BAB II PENDIDIKAN AKHLAK DAN MADRASAH DINIYAH A. Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan Akhlak Waini Rasyidin mengemukakan dalam buku “Pedagogik Teoretis dan Praktis” bahwa pendidikan adalah rangkaian kegiatan-kegiatan manusia tertuju terhadap manusia muda sebagai sesama secara bertanggungjawab, dalam situasi pergaulan dan kebersamaan, tempat upaya memengaruhi dilakukan dengan penghargaan dan pendekatan pribadi.1 Banyak ahli filsafat pendidikan memberi arti “pendidikan” sebagai suatu proses, bukan sebagai suatu seni atau teknik. Dapat disebut di sini antara lain ialah: a. Mortiner J. Adler mengartikan: pendidikan adalah proses di mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkannya, yaitu kebiasaan yang baik. b. William McGucken, seorang tokoh pendidikan Katolik berpendapat bahwa pendidikan diartikan oleh ahli scholastik sebagai suatu 1 Waini Rasyidin, Pedagogik Teoretis dan Praktis, Cet. Ke-1 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 17. 21 22 perkembangan manusia, baik dan kelengkapan moral, dari intelektual, kemampuan-kemampuan maupun jasmaniah yang diorganisasikan, dengan atau untuk kepentingan individual atau sosial dan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang bersama dengan penciptanya sebagai tujuan akhirnya. Arti pokok yang terkandung dalam definisi tersebut bahwa proses kependidikan itu mengandung “pengarahan” ke arah tujuan tertentu. c. Herman H. Horne, pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia, dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos. Dalam pengertian ini maka proses tersebut menyangkut proses seseorang menyesuaikan dirinya dengan dunia sekitarnya.2 Jadi, dari beberapa pengertian di atas, bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan cara-cara mendidik untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kata “akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluq (khuluqun) yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah 2 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 135-136. 23 laku atau tabiat. Pada buku “Akhlak Tasawuf”, A. Mustofa menuliskan, akhlak menurut Imam Al-Ghazali adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu).3 Menurut Ibnu Maskawaih (941-1030 M): Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Keadaan ini terbagi dua, ada yang berasal dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus-menerus, maka jadilah suatu bakat dan akhlak.4 Jadi pada hakikatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang meresap dalam jiwa dan kepribadian. Dengan kata lain akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong timbulnya suatu perbuatan dengan mudah, karena kebiasaan sehingga tidak diperlukan pertimbangan dan pemikiran terlabih dahulu. Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. 3 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-6 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), hlm. 11- 4 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 13. 12. 24 2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak a. Dasar Pendidikan Akhlak Dasar atau alat pengukur dalam Islam yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik atau buruk adalah Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Segala sesuatu yang baik menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk menurut Al-Qur‟an dan AsSunnah, berarti tidak baik dan harus dijauhi. Kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur‟an. Al-Qur‟an menerangkan berbagai pendekatan yang meletakkan Al-Qur‟an sebagai sumber pengetahuan mengenai nilai dan akhlak yang paling jelas. Pendekatan Al-Qur‟an dalam menerangkan akhlak yang mulia, bukan pendekatan teoretikal, melainkan dalam bentuk konseptual dan penghayatan. Akhlak mulia dan akhlak buruk digambarkan dalam perwatakan manusia, dalam sejarah dan dalam realitas kehidupan manusia semasa Al-Qur‟an diturunkan.5 Akhlak umat Islam juga wajib berlandaskan pada As-Sunnah, artinya mencotoh perilaku Nabi Muhammad SAW., terutama dalam masalah ibadah, sedangkan dalam masalah muamalah, umat Islam menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai acuan dasar yang dapat 5 Ibid.. hlm. 20-21. 