2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Perairan Selat Bali terletak diantara Pulau Jawa di sebelah barat dan Pulau Bali di sebelah timur dengan posisi antara 114° 20’-115° 10’ BT dan 8° 10’-8° 50’ LS. Perairan ini menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di utara dan Samudera Hindia di selatan. Perairan Selat Bali merupakan suatu bentuk perairan yang relatif sempit, berbentuk corong dengan luas kira-kira 2.500 km2. Perairan Selat Bali bagian utara lebih sempit dibanding dengan mulut selat yang menghadap ke perairan Samudera Hindia. Di bagian mulut selat bagian utara sangat sempit yaitu hanya mencapai 1 mil dan melebar ke bagian selatan hingga mencapai 28 mil. Karakteristik perairan tersebut menyebabkan Selat Bali cenderung lebih dipengaruhi oleh masa air Samudera Hindia di bagian selatan dibanding oleh masa air Laut Flores atau Selat Madura di bagian uatara. Kedalaman perairan di sebelah utara mencapai 50 meter dan semakin ke selatan kedalaman perairan menjadi sangat dalam hingga mencapai 1.300 meter (Burhanudin & Praseno 1982). Pada musim barat di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa bergerak Arus Pantai Jawa (AJP) yang bergerak ke arah timur dan masuk ke Selat Bali. Massa air yang berasal dari selatan Pulau Jawa ini memiliki salinitas yang rendah dan suhu yang relatif tinggi. Pada musim timur, akibat adanya angin muson timur menyebabkan Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) yang mengalir ke barat bergeser dan melebar ke arah utara mencapai pantai selatan Jawa dan mendesak mundur AJP (Illahude 1974). Birowo (1975) menjelaskan bahwa faktor utama penyebab terjadinya penaikan massa air adalah angin dan sirkulasi air. Angin erat hubungannya dengan musim sedangkan sirkulasi air yang disebabkan oleh arus mempunyai hubungan erat dengan keadaan angin. Pada musim barat di perairan Selat Bali, lapisan homogen mempunyai ketebalan mencapai kurang lebih 100 meter dengan suhu yang tinggi (28-29 °C) dan salinitas yang relatif rendah (32-34 ‰). Lapisan termoklin cukup tajam berada dibawah lapisan homogen. Pada saat terjadi upwelling lapisan homogen tipis, kurang dari 30 meter dengan suhu yang rendah (26,5-27 °C) dan salinitas yang relatif tinggi mencapai 34,2 ‰. Pada lapisan 5 bawahnya terdapat lapisan termoklin yang dicirikan perubahan suhu menurun dengan cepat seiring bertambahnya kedalaman. Pada lapisan permukaan, upwelling ditandai dengan rendahnya suhu permukaan berkisar antara 25,5-26,9 °C dan salinitas yang tinggi antara 33,6-34,2 ‰ (Illahude 1974). Menurut data statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan & Perikanan Indonesia, perikanan tangkap lemuru sampai akhir tahun 2010 menunjukkan produksi tertinggi perikanan pelagis yang menjadi komoditi utama dengan jumlah sebesar 71,3 ribu ton atau sekitar 25 % dari total produksi perikanan dominan di WPP 573 (Gambar 2). Di Selat Bali, produksi lemuru dari tahun 2005 sampai 2007 terus naik hingga mencapai 38.617,008 ton, namum menurun sampai tahun 2010 produksinya sebesar 17.854,857 ton (Tabel 1). Menurunnya produksi lemuru pada tahun 2010 diakibatkan sering terjadinya cuaca ekstrim yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut selama hampir empat bulan (Juni dan September-Desember) di Kabupaten Banyuwangi, namun di Kabupaten Jembrana masih bisa berproduksi. Produksi pada armada ukuran 5-10 GT dan 10-30 GT memiliki pola trend yang sama, yaitu menunjukkan trend naik walaupun trend armada 5-10 GT lebih tinggi dibandingkan armada 10-30 GT (Wiyono 2011). Gambar 2. Grafik produksi jenis ikan dominan di WPP 573 tahun 2010 6 Tabel 1. Hasil produksi tahunan lemuru di Selat Bali tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Produksi lemuru (ton) 10-30 GT 5-10 GT Total 8.674,112 3.126,746 11.800,858 13.695,591 4.936,050 18.631,641 6.757,780 