INTEGRASI ASPEK LEGAL DAN MORAL DALAM HUKUM ISLAM

advertisement
INTEGRASI ASPEK LEGAL DAN MORAL
DALAM HUKUM ISLAM
Oleh : Isa Agus Amsori
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) PEMALANG
Email : [email protected]
ABSTRAK
Dengan detail Al-Qur`an membahas isu-isu fundamental untuk membedakan
mana yang hak dan mana yang batil, baik dan buruk, mana yang sesuai kaidah
moral dan mana yang imoral. Prinsip-prinsip ajaran Al-Qur`an ditempatkan
sebagai standar prilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima,
meskipun -dalam perspektif lebih sempit- hukum Islam tidak spesifik
membedakan moral dan peraturan hukum.Kaidah hukum dan kaidah moral
memiliki perbedaan tujuan. Hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan
ketenteraman masyarakat, sedangkan moral mempunyai tujuan untuk
menyempurnakan kehidupan individu seseorang.Kaidah hukum terjabarkan dari
kaidah moral, karena kaidah moral merupakan kaidah terpenting dari semua
kaidah yang ada. Hubungan hukum dan moral adalah moralitas; suatu
perbuatanmenyatakan bahwa perbuatan itu sesuai dengan kaidah moral, legalitas
suatu perbuatan menyatakan bahwa perbuatan itu sesuai dengan kaidah hukum.
Pada prinsipnya, distingsi antara hukum dan moral terletak pada perbedaan dalam
tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh kedua jenis kaidah itu dalam konteks
hukum.
Kata Kunci: Legal, Moral, dan Hukum Islam
Substansi
A. Pendahuluan
Syari’at Islam dalam kehidupan
tersebut,
dari
secara
istilah-istilah
fundamental
pemeluknya menempati kedudukannya
dariberagam
yang sangat urgen, suatu kekuatan yang
(fiqih) yang memiliki corak berbeda
dinamis dan sekaligus kreatif. Diskursus
sesuai
hukum Islam selalu dinamis dan tidak
sosiokultural
kehilangan
pemikiran
relevansinya
masyarakat
peran
vitalnya
dengan
yang
terus
serta
kehidupan
berkembang
mazhab
dengan
itu
dan
hukum
lahir
latar
belakang
politik
tumbuh
Islam
di
mana
berkembang.
Penggunaan term hukum Islam diperoleh
dari
terminologi
Syari’ah,
yang
baru.
didasarkan atas kebijaksanaan dan demi
Istilah hukum Islam sebagai pemaknaan
mencapai kesejahteraan umat. Dalam hal
al-fiqh al-islâmî atau dalam konteks
ini sesuatu yang berkaitan dengan rasa
tertentu dari asy-syarî’ah al- Islâmî dan
keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan
dalam wacana ahli hukum barat dikenal
dan kebaikan. Pengembangan hukum
Islamic Law (Ahmad Hasan Ridwan,
Islam tentunya dapat diiringi dengan
2011: 168).
metodologinya atau filsafat hukumnya.
dengan
munculnya
pemikiran
Vol. II No. 01, Mei 2016
Para
mujtahid
kerangka
telah
membangun
metodologi
perbedaannya
yang
antara
satu
ada
mazhab
Ada sebuah keteratarikan ketika
membahas
hukum
terpancar
dari
manusia
alam
atau
yang
kodrat,
dengan lainnya. Perbedaan pendapat
kemudian diterima dan menjadi umum
dalam pemikiran hukum Islam tidak
karena secara rasional dapat disadari
cukup untuk berbeda. Namun secara
manfaatnya bagi manusia. Sedangkan
sungguh-sungguh
untuk
memahami
hukum ilahi yang diletakkan Tuhan
kemudian
untuk
dalam manusia berupa norma moral
mengamalkannya, yaitu hasil ijtihad.
umum memainkan peran penting karena
Dengan demikian para ahli Islam yang
menjadi
non-muslim,
wahyu,
dasar
dan
sumber
hukum
masuk
dalam
positif. Tercapainya tujuan kaidah moral
Jika
mereka
secara tidak langsung akan membawa
mendalami Islam, yaitu status kerjanya
pengaruh terhadap upaya pencapaian
sebagai
bukan
tujuan kaidah hukum karena pribadi
bagaimana melakukan ijtihad dalam
yang baik cenderung menaati aturan-
hukum Islam.
atuaran
wilayah
tidaklah
ijtihad
kajian
Pembahasan
ini.
akademis,
hukum
dan
moral
dalam tradisi Barat adalah dalam rangka
mencari landasan dan formula yang
kokoh bagi berlakunya suatu hukum.
Sedangkan di dalam Islam, gagasan
pemikiran
para ilmuan Islam terfokus
hukum
yang
merupakan
pedoman bagi setiap manusia dalam
kehidupan masyarakat.
B. Hasil Temuan dan Pembhasan
1. DialektikaMoral
SekulerdanIslam
Tujuan
hukum
untuk
Hukum
mengatur
pada keyakinan bahwa hakekat hukum
pergaulan hidup secara damai, ditinjau
adalah hukum Tuhan, Dia sendirilah
dari aspek lahiriah yaitu untuk mencapai
yang menjadi sumber hukum. Wahyu
ketertiban atau kedamaian, dan jika di
yang diturunkanNya menjadi landasan
tinjau dari aspek batiniah adalah untuk
utama dalam hukum Islam. Hubungan
mencapai ketenangan atau ketentraman.
antara
Ruang untuk
hukum
dan
moral
menjadi
membuka perspektif
semakin terlihat penting akhir-akhir ini,
memahami hukum pembatasan atau
karena di satu pihak ada unsur dalam
paksaan hukum harus dilakukan secara
kaum
lebih
muslimin
yang
mendesakkan
proporsional.
Prinsip
syari’at Islam agar segera diterapkan,
“membahayakan orang lain” memang
sementara ada pihak lain menolaknya.
penting karena bermaksud melindung
72
Integrasi Aspek Legal
Vol. II No. 01, Mei 2016
hak orang lain untuk tidak dirugikan atau
hak atas rasa aman atau tidak terancam.
