1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kematian akibat penyakit tidak menular yang sering menjadi sorotan
adalah penyakit kardiovaskuler. Diperkirakan sekitar 17,3 juta orang meninggal
pada tahun 2008 akibat penyakit ini. Tahun 2013 di Indonesia, estimasi penyakit
kardiovaskuler sudah terjadi pada umur lebih dari 15 tahun. Pada tahun 2030,
kematian akibat penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan
stroke akan mengalami peningkatan mencapai 23,3 juta kematian (Balitbang
Kesehatan dan Data Penduduk Sasaran, 2013).
Platelet adalah sel darah yang berperan dalam proses hemostasis tubuh.
Umumnya platelet berada dalam sirkulasi darah. Akan tetapi, ketika terjadi luka
atau perdarahan pada pembuluh darah platelet terpicu untuk menempel pada
bagian
sel endotelial yang luka. Platelet menutup luka dengan membentuk
sumbat hemostasis yang terbentuk dari agregat-agregat platelet dan bekuan darah.
Sistem hemostasis akan memicu aktivasi platelet melalui tiga tahapan yaitu
adhesi, sekresi dan agregasi platelet. Platelet yang menempel di sel endotelial
akan teraktivasi dan melepaskan isi granul serta menarik platelet yang lain
sehingga meningkatkan agregasi platelet. Selain itu, platelet yang teraktivasi akan
mengeluarkan faktor bekuan darah sehingga menyebabkan pembekuan darah
disekitar area luka atau disebut trombus. Trombus yang abnormal dapat
menyumbat saluran pembuluh darah yang mengakibatkan iskemia yang dapat
1
memicu penyakit jantung koroner dan stroke (Martini, 1998; Mutschler, 1991,
Corwin, 2000).
Obat-obatan antiplatelet dipilih menjadi terapi penyakit kardiovaskuler.
Terapi dengan antiplatelet bertujuan mencegah terbentuknya trombus dengan
menghambat jalur aktivasi platelet. Antiplatelet dapat mencegah interaksi sel yang
mengakibatkan inflamasi, trombosis dan aterogenesis. Obat antiplatelet dibagi
menjadi
empat
kelas
utama
antara
lain
dengan
menghambat
enzim
siklooksigenase (Cyclooxygenase inhibitors) contohnya aspirin, antagonist
adenosine diphosphate (ADP) contohnya Clopidogrel dan ticlopidine suatu
derivat thienopyridine, menghambat fosfodiesterase contohnya cilostazol dan
dipyridamole, dan menghambat Glycoprotein IIb/IIIa reseptor seperti abciximab
(Nurimaba, 2008). Obat antiplatelet yang sering digunakan adalah aspirin
golongan Cyclooxygenase inhibitors dalam dosis rendah dan thienopyridine
derivatives seperti klopidogrel dan ticlopidine (Gaglia et al., 2010).
Terapi jangka panjang dari obat-obat antiplatelet sintesis dapat mengurangi
terjadinya penyakit kardiovaskuler tetapi juga memiliki efek samping yang
merugikan. Penggunaan kombinasi antiplatelet aspirin ditambah klopidogrel
memiliki kekurangan, yaitu menunjukkan resiko terjadinya pendarahan (Shehab et
al., 2010). Sering kali terjadi efek samping dari penggunaan secara terus-menerus
seperti, sakit kepala, kram perut, muntah dan gastric ulceration (Angiolillo et al.,
2007; Cannon et al., 2007). Efek samping dari penggunaan ticlopidine dapat
menyebabkan neutropenia sedangkan pada phospodiesterase inhibitor dapat
menimbulkan keluhan nyeri kepala (Nurimaba, 2008). Selain itu terdapat laporan
2
terjadinya resistensi penggunaan aspirin sebagai antiplatelet pada sejumlah
individu (Hankey dan Eikelboom, 2006). Pemakaian obat-obatan antiplatelet
ternyata memiliki efek samping yang merugikan sehingga perlu dilakukan
pencarian terapi alternatif dari bahan alam yang beraktivitas menghambat agregasi
platelet.
Indonesia memiliki banyak flora dan fauna. Sumber daya alam yang
beragam dan melimpah ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahan obat
dari alam. Kebutuhan masyarakat untuk menggunakan obat herbal juga semakin
banyak. Salah satu tanaman menahun yang banyak tumbuh di Indonesia dan
masih perlu dikembangkan ialah tanaman sukun. Tanaman sukun atau Artocarpus
altilis (Park.) Fosberg, termasuk dalam genus Artocarpus. Artocarpus altilis
(sukun) memiliki sinonim yaitu A. communis J. R. & G. Forster, A. camansi
Blanco.). Masyarakat Indonesia secara tradisional menggunakan daun sukun
untuk mengobati sakit gigi, gatal-gatal, inflamasi, penyakit jantung dan ginjal,
Selain itu masyarakat Vietnam menggunakan akar dan batang tanaman sukun
untuk mengobati penyakit hati dan hipertensi (Permanasari, 2010).
