Antioksidan Kulit Pisang (Musa paradisiaca)

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Pisang Kepok (Musa Paradisiaca Normalis)
Pisang merupakan tumbuhan monokotil yang termasuk dalam famili
Musaceae. Pohonnya menyerupai tumbuhan hijau dengan tinggi dua hingga
sembilan meter, akar rhizoma berada dalam tanah dan pelepahnya terdiri dari
lembaran daun dan mahkota terminal daun tempat munculnya bakal buah
(Seymour 1993).
Klasifikasi pisang adalah sebagai berikut :
Divisi
:
Spermatophyta
SubDivisi
:
Angiospermae
Kelas
:
Monocotyledonae
Famili
:
Musaceae
Genus
:
Musa
Spesies
:
Musa spp.
Sedangkan jenisnya dapat dibagi atas empat kelompok yaitu : Pisang yang
dimakan buahnya tanpa dimasak, yaitu M. paradisiaca var. Sapientum, M. nana
atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis. Contohnya: pisang ambon, pisang
susu, pisang raja, pisang cavendish, pisang barangan dan pisang mas. Pisang yang
dimakan setelah buahnya dimasak, yaitu M. paradisiaca Typica atau disebut juga
M. paradisiaca Normalis. Contohnya: pisang nangka, pisang tanduk, dan pisang
kepok yang digunakan pada penelitian (Gambar 1).
Gambar 1 Pisang kepok
Kelompok ketiga yaitu termasuk pisang berbiji, seperti M. brachycarpa yang di
Indonesia dimanfaatkan daunnya. Contonya: pisang batu dan pisang klutuk.
Sedangkan kelompok keempat yaitu pisang yang diambil seratnya, contohnya
pisang Manila (Abaca) (Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika, LPPM IPB 2005).
Selanjutnya Freiberg (1966) menyatakan bahwa varietas pisang bervariasi
menurut tinggi, bentuk daun, warna tandan (hitam, hijau, merah, beraneka warna),
karakter sisir pada tandan dan karakteristik buah seperti bentuk, warna dan
kandungan lilin.
Pisang merupakan buah klimaterik yang artinya memiliki fase
perkembangan yang selama itu ukuran buah meningkat dan karbohidrat
terakumulasi dalam bentuk pati. Pertumbuhan terhenti saat buah telah benar-benar
matang dan fase pematangan buah terhambat. Selama fase pematangan, kekerasan
buah menurun, pati berubah menjadi gula, warna kulit berubah dari hijau menjadi
kuning dan kekelatan pada buah hilang, berkembang menjadi flavor dengan
karakteristik yang khas (Thompson dan Burden 1995).
Pemilihan jenis pisang didasarkan pada pendugaan kandungan fenolik
pada pisang. Dimana dari hasil penelitian Simmonds (1954) dalam Harborne
(1967) pola distribusi antosianidin berbeda-beda
pada setiap spesies pisang.
Begitu juga pola distribusi pigmen glikosidat dan flavones menunjukkan
perbedaan menurut genus dan taksonomi pada pisang serta tingkat kematangan
pisang.
Kandungan fenolik bertanggung jawab terhadap kekelatan pada pisang
sebelum pisang pisang matang serta terhadap beberapa reaksi pencoklatan.
Fenolik terutama terdapat pada pembuluh getah pada daging buah dan kulit buah.
Pada saat panen, kulit buah mengandung total fenol dua kali lipat dari daging
buah (John dan Marchal 1995)
Buah pisang, khususnya pada kulit pisang, kaya akan senyawa fenolik
yang jika teroksidasi oleh enzim polifenoloksidase akan menyebabkan terjadinya
pencoklatan (Palmer 1971 diacu dalam Seymour 1993). Hutching et al. (2002)
mempelajari warna pada pisang yang telah matang, dimana diperlihatkan bahwa
terdapat titik-titik dan garis berwarna coklat diatas warna dasar kuning pada kulit
pisang. Garis coklat mengindikasikan kerusakan polifenol, sedangkan titik-titik
coklat mengindikasikan bahwa buah tersebut telah sangat matang.
Mendez et al. (2003) meneliti kandungan fenolik bebas pada pisang yang
berasal dari dua wilayah berbeda. Senyawa polifenol yang teridentifikasi pada
pisang adalah katekin dan asam galat. Kandungan senyawa polifenol pada pisang
yang varietasnya sama bervariasi tergantung pada tempat tumbuhnya, di dalam
rumah kaca atau di tempat terbuka, cara penanamannya secara konvensional
maupun organik dan wilayah produksinya.
