tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi (Oryza sativa L.)
Bagian tanaman padi meliputi daun, batang, akar, anakan, bunga, malai
dan gabah. Daun tanaman padi berselang-seling, satu daun pada setiap buku. Tiap
daun terdiri atas helai daun, pelepah daun yang membungkus ruas, telinga daun
(auricle), lidah daun (ligule). Helaian daun terletak pada batang padi, bentuknya
memanjang seperti pita. Panjang dan lebar helaian daun tergantung pada jenis
varietas. Pelepah daun (upih) merupakan bagian daun yang menyelubungi batang.
Lidah daun terletak berbatasan antara helaian daun dengan upih. Panjang lidah
daun berbeda-beda tergantung pada varietas. Fungsi lidah daun untuk mencegah
masuknya air hujan di antara batang dan upih (Hanum 2008). Adanya telinga dan
lidah daun pada padi dapat digunakan untuk membedakan dengan rumputrumputan pada stadia bibit (seedling) karena daun rumput-rumputan hanya
memiliki lidah daun atau tidak ada sama sekali (Makarim dan Ikhwani 2008).
Daun teratas disebut dengan daun bendera. Satu daun pada awal fase
pertumbuhan memerlukan waktu 4-5 hari untuk tumbuh secara penuh, sedangkan
pada fase tumbuh selanjutnya diperlukan waktu yang lebih lama 8-9 hari. Jumlah
daun pada setiap tiap tanaman tergantung varietas. Varietas-varietas baru di
daerah tropika memiliki 14-18 daun pada batang utama (Yoshida 1981).
Bertambahnya luas daun pada komunitas tanaman disebabkan oleh 2 faktor yaitu
meningkatnya jumlah anakan dan meningkatnya luas daun. Peningkatan luas daun
bagi varietas beranak banyak didominasi oleh faktor yang pertama sedangkan
dalam varietas beranak sedikit disebabkan faktor kedua yang lebih dominan
(Murata dan Matsushima 1978).
Makarim dan Ikhwani (2008) menyatakan tanaman padi memilki pola
anakan berganda (anak-beranak). Dari batang utama akan tumbuh anakan primer
yang sifatnya heterotropik sampai anakan tersebut memiliki 6 daun. Kapasitas
anakan merupakan salah satu sifat utama yang penting pada varietas-varietas
unggul. Tanaman bertipe anakan banyak cocok untuk berbagai keragaman jarak
6
tanam, karena dengan anakan yang banyak mampu menggantikan rumpunrumpun yang mati dan mencapai luas daun dengan cepat (Yoshida 1981).
Batang tanaman padi yang rebah menyebabkan pembuluh-pembuluh xylem
dan phloem menjadi rusak sehingga menghambat pengangkutan hara mineral dan
fotosintat. Selain itu susunan daun menjadi tidak beraturan dan saling menaungi
sehingga menghasilkan gabah hampa. Tingginya hasil pada padi varietas unggul
baru terutama disebabkan oleh ketahanannya terhadap kerebahan (Yoshida 1981).
Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga pada malai
dinamakan spikelet. Tiap unit bunga pada malai terletak pada cabang-cabang yang
terdiri atas cabang primer dan sekunder (Siregar 1981). Malai terdiri atas 8-10
buku yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya
menghasilkan cabang sekunder. Tangkai butir padi (pedicel) tumbuh dari bukubuku cabang primer maupun cabang sekunder (Yoshida 1981).
Butir padi yang terbungkus kulit luar (sekam) disebut gabah. Bobot gabah
beragam dari 12-44 mg, sedangkan bobot kulit luar rata-rata adalah 20% bobot
gabah. Faktor konversi dari gabah ke beras adalah 0.6 dan dari beras pecah kulit
ke gabah adalah 1.25, dan faktor konversi tersebut tergantung varietas (Yoshida
1981).
