi,
bahkan dalam tiga tahun terakhir, lebih seratus trilyun disumbangkan untuk membayar
bunga SBI yang saat itu pernah mencapai 17 % setahun Padahal dana sebesar itu bisa
digunakan untuk pendidikan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan kebutuhan infra-struktur
seperti pembangunan jalan-jalan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Karena itulah diusulkan kepada pemerintah agar mendorong mekanisme bagi hasil
menjadi dominan dalam sektor keuangan Indonesia, melalui lembaga perbankan syari’ah,
asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah dan Baitul Mal wat Tamwil, agar sektor riel kembali
bangkit di Indonesia.
Reorientasi Pengembangan Ekonomi Islam
Ketidakseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil syari’ah di Indonesia saat ini,
harus diantisipasi dengan segera. Penekanan gerakan ekonomi Islam hanya berfokus pada
pengembangan aspek keuangan (finansial) saja, akan menimbulkan dampak buruk bagi
masa depan ekonomi Islam dan ekonomi Indonesia.
Sejarah dan fakta membuktikan betapa kedua ketimpangan kedua sektor ini (sektor
finansial dan sektor riel) berpotensi besar mengacau balaukan perekonomian. Dalam
konteks global, fenomena itu benar-benar mencemaskan banyak pihak, karena ia dapat
mengancam krisis eonomi di berbagai negara. Karena itulah perlu segera dilakukan
langkah-langkah menuju orientasi yang seimbang (equilibrium) sesuai dengan kehendak
syari’ah, agar perekonomian tidak kacau balau. Jika tidak segera dilakukan perubahan
orientasi, gerakan ekonomi Islam di Indonesia akan menghadapi masalah besar.
Fakta kerusakan ekonomi akibat kepincangan itu telah banyak dikritik dan diratapi oleh
para ilmuwan ekonomi kontemporer, baik ekonom Barat yang non Muslim maupun para
ekonom muslim.
Pakar manajemen barkaliber dunia, Peter Drucker, sebagaimana dikutip Didin
Damanhuri, menyebut gejala ketidakseimbangan antara sektor moneter dan sektor riel
sebagai decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter)
dengan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya
kegiatan bisnis spekulatif, sehingga dunia terjangkit penyakit yang bernama ekonomi
balon (bubble economy) . Disebut dengan balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi
ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Begitulah
keadaan ekonomi dunia saat ini.
Maraknya “kredit derivatif”, sebagai instrumen keuangan yang dominan pada saat ini,
merupakan pemicu kerusakan dan krisis ekonomi global. Menurut data Morgan Stanley,
nilai kredit derivatif pada tahun 1998 hanya Rp 500 Trilyun, namun pada Desember 2002
ditaksir sudah mencapai Rp 24.000 Trilyun, suatu kenaikan yang luar biasa, yakni
sebesar 47.000 persen atau 4700 kali lipat, hanya dalam empat tahun. Transaksi derivatif
ini umumnya tidak begitu difahami oleh umum (awam), bahkan investor sekalipun.
Transaksi ini hanya transaksi “maya” (semu) yang dikaitkan dengan aktiva keuangan.
Demikian pula transaksi “future trading” seperti forward, yang merupakan spekulasi
tentang kejadian di masa yang akan datang, juga sangat laris dipraktekkan dalam bisnis
modern.
Perekonomian dunia yang digelembungkan oleh transaksi maya tersebut dilakukan oleh
segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London ( 27 %), Tokyo, Hongkong
Singapura (25 %) dan Chicago-New York ( 17 %). Transaksi riba yang sangat dominan
itu, mencapai 99 persen dibanding transaksi riel yang dianjurkan Islam. Menurut data,
diperkirakan transaksi maya di pasar uang dunia mencapai US $ 750 trilyun setahun,
sedangkan kegiatan perdagangan dan jasa (sektor riil) hanya US $ 7,5 trilyun saja.
