BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian akibat penyakit tidak menular yang sering menjadi sorotan adalah penyakit kardiovaskuler. Diperkirakan sekitar 17,3 juta orang meninggal pada tahun 2008 akibat penyakit ini. Tahun 2013 di Indonesia, estimasi penyakit kardiovaskuler sudah terjadi pada umur lebih dari 15 tahun. Pada tahun 2030, kematian akibat penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke akan mengalami peningkatan mencapai 23,3 juta kematian (Balitbang Kesehatan dan Data Penduduk Sasaran, 2013). Platelet adalah sel darah yang berperan dalam proses hemostasis tubuh. Umumnya platelet berada dalam sirkulasi darah. Akan tetapi, ketika terjadi luka atau perdarahan pada pembuluh darah platelet terpicu untuk menempel pada bagian sel endotelial yang luka. Platelet menutup luka dengan membentuk sumbat hemostasis yang terbentuk dari agregat-agregat platelet dan bekuan darah. Sistem hemostasis akan memicu aktivasi platelet melalui tiga tahapan yaitu adhesi, sekresi dan agregasi platelet. Platelet yang menempel di sel endotelial akan teraktivasi dan melepaskan isi granul serta menarik platelet yang lain sehingga meningkatkan agregasi platelet. Selain itu, platelet yang teraktivasi akan mengeluarkan faktor bekuan darah sehingga menyebabkan pembekuan darah disekitar area luka atau disebut trombus. Trombus yang abnormal dapat menyumbat saluran pembuluh darah yang mengakibatkan iskemia yang dapat 1 memicu penyakit jantung koroner dan stroke (Martini, 1998; Mutschler, 1991, Corwin, 2000). Obat-obatan antiplatelet dipilih menjadi terapi penyakit kardiovaskuler. Terapi dengan antiplatelet bertujuan mencegah terbentuknya trombus dengan menghambat jalur aktivasi platelet. Antiplatelet dapat mencegah interaksi sel yang mengakibatkan inflamasi, trombosis dan aterogenesis. Obat antiplatelet dibagi menjadi empat kelas utama antara lain dengan menghambat enzim siklooksigenase (Cyclooxygenase inhibitors) contohnya aspirin, antagonist adenosine diphosphate (ADP) contohnya Clopidogrel dan ticlopidine suatu derivat thienopyridine, menghambat fosfodiesterase contohnya cilostazol dan dipyridamole, dan menghambat Glycoprotein IIb/IIIa reseptor seperti abciximab (Nurimaba, 2008). Obat antiplatelet yang sering digunakan adalah aspirin golongan Cyclooxygenase inhibitors dalam dosis rendah dan thienopyridine derivatives seperti klopidogrel dan ticlopidine (Gaglia et al., 2010). Terapi jangka panjang dari obat-obat antiplatelet sintesis dapat mengurangi terjadinya penyakit kardiovaskuler tetapi juga memiliki efek samping yang merugikan. Penggunaan kombinasi antiplatelet aspirin ditambah klopidogrel memiliki kekurangan, yaitu menunjukkan resiko terjadinya pendarahan (Shehab et al., 2010). Sering kali terjadi efek samping dari penggunaan secara terus-menerus seperti, sakit kepala, kram perut, muntah dan gastric ulceration (Angiolillo et al., 2007; Cannon et al., 2007). Efek samping dari penggunaan ticlopidine dapat menyebabkan neutropenia sedangkan pada phospodiesterase inhibitor dapat menimbulkan keluhan nyeri kepala (Nurimaba, 2008). Selain itu terdapat laporan 2 terjadinya resistensi penggunaan aspirin sebagai antiplatelet pada sejumlah individu (Hankey dan Eikelboom, 2006). Pemakaian obat-obatan antiplatelet ternyata memiliki efek samping yang merugikan sehingga perlu dilakukan pencarian terapi alternatif dari bahan alam yang beraktivitas menghambat agregasi platelet. Indonesia memiliki banyak flora dan fauna. Sumber daya alam yang beragam dan melimpah ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahan obat dari alam. Kebutuhan masyarakat untuk menggunakan obat herbal juga semakin banyak. Salah satu tanaman menahun yang banyak tumbuh di Indonesia dan masih perlu dikembangkan ialah tanaman sukun. Tanaman sukun atau Artocarpus altilis (Park.) Fosberg, termasuk dalam genus Artocarpus. Artocarpus altilis (sukun) memiliki sinonim yaitu A. communis J. R. & G. Forster, A. camansi Blanco.). Masyarakat Indonesia secara tradisional menggunakan daun sukun untuk mengobati sakit gigi, gatal-gatal, inflamasi, penyakit jantung dan ginjal, Selain itu masyarakat Vietnam menggunakan akar dan batang tanaman sukun untuk mengobati penyakit hati dan hipertensi (Permanasari, 2010). Tanaman sukun juga telah diteliti memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Azzahra, 2015). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa daun sukun mengandung artokarpin, suatu senyawa flavonoid terprenilasi yang memiliki manfaat farmakologi yaitu sebagai antiinflamasi dan antikanker (Lee et al., 2013). Senyawa flavonoid terprenilasi dalam tanaman famili Moraceae memiliki aktivitas antiplatelet (Lin, 1996). Senyawa flavonoid terprenilasi dari tanaman Artocarpus communis J.R. Forst memiliki aktivitas antiplatelet terhadap induksi 3 platelet activating factor, arachidonic acid, dan kolagen. Senyawa-senyawa tersebut telah berhasil diisolasi antara lain cyclomorusin dan artomunoxanthone, cyclomulberrin, dihydroisocycloartomunin, cyclocommunol, dan cyclocommunin (Lin, 1993). Oleh sebab itu, ekstrak etanolik daun sukun berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen antiplatelet. Melalui penelitian ini akan dikaji lebih lanjut aktivitas ekstrak etanolik daun sukun sebagai anti agregasi platelet dari PRP darah manusia sehat akibat induksi ristocetin dengan metode agregometri. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, dirumuskan permasalahan yaitu: 1. Apakah ekstrak etanolik daun sukun mampu menghambat agregasi platelet dari PRP darah manusia sehat yang diinduksi ristocetin? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini, yaitu: 1. Mengetahui aktivitas ekstrak etanolik daun sukun dalam menghambat agregasi platelet dari PRP darah manusia sehat akibat induksi ristocetin dengan metode agregometri. D. Pentingnya Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bukti ilmiah mengenai potensi ekstrak etanolik daun sukun sebagai agen anti agregasi platelet alami yang dapat digunakan dalam pengembangan obat antiplatelet. Sehingga hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah 4 satu alternatif terapi penyakit kardiovaskuler. Selain itu, diharapkan hasil penelitian dapat dipublikasikan dalam bentuk artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah yang bermanfaat untuk pengembangan penelitian selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Platelet Komponen darah yang berfungsi untuk menghentikan pendarahan adalah platelet. Reaksi fragmentasi perifer sitoplasma megakariosit pada sumsum tulang belakang akan menghasilkan platelet melalui rangsangan trombopoetin. Satu sel megakariosit dapat menghasilkan hingga 4000 platelet (Sluand dan Klein., 2002 dan Firkin., 1984). Platelet yang berada di sirkulasi pembuluh darah berbentuk discoid dengan diameter 2-4 µm dan volume rata-rata 7-11 fl. Platelet dapat bertahan hingga 10 hari dalam sirkulasi darah. Sekitar 70% platelet berada dalam sirkulasi darah sedangkan 30% berada dalam limpa, normalnya jumlah platelet dalam sirkulasi antara 150.000-450.000 sel/ml (Sharathkumar dan Shapiro, 2008). Struktur platelet terbagi menjadi empat zona, yaitu zona periferal, zona sol-gel, zona organela, dan zona membran. Pada zona periferal terdapat open canalicular system yang bertugas sebagai penghubung antara platelet dan plasma, juga sebagai kanal saat pelepasan produk-produk dari dalam platelet ke plasma. Zona ini juga terdiri dari membran phospholipid. Fosfolipid adalah komponen penting saat terjadi koagulasi. Membran ini menyediakan substrat untuk reaksi ezimatik menghasilkan tromboksan A2 (TXA2). TXA2 adalah komponen penting saat aktivasi platelet dan merupakan agonis yang kuat. Bagian zona perifer juga terdapat reseptor untuk meneruskan sinyal aktivasi platelet. Selengkapnya reseptor 5 dan ligannya dapat dilihat pada tabel 1. Zona sol-gel terdiri dari sitoskeleton yang berperan menjaga bentuk platelet, merubahan bentuk platelet menjadi pseudopodia, kontraksi internal dan pelepasan granul. Zona organela berisi granul dan komponen seluler. Granul-granul dari zona organela terdiri dari dense granul dan alfa granul. Dense granul terdiri dari ATP dan ADP, serotoni dan kalsium. Alfa granul berisi fibrinogen, fibronektin, von