Hukum tidak dibenarkan menutup
peluang
bagi
individu
untuk
Hukum adalah sebuah sarana spesifik,
mengekspresikan diri sesuai dengan
bukan suatu tujuan. Hukum, moralitas
pertimbangan rasional independennya
danagama
sendiri.
ketiganya
melarang
Misal
adanya
korupsi,
pembunuhan. Namun demikian, hukum
mempunyai dampak negatif terhadap
melarang pembunuhan ini dengan jalan
kesejahteraan
menetapkan di dalam undang-undang
individu. Kepentingan publik terancam
bahwa seseorang melakukan pembunuhan
ketika korupsi merajalela, tetapi pada
maka orang lain yang ditunjuk oleh
saat yang sama korupsi juga menggeroti
peraturan
menerapkan
individu, maka nilai yang secara natural
terhadap si pembunuh tersebut suatu
untuk dibela sedapat mungkin oleh
tindakan paksa tertentu yang ditetapkan
setiap individu. Tentu hal ini termasuk
oleh
Moralitas
dalam pertimbangan moral atau watak
membatasi dirinya pada keharusan, anda
moral dan bukan hanya legal. Pada saat
jangan membunuh (Kelsen, 2014 : 25).
itu dimensi moral menjadi substansi
hukum
peraturan
akan
hukum.
publik
atau
kebaikan
Dengan demikian, prinsip tersebut
pertimbangan hukum yang tidak dapat
penting untuk membela kedaulatan atau
dihindari walaupun akan disepakati pula
otonomi individu. Disini penting untuk
oleh para penganut postitivisme hukum
membedakan
sekalipun (Ujan, 2009 : 137).
antara
prilaku
yang
berkaitan dengan diri sendiri dan berkaitan
Kant membagi moralitas menjadi dua,
menjadi
yaitu moralitas heteronom dan moralitas
persoalan, ketika prilaku murni berkaitan
otonom. Moralitas heterotonom adalah
dengan diri sendiri sehingga lepas dari
sikap di mana kewajiban ditaati dan
jangkauan paksaan hukum atau moral.
dilaksanakan bukan karena kewajiban itu
Atau adakah prilaku yang secara eksklusif
sendiri, melainkan karena sesuatu yang
hanya berkaitan dengan diri sendiri, dan
berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri,
karenanya tidak memiliki efek apapun
misalnya ingin mencapai sesuatu tujuan
bagi orang lain. Menurut Judit Shaklar,
ataupun karena perasaan
legalisme
yang
penguasa yang memberi kewajiban. Sikap
berpegang pada pandangan bahwa tindak
seperti ini menghancurkan moral. Sedang
tanduk
berupa
moralitas otonom keasadaran manusia akan
kepatuhan kepada peraturan (Friedman,
kewjibannya yang ia taati sebagai sesuatu
2013 : 320).
yang
dengan
orang
lain.
adalah
moral
Integrasi Aspek Legal
Akan
sikap
etis
semestinya
dikehendakinya
takut pada
sendiri
karena
73
Vol. II No. 01, Mei 2016
diyakini sebagai hal baik. Moralitas
hukum sebagai institusi publik yng
semacam ini sebagai otonomi kehendak
bertujuan sosial rasional utilirarian, dan
(autonomie
merupakan
moral sebagai lembaga normatif yang
prinsip tertinggi moralitas, sebab ia jelas
bersumber dari agama. Dengan menarik
berkaitan dengan kebebasan, hal yang
garis pemisah antara hukum dan agama.
sangat hakiki dari tindakan makhluk
Henskin menolak tindakan melegislasi
rasional atau manusia (Tjahjadi, 1991 : 48).
moralitas. Menurutnya, hanya hukum
des
williens),
antara
yang bertujuan rasional utilitarian yang
pertimbangan hukum dan pertimbangan
sah disebut hukum. Sementara moral
moral, ketika pelaku kejahatan harus
yang
dihukum karena pertimbangan hukum,
sumbernya
bukan karena pertimbangan moral. Oleh
diberlakukan dengan bantuan legislasi.
Ada
garis
pemisah
yang
mendapat
dari
basis
agama
dan
tidak
karena itu, seorang harus dihukum karena
Setidaknya ada empat perbedaan;
melanggar norma hukum dan bukan
pertama, hukum lebih dikodifikasikan
karena melanggar norma moral. Distingsi
daripada
ini penting karena pelanggaran secara
dibukukan
substansial dapat melanggar norma hukum
meski hukum dan moral mengatur
dan norma moral. Akan tetapi, apabila
tingkah laku manusia, namun hukum
negara
membatasi
mengambil
keputusan
untuk
moralitas
(hukum
daripada
diri
pada
tingkah
laku
lahiriah
semata-mata karena pelanggaran norma
menyangkut juga sikap bathin seseorang,
hukum,
mengingat
sebagai
ketiga, sanksi yang berkaitan dengan
lembaga
politik
sebagai
hukum berbeda dengan sanksi yang
negara
berkaitan dengan moralitas, keempat,
lembaga
dan
bukan
moral.Seharusnya
sedangkan
kedua,
menghukum seseorang, maka ia dihukum
negara
saja,
moral),
lebih
berkepentingan mengelola kepentingan
hukum
umum
hukum.
masyarakat dan akhirnya atas kehendak
Tuntutan ini tidak akan menimbulkan
negara sedangkan moralitas didasarkan
konflik dengan norma moral apabila
pada norma-norma moral yang melebihi
norma hukum itu sendiri memang adil
para individu dan masyarakat.
berdasarkan
norma
(Tjahjadi : 139).
