BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerapu Macan Perairan Indonesia terletak di antara dua Samudera, Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik dengan panjang garis pantai lebih dari 80.000 km yang banyak terdiri dari perairan karang sehingga dapat dijumpai berbagai jenis ikan karang, termasuk ikan kerapu (Serranidae). Ikan tersebut bersifat karnivora, rakus dan dapat memangsa berbagai jenis ikan, cephalopoda, crustacea, dan lain-lain (Munro, 1967). Ikan kerapu macan mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih besar dan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan jenis ikan lain (Sunaryat & Minjoyo, 2004). Ikan kerapu merupakan salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan budidayanya karena harganya cukup mahal. Kebutuhan ikan kerapu hidup semakin meningkat baik untuk konsumsi lokal maupun ekspor (Nurjana, 2007 dalam Bunga, 2008). Ikan kerapu di Indonesia umumnya mempunyai daerah penyebaran di perairan karang-karang di seluruh perairan Indonesia diantaranya di Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Karimun Jawa, NTB (Manyunar et al., 1991). Dan di seluruh perairan Indo-Pasifik lainnya seperti Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang Laut Cina, selat dan bagian perairan utara Australia (Djamali et al., 1998). Menurut Dennis et al., (2006), ciri-ciri morfologis ikan kerapu macan adalah bentuknya agak bulat memanjang dan mempunyai ukuran badan lebih tinggi, sirip dada berwarna kemerahan dan sirip lainnya mempunyai tepi kecoklatan. Ikan kerapu termasuk ikan pemakan aktif dan sensitif terhadap perubahan kualitas air yang fluktuatif, perlu cahaya tetapi tidak langsung dari matahari, hidup di daerah karang, berenang di dasar air dengan temperatur optimal 26 ºC, panjang rata- Universitas Sumatera Utara rata maksimal 90 cm. Tubuh kerapu macan dipenuhi sisik yang berukuran kecil yang berbentuk sikloid. Nama kerapu diberikan biasanya untuk empat genus Serranidae yaitu Epinephelus, Variola, Plectropampus dan Cromileptes. Di Indonesia Epinephelus sendiri mempunyai 38 spesies. Sebagian besar famili Serranidae hidup di perairan dangkal dengan dasar pasir berkarang, walaupun beberapa jenis dapat ditemukan di perairan dalam (Burgess et al., 1990). Menurut Heemstra & Randall (1999), ikan kerapu berjumlah 110 jenis dari 11 genus seperti Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptes, Dermatolepis, Ephinephelus, Gracila, Plectropomus, Saloptia, Triso, dan Variola. Kerapu macan memiliki sirip dorsal (punggung), sirip anal (perut), sirip pektoral (dada), sirip garis lateral (gurat sisi) dan sirip caudal (ekor). Sirip dorsal memanjang hampir sepanjang bagian punggung, bagian jari-jari kerasnya memiliki jumlah yang sama dengan jari-jari lunaknya, jumlah jari-jari adalah 13-15 buah. Sirip anal terdiri dari 3 buah jari-jari. Sedangkan jumlah jari-jari di sirip ekor adalah 15-17 buah dan bercabang dengan jumlah 13-15 buah. Sisik yang menutupi seluruh permukaan tubuh berbentuk kecil, mengkilat dengan bentuk sikloid. Warna dasar kerapu macan adalah cokelat, dengan perut berwarna putih serta bercak hitam dan putih disekujur tubuh yang tidak beraturan. Bentuk badan kerapu macan memanjang dan cenderung gepeng (compressed) atau agak membulat. Ketebalan tubuh 2,6 – 2,9 cm dari panjang standar, dengan skala garis lateral adalah 53-58 cm. Panjang total tubuh kerapu