Tanaman sukun juga telah diteliti memiliki aktivitas sebagai antioksidan
(Azzahra, 2015). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa daun sukun
mengandung artokarpin, suatu senyawa flavonoid terprenilasi yang memiliki
manfaat farmakologi yaitu sebagai antiinflamasi dan antikanker (Lee et al., 2013).
Senyawa flavonoid terprenilasi dalam tanaman famili Moraceae memiliki
aktivitas antiplatelet (Lin, 1996). Senyawa flavonoid terprenilasi dari tanaman
Artocarpus communis J.R. Forst memiliki aktivitas antiplatelet terhadap induksi
3
platelet activating factor, arachidonic acid, dan kolagen. Senyawa-senyawa
tersebut telah berhasil diisolasi antara lain cyclomorusin dan artomunoxanthone,
cyclomulberrin, dihydroisocycloartomunin, cyclocommunol, dan cyclocommunin
(Lin, 1993).
Oleh sebab itu,
ekstrak
etanolik
daun
sukun
berpotensi
untuk
dikembangkan sebagai agen antiplatelet. Melalui penelitian ini akan dikaji lebih
lanjut aktivitas ekstrak etanolik daun sukun sebagai anti agregasi platelet dari PRP
darah manusia sehat akibat induksi ristocetin dengan metode agregometri.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, dirumuskan
permasalahan yaitu:
1.
Apakah ekstrak etanolik daun sukun mampu menghambat agregasi platelet
dari PRP darah manusia sehat yang diinduksi ristocetin?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini, yaitu:
1.
Mengetahui aktivitas ekstrak etanolik daun sukun dalam menghambat
agregasi platelet dari PRP darah manusia sehat akibat induksi ristocetin
dengan metode agregometri.
D.
Pentingnya Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bukti ilmiah mengenai
potensi ekstrak etanolik daun sukun sebagai agen anti agregasi platelet alami yang
dapat digunakan dalam pengembangan obat antiplatelet. Sehingga hasil penelitian
ini
dapat
dimanfaatkan
sebagai
salah
4
satu
alternatif
terapi
penyakit
kardiovaskuler. Selain itu, diharapkan hasil penelitian dapat dipublikasikan dalam
bentuk artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah yang bermanfaat untuk
pengembangan penelitian selanjutnya.
E.
Tinjauan Pustaka
1. Platelet
Komponen darah yang berfungsi untuk menghentikan pendarahan adalah
platelet. Reaksi fragmentasi perifer sitoplasma megakariosit pada sumsum tulang
belakang akan menghasilkan platelet melalui rangsangan trombopoetin. Satu sel
megakariosit dapat menghasilkan hingga 4000 platelet (Sluand dan Klein., 2002
dan Firkin., 1984). Platelet yang berada di sirkulasi pembuluh darah berbentuk
discoid dengan diameter 2-4 µm dan volume rata-rata 7-11 fl. Platelet dapat
bertahan hingga 10 hari dalam sirkulasi darah. Sekitar 70% platelet berada dalam
sirkulasi darah sedangkan 30% berada dalam limpa, normalnya jumlah platelet
dalam sirkulasi antara 150.000-450.000 sel/ml (Sharathkumar dan Shapiro, 2008).
Struktur platelet terbagi menjadi empat zona, yaitu zona periferal, zona
sol-gel, zona organela, dan zona membran. Pada zona periferal terdapat open
canalicular system yang bertugas sebagai penghubung antara platelet dan plasma,
juga sebagai kanal saat pelepasan produk-produk dari dalam platelet ke plasma.
Zona ini juga terdiri dari membran phospholipid. Fosfolipid adalah komponen
penting saat terjadi koagulasi. Membran ini menyediakan substrat untuk reaksi
ezimatik menghasilkan tromboksan A2 (TXA2). TXA2 adalah komponen penting
saat aktivasi platelet dan merupakan agonis yang kuat. Bagian zona perifer juga
terdapat reseptor untuk meneruskan sinyal aktivasi platelet. Selengkapnya reseptor
5
dan ligannya dapat dilihat pada tabel 1. Zona sol-gel terdiri dari sitoskeleton yang
berperan menjaga bentuk platelet, merubahan bentuk platelet
menjadi
pseudopodia, kontraksi internal dan pelepasan granul. Zona organela berisi granul
dan komponen seluler. Granul-granul dari zona organela terdiri dari dense granul
dan alfa granul. Dense granul terdiri dari ATP dan ADP, serotoni dan kalsium.
Alfa granul berisi fibrinogen, fibronektin, von Willebrand factor (vWf),
trombospondin dan vitronektin. Zona terakhir yaitu zona membran termasuk
dalam dense tubular. Zona ini berisi kalsium dan sistem enzim untuk sintesis
prostaglandin (Sharathkumar dan Shapiro, 2008).