Louis Henkin, sebagaimana dikutip
didasarkan
atas
moral
kehendak
Pandangan di atas mengisyaratkan
kepada kita ternyata hukum dan moral
Golding dalam Tjahjadi (1991 : 140),
sebenarnya
memberi dukungan khusus kepada Mill
melainkan ia harus selalu berdampingan.
ketika ia menegaskan perbedaan antara
Hal itulah yang kemudian al-Ghazali
74
tidak
dapat
dipisahkan,
Integrasi Aspek Legal
Vol. II No. 01, Mei 2016
(1994 : 86), menyebut moral dengan
perbuatan adalah Al-Qur`an dan al-Hadis
istilahakhlak yang merupakan tabiat jiwa,
(Djamil, 1999 : 148). Apa yang dinyatakan
yang dapat dengan mudah melahirkan
baik oleh kedua sumber itu, maka itulah
perbuatan-perbuatan dengan perwatakan
ukuran kebaikan, dan demikian pula
tertentu secara serta merta tanpa pemikiran
sebaliknya.Karena itu, integritas yang baik
dan pertimbangan. Apabila tabiat tersebut
tidak mungkin diharapkan di luar agama
melahirkan perbuatan baik dan terpuji
(Kabah, 2004 : 146).
menurut akal dan agama, tabiat tersebut
Bahwa seluruh bidang hukum Islam
dinamakan akhlak yang baik. Apabila
yang memiliki landasan tekstual telah
melahirkan
yang
dikembangkan secara menyeluruh dan
jelek, maka tabiat tersebut dinamakan
rapi oleh fuqahâ`. Hukum yang belum
akhlak yang jelek.
sempat diungkapkan secara eksplisit
perbuatan-perbuatan
Dengan kata lain, perbuatan etis itu
tetapi bisa dikembangkan, meskipun
bersifat deontologist dan berada di balik
begitu
nalar.
Russell
berpendapat
dengan
teori
hukum
lagi.
Dia
tradisional yang bekerja di atas teks yang
perbuatan
etis
menentukan
berbeda
bahwa
sesuai
setiap
ketentuan
yang
bersifat rasional. Justeru karena manusia
dihasilkan harus memiliki kaitan dengan
rasional, dia melihat perlunya bertindak
kandungan literal dari teks baik langsung
secara etis. Mengapa? Bertindak secara
maupun tidak langsung. Apa yang
etis pada akhirnya pasti akan mendukung
tersedia saat ini adalah suatu teori yang
pencapaian
(kepentingan)
dirancang untuk menjaga keterkaitan
pelaku, baik interest material maupun
antara hukum dengan teks ketika teori
non material. Dengan istilah lain, nilai-
itu ternyata bekerja pada sumber yang
nilai
terbatas (Saleh, 2009 : 149).
etis
interest
bersifat
pragmatis
atau
utiliristik (Abdullah, 2002 : 17).
Dalam perpektif ini, hukum Islam
Ukuran perseorangan untuk baik dan
menganggap hubungan seksual diluar
buruk, bagus dan jelek berbeda menurut
nikah adalah bentuk kejahatan dan
perbedaan persepsi seseorang, perbedaan
kemaksiatan, kecuali hal itu antara suami
masa, dan perubahan keadaan dan tempat.
dan istri atau pada masa lalu antara
Namun demikian dalam setiap masyarakat
seorang majikan dengan budaknya. Pada
dalam suatu masa ada ukuran umum,
saat yang sama pertanggungjawaban dari
artinya ada ukuran yang diakui oleh seluruh
individu itu terhadap perbuatan zina,
atau sebagian besar dari anggotanya. Bagi
dalam prakteknya, untuk mendapatkan
umat Islam pendasaran baik dan buruk bagi
hukuman tidak dapat dipisahkan dari
Integrasi Aspek Legal
75
Vol. II No. 01, Mei 2016
peraturan-peraturan yang berhubungan
memberikan pengakuan sendiri terhadap
dengan bukti pelanggaran. Hal itu harus
perbuatannya maka baru bisa dieksekusi
ditetapkan melalui empat orang saksi,
hukuman rajam. Itupun dengan keadaan
muslim dewasa, melihat dengan mata
negara
kepala sendiri, mempunyai integritas
Islam dalam pemerintahannya.
Di dalam kitab-kitab doktrin syariah
menentukan
menerapkan
hukum
Pelanggaran terhadap etika agama
karakter yang bisa dipercaya.
juga
tersebut
ukuran-ukuran
Islam merupakan pelanggaran terhadap
hukum Tuhan sebagaimana pelanggaran-
moralitas yang lain. Semisal kewajiban
pelanggaran
puasa dalam bulan Ramadhan, menahan
pengadilan dapat memutuskan hukuman.
diri berhubungan suami-istri saat sedang
Dalam terminologi syariah Islam adalah
berpuasa,
sebagai
suatu
peraturan
yang
lain
yang
undang-undang
karenanya
hukum
dan
mempunyai implikasi-implikasi hukum
undang-undang moral. Ini merupakan
tertentu. Tuntutan seorang istri terhadap
susunan komprehensif dari tingkah laku
maharnya,
status
manusia yang berasal dari otoritas
legitimasi anaknya dapat bergantung
tertinggi dari kehendak Allah, sehingga
kepada apakah hukum menduga sudah
garis pemisah antara hukum dan moral
digauli
dalam
sama sekali tidak begitu jelas tergambar
akibat-akibat
seperti halnya dalam masyarakat Barat
umpamanya,
atau
perkawinannya.
atau
belum
Tetapi
hukum ini bersifat insidental, peraturan
itu pada dasarnya adalah moral karena
penyimpangan
perbuatannya
tidak
pada umumnya.
Sebarapa jauh yurispendensi Islam,
baik dahulu maupun sekarang dalam
membedakan antara tingkah laku yang
menyebabkan adanya hukuman.