macan dapat mencapai 80 cm. Mulut berukuran lebar dengan posisi serong keatas dan bibir bawah menonjol keatas. Lubang hidung besar berada diatas mulut berbentuk bulan sabit (Abduh, 2007). Laju pertumbuhan ikan kerapu yang dibudidaya sangat lambat, seperti yang dilaporkan oleh Soni (2002), ikan kerapu macan laju pertumbuhannya 0,45 g/hari dan sebesar 0,60 g/hari, sedangkan kerapu lumpur sebesar 0,61 g/hari. Laju pertumbuhan tersebut dapat menyebabkan biaya operasional menjadi tinggi sehingga kurang menguntungkan secara ekonomis. Namun demikian sebagian pertumbuhan ikan kerapu akhir-akhir ini sudah menunjukkan peningkatan. Akbar & Sudaryanto (2001) melaporkan bahwa ikan kerapu macan laju pertumbuhannya 2,30 g/hari, sedangkan laju pertumbuhan ikan kerapu lumpur 3,59 g/hari. Universitas Sumatera Utara 2.2 Salinitas Air Salinitas adalah komposisi ion-ion dalam perairan (Wetzel, 1983). Ion-ion yang terdapat dalam perairan laut terdiri dari enam elemen, yaitu klorin, sodium, magnesium, sulfur, kalsium dan potassium. Menurut Dawes (1993), salinitas merupakan faktor kimia yang mempengaruhi sifat fisik air, diantaranya adalah tekanan osmotik dan densitas air. Salinitas perairan laut yang normal berkisar antara 33 ppt hingga 37 ppt. Salinitas berpengaruh terhadap proses fisiologis seluruh organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Andrews et al., (2003) salinitas atau kadar garam merupakan jumlah total material terlarut dalam air. Menurut Subyakto & Cahyaningsih (2003), salinitas ideal untuk pemeliharaan kerapu adalah 28 – 33 ppt. Salinitas pada penelitian sedikit diatas salinitas optimun untuk kerapu, tetapi benih kerapu masih bisa beradaptasi terhadap salinitas tersebut. Sedangkan kondisi lingkungan perairan pada lokasi penangkapan ikan kerapu di alam, seperti suhu berkisar antara 27-29,62 oC, dengan salinitas berkisar antara 34,259 – 34,351 ‰, oksigen terlarut berkisar antara 3,95 - 4,28 ml/L, nitrat berkisar antara 1-6 μg.at/L dan posfat berkisar antara 0,80 - 1,40 μg.at/L (Langkosono & Wenno, 2003). Menurut Chua & Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24-31o C, salinitas antara 30-33 ppt, oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH berkisar antara 7,8-8,0. Sementara itu Suprakto & Fahlivi (2007) melaporkan kualitas air pada lokasi budidaya yaitu kecepatan arus 15-30 cm/s, suhu 27-29º C, salinitas 30-33 ppt, pH 8,0 - 8,2; oksigen >5 ppm dan kedalaman > 5m. Menurut Nontji (1993), di samudera salinitas berkisar antara 34 – 35 ppt. Variasi salinitas di permukaan air sangat mirip dengan keseimbangan evaporasi dan presipitasi. Salinitas merupakan faktor pembatas bagi organisme perairan terutama yang berada pada range yang sempit. Densitas air laut naik sejalan dengan kenaikan salinitas dan tekanan serta penurunan temperatur. Satu bagian per 1000 garam kenaikan densitasnya sekitar 0,8 bagian per 1000. Universitas Sumatera Utara 2.3 Penyakit Akibat Infeksi Parasit Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang meliputi genetik dan kondisi fisiologis ikan serta faktor eksternal yang berhubungan dengan lingkungan. Faktor eksternal tersebut yaitu komposisi kualitas kimia dan fisika air, bahan buangan metabolik, ketersediaan pakan, dan penyakit (Hepper & Prugnin, 1984). Parasit merupakan suatu organisme yang mengambil bahan untuk kebutuhan metabolismenya (makanan) dari tubuh inangnya dan merugikan bagi