INTEGRASI ASPEK LEGAL DAN MORAL DALAM HUKUM ISLAM Oleh : Isa Agus Amsori Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) PEMALANG Email : [email protected] ABSTRAK Dengan detail Al-Qur`an membahas isu-isu fundamental untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil, baik dan buruk, mana yang sesuai kaidah moral dan mana yang imoral. Prinsip-prinsip ajaran Al-Qur`an ditempatkan sebagai standar prilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, meskipun -dalam perspektif lebih sempit- hukum Islam tidak spesifik membedakan moral dan peraturan hukum.Kaidah hukum dan kaidah moral memiliki perbedaan tujuan. Hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman masyarakat, sedangkan moral mempunyai tujuan untuk menyempurnakan kehidupan individu seseorang.Kaidah hukum terjabarkan dari kaidah moral, karena kaidah moral merupakan kaidah terpenting dari semua kaidah yang ada. Hubungan hukum dan moral adalah moralitas; suatu perbuatanmenyatakan bahwa perbuatan itu sesuai dengan kaidah moral, legalitas suatu perbuatan menyatakan bahwa perbuatan itu sesuai dengan kaidah hukum. Pada prinsipnya, distingsi antara hukum dan moral terletak pada perbedaan dalam tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh kedua jenis kaidah itu dalam konteks hukum. Kata Kunci: Legal, Moral, dan Hukum Islam Substansi A. Pendahuluan Syari’at Islam dalam kehidupan tersebut, dari secara istilah-istilah fundamental pemeluknya menempati kedudukannya dariberagam yang sangat urgen, suatu kekuatan yang (fiqih) yang memiliki corak berbeda dinamis dan sekaligus kreatif. Diskursus sesuai hukum Islam selalu dinamis dan tidak sosiokultural kehilangan pemikiran relevansinya masyarakat peran vitalnya dengan yang terus serta kehidupan berkembang mazhab dengan itu dan hukum lahir latar belakang politik tumbuh Islam di mana berkembang. Penggunaan term hukum Islam diperoleh dari terminologi Syari’ah, yang baru. didasarkan atas kebijaksanaan dan demi Istilah hukum Islam sebagai pemaknaan mencapai kesejahteraan umat. Dalam hal al-fiqh al-islâmî atau dalam konteks ini sesuatu yang berkaitan dengan rasa tertentu dari asy-syarî’ah al- Islâmî dan keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan dalam wacana ahli hukum barat dikenal dan kebaikan. Pengembangan hukum Islamic Law (Ahmad Hasan Ridwan, Islam tentunya dapat diiringi dengan 2011: 168). metodologinya atau filsafat hukumnya. dengan munculnya pemikiran Vol. II No. 01, Mei 2016 Para mujtahid kerangka telah membangun metodologi perbedaannya yang antara satu ada mazhab Ada sebuah keteratarikan ketika membahas hukum terpancar dari manusia alam atau yang kodrat, dengan lainnya. Perbedaan pendapat kemudian diterima dan menjadi umum dalam pemikiran hukum Islam tidak karena secara rasional dapat disadari cukup untuk berbeda. Namun secara manfaatnya bagi manusia. Sedangkan sungguh-sungguh untuk memahami hukum ilahi yang diletakkan Tuhan kemudian untuk dalam manusia berupa norma moral mengamalkannya, yaitu hasil ijtihad. umum memainkan peran penting karena Dengan demikian para ahli Islam yang menjadi non-muslim, wahyu, dasar dan sumber hukum masuk dalam positif. Tercapainya tujuan kaidah moral Jika mereka secara tidak langsung akan membawa mendalami Islam, yaitu status kerjanya pengaruh terhadap upaya pencapaian sebagai bukan tujuan kaidah hukum karena pribadi bagaimana melakukan ijtihad dalam yang baik cenderung menaati aturan- hukum Islam. atuaran wilayah tidaklah ijtihad kajian Pembahasan ini. akademis, hukum dan moral dalam tradisi Barat adalah dalam rangka mencari landasan dan formula yang kokoh bagi berlakunya suatu hukum. Sedangkan di dalam Islam, gagasan pemikiran para ilmuan Islam terfokus hukum yang merupakan pedoman bagi setiap manusia dalam kehidupan masyarakat. B. Hasil Temuan dan Pembhasan 1. DialektikaMoral SekulerdanIslam Tujuan hukum untuk Hukum mengatur pada keyakinan bahwa hakekat hukum pergaulan hidup secara damai, ditinjau adalah hukum Tuhan, Dia sendirilah dari aspek lahiriah yaitu untuk mencapai yang menjadi sumber hukum. Wahyu ketertiban atau kedamaian, dan jika di yang diturunkanNya menjadi landasan tinjau dari aspek batiniah adalah untuk utama dalam hukum Islam. Hubungan mencapai ketenangan atau ketentraman. antara Ruang untuk hukum dan moral menjadi membuka perspektif semakin terlihat penting akhir-akhir ini, memahami hukum pembatasan atau karena di satu pihak ada unsur dalam paksaan hukum harus dilakukan secara kaum lebih muslimin yang mendesakkan proporsional. Prinsip syari’at Islam agar segera diterapkan, “membahayakan orang lain” memang sementara ada pihak lain menolaknya. penting karena bermaksud melindung 72 Integrasi Aspek Legal Vol. II No. 01, Mei 2016 hak orang