Betapapun, seorang yang betul-betul
diinginkan secara etik dan yang dapat
melanggar kewajiban puasa ramadhan,
dilaksanakan
atau dengan cara lain apapun, harus
seberapa jauh ia menuntut bahwa hal itu
bertobat atas dosanya, baik dengan
merupakan kewajiban pengadilan untuk
membayar puasa pada hari lain atau
memaksa seseorang berkelakuan secara
dengan
Atau
ideal. Sedangkan pada masyarakat yang
hukuman rajam bagi pezina juga sangat
sudah maju adat tersebut tidak lagi
sulit untuk diterapkan karena harus
mencukupi. Ini karena moral adalah
menghadirkan
empat
kebebasan pribadi dan cara berfikir setiap
dewasa,
melihat
memberikan
kepalanya
76
dan
sendiri
sedekah.
saksi,
muslim
dengan
terkecuali
menurut
hukum,
atau
mata
orang tidaklah sama, sifat dan tingkah
ia
lakunya pun berbeda, sehingga banyak
Integrasi Aspek Legal
Vol. II No. 01, Mei 2016
mendapat
pengadilan. Sering ada kekuatan yang
tantangan dan hambatan. Untuk mengatur
lebih kuat untuk memaksa ketaatan
segalanya diperlukan aturan lain yang
standar tingkah laku daripada paksaan
tidak didasarkan pada kebebasan pribadi,
hukum.
sekali
usaha
baik
yang
tetapi juga mengekang kebebasan pribadi
Oleh karena itu, dalam pandangan
dalam bentuk paksaan, ancaman dan
masyarakat Islam hukum dan moralitas
sanksi. Aturan itulah yang disebut hukum
keagamaan sering digabungkan secara
(Raharjo, 1991 : 27-28)
rancu dalam filsafat kehidupan umum;
Dalam beberapa kasus, memang
sebetulnya ada paksaan untuk mematuhi
benar, sanksi-sanksi hukum yang tepat
moral
seperti
halnya
dijatuhkan karena suatu perbuatan atau
melaksanakan
kelalaian seperti hukuman rajam (cambuk)
prinsipnya,
bagi orang yang menuduh orang berzina
perkara yang lebih sempit dari peran
tapi tidak terbukti, atau hukum potong
yang dimainkan oleh pengadilan syari’ah
tangan bagi orang yang mencuri. Tetapi
dalam pelaksanaan norma tingkah laku
pada umumnya ajaran-ajaran Al-Qur`an
Islami. Dan bagi pengadilan-pengadilan
semata-mata menunjukkan standar tingkah
itu ada perbedaan nyata antara peraturan
laku tersebut yang dapat diterima oleh
yang dijalankan menurut hukum dan
Allah dan menyatakan akibat-akibatnya
yang diinginkan menurut moral.
hukum.
hanya
kewajiban
Tetapi
pada
memperhatikan
berkenaan dengan yang dikenakan teks
Sebagaimana aliran hukum alam,
nash. Hukum Islam menganut hukum
hukum Islam juga tidak memisahkan
kausalitas
antara hukum dan moral. Hukum Islam
(sabâbiyah)
yakni
adanya
sesuatu disebabkan oleh sesuatu pula,
memandang
kewajiban menerima taklif disebabkan
kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
seseorang yang akil, baligh, dewasa, sehat
Sebagai
dan sadar (Muhaimin, 2012 : 299).
aturan, hukum tidak bisa berdiri sendiri
Perbedaan antara peraturan yang
keduanya
guide-line
sebagai
atau
satu
perangkat
dalam interaksinya dengan masyarakat.
dapat dilaksanakan menurut hukum dan
Sebaliknya,
ia
perlu
disandingkan
peraturan yang diinginkan secara moral
dengan komponen lain, yaitu moralitas
adalah tentu saja bukan perbedaan antara
yang dalam terminologi agama sering
peraturan yang tidak dipatuhi. Nilai dan
disebut tasawuf atau akhlaq karimah.
standar yang sebenarnya yang dengan itu
Dalam Islam, hukum secara luas
masyarakat hidup tidak selalu dan tidak
dibagi menjadi dua elemen besar, yaitu
semata-mata yang dapat dilaksanakan oleh
fiqh ibadah (ritual) dan fiqh mu’amalah
Integrasi Aspek Legal
77
Vol. II No. 01, Mei 2016
(sosial). Apa yang kemudian disebut
yang dapat menjadikan dasar dalam
normatif dalam nomenklatur hukum
pembentukan jiwa untuk menyadari akan
barat
pentingnya
sesungguhnya
memiliki
aspek
hukum.
Intuisi
dapat
persamaan dengan hukum Islam dalam
menuntun manusia untuk menentukn
pembagian
kebenaran yang datang dari Allah SWT,
pertama
(fiqh
ibadah).
Disebut normatif lantaran diktum hukum
yang
semacam ini berwatak statis dan tidak
lingkungan kebenaran tauhidullah yang
dapat
tertanam sejak berada di alam ruh.
berkembang
mengikuti
irama
perubahan yang terjadi di masyarakat.
Ini bisa dilihat dalam praktik ritual
harus
selalu
terbina
dalam
(S. Praja, 2011 : 232)
puasa,
2. Menikah
Mut’ahkan
Legal
Moralism dan Legal Positivism
membayar zakat, membaca Al-Qur`an
Istilah sekular yang menjadi inti
keagamaan
semisal
shalat,
dan lain-lain.
kata sekulerisme dan sekulerisasi itu
Elemen yang kedua (mu’amalah)
dalam
nomenklatur
dari
bahasa
Latin
yang
Islam
mempunyai dua pengertian waktu dan
merupakan ketentuan-ketentuan hukum
lokasi. Waktu menunjuk kepadasekarang
berkaitan
sosial
atau kini, sedang lokasi menunjuk pada
kemasyarakatan. Elemen fiqh yang ini
duniawi. Artinya tekanan makna sekular
dapat
sesuai
diletakkan pada periode tertentu di dunia
konteks perkembangan masyarakat. Apa
yang dipandang sebagai suatu proses
yang penting dalam fiqh mu’amalah
sejarah. Ini berarti, bahwa sekulerisme
adalah bagaimana mengapresiasi prnsip-
adalah paham atau aliran dalam filsafat
prinsip ajaran agama yang dituangkan
yang secara sadar menolak peranan
secara garis besar oleh teks agama. Hal
Tuhan dan wahyu atau agama dalam
ini
mengatur
dengan
mengalami
seperti
‘adâlah),
hukum
berasal
persoalan
perubahan
nilai-nilai
kesetaraan
permusyawaratan
keadilan
(al-
(al-musâwat),
(asy-syûrâ),
saling
legawa (at-tarâḍi), tidak terselubung
(‘adamu
al-gharar),
tidak
kehidupan
manusia
dan
memusatkan perhatiannya semata-mata
pada
masalah
dunia
(Daud
Ali,
2012 : 23).
