3 TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Lumpur Kerbau lumpur yang termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis, Genus Bubalus, Subfamili Bovinae, Famili Bovidae, Subordo Ruminantia, Ordo Artiodactyla, Subkelas Theria, Kelas Mamalia, Filum Chordat, dan Kingdom Animalia (Roth 2004), merupakan hasil domestikasi dari kerbau Bubalus arnee (Borghese & Mazzi 2005). Kerbau yang telah didomestikasi digolongkan atas swamp buffaloes (kerbau lumpur) dan river buffaloes (kerbau sungai). Perbedaan diantara keduanya terletak pada jumlah kromosom. Kerbau lumpur memiliki jumlah kromosom 48 dan kerbau sungai memiliki jumlah kromosom 50 (Guimaraes et al. 1995). Sebanyak 95% ternak kerbau di Indonesia merupakan kerbau lumpur dan sisanya 5% merupakan kerbau sungai. Secara umum kerbau memiliki karakteristik morfologi seperti bentuk tanduk melingkar ke belakang, warna kulit abu gelap, ubun-ubun dominan di bagian kepala, warna kaki putih, memiliki garis kalung ganda, dan kerbau betina mempunyai kecenderungan ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan kerbau jantan (Robbani et al. 2010). Kerbau memiliki tinggi tubuh 122 cm, panjang tubuh 144 cm, dan lingkar dada 178 cm (Triwulanningsih et al. 2004). Bobot tubuh kerbau liar jantan bisa mencapai 1200 kg, kerbau betina 800 kg (Roth 2004). Gambar 1 Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) (Robbani et al. 2010). Kerbau lumpur dan kerbau sungai memiliki habitat yang berbeda walaupun masih dalam satu spesies (Bubalus bubalis). Berdasarkan habitat, kerbau sungai lebih senang berkubang di sungai, sedangkan kerbau lumpur lebih suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa, dan air yang menggenang (Bhattacharya 1993). 4 Kerbau memiliki sedikit kelenjar keringat sehingga rentan terhadap stres akibat suhu yang terlalu tinggi. Joseph (1996) menyatakan bahwa kegiatan berkubang di dalam sungai atau rawa dapat menjaga termoregulasi dan osmolalitas. Selain itu, kegiatan berkubang pada kerbau dapat mengurangi kecepatan penguapan tubuh dan melindungi dari gigitan serangga (Roth 2004). Table 1 Data biologis kerbau (Smith & Soesanto 1988) Lama hidup Berat dewasa Berat lahir Suhu (rektal) Pernafasan Denyut Jantung Volume Darah Eritrosit Leukosit Netrofil Limfosit Monosit Eosinofil PCV Hb 20-30 tahun 300-700 kg 25-40 kg 37.4 – 38.7oC 20-23 kali/ menit 55-70 kali/menit 50-55 ml/kg 6.4-11.2 × 106/mm3 7.6-13.8 × 103/mm3 24 – 44 % 43 – 61 % 3 - 12 % 1 – 10% 29 – 44% 9.5 – 16.2 g/ dl Stres Stres merupakan kondisi umum yang disebabkan oleh satu atau lebih stresor yang berasal dari dalam atau luar tubuh (Borell 2001). Stresor merupakan agen atau stimulus yang mempengaruhi terjadinya stres. Kondisi ini akan membaik atau menjadi sangat buruk tergantung kemampuan tubuh dalam mengembalikan homeostasis. Gejala yang sering muncul pada saat stres berupa kegelisahan, peningkatan denyut jantung, depresi dengan pernafasan yang cepat serta adanya gerakan pada telinga (Philips 2002). Stres dapat disebabkan oleh banyak faktor. Fowler (1999) mengelompokkan beberapa faktor stressor diantaranya: 1) stressor somatic meliputi suara keras, cahaya, warna yang mencolok, transportasi, panas, dingin, tekanan, efek kimia dan obat; 2) stresor psikologik meliputi perkelahian, teror dan restraint; 3) stresor tingkah laku meliputi populasi kandang yang padat, teritori, dan hirarki. Selain itu, stres dapat disebabkan oleh malnutrisi, toksin, parasit, agen infeksius, pembedahan, dan imobilisasi fisik atau kimia. Diantara semua penyebab stres, stres trasnsportasi merupakan yang sangat umum terjadi pada hewan konsumsi seperti sapi, kambing, babi dan domba. Transportasi yang ekonomis dan umum digunakan adalah melalui jalur darat, tapi cara ini menyebabkan tingginya tingkat stres pada hewan. Stres transportasi dapat dipicu