lain untuk tidak dirugikan atau hak atas rasa aman atau tidak terancam. Hukum tidak dibenarkan menutup peluang bagi individu untuk Hukum adalah sebuah sarana spesifik, mengekspresikan diri sesuai dengan bukan suatu tujuan. Hukum, moralitas pertimbangan rasional independennya danagama sendiri. ketiganya melarang Misal adanya korupsi, pembunuhan. Namun demikian, hukum mempunyai dampak negatif terhadap melarang pembunuhan ini dengan jalan kesejahteraan menetapkan di dalam undang-undang individu. Kepentingan publik terancam bahwa seseorang melakukan pembunuhan ketika korupsi merajalela, tetapi pada maka orang lain yang ditunjuk oleh saat yang sama korupsi juga menggeroti peraturan menerapkan individu, maka nilai yang secara natural terhadap si pembunuh tersebut suatu untuk dibela sedapat mungkin oleh tindakan paksa tertentu yang ditetapkan setiap individu. Tentu hal ini termasuk oleh Moralitas dalam pertimbangan moral atau watak membatasi dirinya pada keharusan, anda moral dan bukan hanya legal. Pada saat jangan membunuh (Kelsen, 2014 : 25). itu dimensi moral menjadi substansi hukum peraturan akan hukum. publik atau kebaikan Dengan demikian, prinsip tersebut pertimbangan hukum yang tidak dapat penting untuk membela kedaulatan atau dihindari walaupun akan disepakati pula otonomi individu. Disini penting untuk oleh para penganut postitivisme hukum membedakan sekalipun (Ujan, 2009 : 137). antara prilaku yang berkaitan dengan diri sendiri dan berkaitan Kant membagi moralitas menjadi dua, menjadi yaitu moralitas heteronom dan moralitas persoalan, ketika prilaku murni berkaitan otonom. Moralitas heterotonom adalah dengan diri sendiri sehingga lepas dari sikap di mana kewajiban ditaati dan jangkauan paksaan hukum atau moral. dilaksanakan bukan karena kewajiban itu Atau adakah prilaku yang secara eksklusif sendiri, melainkan karena sesuatu yang hanya berkaitan dengan diri sendiri, dan berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, karenanya tidak memiliki efek apapun misalnya ingin mencapai sesuatu tujuan bagi orang lain. Menurut Judit Shaklar, ataupun karena perasaan legalisme yang penguasa yang memberi kewajiban. Sikap berpegang pada pandangan bahwa tindak seperti ini menghancurkan moral. Sedang tanduk berupa moralitas otonom keasadaran manusia akan kepatuhan kepada peraturan (Friedman, kewjibannya yang ia taati sebagai sesuatu 2013 : 320). yang dengan orang lain. adalah moral Integrasi Aspek Legal Akan sikap etis semestinya dikehendakinya takut pada sendiri karena 73 Vol. II No. 01, Mei 2016 diyakini sebagai hal baik. Moralitas hukum sebagai institusi publik yng semacam ini sebagai otonomi kehendak bertujuan sosial rasional utilirarian, dan (autonomie merupakan moral sebagai lembaga normatif yang prinsip tertinggi moralitas, sebab ia jelas bersumber dari agama. Dengan menarik berkaitan dengan kebebasan, hal yang garis pemisah antara hukum dan agama. sangat hakiki dari tindakan makhluk Henskin menolak tindakan melegislasi rasional atau manusia (Tjahjadi, 1991 : 48). moralitas. Menurutnya, hanya hukum des williens), antara yang bertujuan rasional utilitarian yang pertimbangan hukum dan pertimbangan sah disebut hukum. Sementara moral moral, ketika pelaku kejahatan harus yang dihukum karena pertimbangan hukum, sumbernya bukan karena pertimbangan moral. Oleh diberlakukan dengan bantuan legislasi. Ada garis pemisah yang mendapat dari basis agama dan tidak karena itu, seorang harus dihukum karena Setidaknya ada empat perbedaan; melanggar norma hukum dan bukan pertama, hukum lebih dikodifikasikan karena melanggar norma moral. Distingsi daripada ini penting karena pelanggaran secara dibukukan substansial dapat melanggar norma hukum meski hukum dan moral mengatur dan norma moral. Akan tetapi, apabila tingkah laku manusia, namun hukum negara membatasi mengambil keputusan untuk moralitas (hukum daripada diri pada tingkah laku lahiriah semata-mata karena pelanggaran norma menyangkut juga sikap bathin seseorang, hukum, mengingat sebagai ketiga, sanksi yang berkaitan dengan lembaga politik sebagai hukum berbeda dengan sanksi yang negara berkaitan dengan moralitas, keempat, lembaga dan bukan moral.Seharusnya sedangkan kedua, menghukum seseorang, maka ia dihukum negara saja, moral), lebih berkepentingan mengelola kepentingan hukum umum hukum. masyarakat dan akhirnya atas kehendak Tuntutan ini tidak akan menimbulkan negara sedangkan moralitas didasarkan konflik dengan norma moral apabila pada norma-norma moral yang melebihi norma hukum itu sendiri memang adil para individu dan masyarakat. berdasarkan norma (Tjahjadi : 139). Louis Henkin, sebagaimana dikutip didasarkan atas moral kehendak Pandangan di atas mengisyaratkan kepada kita ternyata