11.859,228 18.617,008 20.287,721 11.518,945 31.806,666 20.840,529 14.760,997 35.601,526 10.128,554 7.726,303 17.854,857 2.2. Parameter Fisika Perairan 2.2.1. Suhu Suhu merupakan suatu besaran fisika yang mendefinisikan banyaknya bahang yang terkandung atau diterima oleh suatu benda. Suhu di perairan laut adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di laut. Suhu dapat mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangan dari organisme. Secara tidak langsung suhu berpengaruh terhadap daya larut oksigen (O2) yang digunakan dalam proses respirasi biota laut. Daya larut oksigen akan berkurang jika suhu naik sehingga kandungan karbondioksida (CO2) bertambah dan oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk respirasi menjadi semakin berkurang (Sverdrup et al. 1946). Intensitas penyinaran cahaya matahari menjadi faktor utama yang mempengaruhi suhu di perairan laut. Energi dari pancaran cahaya matahari tersebut akan diserap oleh massa air yang dikenal dengan proses absorpsi sinar matahari. Lapisan permukaan yang pertama kali terkena sinar matahari adalah lapisan yang hangat dan mengalami penurunan suhu yang sangat cepat pada selang kedalaman antara 50 sampai 300 meter. Selain itu, suhu air laut juga dapat naik karena aliran bahang dari bumi melalui dasar laut, kondensasi dan perubahan energi kinetik menjadi energi bahang (Sverdrup et al. 1946). Menurut Wyrtki (1961) sebaran suhu di laut tropis secara vertikal dapat dibedakan menjadi tiga lapisan utama, yaitu: 1. Lapisan homogen (homogeneous layer/mixed layer) di lapisan atas 2. Lapisan termoklin (thermoclined/discontinuity layer) di lapisan tengah 3. Lapisan dalam (homogeneous/deep layer) di bagian dalam. Suhu permukaan laut mempunyai hubungan yang erat dengan lapisan yang ada dibawahnya sehinggga data suhu permukaan dapat digunakan untuk menafsirkan 7 fenomena-fenomena yang terjadi di laut seperti front, arus, upwelling dan sebaran suhu permukaan laut secara horizontal. Dalam proses upwelling, terjadi penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan daerah sekitarnya. Menurut Nontji (1987), suhu permukaan laut di perairan Indonesia berkisar antara 28-31 °C, sedangkan di lokasi terjadi upwelling suhu permukaan dapat turun hingga 25 °C. Lapisan dingin (deep layer) di lapisan dalam biasanya memiliki nilai suhu kurang dari 5 °C pada kedalaman lebih dari 1.000 meter. Menurut Saragih (2002) suhu di permukaan perairan selatan Selat Bali yang berbatasan dengan Samudera Hindia pada bulan Agustus 2.000 berkisar antara 26,82-27,18 °C. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang mengalami perubahan nilai suhu yang cepat terhadap kedalaman. Kedalaman lapisan termoklin yang besar dapat menjadi pemisah antara lapisan di bagian atas dan bagian bawahnya yang terdapat perbedaan baik dari sifat fisik, kimia maupun biologi. Kedalaman lapisan termoklin dan homogen berbeda-beda tergantung pada musim. Selain penurunan suhu, lapisan termoklin juga ditandai dengan penurunan oksigen terlarut dan penaikan yang cepat dari kadar zat hara. Pada saat terjadinya penaikan massa air, lapisan termoklin bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya akan zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas. Fluktuasi jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di bawah lapisan termoklin, suhu menurun secara perlahan dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman dari lapisan termoklin di Samudera Hindia mencapai 120 meter dan semakin ke arah selatan di daerah ekuator kedalaman mencapai 140 meter (Wyrtki 1961). 2.2.2. Kekeruhan Parameter fisika lain yang tidak kalah penting adalah kekeruhan. Kekeruhan biasanya dinyatakan dengan satuan NTU. Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik air oleh adanya bahan padatan terutama yang tersuspensi dan sedikit dipengaruhi oleh warna perairan. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), 8 maupun bahan anorganik dan organik berupa plankton dan mikroorganisme air (Eaton 2005). Faktor yang mempengaruhi nilai kekeruhan suatu perairan diantaranya adalah material organik maupun anorganik, run off dari daratan, pengadukan perairan yang disebabkan oleh badai, aktivitas gelombang, musim dan buangan akibat aktivitas manusia seperti pertanian, industri dan lain sebagainya. Kekeruhan tinggi dapat mengakibatkan terhambatnya penetrasi cahaya ke dalam air yang berdampak pada menurunnya produktivitas primer seperti fitoplankton (Sverdrup et al. 1946). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar (2008), diketahui bahwa nilai kekeruhan suatu perairan dipengaruhi pula oleh kedalaman suatu perairan. Pada perairan laut nilai dari kekeruhan akan semakin berkurang dengan seiring bertambahnya kedalaman, sebaliknya semakin meningkat seiring berkurangnya kedalaman. Secara spasial nilai kekeruhan akan semakin meningkat ke arah estuari atau ke arah daratan. Hal ini diakibatkan masih besarnya pengaruh dari aliran sungai dan air limpasan dari darat (run off). Di wilayah laut lepas nilai kekeruhan suatu perairan relatif rendah dan konstan. Kekeruhan di perairan Selat Bali relatif rendah karena masukan dari daratan sedikit yang ditandai dengan sedikitnya jumlah sungai yang bermuara ke Selat Bali (Priyono et al. 1992). 2.2.3. Total padatan tersuspensi (TSS) Zat padat tersuspensi atau TSS adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen biotik seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri maupun komponen abiotik detritus dan partikel-partikel anorganik. Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat 9 melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena suspensi endapan akibat pengikisan (Permana et al. 1994 in Tarigan & Edwar 2003). Menurut Sanusi (2006) sumber utama padatan tersuspensi di perairan laut adalah dari proses pelapukan batuan/rock weathering (aloton) yang ditransport melalui sungai dan udara serta berasal dari dalam laut itu sendiri (autoton). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan & Edwar (2003) diketahui bahwa nilai kandungan TSS di wilayah Raha, Sulawesi Tenggara berkisar antara 74,9-78,9 ppm. Nilai ini tergolong tinggi akibat masih adanya pengaruh aliran sungai dan run off dari daratan. 2.3. Parameter Kimia Perairan 2.3.1. Salinitas Salinitas didefinisikan sebagai jumlah total garam yang dinyatakan dalam gram yang terdapat dalam satu kilogram air laut (‰). Sebaran salinitas di permukaan air laut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti penguapan (evaporasi), curah hujan dan pembentukan atau pencairan es. Daerah yang mengalami penguapan cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas perairan menjadi sangat tingggi pula. Salinitas air laut juga akan semakin tinggi dengan bertambahnya kedalaman. Nilai kisaran salinitas di perairan laut terbuka umumnya bervariasi antara 33-37 PSU (Ross 1970). Nilai salinitas rata-rata tahunan di perairan Indonesia yang terendah sering di dijumpai pada perairan Indonesia bagian barat dan semakin ke timur nilai rata-rata tahunannya semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pengaruh massa air dengan salinitas tinggi dari Samudera Pasifik sepanjang tahun dan lebih sedikitnya pengaruh massa air daratan. Hal ini juga disebabkan karena sedikitnya jumlah sungai-sungai besar di Indonesia bagian timur dibandingkan dengan bagian barat (Wyrtki 1961). Menurut Saragih (2002), kandungan salinitas pada lapisan permukaan di wilayah selatan Selat Bali lebih tinggi dibandingkan dengan Selat Bali bagian utara. Hal ini diakibatkan bagian selatan Selat Bali berhubungan langsung dengan Samudera Hindia yang memberikan pengaruh cukup besar ke perairan Selat Bali 10 sedangkan di