oleh beberapa stresor diantaranya cara penanganan, pencampuran dengan hewan lain, perubahan lingkungan, proses pengangkatan dan penurunan hewan dari truk yang kurang baik, rangsangan (cahaya, suara, getaran), kekurangan nutrisi dan hipertermia (Philips 2002). Keadaan stres diawali dengan adanya rangsangan tubuh terhadap adanya suatu ancaman yang berasal dari dalam maupun luar tubuh. Rangsangan ini 5 kemudian akan diterima oleh reseptor dan akan disalurkan ke beberapa sistem tubuh seperti sistem saraf pusat, endokrin, dan imun (Borell 200) (Gambar 2). Gambar 2 Skema Pengaruh stres terhadap sistem syaraf, endokrin dan sistem imun (Butcher & Lord 2004). Respon stres melibatkan sistem saraf pusat, sistem endokrin dan sistem imun. Sistem endokrin yang mengatur adalah hipotalamus dan hipofise. Respon sistem saraf dalam menghadapi stres yaitu dengan rangsangan dari sistem limbik ke medulla adrenal untuk mensekresikan katekolamin sebagai respon akut. Katekolamin berperan sebagai respon aktif tubuh untuk mempersiapkan diri dalam mengatasi stres, dengan cara meningkatkan curah jantung dan meningkatkan tekanan darah (Borell 2001). Adanya stres akan merangsang hipotalamus untuk mengaktifkan sekresi corticotrophin releasing hormone (CRH). Pelepasan CRH ini akan merangsang hipofise anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH). Pelepasan ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid berupa kortisol dan kortikosteron. Saat tubuh mengalami stres akut, akan terjadi peningkatan glukokortikoid 20 kali normal setelah 5-20 menit datangnya rangsangan (West et al. 2007). Efek dari kortisol berupa kalorinergik, peningkatan pembentukan energi, peningkatan respon simpatis, penurunan akumulasi sel darah putih dan reaksi peradangan, dan peningkatan sekresi asam lambung. Tubuh dalam menghadapi kondisi stres, secara fisiologis akan merespon melalui dua cara yaitu :1) Local Adaptation Syndrome (LAS) dengan cara memusatkan terhadap area trauma sehingga penyebaran inflamasi dapat dihambat dan proses penyembuhan dapat berlangsung cepat (Greenberg 2002); 2) dengan General Adaptation Syndrome (GAS) yang merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. Sistem yang terlibat adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Respon GAS terdiri dari beberapa fase yaitu: 1) Fase peringatan, 6 seperti pengaktifan epineprin yang mengakibatkan peningkatan volume darah yang pada akhirnya menyiapkan invidu untuk bereaksi. Selain itu, dilepaskan juga glukokortikoid yang dapat meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi. Jika terjadi kegagalan pada respon ini, maka akan berlanjut ke fase selanjutnya yaitu fase kehabisan tenaga; 2) Fase exhaustion (kehabisan tenaga), dimana tubuh tidak memiliki cadangan energi. Kegagalan dalam mempertahankan cadangan energi ini akan berdampak pada kematian suatu individu (Greenberg 2002). Darah Darah merupakan media cair dengan suspensi sel yang diproduksi oleh jaringan hematopoietika yang disirkulasikan ke seluruh tubuh dari jantung melalui sistem arteri dan vena. Volume darah mamalia berkisar antara 7-8% dari berat badan (Dellman & Brown 1992). Darah terdiri atas 55% plasma (berupa air dan sisanya berupa fraksi-fraksi albumin, globulin, dan fibrinogen) dan 45% fase padat (berupa eritrosit, leukosit, dan trombosit) (Ganong 2002). Darah, di dalam sirkulasi, berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien, membawa produk-produk yang tidak berguna, menghantarkan hormon, serta transpor O2 dan CO2 (Guyton & Hall 2006). Selain itu darah juga berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh, dan membantu dalam proses pembekuan darah. Menurut Colville & Bassert (2008), fungsi darah adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan. Sel Darah Putih (leukosit) Leukosit atau sel darah putih berasal