Karakter padi bervariasi, salah satu karakter yang bervariasi adalah
karakter umur. Tanaman padi memiliki umur bervariasi yaitu antara kurang dari
90 sampai lebih dari 160 hari. Faktor dominan yang menentukan umur padi adalah
genetik tanaman, disamping faktor lain misalnya panjang hari, cekaman
kekeringan, dan lainnya. Berdasarkan umur, secara umum tanaman padi
dikategorikan: umur genjah (sekitar 110 hari) dan dalam (lebih dari 120 hari).
Padi varietas lokal pada umumnya berumur dalam, sedangkan padi varietas
unggul berumur genjah. Secara lebih rinci, umur tanaman padi tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: Dalam (> 151 hari setelah semai (HSS)), Sedang
(125 - 150 HSS), Genjah (105 - 124 HSS), Sangat Genjah (90 - 104 HSS), Ultra
Genjah (< 90 HSS) (BB Padi 2004).
7
Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Padi
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dikelompokkan menjadi
tiga fase: i) fase vegetatif (vegetative stage), dimulai dari masa kecambah
(germination) hingga inisiasi malai (panicle initiation), ii) fase reproduktif
(reproductive stage), dimulai dari pembungaan hingga masak penuh, iii) fase
pemasakan/pematangan (ripening stage), dimulai dari periode pembungaan
hingga masak penuh (De Datta 1981).
IRRI (1996) secara rinci membagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman padi menjadi sembilan stadia: perkecambahan, bibit, anakan,
pemanjangan batang, bunting, pembungaan, fase matang susu, fase pengisian dan
pematangan. IRRI (1996) dan Hanum (2008) menyatakan stadia perkecambahan
mulai dari berkecambah sampai muncul daun pertama. Stadia bibit mulai dari
munculnya daun pertama hingga terbentuknya anakan pertama, lamanya sekitar
21-24 hari. Stadia anakan mulai dari anakan yang bertambah sampai anakan
maksimum, lamanya sekitar 40 hari. Stadia pemanjangan batang mulai saat
terbentuknya bulir, lamanya sekitar 10 hari setelah inisiasi malai. Stadia bunting
mulai dari perkembangan butir sampai butir tumbuh sempurna, lamanya sekitar 14
hari setelah stadia bunting.
Stadia pembungaan mulai muncul bunga, polinasi dan fertilisasi, lamanya
sekitar 10 hari setelah fase pembungaan. Fase matang susu dimulai dari biji berisi
cairan menyerupai susu, butir kelihatan berwarna hijau, lamanya sekitar 14 hari
setelah pembungaan. Fase pengisian dimulai butir yang lembek mulai mengeras
dan berwarna kuning sehingga seluruh pertanaman kelihatan kekuning-kuningan,
lamanya sekitar 14 hari setelah fase matang susu. Fase pematangan mulai dari
butir padi berukuran sempurna, keras dan berwarna kuning, malai padi mulai
merunduk disebabkan butir-butir padi yang sudah berisi penuh, lama fase ini
sekitar 14 hari (IRRI 1996; Hanum 2008).
Padi Tipe Baru (PTB)
International Rice Research Institute (IRRI) telah merumuskan idiotipe
tanaman PTB atau new plant type (NPT) untuk meningkatkan potensi hasil padi.
Pemuliaan PTB dimulai tahun 1989 di IRRI. Secara genetik, sifat PTB tidak
berbeda dengan varietas inbrida yang sudah biasa ditanam petani, tetapi potensi
8
produksinya lebih unggul karena dirakit dengan mengkombinasikan sifat khusus
yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi benih (Peng et al.
2008). Sifat-sifat penting yang dimiliki PTB diantaranya: anakan produktif sedang
(10-15), malai lebat (>200 butir gabah per malai), 80% gabah bernas, tinggi
tanaman sedang (80-100 cm), umur sedang (105-120 hari), daun tegak, tebal dan
berwarna hijau tua dan harus mampu mempertahankan kehijauannya atau lambat
menua (delayed senescence), perakaran dalam, dan tahan terhadap hama dan
penyakit utama (BB Padi 2004; Abdullah et al. 2008; Peng et al. 2008).
Penelitian ke arah perakitan PTB di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1995.
