BAB II PENDIDIKAN AKHLAK DAN MADRASAH DINIYAH A

advertisement
BAB II
PENDIDIKAN AKHLAK DAN MADRASAH DINIYAH
A. Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan Akhlak
Waini Rasyidin mengemukakan dalam buku “Pedagogik Teoretis
dan Praktis” bahwa pendidikan adalah rangkaian kegiatan-kegiatan
manusia tertuju terhadap manusia muda sebagai sesama secara
bertanggungjawab, dalam situasi pergaulan dan kebersamaan, tempat
upaya memengaruhi dilakukan dengan penghargaan dan pendekatan
pribadi.1
Banyak ahli filsafat pendidikan memberi arti “pendidikan” sebagai
suatu proses, bukan sebagai suatu seni atau teknik. Dapat disebut di sini
antara lain ialah:
a.
Mortiner J. Adler mengartikan: pendidikan adalah proses di mana
semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh)
yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan
kebiasaan yang baik melalui sarana yang artistik dibuat dan dipakai
oleh siapa pun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri
mencapai tujuan yang ditetapkannya, yaitu kebiasaan yang baik.
b.
William McGucken, seorang tokoh pendidikan Katolik berpendapat
bahwa pendidikan diartikan oleh ahli scholastik sebagai suatu
1
Waini Rasyidin, Pedagogik Teoretis dan Praktis, Cet. Ke-1 (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2014), hlm. 17.
21
22
perkembangan
manusia,
baik
dan
kelengkapan
moral,
dari
intelektual,
kemampuan-kemampuan
maupun
jasmaniah
yang
diorganisasikan, dengan atau untuk kepentingan individual atau sosial
dan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang bersama dengan
penciptanya sebagai tujuan akhirnya. Arti pokok yang terkandung
dalam definisi tersebut bahwa proses kependidikan itu mengandung
“pengarahan” ke arah tujuan tertentu.
c.
Herman H. Horne, pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses
penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar,
dengan sesama manusia, dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos.
Dalam pengertian ini maka proses tersebut menyangkut proses
seseorang menyesuaikan dirinya dengan dunia sekitarnya.2
Jadi, dari beberapa pengertian di atas, bahwa pendidikan merupakan
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Melalui upaya pengajaran,
pelatihan, proses, perbuatan dan cara-cara mendidik untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.
Kata “akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluq
(khuluqun) yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah
2
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 135-136.
23
laku atau tabiat. Pada buku “Akhlak Tasawuf”, A. Mustofa menuliskan,
akhlak menurut Imam Al-Ghazali adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan
tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu).3
Menurut Ibnu Maskawaih (941-1030 M): Keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Keadaan ini terbagi dua, ada yang
berasal dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang
berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan
pertimbangan, kemudian dilakukan terus-menerus, maka jadilah suatu
bakat dan akhlak.4
Jadi pada hakikatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau
sifat yang meresap dalam jiwa dan kepribadian. Dengan kata lain akhlak
adalah keadaan jiwa yang mendorong timbulnya suatu perbuatan dengan
mudah, karena kebiasaan sehingga tidak diperlukan pertimbangan dan
pemikiran terlabih dahulu.
Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan
dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak
adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai,
tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa
analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap
mengarungi lautan kehidupan.
3
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-6 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), hlm. 11-
4
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 13.
12.
24
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak
a. Dasar Pendidikan Akhlak
Dasar atau alat pengukur dalam Islam yang menyatakan bahwa
sifat seseorang itu baik atau buruk adalah Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
Segala sesuatu yang baik menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, itulah
yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk menurut Al-Qur‟an dan AsSunnah, berarti tidak baik dan harus dijauhi.
Kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia dinyatakan
dengan jelas dalam Al-Qur‟an. Al-Qur‟an menerangkan berbagai
pendekatan yang meletakkan Al-Qur‟an sebagai sumber pengetahuan
mengenai nilai dan akhlak yang paling jelas. Pendekatan Al-Qur‟an
dalam menerangkan akhlak yang mulia, bukan pendekatan teoretikal,
melainkan dalam bentuk konseptual dan penghayatan. Akhlak mulia
dan akhlak buruk digambarkan dalam perwatakan manusia, dalam
sejarah dan dalam realitas kehidupan manusia semasa Al-Qur‟an
diturunkan.5
Akhlak umat Islam juga wajib berlandaskan pada As-Sunnah,
artinya mencotoh perilaku Nabi Muhammad SAW., terutama dalam
masalah ibadah, sedangkan dalam masalah muamalah, umat Islam
menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai acuan dasar yang dapat
5
Ibid.. hlm. 20-21.