Willebrand factor (vWf), trombospondin dan vitronektin. Zona terakhir yaitu zona membran termasuk dalam dense tubular. Zona ini berisi kalsium dan sistem enzim untuk sintesis prostaglandin (Sharathkumar dan Shapiro, 2008). Tabel I. Reseptor membran platelet dan ligannya Reseptor Glikoprotein (Gp) Struktur Gp IIb/IIIa Integrin αIIbβ3 Gp Ia/IIa Integrin α2β1 Leucine-rich repeats receptor Reseptor Non-integrin, Immunoglobulin superfmily receptor Gp Ib/IX/V Gp VI Fungsi / Ligan Reseptor untuk fibrinogen, vWf, fibronektin, vitronektin, dan trombospondin Reseptor untuk kolagen Reseptor untuk insoluble vWf Reseptor untuk kolagen 2. Agregasi platelet Platelet adalah sel darah yang berukuran paling kecil dan memainkan peran penting dalam mengatur hemostasis tubuh (George, 2000). Platelet akan melekat pada bagian permukaan pembuluh darah dan bagian permukaan luar dari tubuh yang luka. Saat kondisi fisiologis, platelet berada di sirkulasi darah. Aktivasi platelet dapat dipicu oleh adanya gangguan di sel endotelial vaskuler dan 6 perubahan dari tekanan aliran darah. Aktivasi platelet juga dapat terjadi sebagai respon adanya luka pada pembuluh darah. Perubahan platelet dari tidak aktif hingga platelet teragregasi dibagi menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan itu antara lain adhesi platelet, agregasi dan sekresi (Yip et al., 2005). Sel endotelial pembuluh darah yang rusak akan mengeluarkan komponennya seperti kolagen, vWf, fibronektin dan laminin. Adhesi platelet dimulai ketika vWf yang dikeluarkan ke plasma berikatan dengan Gp Ib/IX/V (Firkin, 1984). Interaksi ini memicu aktivasi platelet dan terjadi adhesi platelet di daerah sel endotelial yang luka. Di sisi lain, interaksi kolagen dengan reseptornya Gp IV menginduksi perubahan bentuk dari platelet, sehingga reseptor Gp IIb/IIIa dan Gp Ia/IIa teraktivasi. vWf dan kolagen membentuk ikatan yang kuat pada kedua reseptor tersebut. Ikatan ini akan menginisiasi antar platelet saling menempel dan memperantarai ikatan antara fibrinogen dengan Gp IIb/IIIa. Pengikatan fibrinogen memicu terjadinya perubahan konformasional pada platelet. Platelet berubah bentuk dari bulat pipih menjadi bulat utuh dengan kaki semu yang kemudian menyebar pada jaringan-jaringan luka. Proses ini disebut agregasi platelet. Platelet yang teraktivasi akan melepaskan isi alfa granul dan dense granul, yang selanjutnya berinteraksi dengan reseptor transmembran di platelet. Interaksi ini mengaktivasi jalur metabolisme enzim phophatidylinositol 3-kinase dan phopholipase C. Aktivasi jalur ini menyebabkan fosforilasi protein dan peningkatan kadar ion kalsium intrasel (Sharathkumar dan Shapiro, 2008). Platelet dapat teraktivasi oleh adanya agonis (substrat yang dapat menyebabkan agregasi platelet) di sirkulasi darah seperti TXA2, ADP, dan 7 trombin. Sintesis TXA2 oleh platelet yang teraktivasi dihasilkan dari arachidonic acid yang dimetabolisme enzim COX. TXA2 yang dihasilkan akan mengativasi platelet yang lain. TXA2 akan berikatan pada reseptor yang ter-coupled G-protein (Gq dan G12 atau G13) dan mengaktivasi phospholipase C (PLC). Enzim ini mendegradasi PIP2 dan melepaskan second messengers IP3 dan DAG. DAG akan mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang menyebabkan protein terfosforilasi. Sedangkan pelepasan IP3 meningkatkan kadar ion kalsium intrasel yang dilepaskan dari retikulum endoplasma. ADP yang dilepaskan oleh platelet akan berinteraksi pada reseptor P2Y1 dan P2Y12. Akibatnya kadar ion kalsium intrasel meningkat dan aktivasi platelet semakin kuat dan lama. Trombin yang terbentuk memperantarai terbentuknya fibrin. Trombin akan berikatan pada PAR. Hasil interaksi agonis pada masing-masing reseptor akan menurunkan kadar cAMP dan peningkatan kadar ion kalsium intrasel. Manifestasi dari peningkatan ion kalsium intrasel memicu perubahan tempat ikatan ligan pada reseptor Gp IIb/IIIa menjadi aktif. Sehingga fibrinogen dan vWf dapat berikatan pada reseptor Gp IIb/IIIa. Hal ini akan memicu perlekatan antar platelet yang berdekatan (Sharathkumar dan Shapiro, 2008). 