Dengan demikian pertumbuhan uang demikian cepat, tapi ia bagaikan gelembung
(bubble) saja. Seringkali gelembung ini pecah yang mengakibatkan krisis di mana-mana,
termasuk krisis Asia yang hingga kini masih terasa. Islam menolak keras segala macam
transaksi maya tersebut. Sebaliknya, Islam mendorong globalisasi dalam arti
mengembangkan sektor riil atau perdagangan nasional, regional maupun internasional.
Pengembangan sektor riil inilah hendaknya yang menjadi prioritas lembaga perbankan
dan asuransi syari’ah di Indonesia.
Saat ini bank dan lembaga keuangan sering kali menciptakan berbagai model transaksi
derivatif yang dikaitkan dengan fluktuasi ekonomi global, misalnya kenaikan bunga atau
resiko obligasi tidak dibayar yang dapat dijual kepada investor. Untuk resiko kredit tidak
dibayar disebut dengan credit swap. Transaksi ini dalam ekonomi syari’ah diharamkan.
Kini, dengan banyaknya kritik yang dialamatkan kepada praktek ini dan dampak
negatifnya, banyak ekonom Barat yang tersadar dan mengecamnya dengan keras.
Warren Buffet dan Rubin, mantan Secretary of Treasury AS berpendapat bahwa
transaksi ini dapat meruntuhkan sistem keuangan global.
Monetary Based Economy.
Kapitalisme modern saat ini dibangun dengan monetary based economy bukan real
based economy. Artinya ia banyak ( dominan) bermain di level transaksi maya daripada
bermain di sektor riil. Rente ekonomi diperoleh bukan melakukan kegiatan investasi
produktif tetapi dalam investasi spekulatif. Bahaya potensial berikutnya yang akan kita
hadapi seandainya masih terus mengamalkan spekulasi ini adalah runtuhnya sistem
keuangan. Tanda-tanda ini sudah mulai nyata sebagaimana diketahui dari angka-angka
tentang efek negatif monetery based economy yang berkembang saat ini.
Laporan Morgan Stanley yang dikutip David Ignatius, (Washington Post, 15 November
2002), menunjukkan bahwa pada tahun 2001 dan 2002, jumlah obligasi yang tidak
mampu dibayar (default) sebesar Rp 1. 650 Trilyun. Jumlah ini lebih besar dari jumlah
obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya. Dari sudut pinjaman atau kredit
bank dapat diketahui bahwa kualitas aktiva produktif (kredit) di Amerika, semakin lama
semakin menurun, khususnya sejak tahun 1995. Ini membuktikan pola kredit berbasis
bunga bisa membahayakan kelangsungan perbankan dan pada akhirnya mengancam
pertumbuhan sektor riil sebagai pilar pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya.
Dari berbagai informasi baik skala nasional dan juga skala internasional menunjukkan
betapa industri perbankan selalu menjadi momok dan bahkan menjadi penyebab krisis
ekonomi. Industri perbankan di Amerika sudah lama sakit. Jumlah bank mengalami
penurunan termasuk prestasi sahamnya di pasar bursa. Di beberapa negara lain seperti
Jepang, China dan Jerman industri ini semakin mengkhawatirkan.
Di Indonesia, dampak buruk kepincangan sektor keuangan dan sektor riil juga terlihat
pada masa orde baru yang sangat menekankan sektor keuangan. Terlihat pada awalnya
seakan-akan terjadi percepatan hebat gerakan ekonomi Indonesia dengan kemunculan
berbagai bank baru bagaikan cendawan di musim hujan dan membawa berkah peluang
terbukanya secara luas tenaga kerja baru. Tetapi kebijakan tersebut telah menggiring
bangsa ini kepada bencana krisis berkepanjangan sampai saat ini
Kita sudah merasakan krisis perbankan 1997 telah melahirkan krisis keuangan dan
ekonomi yang berkepanjangan. Krisis perbankan ditutupi dengan pembentukan BPPN
serta berbagai upaya merger, akuisisi dan lain sebagainya. Untuk menutupi kesalahan
sektor ini, paling tidak Rp. 800 triliun uang rakyat terpaksa disumbangkan
( disubsidikan ) kepada para konglomerat serta para pejabat (sebagai pengambil
keputusan ) untuk menutupi krisis perbankan ini.