25
dikembangkan sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip akhlak
Islami.6
Jika telah jelas bahwa Al-Qur‟an dan hadits Rasul adalah
pedoman hidup yang menjadi asas bagi setiap muslim, maka teranglah
keduanya merupakan sumber akhlakul karimah dalam ajaran Islam. Alqur‟an dan sunnah Rasul adalah ajaran yang paling mulia dari segala
ajaran manapun hasil renungan dan ciptaan manusia. Sehingga telah
menjadi keyakinan (akidah) Islam bahwa akal dan naluri manusia harus
tunduk mengikuti petunjuk dan pengarahan Al-qur‟an dan As-Sunnah.
Dari pedoman itulah diketahui kriteria mana perbuatan yang baik dan
mana yang buruk. Nabi bersabda: Aku tinggalkan untukmu dua perkara,
kamu tidak akan sesat selamanya jika kamu berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu Al-qur‟an dan sunnahku. (HR. Al-Bukhari)7
b. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan ialah sesuatu yang dikehendaki, baik individu maupun
kelompok. Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan yang sempurna
apabila ia telah melakukan kebaikan, seperti kebijaksanaan yang
bersifat penalaran dan kebijaksanaan yang bersifat kerja. Dengan
kebijaksanaan nalar dapat diperoleh pandangan-pandangan yang sehat
dan dengan kerja dapat memperoleh keadaan utama yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang baik.
6
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2010), hlm. 64.
7
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Cet. Ke-1 (Jakarta:
Amzah, 2007), hlm. 5.
26
Jadi, tujuan akhlak diharapkan untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat bagi pelakunya sesuai ajaran Al-Qur‟an dan hadits.
Ketinggian akhlak terletak pada hati yang sejahtera (qalbun salim) dan
pada ketenteraman hati (rahatul qalbi).8
Pada dasarnya, tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim
berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai atau beradat-istiadat yang
baik sesuai dengan ajaran Islam. Kalau diperhatikan, ibadah-ibadah inti
dalam Islam memiliki tujuan pembinaan akhlak mulia. Shalat bertujuan
mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela;
zakat di samping bertujuan menyucikan harta juga bertujuan
menyucikan diri dengan memupuk kepribadian mulia dengan cara
membantu sesama; puasa bertujuan mendidik diri untuk menahan diri
dari berbagai syahwat; haji bertujuan- di antaranya- memunculkan
tenggang rasa dan kebersamaan dengan sesama.
Dengan demikian, tujuan akhlak dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah
membentuk kepribadian seorang muslim yang memiliki akhlak mulia,
baik secara lahiriah maupun batiniah.
Adapun tujuan akhlak secara khusus adalah:
1) Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW
Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW.
tentunya akan mendorong kita untuk mencapai akhlak mulia karena
8
Ibid., hlm. 10-11.
27
ternyata akhlak merupakan sesuatu yang paling penting dalam
agama. Akhlak bahkan lebih utama daripada ibadah. Sebab, tujuan
utama ibadah adalah mencapai kesempurnaan akhlak. Jika tidak
mendatangkan akhlak mulia, ibadah hanya merupakan gerakan
formalitas saja. Sebagai contoh, Allah SWT berfirman:
...‫ل لو َوى َو ْن َو ى َو ِق ى ْنا َو ْن َو ِقآى َو ْنا ُم ْن َو ِقى‬
‫ل لو َوى ِق َّص ى ا َّص‬
‫ َو َو ِق ِق ى ا َّص‬...
Artinya: “...dan laksanakanlah shalat. Seseungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar...” (QS. Al-„Ankabut
[29]: 45)
2) Menjembatani kerenggangan antara akhlak dan ibadah
Tujuan lain dari mempelajari akhlak adalah menyatukan
antara akhlak dan ibadah, atau dalam ungkapan yang lebih luas
antara agama dan dunia. Usaha menyatukan antara ibadah dan
akhlak, dengan bimbingan hati yang diridhai Allah SWT dengan
keikhlasan, akan terwujud perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang
seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat serta terhindar dari
perbuatan tercela.
3) Mengimplementasikan
pengetahuan
tentang
akhlak
dalam
kehidupan
Tujuan lain dari mempelajari akhlak adalah mendorong kita
menjadi orang-orang yang mengimplementasikan akhlak mulia
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Berkenaan
dengan
manfaat
mempelajari ilmu akhlak, Ahmad Amin mengatakan, “tujuan
28
mempelajari akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat
menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan
sebagian lainnya sebagai yang buruk”.