3. Induktor agregasi platelet Dalam keadaan tidak aktif, platelet tidak dapat saling berlekatan karena glikoprotein pada permukaan platelet mengandung molekul asam sialat yang bermuatan negatif sehingga platelet saling tolak menolak. Agregasi platelet dapat dirangsang oleh berbagai induktor (Sotianingsih, 2001). 8 Respon platelet terhadap induktor tergantung kekuatan induktor dalam menginduksi. Induktor akan bereaksi dengan reseptor yang terdapat pada membran platelet. Setiap reseptor mengontrol sejumlah transmitter yang dilepaskan ke sitoplasma. Kekuatan induktor mempengaruhi kadar transmitter yang akan dikeluarkan sehingga respon yang diberikan oleh platelet tergantung dari kadar transmitter dalam sitoplasma. ristocetin Gambar 1. Interaksi vWf pada Gp Ib/IX/V sebagai jalur aktivasi platelet yang diinduksi oleh ristocetin (diadaptasi dari Bryckaert et al., 2015). Jalur signaling dari PI3-kinase/Akt (melalui NOS/sGC/PKG) masih kontroversi. Induktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah ristocetin. Jalur aktivasi agregasi platelet oleh ristocetin yaitu meningkatkan afinitas reseptor Gp Ib/IX/V terhadap vWF dan akibat dari interaksi ini serta efek muatan elektrostatik mengakibatkan platelet teragregasi (Moake et al., 1977; Coller dan Gralnick, 1977; Jenkins et al., 1979). Senyawa von Willebrand Factor adalah agonis bagi reseptor platelet GPIb-IX-V dan GPIIb/IIIa. Induksi oleh ristocetin spesifik hanya meningkatkan afinitas ikatan vWf pada reseptor Gp Ib/IX/V (Kroll et al., 1991). 9 Aktivasi platelet akibat interaksi vWf pada reseptor Gp Ib/IX/V adalah hasil dari aktivasi beberapa molekul intraseluler seperti Src family, Rac1, PI3-kinase/Akt, cGMP-dependent protein kinase dan MAP kinase. Aktivasi molekul intraseluler akan memicu sekresi ADP dan pembentukan TXA2. Aktivasi PI3-kinase diperlukan untuk mengaktivasi Gp IIb/IIIa dan pelepasan Ca2+ yang mengakibatkan agregasi platelet (Bryckaert et al., 2015). Penelitian yang dilakukan Kroll (1991) menemukan bahwa akibat dari induksi ristocetin dapat menstimulasi pembentukan phosphatidic acid (PA), penurunan PIP2, aktivasi PKC, dan peningkatan kadar ion kalsium serta terbentuknya TXA2. Induksi oleh ristocetin menyebabkan platelet-platelet saling teraglutinasi daripada teragregasi. Jarak yang dekat antara platelet yang teraglutinasi memicu sekresi granul dan pembentukan TXA2. Aktivasi dari molekul intraselulerlah yang menyebabkan platelet teraktivasi lebih lanjut (Zhou dan Schmaier, 2005). Konsentrasi ristocetin lebih dari 1 mg/ml sudah dapat memicu aglutinasi yang diperantarai oleh ikatan vWf pada Gp Ib/IX/V (Scott et al., 1991). 4. Platelet Rich Plasma (PRP) Uji aktivitas yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Platelet Rich Plasma (PRP). PRP adalah produk autolog yang mengandung sejumlah platelet di dalam volume plasma. Fungsi PRP sebagai perekat jaringan fibrin pada homeostatis dan memiliki sifat menutup luka. (Everts et al., 2006). PRP merupakan agen immediate surgical homeostatis yang biokampatibel, aman, dan efektif. Konsentrasi leukosit yang tinggi pada PRP memiliki efek tambahan 10 antimikrobial. PRP sebagai produk autolog darah tidak membawa resiko transmisi infeksi penyakit (Rick et al., 2007). 5. Antiplatelet Menurut Dewoto (2008) antiplatelet adalah obat yang menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Menurut Nurimaba (2008) terdapat empat jalur utama antiplatelet menghambat aktivasi platelet (gambar 2). Berikut jalur penghambatan dari aspirin dan klopidogrel terapi kombinasi pilihan yang sering digunakan sebagai antiplatelet, juga digunakan sebagai pembanding dalam penelitian ini. Gambar 2. Jalur penghambatan agregasi platelet oleh obat antiplatelet (diadaptasi dari Nurimaba (2009)) Aspirin digunakan sebagai obat yang mencegah terjadinya stroke berulang. Aspirin menghambat enzim siklooksigenase dengan mengasetilasi ensim ini secara ireversibel sehingga menghambat tromboksan A2 (TXA2), yang berperan 11 dalam vasokonstriksi dan agregasi platelet. Platelet tidak dapat melakukan regenerasi terhadap siklooksigenase, hal ini menyebabkan efek dari aspirin hanya sepanjang jangka hidup