Kromosom Kelamin dan Autosom

advertisement
BAB VI
RANGKAI KELAMIN
DAN
PENENTUAN JENIS KELAMIN
 Kromosom Kelamin dan Autosom
 Gen Rangkai Kelamin
 Tipe Penentuan Jenis Kelamin
Organisme
 Kromatin Kelamin dan Hipotesis
Lyon
 Pengaruh Hormon Kelamin dalam
Penentuan Jenis Kelamin
81
BAB VI. RANGKAI KELAMIN
DAN PENENTUAN JENIS KELAMIN
Pada Bab V telah kita pelajari pola pewarisan sifat yang diatur oleh gen-gen
berangkai atau gen-gen yang terletak pada satu kromosom. Keberadaan gen
berangkai pada suatu spesies organisme, yang meliputi urutan dan jaraknya satu
sama lain, menghasilkan peta kromosom untuk spesies tersebut, misalnya peta
kromosom pada lalat Drosophila melanogaster yang terdiri atas empat kelompok gen
berangkai (Gambar 5.4).
Salah satu dari keempat kelompok gen berangkai atau keempat pasang
kromosom pada D. melanogaster tersebut, dalam hal ini kromosom nomor 1, disebut
sebagai kromosom kelamin. Pemberian nama ini karena strukturnya pada individu
jantan dan individu betina memperlihatkan perbedaan sehingga dapat digunakan
untuk membedakan jenis kelamin individu. Ternyata banyak sekali spesies
organisme lainnya, terutama hewan dan juga manusia, mempunyai kromosom
kelamin.
Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen rangkai
kelamin (sex-linked genes) sementara fenomena yang melibatkan pewarisan gengen ini disebut peristiwa rangkai kelamin (linkage). Adapun gen berangkai yang
dibicarakan pada Bab V adalah gen-gen yang terletak pada kromosom selain
kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada individu jantan dan betina sama
strukturnya sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin.
Kromosom semacam ini dinamakan autosom.
Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak
mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang
terbentuk. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan melalui kombinasi gamet
tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe dan genotipe yang menyimpang dari hukum
Mendel. Selain itu, jika pada percobaan Mendel perkawinan resiprok (genotipe tetua
jantan dan betina dipertukarkan) menghasilkan keturunan yang sama, tidak demikian
halnya untuk sifat-sifat yang diatur oleh gen rangkai kelamin.
Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan berdasarkan atas macam
kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom kelamin pada
umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai kelamin
dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes) dan gen rangkai Y (Y-linked genes).
82
Di samping itu, ada pula beberapa gen yang terletak pada kromosom X tetapi
memiliki pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan gen rangkai
kelamin tak sempurna (incompletely sex-linked genes). Pada bab ini akan
dijelaskan cara pewarisan macam-macam gen rangkai kelamin tersebut serta
beberapa sistem penentuan jenis kelamin pada berbagai spesies organisme.
Pewarisan Rangkai X
Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa rangkai
kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia menyilangkan lalat D.
melanogaster jantan bermata putih dengan betina bermata merah. Lalat bermata
merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau tipe alami (wild type), sedang gen
pengatur tipe alami, misalnya pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan
dengan tanda +. Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan
terhadap alel mutannya.
Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F1, ternyata
berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami (bermata merah) dan
tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan lain, perkawinan resiprok
menghasilkan keturunan yang berbeda. Persilangan resiprok dengan hasil yang
berbeda ini memberikan petunjuk bahwa pewarisan warna mata pada Drosophila ada
hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui
bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada kromosom
kelamin, dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini
dikatakan sebagai gen rangkai X.
Secara skema pewarisan warna mata pada Drosophila dapat dilihat pada
Gambar 6.1. Kromosom X dan Y masimg-masing lazim dilambangkan dengan
tanda dan .
P:
+
+
w
P:
w
w
+
x
betina normal
F1 :
+
w
x
jantan mata putih
+
betina normal
jantan normal
a)
betina mata putih
F1:
+
w
betina normal
jantan normal
w
jantan mata putih
b)
Gambar 6.1. Diagram persilangan rangkai X pada Drosophila
83
Jika kita perhatikan Gambar 6.1.b, akan nampak bahwa lalat F1 betina
mempunyai mata seperti tetua jantannya, yaitu normal/merah. Sebaliknya, lalat F1
jantan warna matanya seperti tetua betinanya, yaitu putih. Pewarisan sifat semacam
ini disebut sebagai criss cross inheritance.
Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme lainnya, individu betina
membawa dua buah kromosom X, yang dengan sendirinya homolog, sehingga
gamet-gamet yang dihasilkannya akan mempunyai susunan gen yang sama. Oleh
karena itu, individu betina ini dikatakan bersifat homogametik. Sebaliknya, individu
jantan yang hanya membawa sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam
gamet yang berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang
membawa kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik.
Rangkai X pada kucing
Warna bulu pada kucing ditentukan oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan
heterozigot gen ini menyebabkan warna bulu yang dikenal dengan istilah tortoise
shell. Oleh karena genotipe heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai
pada individu betina, maka kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis
kelamin betina. Sementara itu, individu homozigot dominan (betina) dan hemizigot
dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu homozigot resesif
(betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning.
Istilah hemizigot digunakan untuk menyebutkan genotipe individu dengan
sebuah kromosom X. Individu dengan gen dominan yang terdapat pada satu-satunya
kromosom X dikatakan hemizigot dominan. Sebaliknya, jika gen tersebut resesif,
individu yang memilikinya disebut hemizigot resesif.
Rangkai X pada manusia
Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia adalah gen resesif yang
menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan dalam proses pembekuan darah.
Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai sejak lama di negara-negara Arab ketika
beberapa anak laki-laki meninggal akibat perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun,
waktu itu kematian akibat perdarahan ini hanya dianggap sebagai takdir semata.
Hemofilia baru menjadi terkenal dan dipelajari pola pewarisannya setelah
beberapa anggota keluarga Kerajaan Inggris mengalaminya. Awalnya, salah seorang
di antara putra Ratu Victoria menderita hemofilia sementara dua di antara putrinya
karier atau heterozigot. Dari kedua putri yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-laki
84
yang menderita hemofilia dan empat cucu wanita yang heterozigot. Melalui dua dari
keempat cucu yang heterozigot inilah penyakit hemofilia tersebar di kalangan
keluarga Kerajaan Rusia dan Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga Kerajaan
Inggris saat ini yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas
dari penyakit hemofilia.
Rangkai Z pada ayam
Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama dengan pewarisan sifat
rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai X individu homogametik berjenis kelamin
pria/jantan sementara individu heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada
rangkai Z justru terjadi sebaliknya. Individu homogametik (ZZ) adalah jantan,
sedang individu heterogametik (ZW) adalah betina.
Contoh gen rangkai Z yang lazim dikemukakan adalah gen resesif br yang
menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu secara normal pada ayam. Alelnya, Br,
menyebabkan bulu ayam menjadi burik. Jadi, pada kasus ini alel resesif justru
dianggap sebagai tipe alami atau normal (dilambangkan dengan +), sedang alel
dominannya merupakan alel mutan.
Pewarisan Rangkai Y
Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali mengandung gen yang aktif.
Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan alel
mutan bagi gen rangkai Y yang dapat menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya
suatu gen/alel dapat dideteksi keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya
adalah abnormal. Oleh karena fenotipe abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai
Y jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y diduga merupakan gen yang sangat
stabil.
Gen rangkai Y jelas tidak mungkin diekspresikan pada individu betina/wanita
sehingga gen ini disebut juga gen holandrik. Contoh gen holandrik pada manusia
adalah Hg dengan alelnya hg yang menyebabkan bulu kasar dan panjang, Ht dengan
alelnya ht yang menyebabkan pertumbuhan bulu panjang di sekitar telinga, dan Wt
dengan alelnya wt yang menyebabkan abnormalitas kulit pada jari.
Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna
Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat ditafsirkan bahwa kromosom
X tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada bagian atau segmen tertentu
pada kedua kromosom tersebut yang homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain,
85
ada beberapa gen pada kromosom X yang mempunyai alel pada kromosom Y.