ada
Bahkan suatu hal mengarah kepada
pemaksaan (‘adamu al-`ikrâh), dan tidak
kehendak untuk berbuat baik terhadap
spekulasi (‘adam al-muqâmarah).
sesama manusia bermuara pada suatu
Fungsi hukum bagi manusia adalah
pergaulan
antara
pribadi
yang
fitrah sejak dilahirkan karena manusia
berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan
telah memiliki potensi-potensi bawaan
moral. Tetapi kehendak yang sama
78
Integrasi Aspek Legal
Vol. II No. 01, Mei 2016
untuk
hati nurani menjadi motivasi sebenarnya
membuat suatu aturan hidup bersama
dari kelakuan dan tindakan-tindakan.
yang sesuai dengan prinsi-prinsip moral
Dalam menghadap norma-norma yuridis
tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan
timbullah
membentuk suatu sistem norma yang
penyesuaian diri dengan apa yang telah
harus
ditentukan
mendorong
orang-orang
ditaati
Kehendak
juga
masyarakat
untuk
tertentu.
sikap
legalitas,
dalam
yaitu
undang-undang
(Huijbers, 1995 : 66).
mengatur
hidup
macam
norma:
A. Reinach (1883-1917) sebagaimana
pertama, Norma moral yang mewajibkan
dikutip Huijbers (1982 : 231-234),
tiap-tiap orang secara batiniah. Kedua,
mengatakan uraian Kant di atas harus
norma-norma
atau
dilengkapi
yang
berikut:
menghasilkan
normanorma
tiga
masyarakat,
sopan
santun
dengan
pertama,
uraian
sebagai
Norma
moral
umum.
mengenai suara hati pribadi manusia,
Ketiga, Norma hukum, yang menentukan
norma yuridis berlaku atas dasar suatu
hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
perjanjian. Kedua, Hak-hak moral tidak
mengatur
pergaulan
secara
Norma moral bersifat subjektif, sebab
pernah hilang dan tidak dapat pindah
berkaitan dengan suara hati subjek, lagi
kepada
menuntut untuk sungguh-sungguh ditaati.
yuridis dapat hilang dan berpindah
Norma sopan santun bersifat objektif,
(sesuai
karena berhubungan dengan masyarakat
Norma moral mengatur baik batin maupun
dan kebudayaan, tidak menuntut, hanya
hidup lahir, sedangkan norma hukum
mengundang saja. Norma hukum bersifat
hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de
objektif,
internis praetor non iudicat).
karena
kaitannya
dengan
negara, tetapi menuntut untuk ditaati
orang
dengan
lain,
sedangkan
perjanjian).
hak
Ketiga,
Dengan demikian,hukum haruslah
bersih dari politik, etika, sosiologi dan
(Huijbers, 1995 : 64-65).
Perbedaan hukum dan moral (etika)
sejarah. Hukum hanya berurusan dengan
dapat diterangkan lebih lanjut dengan
bentuk (forma) tidak berurusan dengan
mengingat
isi (materia). Sedang keadilan sebagai isi
akan
suatu
perbedaan
norma-
hukum berada di luar hokum Oleh
norma moral dan hukum, sebagaimana
karena itu, Qodri A. Azizy (2004 : 203)
dikemukakan
oleh
Kant.
Dalam
menganggap gagasan-mengenai keadilan
menghadapi
norma-norma
moral
haruslah menjadi tema di dalam politik,
yakni
tidak di dalam hukum. Ilmu hukum
penyesuaian diri dengan batin; di sini
adalah suatu hirarki mengenai hubungan
prinsipil
timbullah
dalam
menghadapi
sikap
Integrasi Aspek Legal
moralitas,
79
Vol. II No. 01, Mei 2016
normatif, bukan suatu hubungan sebab
dan penegakan
akibat. Kelsen hanya berbicara mengenai
pengembangan dan penegakan moral, dan
hukum yang ada (law as it is), tidak
peranan
sebagai yang seharusnya ada (law as
moralitas masyarakat.Singkatnya hukum
ought to be). Obyek tunggal hukum
yang sebanarnya mempunyai empat unsur:
adalah menentukan apa yang dapat
(i) perintah, (ii) sanksi, (iii) kewajiban
diketahui secara teoritis tentang tiap
(duty),
jenis hukum pada tiap waktu dan dalam
(sovereignty) (Azizy, 2004 : 202).
Semestinya dikotomi semacam itu
dihindarisehingga
beranggapan,
hukum
dalam
(iv)
pembentukan
kedaulatan/kekuasaan
Dalam praktek, ternyata faktor-
tiap keadaan.
bisa
hukum, maupun dalam
bahwa
seseorang
keadaan
bisa
faktor, seperti temperamen psikologis
hakim, kelas sosial hakim, dan nilai-nilai
yang ada pada hakim, lebih berfungsi di
diputuskan baik dari sudut pandang
dalam
hukum atau moral, tapi memutuskan dari
daripada “aturan” yang tertulis. Holmes
sudut
semahalnya
mengajak untuk bersikap bersikap dan
mengecualikan yang satunya. Inilah
bertindak realistis di mana realisme
makna klise bahwa suatu tindakan
dipahami
tertentu mungkin secara moral tidak bisa
tentang mengapa putusan-putusan itu di
diterima, secara hukum hanya tindakan
dalam kenyataannya diambil. Di sini
ini yang benar dan bahkan yang lain
hakim
(Kelsen, 2014 : 575).
menentukan hukum ketika memberi
pandang
itu
Diskursus hubungan hukum dan
moral
dalam
hukum
pada
sebagai
pengujian
mempunyai
otoritas
beberapa hal putusannya itu tidak selalu
pertentangan
sama dengan apa yang tertulis dalam
undang-undang atau
hukum kodrat. Pokok permasalahannya
Untuk
itu
moralitas
hakim
berkenaan
menentukan
kualitas
hukum
aturan
hukum
keabsahan
(legalitas)
suatu
sehingga
mengikat warga masyarakat. Namun
hubungan
hukum
dan
untuk
keputusan pengadilan, meskipun dalam
pemikiran antara positivisme dengan
dengan
ilmiah
pemikiran
perspektif
terpola
pengambilan keputusan hukum
moral
tidak
aturan lainnya.
sangat
yang
merupakan hasil putusan pengadilan itu.
