BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau Lumpur
Kerbau lumpur yang termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis, Genus
Bubalus, Subfamili Bovinae, Famili Bovidae, Subordo Ruminantia, Ordo
Artiodactyla, Subkelas Theria, Kelas Mamalia, Filum Chordat, dan Kingdom
Animalia (Roth 2004), merupakan hasil domestikasi dari kerbau Bubalus arnee
(Borghese & Mazzi 2005). Kerbau yang telah didomestikasi digolongkan atas
swamp buffaloes (kerbau lumpur) dan river buffaloes (kerbau sungai). Perbedaan
diantara keduanya terletak pada jumlah kromosom. Kerbau lumpur memiliki
jumlah kromosom 48 dan kerbau sungai memiliki jumlah kromosom 50
(Guimaraes et al. 1995).
Sebanyak 95% ternak kerbau di Indonesia merupakan kerbau lumpur dan
sisanya 5% merupakan kerbau sungai. Secara umum kerbau memiliki
karakteristik morfologi seperti bentuk tanduk melingkar ke belakang, warna kulit
abu gelap, ubun-ubun dominan di bagian kepala, warna kaki putih, memiliki garis
kalung ganda, dan kerbau betina mempunyai kecenderungan ukuran tubuh lebih
besar dibandingkan dengan kerbau jantan (Robbani et al. 2010). Kerbau memiliki
tinggi tubuh 122 cm, panjang tubuh 144 cm, dan lingkar dada 178 cm
(Triwulanningsih et al. 2004). Bobot tubuh kerbau liar jantan bisa mencapai 1200
kg, kerbau betina 800 kg (Roth 2004).
Gambar 1 Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) (Robbani et al. 2010).
Kerbau lumpur dan kerbau sungai memiliki habitat yang berbeda walaupun
masih dalam satu spesies (Bubalus bubalis). Berdasarkan habitat, kerbau sungai
lebih senang berkubang di sungai, sedangkan kerbau lumpur lebih suka berkubang
dalam lumpur, rawa-rawa, dan air yang menggenang (Bhattacharya 1993).
4
Kerbau memiliki sedikit kelenjar keringat sehingga rentan terhadap stres
akibat suhu yang terlalu tinggi. Joseph (1996) menyatakan bahwa kegiatan
berkubang di dalam sungai atau rawa dapat menjaga termoregulasi dan
osmolalitas. Selain itu, kegiatan berkubang pada kerbau dapat mengurangi
kecepatan penguapan tubuh dan melindungi dari gigitan serangga (Roth 2004).
Table 1 Data biologis kerbau (Smith & Soesanto 1988)
Lama hidup
Berat dewasa
Berat lahir
Suhu (rektal)
Pernafasan
Denyut Jantung
Volume Darah
Eritrosit
Leukosit
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
PCV
Hb
20-30 tahun
300-700 kg
25-40 kg
37.4 – 38.7oC
20-23 kali/ menit
55-70 kali/menit
50-55 ml/kg
6.4-11.2 × 106/mm3
7.6-13.8 × 103/mm3
24 – 44 %
43 – 61 %
3 - 12 %
1 – 10%
29 – 44%
9.5 – 16.2 g/ dl
Stres
Stres merupakan kondisi umum yang disebabkan oleh satu atau lebih stresor
yang berasal dari dalam atau luar tubuh (Borell 2001). Stresor merupakan agen
atau stimulus yang mempengaruhi terjadinya stres. Kondisi ini akan membaik
atau menjadi sangat buruk tergantung kemampuan tubuh dalam mengembalikan
homeostasis. Gejala yang sering muncul pada saat stres berupa kegelisahan,
peningkatan denyut jantung, depresi dengan pernafasan yang cepat serta adanya
gerakan pada telinga (Philips 2002).