25 dikembangkan sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip akhlak Islami.6 Jika telah jelas bahwa Al-Qur‟an dan hadits Rasul adalah pedoman hidup yang menjadi asas bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber akhlakul karimah dalam ajaran Islam. Alqur‟an dan sunnah Rasul adalah ajaran yang paling mulia dari segala ajaran manapun hasil renungan dan ciptaan manusia. Sehingga telah menjadi keyakinan (akidah) Islam bahwa akal dan naluri manusia harus tunduk mengikuti petunjuk dan pengarahan Al-qur‟an dan As-Sunnah. Dari pedoman itulah diketahui kriteria mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Nabi bersabda: Aku tinggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak akan sesat selamanya jika kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Al-qur‟an dan sunnahku. (HR. Al-Bukhari)7 b. Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan ialah sesuatu yang dikehendaki, baik individu maupun kelompok. Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan yang sempurna apabila ia telah melakukan kebaikan, seperti kebijaksanaan yang bersifat penalaran dan kebijaksanaan yang bersifat kerja. Dengan kebijaksanaan nalar dapat diperoleh pandangan-pandangan yang sehat dan dengan kerja dapat memperoleh keadaan utama yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik. 6 Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 64. 7 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Cet. Ke-1 (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 5. 26 Jadi, tujuan akhlak diharapkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat bagi pelakunya sesuai ajaran Al-Qur‟an dan hadits. Ketinggian akhlak terletak pada hati yang sejahtera (qalbun salim) dan pada ketenteraman hati (rahatul qalbi).8 Pada dasarnya, tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai atau beradat-istiadat yang baik sesuai dengan ajaran Islam. Kalau diperhatikan, ibadah-ibadah inti dalam Islam memiliki tujuan pembinaan akhlak mulia. Shalat bertujuan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela; zakat di samping bertujuan menyucikan harta juga bertujuan menyucikan diri dengan memupuk kepribadian mulia dengan cara membantu sesama; puasa bertujuan mendidik diri untuk menahan diri dari berbagai syahwat; haji bertujuan- di antaranya- memunculkan tenggang rasa dan kebersamaan dengan sesama. Dengan demikian, tujuan akhlak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah membentuk kepribadian seorang muslim yang memiliki akhlak mulia, baik secara lahiriah maupun batiniah. Adapun tujuan akhlak secara khusus adalah: 1) Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. tentunya akan mendorong kita untuk mencapai akhlak mulia karena 8 Ibid., hlm. 10-11. 27 ternyata akhlak merupakan sesuatu yang paling penting dalam agama. Akhlak bahkan lebih utama daripada ibadah. Sebab, tujuan utama ibadah adalah mencapai kesempurnaan akhlak. Jika tidak mendatangkan akhlak mulia, ibadah hanya merupakan gerakan formalitas saja. Sebagai contoh, Allah SWT berfirman: ...ل لو َوى َو ْن َو ى َو ِق ى ْنا َو ْن َو ِقآى َو ْنا ُم ْن َو ِقى ل لو َوى ِق َّص ى ا َّص َو َو ِق ِق ى ا َّص... Artinya: “...dan laksanakanlah shalat. Seseungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar...” (QS. Al-„Ankabut [29]: 45) 2) Menjembatani kerenggangan antara akhlak dan ibadah Tujuan lain dari mempelajari akhlak adalah menyatukan antara akhlak dan ibadah, atau dalam ungkapan yang lebih luas antara agama dan dunia. Usaha menyatukan antara ibadah dan akhlak, dengan bimbingan hati yang diridhai Allah SWT dengan keikhlasan, akan terwujud perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat serta terhindar dari perbuatan tercela. 