dari platelet (umumnya 10 hari). Aspirin digunakan untuk menghambat agregasi platelet (Katzung, 2003; Shulga, 2011). Penggunaan aspirin dengan dosis 50-235 mg telah disetujui oleh FDA sebagai pencegahan serangan stroke iskemik berulang (Fagan dan Hess, 2008). Dosis efektif aspirin sebagai antiplatelet adalah 80-320 mg perhari dan dengan dosis kecil aspirin hanya menekan pembentukkan TXA2 (Dewoto, 2008). Produk dari COX-1 yaitu TXA2 berfungsi menginduksi secara kuat agregasi platelet. Prostasiklin atau PGI2 yang dihasilkan sel endotel menstimulasi reseptor yang berbeda pada platelet dan akhirnya meningkatkan cAMP. Peningkatan cAMP akan menurunkan kalsium intraseluler yang berujung pada penghambatan agregasi platelet (Neal, 2005). Peningkatan Ca2+ pada sitoplasma akan memicu aktivasi dan agregasi platelet (Elvers et al., 2012). Ketika perubahan konformasi reseptor GP IIb/IIIa inaktif pada membran plasma, reseptor menjadi memiliki afinitas yang tinggi terhadap fibrinogen. Ikatan reseptor dan Gp IIb/IIIa akan membentuk ikatan silang antar platelet sehingga terjadi agregasi. TXA2, trombin, dan 5HT mengaktivasi fosfolipase C. Inositol-1,4,5-trifosfat (IP3) yang dihasilkan akan menstimulasi lepasnya kalsium dari retikulum endoplasma. ADP menghambat adenilat siklase dan mengakibatkan penurunan cAMP sehingga meningkatkan ion kalsium. Semua obat antiplatelet bekerja searah menghambat jalur aktivasi platelet yang tergantung ion kalsium (Neal, 2005). 12 Klopidogrel adalah produk tienopiridin. Klopidogrel mampu mengurangi agregasi platelet dengan menghambat reseptor ADP khususnya P2Y12, reseptor yang ter-coupled G-protein (Gi) (Angiolillo dan Ferreiro, 2010). Ikatan klopidogrel pada reseptor tersebut bersifat ireversibel dan mampu menghambat faktor-faktor yang memicu agregasi platelet. Oleh karena itu, pemberian klopidogrel dapat menyebabkan perubahan membran platelet dan interaksi membran fibrinogenik menyebabkan penghambatan reseptor platelet GP IIb/IIIa. Efek samping dari klopidogrel lebih rendah dibanding produk tienopiridin lainnya yaitu tiklopidin. Dosis lazim yang sering digunakan adalah 75 mg perhari dengan efikasi yang sama dengan aspirin 325 mg tetapi kejadian pendarahan gastrointestinal lebih sedikit. Efek samping dari obat ini adalah diare dan rash, tidak menyebabkan neutropenia dan kecepatan trombotik trombositopenik purpura tidak besar (Fagan dan Hess, 2008). Setelah 4-5 hari penggunaan klopidogrel, efek antiplatelet dapat maksimal. 6. Daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) Gambar 3. Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (Koleksi pribadi) 13 a. Nama Daerah Tanaman sukun tumbuh tersebar di Nusantara. Tanaman yang memiliki nama latin Artocarpus altilis (Park.) Fosberg, juga memiliki sinonim Artocarpus communis Forst dan Artocarpus incisa (Thunb.) L. f.. Tanaman ini lebih dikenal dengan nama daerah sakon (Aceh), Sukun (Sunda, Jawa, Bali), Hatopul (Batak), Amu (Melayu), Sokon (Madura), Karara (Bima, Flores) (Balitbangkes, 1997). b. Klasifikasi Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Urticales Suku : Moraceae Marga : Artocarpus Spesies : Artocarpus altilis (Park.) Fosb. c. (Balitbangkes, 1997) Morfologi Tanaman sukun berupa tanaman tegak, batang berkayu, berwarna coklat, percabangan spondial, ukuran tanaman mencapai 10-25 meter, diameter batang hingga 1,2 meter. Memiliki akar tunggang berwarna coklat. Daun berwarna hijau, tersebar tunggal. Ukuran daun memiliki panjang 50-70 cm dengan lebar 25-50 cm, pertulangan daun menonjol dengan bentuk menyirip, permukaan daun kasar, memiliki daging daun tebal, ujung daun meruncing dan pangkal membulat. Tanaman sukun memiliki buah berbentuk bulat hingga lonjong dengan lebar 12- 14 20 cm dan panjang 20 cm. Bunga jantan silindris dengan panjang 10-20 cm berwarna kuning, sedangkan bunga betina bulat dengan garis tengah 2-5 cm dan berwarna hijau. Termasuk jenis buah semu majemuk dengan warna hijau muda, hijau kekuningan atau kuning ketika sudah matang. Permukaan bergerigi tumpul tersusun teratur. Biji berbentuk ginjal dengan ketebalan 3-5cm berwarna hitam. Tanaman sukun