Tabel I. Reseptor membran platelet dan ligannya
Reseptor Glikoprotein
(Gp)
Struktur
Gp IIb/IIIa
Integrin αIIbβ3
Gp Ia/IIa
Integrin α2β1
Leucine-rich repeats
receptor
Reseptor Non-integrin,
Immunoglobulin superfmily
receptor
Gp Ib/IX/V
Gp VI
Fungsi / Ligan
Reseptor untuk fibrinogen, vWf,
fibronektin, vitronektin, dan
trombospondin
Reseptor untuk kolagen
Reseptor untuk insoluble vWf
Reseptor untuk kolagen
2. Agregasi platelet
Platelet adalah sel darah yang berukuran paling kecil dan memainkan peran
penting dalam mengatur hemostasis tubuh (George, 2000). Platelet akan melekat
pada bagian permukaan pembuluh darah dan bagian permukaan luar dari tubuh
yang luka. Saat kondisi fisiologis, platelet berada di sirkulasi darah. Aktivasi
platelet dapat dipicu oleh adanya gangguan di sel endotelial vaskuler dan
6
perubahan dari tekanan aliran darah. Aktivasi platelet juga dapat terjadi sebagai
respon adanya luka pada pembuluh darah. Perubahan platelet dari tidak aktif
hingga platelet teragregasi dibagi menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan itu antara
lain adhesi platelet, agregasi dan sekresi (Yip et al., 2005).
Sel
endotelial
pembuluh
darah
yang
rusak
akan
mengeluarkan
komponennya seperti kolagen, vWf, fibronektin dan laminin. Adhesi platelet
dimulai ketika vWf yang dikeluarkan ke plasma berikatan dengan Gp Ib/IX/V
(Firkin, 1984). Interaksi ini memicu aktivasi platelet dan terjadi adhesi platelet di
daerah sel endotelial yang luka. Di sisi lain, interaksi kolagen dengan reseptornya
Gp IV menginduksi perubahan bentuk dari platelet, sehingga reseptor Gp IIb/IIIa
dan Gp Ia/IIa teraktivasi. vWf dan kolagen membentuk ikatan yang kuat pada
kedua reseptor tersebut. Ikatan ini akan menginisiasi antar platelet saling
menempel dan memperantarai ikatan antara fibrinogen dengan Gp IIb/IIIa.
Pengikatan fibrinogen memicu terjadinya perubahan konformasional pada
platelet. Platelet berubah bentuk dari bulat pipih menjadi bulat utuh dengan kaki
semu yang kemudian menyebar pada jaringan-jaringan luka. Proses ini disebut
agregasi platelet. Platelet yang teraktivasi akan melepaskan isi alfa granul dan
dense granul, yang selanjutnya berinteraksi dengan reseptor transmembran di
platelet. Interaksi ini mengaktivasi jalur metabolisme enzim phophatidylinositol
3-kinase dan phopholipase C. Aktivasi jalur ini menyebabkan fosforilasi protein
dan peningkatan kadar ion kalsium intrasel (Sharathkumar dan Shapiro, 2008).
Platelet dapat teraktivasi oleh adanya agonis (substrat yang dapat
menyebabkan agregasi platelet) di sirkulasi darah seperti TXA2, ADP, dan
7
trombin. Sintesis TXA2 oleh platelet yang teraktivasi dihasilkan dari arachidonic
acid yang dimetabolisme enzim COX. TXA2 yang dihasilkan akan mengativasi
platelet yang lain. TXA2 akan berikatan pada reseptor yang ter-coupled G-protein
(Gq dan G12 atau G13) dan mengaktivasi phospholipase C (PLC). Enzim ini
mendegradasi PIP2 dan melepaskan second messengers IP3 dan DAG. DAG akan
mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang menyebabkan protein terfosforilasi.
Sedangkan pelepasan IP3 meningkatkan kadar ion kalsium intrasel yang
dilepaskan dari retikulum endoplasma. ADP yang dilepaskan oleh platelet akan
berinteraksi pada reseptor P2Y1 dan P2Y12. Akibatnya kadar ion kalsium intrasel
meningkat dan aktivasi platelet semakin kuat dan lama. Trombin yang terbentuk
memperantarai terbentuknya fibrin. Trombin akan berikatan pada PAR. Hasil
interaksi agonis pada masing-masing reseptor akan menurunkan kadar cAMP dan
peningkatan kadar ion kalsium intrasel. Manifestasi dari peningkatan ion kalsium
intrasel memicu perubahan tempat ikatan ligan pada reseptor Gp IIb/IIIa menjadi
aktif. Sehingga fibrinogen dan vWf dapat berikatan pada reseptor Gp IIb/IIIa. Hal
ini akan memicu perlekatan antar platelet yang berdekatan (Sharathkumar dan
Shapiro, 2008).