Dalam konteks krisis ekonomi Indonesia, apa yang tersisa dari krisis yang terus mendera
negara kita ini? Paling tidak kita mencatat sejumlah permasalahan mendasar dari
perekonomian kita akibat akumulasi kezaliman ekonomi selama ini berupa : kemiskinan
struktural yang parah, angka pengangguran yang meledak, ketimpangan distribusi
pendapatan, ketimpangan pembangunan antar daerah, konsentrasi kepemilikikan aset
produktif di tangan konglomerat, beban utang luar negeri dan penjajahan ekonomi
nasional oleh kekuatan asing. Tidak mengherankan, karena sesungguhnya apa yang
dibanggakan oleh tim arsitek ekonomi Orde Baru dengan konsep tricle down effect-nya
dan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi –tingginya tak lebih dari sekedar
pencapaian bubble economy ( ekonomi gelembung sabun) yang semu.
Sektor Finaansial Mengikuti Sektor Riil
Dalam konsep ekonomi syari’ah, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang
dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi
syari’ah, jumlah uang yang beredar ditentukan dalam perekonomian sebagai variabel
endogen, yakni ditentukan oleh banyaknya permintaan akan uang di sektor riil. Atau
dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa
dalam perekonomian.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah
perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis. Di dalam ekonomi kapitalis
dengan jelas dipisahkan sektor finansial dengan sektor riil. Maka pengembangan
perbankan dan keuangan syariah saat ini jangan terjebak kepada paraktek kapitalisme
tersebut. Dengan demikian, apabila ummat Islam Indonesia hanya sibuk mengembangkan
sektor perbankan dan keuangan Islam, tanpa membenahi dan menyeimbangkannya
dengan pertumbuhan dan pembangunan sektor riil, maka berarti kita telah
memperaktekkan sistem kapitalisme, dan hal ini merupakan ancaman kehancuran
ekonomi Islam di masa depan.
Bila berpijak pada sejarah dan logika umum, maka tidak mustahil gerakan ekonomi Islam
bila tidak segera dilakukan perubahan orientasi akan menimbulkan dampak buruk bagi
perekonomian dan menimbulkan citra negatif bagi ekonomi syari’ah. Dalam kondisi
seperti itu, bukan tidak mungkin para pelaku dan tokoh ekonomi Islam akan
dipersalahkan oleh banyak pihak. Lebih celaka lagi kalau masyarakat pada akhirnya
kehilangan kepercayaan dan kita semua kehilangan kesempatan untuk membuktikan apa
yang selama ini kita yakini dan kita kembangkan dengan penuh antusias.
Kini belum terlambat untuk mengubah orientasi gerakan ekonomi Islam menuju
keseimbangan. Oleh karena itu, semua pihak, sesuai dengan peran masing-masing dapat
melakukan aksi berbagai kegiatan bisnis sektor riil. Kegiatan sektor riil yang bisa
dikembangkan cukup banyak antara lain, sektor agribisnis, mini market, konveksi,
pabrik segala kebutuhan ummat Islam, seperti pabrik susu, pabrik odol, sabun, shampo
dan ratusan jenis kebutuhan masyarakat lainnya. Dalam mengembangkan sektor riil ini,
diperlukan kordinasi yang baik dengan semua pihak yang terkait, seperti bank sentral,
masyarakat ekonomi syari’ah, bankir syari’ah, para akademisi, pengusaha dan ulama.
Para ahli ekonomi moneter kontemporer menyimpulkan bahwa yang menjadi pemicu
terjadinya krisis adalah deviasi dalam sektor keuangan yang memainkan aktivitas
spekulasi. Sektor keuangan dalam praktek ini terlepas dari sektor riil. Kekacauan di
sektor ini mengakibatkan kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan dan jasa).