Lebih lanjut, Ahmad Amin menjelaskan etika (akhlak) tidak
dapat menjadikan semua manusia baik. Kedudukannya hanya
sebagai dokter. Ia menjelaskan kepada pasien tentang bahaya
minuman keras dan dampak negatifnya terhadap akal. Si pasien
boleh memilih informasi yang disampaikan dokter tersebut:
meninggalkannya agar tubuhnya sehat atau tetap meminumnya dan
dokter tidak dapat mencegahnya. Etika tidak dapat menjadikan
manusia baik atau buruk. Etika tidak akan bermanfaat apa-apa jika
petunjuk-petunjuknya tidak diikuti. Tujuan etika bukan hanya
mengetahui teori, tetapi juga memengaruhi dan mendorong kita
supaya membentuk hidup suci serta menghasilkan kebaikan dan
kesempurnaan.9
Salah satu definisi hikmah adalah ilmu. Ilmu adalah pelita
yang menerangi hidup, dan mengangkat tirai kebodohan. Belajarlah
semaksimal mungkin di dalam bidang ilmu keimanan kepada Allah
SWT, ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu yang lain; dan kemudian
amalkanlah ilmu anda. Ketahuilah bahwa seorang penyeru (da‟i)
yang tidak beramal tidak ubahnya seperti seorang pemanah tanpa
busur. Ketahuilah bahwa orang yang beramal (bekerja) dapat jatuh
9
Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 25-29.
29
pada kesalahan. Namun, ingatlah bahwa pelajaran dapat dipetik
seseorang dari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Amal
adalah medan ujian bagi manusia. Bagaimana mungkin seseorang
salah dalam memberi jawaban bila dia tidak menerima kertas soal
ujian yang harus dijawabnya?.10
Ilmu adalah pelita yang menerangi hidup, dan mengangkat
tirai kebodohan. Belajarlah semaksimal mungkin di dalam bidang
ilmu keimanan kepada Allah SWT, ilmu-ilmu agama dan ilmuilmu yang lain; dan kemudian amalkanlah ilmu anda. Ketahuilah
bahwa seorang penyeru (da‟i) yang tidak beramal tidak ubahnya
seperti seorang pemanah tanpa busur.11
Jadi tujuan pendidikan akhlak adalah untuk menciptakan manusia
sebagai makhluk yang tertinggi dan sempurna, berkepribadian muslim
dan tingkah laku baik terhadap manusia, makhluk ciptaan Tuhan, serta
terhadap Tuhan guna mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.
3. Materi Pendidikan Akhlak
Dunia pendidikan, sangat besar sekali pengaruhnya terhadap
perubahan perilaku, akhlak seseorang. Materi pengajaran merupakan unsur
yang perlu diperhatikan. Apabila materi pengajaran yang disampaikan oleh
pendidik menyimpang dan mengarah ke perubahan perilaku yang
menyimpang, inilah suatu keburukan dalam pendidikan. Tetapi sebaliknya,
10
Khalil Al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda (Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 1998), hlm. 4-5.
11
Ibid.,
30
apabila materinya baik dan benar setidaknya siswa akan terkesan dalam
sanubari pribadinya. Bekasan materi tersebut akan memotivasi bagaimana
harus bertindak yang baik dan benar.12
Materi pendidikan akhlak yang dipelajari (diajarkan) kepada anak
diantaranya sebagai berikut:
a.
Akhlak terpuji
Akhlak yang terpuji adalah akhlak yang dikehendaki oleh Allah
SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akhlak ini dapat
diartikan sebagai akhlak orang-orang yang beriman dan bertakwa
kepada Allah SWT.13
Akhlak terpuji (akhlakul mahmudah) merupakan salah satu
tanda kesempurnaan iman. Tanda tersebut diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan
ajaran Al-Qur‟an dan hadits.
Akhlak terpuji tersebut mencakup karakter-karakter yang
diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW dibagi dalam beberapa
bagian, yaitu:
1) Akhlak yang berhubungan kepada Allah SWT
2) Akhlak kepada diri sendiri
3) Akhlak terhadap keluarga
4) Akhlak terhadap masyarakat
12
13
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-6 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), hlm. 110.
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op. cit., hlm. 199.
31
5) Akhlak terhadap alam.14
b.