inang tersebut., sehingga parasit tidak dapat hidup lama di luar tubuh inangnya (Alifuddin, 2004). Kisaran batas toleransi temperatur yang sesuai untuk ikan adalah sekitar 20 – 32 oC, sedangkan untuk daerah tropis sebaiknya 27 oC dengan fluktuasi 30 oC (Riani, 2004). Menurut Supriyadi (2004), berdasarkan sifat hidupnya parasit dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu obligat dan fakultatif. Parasit obligat yaitu parasit yang hanya bisa hidup jika berada pada inang. Parasit fakultatif yaitu parasit yang mampu hidup di lingkungan air jika tidak ada inang disekitarnya. Ekosistem perairan tambak merupakan ekosistem binaan yang bertujuan untuk produksi udang maupun ikan. Menurut Afrianto & Liviawaty (1992), penyakit adalah suatu gangguan pada organisme yang disebabkan oleh parasit, kekurangan gizi atau faktor fisik dan lingkungan serta menyebabkan daya tahan tubuh ikan melemah. Penyakit dalam budidaya ikan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi yang besar (Sudjiharno, 2003). Menurut Reantoso et al., (2004), mengemukakan bahwa permasalahan penyakit pada budidaya ikan laut di Asia Timur dan Asia Tenggara telah diidentifikasi dengan beberapa faktor dalam budidaya yaitu melalui perbaikan lingkungan (polusi dan racun dari akibat kelimpahan plankton) dan perbaikan manajemen (aklimatisasi, penanganan mortalitas dan tranportasi mortalitas) pada juvenil. Program manajemen kesehatan harus memenuhi beberapa persyaratan dan dapat mencakup semua aktifititas budidaya. Pada tingkat produksi, syarat yang harus dipenuhi adalah pemilihan benih, nutrisi, penanganan limbah, optimalisasi kualitas air dan monitor berkala. Universitas Sumatera Utara 2.4 Hubungan antara Inang dan Parasit Pengertian inang menurut Kusumah (1976), adalah organisme hidup yang dipendeki (ditempati) oleh parasit. Antara inang dan parasit terdapat hubungan simbiosis parasitisme yaitu bentuk kehidupan bersama antara dua spesies organisme yang berbeda atau lebih dan organisme yang ditumpanginya akan mendapat kerugian karenanya. Parasit ada di lingkungan perairan seperti juga ikan hidup di lingkungan air. Jika kualitasnya air jelek mengakibatkan ikan stress, tetapi kondisi ini justru merupakan media yang baik bagi parasit sehingga mereka berkembang biak dan populasinya cukup untuk menginfeksi ikan hingga sakit (Taukhid, 2006). Parasit adalah organisme yang hidupnya dapat menyesuaikan diri dengan inangnya, dan merugikan organisme yang ditempatinya (inangnya). Dimana inang spesifik sebagai inang yang dapat menyediakan kebutuhan parasit yang bersangkutan dan parasit tersebut mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam inang tanpa adanya hambatan-hambatan (Noble & Noble, 1989). Salah satu parasit pada ikan kerapu macan adalah dari kelompok protozoa. Protozoa dicirikan dengan ukurannya yang mikroskopik bersel satu dan termasuk eukariotik. Ukuran protozoa berkisar dari 1-50 μm atau lebih. Bersifat holozoik atau sporozoik, tetapi sedikit yang holopitik. Reproduksi organisme ini dapat berlangsung secara seksual dan aseksual tergantung kepada kelompoknya. Beberapa spesies protozoa hidup bebas atau bersifat parasit. Kemampuannya yang tinggi untuk memperbanyak diri pada inang telah menyebabkan parasit protozoa sangat berbahaya pada ikan (Dana et al., 1994). Populasi gabungan organisme yang hidup bersama di dalam suatu jaringan organ insang dikenal sebagai