bagian utara, adanya massa air yang datang dari mulut utara Selat Bali bersama-sama dengan massa air yang relatif tawar di pantai Bali yang berasal dari mulut sungai dari pulau Bali. Di bagian utara, salinitas permukaan berkisar antara 32,753-32,770 PSU, sedangkan di bagian selatan nilainya berkisar antara 32,88833,068 PSU. Selain suhu, salinitas pun dapat dijadikan sebagai indikator fenomena upwelling di perairan. Saragih (2002) mengemukakan bahwa pada bulan Agustus 2000, di perairan Selat Bali bagian selatan terjadi upwelling. Hal ini ditunjukkan dengan adanya massa air dengan salinitas tinggi pada lapisan permukaan dibandingkan dengan lapisan dibawahnya yang diduga disebabkan adanya penaikan massa air di perairan sebelah selatan Selat Bali. 2.3.2. pH Nilai pH digunakan untuk mengukur sifat asam dan basa suatu larutan (solution). Semakin rendah nilai pH, maka akan semakin besar sifat asamnya, dan sebaliknya semakin tinggi pH maka akan semakin besar nilai basanya. Suatu zat dikatakan asam apabila zat tersebut mengeluarkan (releasing) satu atau lebih proton, sementara dikatakan basa apabila zat tersebut mengikat (combining) satu atau lebih proton (Compton 1976 in Sanusi 2006). Menurut Langmuir (1997) menganalisis kandungan pH dalam suatu perairan sangatlah penting, hal ini diakibatkan karena: 1. Derajat keasaman suatu perairan menyebabkan peningkatan kapasitas untuk merusak segala hal yang berhubungan dengan material geologi perairan. 2. Peningkatan konsentrasi pH suatu perairan meningkatkan daya larut dari zat-zat yang berbahaya seperti logam, korosif dan toksisitas yang dapat berdampak negatif terhadap biota perairan didalamnya. Derajat keasaman suatu perairan sangat penting untuk dianalisis karena sifatnya yang mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan organisme akuatik lainnya dapat hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH dapat diketahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan suatu organisme. 11 Pada dasarnya, air laut memiliki kemampuan penyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut. Derajat keasaman (pH) air laut permukaan di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi dengan kisaran nilai sebesar 6,0-8,5. Perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut, baik secara langsung maupun tidak langsung (Romimohtarto 1991 in Anwar 2008). 2.3.3. Oksigen terlarut (DO) Oksigen atau O2 merupakan salah satu gas yang terlarut di perairan. Kadar kelarutan oksigen ini bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer maka kadar oksigen terlarut akan semakin kecil (Jeffris et al. in Effendi 2003). Sverdrup et al. (1946) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut relatif lebih tinggi di lapisan permukaan karena adanya penambahan oksigen melalui proses fotosintesis dan difusi udara. Selain dalam proses respirasi, oksigen dibutuhkan dalam proses oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas perairan. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi dibanding dengan lapisan dibawahnya, hal ini diakibatkan oleh adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Semakin bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen akan banyak digunakan untuk proses respirasi dan oksidasi bahan-bahan organik maupun anorganik. Menurut Schmittner (2007), kandungan oksigen di laut sangatlah bervariatif khususnya di lapisan termoklin. Pada lapisan permukaan kandungan oksigen terlarut cenderung lebih tinggi, hal ini 12 berkaitan dengan penetrasi cahaya yang masuk ke badan perairan yang menjadi sumber utama bagi fitoplankton untuk melakukan fotosintesis dalam hubungannya dengan produktivitas primer di perairan. Dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik) kandungan oksigen terlarut minimum adalah sebesar 2 ppm. Kandungan oksigen terlarut ini sudah cukup untuk mendukung kehidupan organisme akuatik di dalamnya, sedangkan idealnya kandungan oksigen terlarut tidak kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Swingle 1968 in Salmin 2005). Kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan mutu air. Kehidupan organisme akuatik dapat bertahan jika ada kandungan oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg/L selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme, derajat aktivitas, kehadiran pencemar, suhu air, dan sebagainya (Anwar 2008). Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik maupun anorganik. Pada kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik, sedangkan pada kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Kramer (1987) menjelaskan bahwa konsentrasi oksigen terlarut di dalam air merupakan salah satu faktor pembatas bagi organisme akuatik khususnya ikan. Di perairan Selat Bali, pengaruh dari proses upweling sangat tinggi akan penyebaran kelarutan oksigen di perairan. Illahude (1974) menjelaskan bahwa terjadinya upwelling pada musim tenggara tercermin dari pola penyebaran vertikal kelarutan oksigen. Nilai rata-rata oksigen pada kedalaman 50 meter pada bulan Juli 1973 adalah 3,50 mg/L, sedangkan pada bulan Maret 1973 adalah sebesar 4, 20 mg/L. Rendahnya kadar oksigen pada bulan Juli merupakan indikasi lain mengenai terjadinya upwelling di perairan Selat Bali yang bersumber dari massa air berkadar oksigen rendah dari lapisan lebih dalam. Pada lapisan permukaan keadaan sebaliknya yang terlihat, kadar oksigen di permukaan pada musim tenggara lebih tinggi daripada musim barat laut. Hal ini disebabkan sebagian karena difusi oksigen 13 dari udara dan sebagian lagi yang tak kurang pentingnya ialah besarnya sumbangan oksigen sebagai hasil fotosintesis dari fitoplankton. 2.3.4. Biocemical Oxygen Demand (BOD) Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi. Secara umum parameter BOD banyak digunakan untuk menentukan tingkat pencamaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemar dari tingkat hulu ke muara (Salmin 2005). Penguraian bahan organik secara biologis di alam, banyak melibatkan bermacam-macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Penentuan kandungan BOD dapat dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi. Organisme hidup bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Reaksi oksidasi selama proses analisis merupakan hasil aktivitas biologis dengan kecepatan reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu. Oleh karena itu pada analisis kandungan BOD, suhu diusahakan konstan pada suhu 20 °C. Menurut Salmin (2005), suatu perairan yang tingkat pencemarannya rendah dan bisa dikategorikan sebagai perairan yang baik kadar BOD berada pada kisaran 0-10 ppm. Kandungan bahan organik di alam dalam jumlah yang tinggi dapat menimbulkan masalah yang berhubungan dengan kualitas air. Bahan organik akan distabilkan melalui proses biologis dan melibatkan mikroba baik melalui proses oksidasi aerobik maupun anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan turunnya kandungan oksigen terlarut di perairan sampai mencapai nilai nol sehingga diindikasikan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan. Menurut Polii (1994) perbedaan nilai BOD disebabkan karena adanya pengaruh suhu terhadap laju reaksi penguraian bahan organik. Suhu perairan akan mempengaruhi kecepatan benturan antar molekul serta keaktifan enzim. Hal ini disebabkan karena dengan meningkatnya suhu, molekul-molekul akan semakin cepat bertubrukan. Jika 14 pergerakan molekul dan tubrukan semakin banyak, maka beberapa ikatan kimia semakin lama akan semakin labil terhadap serangan oksigen sehingga terjadi proses oksidasi. 2.3.5. Amonia Parameter kimia perairan yang bersifat toxic diantaranya adalah amonia. Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah lama mati) oleh mikroba dan jamur yang dikenal istilah amonifikasi. Kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/L bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Selain itu, kadar amonia yang tinggi merupakan salah satu indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan run off pupuk pertanian (Effendi 2003). Amonia dapat bersifat toksik bagi biota perairan karena mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah. Handy & Poxton (1993) menyatakan bahwa amonia yang tidak terionisasi bersifat akut pada organisme perairan dan tingkat keracunannya sangat tergantung pada salinitas, suhu, pH, sementara nitrat dan nitrit secara signifikan tidak bersifat toksik bagi ikan, akan tetapi sebagai penyebab terjadinya blooming alga perairan. Begitu kadar amonia meningkat dalam air, eksresi amonia oleh ikan akan menurun dan kadar amonia dalam darah dan jaringan meningkat. Hal ini akan berdampak pada semakin tingginya nilai pH darah dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis enzim dan stabilitas membran. Amonia juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Perubahan histologi yang terjadi dalam ginjal, empedu, kelenjar tiroid dan darah ikan yang terkena konsentrasi sublethal amonia. 2.3.6. Nitrat Senyawa kimia yang terkandung dalam perairan sangatlah bersifat kompleks, baik zat-zat yang tergolong organik maupun anorganik. Beberapa senyawa dari zatzat tersebut sangat dibutuhkan untuk perkembangan populasi biota perairan di laut 15 yang selanjutnya disebut sebagai nutrien atau zat hara. Nitrat adalah senyawa nutrien yang merupakan hasil akhir dari oksidasi nitrogen. Nitrat merupakan senyawa nitrogen yang paling stabil dengan adanya oksigen bebas yang cukup dalam laut. Di beberapa perairan laut, nitrat digambarkan sebagai senyawa mikroprotein pengontrol produktivitas primer di lapisan permukaan daerah eufotik. Kadar nitrat di daerah eufotik sangat dipengaruhi oleh transportasi nitrat ke daerah tersebut dan mengambil nitrat untuk produktivitas primer. Bila intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air cukup, maka kecepatan pengambilan nitrat lebih cepat dari proses transportasi nitrat ke lapisan permukaan (Grasshoff 1976). Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tmbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi diperairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrien. Menurut Anwar (2008), kisaran nilai nitrat dapat diakibatkan oleh letaknya secara geografis. Kandungan nitrat akan akan semakin tinggi dari laut lepas ke arah dekat dengan pantai yang memiliki kedalaman perairan yang lebih rendah dibanding di tengah laut. Aktivitas di dermaga maupun pemukiman warga dapat mengakibatkan nilai yang diamati di dekat dengan daratan akan semakin tinggi, hal ini berkaitan dengan penguraian dan nitrifikasi akibat input dari sungai. Nitrat merupakan faktor pembatas bagi produktivitas di laut. Jika kandungan nitrat lebih dari 0,1 mg/L masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton (Mackenthum 1969 in Anwar 2008) Saragih (2002) menyatakan bahwa secara umum konsentrasi nitrat akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kandungan nitrat yang tinggi di perairan Selat Bali pada bulan Agustus ditemukan di bagian timur Selat Bali kemudian perlahan menurun ke arah tengah selat. Arus yang masuk dari mulut utara Selat Bali mendesak massa air permukaan ke tengah selat dimana kandungan nitrat juga menurun ke tengah-tengah selat. Berbeda halnya dari arah utara dan selatan Selat Bali, kandungan nitrat bergerak naik ke tengah selat. 