hukum dan moral Golding dalam Tjahjadi (1991 : 140), sebenarnya memberi dukungan khusus kepada Mill melainkan ia harus selalu berdampingan. ketika ia menegaskan perbedaan antara Hal itulah yang kemudian al-Ghazali 74 tidak dapat dipisahkan, Integrasi Aspek Legal Vol. II No. 01, Mei 2016 (1994 : 86), menyebut moral dengan perbuatan adalah Al-Qur`an dan al-Hadis istilahakhlak yang merupakan tabiat jiwa, (Djamil, 1999 : 148). Apa yang dinyatakan yang dapat dengan mudah melahirkan baik oleh kedua sumber itu, maka itulah perbuatan-perbuatan dengan perwatakan ukuran kebaikan, dan demikian pula tertentu secara serta merta tanpa pemikiran sebaliknya.Karena itu, integritas yang baik dan pertimbangan. Apabila tabiat tersebut tidak mungkin diharapkan di luar agama melahirkan perbuatan baik dan terpuji (Kabah, 2004 : 146). menurut akal dan agama, tabiat tersebut Bahwa seluruh bidang hukum Islam dinamakan akhlak yang baik. Apabila yang memiliki landasan tekstual telah melahirkan yang dikembangkan secara menyeluruh dan jelek, maka tabiat tersebut dinamakan rapi oleh fuqahâ`. Hukum yang belum akhlak yang jelek. sempat diungkapkan secara eksplisit perbuatan-perbuatan Dengan kata lain, perbuatan etis itu tetapi bisa dikembangkan, meskipun bersifat deontologist dan berada di balik begitu nalar. Russell berpendapat dengan teori hukum lagi. Dia tradisional yang bekerja di atas teks yang perbuatan etis menentukan berbeda bahwa sesuai setiap ketentuan yang bersifat rasional. Justeru karena manusia dihasilkan harus memiliki kaitan dengan rasional, dia melihat perlunya bertindak kandungan literal dari teks baik langsung secara etis. Mengapa? Bertindak secara maupun tidak langsung. Apa yang etis pada akhirnya pasti akan mendukung tersedia saat ini adalah suatu teori yang pencapaian (kepentingan) dirancang untuk menjaga keterkaitan pelaku, baik interest material maupun antara hukum dengan teks ketika teori non material. Dengan istilah lain, nilai- itu ternyata bekerja pada sumber yang nilai terbatas (Saleh, 2009 : 149). etis interest bersifat pragmatis atau utiliristik (Abdullah, 2002 : 17). Dalam perpektif ini, hukum Islam Ukuran perseorangan untuk baik dan menganggap hubungan seksual diluar buruk, bagus dan jelek berbeda menurut nikah adalah bentuk kejahatan dan perbedaan persepsi seseorang, perbedaan kemaksiatan, kecuali hal itu antara suami masa, dan perubahan keadaan dan tempat. dan istri atau pada masa lalu antara Namun demikian dalam setiap masyarakat seorang majikan dengan budaknya. Pada dalam suatu masa ada ukuran umum, saat yang sama pertanggungjawaban dari artinya ada ukuran yang diakui oleh seluruh individu itu terhadap perbuatan zina, atau sebagian besar dari anggotanya. Bagi dalam prakteknya, untuk mendapatkan umat Islam pendasaran baik dan buruk bagi hukuman tidak dapat dipisahkan dari Integrasi Aspek Legal 75 Vol. II No. 01, Mei 2016 peraturan-peraturan yang berhubungan memberikan pengakuan sendiri terhadap dengan bukti pelanggaran. Hal itu harus perbuatannya maka baru bisa dieksekusi ditetapkan melalui empat orang saksi, hukuman rajam. Itupun dengan keadaan muslim dewasa, melihat dengan mata negara kepala sendiri, mempunyai integritas Islam dalam pemerintahannya. Di dalam kitab-kitab doktrin syariah menentukan menerapkan hukum Pelanggaran terhadap etika agama karakter yang bisa dipercaya. juga tersebut ukuran-ukuran Islam merupakan pelanggaran terhadap hukum Tuhan sebagaimana pelanggaran- moralitas yang lain. Semisal kewajiban pelanggaran puasa dalam bulan Ramadhan, menahan pengadilan dapat memutuskan hukuman. diri berhubungan suami-istri saat sedang Dalam terminologi syariah Islam adalah berpuasa, sebagai suatu peraturan yang lain yang undang-undang karenanya hukum dan mempunyai implikasi-implikasi hukum undang-undang moral. Ini merupakan tertentu. Tuntutan seorang istri terhadap susunan komprehensif dari tingkah laku maharnya, status manusia yang berasal dari otoritas legitimasi anaknya dapat bergantung tertinggi dari kehendak Allah, sehingga kepada apakah hukum menduga sudah garis pemisah antara hukum dan moral digauli dalam sama sekali tidak begitu jelas tergambar akibat-akibat seperti halnya dalam masyarakat Barat umpamanya, atau perkawinannya. atau belum Tetapi hukum ini bersifat insidental, peraturan itu pada dasarnya adalah moral karena penyimpangan perbuatannya tidak pada umumnya. Sebarapa jauh yurispendensi Islam, baik dahulu maupun sekarang dalam membedakan antara tingkah laku yang menyebabkan adanya hukuman. Betapapun, seorang yang betul-betul diinginkan secara etik dan yang dapat melanggar kewajiban puasa ramadhan, dilaksanakan atau dengan cara lain apapun, harus seberapa jauh ia menuntut bahwa hal itu bertobat atas