(Azizy, 2004 : 207)
Dalam perspektif ini,
idealisme
terbatas pada persoalan itu, tapi juga
hukum baru yang terdiri dari sebagian
berkaitan dengan relasi fungsional yang
metafisis
bersifat resiprokal antara hukum dan
membelok
moral. Baik dalam proses pembentukan
positivisme analitis dan berbalik mulai
80
dan
dan
sebagian
sosiologis,
mulai
menentang
Integrasi Aspek Legal
Vol. II No. 01, Mei 2016
menyelidiki realitas dalam masyarakat
Islam dalam pembangunan hukum dalam
modern dalam hubungannya dengan
sebuah negara tertentu.
hukum modern (Friedman, 1990 : 187).
Hukum Islam yang berhubungan
Hal tersebut, berpijak dari pertanyaan
dengan ranah publik seperti hudud,
fundamental
Karena
qishas dan sejenisnya adalah hukum
hukum merupakan produk bermacam-
publik yang terkandung dalam syari’ah,
macam
sepenuhnya dapat dijadikan landasan
esensi
filsafat
hukum.
tentang
hidup
dan
ideologi politik yang memang digemari
dan
dalam peradaban Barat, di mana nilai
historisnya. Akan tetapi tidak dapat
akhir dan tujuan hidup memang berbeda
dijadikan
satu sama lainnya (Azizy, 2000 : 177).
konsisten bersesuaian dengan konteks
3. Persemaian Legal spesifikasi dan
Moral Ideal Principle
konsisten
alasan
dengan
dan
tidak
konteks
secara
kekinian. Apa yang tersirat dalam hal ini
adalah hukum Islam sangat dipengaruhi
Sistem hukum Islam merupakan
nuansa sosial-budaya, ekonomi, politik
salah satu tiga besar sistem hukum di
masyarakat Arab diabad ke tujuh. Oleh
dunia, dimana yang kedua adalah roman
sebab itu, bukanlah sikap yang bijak
law dan sistem common law (Azizy,
ketika mengadopsi apa yang ditetapkan
2004 : 104). Masing-masing dari ketiga
dalam nash secara literal dan formal
sistem hukum di dunia ini mempunyai
legalistik tanpa lebih jauh mengapresiasi
spesifikasi tersendiri, dan dalam waktu
tujuan serta hikmah terdalam dari hukum
yang bersamaan, dapat saling mengisi
tersebut (Arma, 2005 : 177-178). Karena
dan
dalam
setiap hukum yang lahir pasti bertujuan
sebuah sistem hukum yang berkembang.
mencari kemaslahatan dan ini sangatlah
Aspek hukum Islam merupakan hukum
sesuai dengan prinsip maqâshid asy-
agama dan juga mengandung hukum
syarî’ah,
moral, atau memiliki nilai moralitas,
menyesuaikan pada ruang dan waktu.
sekaligus
berkompetisi
maka
hukum
harus
sehingga dalam praktek pengamalannya
Tentu, hukum mestilah memiliki
ada konsekuensi akhirat. Dalam konteks
sifat adaptif, berkembang, partikular,
ini,
yng
beragam sesuai dengan tuntutan lokalitas
membudaya dan menjadi kebiasaaan
dan tidak kadaluwarsa. Dalam sejarah
dalam kehidupan pemeluknya (Azizy,
pemikiran hukum Islam, secara filosofis,
2000 : 106). Oleh karena ada hubungan
sebagaimana diteorikan oleh Coulson
hukum
umum,
memang dikenal adanya tarik menarik
sekaligus adanya positivisasi hukum
antara wahyu dan akal, kesatuan dan
banyak
Islam
hukum
dan
Integrasi Aspek Legal
Islam
hukum
81
Vol. II No. 01, Mei 2016
dan
intuisi dan empiris. Otoritas dibedakan
liberalisme, idealisme dan realisme,
menjadi dua jenis: (1) Otoritas manusia
hukum dan moralitas, serta stabilitas dan
yang berasal dari manusia yang disebut
perubahan (Saleh, 2009 : 88).
kesaksian, (2) Otoritas Tuhan dalam
keragaman,
otoritarianisme
Ahli hukum Barat menilai hukum
bentuk wahyu yang diwahyukan kepada
Islam sebagai hukum tidak menerima
Nabi dan merupakan sistem ketuhanan
logika hukum jika tidak dikatakan
yang menempatkan Allah SWT sebagai
menolak
penguasa
positivisme,
kecuali
J.N.D
tertinggi.
Otoritas
Tuhan
Anderson. Coulson sebagai penganut
memiliki jangkauan rentang waktu abadi
dan pendukung positivisme, tertarik pada
dan bersifat universal (Ridwan, 2011 :
kepentingan materiil masyarakat dan
171).
menilai
hukum
Tuhan
dari
sudut
Wacana
hukum
Islam
dalam
positivistik. Hukum Islam menurutnya
kerangka ilmu berada dalam wilayah
agamis karenanya bukan hukum dalam
pemahaman akal terhadap wahyu Allah.
pengertian modern. Berbeda dengan
Hukum Islam memuat prinsip-prinsip
Coulson, Anderson menyatakan bahwa
aturan yang sifatnya tetap dan abadi
hukum Islam juga menjangkau setiap
tetapi eksistensi aktivitas akal menjamin
segi
pelaksanaan
kehidupan
dan
setiap
bidang
hukum
yang
bersifat
hukum. Oleh karena itu, dalam teori
fleksibel. Dalam wilayah inilah, hukum
hukum Islam (uṣûl al-fiqh) tidak dapat
Islam dipahami sebagai wujud upaya
ditandingi
ilmiah manusia untuk mengkaji dan
oleh
hukum
manapun
menyusun prinsip-prinsip wahyu ke
(Ridwan, 2011 : 168).
