iii kerangka pemikiran

advertisement
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini dilandasi oleh teori-teori
mengenai konsep sistem tataniaga meliputi konsep saluran dan lembaga tataniaga;
konsep fungsi tataniaga; konsep struktur, perilaku, dan keragaan tataniaga; konsep
efisiensi tataniaga yang terdiri dari biaya dan marjin tataniaga, farmer’s share,
dan rasio keuntungan dan biaya.
3.1.1. Konsep Sistem Tataniaga
Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen
(petani) sampai ke konsumen akhir. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006)
aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna
dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam
kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga
meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan.
Pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi
dan aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah:
1. Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua
aktivitas bisnis dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani produsen
(usahatani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga menjembatani jarak antara
petani produsen dengan konsumen akhir (Kohls & Uhl 2002).
2. Tataniaga pertanian merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam
menggerakkan input atau produk dari tingkat produksi primer hingga
konsumen akhir. Tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub
sistem dari fungsi-fungsi tataniaga (fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi
fasilitas) yang pelaksana fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga
tataniaga (Hammond & Dahl 1977)
3. Rangkaian fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan
kegiatan produktif sebagai proses meningkatkan atau menciptakan nilai
(value added) yaitu nilai guna bentuk (form utility), tempat (place utility),
waktu (time utility) dan kepemilikan (possession utility).
4. Tataniaga pertanian merupakan salah satu sub-sitem dari sistem agribisnis
yaitu sub-sistem: sarana produksi pertanian, usahatani (produksi primer),
tataniaga dan pengolahan hasil pertanian dan sub-sistem penunjang
(penelitian, penyuluhan, pembiayaan, kebijakan tataniaga). Pelaksanaan
aktivitas tataniaga merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas dari
pelaksanaan sistem agribisnis.
Berdasarkan aspek manajemen, tataniaga merupakan suatu proses sosial
dan manajerial yang didalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan
mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Schaffner et al (1998)
dalam Asmarantaka (2009) mengatakan pendekatan Manajemen Tataniaga
merupakan pendekatan dari aspek mikro merupakan proses dari suatu perusahaan
untuk perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk atau jasa
untuk memuaskan konsumen. Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa untuk
menganalisis suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan
yaitu:
1. Pendekatan fungsi (Functional Approach), menganalisis sistem tataniaga
dengan menitikberatkan pada hal yang dilakukan dalam mengantarkan
produk dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan ini dilakukan untuk
mengetahui beragam fungsi tataniaga yang diterapkan dalam suatu sistem
tataniaga dalam upaya menciptakan efisiensi tataniaga serta mencapai suatu
tujuan yaitu meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga
meliputi fungsi pertukaran yang meliputi fungsi pembelian, penjualan dan
fungsi pengumpulan; fungsi fisik yang terdiri dari fungsi penyimpanan,
pengangkutan dan pengolahan; dan fungsi fasilitas yang merupakan fungsi
yang memperlancar pelakasanaan fungsi pertukaran dan fungsi fisik, fungsi
fasilitas
terdiri
dari
fungsi
standarisasi,
fungsi
keuangan,
fungsi
penanggungan risiko dan fungsi intelijen pemasaran.
2. Pendekatan
kelembagaan
(Institutional
Approach),
pendekatan
yang
memfokuskan pada orang maupun organisasi bisnis yang terlibat dalam
proses tataniaga produk pertanian. Pelaku yang terlibat dalam aktivitas
tataniaga dikelompokkan dalam kelembagaan tataniaga. Kelembagaan
tataniaga adalah berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang
melaksanakan aktivitas bisnis berupa kegiatan-kegiatan produktif yang
diwujudkan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Para pelaku dalam
aktivitas tataniaga terdiri dari pedagang perantara (merchant middlemen),
agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen),
pengolah dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi
(facilitative organization).