Stres dapat disebabkan oleh banyak faktor. Fowler (1999) mengelompokkan
beberapa faktor stressor diantaranya: 1) stressor somatic meliputi suara keras,
cahaya, warna yang mencolok, transportasi, panas, dingin, tekanan, efek kimia
dan obat; 2) stresor psikologik meliputi perkelahian, teror dan restraint; 3) stresor
tingkah laku meliputi populasi kandang yang padat, teritori, dan hirarki. Selain itu,
stres dapat disebabkan oleh malnutrisi, toksin, parasit, agen infeksius,
pembedahan, dan imobilisasi fisik atau kimia. Diantara semua penyebab stres,
stres trasnsportasi merupakan yang sangat umum terjadi pada hewan konsumsi
seperti sapi, kambing, babi dan domba. Transportasi yang ekonomis dan umum
digunakan adalah melalui jalur darat, tapi cara ini menyebabkan tingginya tingkat
stres pada hewan. Stres transportasi dapat dipicu oleh beberapa stresor diantaranya
cara penanganan, pencampuran dengan hewan lain, perubahan lingkungan, proses
pengangkatan dan penurunan hewan dari truk yang kurang baik, rangsangan
(cahaya, suara, getaran), kekurangan nutrisi dan hipertermia (Philips 2002).
Keadaan stres diawali dengan adanya rangsangan tubuh terhadap adanya
suatu ancaman yang berasal dari dalam maupun luar tubuh. Rangsangan ini
5
kemudian akan diterima oleh reseptor dan akan disalurkan ke beberapa sistem
tubuh seperti sistem saraf pusat, endokrin, dan imun (Borell 200) (Gambar 2).
Gambar 2 Skema Pengaruh stres terhadap sistem syaraf, endokrin dan sistem
imun (Butcher & Lord 2004).
Respon stres melibatkan sistem saraf pusat, sistem endokrin dan sistem
imun. Sistem endokrin yang mengatur adalah hipotalamus dan hipofise. Respon
sistem saraf dalam menghadapi stres yaitu dengan rangsangan dari sistem limbik
ke medulla adrenal untuk mensekresikan katekolamin sebagai respon akut.
Katekolamin berperan sebagai respon aktif tubuh untuk mempersiapkan diri
dalam mengatasi stres, dengan cara meningkatkan curah jantung dan
meningkatkan tekanan darah (Borell 2001).
Adanya stres akan merangsang hipotalamus untuk mengaktifkan sekresi
corticotrophin releasing hormone (CRH). Pelepasan CRH ini akan merangsang
hipofise anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH).
Pelepasan ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan
glukokortikoid berupa kortisol dan kortikosteron. Saat tubuh mengalami stres akut,
akan terjadi peningkatan glukokortikoid 20 kali normal setelah 5-20 menit
datangnya rangsangan (West et al. 2007). Efek dari kortisol berupa kalorinergik,
peningkatan pembentukan energi, peningkatan respon simpatis, penurunan
akumulasi sel darah putih dan reaksi peradangan, dan peningkatan sekresi asam
lambung.
Tubuh dalam menghadapi kondisi stres, secara fisiologis akan merespon
melalui dua cara yaitu :1) Local Adaptation Syndrome (LAS) dengan cara
memusatkan terhadap area trauma sehingga penyebaran inflamasi dapat dihambat
dan proses penyembuhan dapat berlangsung cepat (Greenberg 2002); 2) dengan
General Adaptation Syndrome (GAS) yang merupakan respon fisiologis dari
seluruh tubuh terhadap stres. Sistem yang terlibat adalah sistem saraf otonom dan
sistem endokrin. Respon GAS terdiri dari beberapa fase yaitu: 1) Fase peringatan,
6
seperti pengaktifan epineprin yang mengakibatkan peningkatan volume darah
yang pada akhirnya menyiapkan invidu untuk bereaksi. Selain itu, dilepaskan juga
glukokortikoid yang dapat meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk
menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi. Jika terjadi kegagalan pada respon
ini, maka akan berlanjut ke fase selanjutnya yaitu fase kehabisan tenaga; 2) Fase
exhaustion (kehabisan tenaga), dimana tubuh tidak memiliki cadangan energi.
Kegagalan dalam mempertahankan cadangan energi ini akan berdampak pada
kematian suatu individu (Greenberg 2002).
Darah
Darah merupakan media cair dengan suspensi sel yang diproduksi oleh
jaringan hematopoietika yang disirkulasikan ke seluruh tubuh dari jantung melalui
sistem arteri dan vena. Volume darah mamalia berkisar antara 7-8% dari berat
badan (Dellman & Brown 1992). Darah terdiri atas 55% plasma (berupa air dan
sisanya berupa fraksi-fraksi albumin, globulin, dan fibrinogen) dan 45% fase
padat (berupa eritrosit, leukosit, dan trombosit) (Ganong 2002).