Secara umum, sistem hukum sebagai
dalam sistem hukum yang manusiawi.
kumpulan aturan yang ditentukan oleh
Memang apabila memahami hukum
koherensi pengertiannya yang terdalam,
Islam hanya sebagai kumpulan peraturan
sehingga setiap sistem hukum merupakan
yang berasal dari corpus jurisprudence
kebutuhan enterprise yang bukan tanpa
Islam yang terbentuk secara historis, maka
tujuan.
berhubungan
hanya sebagai peninggalan masa lalu.
dengan konsep tujuan, dan keadilan
Namun hukum Islam terdiri dari tiga
merupakan tujuan tertinggi. Hukum tanpa
lapisan norma yang meliputi: (1) norma-
keadilan dan moralitas, bukanlah hukum
norma dasar (al-qiyâm al-`asâsiyah), (2)
dan tidak bisa bertahan lama. Hukum
asas-asas umum (al-uṣûl al-kuliyyah), (3)
Islam memiliki sumber spesifik yang
Peraturan-peraturan kongkret (al-aḣkâm
secara epistemologi disebut otoritas, rasio,
al-far’iyyah). Peraturan hukum kongkret
82
Hukum
sangat
Integrasi Aspek Legal
Vol. II No. 01, Mei 2016
sebagian besarnya memang merupakan
mengemukakan bahwa tujuan pokok
kebutuhan saat itu, bila zaman berlalu dan
disyariatkan
muncul berbagai variabel baru yang tidak
kemaslahatan manusia baik di dunia dan
ada
terhadap
akhirat. Kemaslahatan itu akan terwujud
peraturan tersebut maka peraturan itu akan
dengan cara terpeliharanya tiga macam
kehilangan
asas
kebutuhan manusia, yaitu ḍarûriyât,
hukum Islam sendiri ditegaskan bahwa
hâjiyât, dan tahsîniyât bagi manusia itu
tidak diingkari perubahan hukum karena
sendiri (Koto, 2012 : 49).
saat
dilakukan
ijtihad
relevansinya. Dalam
hukum
Islam
adalah
Musthafa
Secara umum, prinsip-prinsip pokok
Abdurraziq (2009 : 5), ada tiga syarat
yang harus selalu menjadi landasan dan
perubahan peraturan hukum yaitu: (1) ada
sasaran hukum Islam adalah;
tuntutan untuk melakukan perubahan, (2)
1. Meraih kemaslahatan dan menolak
perubahan
peraturan
zaman
tersebut
menurut
tidak
menyangkut
kemafsadatan (‫)ﺟﻠﺐ ﻤﻟﺼﺎﻟﺢ ﻤﻟﻔﺎﺳﺪ‬
substansi ibadah, dan (3) perubahan baru
Ulama menyimpulkan prinsip ini
itu tertampung oleh nilai dan asas syari’ah
dengan mengatakan bahwa meraih
lainnya.
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Secara fundamental ketiga poin di
adalah prinsip paling utama dalam
atas lebih dekat dengan filsafat hukum
pensyaratan hukum Islam. Prilaku
Islam terdiri atas sumber hukum, kaidah
manusia ada yang berimplikasi pada
dan tujuannya (maqâṣid al-tasyrî’), sebuah
kemaslahatan dan ada pula yang
tujuan
yang
berimplikasi pada kemafsadatan. Oleh
sesungguhnnya dari perundangan atau
karena syariat Islam bertujuan untuk
penerapan hukum Islam (taṭbîq al-aḣkâm).
mengatur supaya seluruh perilaku
Tujuan itu ada yang secara terang disebut
manusia berdampak pada kemaslahatan
langsung oleh Allah dalam firman-Nya,
mereka di dunia dan akhirat.
atau
rahasia
(asrâr)
dan ada pula yang tersembunyi, sehingga
diperlukan
upaya
sesungguhnya
dalam
penggalian
untuk
bentuk
yang
mengetahuinya
kegiatan
Dalam mencapai kemashatan ada
tiga
tingkatan
yang
harus
diperhatikan, pertama, kemaslahatan
kefilsafatan
pada yang diperbolehkan (maṣâliḣ al-
(philosophical activities) (Koto, 2012:
mubâḣât), kedua, kemaslahatan pada
154).
yang
Inti pokok dari syariat adalah untuk
manusia,
Muwâfaqat
asy-Syatibi
fî
Integrasi Aspek Legal
Uṣûl
dalam
dianjurkan
mandûbât),
ketiga,
(maṣâliḣ
al-
kemaslahatan
al
pada yang diwajibkan (maṣâliḣ al-
asy-Syarî’ah,
wâjibât). Sedangkan kemafsadatan
83
Vol. II No. 01, Mei 2016
memiliki dua tingkatan, pertama,
kekurangan yang bersifat alamiah,
kemafsadatan pada
6) Karena kesulitan dan bencana global
(mafâsid
al
yang makruh
makrûhât),
kedua,
kemafsadatan pada yang diharamkan
(mafâsid al-muḣarramât) (Koto, 2012 :
148)
(Koto, 2012 : 149, Lihat juga, Wahbah
Azzuhaily, 2005 : 123).
Metodologi yang dikandung teks
dapat dikembangkan hingga mencakup
Pemahaman pengetahuan pada
seluruh bidang kegiatan manusia melalui
kemaslahatan dan kemafsadatan di
prinsip umum (deduktif) dari hukum Islam
dunia,
dapat
yang berangkat dari kasus-kasus hukum
diketahui melalui naṣ. Sedangkan
spesifik dalam fiqh, dan dengan meneliti
nilai kemaslahatan dan kemafsadatan
ayat-ayat Al-Qur`an dan Sunnah, pemikir
di akhirat tidak dapat dianalisis
hukum Islam bisa sampai pada prinsip
melainkan
umum hukum Islam, yaitu sebuah pinsip-
sebagian
dengan
besarnya
menggunakan
petunjuk dalil naqli.
prinsip ini adalah hikmah hukum.