3. Pendekatan Perilaku (Behavioural-system Approach), pendekatan yang
menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga. Seperti
yang telah dijelaskan pada pendekatan kelembagaan bahwa dalam suatu
sistem tataniaga terdapat berbagai lembaga tataniaga yang terlibat. Para
lembaga tataniaga dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang
digunakan dalam membuat suatu keputusan khusunya yang terkait dengan
kegiatan tataniaga dari suatu produk. Pendekatan ini terdiri dari input-output
system, power system, communications system, dan the behavioral system for
adapting to internal-external change.
3.1.2. Saluran dan Lembaga Tataniaga
Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan
atau fungsi tataniaga dengan mengalirkan barang-barang dari pihak produsen
sampai pihak konsumen. Istilah lembaga tataniaga ini termasuk produsen,
pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah & Saeffudin 2006).
Lembaga tataniaga juga diartikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan
yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang dan
jasa selama berpindah dari produsen ke konsumen dalam Limbong dan Sitorus
(1985).
Produsen merupakan pihak yang berperan sebagai penyedia produk baik
produk sebagai bahan konsumsi ataupun produk yang digunakan sebagai bahan
baku bagi industri terkait. Kemudian terdapat pedagang perantara yang fungsinya
menyalurkan produk dari produsen ke konsumen apabila terdapat jarak dan
ketiadaan akses bagi produsen untuk menyalurkan produknya secara langsung
kepada konsumen. Menurut Kohls dan uhl (2002) yang termasuk kedalam
kelompok
pedagang
perantara
(Merchant
middlemen)
adalah
pedagang
pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailer) dan pedagang grosir
(wholesalers). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya kepada
pedagang eceran dan pedagang antara lainnya. Biasanya volume usaha relatif
besar daripada pedagang eceran. Pedagang eceran adalah pedagang yang menjual
produknya langsung untuk konsumen akhir.
Selain itu, adapula yang disebut dengan agen perantara (Agent
middlemen).
Mereka
yang
tergolong
dalam
kelompok
agen
perantara
melaksanankan fungsi tataniaga tertentu dengan menerima komisi sebagai balas
jasa. Sementara itu, ada juga yang disebut sebagai spekulator. Spekulator adalah
pedagang perantara yang membeli/menjual suatu produk dan memanfaatkan serta
mencari keuntungan dari adanya pergerakan harga pada komoditi tersebut.
Lembaga lain yang berperan dalam aktivitas tataniaga adalah pengolah dan
pabrikan (Processors and manufacturers). Kelompok ini berfungsi dalam
merubah suatu produk yang merupakan bahan baku sehingga menjadi bahan
setengah jadi atau produk akhir yang siap untuk dikonsumsi. Organisasi
(Facilitative organization) juga bisa menjadi pelaku dalam tataniaga, misalnya
pemerintah yang dalam hal ini berupaya menciptakan kebijakan serta peraturan
yang terkait dengan aktivitas tataniaga dan perdagangan selain itu keterlibatan
asosiasi eksportir dan importir juga dapat dikategorikan sebagai lembaga
tataniaga.
Penyaluran produk dari produsen hingga ke tangan konsumen yang telah
melibatkan berbagai lembaga tataniaga akan membentuk suatu saluran tataniaga
(marketing channel). Beberapa faktor penting yang menjadi pertimbangan
produsen ketika memilih pola penyaluran dalam Limbong dan Sitorus (1985)
diantaranya:
a. Pertimbangan pasar meliputi siapa yang menjadi konsumen produknya
(rumah tangga atau industri), berapa besar pembeli potensial, bagaimana
konsentrasi pasar secara geografis, berapa besar jumlah pesanan, dan
bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli.
b. Pertimbangan dari segi perusahaan meliputi sumber permodalan, kemampuan
dan pengalaman manajemen, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang
diberikan oleh penjual.
c. Pertimbangan barang meliputi berapa besar nilai per unit barang tersebut,
berapa besar dan berat barang, apakah mudah rusak atau tidak, bagaimana
sifat teknis dari barang tersebut, apakah berupa barang standar atau pesanan,
dan bagaimana luasnya produk lain perusahaan tersebut.
d. Pertimbangan terhadap lembaga perantara meliputi pelayan yang dapat
diberikan lembaga perantara, kegunaan perantara, sikap perantara terhadap
kebijaksanaan produsen serta volume penjualan dan pertimbangan biaya.