16 2.3.7. Fosfat Selain nitrat dan amonia, fosfat merupakan senyawa nutrien yang penting untuk menggambarkan karakteristik suatu perairan. Senyawa ini diabsorpsi oleh fitoplankton dan selanjutnya masuk ke dalam rantai makanan. Fosfat anorganik di laut biasanya dalam bentuk asam orthofosfat (H3PO4) dan polifosfat trifosfat dan pirofosfat), sedangkan yang berada dalam bentuk senyawa organik terdiri dari gula fosfat dan hasil oksidasi (nukleoprotein dan fosfoprotein). Secara umum konsentrasi fosfat akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini sebagai mana dinyatakan oleh Saragih (2002) yang melakukan penelitian di wilayah perairan Selat Bali pada bulan Agustus 2000 yang menjelaskan bahwa kadar fosfat pada lapisan permukaan berkisar antara 0,076-0,564 µg/L yang selanjutnya meningkat hingga kedalaman 150 meter menjadi berkisar antara 0,224-0,715 µg/L. Secara spasial kandungan dari fosfat akan semakin meningkat dari laut lepas ke arah pantai. Koreleff (1976) in Saragih (2002) menjelaskan bahwa tingginya kadar fosfat di daerah dekat dengan pantai atau muara disebabkan karena masuknya limbah domestik dari daratan yang mencemari perairan. Menurut Anwar (2008), konsentrasi fosfat nampak memiliki pola yang relatif sama dengan nitrat, pada umumnya kandungan fosfat terlihat rendah pada wilayah yang memiliki kedalaman yang tinggi dengan variasi antara 0,0043 mg/L hingga kisaran di bawah 0,02 mg/L. Adanya peningkatan kadar fosfat di wilayah yang dekat dengan pantai akibat adanya proses resuspensi sedimen yang dapat melarutkan sebagian kandungan fosfat dalam partikel ke kolom perairan dan dimungkinkan oleh input dari daratan yang cukup besar setelah terjadinya run off. Menurut Wardoyo (1987) in Anwar (2008) konsentrasi fosfat dalam perairan alami pada umumnya tidak melebihi 0,1 ppm. Kandungan fosfat yang melebihi kebutuhan normal akan meningkatkan kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton. Kadar fosfat yang baik di perairan akan meningkatkan produktivitas perairan. Sebagai indikator produktivitas perairan, keberadaan fitoplankton atau zooplankton dapat diketahui melalui kandungan fosfat ideal yang terkandung di perairan karena akan menjadi makanan utama bagi larva ikan. 17 2.3.8. Raksa (Hg) Logam berat seperti raksa, timah, tembaga, kadmium, dan lain sebagainya merupakan bahan yang beracun pada sel atau organisme tertentu walaupun berada dalam konsentrasi yang relatif rendah. Logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih besar dari 5 gram/cm3. Beberapa macam logam berat sangat beracun terhadap tumbuhan hewan termasuk ikan dan manusia, serta keracunannya sangat tahan dalam jangka waktu yang lama. Unsur logam berat ada yang bersifat esensial dan nonesensial, dalam jumlah yang berlebihan logam nonesensial akan bersifat racun bagi organisme hidup. Daya racun logam berat tergantung pada jenis, kadar, efek sinergis-antagonis, dan bentuk fisika kimianya (Bahri 2003). Menurut Razak (1980) dalam perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah logam yang membentuk komplek dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi. Unsur-unsur logam berat biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Pencemaran yang dapat menghancurkan lingkungan hidup biasanya berasal dari limbah-limbah yang sangat berbahaya (memiliki tingkat toksisitas tinggi). Limbah industri merupakan salah satu sumber pencemar logam berat yang potensial bagi perairan. Pembuangan limbah industri secara terus menerus tidak hanya mencemari lingkungan perairan tetapi menyebabkan terkumpulnya logam berat dalam sedimen maupun biota perairan. Dari sejumlah logam berat, raksa (Hg) merupakan unsur yang paling beracun terhadap organisme. Kandungan raksa di perairan alami biasanya diakibatkan oleh dua hal, yaitu oleh fenomena alam itu sendiri melalui proses pelapukan dan letusan gunung berapi. Selain dari fenomena alam, kandungan raksa (Hg) di perairan alami biasanya diakibatkan oleh kegiatan perindustrian seperti industri elektronik, farmasi, cat, dan lain-lain. Bryan (1976) menyatakan bahwa daya racun logam berat ditentukan oleh faktor bentuk senyawa logam berat yang terdapat dalam air, adanya unsur logam berat dari faktor lingkungan yang mempengaruhi fisiologi organisme misalnya suhu, oksigen terlarut, salinitas, umur, dan kemampuan adaptasi terhadap logam berat. Kandungan Hg yang membahayakan di dalam air laut adalah sebesar 18 0,00015 ppm, sedangkan pengamatan organisme laut kadar maksimum Hg untuk batas aman bagi biota perairan adalah sebesar 0,002 ppm. Pada umumnya kandungan Hg pada air laut berkisar antara (0,03-5,00 ppb). 