2. Memberikan kemudahan dan menolak
Di sini keberadaanAl-Qur`an dan
hadits
kesukaran (‫)ﺟﻠﺐ ﺤﻛﻴﺴﺮﻴ ﻓﻊ ﺤﻟﺮ‬
Semua hal yang membuat segala
sesuatu menjadi sempit dan sulit
harus dihilangkan, karena agama
diturunkan bukan untuk menimbulkan
oleh
Islam
dipandang
memiliki otoritas yang mengikat, sebagai
kemauan kekuatan di luar manusia,
kemauan yang berada di bawa otoritas
kemanusiaan manapun. Dengan kata lain,
kesulitan bagi manusia, melainkan
Al-Qur`an dan hadits merupakan norma
kemudahan.
dasar yang mengikat, karena bagi umat
‫ﺠﺗﻠﺐ ﺤﻛﻴﺴﺮﻴ‬
Ada
kaidah
pokok
‫“ ﻤﻟﺸﻘﺔ‬kesulitan itu
Islam keduanya adalah nash.
Hukum-hukum yang bersifat umum
mendatangkan kemudahan”.
Dari kaidah ini adanya dispensasi
ini yang bersendikan prinsip-prinsip yang
Islam.
kokoh seperti keadilan yang murni dan
Keringanan dalam lingkup ibadah dan
kebajikan yang hahiki. Orang-orang barat
sebagainya dibenarkan adanya apabila
menamakan prinsip-prinsip tersebut qanun
memenuhi sebab : 1). Kondisi atau
samawi atau kanun yang kekal. Prinsip-
alasan dalam perjalanan, 2) Dalam
prinsip yang umum ini berlaku di segala
kondisi sakit, 3) Karena terpaksa,
negara di segala bangsa dan di setiap
4) Karena lupa, 5) Karena ketidaktahuan/
masa. Pemeliharaan hukum mewujudkan
belum mengerti, 6) Karena alasan
ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak,
(rukhṣah)
dalam
hukum
keadilan,
84
umat
persamaan
maupun
dalam
Integrasi Aspek Legal
Vol. II No. 01, Mei 2016
memelihara maslahat, menolak mafsadat
Perbedaan lainnya berkenaan dengan
serta memperhatikan keadaan dan suasana
sifat universalitas yang menjadi ciri
(as-Shidiqiy, 2001 : 286).
kaidah moral, dan sifat nasionalitas yang
menjadi karakteristik hukum.
C. Simpulan
Hukum
Hubungan antara aspek legal dan
moral dalam hukum Islam, pada aspek
perbedaannya
adalah
dalam
daya
kerjanya. Kaidah hukum bukan hanya
membebankan kewajiban pada manusia
(normatif),
tapi
kekuasaan
(atributif)
mengatur
Kaidah
juga
kehidupan
moral
hanya
memberikan
aturan
untuk
bermasyarakat).
membebankan
kewajiban saja pada manusia, artinya
semata-mata
bersifat
normatifuntuk
mengatur kehidupan pribadi manusia.
Islam
juga
tidak
memisahkan antara hukum dan moral.
Hukum Islam memandang keduanya
sebagai satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Sebagai perangkat aturan,
hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam
interaksinya dengan masyarakat. Dan
perlu disandingkan dengan komponen
lain,
yaitu
moralitas
yang
dalam
terminologi agama (tasawuf atau akhlaq
karimah).
***
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2002. Filsafat Etika
Islam. Bandung : Mizan.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad. 1994. Ihyâ` ‘Ulûm adDîn,Vol. III. Kairo : Dar al Hadits.
Ali, Mohammad Daud. 2012. Hukum
Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta : Raja Grafindo Persada
ash-Shidiqiy, Hasbi. 2001. Falsafah
Hukum Islam. Yogyakarta : Pustaka
Rizki Putra.
Azizi, Ahmad Qodri. 2000. Islam dan
Permasalahan Sosial. Yogyakarta:
LkiS.
___________.
2004.
Eklektisisme
Hukum Nasional. Yogyakarta : Gama
Media.
Integrasi Aspek Legal
Djamil, Fathurahman. 1999. Filsafat
Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana
Ilmu.
Friedmann, W. 1990.Teori dan Filsafat
Hukum-Telaah Kritis atas TeoriTeori Hukum, (terj.) Muhammad
Arifin. Jakarta : CV. Rajawali.
___________. 2013, The Legal System:
A Social Science Perspective, (System
Hukum persektif Sosial). terj.
M.Chozim. Bandung : Nusa Media
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum.
Yogyakarta : Kanisius.
___________. 1982. Filsafat Hukum
Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta :
Kanisius.
H.L.A Hart. Tth. The Concept of Law.
terj. M. Chozim. Bandung : Nusa Media
85
Vol. II No. 01, Mei 2016
Praja, Juhaya S. 2011. Teori Hukum
Islam dan Aplikasinya. Bandung :
Pustaka Setia.
Husaini. Islam Liberal, Pluralisme
Agama dan Diabolisme Intelektual.
Surabaya : Risalah Gusti.
Ka’bah, Rifyal. 2004. Menegakkan
Syariat Islam di Indonesia. Jakarta :
Khairul Bayan.
Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Koto, Alaidin. 2012. Filsafat Hukum
Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Kelsen, Hans. 2014. General Theory of
Law and State. terj. Raisul Muttaqien.
Teori Umum tentang Hukum dan
Negara. Bandung : Nusa Media.
Mustofa.
2009.
Hukum
Islam
Kontemporer. Jakarta : Sinar Grafika.
Nirwan, Syafrin Arma. 2005. Syari’at
Islam: Antara ketetapan Nash dan
Maqashid Syari’ah. dalam Adian
86
Ridwan, Ahmad Hasan. 2011. DasarDasar Epistemologi Islam. Bandung :
Pustaka Setia.
Saleh, Abdul Mun’im. 2009. Hukum
Manusia sebagai Hukum Tuhan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tjahjadi, S.P. Lili. 1991. Hukum MoralAjaran Immanuel Kant Tentang Etika
dan Impearatif Kategoris. Yogyakarta :
Kanisius.
Ujan, Andrea Ata.2009. Filsafat Hukum.
Yogyakarta : Kanisius.
Integrasi Aspek Legal
Download