Ada beberapa jenis senyawa antioksidan yang dapat diisolasi dari kulit
pisang, yaitu asam amino dan peptida, flavonoid, katekolamin, dopamin dan
polimer dopamin. Dilihat dari potensi antioksidannya, senyawa flavonoid,
katekolamin dan dopamin yang dihasilkan dari elusi asam asetat hasil pemisahan
dengan kromatografi alumina, memperlihatkan potensi yang paling baik jika
dibandingkan dengan komponen asam amino dan peptida serta polimer dopamin.
Sedangkan setelah dilakukan isolasi hasil elusi asam asetat tersebut, potensi
antioksidan dopamin adalah yang tertinggi, diikuti oleh flavonoidnya dan
katekolamin. Jenis flavonoid yang teridentifikasi adalah naringenin dan rutin
(Kanazawa dan Sakakibara 2000).
Menurut Vinson et al. (2001), total fenolik pada pisang adalah sekitar 3,35
mg/g berat segar yang dikonsumsi. Fenol bebas yang terdapat pada pisang kurang
menunjukkan kualitas antioksidan yang baik, tetapi secara keseluruhan, total fenol
pisang mempunyai kualitas antioksidan yang baik. Perbandingan antara
konsentrasi fenol dengan kualitas antioksidannya juga menunjukkan bahwa pisang
termasuk yang memiliki nilai tertinggi dari beberapa jenis buah yang diteliti.
Someya et al. (2002) mempelajari senyawa antioksidan flavonoid yang
terdapat pada daging dan kulit pisang, senyawa yang teridentifikasi yaitu katekin,
galokatekin dan epikatekin. Pengujian aktivitas antioksidan terhadap oksidasi
lemak yang dilakukan memperlihatkan bahwa ekstrak kulit pisang memiliki
aktivitatas antioksidan yang tinggi. Hal ini disebabkan kandungan total fenolik
pada ekstrak kulit pisang lebih besar (9,07 mg/g berat kering, data diolah)
dibandingkan yang terdapat pada ekstrak daging buahnya (2,32 mg/g berat kering,
data diolah).
Adanya komponen fenolik dalam pangan memiliki pengaruh penting
terhadap stabilitas oksidatif dan keamanan pangan dari adanya mikroba. Beberapa
jenis fenol memiliki kemampuan untuk menghambat metagenesis dan
karsinogenesis serta memiliki aktivitas antioksidan yang potensial untuk
digunakan pada pengawetan makanan (Shahidi dan Naczk 1995). Lewis et al.
(1999) melakukan penelitian terhadap kandungan flavonoid alami pada daging
buah pisang pati yang teridentifikasi sebagai leukosianidin dan memiliki aktivitas
anti-ulcerogenik.
Lim et al. (2006) mempelajari perbandingan sifat antioksidan beberapa
jenis buah tropis. Dari penelitiannya tersebut diketahui bahwa walaupun pisang
tidak memiliki kadar total fenol dan asam askorbat yang tinggi, tetapi
mengandung antioksidan sekunder yang potensial karena kemampuannya untuk
mengikat ion logam adalah yang paling tinggi dibandingkan beberapa jenis buah
lainnya. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Someya et al.
(2002) dan Kanazawa dan Sakakibara (2000), kulit pisang memiliki kadar
senyawa fenolik yang jauh lebih tinggi daripada yang terkandung pada daging
buahnya. Ekstrak kulit pisang juga tidak memiliki aktivitas sitotoksisitas sehingga
ekstrak kulit pisang aman untuk diterapkan sebagai antioksidan alami pada
pangan atau minuman (Okonogi et al. 2006). Oleh karena itu, kulit pisang
memiliki potensi yang cukup baik untuk dimanfaatkan sebagai sumber
antioksidan pada bahan pangan.
Minyak Ikan
Lemak hewan dan minyak ikan diambil dari jaringan berlemak melalui
proses pemasakan yang diketahui sebagai rendering. Bahan mentah pembuatan
minyak ikan berasal dari ikan-ikan yang tidak dapat dipasarkan dan sisa-sisa
pengolahan serta limbah hasil pengalengan ikan. Wet rendering merupakan cara
lama dan melibatkan proses pemasakan (dengan adanya air) dengan pemanasan
(steam) di bawah tekanan [172-516 kPa (25-75 psi)] selama 90-150 menit. Air
akan menguraikan protein dan bahan padatan lainnya turun, sementara lemak
dengan densitas yang rendah mengapung pada permukaan cairan. Lemak yang
dihasilkan dari proses tersebut harus disentrifusa dan disaring (Johnson 2002).