3. Induktor agregasi platelet
Dalam keadaan tidak aktif, platelet tidak dapat saling berlekatan karena
glikoprotein pada permukaan platelet mengandung molekul asam sialat yang
bermuatan negatif sehingga platelet saling tolak menolak. Agregasi platelet dapat
dirangsang oleh berbagai induktor (Sotianingsih, 2001).
8
Respon platelet terhadap induktor tergantung kekuatan induktor dalam
menginduksi. Induktor akan bereaksi dengan reseptor yang terdapat pada
membran platelet. Setiap reseptor mengontrol sejumlah transmitter yang
dilepaskan ke sitoplasma. Kekuatan induktor mempengaruhi kadar transmitter
yang akan dikeluarkan sehingga respon yang diberikan oleh platelet tergantung
dari kadar transmitter dalam sitoplasma.
ristocetin
Gambar 1. Interaksi vWf pada Gp Ib/IX/V sebagai jalur aktivasi platelet yang diinduksi
oleh ristocetin (diadaptasi dari Bryckaert et al., 2015). Jalur signaling dari PI3-kinase/Akt
(melalui NOS/sGC/PKG) masih kontroversi.
Induktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah ristocetin. Jalur
aktivasi agregasi platelet oleh ristocetin yaitu meningkatkan afinitas reseptor Gp
Ib/IX/V terhadap vWF dan akibat dari interaksi ini serta efek muatan elektrostatik
mengakibatkan platelet teragregasi (Moake et al., 1977; Coller dan Gralnick,
1977; Jenkins et al., 1979). Senyawa von Willebrand Factor adalah agonis bagi
reseptor platelet GPIb-IX-V dan GPIIb/IIIa. Induksi oleh ristocetin spesifik hanya
meningkatkan afinitas ikatan vWf pada reseptor Gp Ib/IX/V (Kroll et al., 1991).
9
Aktivasi platelet akibat interaksi vWf pada reseptor Gp Ib/IX/V adalah hasil dari
aktivasi beberapa molekul intraseluler seperti Src family, Rac1, PI3-kinase/Akt,
cGMP-dependent protein kinase dan MAP kinase. Aktivasi molekul intraseluler
akan memicu sekresi ADP dan pembentukan TXA2. Aktivasi PI3-kinase
diperlukan untuk mengaktivasi Gp
IIb/IIIa
dan pelepasan Ca2+
yang
mengakibatkan agregasi platelet (Bryckaert et al., 2015). Penelitian yang
dilakukan Kroll (1991) menemukan bahwa akibat dari induksi ristocetin dapat
menstimulasi pembentukan phosphatidic acid (PA), penurunan PIP2, aktivasi
PKC, dan peningkatan kadar ion kalsium serta terbentuknya TXA2. Induksi oleh
ristocetin menyebabkan platelet-platelet saling teraglutinasi daripada teragregasi.
Jarak yang dekat antara platelet yang teraglutinasi memicu sekresi granul dan
pembentukan TXA2. Aktivasi dari molekul intraselulerlah yang menyebabkan
platelet teraktivasi lebih lanjut (Zhou dan Schmaier, 2005). Konsentrasi ristocetin
lebih dari 1 mg/ml sudah dapat memicu aglutinasi yang diperantarai oleh ikatan
vWf pada Gp Ib/IX/V (Scott et al., 1991).
4. Platelet Rich Plasma (PRP)
Uji aktivitas yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Platelet
Rich Plasma (PRP). PRP adalah produk autolog yang mengandung sejumlah
platelet di dalam volume plasma. Fungsi PRP sebagai perekat jaringan fibrin pada
homeostatis dan memiliki sifat menutup luka. (Everts et al., 2006). PRP
merupakan agen immediate surgical homeostatis yang biokampatibel, aman, dan
efektif. Konsentrasi leukosit yang tinggi pada PRP memiliki efek tambahan
10
antimikrobial. PRP sebagai produk autolog darah tidak membawa resiko transmisi
infeksi penyakit (Rick et al., 2007).
5. Antiplatelet
Menurut Dewoto (2008) antiplatelet adalah obat yang menghambat
agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus
yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Menurut Nurimaba (2008)
terdapat empat jalur utama antiplatelet menghambat aktivasi platelet (gambar 2).
Berikut jalur penghambatan dari aspirin dan klopidogrel terapi kombinasi pilihan
yang sering digunakan sebagai antiplatelet, juga digunakan sebagai pembanding
dalam penelitian ini.
Gambar 2. Jalur penghambatan agregasi platelet oleh obat antiplatelet (diadaptasi dari
Nurimaba (2009))
Aspirin digunakan sebagai obat yang mencegah terjadinya stroke berulang.
Aspirin menghambat enzim siklooksigenase dengan mengasetilasi ensim ini
secara ireversibel sehingga menghambat tromboksan A2 (TXA2), yang berperan
11
dalam vasokonstriksi dan agregasi platelet. Platelet tidak dapat melakukan
regenerasi terhadap siklooksigenase, hal ini menyebabkan efek dari aspirin hanya
sepanjang jangka hidup dari platelet (umumnya 10 hari). Aspirin digunakan untuk
menghambat agregasi platelet (Katzung, 2003; Shulga, 2011).