Harga-harga barang dan jasa naik, bukan karena hukum permintaan dan penawaran
(supply and demand), tapi karena suku bunga perbankan naik, tarjadinya depresiasi
rupiah atau bahkan karena faktor psikologis seperti yang diakui oleh paa pedagang kecil
yang tidak tahu menahu mengapa harga barang naik, akhirnya juga harus ikut menaikkan
harga barang dagangannya bila tidak ingin merugi.
Yang paling berat agaknya adalah sektor properti. Karena suku bunga pinjaman naik,
banyak proyek properti yang terbengkalai. Terhenti di tengah jalan atau tidak lalu,
lantaran pengusaha dan konsumen tak mampu lagi meminjam uang ke bank dengan
beban bunga yang cukup tinggi. Akhirnya ratusan ribu buruh dan karyawan sektor
properti kehilangan pekerjaan. Ini jelas akan menambah penganguran.
Sementara itu, harga-harga kebutuhan pokok juga ikut merangkak naik Sektor otomotif
juga terpukul. Angka penjualan mobil juga terus menurun. Bila bulan Agustus 1997 di
awal krisis terjual 43.000 unit mobil dari berbagai merek, maka pada bulan September
hanya terjual 35.000 unit. Bulan-bulan berikutnya permintaaan terus semakin menurun.
Apalagi pengusaha otomotif dengan terpaksa harus menaikkan harga mobil sekitar 10 %,
suatu langkah yang sulit dihindari, karena ongkos produksi dan biaya penyediaan
komponen impor terus melonjak seiring meningkatnya nilai dollar.
Pengembangan Sektor Riil
Sebagaimana disebut pada pembahasan di awal bahwa sektor keuangan syari’ah
berkembang cepat meninggalkan sektor riil syari’ah. Kepincangan tersebut tidak boleh
dibiarkan berlangsung, karena akan dapat menimbulkan kekacauan dalam perekonomian.
Untuk mewujudkan keseimbangan pengembangan ekonomi Islam antara sektor keuangan
dan sektor riil, langkah-langkah berikut perlu dilakukan.
Pertama, pembiayaan (investasi) dapat dikembangkan oleh bank-bank syari’ah dan
lembaga keuangan syari’ah lainnya terhadap subsektor tanaman pangan dan hortikultura
(jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, bawang merah, kentang, sawi, tomat,
durian, jeruk, nenas, dan pisang) dan perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, dan
kakao) di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sedangka di di Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan dan Gorontalo investasi diarahkan untuk subsektor perikanan dan perkebunan
(kelapa, kopi, kakao, dan rempah-rempah). Selain itu, pembiayaan serupa juga dapat
dilakukan di Kalimantan Timur terhadap subsektor peternakan (sapi, kambing, kerbau,
unggas, serta hasil-hasil ternaknya), kehutanan (berbagai jenis kayu dan hasil olahannya)
serta perkebunan kelapa sawit dan ladanya yang sangat potensial.
Sejauh ini, penyaluran kredit terhadap beberapa sektor riil, terutama sektor agribisnis /
agroindustri, belum seimbang sehingga perlu diperbaiki melalui implementasi sistem
syariah. Sebagai contoh, nilai kredit pada sektor pertanian dalam persepsi
agribisnis/agroindustri tidak sebesar nilai kredit yang diberikan bank terhadap sektor
perindustrian, perdagangan, maupun jasa. Rata-rata kredit untuk sektor pertanian pada
periode 1996-2002 besarnya hanya 7,29 % dari total kredit yang diberikan oleh
perbankan atau sebesar Rp 24.202 miliar. Kondisi tersebut menjadi sangat dilematis,
mengingat sektor industri yang bahan bakunya sebagian besar diimpor merupakan sektor
dengan persentase jumlah kredit terbesar untuk seluruh sektor perekonomian, yaitu 34,05
%. Hal ini sangat kontradiktif dengan peranan agroindustri nasional pada ekspor dan
perolehan devisa yang selalu menunjukkan peningkatan yang positif, terutama dari
ekspor produk-produk minyak sawit dan turunannya, karet dan barang-barang karet, kayu
dan produk kayu, pulp dan kertas, ikan dan udang, teh, kopi, kakao, lada, pala, kulit dan
barang kulit serta beragam jenis bumbu dan rempah-rempah.