dosanya, baik dengan merupakan kewajiban pengadilan untuk membayar puasa pada hari lain atau memaksa seseorang berkelakuan secara dengan Atau ideal. Sedangkan pada masyarakat yang hukuman rajam bagi pezina juga sangat sudah maju adat tersebut tidak lagi sulit untuk diterapkan karena harus mencukupi. Ini karena moral adalah menghadirkan empat kebebasan pribadi dan cara berfikir setiap dewasa, melihat memberikan kepalanya 76 dan sendiri sedekah. saksi, muslim dengan terkecuali menurut hukum, atau mata orang tidaklah sama, sifat dan tingkah ia lakunya pun berbeda, sehingga banyak Integrasi Aspek Legal Vol. II No. 01, Mei 2016 mendapat pengadilan. Sering ada kekuatan yang tantangan dan hambatan. Untuk mengatur lebih kuat untuk memaksa ketaatan segalanya diperlukan aturan lain yang standar tingkah laku daripada paksaan tidak didasarkan pada kebebasan pribadi, hukum. sekali usaha baik yang tetapi juga mengekang kebebasan pribadi Oleh karena itu, dalam pandangan dalam bentuk paksaan, ancaman dan masyarakat Islam hukum dan moralitas sanksi. Aturan itulah yang disebut hukum keagamaan sering digabungkan secara (Raharjo, 1991 : 27-28) rancu dalam filsafat kehidupan umum; Dalam beberapa kasus, memang sebetulnya ada paksaan untuk mematuhi benar, sanksi-sanksi hukum yang tepat moral seperti halnya dijatuhkan karena suatu perbuatan atau melaksanakan kelalaian seperti hukuman rajam (cambuk) prinsipnya, bagi orang yang menuduh orang berzina perkara yang lebih sempit dari peran tapi tidak terbukti, atau hukum potong yang dimainkan oleh pengadilan syari’ah tangan bagi orang yang mencuri. Tetapi dalam pelaksanaan norma tingkah laku pada umumnya ajaran-ajaran Al-Qur`an Islami. Dan bagi pengadilan-pengadilan semata-mata menunjukkan standar tingkah itu ada perbedaan nyata antara peraturan laku tersebut yang dapat diterima oleh yang dijalankan menurut hukum dan Allah dan menyatakan akibat-akibatnya yang diinginkan menurut moral. hukum. hanya kewajiban Tetapi pada memperhatikan berkenaan dengan yang dikenakan teks Sebagaimana aliran hukum alam, nash. Hukum Islam menganut hukum hukum Islam juga tidak memisahkan kausalitas antara hukum dan moral. Hukum Islam (sabâbiyah) yakni adanya sesuatu disebabkan oleh sesuatu pula, memandang kewajiban menerima taklif disebabkan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. seseorang yang akil, baligh, dewasa, sehat Sebagai dan sadar (Muhaimin, 2012 : 299). aturan, hukum tidak bisa berdiri sendiri Perbedaan antara peraturan yang keduanya guide-line sebagai atau satu perangkat dalam interaksinya dengan masyarakat. dapat dilaksanakan menurut hukum dan Sebaliknya, ia perlu disandingkan peraturan yang diinginkan secara moral dengan komponen lain, yaitu moralitas adalah tentu saja bukan perbedaan antara yang dalam terminologi agama sering peraturan yang tidak dipatuhi. Nilai dan disebut tasawuf atau akhlaq karimah. standar yang sebenarnya yang dengan itu Dalam Islam, hukum secara luas masyarakat hidup tidak selalu dan tidak dibagi menjadi dua elemen besar, yaitu semata-mata yang dapat dilaksanakan oleh fiqh ibadah (ritual) dan fiqh mu’amalah Integrasi Aspek Legal 77 Vol. II No. 01, Mei 2016 (sosial). Apa yang kemudian disebut yang dapat menjadikan dasar dalam normatif dalam nomenklatur hukum pembentukan jiwa untuk menyadari akan barat pentingnya sesungguhnya memiliki aspek hukum. Intuisi dapat persamaan dengan hukum Islam dalam menuntun manusia untuk menentukn pembagian kebenaran yang datang dari Allah SWT, pertama (fiqh ibadah). Disebut normatif lantaran diktum hukum yang semacam ini berwatak statis dan tidak lingkungan kebenaran tauhidullah yang dapat tertanam sejak berada di alam ruh. berkembang mengikuti irama perubahan yang terjadi di masyarakat. Ini bisa dilihat dalam praktik ritual harus selalu terbina dalam (S. Praja, 2011 : 232) puasa, 2. Menikah Mut’ahkan Legal Moralism dan Legal Positivism membayar zakat, membaca Al-Qur`an Istilah sekular yang menjadi inti keagamaan semisal shalat, dan lain-lain. kata sekulerisme dan sekulerisasi itu Elemen yang kedua (mu’amalah) dalam nomenklatur dari bahasa Latin yang Islam mempunyai dua pengertian waktu dan merupakan ketentuan-ketentuan hukum lokasi. Waktu menunjuk kepadasekarang berkaitan sosial atau kini, sedang lokasi menunjuk pada kemasyarakatan. Elemen fiqh yang ini duniawi. Artinya tekanan makna sekular dapat sesuai diletakkan pada periode tertentu di dunia konteks perkembangan masyarakat. Apa yang dipandang sebagai suatu proses yang penting dalam fiqh mu’amalah sejarah. Ini berarti, bahwa sekulerisme adalah bagaimana mengapresiasi prnsip- adalah paham atau aliran dalam filsafat prinsip ajaran agama yang dituangkan yang secara sadar menolak peranan secara garis