Akhlak tercela
Akhlak tercela (mazmumah) yang harus ditinggalkan. Akhlak ini
merupakan yang bertentangan dari mahmudah, madzmumah ialah
tingkah laku tercela yang dapat merusak keimanan dan menjatuhkan
martabatnya
dan
akan
menyebabkan
sipelakunya
mendapat
kemurkaan dari Allah SWT dan dijauhkan dari kasih sayang Allah
SWT.
Manurut Imam Ghazali, akhlak yang tercela ini dikenal dengan
sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat
membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja
bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada
kebaikan.15
4. Metode Pendidikan Akhlak
Perubahan perilaku, akhlak seseorang juga sangat dipengaruhi oleh
metodologi
pengajaran
dalam dunia pendidikan. Maka, masalah
metodologis pengajaran perlu diperhatikan pada setiap proses pengajaran.
Bagaimana
dapat
memudahkan
atau
mengesankan
siswa,
tanpa
penguasaan metodologis?. Maka penguasaan metodologis sebagai
pendidik yang akan berperan aktif dalam mempengaruhi siswa penting
menjadi keahliannya.16
14
Nasrul HS, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 37-
15
Ibid., hlm. 42.
A. Mustofa, Loc. Cit.,
38.
16
32
Menurut Mahjuddin dalam bukunya “Akhlak Tasawuf II” bahwa
cara menerapkan pendidikan akhlak pada anak antara lain:
a.
Selalu mengawasi agar tidak bergaul dengan anak-anak yang nakal.
Dan kalau kebetulan ia melakukan kesalahan, harus diarahkan dengan
segera agar tidak terbiasa melakukannya. Bahkan memberi hukuman
juga lebih baik, asalkan yang bersifat mendidik.
b.
Selalu mengaktifkan untuk melakukan ibadah dan acara keagamaan
yang lain, karena hal itu dapat meluhurkan budi pekertinya.
c.
Selalu menanamkan pada dirinya rasa kasih sayang kepada manusia
dan penuh perhatian terhadap makhluk-makhluk yang lain.17
Metode merupakan suatu cara yang ditempuh untuk mencapai suatu
tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Dalam pendidikan akhlak pun harus
ada metode-metode spesifik yang diterapkan. Metode pendidikan akhlak
tersebut yaitu sebagai berikut:
a.
Metode ceramah
Metode ceramah adalah cara penyajian pelajaran yang dilakukan
oleh guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung di
hadapan siswa. Metode ceramah akan berhasil apabila mendapatkan
perhatian yang serius dari siswa, disajikan secara sistematis,
menggairahkan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk
merespons serta mendorong motivasi belajar yang kuat dari siswa.18
17
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, Cet. Ke-1 (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 58.
Rusdiana dan Yeti Heryati, Pendidikan Profesi Keguruan, Cet ke-1 (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2015), hlm. 238.
18
33
b.
Pendidikan melalui syair-syair
Abuddin Nata dalam bukunya “Akhlak Tasawuf” menyatakan
bahwa pembinaan akhlak secara efektif dapat pula dilakukan dengan
memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Menurut
hasil penelitian para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda
menurut perbedaan tingkat usia. Pada usia kanak-kanak misalnya
lebih menyukai kepada hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain.
Untuk itu ajaran akhlak dapat disajikan dalam bentuk permainan. Hal
ini pernah dilakukan oleh para ulama di masa lalu. Mereka
menyajikan ajaran akhlak lewat syair-syair yang berisi sifat-sifat Allah
dan Rasul, anjuran beribadah dan berakhlak mulia dan lain-lainnya.
Syair tersebut dibaca pada saat menjelang dilangsungkannya
pengajian, ketika akan melaksanakan shalat lima waktu, dan acaraacara peringatan hari-hari besar Islam.19
c.
Pendidikan melalui teladan
Ini adalah salah satu teknik pendidikan yang efektif dan sukses.
Allah memang menyadari waktu Dia membentuk metodologi yang
hebat dan mencengangkan itu bahwa metodologi itu harus menjadi
milik manusia, harus berada di dalam hati manusia yang selalu
menjunjung dan mengubah metodologi itu menjadi kenyataan, agar
manusia mengetahui bahwa metodologi itu benar, lalu mengikutinya.
19
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-10 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 166.