Setelah dilakukan penghancuran ikan, sel dipecah untuk meningkatkan
pelepasan minyak. Secara tradisional, pemecahan sel dilakukan secara mekanis
atau dengan pemanasan cairan dalam sel. Pada Gambar 2 dapat dilihat tahaptahap dalam proses pembuatan minyak ikan.
Ikan Utuh
Penghancuran
Pemecahan Sel
Pemisahan tahap pertama
Padatan
Pengeringan
Minyak
Pemisahan tahap kedua
Minyak ikan
Pengeringan
Padatan
Pengeringan
Fish Meal
Gambar 2 Tahap-tahap pembuatan minyak ikan (Bockisch 1998)
Minyak ikan berbeda dari minyak lainnya karena mengandung berbagai
jenis asam lemak jika dibandingkan dengan minyak dan lemak lainnya. Minyak
ikan mengandung sejumlah besar asam lemak dengan panjang rantai karbon 20
atau 22 dan jenis asam lemak PUFA dengan lima atau enam ikatan ganda dan
kandungan asam lemak omega-3 yang lebih tinggi dibandingkan asam lemak
omega-6. Minyak ikan yang berasal dari spesies yang berbeda memperlihatkan
sifat-sifat yang sangat berbeda. Asam lemak rantai panjang, khususnya rantai
karbon 20 dan 22 secara umum berjumlah 1/4 hingga 1/3 komposisi asam lemak
keseluruhan. Pada beberapa spesies dapat mencapai hingga ½ dari kandungan
asam lemak total (Martin et al. 1982).
Turon et al. (2005) meneliti komposisi asam lemak minyak yang diekstrak
dari ikan nila merah dan memperlihatkan bahwa komponen asam lemak yang
paling tinggi adalah asam palmitat (C 16:0) yaitu sekitar 60 % dari total asam
lemak jenuh yang terkandung Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi asam lemak jenuh minyak ikan nila merah (Turon et al. 2005)
Asam lemaka
Profil asam lemak (mol%)b
12:0
14:0
15:0 iso
15:0
16:0iso
16:0
17:0iso
18:0iso
18:0
20:0
22:0
24:0
Jenuh
a
0,16 ± 0,05
4,36 ±0,09
0,69 ± 0,02
0,76 ± 0,007
0,29 ± 0,01
23,7 ± 0,26
0,51 ± 0,07
1,49 ± 0,14
0,15 ± 0,01
0,37±0,02
0,23±0,03
0,11±0,01
39,9 ± 1,12
Seluruh ikatan etilen pada konfigurasi cis;
Nilai rata-rata standar deviasi dari dua sampel analisis kromatografi gas dari empat percobaan
b
Karakteristik dari minyak ikan yang teroksidasi berbeda-beda tergantung
derajat oksidasi dan faktor yang menyebabkan oksidasi. Secara umum, gravitas
tertentu, indeks refraksi, viskositas, bilangan asam dan bilangan saponifikasi
untuk minyak ikan yang teroksidasi lebih tinggi dari minyak ikan segar, tetapi
nilai iodin dan kandungan bromida yang tidak terlarut dalam eter lebih rendah
pada minyak ikan yang telah teroksidasi dibandingkan minyak ikan segar
(Tomotaro 1961).
Lemak dan Mekanisme Oksidasi Lemak
Lemak merupakan salah satu senyawa penyusun yang utama pada bahan
pangan dan sistem biologis yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok,
yaitu lemak sederhana (trigliserida, steryl ester dan ester wax), senyawa lemak
(phospholipid, glikolipid, spingolipid dan lipoprotein) dan turunan lemak (asam
lemak, vitamin dan provitamin larut lemak, sterol, terpenoid dan eter). Lemak
yang terdapat pada jaringan hewan dan tumbuhan sebagai simpanan lemak yang
dapat digunakan sebagai sumber energi dan sebagai komponen membran sel.
Lemak hewan memiliki kadar lemak jenuh yang rendah dibandingkan dengan
lemak tumbuhan, tetapi kaya akan asam lemak tak jenuh. Ketidakjenuhan asam
lemak membuat lemak sangat mudah untuk berikatan dengan oksigen sehingga
menyebabkan perubahan kimia yang kompleks yang akhirnya menyebabkan
terjadinya off flavor pada bahan pangan (Jadhav et al. 1996).