besar oleh teks agama. Hal Tuhan dan wahyu atau agama dalam ini mengatur dengan mengalami seperti ‘adâlah), hukum berasal persoalan perubahan nilai-nilai kesetaraan permusyawaratan keadilan (al- (al-musâwat), (asy-syûrâ), saling legawa (at-tarâḍi), tidak terselubung (‘adamu al-gharar), tidak kehidupan manusia dan memusatkan perhatiannya semata-mata pada masalah dunia (Daud Ali, 2012 : 23). ada Bahkan suatu hal mengarah kepada pemaksaan (‘adamu al-`ikrâh), dan tidak kehendak untuk berbuat baik terhadap spekulasi (‘adam al-muqâmarah). sesama manusia bermuara pada suatu Fungsi hukum bagi manusia adalah pergaulan antara pribadi yang fitrah sejak dilahirkan karena manusia berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan telah memiliki potensi-potensi bawaan moral. Tetapi kehendak yang sama 78 Integrasi Aspek Legal Vol. II No. 01, Mei 2016 untuk hati nurani menjadi motivasi sebenarnya membuat suatu aturan hidup bersama dari kelakuan dan tindakan-tindakan. yang sesuai dengan prinsi-prinsip moral Dalam menghadap norma-norma yuridis tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan timbullah membentuk suatu sistem norma yang penyesuaian diri dengan apa yang telah harus ditentukan mendorong orang-orang ditaati Kehendak juga masyarakat untuk tertentu. sikap legalitas, dalam yaitu undang-undang (Huijbers, 1995 : 66). mengatur hidup macam norma: A. Reinach (1883-1917) sebagaimana pertama, Norma moral yang mewajibkan dikutip Huijbers (1982 : 231-234), tiap-tiap orang secara batiniah. Kedua, mengatakan uraian Kant di atas harus norma-norma atau dilengkapi yang berikut: menghasilkan normanorma tiga masyarakat, sopan santun dengan pertama, uraian sebagai Norma moral umum. mengenai suara hati pribadi manusia, Ketiga, Norma hukum, yang menentukan norma yuridis berlaku atas dasar suatu hak-hak dan kewajiban-kewajiban. perjanjian. Kedua, Hak-hak moral tidak mengatur pergaulan secara Norma moral bersifat subjektif, sebab pernah hilang dan tidak dapat pindah berkaitan dengan suara hati subjek, lagi kepada menuntut untuk sungguh-sungguh ditaati. yuridis dapat hilang dan berpindah Norma sopan santun bersifat objektif, (sesuai karena berhubungan dengan masyarakat Norma moral mengatur baik batin maupun dan kebudayaan, tidak menuntut, hanya hidup lahir, sedangkan norma hukum mengundang saja. Norma hukum bersifat hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de objektif, internis praetor non iudicat). karena kaitannya dengan negara, tetapi menuntut untuk ditaati orang dengan lain, sedangkan perjanjian). hak Ketiga, Dengan demikian,hukum haruslah bersih dari politik, etika, sosiologi dan (Huijbers, 1995 : 64-65). Perbedaan hukum dan moral (etika) sejarah. Hukum hanya berurusan dengan dapat diterangkan lebih lanjut dengan bentuk (forma) tidak berurusan dengan mengingat isi (materia). Sedang keadilan sebagai isi akan suatu perbedaan norma- hukum berada di luar hokum Oleh norma moral dan hukum, sebagaimana karena itu, Qodri A. Azizy (2004 : 203) dikemukakan oleh Kant. Dalam menganggap gagasan-mengenai keadilan menghadapi norma-norma moral haruslah menjadi tema di dalam politik, yakni tidak di dalam hukum. Ilmu hukum penyesuaian diri dengan batin; di sini adalah suatu hirarki mengenai hubungan prinsipil timbullah dalam menghadapi sikap Integrasi Aspek Legal moralitas, 79 Vol. II No. 01, Mei 2016 normatif, bukan suatu hubungan sebab dan penegakan akibat. Kelsen hanya berbicara mengenai pengembangan dan penegakan moral, dan hukum yang ada (law as it is), tidak peranan sebagai yang seharusnya ada (law as moralitas masyarakat.Singkatnya hukum ought to be). Obyek tunggal hukum yang sebanarnya mempunyai empat unsur: adalah menentukan apa yang dapat (i) perintah, (ii) sanksi, (iii) kewajiban diketahui secara teoritis tentang tiap (duty), jenis hukum pada tiap waktu dan dalam (sovereignty) (Azizy, 2004 : 202). Semestinya dikotomi semacam itu dihindarisehingga beranggapan, hukum dalam (iv) pembentukan kedaulatan/kekuasaan Dalam praktek, ternyata faktor- tiap keadaan. bisa hukum, maupun dalam bahwa seseorang keadaan bisa faktor, seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial hakim, dan nilai-nilai yang ada pada hakim, lebih berfungsi di diputuskan baik dari sudut pandang dalam hukum atau moral, tapi memutuskan dari daripada “aturan” yang tertulis. Holmes sudut semahalnya mengajak untuk bersikap bersikap dan mengecualikan yang satunya. Inilah bertindak realistis di mana realisme makna klise bahwa suatu tindakan dipahami tertentu mungkin secara moral tidak bisa tentang mengapa putusan-putusan itu di diterima, secara hukum hanya tindakan dalam kenyataannya diambil. Di sini ini yang benar dan bahkan yang lain hakim (Kelsen, 2014 : 