34
Diperlukan teladan. Oleh karena itulah Allah mengutus
Muhammad SAW untuk menjadi teladan buat manusia: “dari dalam
diri Rasulullah itu kamu bisa menemukan teladan yang baik” (QS. AlAhzab: 21). Di dalam diri beliau, Allah menyusun suatu bentuk
sempurna metodologi Islam, suatu bentuk yang hidup dan abadi
selama sejarah masih berlangsung.20
Keteladanan
kehidupan
dan
adalah
sangat
penting
bagi
dalam
proses
kependidikan.
berlangsungnya
Sebab
untuk
merealisasikan segala apa yang diinginkan oleh pendidikan yang
tertuang dalam konsep da teori harus diterjemahkan dalam kawasan
yang salah satu medianya adalah keteladanan. Karena Allah SWT
mengutus Nabi Muhammad SAW agar menjadi teladan bagi seluruh
manusia dalam merealisasikan sistem pendidikan tersebut.21
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid dalam buku yang
berjudul Ilmu Akhlak juga berpendapat demikian, bahwa akhlak
seseorang tidak terlepas dari proses peneladanan kepada orang lain.
Berakhlak seperti orang tuanya, kawan-kawannya, tokoh idolanya
atau ingin berakhlak seperti Nabi Muhammad SAW. Menurut aliran
Behaviourisme, cara ini disebut dengan modelling, yaitu munculnya
20
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Cet. Ke-3 (Bandung: PT. Al-Ma‟arif,
1993), hlm. 325.
21
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 230.
35
perubahan perilaku karena proses dan peneladanan terhadap perilaku
orang lain yang disenangi.22
d.
Pendidikan melalui nasehat
Di dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh katakata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh
karena itu kata-kata harus diulang-ulangi. Nasehat yang berpengaruh,
membuka jalannya ke dalam jiwa secara langsung melalui perasaan.
Oleh karena itu anak memerlukan nasehat, nasehat yang lembut,
halus, tetapi berbekas, yang bisa membuat anak kembali baik dan
tetap berakhlak mulia. Manusia dewasa juga seperti anak kecil yang
selalu
membutuhkan
nasehat.
Ia
kadang-kadang belum
bisa
mengambil teladan yang baik, dan teladan itu saja kadang-kadang
belum bisa membuat orang menjadi baik.23
e.
Pendidikan melalui hukuman
Bila teladan tidak mampu, dan begitu juga nasihat, maka waktu
itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di
tempat yang benar. Tindakan tegas itu adalah hukuman. Hukuman
sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang baginya
teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam
hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Di antara mereka
ada yang perlu dikerasi sekali-sekali.
22
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2010), hlm. 258.
23
Ibid., hlm. 334-335.
36
Hukuman bukan pula tindakan yang pertama kali terbayang oleh
seorang pendidik, dan tidak pula cara yang didahulukan. Nasehatlah
yang paling didahulukan, begitu juga ajaran untuk berbuat baik, dan
tabah terus-menerus semoga jiwa orang itu berubah sehingga dapat
menerima nasehat tersebut.24
f.
Pendidikan melalui cerita
Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Apa
daya tarik itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap jiwa, belum ada
seorang
pun
yang
mengatahui
secara
pasti.
Bagaimanapun
persoalannya, cerita itu pada kenyataannya sudah merajut kaki
manusia dan akan tetap mempengaruhi kehidupan mereka.
Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita
itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh
karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu
teknik pendidikan.
Ia menggunakan berbagai jenis cerita: cerita sejarah faktual yang
menonjolkan tempat, orang, dan peristiwa tertentu; cerita faktual yang
menampilkan suatu contoh kehidupan manusia yang dimaksudkan
agar kehidupan manusia bisa seperti pelaku yang ditampilkan oleh
contoh tersebut; cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya
tetapi bisa diterapkan kapan dan di saat apa pun.25
24
25
Ibid., hlm. 341.
Ibid., hlm. 348.
37
g.
Pendidikan melalui kebiasaan
Kebiasaan, sebagaimana sudah kita singgung, menduduki
kedudukan sangat istimewa di dalam kehidupan manusia. Tetapi,
disamping ia mempunyai kedudukan amat penting di dalam kehidupan
manusia, ia dapat berubah menjadi faktor penghalang yang besar, bila
ia kehilangan “penggerak”nya dan berubah menjadi kelambanan yang
memperlemah dan mengurangi reaksi jiwa.
Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik
pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi
kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu
payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak
kesulitan.