memiliki akar tunggang yang berwarna coklat (Regone,1997; Balitbangkes, 1997). d. Kandungan Kimia Telah dilakukan penelitian terhadap senyawa yang terkandung dalam berbagai organ A. altilis. Sebanyak lebih dari 130 senyawa telah diidentifikasi dan lebih dari 70 senyawa terbentuk dari jalur fenilpropanoid. Tanaman ini memproduksi senyawa fenolik, juga flavonoid, stilbenoid, dan arylbenzofuron (Sikarwar et al., 2014). Ektraksi daun sukun dengan metanol, etil asetat, dan petroleum eter mengandung steroid, fitosterol, gums dan resin. Senyawa lainnya ialah 72,5% asam amino, asam lemak sebanyak 68,2%, dan karbohidrat 81,4%. Daun sukun juga mengandung mineral seperti kalsium, natrium, dan besi (Huie, 2002 cit. Sikarwar et al., 2014). Terdapat beberapa senyawa yang telah berhasil diidentifikasi dari daun sukun, yaitu antara lain artokarpin, sikloartokarpin, artonin E, sikloartobiloxanton, artoindonesianin F, artonol B, chaplasin (Hakim et al., 2006), sikloaltilisin 6, sikloaltilisin 7 (Patil et al., 2002), 2-geranil-2’,4’,3,4-tetrahidroksidihidrokalkon, 8-geranil-4’,5,7-trihidroksiflavonon (Hakim et al., 2006), sedangkan menurut Mai et al. (2012) daun A. altilis mengandung altilisin H, altilisin I, dan altilisin J. 15 e. Khasiat dan Kegunaan Secara empiris daun sukun digunakan sebagai obat penyakit kulit dan obat luar pada pembesaran limpa (Heyne, 1950). Beberapa ahli juga menyebutkan daun sukun dapat digunakan untuk demam, sirosis hati, antihipertensi, dan diabetes (Balibangkes, 1993; Jagtap dan Bapat, 2010; Regone, 1997). Selain itu daun sukun memiliki aktivitas biologi antara lain antiplatelet, antifungi, antibakteri, penghambatan sel leukemia, antitumor, antioksidan, ACE (angiotensin converting enzyme) Inhibitor, antidiabetes, anthelmintik, protease inhibitor, imunomodulator, antiinflamasi, penghambatan biosintesis melanin, dan sebagai agen kosmetik (Handa et al., 2008). Menurut Harmanto (2012) dari beberapa penelitian menunjukan flavonoid yang terkandung dalam daun sukun bermanfaat sebagai anti-inflamasi, antiplatelet (penyempitan pembuluh darah akibat kolesterol yang menggumpal). Ektrak air daun sukun berperan sebagai antihipertensi (Nwokoca et al., 2012). Komponen cytoprotective dari ekstrak etil asetat A. altilis dapat dijadikan sebagai antiaterosklerosis (Wang et al., 2006). Selain bermanfaat dibidang kesehatan, bagian tanaman sukun sering digunakan dalam kehidupan. Kayu sukun sebagai bahan untuk membuat bangunan, perahu, dan perabotan. Getah sukun dimanfaatkan untuk membuat jebakan burung. Daunnya dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan. Daun dan bunga sukun dimanfaatkan sebagai makanan ternak (Ragone, 1997). 7. Light Transmission Aggregometry Platelet aggregometry bekerja dengan prinsip turbidimetri atau dikenal dengan cara Born dan merupakan gold standard (Michelson, 2004). Metode 16 turbidimetri berdasarkan perubahan transmisi cahaya. Prosedur pemeriksaannya lebih ditekankan pada pemeriksaan agregasi trombosit dengan menggunakan agonis ADP. Alat ini distandarisasi dengan plasma kaya platelet (PRP) sebagai 0% agregasi dan plasma miskin platelet (PPP) sebagai 100% agregasi. Dicatat transmitan cahaya yang melalui kuvet berisi suspensi platelet yang diaduk pada suhu 370C. Setelah baseline dianggap tidak terjadi peningkatan transmitan cahaya. Bila terbentuk agregat setelah penambahan agonis, akan terjadi peningkatan transmitan cahaya. Agonis yang berbeda maka akan memberikan transmitan yang berbeda. Pola agregasi platelet dikenal dengan respon primer terhadap penambahan sekunder dari pelepasan adenine nukleotida yang terdapat dalam granul padat platelet. Respon yang muncul dikenal dengan gelombang pertama dan kedua. Respon bifasik ini dapat tidak terlihat pada penambahan agonis dengan konsentrasi tinggi. Pemberian agonis tertentu memberikan pola agregasi platelet tertentu. Persentase agregasi platelet ditetapkan sebagai jumlah persentase amplitudo atau persentase transmisi sinar yang maksimal pada kurva agregasi yang diukur dari baseline terhadap jumlah persen amplitudo atau persentase transmisi sinar yang diukur dari baseline hingga persentase amplitudo teori (platelet teragregasi 100 %) (Zhou dan Schmaier, 2005). 