Komposisi kimia lemak pada ikan berbeda dengan lemak dan minyak
alami lainnya karena mengandung asam lemak tak jenuh dengan kadar yang
cukup tinggi, memiliki asam lemak rantai panjang lebih dari 18 atom carbon
dengan kuantitas sangat tinggi, memiliki asam lemak tak jenuh jamak terutama
famili omega-3 lebih banyak dari famili omega-6 dan secara umum memiliki
kandungan lemak yang sangat bervariasi (Bligh et al. 1988).
Reaksi antara oksigen dan lemak tak jenuh atau disebut dengan oksidasi
lemak dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu autooksidasi dan oksidasi fotosensitif.
Autooksidasi merupakan reaksi rantai radikal bebas yang mekanismenya diawali
oleh proses inisiasi yang menyebabkan lepasnya gugus H sehingga membentuk
radikal lemak, diikuti dengan propagasi dimana radikal lemak bereaksi dengan
oksigen untuk membentuk radikal peroksida yang selanjutnya dapat bereaksi lagi
dengan lemak tak jenuh sehingga terbentuk hidroperoksida dan radikal lemak
yang dapat bereaksi lagi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksida dan
begitu seterusnya seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Inisiasi
RH
→ R•
R′ -CH=CH-R″ + O2 → ROOH
Propagasi R• + O2
ROO• + RH
ROOH
→ ROO•
→ ROOH + R•
→ RO• + OH•
Terminasi R• + R•
→ Produk non radikal
2 ROO•
→ R1-CO-R2 + R1-CHOH-R2 + O2
Radikal bebas lainnya
Gambar 3 Reaksi autooksidasi (Wong 1989)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Reaksi autoksidasi diakhiri dengan proses terminasi karena terbentuknya senyawa
tidak radikal. Sedangkan oksidasi fotosensitif dapat terjadi oleh karena adanya
senyawa yang sensitif terhadap cahaya seperti klorofil melalui reaksi
pembentukan ‘ene’, reaksi ini dapat dihambat oleh senyawa pengikat oksigen
tunggal seperti beta karoten dan tokoferol (Wong 1989).
Oksidasi asam lemak tak jenuh ganda membutuhkan bentuk aktif oksigen
karena reaksinya dengan oksigen dalam bentuk stabil merupakan reaksi yang
terbatas. Reaksi yang terbatas dipicu oleh reaksi aktifasi (inisiasi) yang melibatkan
katalis untuk mengawali reaksi rantai radikal bebas (propagasi). Hidroperoksida
lemak yang terbentuk tidak stabil dan kemudian terpecah untuk membentuk
senyawa volatil yang berkaitan dengan terjadinya ketengikkan (Gambar 4).
Senyawa volatil yang terbentuk selama penyimpanan telah sepenuhnya
terkarakterisasi pada sejumlah spesies ikan berlemak termasuk ikan teri, salmon
Atlantik dan mackerel (Ashton 2002).
Produk Oksidasi Primer
•
OOH
Produk
Oksidasi
Sekunder
X•
XH
O2
Produk Oksidasi Primer
Perubahan
Warna dan
Nilai Gizi
Produk Oksidasi
Tersier
Produk
Interaksi
Aroma
Flavor
Aldehid
Alkohol
Keton
Hidrokarbon
-NH2
Gambar 4 Proses oksidasi asam lemak tak jenuh pada ikan
Reaksi oksidasi lemak dapat dipercepat oleh cahaya, panas, peroksida
lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam
porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim
lipoksigenase. Oksidasi ini menyebabkan terjadinya ketengikan oleh karena
pemecahan senyawa hidroperoksida oleh adanya radiasi energi tinggi, energi
panas, katalis logam dan enzim membentuk senyawa dengan rantai karbon yang
lebih pendek seperti asam-asam lemak, aldehid dan keton yang bersifat volatil
(Winarno 2002).
Inisiator lainnya pada proses oksidasi lemak adalah oksigen singlet yang
merupakan oksigen molekul yang tereksitasi. Oksigen singlet dapat terbentuk
melalui reaksi fotosensitif. Beberapa jenis molekul dapat berfungsi sebagai
sensitizer yang memiliki kemampuan untuk menyerap cahaya dan mengubahnya
menjadi bentuk eksitasi energi tinggi. Molekul sensitizer yang tereksitasi dapat
bereaksi dengan molekul oksigen sehingga menghasilkan oksigen singlet. Oksigen
singlet berinteraksi langsung dengan ikatan ganda asam lemak sehingga
menghasilkan produk oksidasi yang berbeda dari yang dihasilkan pada proses
autooksidasi yang melibatkan pemutusan hidrogen (Hultin 1994).