Penggunaan aspirin dengan dosis 50-235 mg telah disetujui oleh FDA
sebagai pencegahan serangan stroke iskemik berulang (Fagan dan Hess, 2008).
Dosis efektif aspirin sebagai antiplatelet adalah 80-320 mg perhari dan dengan
dosis kecil aspirin hanya menekan pembentukkan TXA2 (Dewoto, 2008). Produk
dari COX-1 yaitu TXA2 berfungsi menginduksi secara kuat agregasi platelet.
Prostasiklin atau PGI2 yang dihasilkan sel endotel menstimulasi reseptor yang
berbeda pada platelet dan akhirnya meningkatkan cAMP. Peningkatan cAMP
akan menurunkan kalsium intraseluler yang berujung pada penghambatan
agregasi platelet (Neal, 2005).
Peningkatan Ca2+ pada sitoplasma akan memicu aktivasi dan agregasi
platelet (Elvers et al., 2012). Ketika perubahan konformasi reseptor GP IIb/IIIa
inaktif pada membran plasma, reseptor menjadi memiliki afinitas yang tinggi
terhadap fibrinogen. Ikatan reseptor dan Gp IIb/IIIa akan membentuk ikatan silang
antar platelet sehingga terjadi agregasi. TXA2, trombin, dan 5HT mengaktivasi
fosfolipase C. Inositol-1,4,5-trifosfat (IP3) yang dihasilkan akan menstimulasi
lepasnya kalsium dari retikulum endoplasma. ADP menghambat adenilat siklase
dan mengakibatkan penurunan cAMP sehingga meningkatkan ion kalsium. Semua
obat antiplatelet bekerja searah menghambat jalur aktivasi platelet yang
tergantung ion kalsium (Neal, 2005).
12
Klopidogrel adalah produk tienopiridin. Klopidogrel mampu mengurangi
agregasi platelet dengan menghambat reseptor ADP khususnya P2Y12, reseptor
yang ter-coupled G-protein (Gi) (Angiolillo dan Ferreiro, 2010). Ikatan
klopidogrel pada reseptor tersebut bersifat ireversibel dan mampu menghambat
faktor-faktor yang memicu agregasi platelet. Oleh karena itu, pemberian
klopidogrel dapat menyebabkan perubahan membran platelet dan interaksi
membran fibrinogenik menyebabkan penghambatan reseptor platelet GP IIb/IIIa.
Efek samping dari klopidogrel lebih rendah dibanding produk tienopiridin lainnya
yaitu tiklopidin. Dosis lazim yang sering digunakan adalah 75 mg perhari dengan
efikasi yang sama dengan aspirin 325 mg tetapi kejadian pendarahan
gastrointestinal lebih sedikit. Efek samping dari obat ini adalah diare dan rash,
tidak menyebabkan neutropenia dan kecepatan trombotik trombositopenik purpura
tidak besar (Fagan dan Hess, 2008). Setelah 4-5 hari penggunaan klopidogrel,
efek antiplatelet dapat maksimal.
6. Daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg)
Gambar 3. Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (Koleksi pribadi)
13
a.
Nama Daerah
Tanaman sukun tumbuh tersebar di Nusantara. Tanaman yang memiliki
nama latin Artocarpus altilis (Park.) Fosberg, juga memiliki sinonim Artocarpus
communis Forst dan Artocarpus incisa (Thunb.) L. f.. Tanaman ini lebih dikenal
dengan nama daerah sakon (Aceh), Sukun (Sunda, Jawa, Bali), Hatopul (Batak),
Amu (Melayu), Sokon (Madura), Karara (Bima, Flores) (Balitbangkes, 1997).
b.
Klasifikasi
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Urticales
Suku
: Moraceae
Marga
: Artocarpus
Spesies
: Artocarpus altilis (Park.) Fosb.
c.
(Balitbangkes, 1997)
Morfologi
Tanaman sukun berupa tanaman tegak, batang berkayu, berwarna coklat,
percabangan spondial, ukuran tanaman mencapai 10-25 meter, diameter batang
hingga 1,2 meter. Memiliki akar tunggang berwarna coklat. Daun berwarna hijau,
tersebar tunggal. Ukuran daun memiliki panjang 50-70 cm dengan lebar 25-50
cm, pertulangan daun menonjol dengan bentuk menyirip, permukaan daun kasar,
memiliki daging daun tebal, ujung daun meruncing dan pangkal membulat.
Tanaman sukun memiliki buah berbentuk bulat hingga lonjong dengan lebar 12-
14
20 cm dan panjang 20 cm. Bunga jantan silindris dengan panjang 10-20 cm
berwarna kuning, sedangkan bunga betina bulat dengan garis tengah 2-5 cm dan
berwarna hijau. Termasuk jenis buah semu majemuk dengan warna hijau muda,
hijau kekuningan atau kuning ketika sudah matang. Permukaan bergerigi tumpul
tersusun teratur. Biji berbentuk ginjal dengan ketebalan 3-5cm berwarna hitam.