3.1.3. Fungsi Tataniaga
Tataniaga merupakan suatu kegiatan yang mencakup proses pertukaran
serta serangkaian kegiatan yang terkait pada proses pemindahan produk baik
berupa barang ataupun jasa dari sektor produsen ke konsumen. Beragam kegiatan
produktif yang terdapat di dalam sistem tataniaga disebut dengan fungsi tataniaga.
Pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga akan menetukan efisiensi dari pelaksanaan
suatu sitem tataniaga.
Tujuan dari pelaksanaan fungsi tataniaga adalah untuk meningkatkan
kepuasan konsumen. Kemampuan suatu produk untuk memuasakan keinginan
konsumen dapat diukur dengan utilitas yang mampu diberikan oleh produk
tersebut. Utilitas merupakan nilai guna suatu produk yang meliputi nilai guna
bentuk, nilai guna tempat, nilai guna waktu dan nilai guna kepemilikan. Secara
umum Kohls dan Uhl (2002) membagi fungsi tataniaga ke dalam tiga golongan
sebagai berikut:
1. Fungsi pertukaran (exchange function) yang meliputi aktivitas menyangkut
pertukaran kepemilikan secara hukum atas produk diantara pembeli dan
penjual. Fungsi ini terbagi menjadi:
a.
Penjualan (selling), merupakan pengalihan produk kepada pihak pembeli
dengan tingkat harga tertentu sebagai akibat dari pemberian nilai tambah
dari produk tersebut.
b.
Pembelian (buying) terhadap produk-produk pertanian dilatarbelakangi
oleh beragam tujuan diantaranya pembelian untuk konsumsi, pembelian
untuk bahan baku seperti pembelian yang dilakukan oleh pabrik yang
mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi
yang siap pakai.
2. Fungsi fisik (phisycal function) merupakan aktivitas penanganan, pergerakan
dan perubahan fisik dari produk dan turunannya, fungsi ini meliputi:
a. Pengangkutan (transportation), yaitu pemindahan barang-barang dari
tempat produksi atau tempat penjualan ke tempat-tempat dimana barangbarang tersebut akan dipakai. Proses pengangkutan akan menciptakan nilai
guna tempat. Dalam fungsi ini tentunya aspek terpenting yang perlu
diperhatikan oleh pelaku tataniaga adalah biaya pengangkutan yang juga
akan berdamapak pada penentuan dari harga produk tersebut ketika sampai
di tangan konsumen. Proses pengangkutan juga sangat bergantung pada
efektifitas dalam informasi dan komunikasi serta pemanfaatan teknologi
yang ada sehingga efisiensi dalam proses pengangkutan dapat tercapai.
b. Penyimpanan (storage), berarti menahan barang-barang selama jangka
waktu tertentu sejak produk dihasilkan atau diterima hingga sampai ke
proses penjualan. Kegiatan penyimpanan menciptakan nilai guna waktu
pada produk. Proses penyimpanan pada produk pertanian dilakukan
mengingat produk-produk pertanian memiliki karakteristik khusus yang
bersifat musiman.
c. Pengolahan (processing), merupakan suatu upaya mengubah bahan mentah
menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi yang siap pakai. Fungsi
ini menciptakan nilai guna bentuk pada suatu produk. Kegiatan pengolahan
erat kaitannya dengan kegiatan penyimpanan khususnya pada produk yang
sifatnya musiman.
3. Fungsi fasilitas (facilitating function) merupakan fungsi pendukung dari fungsi
pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini meliputi kegiatan standarisasi dan
grading
produk,
informasi
pasar,
fungsi
pembiayaan
serta
fungsi
penangulangan risiko.
a. Standarisasi (standardization) dan grading
Standarisasi merupakan penetapan suatu ukuran atau ketentuan umum yang
diterima oleh umum sebagai sesuatu yang mempunyai nilai tetap serta
membuat diferensiasi dari nilai produk yang diterima oleh konsumen.