Sekaligus Islam menciptakan agar tidak terjadi keotomatisan
yang kaku dalam bertindak, dengan cara terus-menerus mengingatkan
tujuan yang ingin dicapai dengan kebiasaan itu, dan dengan menjalin
hubungan yang hidup antara manusia dengan Allah dalam suatu
hubungan yang dapat mengalirkan berkas cahaya ke dalam hati
sehingga tidak gelap gulita.26
Abuddin Nata mengutip pendapat Imam Al-Ghazali yang
mengatakan bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat
menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan. Jika
manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang
26
Ibid., hlm. 363.
38
jahat. Untuk ini Al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu
dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang
mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, maka ia
harus dibiasakan dirinya melakukan pekerjaan yang bersifat pemurah,
hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabi‟atnya yang
mendarah daging.27
h.
Mengisi kekosongan
Kekosongan merusak jiwa, seperti halnya kekuatan terpendam
juga merusak, tanpa adanya suatu keadaan istimewa. Kerusakan utama
yang timbul oleh kekosongan adalah habisnya kekuatan potensial
untuk mengisi tersebut. Seterusnya orang itu akan terbiasa pada sikap
buruk yang dilakukannya untuk mengisi kekosongan itu.
Islam ingin sekali untuk memfungsikan manusia secara baik
semenjak ia bangun dari tidur, sehingga orang itu tidak mengeluh atas
kekosongan yang dideritanya, serta ingin sekali untuk meluruskan
kekuatan itu pada jalannya semula.28
i.
Pendidikan melalui peristiwa
Hidup ini perjuangan dan merupakan pengalaman-pengalaman
dengan berbagai peristiwa, baik yang timbul karena tindakannya
sendiri maupun karena sebab-sebab di luar kemauannya. Guru yang
baik tidak akan membiarkan peristiwa-peristiwa itu berlalu begitu saja
tanpa diambil menjadi pengalaman yang berharga. Ia mesti
27
28
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 164.
Ibid., hlm. 371.
39
menggunakannya untuk membina, mengasah, dan mendidik jiwa, dan
oleh karena itu pengaruhnya tidak boleh hanya sebentar itu saja.
Oleh karena itu menggunakan suatu peristiwa dan “besi yang
masih panas” sangat penting buat pendidikan, agar pada waktu masih
cair itu seorang guru dapat membentuk pengarahan-pengarahan dan
tuntunan-tuntunan, sehingga pengaruhnya tidak habis dan tidak hilang
dalam waktu yang singkat.29
B. Madrasah Diniyah
1.
Pengertian Madrasah Diniyah
Kata Madrasah adalah isim makan dari kata: darasa-yadrusudarsan wa durusan wa dirasatan, yang berarti: terhapus, hilang
bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, mempelajari.30 Yang
merupakan isim makan fi‟il madhi “darasa” yang artinya “tempat duduk
untuk belajar”, yaitu tempat atau wahana untuk mengenyam proses
pembelajaran secara formal dan memiliki konotasi spesifik. Pada
madrasah itulah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin
dan terkendali.31 Madrasah selanjutnya menjadi lembaga pendidikan
umum yang berciri khas keagamaan, sudah masuk sebagai bagian dari
29
Ibid., hlm. 374.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: Sekolah, Madrasah,
dan Perguruan Tinggi, Cet. Ke-4 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.183.
31
Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam Di Nusantara
(Jakarta: Kencana, 2013), hlm.259.
30
40
sistem pendidikan nasional yang pengelolaannya berada di bawah
Kementrian Agama Republik Indonesia.32
Pada Shorter Encyclopedia of Islam juga disebutkan bahwa
madrasah berarti nama dari suatu lembaga di mana ilmu-ilmu keislaman
diajarkan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penekanan madrasah
adalah sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.
Pada prinsipnya, madrasah ialah kelanjutan dari sistem pesantren.33
Sedangkan
Madrasah
Diniyah
ialah
Lembaga
Pendidikan
Pengajaran Agama Islam secara klasikal yang berfungsi terutama untuk
memenuhi hasrat orang tua (masyarakat) yang menginginkan anakanaknya bersekolah di lembaga pendidikan untuk mendapatkan
Pendidikan Agama Islam lebih baik. Dari pengertian diatas dapatlah
diketahui bahwa hakikat Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:
a. Madrasah Diniyah adalah Lembaga Pendidikan Agama Islam
termasuk dalam ruang lingkup Bidang Pembinaan Perguruan Agama
Islam.
b. Madrasah Diniyah hanya memberi pendidikan dan pengajaran Agama
Islam.
c. Tujuan Pendidikan Madrasah Diniyah adalah mengarahkan kepada
tercapainya tujuan Pendidikan Nasional.
d. Madrasah Diniyah memakai sistem klasikal.