Tanaman sukun memiliki akar tunggang yang berwarna coklat (Regone,1997;
Balitbangkes, 1997).
d.
Kandungan Kimia
Telah dilakukan penelitian terhadap senyawa yang terkandung dalam
berbagai organ A. altilis. Sebanyak lebih dari 130 senyawa telah diidentifikasi dan
lebih dari 70 senyawa terbentuk dari jalur fenilpropanoid. Tanaman ini
memproduksi senyawa fenolik, juga flavonoid, stilbenoid, dan arylbenzofuron
(Sikarwar et al., 2014). Ektraksi daun sukun dengan metanol, etil asetat, dan
petroleum eter mengandung steroid, fitosterol, gums dan resin. Senyawa lainnya
ialah 72,5% asam amino, asam lemak sebanyak 68,2%, dan karbohidrat 81,4%.
Daun sukun juga mengandung mineral seperti kalsium, natrium, dan besi (Huie,
2002 cit. Sikarwar et al., 2014).
Terdapat beberapa senyawa yang telah berhasil diidentifikasi dari daun
sukun, yaitu antara lain artokarpin, sikloartokarpin, artonin E, sikloartobiloxanton,
artoindonesianin F, artonol B, chaplasin (Hakim et al., 2006), sikloaltilisin 6,
sikloaltilisin 7 (Patil et al., 2002), 2-geranil-2’,4’,3,4-tetrahidroksidihidrokalkon,
8-geranil-4’,5,7-trihidroksiflavonon (Hakim et al., 2006), sedangkan menurut Mai
et al. (2012) daun A. altilis mengandung altilisin H, altilisin I, dan altilisin J.
15
e.
Khasiat dan Kegunaan
Secara empiris daun sukun digunakan sebagai obat penyakit kulit dan obat
luar pada pembesaran limpa (Heyne, 1950). Beberapa ahli juga menyebutkan
daun sukun dapat digunakan untuk demam, sirosis hati, antihipertensi, dan
diabetes (Balibangkes, 1993; Jagtap dan Bapat, 2010; Regone, 1997). Selain itu
daun sukun memiliki aktivitas biologi antara lain antiplatelet, antifungi,
antibakteri, penghambatan sel
leukemia, antitumor, antioksidan, ACE
(angiotensin converting enzyme) Inhibitor, antidiabetes, anthelmintik, protease
inhibitor, imunomodulator, antiinflamasi, penghambatan biosintesis melanin, dan
sebagai agen kosmetik (Handa et al., 2008). Menurut Harmanto (2012) dari
beberapa penelitian menunjukan flavonoid yang terkandung dalam daun sukun
bermanfaat sebagai anti-inflamasi, antiplatelet (penyempitan pembuluh darah
akibat kolesterol yang menggumpal). Ektrak air daun sukun berperan sebagai
antihipertensi (Nwokoca et al., 2012). Komponen cytoprotective dari ekstrak etil
asetat A. altilis dapat dijadikan sebagai antiaterosklerosis (Wang et al., 2006).
Selain bermanfaat dibidang kesehatan, bagian tanaman sukun sering
digunakan dalam kehidupan. Kayu sukun sebagai bahan untuk membuat
bangunan, perahu, dan perabotan. Getah sukun dimanfaatkan untuk membuat
jebakan burung. Daunnya dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan. Daun dan
bunga sukun dimanfaatkan sebagai makanan ternak (Ragone, 1997).
7. Light Transmission Aggregometry
Platelet aggregometry bekerja dengan prinsip turbidimetri atau dikenal
dengan cara Born dan merupakan gold standard (Michelson, 2004). Metode
16
turbidimetri berdasarkan perubahan transmisi cahaya. Prosedur pemeriksaannya
lebih ditekankan pada pemeriksaan agregasi trombosit dengan menggunakan
agonis ADP. Alat ini distandarisasi dengan plasma kaya platelet (PRP) sebagai
0% agregasi dan plasma miskin platelet (PPP) sebagai 100% agregasi. Dicatat
transmitan cahaya yang melalui kuvet berisi suspensi platelet yang diaduk pada
suhu 370C. Setelah baseline dianggap tidak terjadi peningkatan transmitan cahaya.