3) Mengimplementasikan pengetahuan tentang akhlak dalam kehidupan Tujuan lain dari mempelajari akhlak adalah mendorong kita menjadi orang-orang yang mengimplementasikan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak, Ahmad Amin mengatakan, “tujuan 28 mempelajari akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian lainnya sebagai yang buruk”. Lebih lanjut, Ahmad Amin menjelaskan etika (akhlak) tidak dapat menjadikan semua manusia baik. Kedudukannya hanya sebagai dokter. Ia menjelaskan kepada pasien tentang bahaya minuman keras dan dampak negatifnya terhadap akal. Si pasien boleh memilih informasi yang disampaikan dokter tersebut: meninggalkannya agar tubuhnya sehat atau tetap meminumnya dan dokter tidak dapat mencegahnya. Etika tidak dapat menjadikan manusia baik atau buruk. Etika tidak akan bermanfaat apa-apa jika petunjuk-petunjuknya tidak diikuti. Tujuan etika bukan hanya mengetahui teori, tetapi juga memengaruhi dan mendorong kita supaya membentuk hidup suci serta menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan.9 Salah satu definisi hikmah adalah ilmu. Ilmu adalah pelita yang menerangi hidup, dan mengangkat tirai kebodohan. Belajarlah semaksimal mungkin di dalam bidang ilmu keimanan kepada Allah SWT, ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu yang lain; dan kemudian amalkanlah ilmu anda. Ketahuilah bahwa seorang penyeru (da‟i) yang tidak beramal tidak ubahnya seperti seorang pemanah tanpa busur. Ketahuilah bahwa orang yang beramal (bekerja) dapat jatuh 9 Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 25-29. 29 pada kesalahan. Namun, ingatlah bahwa pelajaran dapat dipetik seseorang dari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Amal adalah medan ujian bagi manusia. Bagaimana mungkin seseorang salah dalam memberi jawaban bila dia tidak menerima kertas soal ujian yang harus dijawabnya?.10 Ilmu adalah pelita yang menerangi hidup, dan mengangkat tirai kebodohan. Belajarlah semaksimal mungkin di dalam bidang ilmu keimanan kepada Allah SWT, ilmu-ilmu agama dan ilmuilmu yang lain; dan kemudian amalkanlah ilmu anda. Ketahuilah bahwa seorang penyeru (da‟i) yang tidak beramal tidak ubahnya seperti seorang pemanah tanpa busur.11 Jadi tujuan pendidikan akhlak adalah untuk menciptakan manusia sebagai makhluk yang tertinggi dan sempurna, berkepribadian muslim dan tingkah laku baik terhadap manusia, makhluk ciptaan Tuhan, serta terhadap Tuhan guna mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 3. Materi Pendidikan Akhlak Dunia pendidikan, sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlak seseorang. Materi pengajaran merupakan unsur yang perlu diperhatikan. Apabila materi pengajaran yang disampaikan oleh pendidik menyimpang dan mengarah ke perubahan perilaku yang menyimpang, inilah suatu keburukan dalam pendidikan. Tetapi sebaliknya, 10 Khalil Al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1998), hlm. 4-5. 11 Ibid., 30 apabila materinya baik dan benar setidaknya siswa akan terkesan dalam sanubari pribadinya. Bekasan materi tersebut akan memotivasi bagaimana harus bertindak yang baik dan benar.12 Materi pendidikan akhlak yang dipelajari (diajarkan) kepada anak diantaranya sebagai berikut: a. Akhlak terpuji Akhlak yang terpuji adalah akhlak yang dikehendaki oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akhlak ini dapat diartikan sebagai akhlak orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.13 Akhlak terpuji (akhlakul mahmudah) merupakan salah satu tanda kesempurnaan iman. Tanda tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan ajaran Al-Qur‟an dan hadits. Akhlak terpuji tersebut mencakup karakter-karakter yang diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW dibagi dalam beberapa bagian, yaitu: 1) Akhlak yang berhubungan kepada Allah SWT 2) Akhlak kepada diri sendiri 3) Akhlak terhadap keluarga 4) Akhlak terhadap masyarakat 12 13 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-6 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), hlm. 110. Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op. cit., hlm. 199. 