Choe dan Min (2006) menyatakan bahwa oksidasi minyak yang
diakselerasi oleh cahaya khususnya terjadi dengan adanya sensitizer seperti
klorofil. Sensitizer yang berada dalam keadaan singlet menyerap energi cahaya
dengan sangat cepat dalam hitungan picosecond sehingga menjadi tereksitasi.
Sensitizer yang tereksitasi akan bereaksi dengan oksigen triplet sehingga
menghasilkan oksigen singlet yang dapat bereaksi dengan sangat cepat
membentuk hidroperoksida. Mekanisme pembentukan oksigen singlet dari
sensitizer yang tereksitasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Keadaan
tereksitasi
1Sen*
k = 1-20 x 108 / sec
ISC
hv
k = 2 x 108 / sec
k = 10 x 104 / sec
Keadaan stabil
1Sen
3Sen*
+3O2
k = 1-3 x 109 / sec
Pembentukan
singlet oksigen
Gambar 5 Aktivasi dan deaktivasi sensitizer (Choe dan Min 2006)
Pada otot ikan terdapat sejumlah katalis yang potensial dan mekanismenya
kemungkinan adalah melalui reaksi aktifasi untuk menghasilkan spesies oksigen
aktif yang dapat menyebabkan oksidasi lemak. Oksidasi lemak oleh reaksi nonenzimatis lebih disebabkan oleh protein heme dan ion besi bebas yang berperan
dalam reaksi transfer elektron dengan molekul oksigen sehingga memindahkan
arah spin oksigen yang tadinya tidak reaktif. Sedangkan protein heme yang
mengandung besi mampu mempropagasi oksidasi lemak melalui reaksi redoks
dengan hidroperoksida lemak dan hidrogen peroksida yang sudah terbentuk
(Ashton 2002).
Mekanisme inisiasi oksidasi lipid juga dapat disebabkan oleh adanya
enzim pada daging ikan. Salah satu enzim yang banyak berperan adalah
lipoksigenase yang dapat mengoksidasi asam lemak tak jenuh jamak yang
mengandung 1,4-cis,cis-pentadiene menghasilkan hidroperoksida yang tidak
stabil (Saeed dan Howell 2001; Wong 1989). Lipoksigenase yang terlepas dari
daging ikan bersama dengan oksigen akan merubah 1,4-diene menjadi 1,3hidroperoksida yang kemudian akan terurai lagi dan akhirnya menyebabkan
perubahan bau pada otot ikan (German dan Kinsella 1985). Aktivitas enzim
lipoksigenase ini dapat dihambat oleh penambahan beberapa senyawa,
diantaranya adalah senyawa antioksidan alami seperti vitamin C, vitamin E,
senyawa fenolik dan flavonoid (Saeed dan Howell 2001; Ashton 2002). Pada
minyak ikan, reaksi oksidasi enzimatis tidak ikut berperan karena senyawasenyawa protein telah dipisahkan dari minyak ikan.
Ackman
(1994)
menyebutkan
bahwa
ada
beberapa
cara
untuk
menghambat oksidasi lemak pada seafood, antara lain dengan membatasi kontak
terhadap oksigen, menggunakan senyawa antioksidan alami, meminimalkan
peningkatan prooksidan, memberikan perlindungan awal dari reaksi oksidasi,
memelihara suhu tetap rendah, melindungi dari pengaruh NaCl, menghilangkan
lemak yang tidak stabil dan membuang otot gelap.
