I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan stabilitas ekonomi yang kokoh, dan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010–2014). Jika ketiga syarat utama tersebut dapat terwujud kinerja perekonomian akan berkembang ke arah yang positif. Dengan kinerja perekonomian yang demikian akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Indikator kinerja perekonomian daerah dapat direpresentasikan dengan beberapa indikator, antara lain kinerja fiskal daerah, pertumbuhan ekonomi, nilai PDRB, jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan angka IPM. Indikator kinerja perekonomian tersebut merupakan kelompok indikator utama yang sering digunakan untuk mengukur perkembangan tingkat kesejahteraan rakyat suatu daerah. Dari beberapa ukuran tersebut, indikator pertumbuhan ekonomi merupakan indikator kunci utama dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat (RPJM Nasional 2010-2014). Argumennya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan menggambarkan terjadinya peningkatan dan perluasan kegiatan 2 ekonomi. Jika hal ini terjadi berarti bisa membuka kesempatan kerja pada masyarakat. Selain itu, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuka peluang bagi daerah untuk melakukan peningkatan penerapan teknologi dan peningkatan akumulasi modal baik fisik maupun sumberdaya manusia. Kondisi seperti ini berdampak pada peningkatan produktivitas daerah. Selain dari hal itu , dengan terbukanya lapangan kerja maka akan memberi kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan. Pendapatan masyarakat yang meningkat akan mengurangi jumlah penduduk miskin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuka peluang kepada masyarakat untuk lebih besar memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan. Secara ekonomi, dari sisi permintaan pertumbuhan ekonomi dapat didekati dengan empat komponen utama, yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net-ekspor. Dari empat komponen ini, dalam konteks perekonomian daerah ada dua komponen penting yang menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu investasi dan pengeluaran pemerintah. Dua komponen ini bisa menjadi instrumen untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah sangat diperlukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, investasi dan pengeluaran pemerintah dapat digunakan sebagai instrumen bagi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan pada uraian di atas muncul pertanyaan sampai seberapa besar peran investasi dan pengeluaran pemerintah dalam mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Indikator apa saja yang bisa digunakan dalam mengukur 3 kinerja perekonomian daerah. Bagaimana arah hubungan antara investasi dan pengeluaran pemerintah dengan kinerja perekonomian daerah yang didalamnya termasuk indikator kesejahteraan rakyat. Secara teori, investasi yang masuk ke suatu daerah berarti menambah kapital dalam kegiatan perekonomian. Penambahan kapital ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika arus investasi ke suatu daerah berlangsung terus menerus dan dalam jangka panjang serta dibarengi dengan ekonomi yang berdaya saing tinggi, maka investasi akan meningkatkan penawaran melalui peningkatan stok kapital yang ada. Selanjutnya, peningkatan stok kapital ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output atau melakukan kegiatan produksi yang menambah aktivitas perekonomian daerah tersebut. Jika demikian, dapat dikatakan bahwa kapital akan meningkatkan produktivitas perekonomian wilayah. Kondisi yang demikian didukung pendapat Todaro dan Smith (2006) bahwa pertumbuhan ekonomi negara atau wilayah sangat tergantung dari tingkat akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang dialokasikan dalam perekonomian. Artinya semakin tinggi akumulasi kapital maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi dan semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Jumlah investasi di suatu daerah ditentukan oleh situasi dan kondisi ekonomi, iklim usaha, birokrasi perijinan, dan kondisi bisnis. Selain itu investasi juga masih banyak dipengaruhi oleh iklim ketenagakerjaan dan jaminan keamanan. Dengan demikian besarnya nilai investasi didominasi oleh keputusan dunia usaha yang dalam praktiknya mendasarkan pada alasan ekonomi dan mekanisme pasar. Hal ini terjadi karena investasi pada dasarnya merupakan 4 barang modal yang masuk ke daerah yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa investasi merupakan fungsi dari faktor-faktor ekonomi. Pada era otonomi daerah, sesuai dengan peraturan perundangan ada dua hal yang diperankan oleh pemerintah daerah dalam kaitannya