31 5) Akhlak terhadap alam.14 b. Akhlak tercela Akhlak tercela (mazmumah) yang harus ditinggalkan. Akhlak ini merupakan yang bertentangan dari mahmudah, madzmumah ialah tingkah laku tercela yang dapat merusak keimanan dan menjatuhkan martabatnya dan akan menyebabkan sipelakunya mendapat kemurkaan dari Allah SWT dan dijauhkan dari kasih sayang Allah SWT. Manurut Imam Ghazali, akhlak yang tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.15 4. Metode Pendidikan Akhlak Perubahan perilaku, akhlak seseorang juga sangat dipengaruhi oleh metodologi pengajaran dalam dunia pendidikan. Maka, masalah metodologis pengajaran perlu diperhatikan pada setiap proses pengajaran. Bagaimana dapat memudahkan atau mengesankan siswa, tanpa penguasaan metodologis?. Maka penguasaan metodologis sebagai pendidik yang akan berperan aktif dalam mempengaruhi siswa penting menjadi keahliannya.16 14 Nasrul HS, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 37- 15 Ibid., hlm. 42. A. Mustofa, Loc. Cit., 38. 16 32 Menurut Mahjuddin dalam bukunya “Akhlak Tasawuf II” bahwa cara menerapkan pendidikan akhlak pada anak antara lain: a. Selalu mengawasi agar tidak bergaul dengan anak-anak yang nakal. Dan kalau kebetulan ia melakukan kesalahan, harus diarahkan dengan segera agar tidak terbiasa melakukannya. Bahkan memberi hukuman juga lebih baik, asalkan yang bersifat mendidik. b. Selalu mengaktifkan untuk melakukan ibadah dan acara keagamaan yang lain, karena hal itu dapat meluhurkan budi pekertinya. c. Selalu menanamkan pada dirinya rasa kasih sayang kepada manusia dan penuh perhatian terhadap makhluk-makhluk yang lain.17 Metode merupakan suatu cara yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Dalam pendidikan akhlak pun harus ada metode-metode spesifik yang diterapkan. Metode pendidikan akhlak tersebut yaitu sebagai berikut: a. Metode ceramah Metode ceramah adalah cara penyajian pelajaran yang dilakukan oleh guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung di hadapan siswa. Metode ceramah akan berhasil apabila mendapatkan perhatian yang serius dari siswa, disajikan secara sistematis, menggairahkan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk merespons serta mendorong motivasi belajar yang kuat dari siswa.18 17 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, Cet. Ke-1 (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 58. Rusdiana dan Yeti Heryati, Pendidikan Profesi Keguruan, Cet ke-1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2015), hlm. 238. 18 33 b. Pendidikan melalui syair-syair Abuddin Nata dalam bukunya “Akhlak Tasawuf” menyatakan bahwa pembinaan akhlak secara efektif dapat pula dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Menurut hasil penelitian para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda menurut perbedaan tingkat usia. Pada usia kanak-kanak misalnya lebih menyukai kepada hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain. Untuk itu ajaran akhlak dapat disajikan dalam bentuk permainan. Hal ini pernah dilakukan oleh para ulama di masa lalu. Mereka menyajikan ajaran akhlak lewat syair-syair yang berisi sifat-sifat Allah dan Rasul, anjuran beribadah dan berakhlak mulia dan lain-lainnya. Syair tersebut dibaca pada saat menjelang dilangsungkannya pengajian, ketika akan melaksanakan shalat lima waktu, dan acaraacara peringatan hari-hari besar Islam.19 c. Pendidikan melalui teladan Ini adalah salah satu teknik pendidikan yang efektif dan sukses. Allah memang menyadari waktu Dia membentuk metodologi yang hebat dan mencengangkan itu bahwa metodologi itu harus menjadi milik manusia, harus berada di dalam hati manusia yang selalu menjunjung dan mengubah metodologi itu menjadi kenyataan, agar manusia mengetahui bahwa metodologi itu benar, lalu mengikutinya. 19 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-10 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 166. 