Kedua, mengingat UKM di sektor agribisnis/ agroindustri pada umumnya tidak
mempunyai sifat collateral, penyaluran kredit kepada UKM tersebut seyogianya
diberikan melalui kelompok usaha, yang di dalam implementasinya dibantu oleh
pendamping, sebagai pembina kelompok UKM sekaligus penghubung antara kelompok
dan lembaga keuangan syari’ah serta sebagai pengganti agunan (collateral substitute).
Ketiga, penetapan cabang lembaga keuangan syari’ah yang baru seyogianya dilakukan
dengan bantuan kalangan pakar agribisnis/agroindustri atau narasumber UKM dari
perguruan tinggi-perguruan tinggi, seperti USU, IAIN-SU, UISU, IPB, UGM, ITB dan
UI serta universitas-universitas lain di daerah yang memiliki kompetensi pada
pengembangan agribisnis/agroindustri dan UKM.
Keempat, mengigat bank syari’ah dan lembaga keuangan lainnya dihadapkan pada
kendala popularitas yang masih kurang di kalangan masyarakat, maka cukup penting
untuk ditingkatkan popularitasnya kepada para nasabah, melalui promosi, advokasi, dan
berbagai jalur sosialisasi di berbagai lembaga-lembaga pendidikan, bekerja sama dengan
perguruan tinggi-perguruan tinggi, ulama dan ormas Islam dimana bank syari’ah
beroperasi.
Kelima, strategi lain yang seyogianya dilakukan oleh lembaga keuangan syari’ah,
terutama perbankan syari’ah adalah melakukan patok duga (banchmarking) terhadap
keberhasilan perbankan syari’ah di Malaysia. Malaysia mulai mengimplementasikan
sistem perbankan syari’ah sejak tahun 1983 sebagai salah satu strategi pemerintah dalam
mendukung perkembangan perekonomian di negara yang berpenduduk mayoritas Islam
dan kaya dengan potensi agribisnis/agroindustrinya tersebut. Sepuluh tahun kemudian,
perbankan syari’ah Malaysia menetapkan dual banking system, yang menerapkan dua
jenis konsep, yaitu sistem bagi hasil (profit and loss sharing) dan teknik keuangan
berbasis perdagangan, sehingga pada akhir tahun 1999, bank syari’ah Malaysia telah
memperoleh aset sebesar RM 11,7 miliar atau setara dengan USD 3,1 miliar. Melalui
kegiatan patokduga tersebut, Bank Syari’ah memperoleh berbagai ide dan strategi baru
yang inovatif bagi peningkatan kinerjanya di masa depan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga keuangan dan perbankan
syari’ah, seyogianya dapat memberikan banyak manfaat dalam mendukung
pengembangan sektor sektor riil, terutama agribisnis/agroindustri dan UKM yang
fleksibel, lebih kompetitif, transparan, profesional, dan bersifat universal. Di pihak lain,
dengan adanya pengembangan dan perbaikan Iptek, sumber daya manusia dan pola
manajeman -yang didasari oleh kolaborasi pemanfaatan dan pengelolaan potensi
domestik secara profesional dengan sistem syariah pada sektor perbankan-, akan menjadi
suatu sistem yang tepat dalam menggerakkan dan memperbaiki sektor perekonomian di
Indonesia. Karena itu, penetapan agribisnis/agroindustri dan UKM sebagai dasar
pembangunan secara struktural serta sistem syari’ah sebagai sistem pandanaan yang
relavan, diharapkan tidak hanya akan dapat memacu perbaikan perekonomian, tetapi juga
mendukung kondisi sosial, politik, dan moralitas bangsa ke arah yang lebih
baik.
