I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi adalah komoditas pangan terpenting di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Kecukupan pangan harus terjamin dalam menjaga kestabilan ekonomi dan politik bangsa, bahkan di saat menghadapi perubahan iklim global yang berdampak pada sistem usahatani padi. Strategi yang biasanya ditempuh dalam rangka peningkatan hasil adalah perluasan lahan. Berdasarkan data BPS (2013) rata-rata peningkatan laju pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya adalah 1,49 %, padahal setiap tahunnya terjadi penyusutan lahan pertanian seluas 27 ribu hektare. Menurut Departemen Pertanian (2010) peningkatan hasil padi melalui perbaikan teknis budidaya telah banyak dilakukan untuk mengatasi kekurangan ketersediaan beras, tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Salah satu cara yang masih memungkinkan dilakukan untuk meningkatkan hasil adalah peningkatan potensi hasil kultivar-kultivar unggul. Padi (Oryza sativa L.) termasuk ke dalam suku Poaceae dan marga Oryza (Anonim, 2012). Sebagai komoditas utama pertanian dunia, perbaikan genetik dalam sistem budidaya selalu dituntut untuk menghasilkan padi dengan karakteristik agronomi yang lebih baik. Persilangan antara kultivar-kultivar unggul yang telah dirilis dan sumber material genetik baru terus dilakukan untuk menjaga agar perbaikan hasil selalu terjaga. ‘Ciherang’ merupakan kelompok padi sawah tipe indica dan merupakan kultivar unggul hasil beberapa kali persilangan (Anonim, 2010). Padi jenis ini memiliki karakteristik bentuk tanaman tegak, tingginya mencapai 107 hingga 115 cm, menghasilkan anakan produktif 14 hingga 17 batang, tetapi jumlah bunga setiap malai teramati mengalami penurunan dari generasi ke generasi karena segregasi (Anonim, 2010). Padi Tipe Baru (PTB) adalah ideotipe pemuliaan padi yang menjadi lanjutan dari generasi kultivar ‘Ciherang’ yang dicirikan dengan banyak anakan sedikit (8-10 batang) tetapi produktif semua, bulir per malai mencapai 200-250 butir, dan produksi mencapai 10-30% lebih tinggi daripada kultivar unggul baru, seperti ‘IR 64’, ‘Way Apu Buru’, ‘Ciherang’, dan ‘Memberamo’ (Abdullah et al., 2008). PTB diharapkan dapat 1 menyumbang sifat bulir per malai yang tinggi untuk perbaikan sifat hasil pada ‘Ciherang’. Usaha mengintroduksi sifat baru ke dalam genom kultivar yang sudah lama muncul dalam pemuliaan tanaman bisa digunakan metode silang balik (backcross). Metode moderen silang balik mendapat banyak bantuan dari bidang bioteknologi, dengan digunakannya penanda genetik untuk mengefektifkan proses seleksi tanaman pada tiap kali silang balik. Pemilihan genotipe secara teoritis akan menjadi lebih tepat karena penanda genetik yang sesuai akan membantu pemulia mengidentifikasi genotipe yang diinginkan pada suatu segmen kromosom tertentu. Salah satu penanda atau marka yang banyak dipakai dalam pemuliaan berbantuan marka (marker assisted selection, MAS) adalah mikrosatelit atau Simple Sequence Repeats (SSR). SSR adalah salah satu marka molekuler berbasis DNA yang memiliki sifat relatif praktis, akurat, memerlukan sedikit DNA untuk PCR dalam mendeteksi polimorfisme, tingkat polimorfismenya tinggi, dan memungkinkan multiplexing (pengamatan beberapa marka sekaligus) (Yadav et al., 2007). SSR merupakan penanda urutan berulang pada genom dengan sebaran merata di seluruh bagian genom padi (Temnykh et al., 2000). McCouch (2002) menyatakan bahwa SSR merupakan marka kodominan yang mampu membedakan alel homozigot dengan heterozigot, multialelik, dan akurat untuk digunakan pada indica, japonica, dan pada grup genom AA lainnya dari genus Oryza. Tersedianya peta pautan genetik yang sangat padat terutama berisi marka SSR dapat mempermudah pencarian marka yang terpaut dengan suatu karakter. Penemuan metode sederhana ekstraksi DNA tanaman padi seperti dilaporkan oleh Collard (2007) memungkinkan dibuatnya ekstraksi DNA secara massal dengan biaya relatif murah dan peralatan sederhana. Hal ini memudahkan evaluasi terhadap populasi materi pemuliaan tanaman. Populasi Chromosome-segment subtitution lines (CSSL) telah dikembangkan pada beberapa spesies hewan dan tanaman. Doi et al. (1997) melaporkan telah mengembangkan pemetaan populasi pada padi sebagai populasi CSSL. Ebitani et al. (2005) menyatakan bahwa populasi CSSL dapat digunakan dalam analisis genetik untuk mengasosiasikan Quantitative Trait Loci (QTL) dengan daerah kromosom tertentu dan dengan cepat mengembangkan daerah sasaran yang mengandung QTL. Ketika sebuah asosiasi dengan suatu fenotipe terdeteksi pada suatu daerah kromosom, seringkali sulit 2 untuk memvalidasi QTL, terutama QTL dengan efek genetik yang sangat kecil. Alel pada marka yang berasal dari donor genetik akan dapat dideteksi dengan mudah dalam suatu seri populasi CSSL apabila telah tersusun suatu basis data yang berisi alel-alel yang berasal dari materi dasar dan materi genetik donor. Dalam kombinasi persilangan untuk memfasilitasi analisis genetik dan sifat kuantitatif padi, pendeteksian polimorfisme akan bermanfaat dalam menyediakan informasi untuk basis data tersebut. Kultivar ‘Ciherang’ berpotensi sebagai tetua bagi pembentukan populasi CSSL karena popularitas dan keunggulannya. Pembentukan populasi CSSL berbasis kultivar ‘Ciherang’ dengan donor PTB diharapkan mampu menambah keunggulan kultivar ‘Ciherang’; karena masuknya sifat-sifat unggul PTB. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1. mendeteksi polimorfisme pada marka mikrosatelit terhadap padi ‘Ciherang’ dan galur-galur donor Padi Tipe Baru; dan 2. menyeleksi individu heterozigot pada populasi persilangan F1 berdasarkan penanda mikrosatelit sebagai langkah awal pembentukan populasi CSSL. C. Kegunaan Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah mendapatkan individuindividu heterozigot yang merupakan keturunan persilangan antara kultivar ‘Ciherang’ dengan Padi Tipe Baru. Galur-galur ini akan digunakan dalam pembentukan populasi CSSL yang dapat digunakan untuk menentukan segmen kromosom yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat yang mendukung peningkatan potensi hasil pada padi. 3