Senyawa Antioksidan
Berdasarkan fungsinya antioksidan dapat diklasifikasikan menjadi tiga
yaitu antioksidan primer, sinergis dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer
bekerja dengan cara menghilangkan reaksi rantai radikal bebas dengan
mendonorkan hidrogen atau elektron pada rantai radikal bebas dan merubahnya
menjadi produk yang lebih stabil. Disamping itu, juga dapat bereaksi dengan
radikal lemak membentuk kompleks lipid-antioksidan. Sedangkan antioksidan
sinergis secara luas dapat diklasifikasikan sebagai penangkap oksigen dan
pengkelat, fungsi sinergisnya bisa dengan berbagai mekanisme. Antioksidan
sinergis bisa juga berperan sebagai donor pada radikal peroksi sehingga dapat
memelihara antioksidan primer. Sedangkan antioksidan sekunder bekerja dengan
mendekomposisi peroksida lemak menjadi produk akhir yang lebih stabil. Selain
itu ada juga yang disebut sebagai antioksidan dengan fungsi beragam, yaitu
berfungsi sebagai antioksidan primer dan antioksidan sinergis. Flavonoid dan
senyawa turunannya termasuk ke dalam golongan ini
(Rajalakshmi dan
Narasimhan 1996). Flavonoid juga dapat bekerja secara sinergis dengan
penambahan asam askorbat (Coppen 1983; Shi 2001).
Antioksidan merupakan senyawa kimia yang mampu mendonor radikal
hidrogen sehingga dapat mengurangi radikal primer menjadi non radikal dan
kemudian berubah menjadi radikal antioksidan teroksidasi. Struktur molekul
antioksidan tidak hanya mendonor atom hidrogen tetapi juga membentuk radikal
dengan reaktivitas rendah sehingga tidak ada kemungkinan untuk bereaksi lebih
jauh dengan lemak dan oksigen (Wong 1989; Jadhaf et al. 1996).
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
antioksidan sintetis dan alami. Penggunaan antioksidan sintetis seperti BHA, BHT
(Butylate Hydroxyltoluene) dan TBHQ sangat dibatasi oleh karena sifatnya yang
dapat menyebabkan karsinogenik sehingga alternatif untuk penggunaan
antioksidan alami untuk mencegah oksidasi pada bahan pangan banyak diteliti
(Ramanathan dan Das 1992; Wanasundara dan Shahidi 1998; Tang et al. 2001;
Shyamala et al. 2005)
Polifenol
Polifenol terdapat pada buah, sayur dan bahan pangan nabati lainnya, baik
yang diinginkan maupun tidak diinginkan yang secara signifikan tidak terdapat
dalam bahan pangan hewani. Senyawa ini terdiri dari dua kelompok yaitu
flavonoid dan turunan asam sinamat. Flavonoid membentuk kelompok utama
yang sangat luas dan dikarakterisasi oleh adanya rangka karbon C6-C3-C6 yang
terdiri dari dua cincin standard yang dihubungkan oleh tiga rantai karbon alifatik
(Shahidi dan Naczk 1995). Struktur umum flavonoid dapat dilihat pada Gambar 6.
3’
2’
8
R7
7
6
O
5’
1 2
5
4’
4
R6
6’
3
R3
OH
R4
Gambar 6 Struktur umum flavonoid
Flavonoid dapat dijumpai hampir diseluruh bagian spesies tanaman
terutama pada biji, kulit buah, batang dan bunga. Kombinasi yang beragam pada
gugus hidroksil, gula, oksigen dan gugus metil yang melekat pada struktur umum
flavonoid membagi flavonoid menjadi beberapa kelas, yaitu flavanol, flavanon,
flavon, flavan-3-ol (katekin), antosianin dan isoflavon. Flavonoid diketahui
merupakan antioksidan yang potensial yang mampu menangkap radikal hidroksil,
anion superoksida dan radikal peroksi lemak (Miller 1996).
Adanya senyawa fenolik pada bahan pangan kemungkinan memiliki
pengaruh penting terhadap stabilitas oksidatif dan keamanan produk dari mikroba.
Selain itu, banyaknya fenolik dalam bahan pangan memiliki aktifitas biologis
penting yang berhubungan dengan pengaruh penghambatannya terhadap
mutagenik dan karsinogenik. Kebanyakan bahan pangan nabati seperti padipadian, minyak biji-bijian, tumbuhan polong, sama halnya dengan jamu-jamuan,
bumbu dan teh, mengandung fenolik dengan aktivitas antioksidan yang potensial
(Shahidi dan Wanasundara 1992 diacu dalam Shahidi dan Naczk 1995). Hal ini
yang menyebabkan proses ekstraksi dan penggunaan antioksidan dari tumbuhtumbuhan alami dalam pengolahan pangan meningkat (Shahidi dan Naczk 1995).