Pewarisan sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya pewarisan gen autosomal. Oleh
karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y yang homolog ini disebut juga
gen rangkai kelamin tak sempurna.
Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak sempurna yang
menyebabkan pertumbuhan bulu pendek. Pewarisan gen yang bersifat resesif ini
dapat dilihat pada Gambar 6.2.
P:
P:
+ +
x
b b
betina normal
jantan bulu pendek
F1 :
b b
x
+ +
betina bulu pendek jantan normal
F1:
+ b
+ b
betina normal
jantan normal
a)
+ b
betina normal
+ b
jantan normal
b)
Gambar 6.2. Diagram pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna
Dapat dilihat pada Gambar 6.2 bahwa perkawinan resiprok untuk gen rangkai
kelamin tak sempurna akan memberikan hasil yang sama seperti halnya hasil yang
diperoleh dari perkawinan resiprok untuk gen-gen autosomal. Jadi, pewarisan gen
rangkai kelamin tak sempurna mempunyai pola seperti pewarisan gen autosomal.
Sistem Penentuan Jenis Kelamin
Telah disebutkan di atas bahwa pada manusia dan mamalia, dalam hal ini
kucing, individu pria/jantan adalah heterogametik (XY) sementara wanita/betina
adalah homogametik (XX). Sebaliknya, pada ayam individu jantan justru
homogametik (ZZ) sementara individu betinanya heterogametik (ZW). Penentuan
jenis kelamin pada manusia/mamalia dikatakan mengikuti sistem XY, sedang pada
ayam, dan unggas lainnya serta ikan tertentu, mengikuti sistem ZW.
Selain kedua sistem tersebut, masih banyak sistem penentuan jenis kelamin
lainnya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa di antaranya.
Sistem XO
Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga, misalnya belalang. Di
dalam sel somatisnya, individu betina memiliki dua buah kromosom X sementara
86
individu jantan hanya mempunyai sebuah kromosom X. Jadi, hal ini mirip dengan
sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu jantan tidak mempunyai kromosom
Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis individu betina lebih banyak
daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B. Wilson menemukan
bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai 14 kromosom, sedang pada
individu jantannya hanya ada 13 kromosom.
Sistem nisbah X/A
C.B. Bridge melakukan serangkaian penelitian mengenai jenis kelamin pada
lalat Drosophila. Dia berhasil menyimpulkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin
pada organisme tersebut berkaitan dengan nisbah banyaknya kromosom X terhadap
banyaknya autosom, dan tidak ada hubungannya dengan kromosom Y. Dalam hal ini
kromosom Y hanya berperan mengatur fertilitas jantan. Secara ringkas penentuan
jenis kelamin dengan sistem X/A pada lalat Drosophila dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila
Σ kromosom X
Σ autosom
nibah X/A
jenis kelamin
1
2
0,5
jantan
2
2
1
betina
3
2
1,5
metabetina
4
3
1,33
metabetina
4
4
1
betina 4n
3
3
1
betina 3n
3
4
0,75
interseks
2
3
0,67
interseks
2
4
0,5
jantan
1
3
0,33
metajantan
Jika kita perhatikan kolom pertama pada Tabel 6.1 akan terlihat bahwa ada
beberapa individu yang jumlah kromosom X-nya lebih dari dua buah, yakni individu
dengan jenis kelamin metabetina, betina triploid dan tetraploid, serta interseks.
Adanya kromosom X yang didapatkan melebihi jumlah kromosom X pada individu
normal (diploid) ini disebabkan oleh terjadinya peristiwa yang dinamakan gagal
pisah (non disjunction), yaitu gagal berpisahnya kedua kromosom X pada waktu
pembelahan meiosis.
87
Pada Drosophila terjadinya gagal pisah dapat menyebabkan terbentuknya
beberapa individu abnormal seperti nampak pada Gambar 6.3.