Varietas PTB yang sudah dilepas yaitu varietas perdana Fatmawati dilepas tahun
2003, sebelum pelepasan PTB sudah dilepas tiga varietas semi PTB yaitu Cimelati
(2001), Ciapus (2002) dan Gilirang (awal 2003) (Abdullah et al. 2008).
Karakter yang mendukung fotosintesis, metabolisme karbon dan
pertumbuhan varietas unggul padi tipe baru yaitu: daun tegak berfungsi dalam
intersepsi cahaya matahari tinggi; daun tebal dan berwarna hijau tua untuk
kemampuan fotosintesis tinggi; batang pendek, kuat dan tahan rebah walaupun
tanaman dipupuk berat dan malai berisi padat; akar dalam berfungsi mengambil
unsur hara dan air dalam lapisan tanah dalam (sub-soil); jumlah gabah berisi >
250 butir/malai, ukuran sink untuk menampung fotosintat besar (BB Padi 2004).
Kelemahan PTB Fatmawati diantaranya persentase gabah hampa yang tinggi
>25%, kerontokan gabah yang sulit dan tidak tahan terhadap penyakit blas dan
hawar daun bakteri. Permasalahan pada PTB adalah keseimbangan sink dan
source yang belum stabil sehingga tanaman tidak dapat mendukung sink yang
besar (> 250 butir per malai). Jumlah gabah hampa yang tinggi merupakan sifat
utama yang menyebabkan daya hasil PTB tidak seperti yang diharapkan.
Kehampaan dapat disebabkan faktor genetik maupun non genetik. Faktor genetik
dapat diperbaiki melalui pemuliaan, sedangkan faktor non genetik dengan
perbaikan lingkungan dan atau sistem budidaya (Abdullah et al. 2008).
Sistem Budidaya Konvensional
Sebagian besar petani di Indonesia masih menggunakan sistem budidaya
konvensional. Budidaya konvensional adalah sistem usaha tani yang sejak awal
Pelita I sampai dengan 1982 melalui program bimbingan masyarakat (Bimas)
9
telah meningkatkan produksi beras sejalan dengan penggunaan pupuk anorganik
yang terus meningkat (Adiningsih et al. 2000). Teknologi budidaya saat itu
dikenal dengan teknologi “Revolusi Hijau”, merupakan perubahan dalam
teknologi budidaya pertanian yang ditujukan agar sumber daya lahan dapat
berproduksi sebanyak-banyaknya dengan jalan mengoptimalkan ketersediaan hara
dan air dalam tanah, menanam varietas tanaman yang mempunyai potensi
produksi tinggi, serta melindungi tanaman dari gangguan hama dan penyakit
(Sumarno 2007). Sistem budidaya konvensional yang dilakukan oleh petani antara
lain pengolahan tanah dengan membajak, kedalaman olah tanah berkisar 15-20
cm, kebutuhan benih 30 kg/ha, bibit dipindahtanamkan umur 21-30 HSS, bibit di
tanam 3-5 bibit per lubang tanam, dilakukan pengenangan air dalam petakan
antara 5-10 cm, penyiangan gulma 1-2 kali dengan menggunakan herbisida, dan
pemupukan sesuai dosis anjuran departemen pertanian setempat (Sato dan Uphoff
2007).
Sistem Budidaya SRI (System of Rice Intensification)
Sistem intensifikasi padi (SRI) dimulai di Madagaskar pertama kali tahun
1983 oleh Fr. Henri de Laulani pada musim kemarau. Percobaan awal dengan
menanam bibit padi yang sangat muda berumur 15 hari. Percobaan ini
mengurangi penggunaan air irigasi, dan tidak ada penggunaan pupuk anorganik
atau pupuk kimia lainnya. Unsur utama pada metode SRI antara lain persemaian
kering, transplanting bibit muda umur 8-12 hari, tanam bibit tunggal, jarak tanam
lebar, pengendalian gulma sejak dini dan teratur, pengaturan air dan menjaga air
tetap lembab, dan aplikasi penggunaan bahan organik/pupuk organik (Stoop et al.