Fenolik mengandung gugus hidroksil (-OH) múltiple dan merupakan
antioksidan yang mendonor hidrogen dan meredam oksigen singlet. Hal ini
membuat polifenol digolongkan sebagai senyawa pereduksi. Polifenol juga sangat
berpotensi sebagai senyawa pengkelat logam. Polifenol dapat menangkap dan
meredam radikal dan memutuskan rantai reaksi. Potensi antioksidannya 4 hingga
5 kali vitamin C atau E (Shi et al. 2003).
Polifenol biji anggur sangat sensitif terhadap oksigen, cahaya, asam dan
alkalin, tetapi lebih tahan terhadap panas. Fenolik yang tidak berwarna seperti
katekin dan epikatekin sangat mudah teroksidasi pada buah-buahan dan sayuran
karena adanya polifenoloksidase yang bertanggung jawab terhadap kerusakan atau
memar pada buah-buahan (seperti apel, pir dan persik) serta sayur-sayuran dan
pencoklatan pada jus (Shi et al. 2003). Struktur flavonoid yang terkandung dalam
biji anggur dapat dilihat pada Gambar 7.
OH
OH
OH
O
HO
R
OH
O
HO
OH
OH
OH
R= H : (+)-Catechin
R= OH : (+)-Gallocatechin
R
OH
R= H : (-)-Epicatechin
R= OH : (-)-Epigallocatechin
Gambar 7 Struktur flavonoid yang terkandung dalam biji anggur
(Shi et al. 2003)
Senyawa fenolik juga bertanggung jawab terhadap kualitas sensori bahan
pangan. Astringency (kelat) dan rasa pahit yang timbul pada bahan pangan
tergantung pada konsentrasi senyawa fenolik yang terdapat pada bahan pangan
tersebut. Secara umum, daun-daunan, bunga, buah dan jaringan hidup tumbuhan
mengandung glikosida sementara jaringan kayu mengandung aglikon, sedangkan
biji-bijian bisa mengandung fenolik dalam kedua macam bentuk tersebut (Shahidi
dan Naczk 1995).
Aktivitas Antioksidan Polifenol
Ramanathan dan Das (1992) meneliti tentang pengaruh beberapa senyawa
polifenol alami untuk mengontrol oksidasi lemak pada daging ikan yang digiling
dan disimpan pada suhu 4 ºC dan –20 ºC. Dari hasil penelitian tersebut diketahui
bahwa quercetin pada konsentrasi 200 ppm, myricetin pada konsentrasi 200 ppm,
asam tanat pada konsentrasi 30 dan 200 ppm dan asam elargat pada konsentrasi
30 dan 200 ppm merupakan antioksidan yang potensial. Sementara rutin, baik
pada konsentrasi 30 dan 200 ppm dan α-tokoferol pada konsentrasi 30 ppm
kurang efektif dalam mengontrol oksidasi lemak daging ikan.
Wanasundara dan Shahidi (1998) melakukan penelitian terhadap aktivitas
antioksidan dan pro-oksidan ekstrak teh hijau pada minyak ikan, dimana pada
mulanya ekstrak teh hijau memperlihatkan efek prooksidan pada minyak ikan
yang diduga akibat adanya klorofil pada ekstrak teh hijau. Pada percobaan
berikutnya ekstrak dideklorofilasi untuk menghilangkan kandungan klorofil.
Aktivitas antioksidan ekstrak teh hijau diteliti pada konsentrasi 100, 200, 500 dan
1000 ppm dan dibandingkan dengan antioksidan yang biasa digunakan seperti
BHA, BHT, TBHQ pada 200 ppm dan α-tokoferol pada 500 ppm. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau pada konsentrasi lebih besar dari 200 ppm
memperlihatkan aktivitas antioksidan yang baik dan sangat manjur dibandingkan
BHA, BHT pada konsentrasi 200 ppm dan α-tokoferol pada konsentrasi 500 ppm,
tetapi aktivitasnya lebih rendah jika dibandingkan dengan TBHQ pada konsentrasi
200 ppm.
Tang et al. (2001) melakukan penelitian terhadap pengaruh antioksidatif
katekin teh terhadap oksidasi lemak pada pastel daging, unggas dan ikan.
Penambahan katekin teh sebanyak 300 mg/kg hancuran otot memperlihatkan efek
penghambatan terhadap pembentukan malonaldehid yang disimpan selama 10 hari
pada suhu 4 ºC dan kekuatan iluminasi 616 lux.