dengan investasi. Pertama, pemerintah daerah dapat menciptakan iklim kondusif yang dapat menarik invetasi dengan pemberian insentif dan disinsentif finansial dalam kaitannya dengan investasi. Kedua adalah pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan prima yang memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah tersebut. Kedua hal ini diharapkan akan memperbaiki jumlah dan struktur investasi di daerah. Jika demikian maka perlu kiranya ditelaah tentang besaran pengaruh investasi terhadap kinerja perekonomian di daerah. Oleh karena itu, dengan dua peran ini sangat memungkinkan bagi daerah untuk berperan dalam peningkatan investasi di daerahnya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai daerah otonom. Berbeda dengan investasi di daerah, pengeluaran pemerintah yang direpresentasikan dengan belanja daerah merupakan jumlah uang yang digunakan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan pemerintah daerah. Pada era otonomi daerah, kebijakan ini diperoleh melalui proses pelibatan seluruh pemangku kepentingan pembangunan, yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang prosesnya melalaui proses politik, teknokratik, partisipatif, top down dan bottom up (Undang-Undang No. 25 tahun 2004). Hal ini 5 didasarkan pada argumen bahwa kebijakan pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan publik yang secara langsung mempengaruhi kepentingan masyarakat. Pengeluaran pemerintah daerah dicatat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah. APBD itu sendiri pada dasarnya merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, APBD ini dalam penyusunannya dibahas dan disetujui bersama antara pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa APBD merupakan kebijakan publik yang harus memenuhi prinsip akuntabilitas, efisien, efektif, profesional, demokratis, dan partisipatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelibatan seluruh pemangku kepentingan publik merupakan suatu keharusan dalam penyusunan dokumen APBD. Besarnya pengeluaran pemerintah daerah tergantung dari penerimaan daerah. Semakin tinggi penerimaan daerah maka akan semakin tinggi kecenderungan pemerintah daerah dalam alokasi pengeluarannya dan berlaku sebaliknya. Oleh karena itu, daerah yang mempunyai penerimaan yang tinggi cenderung pengeluaran belanjanya juga tinggi. Namun besarnya alokasi belanja per sektor tetap sangat tergantung dari kebijakan pemerintahan daerah yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penerimaan daerah yang merupakan salah satu indikator kinerja perekonomian daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (Undang-Undang No. 33 tahun 2004). Sedangkan penerimaan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan 6 daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jadi komponen yang signifikan mempengaruhi penerimaan daerah disebut dengan kapasitas fiskal yang pada dasarnya adalah PAD dan dana perimbangan. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah akan mempengaruhi besarnya investasi dan pengeluaran pemerintah. Dalam hal investasi, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola perijinan dan mewujudkan iklim kondusif di daerahnya guna menarik investasi ke daerah. Dalam hal pengeluaran pemerintah, pemerintah daerah juga mempunyai kewenangan untuk mengelola pengeluaran pemerintah daerah melalui APBD. Dengan demikian maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk memberi fasilitas dan mengatur regulasi investasi serta mengelola pengeluaran pemerintah daerah. Berdasarkan pada uraian dan kondisi obyektif di lapangan tentang kinerja investasi dan pengeluaran pemerintah dalam kontek perekonomian daerah serta beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan terdahulu maka perlu dilakukan studi yang berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah. Indikator kinerja perekonomian daerah dalam hal ini bisa didekati dengan kondisi kapasitas fiskal daerah, besarnya PDRB, menurunnya jumlah penduduk miskin, meningkatnya penyerapan tenaga kerja, dan meningkatnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 1.2. Perumusan Masalah Tujuan dari desentralisasi fiskal dan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keberhasilan dari kebijakan ini adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat 7 diperlukan kinerja perekonomian daerah yang kondusif dan berkualitas. Kinerja perekonomian yang demikian ditandai dengan berbagai indicator, yaitu antara lain meningkatnya kinerja fiskal daerah yang menuju ke arah positif, meningkatnya nilai PDRB, meningkatnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menurunnya jumlah penduduk