Darah, di dalam sirkulasi, berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jaringan
terhadap nutrien, membawa produk-produk yang tidak berguna, menghantarkan
hormon, serta transpor O2 dan CO2 (Guyton & Hall 2006). Selain itu darah juga
berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh, dan membantu dalam proses
pembekuan darah. Menurut Colville & Bassert (2008), fungsi darah adalah
sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan.
Sel Darah Putih (leukosit)
Leukosit atau sel darah putih berasal dari kata Yunani yaitu leukos (putih)
dan kytos (sel), merupakan unit yang aktif dari suatu sistem pertahanan tubuh,
yang sebagian dibentuk di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan
limfe (Guyton & Hall 2006). Leukosit merupakan komponen darah yang
berperan dalam memproduksi sistem imun tubuh dan akan ditranspor secara
khusus ke jaringan yang mengalami peradangan. Leukosit dapat meninggalkan
pembuluh darah dan memasuki jaringan tubuh melalui kapiler dengan proses yang
dinamakan diapedesis. Dellman & Brown (1992) membagi leukosit ke dalam dua
kelompok yakni granulosit dan agranulosit.
Leukosit jenis granulosit merupakan populasi leukosit dengan jumlah
terbanyak dari jumlah leukosit total (Swenson 1997). Leukosit granulosit
memiliki granul yang khas dan jelas dalam sitoplasma. Granul merupakan
komponen enzim membran lipid yang berfungsi melakukan proses endositosis.
Inti sel granulosit yang masih muda berbentuk ―sepatu kuda‖, yang nantinya akan
berubah menjadi multilobuler dengan meningkatnya umur sel (Ganong 2002).
Leukosit jenis granulosit dapat dibedakan berdasarkan afinitasnya terhadap
zat warna. Eosinofil mempunyai sitoplasma berwarna merah cerah, basofil
mempunyai granul biru gelap, dan netrofil dengan afinitas granul rendah terhadap
zat warna sehingga granulnya relatif cerah dan bening (Swenson 1997).
Leukosit agranulosit merupakan jenis leukosit yang tidak memiliki granul
yang khas dalam sitoplasma. Ada dua jenis leukosit dari kelompok ini yaitu
limfosit dan monosit. Jenis leukosit ini tidak memiliki butir sitoplasma spesifik,
namun demikian mengandung granul azurofil yang tidak spesifik, yang berfungsi
7
sebagai lisosom. Leukosit jenis ini ditandai dengan adanya inti yang lonjong,
bulat dengan lekuk khas (Dellman & Brown 1992).
Pembentukan Leukosit
Pembentukan leukosit granulosit dan leukosit jenis monosit terjadi dalam
sumsum tulang pada saat dewasa. Pembentukan leukosit dimulai saat diferensiasi
dini dari sel stem hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem (Guyton
& Hall 2006). Proses pembentukan sel darah putih dapat dilihat pada Gambar 3
dengan dua jalur yang berbeda yaitu dengan jalur mielositik yang dimulai dengan
mieloblas dan jalur limfositik yang dimulai dengan limfoblas. Mieloblas akan
berkembang menjadi promielosit, lalu mielosit, dimana mielosit ini masingmasing akan berdiferensiasi menjadi mielosit neutrofil, mielosit eosinosil, dan
mielosit basofil. Mielosit kemudian berkembang lagi menjadi metamielosit, sel
muda dan kemudian sel dewasa.Tahap perkembangan monosit adalah monoblas,
promonosit, monosit, dan selanjutnya akan menjadi makrofag di dalam jaringan
(Ganong 2002).
Limfosit berasal dari sel stem dalam folikel limfatik pada nodus limfe,
limpa, timus, kemudian berkembang menjadi limfoblas, prolimfosit, hingga tahap
limfosit. Sel-sel yang telah terbentuk diangkut dalam darah menuju berbagai
bagian tubuh. Secara umum fungsi leukosit adalah menyediakan pertahanan yang
cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius (Guyton & Hall 2006).
Gambar 3 Pembentukan leukosit di sumsum tulang dan organ limfoid
(Department of Health and Human Services 2006).