34 Diperlukan teladan. Oleh karena itulah Allah mengutus Muhammad SAW untuk menjadi teladan buat manusia: “dari dalam diri Rasulullah itu kamu bisa menemukan teladan yang baik” (QS. AlAhzab: 21). Di dalam diri beliau, Allah menyusun suatu bentuk sempurna metodologi Islam, suatu bentuk yang hidup dan abadi selama sejarah masih berlangsung.20 Keteladanan kehidupan dan adalah sangat penting bagi dalam proses kependidikan. berlangsungnya Sebab untuk merealisasikan segala apa yang diinginkan oleh pendidikan yang tertuang dalam konsep da teori harus diterjemahkan dalam kawasan yang salah satu medianya adalah keteladanan. Karena Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW agar menjadi teladan bagi seluruh manusia dalam merealisasikan sistem pendidikan tersebut.21 Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid dalam buku yang berjudul Ilmu Akhlak juga berpendapat demikian, bahwa akhlak seseorang tidak terlepas dari proses peneladanan kepada orang lain. Berakhlak seperti orang tuanya, kawan-kawannya, tokoh idolanya atau ingin berakhlak seperti Nabi Muhammad SAW. Menurut aliran Behaviourisme, cara ini disebut dengan modelling, yaitu munculnya 20 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Cet. Ke-3 (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1993), hlm. 325. 21 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 230. 35 perubahan perilaku karena proses dan peneladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi.22 d. Pendidikan melalui nasehat Di dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh katakata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulangi. Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya ke dalam jiwa secara langsung melalui perasaan. Oleh karena itu anak memerlukan nasehat, nasehat yang lembut, halus, tetapi berbekas, yang bisa membuat anak kembali baik dan tetap berakhlak mulia. Manusia dewasa juga seperti anak kecil yang selalu membutuhkan nasehat. Ia kadang-kadang belum bisa mengambil teladan yang baik, dan teladan itu saja kadang-kadang belum bisa membuat orang menjadi baik.23 e. Pendidikan melalui hukuman Bila teladan tidak mampu, dan begitu juga nasihat, maka waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar. Tindakan tegas itu adalah hukuman. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang baginya teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Di antara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-sekali. 22 Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 258. 23 Ibid., hlm. 334-335. 36 Hukuman bukan pula tindakan yang pertama kali terbayang oleh seorang pendidik, dan tidak pula cara yang didahulukan. Nasehatlah yang paling didahulukan, begitu juga ajaran untuk berbuat baik, dan tabah terus-menerus semoga jiwa orang itu berubah sehingga dapat menerima nasehat tersebut.24 f. Pendidikan melalui cerita Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Apa daya tarik itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap jiwa, belum ada seorang pun yang mengatahui secara pasti. Bagaimanapun persoalannya, cerita itu pada kenyataannya sudah merajut kaki manusia dan akan tetap mempengaruhi kehidupan mereka. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan. Ia menggunakan berbagai jenis cerita: cerita sejarah faktual yang menonjolkan tempat, orang, dan peristiwa tertentu; cerita faktual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia yang dimaksudkan agar kehidupan manusia bisa seperti pelaku yang ditampilkan oleh contoh tersebut; cerita drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya tetapi bisa diterapkan kapan dan di saat apa pun.25 24 25 Ibid., hlm. 341. Ibid., hlm. 348. 37 g. Pendidikan melalui kebiasaan Kebiasaan, sebagaimana sudah kita singgung, menduduki kedudukan sangat istimewa di dalam kehidupan manusia. Tetapi, disamping ia mempunyai kedudukan amat penting di dalam kehidupan manusia, ia dapat berubah menjadi faktor penghalang yang besar, bila ia kehilangan “penggerak”nya dan berubah menjadi kelambanan yang memperlemah dan mengurangi reaksi jiwa. Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Sekaligus Islam menciptakan agar tidak terjadi keotomatisan yang kaku dalam bertindak, dengan cara terus-menerus mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan kebiasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang hidup antara manusia dengan Allah dalam suatu hubungan yang dapat mengalirkan berkas cahaya ke dalam hati sehingga tidak gelap gulita.26 Abuddin Nata mengutip pendapat Imam Al-Ghazali yang mengatakan bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang 26 Ibid., hlm. 363. 38 jahat. Untuk ini Al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan pekerjaan yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabi‟atnya yang mendarah daging.27 h. Mengisi kekosongan Kekosongan merusak jiwa, seperti halnya kekuatan terpendam juga merusak, tanpa adanya suatu keadaan istimewa. Kerusakan utama yang timbul oleh kekosongan adalah habisnya kekuatan potensial untuk mengisi tersebut. Seterusnya orang itu akan terbiasa pada sikap buruk yang dilakukannya untuk mengisi kekosongan itu. Islam ingin sekali untuk memfungsikan manusia secara baik semenjak ia bangun dari tidur, sehingga orang itu tidak mengeluh atas kekosongan yang dideritanya, serta ingin sekali untuk meluruskan kekuatan itu pada jalannya semula.28 i. Pendidikan melalui peristiwa Hidup ini perjuangan dan merupakan pengalaman-pengalaman dengan berbagai peristiwa, baik yang timbul karena tindakannya sendiri maupun karena sebab-sebab di luar kemauannya. Guru yang baik tidak akan membiarkan peristiwa-peristiwa itu berlalu begitu saja tanpa diambil menjadi pengalaman yang berharga. Ia mesti 27 28 Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 164. Ibid., hlm. 371. 39 menggunakannya untuk membina, mengasah, dan mendidik jiwa, dan oleh karena itu pengaruhnya tidak boleh hanya sebentar itu saja. Oleh karena itu menggunakan suatu peristiwa dan “besi yang masih panas” sangat penting buat pendidikan, agar pada waktu masih cair itu seorang guru dapat membentuk pengarahan-pengarahan dan tuntunan-tuntunan, sehingga pengaruhnya tidak habis dan tidak hilang dalam waktu yang singkat.29 B. Madrasah Diniyah 1. Pengertian Madrasah Diniyah Kata Madrasah adalah isim makan dari kata: darasa-yadrusudarsan wa durusan wa dirasatan, yang berarti: terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, mempelajari.30 Yang merupakan isim makan fi‟il madhi “darasa” yang artinya “tempat duduk untuk belajar”, yaitu tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran secara formal dan memiliki konotasi spesifik. Pada madrasah itulah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin dan terkendali.31 Madrasah selanjutnya menjadi lembaga pendidikan umum yang berciri khas keagamaan, sudah masuk sebagai bagian dari 29 Ibid., hlm. 374. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Cet. Ke-4 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.183. 31 Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam Di Nusantara (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.259. 30 40 sistem pendidikan nasional yang pengelolaannya berada di bawah Kementrian Agama Republik Indonesia.32 Pada Shorter Encyclopedia of Islam juga disebutkan bahwa madrasah berarti nama dari suatu lembaga di mana ilmu-ilmu keislaman diajarkan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penekanan madrasah adalah sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Pada prinsipnya, madrasah ialah kelanjutan dari sistem pesantren.33 Sedangkan Madrasah Diniyah ialah Lembaga Pendidikan Pengajaran Agama Islam secara klasikal yang berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua (masyarakat) yang menginginkan anakanaknya bersekolah di lembaga pendidikan untuk mendapatkan Pendidikan Agama Islam lebih baik. Dari pengertian diatas dapatlah diketahui bahwa hakikat Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut: a. Madrasah Diniyah adalah Lembaga Pendidikan Agama Islam termasuk dalam ruang lingkup Bidang Pembinaan Perguruan Agama Islam. b. Madrasah Diniyah hanya memberi pendidikan dan pengajaran Agama Islam. c. Tujuan Pendidikan Madrasah Diniyah adalah mengarahkan kepada tercapainya tujuan Pendidikan Nasional. d. Madrasah Diniyah memakai sistem klasikal. 