Bila terbentuk agregat setelah penambahan agonis, akan terjadi peningkatan
transmitan cahaya. Agonis yang berbeda maka akan memberikan transmitan yang
berbeda. Pola agregasi platelet dikenal dengan respon primer terhadap
penambahan sekunder dari pelepasan adenine nukleotida yang terdapat dalam
granul padat platelet. Respon yang muncul dikenal dengan gelombang pertama
dan kedua. Respon bifasik ini dapat tidak terlihat pada penambahan agonis dengan
konsentrasi tinggi. Pemberian agonis tertentu memberikan pola agregasi platelet
tertentu. Persentase agregasi platelet ditetapkan sebagai jumlah persentase
amplitudo atau persentase transmisi sinar yang maksimal pada kurva agregasi
yang diukur dari baseline terhadap jumlah persen amplitudo atau persentase
transmisi sinar yang diukur dari baseline hingga persentase amplitudo teori
(platelet teragregasi 100 %) (Zhou dan Schmaier, 2005).
8. Ekstraksi dan kromatografi lapis tipis
Kegiatan mengekstraksi atau penyarian yaitu kegiatan penarikan zat yang
dapat larut dari bahan yang tidak larut dengan bantuan suatu pelarut cair.
Kecepatan ekstraksi dipengaruhi oleh kecepatan difusi zat yang larut melalui
lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat
17
tersebut (Depkes RI, 1986). Umumnya dalam mengefektifkan proses penyarian
dilakukan pemanasan untuk meningkatkan kelarutan dari pelarut sehingga
meningkatkan kemampuannya untuk melarutkan zat aktif dan pengadukan untuk
meratakan pelarut untuk mencapai zat aktif dalam bahan (Pramono, 2012). Dalam
penyarian pemilihan pelarut yang digunakan harus diperhatikan. Pemilihan pelarut
harus berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimum
dari zat aktif dan seminimal mungkin untuk unsur-unsur yang tidak diinginkan
(Anonim, 2000). Hasil ekstraksi umumnya disebut sebagai ekstrak. Ekstrak
merupakan sediaan kering, cair, atau kental yang dibuat dengan menyari simplisia
nabati atau hewani menurut cara yang cocok diluar pengaruh sinar matahari.
Terdapat beberapa teknik ekstraksi yang dapat dilakukan, salah satunya
adalah maserasi. Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari pada tempat yang sesuai dan
pada umumnya tertutup. Metode ini yang paling sering digunakan untuk bahan
tumbuhan yang senyawa bioaktifnya tinggi. Jenis cairan penyari disesuaikan
dengan sifat bahan yang akan diekstraksi. Volume cairan penyari yang digunakan
5-10 kali dari bahan simplisia tergantung sifat bahan. Lama perendaman juga
tergantung bahan simplisia umumnya selama 18 jam. Metode ini memiliki
kekurangan yaitu membutuhkan waktu yang lama dalam sekali maserasi
umumnya 3x24 jam dan membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak. Selain
itu proses ekstraksi dapat berlangsung kurang sempurna. Agar ekstraksi berjalan
sempurna dilakukan maserasi kembali sekurang-kurangnya dua kali dengan cairan
penyari yang sama. Hasil maserasi dikumpulkan dengan filtrasi dan diuapkan
18
untuk mendapatkan ekstrak yang kental (Pramono, 2012). Metode ini sering
menjadi pilihan karena kelebihannya dapat digunakan untuk komponen senyawa
yang termostabil dan termolabil (Meloan, 1999). Selain itu metode ini lebih
sederhana dengan peralatan yang tidak rumit, dan relatif lebih murah.
Kromatograsi lapis tipis digunakan untuk menentukan komponen dalam
campuran, identifikasi senyawa, memantau jalannya reaksi, dan sebagainya atas
dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam dipisah gerakan pelarut
pengembang. KLT, fase diam berupa lapisan yang seragam pada permukaan
bidang datar seperti lempeng kaca, pelat alumunium, atau pelat plastik. Fase gerak
atau pelarut pengembang bergerak naik sepanjang fase diam karena pengaruh
kapiler (ascending) atau bergerak turun karena pengaruh gravitasi (descending).
Keuntungan dari metode ini yaitu peralatan yang lebih sederhana, mudah
dilakukan dan cepat serta mudah untuk melakukan identifikasi terhadap
pemisahan komponen seperti menggunakan pereaksi warna, fluoresensi, atau
dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
Lapisan pada fase diam berupa penjerap yang berukuran kecil berdiameter
10-30 µm. Ukuran partikel fase diam yang semakin kecil dan semakin sempit
kisaran ukurannya, akan menghasilkan kinerja KLT yang semakin baik dalam hal
efisiensi dan resolusi. Penjerap pada fase diam umumnya adalah silika dan serbuk
selulosa atau silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan
siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Mekanisme sorpsi pada KLT
terutama dengan cara partisi dan adsorbsi.