Peningkatan jumlah leukosit total dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti faktor fisiologis dan faktor patologis. Faktor fisiologis pada umumnya
disebabkan oleh pertambahan umur, status kesehatan, dan kondisi stres (Gyton &
Hall 2006). Peningkatan jumlah leukosit total secara fisiologis dapat disebabkan
oleh adanya peningkatan jumlah neutrofil dan atau limfosit didalam sirkulasi,
peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stres
(Jain 1993).
Peningkatan jumlah leukosit akibat faktor patologis disebabkan oleh
infeksi agen penyakit, perubahan suhu dan kelembaban lingkungan. Selain itu
peningkatan jumlah leukosit total juga dapat terjadi pada sirosis hepatis, anemia
8
hemolitik, penyakit parasit, stres karena pembedahan, gangguan emosi dan dapat
pula disebabkan karena penggunaan obat-obatan seperti aspirin, epinefrin, dan
tetrasiklin (Sutedjo 2006).
Penurunan jumlah leukosit total dalam sirkulasi darah dapat terjadi pada
penderita infeksi tertentu terutama virus, Sistemik Lupus Eritematosus (SLE),
penyakit hemopoietik dan penggunaan obat tertentu seperti asitaminofen,
diuretika, dan antibiotika seperti penisilin, kloramfenikol (Sutedjo 2006).
Menurunnya jumlah leukosit total dapat terjadi pada penggunaan obat-obatan
tertentu, infeksi virus, dan adanya penurunan produksi sel limfoid (Stockham &
Scott 2008).
Neutrofil
Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear, karena memiliki inti
dengan berbagai jenis bentuk dan segmen. Neutrofil berupa sel bundar dengan
diameter 12 µm, memiliki sitoplasma yang bergranul halus dan di tengahnya
terletak nukleus bersegmen yang terdiri dari 2-5 lobus (Tizard 2000). Neutrofil
dewasa yang berada dalam peredaran darah perifer memiliki bentuk inti yang
terdiri dari dua sampai lima segmen, sedangkan neutrofil muda (neutrofil band)
akan memiliki bentuk inti seperti ladam kuda (Colville & Bassert 2008).
Gambar 4 Neutrofil kerbau lumpur betina (Amanda 2012)
Netrofil diproduksi di dalam sumsum tulang. Pelepasan neutrofil dipengarui
oleh neutrophyl releasing factor (NRF). Neutrofil akan segera mati setelah
melakukan fagositosis terhadap benda asing dan akan dicerna oleh enzim lisosom.
Kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepaskan asam
hidrolasi dan asam lisosom yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe
akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan
merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan
infeksi (Dellman & Brown 1992).
Neutrofil dikenal sebagai garis pertahanan pertama (first line of defence)
(Junqueira & Caneiro 2005). Granul neutrofil mengandung enzim yang dapat
menghancurkan bakteri maupun virus yang sedang difagosit. Granul ini sering
disebut dengan lisosom (Colville & Bassert 2008). Selain itu neutrofil juga
berperan dalam memulai dan membatasi besaran dan durasi dari proses
peradangan akut (Guyton & Hall 2006).
Peningkatan neutrofil dalam sirkulasi darah dapat terjadi karena proses
biologis tubuh, induksi kortikosteroid, peradangan dan neoplasia (Raskin 2000).
Induksi kortikosteroid baik secara endogenous maupun eksogenous akan diikuti
dengan peningkatan mobilisasi neutrofil, perpanjangan hidup neutrofil, dan
9
penghancuran limfosit sehingga terjadi peningkatan rasio neutrofil/limfosit (Kim
et al. 2005).
Penurunan jumlah neutrofil dalam sirkulasi dapat terjadi karena faktor
kongenital, penyakit infeksius, keracunan, mieloptisis dan irradiasi (Raskin 2000).
Penurunan jumlah neutrofil juga dapat terjadi pada kasus leukemia,
agranulositosis, anemia aplastik dan anemia defisiensi besi (Sutedjo 2006).
Basofil
Basofil adalah sel mieloid dengan jumlah paling sedikit di dalam sirkulasi
darah. Persentase basofil berkisar antara 0.5–1.5% dari seluruh jumlah leukosit
total dalam sirkulasi darah. Diameter antara 10-12 µm dengan inti terdiri dari 2
gelambir dengan bentuk tidak teratur. Basofil memiliki granul basofilik gelap
(biru), tetapi juga sangat bervariasi pada tiap spesies (McCurnin & Bassert 2006).