2002; Uphoff 2004; Anas dan Uphoff 2009). SRI membentuk anakan tanaman
lebih banyak. Jarak tanam yang lebar menyebabkan kanopi daun pada SRI lebih
baik dibandingkan pola konvensional. Kerapatan tanaman dengan jarak tanam
lebar minimal 27 cm x 27 cm, sampai 50 cm x 50 cm berpengaruh pada populasi
per areal tanam. Jumlah populasi yang semakin banyak akan berpengaruh
terhadap perkembangan akar, persaingan dalam pengunaan nutrisi di dalam tanah,
juga pada bagian atas tanaman yaitu luas permukaan daun (leaf area index) untuk
penerimaan dan distribusi cahaya (Tao et al. 2002).
10
Penelitian SRI yang dilakukan oleh Tao et al. (2002) menunjukkan bahwa
sistem budidaya SRI menghasilkan perakaran 10-15 cm lebih dalam dibandingkan
dengan sistem budidaya konvensional disebabkan karena penanaman bibit diawal
yaitu tanam dangkal. Bobot kering akar per tanaman pada varietas padi Xieyou
9308 adalah 13.2 g pada sistem budidaya SRI dan 8.2 g dengan sistem budidaya
konvensional sedangkan bobot kering akar varietas padi Liangyou-peijiiu 9.8 g
pada metoda SRI dan 7.6 g dengan metoda konvensional. Persemaian SRI
dilakukan dengan cara kering/lembab sehingga dapat dilakukan pada besek atau
kotak, hal ini memudahkan untuk melakukan pengamatan yang terus menerus.
Kebutuhan kotak untuk persemaian berukuran 15 cm x 15 cm. Persemaian dapat
disimpan di halaman rumah.
Sistem Budidaya Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Berbeda dengan SRI yang menganjurkan penerapan paket teknologi di
semua ekosistem, Badan Litbang Pertanian menggunakan pendekatan PTT yang
bersifat spesifik lokasi. PTT menganjurkan petani menerapkan teknologi yang
cocok untuk lokasi setempat sesuai pilihan dan kemampuan mereka (Syam 2006).
Integrated Crop Management Systems atau lebih dikenal PTT pada padi sawah
merupakan salah satu model atau pendekatan pengelolaan usaha tani padi, dengan
mengimplementasikan berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikan
efek sinergis (Pramono et al. 2005).
Komponen teknologi yang diterapkan dalam PTT dikelompokkan ke
dalam teknologi dasar dan pilihan. Komponen teknologi dasar sangat dianjurkan
untuk diterapkan di semua lokasi padi sawah. Penerapan komponen pilihan
disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani setempat (Badan
Litbang Pertanian 2008). Komponen teknologi dasar yang diimplementasikan
pada unit hamparan pengkajian PTT meliputi; (a) penggunaan varietas unggul
adaptif dan benih berkualitas, (b) perlakuan benih, (c) tanam tunggal bibit muda,
(d) penggunaan bahan organik (pupuk organik), (e) pemupukan N berdasarkan
bagan warna daun (BWD), (f) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah
melalui uji tanah, (g) pengairan berselang (intermittent irrigation), (h)
pengendalian gulma dengan landak/gosrok), dan (i) pengendalian hama secara
PHT (Badan Litbang Pertanian 2010).
11
Pendekatan model PTT pada padi sawah dengan menerapkan komponenkomponen teknologi budidaya sinergis mampu meningkatkan produktivitas
usahatani berupa peningkatan hasil panen gabah kering giling (GKG) yang ratarata lebih tinggi dibandingkan pola petani. Peningkatan hasil mencapai 10% atau
sekitar 0.68 t/ha GKG pada masa percobaan I (MPI) dan 0.59 t/ha GKG pada MP
II di Kabupaten Sragen, sedangkan untuk Kabupaten Grobogan terjadi
peningkatan rata-rata sebesar 5.3% atau 0.33 t/ha GKG pada MP I (Pramono et al.