campuran parasit. Selanjutnya dikatakan bahwa, parasit di dalam inangnya dipengaruhi oleh adanya parasit spesies lain. Infeksi bersama antara spesies yang berbeda dapat bersifat antagonistik, dimana keberadaan suatu spesies akan menghambat perkembangan atau dapat bersifat sinergistik atau saling menunjang kehidupan masing-masing spesies (Noble & Noble, 1989). Universitas Sumatera Utara Menurut Kabata (1985), parasit dapat ditinjau dari tempat hidupnya yaitu parasit ekto dan endo. Jika ditinjau dari segi siklus hidupnya, Kusumah (1976) mengatakan ada tiga penggolongan parasit yaitu intermitter parasit yaitu siklus hidupnya secara periodik dalam waktu tertentu berada di dalam inang, tetapi di waktu lain meningggalkan inang yang ditumpanginya. Siklus hidup yang lain adalah fakultatif parasit dimana dapat hidup tanpa organisme lain. Kemudian obligateri parasit yang mana siklus hidupnya membutuhkan organisme lain dan hidup selamanya. 2.5 Ektoparasit pada Kerapu Macan Menurut Widyastuti (2002), bahwa parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup pada permukaan luar tubuh inang atau di dalam liang-liang kulit yang mempunyai hubungan dengan dunia luar. Endoparasit yaitu parasit yang hidup pada organ dalam tubuh ikan seperti hati, limfa, otak dan dalam sistem pencernaan, sirkulasi darah, pencernaan, sirkulasi darah, pernafasan, dalam rongga perut, otot, daging, dan jaringan tubuh lain. Ektoparasit merupakan parasit yang menyerang tubuh ikan bagian luar (Bhagawati et al., 1991). Ektoparasit dapat menyebabkan mortalitas tinggi yang bersifat akut. Infeksi ektoparasit juga menimbulkan kerugian non letal yaitu pertumbuhan yang lambat, penurunan efisiensi pencernaan dan faktor predisposisi bagi infeksi jamur, bakteri dan virus (Sommerville, 1998 dalam Mulia, 2005). A B Gambar 2. Jenis-jenis ektoparasit pada kerapu macan 10 x 40 (A. Diplectanum; B. Trichodina sp.) Universitas Sumatera Utara Monogenea merupakan cacing pipih dengan ukuran panjang 0,15-20 mm bentuk tubuhnya fusiform, haptor di bagian posterior dan siklus kait sentral sepasang dan sejumlah kait marginal. Salah satu contoh kelas monogenea yaitu Dactylogyridae yang mempunyai alat bantu organ tambahan pada tubuhnya yang biasa disebut squamodis yang berfungsi sebagai perekat, selanjutnya dikatakan bahwa ada sekitar 1500 spesies monogenea yang ditemukan pada ikan (Gusrina, 2008). Menurut Kabata (1985), bahwa Monogenea umumnya ektoparasit dan jarang bersifat endoparasit. Monogenea salah satu parasit yang sebagian besar menyerang bagian luar tubuh ikan (ektoparasit) jarang menyerang bagian dalam tubuh ikan (endoparasit) biasanya menyerang kulit dan insang. Menurut Noga (1996), monogenea merupakan parasit yang umum ditemukan di insang dan kulit ikan air tawar maupun laut. Menurut Prayitno, (1998), parasit monogenea menyebabkan rusaknya insang ditambah dengan produksi lendir yang berlebihan ini akan mengganggu pertukaran gas oksigen. Akibatnya sel-sel mati dan tidak berfungsi sehingga ikan akan mati karena tidak bernafas dengan baik. Ciri ikan yang terserang monogenea adalah produksi lendir pada bagian epidermis akan meningkat, kulit terlihat lebih pucat dari normalnya, frekuensi pernapasan terus meningkat karena insang tidak dapat berfungsi secara sempurna, kehilangan berat badan (kurus) melompat-lompat ke permukaan air dan terjadi kerusakan berat pada insang. Universitas Sumatera Utara