19
Fase gerak yang digunakan dalam KLT yang paling sederhana adalah
campuran dua pelarut organik karena daya elusi yang mudah diatur sehingga
pemisahan dapat terjadi secara optimal. Daya elusi dari fase gerak diatur agar
diperoleh nilai Rf antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. Penggunaan
fase diam yang polar, polaritas dari fase gerak akan menentukkan kecepatan
migrasi sehingga mempengaruhi nilai Rf. Selama proses elusi bejana harus dalam
keadaan tertutup rapat dan telah dijenuhkan terlebih dahulu. Umumnya bercak
hasil elusi tidak berwarna. Deteksi bercak hasil elusi KLT dapat dilakukan dengan
mereaksikan
bercak
dengan
suatu
pereaksi
penampak
bercak
melalui
penyemprotan sehingga bercak menjadi lebih jelas (Gandjar, 2007). Pembentukan
warna yang optimum sering kali memerlukan peningkatan suhu dan waktu
tertentu (Stahl, 1985; Gritter dkk, 1991). Selain itu dapat dideteksi dengan
pencacahan radioaktif dan flouresensi seperti di bawah lampu UV 254 nm atau
366 nm.
Proses elusi umumnya dihentikan sebelum semua fase gerak melewati
seluruh permukaan fase diam. Identifikasi pada KLT berdasarkan suatu parameter
yaitu nilai faktor retardasi (Rf). Faktor retardasi atau jarak migrasi solute terhadap
jarak ujung fase geraknya diperoleh dari perhitungan dengan rumus berikut:
jarak yang ditempuh solut
Rf = jarak
yang ditempuh fase gerak
............................................................... (1)
Jika nilai Rf adalah 1 maka solute bermigrasi dengan kecepatan yang sama
dengan kecepatan fase gerak. Sebaliknya nilai Rf adalah 0 apabila solute tertahan
pada posisi awal di permukaan fase diam (tidak bergerak sama sekali dari titik
penotolan) (Rohman, 2009). Kondisi KLT yang sama dari dua senyawa dapat
20
dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama (Gandjar, 2007). Faktor
yang mempengaruhi gerakan bercak dalam KLT dapat mempengaruhi harga Rf,
antara lain struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan, sifat dari lapisan
penjerap, pelarut dan derajat kemurnia fase gerak, derajat kejenuhan uap dalam
bejana yang digunakan, teknik percobaan, jumlah cuplikan yang digunakan, suhu,
serta kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1991).
F.
Landasan Teori
Platelet adalah komponen darah yang memegang peranan penting saat
terjadi pendarahan. Platelet berada di sirkulasi darah dan tidak menempel pada sel
endotelial yang sehat. Saat terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah, sistem
hemostasis akan memicu platelet menempel di permukaan sel endotelial yang
luka. Jika peradangan berlebihan dapat menyebabkan radang kronis dan memicu
adhesi dan agregasi trombosit yang abnormal sehingga terjadi aterosklerosis.
Senyawa vWf akan disekresikan oleh sel endotelial ke dalam plasma ketika
terjadi inflamasi di dinding pembuluh darah. vWf akan berikatan dengan reseptor
transmembran Gp Ib/IX/V. Ikatan vWf dengan Gp Ib akan menginisiasi ikatan
fibrinogen dengan reseptor Gp IIb/IIIa. Bentuk platelet akan berubah dari bulat
pipih menjadi bulat utuh yang mempunyai kaki semu yang kemudian teragregasi.
Platelet yang teragregasi akan melepaskan isi granul, mengaktivasi jalur
metabolisme
enzim
phophatidylinositol
3-kinase
dan
phopholipase
C
menyebabkan fosforilasi protein dan peningkatan kadar ion kalsium intrasel.
Sehingga antar platelet yang berdekatan akan saling menempel dan membentuk
plug. Ristocetin memiliki aktivitas menginduksi agregasi platelet dengan
21
meningkatkan afinitas reseptor Gp Ib/IX/V berikatan dengan vWf. ikatan vWf
pada Gp Ib/IX/V akibat induksi ristocetin menyebabkan kerusakan PIP2, produksi
Phosphatidic Acid (PA), aktivasi PKC, meningkatkan ion kalsium, dan sintesis
TXA2..
Secara empiris daun sukun dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi.
Ekstrak air daun sukun berperan sebagai antihipertensi. Daun sukun mengandung
senyawa flavonoid yang terprenilasi yang memilki aktivitas farmakologi sebagai
antiinflamasi, antiplatelet, antioksidan, antikanker. Beberapa senyawa flavonoid
terprenilasi telah berhasil diisolasi dari kayu dan kulit kayu sukun. Beberapa
senyawa flavonoid terprenilasi dalam daun sukun telah berhasil diisolasi.
Penelitian terhadap aktivitas antiplatelet dari ekstrak etanolik daun sukun
perlu dilakukan, agar dapat diketahui jalur penghambatan agregasi platelet yang
diiduksi oleh agonis tertentu. Hal ini bermanfaat dalam penemuan senyawa alam
yang memiliki khasiat antiplatelet, sehingga diharapkan dapat mengurangi efek
samping dari penggunaan obat-obat sintetsis.
G.
Hipotesis
Ekstrak etanolik daun sukun mampu menghambat agregasi platelet darah manusia
sehat yang diinduksi ristocetin.
22
Download