2.3.9. Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat luas di alam. Kadmium bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair 321 °C dan titik didih 765 °C. Menurut Clark & Hill (1986) sumber kadmium yang masuk ke perairan berasal dari : 1. Uap, debu, dan limbah dari pertambangan timah dan seng 2. Air bilasan elektroplating 3. Besi, tembaga dan industri logam 4. Seng yang digunakan untuk melapisi logam (0,2 % Cd) 5. Pupuk fosfat dan endapan sampah Kadar kadmium (Cd) pada perairan tawar alami berkisar antara 0,0001-0,01 mg/L, sedangkan pada perairan laut sebesar 0,0001 mg/L. Untuk melindungi kehidupan organisme akuatik, kandungan kadmium dalam perairan tidak lebih dari 0,0002 mg/L. Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup sulfhidrid daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam lemak. Perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, teradbsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Kadmium pada perairan alami membentuk ikatan kompleks dengan ligan baik organik maupun inorganik yang memiliki tingkat kelarutan yang berbeda (Sanusi 2006). Dalam biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami akumulasi Cd yang lebih banyak (Palar 2004). 2.3.10. Tembaga (Cu) Tembaga atau Cu merupakan logam berat yang essensial bagi tumbuhan dan hewan. Pada tumbuhan, tembaga berperan sebagai penyusun plastocyanin yang berfungsi dalam transfor elektron dalam proses fotosintesis (Boney 1989 in Efendi 19 2003). Mukhtasor (2007) menyatakan bahwa kandungan Cu di wilayah samudera sekitar 1 mg/L, akan tetapi di perairan yang tercemar dapat mencapai 11 mg/L. Kandungan tembaga di perairan dapat berasal dari buangan limbah industri dan dari atmosfer yang tercemar oleh asap pabrik tembaga, pelapisan logam, tekstil, serta dari pengecatan anti foulling pada kapal. Di perairan alami, tembaga (Cu) terdapat dalam bentuk partikulat, koloid dan terlarut. Fase terlarut merupakan Cu2+ bebas dan ikatan kompleks, baik dengan ligan inorganik (CuOH+, Cu2(OH)22+) maupun organik. Selain dengan ligan OH-, Cu membentuk ikatan kompleks dengan ligan inorganik lainnya yaitu dengan: karbonat (CO32-), nitrat (NO3-), fosfat (HPO42-), sulfat (SO42-), sulfida (SH-), klorida(Cl-) dan amonia (NH3) yang bersifat basa dengan stabilitas berbeda-beda. Ikatan Cu kompleks dengan amonia dan sulfida tergolong stabil (Sanusi 2006). 2.3.11. Timbal (Pb) Konsentrasi Timbal atau Pb di perairan dapat bersumber baik dari aktivitas manusia maupun akibat fenomena alami. Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu, proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang dapat masuk ke perairan (Palar 2004). Menurut Darmono (1995) logam berat Pb banyak dihasilkan dari pabrik pembuatan baterai, industri percetakan, alat listrik, pelapis logam (anti karat), industri kimia dan pabrik cat. Kandungan normal Pb di laut adalah sebesar 0,00003 ppm, sedangkan pengamatan terhadap organisme laut konsentrasi Pb pada air laut tidak melebihi dari 0,01 ppm. Konsentrasi Pb sebesar 0,05 ppm dapat menimbulkan bahaya pada lingkungan laut (Waldichuk 1974 in Bahri 2003). Selain Hg, Pb merupakan salah satu logam yang sifatnya mengendap di perairan. Pengendapan logam berat di suatu perairan dapat terjadi karena adanya senyawa H2S pada perairan yang tercemar (Bryan 1976).