575). menentukan hukum ketika memberi pandang itu Diskursus hubungan hukum dan moral dalam hukum pada sebagai pengujian mempunyai otoritas beberapa hal putusannya itu tidak selalu pertentangan sama dengan apa yang tertulis dalam undang-undang atau hukum kodrat. Pokok permasalahannya Untuk itu moralitas hakim berkenaan menentukan kualitas hukum aturan hukum keabsahan (legalitas) suatu sehingga mengikat warga masyarakat. Namun hubungan hukum dan untuk keputusan pengadilan, meskipun dalam pemikiran antara positivisme dengan dengan ilmiah pemikiran perspektif terpola pengambilan keputusan hukum moral tidak aturan lainnya. sangat yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. (Azizy, 2004 : 207) Dalam perspektif ini, idealisme terbatas pada persoalan itu, tapi juga hukum baru yang terdiri dari sebagian berkaitan dengan relasi fungsional yang metafisis bersifat resiprokal antara hukum dan membelok moral. Baik dalam proses pembentukan positivisme analitis dan berbalik mulai 80 dan dan sebagian sosiologis, mulai menentang Integrasi Aspek Legal Vol. II No. 01, Mei 2016 menyelidiki realitas dalam masyarakat Islam dalam pembangunan hukum dalam modern dalam hubungannya dengan sebuah negara tertentu. hukum modern (Friedman, 1990 : 187). Hukum Islam yang berhubungan Hal tersebut, berpijak dari pertanyaan dengan ranah publik seperti hudud, fundamental Karena qishas dan sejenisnya adalah hukum hukum merupakan produk bermacam- publik yang terkandung dalam syari’ah, macam sepenuhnya dapat dijadikan landasan esensi filsafat hukum. tentang hidup dan ideologi politik yang memang digemari dan dalam peradaban Barat, di mana nilai historisnya. Akan tetapi tidak dapat akhir dan tujuan hidup memang berbeda dijadikan satu sama lainnya (Azizy, 2000 : 177). konsisten bersesuaian dengan konteks 3. Persemaian Legal spesifikasi dan Moral Ideal Principle konsisten alasan dengan dan tidak konteks secara kekinian. Apa yang tersirat dalam hal ini adalah hukum Islam sangat dipengaruhi Sistem hukum Islam merupakan nuansa sosial-budaya, ekonomi, politik salah satu tiga besar sistem hukum di masyarakat Arab diabad ke tujuh. Oleh dunia, dimana yang kedua adalah roman sebab itu, bukanlah sikap yang bijak law dan sistem common law (Azizy, ketika mengadopsi apa yang ditetapkan 2004 : 104). Masing-masing dari ketiga dalam nash secara literal dan formal sistem hukum di dunia ini mempunyai legalistik tanpa lebih jauh mengapresiasi spesifikasi tersendiri, dan dalam waktu tujuan serta hikmah terdalam dari hukum yang bersamaan, dapat saling mengisi tersebut (Arma, 2005 : 177-178). Karena dan dalam setiap hukum yang lahir pasti bertujuan sebuah sistem hukum yang berkembang. mencari kemaslahatan dan ini sangatlah Aspek hukum Islam merupakan hukum sesuai dengan prinsip maqâshid asy- agama dan juga mengandung hukum syarî’ah, moral, atau memiliki nilai moralitas, menyesuaikan pada ruang dan waktu. sekaligus berkompetisi maka hukum harus sehingga dalam praktek pengamalannya Tentu, hukum mestilah memiliki ada konsekuensi akhirat. Dalam konteks sifat adaptif, berkembang, partikular, ini, yng beragam sesuai dengan tuntutan lokalitas membudaya dan menjadi kebiasaaan dan tidak kadaluwarsa. Dalam sejarah dalam kehidupan pemeluknya (Azizy, pemikiran hukum Islam, secara filosofis, 2000 : 106). Oleh karena ada hubungan sebagaimana diteorikan oleh Coulson hukum umum, memang dikenal adanya tarik menarik sekaligus adanya positivisasi hukum antara wahyu dan akal, kesatuan dan banyak Islam hukum dan Integrasi Aspek Legal Islam hukum 81 Vol. II No. 01, Mei 2016 dan intuisi dan empiris. Otoritas dibedakan liberalisme, idealisme dan realisme, menjadi dua jenis: (1) Otoritas manusia hukum dan moralitas, serta stabilitas dan yang berasal dari manusia yang disebut perubahan (Saleh, 2009 : 88). kesaksian, (2) Otoritas Tuhan dalam keragaman, otoritarianisme Ahli hukum Barat menilai hukum bentuk wahyu yang diwahyukan kepada Islam sebagai hukum tidak menerima Nabi dan merupakan sistem ketuhanan logika hukum jika tidak dikatakan yang menempatkan Allah SWT sebagai menolak penguasa positivisme, kecuali J.N.D tertinggi. Otoritas Tuhan Anderson. Coulson sebagai penganut memiliki jangkauan rentang waktu abadi dan pendukung positivisme, tertarik pada dan bersifat universal (Ridwan, 2011 : kepentingan materiil masyarakat dan 171). menilai hukum Tuhan dari sudut Wacana hukum Islam dalam positivistik. Hukum Islam menurutnya kerangka ilmu berada dalam wilayah agamis karenanya bukan hukum dalam pemahaman akal terhadap wahyu Allah. pengertian modern. Berbeda dengan Hukum Islam memuat prinsip-prinsip Coulson, Anderson menyatakan bahwa aturan yang sifatnya tetap dan abadi hukum Islam juga menjangkau setiap tetapi