Grading adalah klasifikasi dari setiap atau sejumlah produk berdasarkan
standar kualitas tertentu dan pemilahan dari produk-produk yang
kategorinya tidak seragam menjadi seragam.
b. Informasi pasar (market intelligence)
Informasi mengenai pasar erat kaitannya dengan keputusan yang akan
diambil oleh pelaku tataniaga. Misalnya terkait dengan perubahan harga di
pasar, bagaimana pendistribusian serta penanganan produk di mata
konsumen.
c. Penanggulangan risiko (risk bearing)
Kegiatan
pemasaran
suatu
produk
khususnya
produk
pertanian,
kemungkinan dalam menghadapi risiko pada kegiatan bisnisnya cukup
besar. Risiko-risiko tersebut diantaranya risiko kerusakan produk karena
produk-produk pertanian bersifat bulky, voluminous dan perishable; risiko
fluktuasi harga khususnya bagi komoditi yang bersifat musiman. Pengalihan
risiko dapat dilakukan melalui kontrak pembelian dan penjualan serta
melalui mekanisme hedging pada future market.
d. Pembiayaan (financing)
Fungsi yang menyangkut kegiatan penyediaan dana untuk membiayai
proses produksi dan tataniaga sebuah produk ketika produsen harus
menunggu untuk menerima pendapatan dari penjualan hasil panennnya.
3.1.4. Pendekatan Struktur, Perilaku, dan Keragaan Tataniaga
Pendekatan struktur, perilaku, dan keragaan merupakan pendekatan
organisasi pasar yang mencakup semua aspek dari sistem tataniaga. Struktur,
perilaku, dan keragaan tataniaga merupakan kategori utama yang digunakan untuk
melihat kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi di pasar. Struktur pasar
akan mempengaruhi perilaku pasar dalam pasar yang secara bersama-sama
menentukan keragaan pasar secara keseluruhan. Untuk melakukan penelitian
sistem pemasaran secara kompleks seringkali menimbulkan kerancuan, sehingga
dasar pemikiran dan latar belakang tidak menjadi jelas (Hidayati 2009). Oleh
karena itu pendekatan struktur, perilaku, dan keragaan pada dasarnya adalah
pendekatan deskriptif yang digunakan untuk mengevaluasi sistem pemasaran.
3.1.4.1. Struktur Pasar
Struktur
pasar
merupakan
karakteristik
organisasi
pasar
yang
mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Dalam struktur pasar,
pasar dikelompokkan berdasarkan jenis yang berkorelasi dengan pembeli dan
penjual yang mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar menurut
Asmarantaka (2009). Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa struktur
pasar merupakan dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh
perusahaan atau industri, jumlah perusahaan suatu pasar, distribusi perusahaan
menurut berbagai ukuran, tingkat diferensiasi produk, syarat-syarat keluar masuk
dan penguasaan pasar. Hammond dan Dahl (1977) menggolongkan struktur pasar
yang tercipta ke dalam lima jenis struktur pasar untuk pemasaran produk
pertanian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 10. Lima Jenis Pasar Untuk Pemasaran Pangan dan Serat
N
Karakteristik
Struktur pasar
o
Jumlah
Perusahaan
Sifat
produk
Informasi
pasar
1
Banyak
Homogen
Sedikit
2
3
Banyak
Sedikit
Diferensiasi
Homogen
Sedikit
Banyak
Hambatan
keluar/
masuk
pasar
Rendah
Tinggi
Tinggi
Sisi pembeli
Sisi penjual
Persaingan
Persaingan
Murni
murni
Persaingan
Persaingan
monopilistik
monopolistic
Oligopoli
Oligopoli murni
Murni
4
5
Sedikit
Satu
Diferensiasi
Unik
Banyak
Banyak
Tinggi
Tinggi
Oligopoli
Oligopoli
diferensiasi
Diferensiasi
Monopsoni
Monopoli
Sumber: Hammond dan Dahl (1977)
Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana penjual dan
pembeli memperdagangkan komoditi yang sama atau homogen, jumlah penjual
dan pembeli sama banyaknya dan tidak dapat mepengaruhi harga di pasar. Tidak
terdapat hambatan masuk atau keluar pasar. Informasi pasar yang didapat penjual
dan pembeli relatif sempurna. Perusahaan dalam pasar persaingan sempurna tidak
memiliki kekuatan pasar sehingga harga, kuantitas dan kualitas produk tidak dapat
dipengaruhi oleh salah satu perusahaan Baye (2003).