8. Ekstraksi dan kromatografi lapis tipis Kegiatan mengekstraksi atau penyarian yaitu kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak larut dengan bantuan suatu pelarut cair. Kecepatan ekstraksi dipengaruhi oleh kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat 17 tersebut (Depkes RI, 1986). Umumnya dalam mengefektifkan proses penyarian dilakukan pemanasan untuk meningkatkan kelarutan dari pelarut sehingga meningkatkan kemampuannya untuk melarutkan zat aktif dan pengadukan untuk meratakan pelarut untuk mencapai zat aktif dalam bahan (Pramono, 2012). Dalam penyarian pemilihan pelarut yang digunakan harus diperhatikan. Pemilihan pelarut harus berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimum dari zat aktif dan seminimal mungkin untuk unsur-unsur yang tidak diinginkan (Anonim, 2000). Hasil ekstraksi umumnya disebut sebagai ekstrak. Ekstrak merupakan sediaan kering, cair, atau kental yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok diluar pengaruh sinar matahari. Terdapat beberapa teknik ekstraksi yang dapat dilakukan, salah satunya adalah maserasi. Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari pada tempat yang sesuai dan pada umumnya tertutup. Metode ini yang paling sering digunakan untuk bahan tumbuhan yang senyawa bioaktifnya tinggi. Jenis cairan penyari disesuaikan dengan sifat bahan yang akan diekstraksi. Volume cairan penyari yang digunakan 5-10 kali dari bahan simplisia tergantung sifat bahan. Lama perendaman juga tergantung bahan simplisia umumnya selama 18 jam. Metode ini memiliki kekurangan yaitu membutuhkan waktu yang lama dalam sekali maserasi umumnya 3x24 jam dan membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak. Selain itu proses ekstraksi dapat berlangsung kurang sempurna. Agar ekstraksi berjalan sempurna dilakukan maserasi kembali sekurang-kurangnya dua kali dengan cairan penyari yang sama. Hasil maserasi dikumpulkan dengan filtrasi dan diuapkan 18 untuk mendapatkan ekstrak yang kental (Pramono, 2012). Metode ini sering menjadi pilihan karena kelebihannya dapat digunakan untuk komponen senyawa yang termostabil dan termolabil (Meloan, 1999). Selain itu metode ini lebih sederhana dengan peralatan yang tidak rumit, dan relatif lebih murah. Kromatograsi lapis tipis digunakan untuk menentukan komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau jalannya reaksi, dan sebagainya atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam dipisah gerakan pelarut pengembang. KLT, fase diam berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar seperti lempeng kaca, pelat alumunium, atau pelat plastik. Fase gerak atau pelarut pengembang bergerak naik sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler (ascending) atau bergerak turun karena pengaruh gravitasi (descending). Keuntungan dari metode ini yaitu peralatan yang lebih sederhana, mudah dilakukan dan cepat serta mudah untuk melakukan identifikasi terhadap pemisahan komponen seperti menggunakan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet. Lapisan pada fase diam berupa penjerap yang berukuran kecil berdiameter 10-30 µm. Ukuran partikel fase diam yang semakin kecil dan semakin sempit kisaran ukurannya, akan menghasilkan kinerja KLT yang semakin baik dalam hal efisiensi dan resolusi. Penjerap pada fase diam umumnya adalah silika dan serbuk selulosa atau silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Mekanisme sorpsi pada KLT terutama dengan cara partisi dan adsorbsi. 