32 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 298. 33 Samsul Nizar, Loc. Cit., 41 2. Fungsi Madrasah Diniyah Bertitik tolak dari hakikat madrasah diniyah, maka fungsinya dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak-anak didalam memiliki ilmu Islam yang sempurna serta dapat mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. b. Membantu rumah tangga/ keluarga untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang sangat diperlukan dalam proses pembangunan kepribadian yang utuh. c. Membantu pencapaian tema sentral Pendidikan Agama Islam pada sekolah-sekolah umum.34 3. Potensi Madrasah Diniyah Potensi-potensi yang ada pada Madrasah Diniyah adalah: a. Madrasah Diniyah lahir, tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, oleh masyarakat dan murni diselenggarakan oleh swasta. b. Kekuatan utamanya adalah ketabahannya dalam menghadapi masalah yang timbul, meskipun dengan kondisi yang serba kekurangan, Madrasah Diniyah terus berkembang. c. Kebebasannya dalam memilih pola, pendekatan, bahkan sistem pembelajaran yang dipergunakan. 34 Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 207-208. 42 d. Potensi lain yang diharapkan dapat mendukung pengembangan Madrasah Diniyah di masa mendatang adalah semakin meningkatnya semangat keberagaman masyarakat.35 4. Sejarah Madrasah Sebelum membahas lebih jauh mengenai madrasah di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai embrio atau cikal bakal pertumbuhan madrasah di Indonesia. Madrasah bukanlah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia Islam di Timur Tengah yang berkembang sekitar abad ke-10 atau 11 M.36 Lembaga yang muncul setelah masjid adalah madrasah. Munculnya lembaga ini karena tuntutan kebutuhan zaman. Di antara faktor yang mendorong munculnya madrasah karena semakin banyaknya pelajar yang menuntut ilmu pengetahuan, sehingga tidak mungkin mereka lagi untuk belajar di masjid. Jumlah pelajar yang banyak itu dengan halaqah yang dapat mengganggu bagi orang yang sedang belajar mengajar maupun yang sedang beribadah. Selain dari itu, perubahan-perubahan ilmu pengetahuan yang diajarkan disebabkan karena perubahan zaman. Diantara mata pelajaran itu ada yang memerlukan untuk didiskusikan dan 35 Departemen Agama RI, Pondok Pesantren Dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan Dan Perkembangannya (Direktorat Jenderal Kelembagaan Islam, 2003), hlm. 25. 36 Harun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 192. 43 lain sebagainya yang dapat mengganggu orang yang beribadah di masjid.37 Pada perkembangannya, pendidikan agama yang semula diselenggarakan dalam bentuk pengajian al-Qur‟an secara sederhana kemudian diikuti dengan pengajian kitab yang diselenggarakan di pesantren-pesantren, pada akhirnya mengalami dinamika perkembangan yang lebih maju. Penyelenggaraan agama sudah mulai dilaksanakan pada lembaga-lembaga pondok pesantren. Tempat penyelenggaraan pendidikan agama menggunakan nama atau istilah sesuai dengan bahasa masyarakat setempat. Bentuk pendidikan seperti anilah yang kemudian berkembang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi serta motivasimotivasi tertentu yang dimotori oleh perorangan dan organisasi sosial keagamaan, sehingga terwujud lembaga pendidikan keagamaan yang dikenal dengan nama Madrasah.38 5. Kurikulum Madrasah Diniyah Kurikulum madrasah diniyah pada umumnya belum tertulis. Hanya saja dalam menentukan buku-bukunya dilakukan secara mandiri. Ada yang mengacu pada kurikulum yang pernah disusun oleh Departemen Agama. Adapula yang secara sporadis menentukan sendiri dengan mengukur kemampuan anak-anak didiknya. Jikalau diukur dengan tolok ukur pendidikan formal, jelas kurikulum pendidikan diniyah jenis ini masih jauh dari harapan. 37 Haidar Putra Dauly dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah: Kajian Dari Zaman Pertumbuhan Sampai Perkembangan (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 96-97. 