Struktur pasar monopoli dicirikan dengan jumlah penjual satu yang
memiliki pengaruh atas penawaran produk tertentu sehingga dapat menetapkan
atau mempengaruhi harga pasar. Hambatan masuk dan keluar pasar sangat besar
sehingga pendatang tidak memiliki kesempatan untuk masuk ke pasar. Produk
yang diperdagangkan pada struktur pasar ini memiliki keunikan.
Struktur pasar bersaing monopolistik dicirikan dengan banyak penjual
dan pembeli. Perusahaan dalam pasar bersaing monopolistik dapat mempengaruhi
harga produk. Penjual dapat melakukan penawaran yang berbeda kepada pembeli
sebagai akibat adanya karakteristik masing-masing produk yang sesuai dengan
keinginan konsumen. Perusahaan pasar monopolistik sering menggunakan iklan
untuk meyakinkan konsumen bahwa merek mereka lebih baik dibandingkan
merek lainnya. Baye (2003) mengungkapkan bahwa cara ini dilakukan untuk
mengurangi sejumlah konsumen yang beralih ke merek lain ketika sebuah
perusahaan menaikkan harga produk tersebut.
Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka terhadap
strategi pemasaran dan penetapan harga jual. Ketika sebuah perusahaan dalam
pasar oligopoli mengubah harga atau strategi pemasaran maka tidak hanya
berdampak pada keuntungan perusahaan tersebut tetapi keuntungan perusahaan
lainnya juga. Produk yang dijual bersifar homogen atau standar. Hambatan masuk
ke industri pasar oligopoli dapat dipengaruhi oleh paten, kebutuhan modal yang
besar, pengendalian bahan baku dan pengetahuan yang dimiliki perorangan.
3.1.4.2. Perilaku Pasar
Perilaku pasar adalah tindakan atau strategi yang dilakukan penjual atau
pembeli untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan lembaga tataniaga biasanya
menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan
kegiatan pembelian dan penjualan. Menurut Kohls dan Uhl (2002) bahwa ada
empat hal yang perlu diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu (1)
Input-output system, digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan
mengembangkan input yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan;
(2) Power system, menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas,
pemimpin pasar, dan memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat
menentukan harga; (3) Communication system, menjelaskan bagaimana
mendirikan saluran informasi yang efektif; (4) System for adapting to internal and
external change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu
sistem tataniaga dan bertahan di pasar.
Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai
suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan
dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan
pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam
menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian,
penjualan penentuan harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Pelaku
tataniaga perlu mengetahui perilaku tataniaga sehingga mampu merencanakan
kegiatan tataniaga secara efisien. Hubungan yang terjadi pada SCP merupakan
pengaruh struktur terhadap perilaku dimana perusahaan yang memiliki kekuatan
pasar akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga di
atas harga kompetitif.
3.1.4.3. Keragaan Pasar
Keragaan pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) adalah nilai akhir
yang diperoleh sebagai akibat dari penyesuaian pasar yang dilakukan oleh
lembaga pemasaran. Keragaan pasar timbul akibat adanya perilaku pasar dan
tindakan yang tercermin dalam aktivitas pemasaran melalui beberapa variabel
ekonomi, mulai dari biaya, harga, dan kapasitas output.
a. Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen
(Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin
tataniaga adalah M = Pr - Pf. Menurut Hammond dan Dahl (1977) marjin
tataniaga diartikan sebagai perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan
harga yang diterima oleh produsen. Marjin diartikan sebagai balas jasa karena
adanya kegiatan produktif berupa penambahan dan penciptaan nilai guna dalam
mengalirkan produk-produk agribisnis dari tingkat petani sampai ke tangan
konsumen akhir.