Basofil di dalam sirkulasi darah memiliki fungsi yang sama dalam beberapa
reaksi alergi, karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi yaitu
Imunoglobulin E (IgE) yang cenderung melekat pada sel mast dan basofil (Guyton
& Hall 2006). Perbedaan antara sel mast dengan basofil yaitu : 1) sel mast
ditemukan pada jaringan dan tidak bermigrasi ke peredaran darah, sedangkan
basofil tidak ditemukan di dalam jaringan, dan 2) ukuran sel mast lebih besar
dibandingkan dengan basofil, memiliki granul sitoplasma yang lebih banyak dan
granul tidak larut air (Colville & Bassert 2008).
Basofil dan sel mast sangat berperan pada beberapa tipe reaksi alergi. Hal
ini disebabkan karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu IgE
(Imunoglobulin E), mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel
mast dan basofil (Guyton & Hall 2006). ImunoglobulinE memiliki bagian Fc yang
unik yang memungkinkannya untuk berikatan dengan sel jaringan tertentu
terutama sel mast dan basofil. Bersama-sama dengan antigen, IgE menyebabkan
keluarnya zat vasoaktif dari sel mast dan basofil (Tizard 2000). Basofil memiliki
beberapa fungsi penting sebagai mediator aktifitas perbarahan dan alergi, ikut
berperan dalam metabolisme trigliserida, dan memiliki reseptor imunoglobulin E
(IgE) serta imunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi (Dharmawan
2002). Basofil mempunyai fungsi utama dalam membangkitkan reaksi
hipersensitifitas dengan sekresinya yang bersifat vasoaktif.
Eosinofil
Eosinofil mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan
neutrofil. Persentase eosinofil dalam sirkulasi darah sekitar 2% dari seluruh
jumlah leukosit total. Eosinofil berdiameter antara 10-15μm, dengan inti
bergelambir dua, sitoplasma dikelilingi granul asidofil yang cukup besar
berukuran antara 0.5–1.0 µm dan jangka hidup 3-5 hari (Jungueira & Caneiro
2005). Keberadaan eosinofil di mukosa saluran gastrointestinal, saluran
pernafasan dan saluran kemih berfungsi dalam mempertahankan serangan
terhadap berbagai parasit (Ganong 2002).
10
Gambar 5 Eosinofil kerbau lumpur betina (Amanda 2012)
Eosinofil dibentuk di dalam sumsum tulang, bersifat sangat motil. Secara
umum fungsi eosinofil dalam sistem pertahanan tubuh tidak sebanyak neutrofil.
Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah besar jika terjadi infeksi oleh parasit.
Eosinofil memiliki kemampuan melawan parasit cacing, dan bersamaan dengan
basofil atau sel mast sebagai mediator peradangan dan berpotensi merusak
jaringan inang (Weiss & Wardrop 2010). Eosinofil adalah sel multifungsi yang
memegang peranan fisiologis, dan berfungsi melakukan fagositosis selektif
terhadap kompleks antigen dan antibodi. Eosinofil tidak lama berada di peredaran
darah dan akan bermigrasi dan tinggal di jaringan seperti kulit, paru-paru dan usus
halus (Colville & Bassert 2008).
Eosinofil bekerja dengan melekatkan diri pada parasit melalui molekul
permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit
yang berukuran jauh lebih besar. Eosinofil melakukan proses tersebut melalui
beberapa cara, yaitu: 1) dengan enzim hidrolitik dari granul yang dimodifikasi
lisosom; 2) melepaskan bentuk oksigen yang sangat reaktif dan sangat mematikan
untuk parasit; 3) melepaskan polipeptida yang sangat larvasidal (Guyton & Hall
2006).
Limfosit
Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah
dominan pada ruminansia dan babi, dibandingkan pada karnivora. Berdasarkan
ukuran sel, dapat dibedakan adanya limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit
kecil berdiameter antara 6-9 µm, inti besar dan kuat mengambil zat warna,
dikelilingi sedikit sitoplasma yang berwarna biru pucat. Limfosit besar
berdiameter 12-15 µm, memiliki lebih banyak sitoplasma dibandingkan dengan
limfosit kecil (Junqueira & Caneiro 2005).