miskin, dan meningkatnya jumlah orang yang bekerja. Pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kinerja perekonomian daerah. Untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi komponen utama dari sisi permintaan adalah nilai investasi dan pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu investasi dan pengeluaran pemerintah mempunyai peran yang strategis dalam peningkatan kinerja perekonoian daerah. Investasi dan pengeluaran pemerintah akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan membuka lapangan kerja yang berarti akan mengurangi tingkat pengangguran. Dengan tingkat pengangguran yang berkurang mengandung arti masyarakat akan mempunyai pendapatan yang cukup karena mereka memperoleh pekerjaan. Dengan kondisi ini berarti jumlah penduduk yang tergolong miskin akan berkurang. Jika indikator ini bergerak ke arah yang membaik maka angka IPM pada daerah tersebut akan meningkat. Dengan kata lain pengaruh investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah menjadi relevan untuk diteliti dan dikaji guna menjadi salah satu masukan bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan daerah yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 8 Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang muncul dalam konteks investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah. Pertanyaan tersebut antara lain : 1. Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah apakah provinsi-provinsi di wilayah Indonesia Timur dan Barat mempunyai ciri-ciri yang sama dalam hal kinerja perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya sehingga dapat dikelompokkan dengan basis spasial. 2. Seberapa besar kontribusi investasi terhadap kinerja perekonomian daerah yang diwakili oleh indikator kinerja fiskal daerah, nilai PDRB, angka IPM, menurunnya jumlah penduduk miskin, dan peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja pada suatu sektor. 3. Seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah yang diwakili oleh indikator kinerja fiskal daerah, nilai PDRB, angka IPM, menurunnya jumlah penduduk miskin, dan penyerapan tenaga kerja. 4. Bagaimana arah hubungan variabel yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah yang antara lain terdiri dari investasi, pengeluaran pemerintah daerah, kinerja fiskal daerah, nilai PDRB, menurunnya jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan IPM. 5. Bagaimana hasil ramalan pengaruh investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah untuk tahun yang akan datang. Ramalan perekonomian daerah sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan daerah karena sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 25 9 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa pemerintah daerah wajib menyusun dokumen perencanaan pembangunan daerah yang periode waktunya dapat dikelompokkan menjadi perencanaan pembangunan daerah tahunan, lima tahunan, dan dua puluh tahunan yang harus memuat ramalan perencanaan kinerja perekonomian daerah termasuk ramalan kinerja fiskal daerah. Tujuan Penelitian 1.3. Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja perekonomian daerah. Secara khusus tujuan penelitian adalah : 1. Mengkaji perkembangan kinerja perekonomian daerah berbasis spasial yang meliputi investasi, pengeluaran pemerintah daerah, kinerja perekonomian daerah, jumlah penduduk miskin, dan Indek Pembangunan Manusia (IPM) pada era otonomi daerah. 2. Melakukan peramalan nilai dasar investasi, pengeluaran pemerintah daerah, kinerja fiskal, kinerja perekonomian daerah, jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan Indek Pembangunan Manusia (IPM) pada periode 2011-2013. 3. Menganalisis ramalan dampak penerapan berbagai skenario dalam kaitannya dengan meningkatnya investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja fiskal, kinerja perekonomian, jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada periode 2011-2013. 10 1.4. Ruang Lingkup Penelitian 1. Studi ini memfokuskan pada analisis dampak investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap kapasitas fiskal, celah fiskal, nilai PDRB, angka IPM, jumlah penduduk miskin, dan penyerapan tenaga kerja. 2. Data yang digunakan adalah data panel (pooling cross section – time series regression) untuk periode tahun 2003 - 2008 dan provinsi yang digunakan sebagai sampel berjumlah 23 dari 33 provinsi. Provinsi yang tidak digunakan sebagai sampel adalah DKI Jakarta, Bengkulu, Bangka Belitung, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan Provinsi yang digabungkan dalam hal ini ada tiga, yaitu Provinsi Kepulauan Riau dengan Riau, Provinsi Papua Barat dengan Papua, dan Provinsi Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan. 3. Penerimaan dan belanja daerah didekati dengan nomenklatur yang diatur dalam peraturan perundangan tentang kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan peraturan perundangan lainnya. 4. Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini didekati dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang direpresentasikan dengan data yang tersedia dan memenuhi prinsip akuntabilitas. Selanjutnya pengeluaran pemerintah didekati dengan jumlah anggaran pemerintah daerah yang direpresentasikan dengan pengeluaran pemerintah untuk industri, pertanian dan kontruksi. 5. Pendapatan daerah didekati dengan nomenlaklatur yang diatur dalam peraturan perundangan tentang kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah seperti Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan 11 Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan peraturan perundangan yang berlaku yang merupakan turunan dari perundangan tersebut. Data penerimaan daerah diperoleh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 6. Belanja daerah didekati dengan nomenklatur belanja per sektor pembangunan. Jadi belanja per urusan pemerintahan sesuai yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 dikonversikan menjadi belanja per sektor. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada berbagai pihak yang terkait dalam studi ini. Manfaat tersebut sebagai berikut : 1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan kebijakan investasi dan pengeluaran pemerintah dalam pembangunan perekonomian daerah. 2. Hasil penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penyusun kebijakan di pemerintahan daerah terutama dalam penetapan alokasi anggaran pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. 3. Bagi dunia akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi pembanding dan stimulan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan pengaruh investasi dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap 12 kinerja fiskal, kinerja perekonomian daerah, jumlah penduduk miskin, penyerapan tenaga kerja, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 1.6. Keterbatasan Penelitian Kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan pemerintahan pada era otonomi daerah berbeda dengan era sebelumnya. Pada era otonomi daerah penyelenggaran pemerintahan daerah lebih desentralistik-partisipatif dari pada sebelumnya yang lebih cenderung sentralistik-birokratis. Dengan demikian terjadi perubahan pada aspek-aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mengingat luasnya aspek otonomi daerah, dalam penelitian ini aspek penyelenggaran pemerintah daerah dibatasi hanya dalam aspek penerimaan daerah baik yang berupa pendapatan asli daerah maupun penerimaan transfer dari pemerintah pusat berupa dana alokasi umum, dana alokasi khusus, bagi hasil pajak ,dan bukan pajak. Pada disertasi ini, sektor yang menjadi fokus penelitian adalah sektor pertanian, sektor indsutri, sektor kontruksi, sektor pendidikan, dan sektor kesehatan. Sektor-sektor ini merupakan sektor yang strategis dalam pembangunan perekonomian daerah. Namun dengan perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah, struktur keuangan daerah yang sekarang digunakan adalah pendekatan sektor dengan menggunakan basis urusan. Sejalan dengan hal tersebut maka disertasi ini melakukan konversi dari pendekatan urusan menjadi sektor. Hal ini dimaksudkan agar tetap konsisten dalam penggunaan nomenklatur karena pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 nomenklatur pengelompokan yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah kelompok urusan bukan kelompok sektor. Selanjutnya karena tidak lengkapnya 13 data investasi yang riil maka data investasi yang digunakan adalah data Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB ) yang merupakan investasi dari pemerintah dan swasta. Dengan data dan alat analisis yang digunakan, disertasi ini mempunyai beberapa keterbatasan, yaitu : (1) data investasi yang digunakan dengan pendekatan PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) sehingga data tersebut masih mencakup investasi pemerintah, (2) data pengeluaran pemerintah direpresentasikan dengan jumlah belanja pemerintah daerah. Dalam kontek ini digunakan jumlah belanja pemerintah daerah dengan pendekatan urusan pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan (3) disertasi ini tidak menghitung jumlah dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang sesungguhnya pelaksanaan kegiatannya berada di daerah. Dengan demikian, maka diduga perekonomian daerah yang sesungguhnya tidak tercakup.