2005). Penerapan PTT di tingkat petani telah teruji mampu meningkatkan rata-rata
hasil sekitar 16 –27% (rata-rata 0.3 – 2.3 ton GKP/ha). Efisiensi penggunaan
benih dan menanam bibit muda, tanam bibit kurang dari 3 bibit/lubang, efisiensi
pupuk urea (penggunaan bagan warna daun) dan penghematan air irigasi
berselang 135 mm/ha/musim. Penggunaan bibit muda maksimal kurang dari 21
hari setelah semai (HSS) adalah bertujuan untuk mengurangi stres tanaman dan
bibit lebih cepat kembali sehat (recovery) sehingga pembentukan anakan lebih
banyak (Badan Litbang Pertanian 2008).
Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi
lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian. Kondisi seperti ini
ditujukan antara lain untuk: menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi
menjadi lebih luas, memberi kesempatan kepada akar tanaman untuk
mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam, mengurangi
kerebahan, memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah, memudahkan
pengendalian hama keong mas dan lainnya (Badan Litbang Pertanian 2008).
Teknik pengairan berselang, air di areal pertanaman diatur pada kondisi tergenang
dan kering secara bergantian dalam periode tertentu. Saat tanaman dalam fase
berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 2-3 cm (Badan
Litbang Pertanian 2010).
Komponen budidaya yang juga harus diperhatikan adalah pemberian
bahan organik. Bahan organik berupa sisa tanaman, kotoran hewan, pupuk hijau
dan pupuk organik (humus) merupakan
unsur utama pupuk organik dapat
berbentuk padat atau cair. Bahan organik bermanfaat untuk memperbaiki
kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah (Badan Litbang Pertanian 2010). PTT
merupakan suatu pendekatan yang ditempuh untuk meningkatkan produktivitas
12
padi sawah, khususnya padi sawah irigasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip
efisiensi. Adopsi sistem budidaya PTT diharapkan selain produktivitas naik, biaya
produksi optimal dan lingkungan terpelihara (Fagi 2008).
Kriteria Agroekologi untuk Padi Tipe Baru
PTB mempunyai kapasitas sink yang besar (jumlah gabah lebih dari 250
butir gabah per malai) maka lingkungan tumbuh harus mampu menunjang proses
fotosintesis yang optimal dan translokasi fotosintat dari daun ke malai yang
lancar. Dengan pengaturan lingkungan tumbuh yang ideal diharapkan jumlah
gabah isi bertambah atau kehampaan gabah berkurang. Padi tipe baru dikaitkan
dengan potensi hasilnya yang tinggi melalui fotosintesis dan metabolisme karbon.
Fotosintesis PTB akan maksimal pada intensitas cahaya tinggi (BB Padi 2004).
Metabolisme karbon pada proses respirasi menghasilkan energi bagi
perbanyakan sel-sel dan pembentukan jaringan. Respirasi ditentukan oleh suhu
udara tertentu pada berbagai stadia. Kalau stadia tumbuh tertentu suhu ideal
terlampaui maka fenomena kebocoran fotosintesis (photosynthetic leakage) dapat
terjadi. Hal ini akan mengakibatkan pengisian gabah terhambat. Intensitas cahaya
matahari harus optimum pada 30-40 hari sebelum panen yaitu pada periode
pengisian biji. Berdasarkan kriteria kesesuaian padi sawah menurut CSR-FAO
1983, PTB paling tepat ditanam di lokasi dengan dengan lingkungan sesuai (S1),
diikuti kesesuaian sedang (S2). Jumlah curah hujan tahunan diatas 1500 mm
berarti curah hujan bulanan diatas 142 mm. Curah hujan bulanan ideal berada
pada kisaran 200-400 mm agar intensitas cahaya matahari masih tinggi tetapi suhu
tidak terlalu panas. pH tanah pada keadaan kering 6.0-7.0, kandungan bahan
organik 2% (tetapi bukan tanah histosol), drainase tanah baik (air irigasi terjamin)
(BB Padi 2004).
Download