Limfosit memiliki fungsi utama dalam memproduksi antibodi sebagai
respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 2000). Sebagian
besar sel limfosit berada pada jaringan limfoid dan akan bersirkulasi kembali
secara konstan ke pembuluh darah (Colville & Bassert 2008). Beberapa limfosit
dibentuk di sumsum tulang, tapi sebagian besar dibentuk di dalam kelenjar limfe,
timus dan limpa (Ganong 2002). Berdasarkan fungsi, limfosit dapat digolongkan
menjadi dua yaitu limfosit B dan limfosit T. Sel limfosit B akan berdiferensiasi
menjasi sel plasma yang berperan dalam respon imunitas humoral untuk
memproduksi antibodi, sedangkan sel limfosit T akan berperan dalam respon
imunitas seluler (Junqueira & Caneiro 2005).
11
Gambar 6 Limfosit kerbau lumpur betina (Amanda 2012)
Peningkatan jumlah limfosit dapat terjadi pada leukemia limfositik, infeksi
virus, infeksi kronik, dan hipofungsi adrenokortikal (Sutedjo 2006). Raskin (2000),
memaparkan bahwa jumlah limfosit akan mengalami peningkatan pada saat
adanya induksi epinefrin, dan neoplasia.
Penurunan jumlah limfosit dapat terjadi karena induksi kortikosteroid,
penyakit infeksius, kerusakan pada sistem limfatik, kongenital dan mastositosis
(Raskin 2000). Penurunan jumlah limfosit juga dapat terjadi pada penderita
kanker, leukemia mieloid, hiperfungsi adrenokortikal, anemia aplastik,
agranulositosis, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik (Sutedjo 2006).
Monosit
Monosit merupakan leukosit yang memiliki ukuran paling besar dengan
diameter 15-20 µm. Persentase di dalam sirkulasi darah berkisar antara 3-12%
dari seluruh jumlah leukosit total. Sitoplasma pada monosit lebih banyak
dibandingkan dengan limfosit, dengan warna biru abu-abu pucat. Inti monosit
berbentuk lonjong, seperti ginjal atau mirip tapal kuda dengan lekuk yang cukup
dalam dan sangat jelas. Kromatin inti berwarna lebih pucat dibandingkan dengan
limfosit, dengan inti satu sampai tiga nukleolus, akan tetapi pada ulas yang
diwarnai tidak tampak. Selain itu pada monosit sering tampak adanya granul
azurofil halus seperti debu (Dellman & Brown 1992).
Gambar 7 Monosit kerbau lumpur betina (Amanda 2012)
Monosit dibentuk di sumsum tulang, dan setelah dewasa akan bermigrasi
dari aliran darah ke jaringan perifer dengan proses diapedesis. Monosit yang ada
di jaringan dinamakan makrofag. Makrofag merupakan sel yang sangat aktif pada
jaringan saat diperlukan. Monosit dan makrofag memiliki kemampuan fagositik
yang lebih besar dari limfosit. Jangka hidup makrofag lebih panjang dari neutrofil,
sehingga ia sering berperan dalam infeksi kronis (Colville & Bassert 2008).
12
Fungsi monosit diantaranya; 1) membersihkan sel debris yang dihasilkan
dari proses peradangan atau infeksi; 2) memproses beberapa antigen yang
menempel pada membran sel limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat
mudah dicerna oleh monosit dan makrofag; 3) menghancurkan zat asing yang
masuk kedalam tubuh (Colville & Bassert 2008).
Rasio Neutrofil/Limfosit (Rasio N/L)
Leukosit akan dimobilisasi secara intensif selama periode stres (cekaman)
akut melalui aktivitas katekolamin dan glukokortikoid dari kelenjar adrenal. Rasio
N/L dapat membantu untuk mengevaluasi apakah hewan berada dalam kondisi
tercekam, dan apakah cekaman tersebut bersifat akut atau kronis (Maheshwari et
al. 2008). Menurut Kannan et al. (2000), indeks stres dapat ditentukan dengan
melihat rasio neutrofil/limfosit (N/L). Hewan yang mengalami stres transportasi
akan memiliki rasio N/L yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan normal.
Maheshwari et al. (2008) melaporkan bahwa rasio N/L merupakan indikator yang
cukup baik untuk mengevaluasi respon cekaman suatu individu. Nilai rasio N/L
pada domba periangan yang melebihi 1.5 mengindikasikan bahwa hewan
mengalami stres (Kannan et al. 2000).
Download