38 Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 258. 44 Secara umum, target kompetensi lulusan Madrasah Diniyah ini adalah penguasaan dan pemahaman atas “syariat”-istilah untuk ibadah mahdhah- dan baca al-Quran dengan baik dan benar, meskipun bukubuku yang dipergunakannya berbeda-beda. Misalkan, untuk fiqh-nya ada yang menggunakan kitab khas pondok, adapula yang menggunakan buku fiqh yang disusun Tim Depag.39 Sedangkan pencarian identitas pendidikan diniyah memang masih dalam proses, termasuk dalam hal evaluasi. Hampir semua madrasah diniyah yang disurvey menyatakan bahwa mereka menyelenggarakan evaluasi kemampuan santri secara mandiri, tidak terkoordinir antara madrasah diniyah satu dengan yang lainnya. Sementara untuk kelulusan, ada yang diberi ijazah kelulusan, ada pula yang tidak diberikan, karena mereka mempersepsikan pendidikan diniyah di madrasah diniyah hanya sebagai penambah wawasan keagamaan saja.40 6. Dasar dan Tujuan Institusional Madrasah Diniyah a. Dasar Madrasah Diniyah Dasar Pendidikan Diniyah adalah Islam, Pancasila dan UUD 1945. 1) Dasar agama Kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan 39 MS Anis Masykhur, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren, Cet. Ke-1 (Depok: Barnea Pustaka, 2010), hlm. 119. 40 Ibid,. hlm. 121. 45 melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat. 2) Dasar falsafah Pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntunan Nabi SAW serta warisan para ulama.41 3) Dasar psikologi Kurikulum harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa, terhadap kematangan dan semua segi perkembangannya.42 4) Dasar sosial Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan lingkungannya, pengetahuan dan kemahiran yang akan menambah produktifitas dan keikutsertaan mereka dalam membina umat dan bangsanya. Semua dasar yang dikemukakan, idealnya dapat mewarnai penyusunan kurikulum pendidikan Islam, agar semua aspek kemanusiaan anak didik dapat terkembangkan dengan baik, menuju manusia paripurna sebagaimana yang dicita-citakan dalam pendidikan Islam.43 41 Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 43. 42 Ibid., 43 Ibid., 34-35. 46 b. Tujuan Institusional Madrasah Diniyah 1) Tujuan umum adalah agar siswa: a) Memiliki sikap sebagai seorang muslim yang berakhlak mulia. b) Memiliki sikap sebagai warga negara Indonesia yang baik. c) Memiliki kepribadian percaya kepada diri sendiri, sehat jasmani dan rohani. d) Memiliki pengalaman, pengetahuan ketrampilan beribadah dan sikap terpuji bagi pembangunan pribadinya. 2) Tujuan khusus a) Dalam bidang pengetahuan b) Dalam bidang pengalaman c) Dalam bidang nilai dan sikap44 7. Pendidikan Islam Pada Madrasah Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu, madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam. Madrasah dalam bentuk tersebut tercatat dalam sejarah bahwa keberadaannya telah berperan serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 44 Setelah kemerdekaan Rochidin Wahab, Op. Cit., hlm. 209 Republik Indonesia, pemerintah 47 mengambil langkah-langkah untuk mengadakan penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah sejalan dengan laju perkembangan dan aspirasi masyarakat. Penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah itu meliputi: penataan kelembagaan, peningkatan sarana dan prasarana, kurikulum, dan tenaga guru.45 Pada dunia pesantren dikenal dengan lima pilar pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajian kitab-kitab klasik, santri dan kiai. Maka dalam dunia madrasah, elemen-elemen yang diutamakan yaitu adanya tempat belajar, guru, siswa, rencana pelajaran dan pimpinan. Pelajaran-pelajaran yang akan diajarkan telah tercantum dalam daftar pelajaran yang diuraikan dari kurikulumnya.46 45 Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. Ke-2 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm. 23. 46 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 93-94.