Ekstrak teh juga dapat digunakan untuk meningkatkan masa simpan filet
bonito dengan cara glassing. Kandungan katekin dari tiga jenis ekstrak teh (teh
hijau, teh pouchong dan teh hitam) memiliki kadar yang berbeda-beda dengan
aktivitas penghambatan yang berbeda pula yang disebabkan oleh proses
fermentasi alami yang berbeda pada ketiga jenis teh. Teh hijau dan teh pouchong
memiliki kemampuan penghambatan oksidasi filet yang lebih tinggi dari teh
hitam. Kombinasi antara ekstrak teh hijau dan teh pouchong pada konsentrasi 5 %
untuk glasing filet memperlihatkan efek sinergis terhadap pembentukan
hidroperoksida dan produk dekomposisinya (Medina et al. 1999).
Selain teh, ekstrak polifenol dari berbagai macam tumbuhan juga telah
diteliti untuk dimanfaatkan sebagai senyawa antioksidan dalam mencegah
oksidasi lemak pada bahan pangan. Medina et al. (2003) meneliti sistem pangan
yang diperkaya dengan asam lemak tak jenuh jamak, yaitu emulsi otot ikan,
emulsi minyak ikan dan minyak ikan yang ditambahkan senyawa antioksidan
fenolik alami yang berasal dari ekstrak daun rosemary dan extra virgin olive oil.
Kedua ekstrak ini mampu untuk menurunkan oksidasi lemak pada masing-masing
sistem pangan tersebut.
Antioksidan polifenol alami yang diekstrak dari extra virgin olive oil juga
dapat menghambat terjadinya oksidasi lemak pada tuna kaleng. Konsentrasi 400
ppm polifenol extra virgin olive oil yang ditambahkan pada tuna yang dioksidasi
pada 40 ºC dan 100 ºC, memperlihatkan hasil yang efektif dibandingkan dengan
penambahan 1:1 campuran antioksidan sintetis (BHT dan BHA) sebanyak 100
ppm. Tetapi pada konsentrasi di bawah 100 ppm, senyawa polifenol extra virgin
olive oil memperlihatkan efek sinergis atau memicu terjadinya pembentukan
hidroperoksida dan produk dekomposisinya ( Medina et al. 1999).
Bonilla et al. (1999) melakukan ekstraksi senyawa fenolik dari hasil
distilasi residu fermentasi anggur merah untuk digunakan sebagai antioksidan
pada lemak bahan pangan. Ekstraksi senyawa fenolik dengan etil asetat
menghasilkan kadar fenolik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil
ekstraksi dengan air. Kemudian senyawa-senyawa yang telah dipisahkan dengan
HPLC
(High-Performance
Liquid
Chromatography),
diuji
aktivitas
antioksidannya terhadap minyak zaitun yang telah direfinisasi dan dibandingkan
dengan antioksidan sintetis (BHA, BHT dan propil galat dan standar murni asam
galat yang terdapat pada ekstrak). Hasilnya menunjukkan bahwa asam galat
memperlihatkan aktivitas tertinggi setelah propil galat. Katekin dan epikatekin
memperlihatkan aktivitas yang hampir sama dengan BHA dan BHT berturut-turut,
diikuti dengan quercetin dan ekstrak fenolik dengan etil asetat yang diperoleh dari
hancuran residu hasil fermentasi anggur merah.
Pazos et al. (2005) membandingkan kemampuan ekstrak kasar polifenol
anggur dengan hasil isolasinya terhadap penghambatan oksidasi lemak ikan dan
otot ikan yang dibekukan. Pada minyak ikan, propil galat memperlihatkan efek
antioksidan yang lebih baik dari pada flavonoid anggur. Sedangkan pada emulsi,
fraksi polifenol anggur sama efektifnya dengan propil galat. Monomer ekstrak
polifenol anggur lebih efektif digunakan pada minyak dibandingkan dengan
polimernya. Oligomer flavanol (prosianidin) merupakan penghambat yang paling
potensial terhadap oksidasi emulsi dan otot ikan beku. Baik pada minyak dan
emulsi, monomer flavanol (katekin) lebih efektif jika dibandingkan monomer
glikosilasi flavonol.
Berdasarkan aktivitasnya tersebut, antioksidan alami yang diekstrak dari
tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghambat oksidasi lemak pada bahan
pangan. Hasil ekstraksi kulit pisang pada fase etil asetat yang telah diketahui
memiliki kadar katekin, galokatekin dan epikatekin dengan total fenolik 0,9 %
dari berat kering kulit pisang (Someya et al. 2002) memiliki kemampuan untuk
menghambat oksidasi lemak pada bahan pangan.
Download