eksistensi aktivitas akal menjamin segi pelaksanaan kehidupan dan setiap bidang hukum yang bersifat hukum. Oleh karena itu, dalam teori fleksibel. Dalam wilayah inilah, hukum hukum Islam (uṣûl al-fiqh) tidak dapat Islam dipahami sebagai wujud upaya ditandingi ilmiah manusia untuk mengkaji dan oleh hukum manapun menyusun prinsip-prinsip wahyu ke (Ridwan, 2011 : 168). Secara umum, sistem hukum sebagai dalam sistem hukum yang manusiawi. kumpulan aturan yang ditentukan oleh Memang apabila memahami hukum koherensi pengertiannya yang terdalam, Islam hanya sebagai kumpulan peraturan sehingga setiap sistem hukum merupakan yang berasal dari corpus jurisprudence kebutuhan enterprise yang bukan tanpa Islam yang terbentuk secara historis, maka tujuan. berhubungan hanya sebagai peninggalan masa lalu. dengan konsep tujuan, dan keadilan Namun hukum Islam terdiri dari tiga merupakan tujuan tertinggi. Hukum tanpa lapisan norma yang meliputi: (1) norma- keadilan dan moralitas, bukanlah hukum norma dasar (al-qiyâm al-`asâsiyah), (2) dan tidak bisa bertahan lama. Hukum asas-asas umum (al-uṣûl al-kuliyyah), (3) Islam memiliki sumber spesifik yang Peraturan-peraturan kongkret (al-aḣkâm secara epistemologi disebut otoritas, rasio, al-far’iyyah). Peraturan hukum kongkret 82 Hukum sangat Integrasi Aspek Legal Vol. II No. 01, Mei 2016 sebagian besarnya memang merupakan mengemukakan bahwa tujuan pokok kebutuhan saat itu, bila zaman berlalu dan disyariatkan muncul berbagai variabel baru yang tidak kemaslahatan manusia baik di dunia dan ada terhadap akhirat. Kemaslahatan itu akan terwujud peraturan tersebut maka peraturan itu akan dengan cara terpeliharanya tiga macam kehilangan asas kebutuhan manusia, yaitu ḍarûriyât, hukum Islam sendiri ditegaskan bahwa hâjiyât, dan tahsîniyât bagi manusia itu tidak diingkari perubahan hukum karena sendiri (Koto, 2012 : 49). saat dilakukan ijtihad relevansinya. Dalam hukum Islam adalah Musthafa Secara umum, prinsip-prinsip pokok Abdurraziq (2009 : 5), ada tiga syarat yang harus selalu menjadi landasan dan perubahan peraturan hukum yaitu: (1) ada sasaran hukum Islam adalah; tuntutan untuk melakukan perubahan, (2) 1. Meraih kemaslahatan dan menolak perubahan peraturan zaman tersebut menurut tidak menyangkut kemafsadatan ()ﺟﻠﺐ ﻤﻟﺼﺎﻟﺢ ﻤﻟﻔﺎﺳﺪ substansi ibadah, dan (3) perubahan baru Ulama menyimpulkan prinsip ini itu tertampung oleh nilai dan asas syari’ah dengan mengatakan bahwa meraih lainnya. kemaslahatan dan menolak kemafsadatan Secara fundamental ketiga poin di adalah prinsip paling utama dalam atas lebih dekat dengan filsafat hukum pensyaratan hukum Islam. Prilaku Islam terdiri atas sumber hukum, kaidah manusia ada yang berimplikasi pada dan tujuannya (maqâṣid al-tasyrî’), sebuah kemaslahatan dan ada pula yang tujuan yang berimplikasi pada kemafsadatan. Oleh sesungguhnnya dari perundangan atau karena syariat Islam bertujuan untuk penerapan hukum Islam (taṭbîq al-aḣkâm). mengatur supaya seluruh perilaku Tujuan itu ada yang secara terang disebut manusia berdampak pada kemaslahatan langsung oleh Allah dalam firman-Nya, mereka di dunia dan akhirat. atau rahasia (asrâr) dan ada pula yang tersembunyi, sehingga diperlukan upaya sesungguhnya dalam penggalian untuk bentuk yang mengetahuinya kegiatan Dalam mencapai kemashatan ada tiga tingkatan yang harus diperhatikan, pertama, kemaslahatan kefilsafatan pada yang diperbolehkan (maṣâliḣ al- (philosophical activities) (Koto, 2012: mubâḣât), kedua, kemaslahatan pada 154). yang Inti pokok dari syariat adalah untuk manusia, Muwâfaqat asy-Syatibi fî Integrasi Aspek Legal Uṣûl dalam dianjurkan mandûbât), ketiga, (maṣâliḣ al- kemaslahatan al pada yang diwajibkan (maṣâliḣ al- asy-Syarî’ah, wâjibât). Sedangkan kemafsadatan 83 Vol. II No. 01, Mei 2016 memiliki dua tingkatan, pertama, kekurangan yang bersifat alamiah, kemafsadatan pada 6) Karena kesulitan dan bencana global (mafâsid al yang makruh makrûhât), kedua, kemafsadatan pada yang diharamkan (mafâsid al-muḣarramât) (Koto, 2012 : 148) (Koto, 2012 : 149, Lihat juga, Wahbah Azzuhaily, 2005 : 123). Metodologi yang dikandung teks dapat dikembangkan hingga mencakup Pemahaman pengetahuan pada seluruh bidang kegiatan manusia melalui kemaslahatan dan kemafsadatan di prinsip umum (deduktif) dari hukum Islam dunia, dapat yang berangkat dari kasus-kasus hukum diketahui melalui naṣ. Sedangkan spesifik dalam fiqh, dan dengan meneliti nilai kemaslahatan dan kemafsadatan ayat-ayat Al-Qur`an dan Sunnah, pemikir di akhirat tidak dapat dianalisis hukum Islam bisa sampai pada prinsip melainkan umum hukum Islam, yaitu sebuah pinsip- sebagian dengan besarnya menggunakan petunjuk dalil naqli. prinsip ini adalah hikmah hukum. 