Rendahnya nilai marjin tataniaga tidak selalu mencerminkan bahwa suatu
sistem tataniaga dinilai lebih efisien. Begitu juga sebaliknya, ketika nilai marjin
tataniaga tinggi sebagai akibat adanya pengolahan dan penanganan produk lebih
lanjut dan berdampak pada peningkatan kepuasan konsumen maka tingginya
marjin tataniaga mengindikasikan sistem tataniaga tersebut berlangsung secara
efisien. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh
dalam proses kegiatan pemasaran antara lain ketersediaan fasilitas fisik pemasaran
meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain
dalam (Limbong dan Sitorus 1985). Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsifungsi tataniaga yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari
lembaga satu dengan lembaga lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir.
Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat semakin besar perbedaan harga
antar produsen dengan harga di tingkat konsumen. Secara grafis terbentuknya
biaya atau marjin tataniaga dapat dilihat pada Gambar 3.
Sr
P
Sf
Pr
VM: (Pr-Pf)Qrf
Pf
Dr
Df
0
Qr/f
Keterangan:
Pr : harga di tingkat pengecer
Sr : penawaran di tingkat pengecer
Dr : permintaan di tingkat pengecer
Pf : harga di tingkat petani
Sf : penawaran di tingkat petani
Df : permintaan di tingkat petani
Qr/f
: jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer
(Pr – Pf)
: marjin tataniaga
(Pr – Pf)Q : nilai marjin tataniaga
Gambar 3. Kurva Marjin Tataniaga
Sumber: Hammond and Dahl, 1977
Q
Nilai marjin pemasaran (value of marketing margin) merupakan
perbedaan harga pada dua tingkat sistem tataniaga dikalikan dengan jumlah
produk yang dipasarkan. Penentuan nilai marjin dapat dilakukan dengan dua
pendekatan, yakni melalui return to factor dan return to institution. Dimana
return to factor merupakan terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam
proses pemasaran seperti upah, bunga, dan keuntungan. Sedangkan return to
institution merupakan pengembalian terhadap jasa atau aktivitas yang dilakukan
setiap lembaga dalam proses pemasaran (Hammond dan Dahl 1977).
b. Farmer’s Share
Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi
dari suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima
petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir
yang biasanya diukur dalam bentuk persentase. Farmer’s share merupakan rasio
antara harga di tingkat petani terhadap harga di tingkat retail (Hudson 2007).
Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa besarnya nilai farmer’s share
dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan, biaya transportasi, keawetan produk dan
jumlah produk.
Farmer’s share merupakan alat analisis yang digunakan untuk
menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani.marjin atau
biaya tataniaga biasanya dibebankan kepada petani dan konsumen melalui
penetapan harga di tingkat petani yang rendah dan harga di tingkat konsumen
yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai marjin
tataniaga. Semakin tinggi nilai marjin tataniaga menunjukkan semakin kecil
bagian yang diterima petani dalam melaksanakan suatu aktivitas tataniaga.
Farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa tataniaga berjalan
efisisen. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada
produk (value added) yang dilakukan lembaga parantara atau pengolahan untuk
memenuhi kebutuhan konsumen.
c. Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga
Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui
besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga.
Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang
diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga.
Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing
lembaga tataniaga, maka secara teknis sistem tataniaga akan semakin efisien
dalam Limbong & Sitorus (1985).
3.1.5. Efisiensi Tataniaga
Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen
maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari
produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan
pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen
mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan produknya
mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen, sementara di mata
konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan
suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan
dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi
merupakan rasio dari nilai output dengan input.
Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat
dikelompokkan ke dalam dua jenis dalam Asmarantaka (2009) yaitu:
1. Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas
tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input
tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas
penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi atau keuntungan dapat
dilakukan melalui tiga kondisi diacu dalam Kohls and Uhl (2002) yaitu:
a. Menurunkan biaya tanpa menurunkan kepuasan konsumen
b. Meningkatkan kepuasan konsumen tan pa meningkatkan biaya
c. Meningkatkan kepuasan konsumen dengan peningkatan biaya dimana
tambahan nilai output lebih besar dari tambahan nilai input.
2.
Efisiensi
harga
menekankan
kemampuan
sistem
tataniaga
dalam
mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi
pertanian dan proses tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan
konsumen. Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi
sumberdaya antara apa yang diproduksi dan apa yang diinginkan konsumen
serta memaksimumkan output ekonomi.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu sentra nenas Palembang yang
memproduksi nenas terbesar jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya.
Namun, pada tahun 2010 terjadi penurunan jumlah produksi nenas. Penurunan
jumlah produksi ini menyebabkan permasalahan pada kegiatan pemasaran nenas
sehingga berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh petani. Terdapat
beberapa bentuk saluran tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar,
Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. Banyaknya bentuk saluran tataniaga
yang ada mengakibatkan perbedaan dalam hal harga jual, margin tataniaga,
farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masingmasing lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga. Salah satu permasalahan
yang terjadi dalam tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan
Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan ini adalah adanya marjin
antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen Pasar Induk
Kramat Jati. Dimana harga jual petani lebih rendah dibandingkan harga di tingkat
pedagang perantara/konsumen akhir. Selain itu, kurangnya informasi yang
dimiliki petani mengakibatkan posisi petani sebagai price taker sehingga tidak
dapat mempengaruhi harga jual nenas.
Berangkat dari permasalahan yang ada maka penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis sistem tataniaga komoditas nenas Palembang mulai dari petani,
lembaga pemasaran yang terlibat, serta lembaga-lembaga penunjang kegiatan
pemasaran nenas Palembang. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi
saluran pemasaran dan fungsi-fungsi lembaga pemasaran. Selanjutnya dilakukan
analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan pendekatan struktur, perilaku
dan keragaan pasar.
Hasil analisis yang dilakukan dari sistem tataniaga nenas Palembang yang
ada, maka diketahui efisiensi sistem tataniaga nenas Palembang di Desa Paya
Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Dengan
demikian, diperoleh perumusan mengenai upaya-upaya perbaikan yang dapat
direkomendasikan kepada petani sebagai produsen, lembaga-lembaga pemasaran
yang terlibat sebagai penyalur, serta lembaga yang mengawasi dan memberikan
kebijakan yang dapat mendukung pemasaran nenas Palembang. Berikut skema
kerangka operasional analisis tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar,
Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan pada Gambar 4.
 Adanya marjin yang relatif tinggi di tingkat produsen dengan tingkat konsumen
 Kurangnya informasi harga yang dimiliki petani serta adanya ketergantungan petani
kepada pedagang pengumpul desa menyebabkan petani sebagai price taker
Lembaga tataniaga
 Pengumpul
 Pd. Besar
 Pengecer
Petani
Konsumen
1. Saluran tataniaga
2. Fungsi tataniaga
1.
2.
3.
4.
Struktur pasar
Banyaknya penjual dan pembeli
Sifat produk
Hambatan keluar masuk pasar
Informasi pasar
Perilaku pasar
1. Kegiatan pemasaran
2. Sistem penentuan harga dan
pembayaran
3. Praktek penjualan dan pembelian
4. Kerjasama antar lembaga
pemasaran
Keragaan pasar
1. Margin tataniaga
2. Farmer’s share
3. Rasio keuntungan dan biaya
Gambaran tataniaga komoditi nenas di Desa Paya Besar
Rekomendasi solusi kepada petani, lembaga tataniaga serta lembaga yang mengawasi dan
memberikan kebijakan dalam sistem tataniaga nenas di Desa Paya Besar
Keterangan:
: Arus barang satu arah
Saling mempengaruhi
: Informasi dua arah
Alur pemikiran
: Arus uang satu arah
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
Download