 AAXX
P:
AAXY 
x
gagal pisah
gamet :
AXX
AO
F1 :
AAXXX
betina super
AX
AAXXY
betina
AY
AAXO
jantan steril
AAOY
letal
Gambar 6.3. Diagram munculnya beberapa individu abnormal pada
Drosophila akibat peristiwa gagal pisah
Di samping kelainan-kelainan tersebut pernah pula dilaporkan adanya lalat
Drosophila yang sebagian tubuhnya memperlihatkan sifat-sifat sebagai jenis kelamin
jantan sementara sebagian lainnya betina. Lalat ini dikatakan mengalami mozaik
seksual atau biasa disebut dengan istilah ginandromorfi. Penyebabnya adalah
ketidakteraturan distribusi kromosom X pada masa-masa awal pembelahan mitosis
zigot. Dalam hal ini ada sel yang menerima dua kromosom X tetapi ada pula yang
hanya menerima satu kromosom X.
Partenogenesis
Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan tawon, individu
jantan berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu melalui telur yang tidak
dibuahi. Oleh karena itu, individu jantan ini hanya memiliki sebuah genom atau
perangkat kromosomnya haploid.
Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja, khususnya pada lebah,
berkembang dari telur yang dibuahi sehingga perangkat kromosomnya adalah
diploid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem
penentuan jenis kelamin yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada jumlah genom (perangkat
kromosom).
Sistem gen Sk-Ts
Di atas disebutkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada lebah tidak
berhubungan dengan kromosom kelamin. Meskipun demikian, sistem tersebut masih
ada kaitannya dengan jumlah perangkat kromosom.
88
Pada jagung dikenal sistem penentuan jenis kelamin yang tidak bergantung,
baik kepada kromosom kelamin maupun jumlah genom, tetapi didasarkan atas
keberadaan gen tertentu. Jagung normal monosius (berumah satu) mempunyai gen
Sk, yang mengatur pembentukan bunga betina, dan gen Ts, yang mengatur
pembentukan bunga jantan. Jagung monosius ini mempunyai fenotipe Sk_Ts_.
Sementara itu, alel-alel resesif sk dan ts masing-masing menghalangi
pembentukan bunga betina dan mensterilkan bunga jantan. Oleh karena itu, jagung
dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina diosius (berumah dua), sedang jagung skskTs_
adalah jantan diosius. Jagung sksktsts berjenis kelamin betina karena ts dapat
mengatasi pengaruh sk, atau dengan perkataan lain, bunga betina tetap terbentuk
seakan-akan tidak ada alel sk.
Pengaruh lingkungan
Sistem penentuan jenis kelamin bahkan ada pula yang bersifat nongenetik. Hal
ini misalnya dijumpai pada cacing laut Bonellia, yang jenis kelaminnya semata-mata
ditentukan oleh faktor lingkungan.. F. Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia
yang berasal dari sebuah telur yang diisolasi akan berkembang menjadi individu
betina. Sebaliknya, cacing yang hidup di lingkungan betina dewasa akan mendekati
dan memasuki saluran reproduksi cacing betina dewasa tersebut untuk kemudian
berkembang menjadi individu jantan yang parasitik.
Kromatin Kelamin
Seorang ahli genetika dari Kanada, M.L. Barr, pada tahun 1949 menemukan
adanya struktur tertentu yang dapat memperlihatkan reaksi pewarnaan di dalam
nukleus sel syaraf kucing betina. Struktur semacam ini ternyata tidak dijumpai pada
sel-sel kucing jantan. Pada manusia dilaporkan pula bahwa sel-sel somatis pria,
misalnya sel epitel selaput lendir mulut, dapat dibedakan dengan sel somatis wanita
atas dasar ada tidaknya struktur tertentu yang kemudian dikenal dengan nama
kromatin kelamin atau badan Barr.
Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin kelamin sementara sel
somatis pria tidak memilikinya. Selanjutnya diketahui bahwa banyaknya kromatin
kelamin ternyata sama dengan banyaknya kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita
normal mempunyai sebuah kromatin kelamin karena kromosom X-nya ada dua.
Demikian pula, pria normal tidak mempunyai kromatin kelamin karena kromosom
X-nya hanya satu.
89
Dewasa ini keberadaan kromatin kelamin sering kali digunakan untuk
menentukan jenis kelamin serta mendiagnosis berbagai kelainan kromosom kelamin
pada janin melalui pengambilan cairan amnion embrio (amniosentesis). Pria dengan
kelainan kromosom kelamin, misalnya penderita sindrom Klinefelter (XXY),
mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang
pria normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom Turner (XO) tidak mempunyai
kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita normal.