2. Memberikan kemudahan dan menolak Di sini keberadaanAl-Qur`an dan hadits kesukaran ()ﺟﻠﺐ ﺤﻛﻴﺴﺮﻴ ﻓﻊ ﺤﻟﺮ Semua hal yang membuat segala sesuatu menjadi sempit dan sulit harus dihilangkan, karena agama diturunkan bukan untuk menimbulkan oleh Islam dipandang memiliki otoritas yang mengikat, sebagai kemauan kekuatan di luar manusia, kemauan yang berada di bawa otoritas kemanusiaan manapun. Dengan kata lain, kesulitan bagi manusia, melainkan Al-Qur`an dan hadits merupakan norma kemudahan. dasar yang mengikat, karena bagi umat ﺠﺗﻠﺐ ﺤﻛﻴﺴﺮﻴ Ada kaidah pokok “ ﻤﻟﺸﻘﺔkesulitan itu Islam keduanya adalah nash. Hukum-hukum yang bersifat umum mendatangkan kemudahan”. Dari kaidah ini adanya dispensasi ini yang bersendikan prinsip-prinsip yang Islam. kokoh seperti keadilan yang murni dan Keringanan dalam lingkup ibadah dan kebajikan yang hahiki. Orang-orang barat sebagainya dibenarkan adanya apabila menamakan prinsip-prinsip tersebut qanun memenuhi sebab : 1). Kondisi atau samawi atau kanun yang kekal. Prinsip- alasan dalam perjalanan, 2) Dalam prinsip yang umum ini berlaku di segala kondisi sakit, 3) Karena terpaksa, negara di segala bangsa dan di setiap 4) Karena lupa, 5) Karena ketidaktahuan/ masa. Pemeliharaan hukum mewujudkan belum mengerti, 6) Karena alasan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak, (rukhṣah) dalam hukum keadilan, 84 umat persamaan maupun dalam Integrasi Aspek Legal Vol. II No. 01, Mei 2016 memelihara maslahat, menolak mafsadat Perbedaan lainnya berkenaan dengan serta memperhatikan keadaan dan suasana sifat universalitas yang menjadi ciri (as-Shidiqiy, 2001 : 286). kaidah moral, dan sifat nasionalitas yang menjadi karakteristik hukum. C. Simpulan Hukum Hubungan antara aspek legal dan moral dalam hukum Islam, pada aspek perbedaannya adalah dalam daya kerjanya. Kaidah hukum bukan hanya membebankan kewajiban pada manusia (normatif), tapi kekuasaan (atributif) mengatur Kaidah juga kehidupan moral hanya memberikan aturan untuk bermasyarakat). membebankan kewajiban saja pada manusia, artinya semata-mata bersifat normatifuntuk mengatur kehidupan pribadi manusia. Islam juga tidak memisahkan antara hukum dan moral. Hukum Islam memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai perangkat aturan, hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam interaksinya dengan masyarakat. Dan perlu disandingkan dengan komponen lain, yaitu moralitas yang dalam terminologi agama (tasawuf atau akhlaq karimah). *** DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin. 2002. Filsafat Etika Islam. Bandung : Mizan. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1994. Ihyâ` ‘Ulûm adDîn,Vol. III. Kairo : Dar al Hadits. Ali, Mohammad Daud. 2012. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada ash-Shidiqiy, Hasbi. 2001. Falsafah Hukum Islam. Yogyakarta : Pustaka Rizki Putra. Azizi, Ahmad Qodri. 2000. Islam dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta: LkiS. ___________. 2004. Eklektisisme Hukum Nasional. Yogyakarta : Gama Media. Integrasi Aspek Legal Djamil, Fathurahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Friedmann, W. 1990.Teori dan Filsafat Hukum-Telaah Kritis atas TeoriTeori Hukum, (terj.) Muhammad Arifin. Jakarta : CV. Rajawali. ___________. 2013, The Legal System: A Social Science Perspective, (System Hukum persektif Sosial). terj. M.Chozim. Bandung : Nusa Media Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius. ___________. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta : Kanisius. H.L.A Hart. Tth. The Concept of Law. terj. M. Chozim. Bandung : Nusa Media 85 Vol. II No. 01, Mei 2016 Praja, Juhaya S. 2011. Teori Hukum Islam dan Aplikasinya. Bandung : Pustaka Setia. Husaini. Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual. Surabaya : Risalah Gusti. Ka’bah, Rifyal. 2004. Menegakkan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta : Khairul Bayan. Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti. Koto, Alaidin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Kelsen, Hans. 2014. General Theory of Law and State. terj. Raisul Muttaqien. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung : Nusa Media. Mustofa. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta : Sinar Grafika. Nirwan, Syafrin Arma. 2005. Syari’at Islam: Antara ketetapan Nash dan Maqashid Syari’ah. dalam Adian 86 Ridwan, Ahmad Hasan. 2011. DasarDasar Epistemologi Islam. Bandung : Pustaka Setia. Saleh, Abdul Mun’im. 2009. Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tjahjadi, S.P. Lili. 1991. Hukum MoralAjaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Impearatif Kategoris. Yogyakarta : Kanisius. Ujan, Andrea Ata.2009. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius. Integrasi Aspek Legal