19 Fase gerak yang digunakan dalam KLT yang paling sederhana adalah campuran dua pelarut organik karena daya elusi yang mudah diatur sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Daya elusi dari fase gerak diatur agar diperoleh nilai Rf antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. Penggunaan fase diam yang polar, polaritas dari fase gerak akan menentukkan kecepatan migrasi sehingga mempengaruhi nilai Rf. Selama proses elusi bejana harus dalam keadaan tertutup rapat dan telah dijenuhkan terlebih dahulu. Umumnya bercak hasil elusi tidak berwarna. Deteksi bercak hasil elusi KLT dapat dilakukan dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi penampak bercak melalui penyemprotan sehingga bercak menjadi lebih jelas (Gandjar, 2007). Pembentukan warna yang optimum sering kali memerlukan peningkatan suhu dan waktu tertentu (Stahl, 1985; Gritter dkk, 1991). Selain itu dapat dideteksi dengan pencacahan radioaktif dan flouresensi seperti di bawah lampu UV 254 nm atau 366 nm. Proses elusi umumnya dihentikan sebelum semua fase gerak melewati seluruh permukaan fase diam. Identifikasi pada KLT berdasarkan suatu parameter yaitu nilai faktor retardasi (Rf). Faktor retardasi atau jarak migrasi solute terhadap jarak ujung fase geraknya diperoleh dari perhitungan dengan rumus berikut: jarak yang ditempuh solut Rf = jarak yang ditempuh fase gerak ............................................................... (1) Jika nilai Rf adalah 1 maka solute bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan fase gerak. Sebaliknya nilai Rf adalah 0 apabila solute tertahan pada posisi awal di permukaan fase diam (tidak bergerak sama sekali dari titik penotolan) (Rohman, 2009). Kondisi KLT yang sama dari dua senyawa dapat 20 dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama (Gandjar, 2007). Faktor yang mempengaruhi gerakan bercak dalam KLT dapat mempengaruhi harga Rf, antara lain struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan, sifat dari lapisan penjerap, pelarut dan derajat kemurnia fase gerak, derajat kejenuhan uap dalam bejana yang digunakan, teknik percobaan, jumlah cuplikan yang digunakan, suhu, serta kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1991). F. Landasan Teori Platelet adalah komponen darah yang memegang peranan penting saat terjadi pendarahan. Platelet berada di sirkulasi darah dan tidak menempel pada sel endotelial yang sehat. Saat terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah, sistem hemostasis akan memicu platelet menempel di permukaan sel endotelial yang luka. Jika peradangan berlebihan dapat menyebabkan radang kronis dan memicu adhesi dan agregasi trombosit yang abnormal sehingga terjadi aterosklerosis. Senyawa vWf akan disekresikan oleh sel endotelial ke dalam plasma ketika terjadi inflamasi di dinding pembuluh darah. vWf akan berikatan dengan reseptor transmembran Gp Ib/IX/V. Ikatan vWf dengan Gp Ib akan menginisiasi ikatan fibrinogen dengan reseptor Gp IIb/IIIa. Bentuk platelet akan berubah dari bulat pipih menjadi bulat utuh yang mempunyai kaki semu yang kemudian teragregasi. Platelet yang teragregasi akan melepaskan isi granul, mengaktivasi jalur metabolisme enzim phophatidylinositol 3-kinase dan phopholipase C menyebabkan fosforilasi protein dan peningkatan kadar ion kalsium intrasel. Sehingga antar platelet yang berdekatan akan saling menempel dan membentuk plug. Ristocetin memiliki aktivitas menginduksi agregasi platelet dengan 21 meningkatkan afinitas reseptor Gp Ib/IX/V berikatan dengan vWf. ikatan vWf pada Gp Ib/IX/V akibat induksi ristocetin menyebabkan kerusakan PIP2, produksi Phosphatidic Acid (PA), aktivasi PKC, meningkatkan ion kalsium, dan sintesis TXA2.. Secara empiris daun sukun dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi. Ekstrak air daun sukun berperan sebagai antihipertensi. Daun sukun mengandung senyawa flavonoid yang terprenilasi yang memilki aktivitas farmakologi sebagai antiinflamasi, antiplatelet, antioksidan, antikanker. Beberapa senyawa flavonoid terprenilasi telah berhasil diisolasi dari kayu dan kulit kayu sukun. Beberapa senyawa flavonoid terprenilasi dalam daun sukun telah berhasil diisolasi. Penelitian terhadap aktivitas antiplatelet dari ekstrak etanolik daun sukun perlu dilakukan, agar dapat diketahui jalur penghambatan agregasi platelet yang diiduksi oleh agonis tertentu. Hal ini bermanfaat dalam penemuan senyawa alam yang memiliki khasiat antiplatelet, sehingga diharapkan dapat mengurangi efek samping dari penggunaan obat-obat sintetsis. G. Hipotesis Ekstrak etanolik daun sukun mampu menghambat agregasi platelet darah manusia sehat yang diinduksi ristocetin. 22