Penutup
Perkembangan ekonomi Islam dewasa ini didominasi oleh sektor keuangan, seperti
lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, reksadana syari’ah,
pegadaian syari’ah dan Baitul Mal wat Tamwil yang bergerak di bidang unit simpan
pinjam. Secara kuantitatf, perkembangan ekonomi Islam di sektor keuangan ini sangat
menggembirakan. Namun, sangat disayangkan, perkembangan ekonomi Islam di sektor
keuangan itu, belum seimbang dengan perkembangan ekonomi Islam di sektor riil.
Gerakan ekonomi Islam di sektor riil syari’ah yang berkembang di Indonesia masih elatif
kecil, antara lain Multi level Marketing Syari’ah (MLM) Ahadnet Internasional, MQ-Net
yang dikembangkan Abdullah Gymnastiar dan Hotel Sofyan Syari’ah. Selain itu, gerakan
ekonomi Islam yang tidak mengunakan label syari’ah, tetapi mengikuti prinsip-prinsip
syari’ah, juga masih sangat kecil, seperti Rumah Makan Wong Solo, Rumah Makan
Garuda dan berbagai perusahaan Muslim lainnya. Tegasnya, orientasi pengembangan
ekonomi Islam di Indonesia masih di dominasi sektor keuangan, terutama perbankan.
Oleh karena itu, di masa depan perlu dilakukan pergeseran orientasi yang tidak hanya
mengutamakan sektor keuangan, tetapi juga sektor riil, sehingga terjadi keseimbangan
(equilibrium) sebagaimana yang menjadi prinsip ekonomi Islam itu sendiri. Wallahu
A’lam
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretatation, Leiden, New York, Koln : EJ. Brill, 1996
Abu Saud, Mahmud, Money, Interest and Qiradh dalam Studies Islamic Economics,
editor Kursyid Ahmad, (Leiceiter): Islamic Foundation, 1980
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press,
Jakarta, 2001
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997
Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung, 2002
Amin Aziz, Muhammad, Data Pinbuk Pusat tahun 2002, Jakarta, 2003
Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia, Jakarta, 2002
Data Direktorat Bank Syari’ah Bank Indonesia, Harian Republika, 6
Januari 2004
Data Bank Indonesia, Harian Republika, 19 Januari 2004
Dawam Rahardjo, Muhammad, Pengantar buku Bank Syari’ah Analisis Fikih dan
Keuangan, IIIT , Jakarta, 2003
Didin Damanhuri, Ekonomi Berbasis Hutang, Republika, 27 Desember 2002
Helmi Hilmawan, Berpikir Global , Bertindak Lokal, BNI 46, Jakarta, 2003
Ismail Yusanto, Mencari Solusi Krisis Ekonomi, dalam buku Dinar Emas Solusi
Krisis Moneter, PIRAC, Jakarta, 2001
Syafri Harahap, Harahap, Pelajaran dari Krisis Asiam,Pustaka Quantum , Jakarta, 2003
Irman Hilman, dkk, Perbankan Syari’ah Masa Depan, Senayan Abadi Publishing,
Jakarta, 2003
Latifa M. Algaoud and Mervyn K. Lewis, Islamic Banking, Edwars Elgard
Massachusetts, 2001
Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia tahun 1999
Majalah Modal, No 14. Tahun II, Desember 2003
Majalah Modal, No 16 / II / Februari 2004
Nejatullah Shiddiqi, Muhammad, Banking Without Interest, Lahore, 1996 ;
Nusirwan, Dual Banking System, Makalah yang disampaikan pada Seminar Bank
Syari’ah di Hotel Dharma Deli Medan, 28 Januari 2004
Paul Ormerod, The Death of Economics, Faber and Faber, London, 1994
Quresyi, Anwar Iqbal, Islam and The Theory of Interest, Lahore : Sh. Md Ashraf,
1991.p. 14
Republika, 29 Desember 2003
Republika, 16 Februari 2004
Umer Chapra, Muhammad, The Future of Economics, an Islamic Perspektive, SEBI,
Jakarta, 2002
—————-, Toward a Just Monetary System, The Islamic Foundation, Leicester,
UK, 1985
DIPOSTING OLEH Agustianto | April 30, 2008
Download