32
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya (Jakarta:
PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 298.
33
Samsul Nizar, Loc. Cit.,
41
2.
Fungsi Madrasah Diniyah
Bertitik tolak dari hakikat madrasah diniyah, maka fungsinya dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak-anak didalam
memiliki ilmu Islam yang sempurna serta dapat mengamalkan ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari.
b. Membantu rumah tangga/ keluarga untuk memenuhi kebutuhan
anaknya yang sangat diperlukan dalam proses pembangunan
kepribadian yang utuh.
c. Membantu pencapaian tema sentral Pendidikan Agama Islam pada
sekolah-sekolah umum.34
3.
Potensi Madrasah Diniyah
Potensi-potensi yang ada pada Madrasah Diniyah adalah:
a. Madrasah Diniyah lahir, tumbuh dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat, oleh masyarakat dan murni diselenggarakan oleh swasta.
b. Kekuatan utamanya adalah ketabahannya dalam menghadapi masalah
yang timbul, meskipun dengan kondisi yang serba kekurangan,
Madrasah Diniyah terus berkembang.
c. Kebebasannya dalam memilih pola, pendekatan, bahkan sistem
pembelajaran yang dipergunakan.
34
Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2004),
hlm. 207-208.
42
d. Potensi lain yang diharapkan dapat mendukung pengembangan
Madrasah Diniyah di masa mendatang adalah semakin meningkatnya
semangat keberagaman masyarakat.35
4.
Sejarah Madrasah
Sebelum membahas lebih jauh mengenai madrasah di Indonesia,
perlu diketahui terlebih dahulu mengenai embrio atau cikal bakal
pertumbuhan madrasah di Indonesia. Madrasah bukanlah lembaga
pendidikan Islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia Islam di Timur
Tengah yang berkembang sekitar abad ke-10 atau 11 M.36
Lembaga
yang
muncul
setelah
masjid
adalah
madrasah.
Munculnya lembaga ini karena tuntutan kebutuhan zaman. Di antara
faktor yang mendorong munculnya madrasah karena semakin banyaknya
pelajar yang menuntut ilmu pengetahuan, sehingga tidak mungkin
mereka lagi untuk belajar di masjid.
Jumlah pelajar yang banyak itu dengan halaqah yang dapat
mengganggu bagi orang yang sedang belajar mengajar maupun yang
sedang
beribadah.
Selain
dari
itu,
perubahan-perubahan
ilmu
pengetahuan yang diajarkan disebabkan karena perubahan zaman.
Diantara mata pelajaran itu ada yang memerlukan untuk didiskusikan dan
35
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren Dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan Dan
Perkembangannya (Direktorat Jenderal Kelembagaan Islam, 2003), hlm. 25.
36
Harun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm. 192.
43
lain sebagainya yang dapat mengganggu orang yang beribadah di
masjid.37
Pada
perkembangannya,
pendidikan
agama
yang
semula
diselenggarakan dalam bentuk pengajian al-Qur‟an secara sederhana
kemudian diikuti dengan pengajian kitab yang diselenggarakan di
pesantren-pesantren, pada akhirnya mengalami dinamika perkembangan
yang lebih maju. Penyelenggaraan agama sudah mulai dilaksanakan pada
lembaga-lembaga
pondok
pesantren.
Tempat
penyelenggaraan
pendidikan agama menggunakan nama atau istilah sesuai dengan bahasa
masyarakat setempat. Bentuk pendidikan seperti anilah yang kemudian
berkembang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi serta motivasimotivasi tertentu yang dimotori oleh perorangan dan organisasi sosial
keagamaan, sehingga terwujud lembaga pendidikan keagamaan yang
dikenal dengan nama Madrasah.38
5.
Kurikulum Madrasah Diniyah
Kurikulum madrasah diniyah pada umumnya belum tertulis. Hanya
saja dalam menentukan buku-bukunya dilakukan secara mandiri. Ada
yang mengacu pada kurikulum yang pernah disusun oleh Departemen
Agama. Adapula yang secara sporadis menentukan sendiri dengan
mengukur kemampuan anak-anak didiknya. Jikalau diukur dengan tolok
ukur pendidikan formal, jelas kurikulum pendidikan diniyah jenis ini
masih jauh dari harapan.
37
Haidar Putra Dauly dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah:
Kajian Dari Zaman Pertumbuhan Sampai Perkembangan (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 96-97.
38
Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 258.