Mary F. Lyon, seorang ahli genetika dari Inggris mengajukan hipotesis bahwa
kromatin kelamin merupakan kromosom X yang mengalami kondensasi atau
heterokromatinisasi sehingga secara genetik menjadi inaktif. Hipotesis ini dilandasi
hasil pengamatannya atas ekspresi gen rangkai X yang mengatur warna bulu pada
mencit. Individu betina heterozigot memperlihatkan fenotipe mozaik yang jelas
berbeda dengan ekspresi gen semidominan (warna antara yang seragam). Hal ini
menunjukkan bahwa hanya ada satu kromosom X yang aktif di antara kedua
kromosom X pada individu betina. Kromosom X yang aktif pada suatu sel mungkin
membawa gen dominan sementara pada sel yang lain mungkin justru membawa gen
resesif.
Hipotesis Lyon juga menjelaskan adanya mekanisme kompensasi dosis pada
mamalia. Mekanisme kompensasi dosis diusulkan karena adanya fenomena bahwa
suatu gen rangkai X akan mempunyai dosis efektif yang sama pada kedua jenis
kelamin. Dengan perkataan lain, gen rangkai X pada individu homozigot akan
diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada individu hemizigot.
Hormon dan Diferensiasi Kelamin
Dari penjelasan mengenai berbagai sistem penentuan jenis kelamin organisme
diketahui bahwa faktor genetis memegang peranan utama dalam ekspresi sifat
kelamin primer. Selanjutnya, sistem hormon akan mengatur kondisi fisiologi dalam
tubuh individu sehingga mempengaruhi perkembangan sifat kelamin sekunder.
Pada hewan tingkat tinggi dan manusia hormon kelamin disintesis oleh
ovarium, testes, dan kelenjar adrenalin. Ovarium dan testes masing-masing
mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai penghasil sel kelamin (gamet) dan sebagai
penghasil hormon kelamin. Sementara itu, kelenjar adrenalin menghasilkan steroid
yang secara kimia berhubungan erat dengan gonad.
90
Gen terpengaruh kelamin
Gen
terpengaruh
kelamin
(sex
influenced
genes)
ialah
gen
yang
memperlihatkan perbedaan ekspresi antara individu jantan dan betina akibat
pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen autosomal H yang mengatur
pembentukan tanduk pada domba akan bersifat dominan pada individu jantan tetapi
resesif pada individu betina. Sebaliknya, alelnya h, bersifat dominan pada domba
betina tetapi resesif pada domba jantan. Oleh karena itu, untuk dapat bertanduk
domba betina harus mempunyai dua gen H (homozigot) sementara domba jantan
cukup dengan satu gen H (heterozigot).
Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba
Genotipe
Domba jantan
Domba betina
HH
bertanduk
bertanduk
Hh
bertanduk
tidak bertanduk
hh
tidak bertanduk
tidak bertanduk
Contoh lain gen terpengaruh kelamin adalah gen autosomal B yang mengatur
kebotakan pada manusia. Gen B dominan pada pria tetapi resesif pada wanita.
Sebaliknya, gen b dominan pada wanita tetapi resesif pada pria. Akibatnya, pria
heterozigot akan mengalami kebotakan, sedang wanita heterozigot akan normal.
Untuk dapat mengalami kebotakan seorang wanita harus mempunyai gen B dalam
keadaan homozigot.
Gen terbatasi kelamin
Selain mempengaruhi perbedaan ekspresi gen di antara jenis kelamin, hormon
kelamin juga dapat membatasi ekspresi gen pada salah satu jenis kelamin. Gen yang
hanya dapat diekspresikan pada salah satu jenis kelamin dinamakan gen terbatasi
kelamin (sex limited genes). Contoh gen semacam ini adalah gen yang mengatur
produksi susu pada sapi perah, yang dengan sendirinya hanya dapat diekspresikan
pada individu betina. Namun, individu jantan dengan genotipe tertentu sebenarnya
juga mempunyai potensi untuk menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang
tinggi sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak
tersebut.
Download