44
Secara umum, target kompetensi lulusan Madrasah Diniyah ini
adalah penguasaan dan pemahaman atas “syariat”-istilah untuk ibadah
mahdhah- dan baca al-Quran dengan baik dan benar, meskipun bukubuku yang dipergunakannya berbeda-beda. Misalkan, untuk fiqh-nya ada
yang menggunakan kitab khas pondok, adapula yang menggunakan buku
fiqh yang disusun Tim Depag.39
Sedangkan pencarian identitas pendidikan diniyah memang masih
dalam proses, termasuk dalam hal evaluasi. Hampir semua madrasah
diniyah yang disurvey menyatakan bahwa mereka menyelenggarakan
evaluasi kemampuan santri secara mandiri, tidak terkoordinir antara
madrasah diniyah satu dengan yang lainnya. Sementara untuk kelulusan,
ada yang diberi ijazah kelulusan, ada pula yang tidak diberikan, karena
mereka mempersepsikan pendidikan diniyah di madrasah diniyah hanya
sebagai penambah wawasan keagamaan saja.40
6.
Dasar dan Tujuan Institusional Madrasah Diniyah
a. Dasar Madrasah Diniyah
Dasar Pendidikan Diniyah adalah Islam, Pancasila dan UUD
1945.
1) Dasar agama
Kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina
iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan
39
MS Anis Masykhur, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren, Cet. Ke-1 (Depok:
Barnea Pustaka, 2010), hlm. 119.
40
Ibid,. hlm. 121.
45
melengkapinya dengan
ilmu yang bermanfaat di dunia dan di
akhirat.
2) Dasar falsafah
Pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan
tuntunan Nabi SAW serta warisan para ulama.41
3) Dasar psikologi
Kurikulum harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa,
terhadap kematangan dan semua segi perkembangannya.42
4) Dasar sosial
Kurikulum
diharapkan
turut
serta
dalam
proses
kemasyarakatan terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan
lingkungannya, pengetahuan dan kemahiran yang akan menambah
produktifitas dan keikutsertaan mereka dalam membina umat dan
bangsanya.
Semua dasar yang dikemukakan, idealnya dapat mewarnai
penyusunan kurikulum pendidikan Islam, agar semua aspek
kemanusiaan anak didik dapat terkembangkan dengan baik, menuju
manusia paripurna sebagaimana yang dicita-citakan dalam pendidikan
Islam.43
41
Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hlm. 43.
42
Ibid.,
43
Ibid., 34-35.
46
b. Tujuan Institusional Madrasah Diniyah
1) Tujuan umum adalah agar siswa:
a) Memiliki sikap sebagai seorang muslim yang berakhlak mulia.
b) Memiliki sikap sebagai warga negara Indonesia yang baik.
c) Memiliki kepribadian percaya kepada diri sendiri, sehat jasmani
dan rohani.
d) Memiliki pengalaman, pengetahuan ketrampilan beribadah dan
sikap terpuji bagi pembangunan pribadinya.
2) Tujuan khusus
a) Dalam bidang pengetahuan
b) Dalam bidang pengalaman
c) Dalam bidang nilai dan sikap44
7.
Pendidikan Islam Pada Madrasah
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak
agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan
berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh
rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi
penerus. Oleh karena itu, madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada
pendalaman ilmu-ilmu Islam.
Madrasah dalam bentuk tersebut tercatat dalam sejarah bahwa
keberadaannya telah berperan serta dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa.
44
Setelah
kemerdekaan
Rochidin Wahab, Op. Cit., hlm. 209
Republik
Indonesia,
pemerintah
47
mengambil langkah-langkah untuk mengadakan penyempurnaan dan
peningkatan
mutu
pendidikan
madrasah
sejalan
dengan
laju
perkembangan dan aspirasi masyarakat. Penyempurnaan dan peningkatan
mutu pendidikan madrasah itu meliputi: penataan kelembagaan,
peningkatan sarana dan prasarana, kurikulum, dan tenaga guru.45
Pada dunia pesantren dikenal dengan lima pilar pesantren, yaitu
pondok, masjid, pengajian kitab-kitab klasik, santri dan kiai. Maka dalam
dunia madrasah, elemen-elemen yang diutamakan yaitu adanya tempat
belajar, guru, siswa, rencana pelajaran dan pimpinan. Pelajaran-pelajaran
yang akan diajarkan telah tercantum dalam daftar pelajaran yang
diuraikan dari kurikulumnya.46
45
Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. Ke-2 (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1998), hlm. 23.
46
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 93-94.
Download