dari kata Yunani yaitu leukos (putih) dan kytos (sel), merupakan unit yang aktif dari suatu sistem pertahanan tubuh, yang sebagian dibentuk di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe (Guyton & Hall 2006). Leukosit merupakan komponen darah yang berperan dalam memproduksi sistem imun tubuh dan akan ditranspor secara khusus ke jaringan yang mengalami peradangan. Leukosit dapat meninggalkan pembuluh darah dan memasuki jaringan tubuh melalui kapiler dengan proses yang dinamakan diapedesis. Dellman & Brown (1992) membagi leukosit ke dalam dua kelompok yakni granulosit dan agranulosit. Leukosit jenis granulosit merupakan populasi leukosit dengan jumlah terbanyak dari jumlah leukosit total (Swenson 1997). Leukosit granulosit memiliki granul yang khas dan jelas dalam sitoplasma. Granul merupakan komponen enzim membran lipid yang berfungsi melakukan proses endositosis. Inti sel granulosit yang masih muda berbentuk ―sepatu kuda‖, yang nantinya akan berubah menjadi multilobuler dengan meningkatnya umur sel (Ganong 2002). Leukosit jenis granulosit dapat dibedakan berdasarkan afinitasnya terhadap zat warna. Eosinofil mempunyai sitoplasma berwarna merah cerah, basofil mempunyai granul biru gelap, dan netrofil dengan afinitas granul rendah terhadap zat warna sehingga granulnya relatif cerah dan bening (Swenson 1997). Leukosit agranulosit merupakan jenis leukosit yang tidak memiliki granul yang khas dalam sitoplasma. Ada dua jenis leukosit dari kelompok ini yaitu limfosit dan monosit. Jenis leukosit ini tidak memiliki butir sitoplasma spesifik, namun demikian mengandung granul azurofil yang tidak spesifik, yang berfungsi 7 sebagai lisosom. Leukosit jenis ini ditandai dengan adanya inti yang lonjong, bulat dengan lekuk khas (Dellman & Brown 1992). Pembentukan Leukosit Pembentukan leukosit granulosit dan leukosit jenis monosit terjadi dalam sumsum tulang pada saat dewasa. Pembentukan leukosit dimulai saat diferensiasi dini dari sel stem hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem (Guyton & Hall 2006). Proses pembentukan sel darah putih dapat dilihat pada Gambar 3 dengan dua jalur yang berbeda yaitu dengan jalur mielositik yang dimulai dengan mieloblas dan jalur limfositik yang dimulai dengan limfoblas. Mieloblas akan berkembang menjadi promielosit, lalu mielosit, dimana mielosit ini masingmasing akan berdiferensiasi menjadi mielosit neutrofil, mielosit eosinosil, dan mielosit basofil. Mielosit kemudian berkembang lagi menjadi metamielosit, sel muda dan kemudian sel dewasa.Tahap perkembangan monosit adalah monoblas, promonosit, monosit, dan selanjutnya akan menjadi makrofag di dalam jaringan (Ganong 2002). Limfosit berasal dari sel stem dalam folikel limfatik pada nodus limfe, limpa, timus, kemudian berkembang menjadi limfoblas, prolimfosit, hingga tahap limfosit. Sel-sel yang telah terbentuk diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh. Secara umum fungsi leukosit adalah menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius (Guyton & Hall 2006). Gambar 3 Pembentukan leukosit di sumsum tulang dan organ limfoid (Department of Health and Human Services 2006). Peningkatan jumlah leukosit total dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor fisiologis dan faktor patologis. Faktor fisiologis pada umumnya disebabkan oleh pertambahan umur, status kesehatan, dan kondisi stres (Gyton & Hall 2006). Peningkatan jumlah leukosit total secara fisiologis dapat disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah neutrofil dan atau limfosit didalam sirkulasi, peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stres (Jain 1993). Peningkatan jumlah leukosit akibat faktor patologis disebabkan oleh infeksi agen penyakit, perubahan suhu dan kelembaban lingkungan. Selain itu peningkatan jumlah leukosit total juga dapat terjadi pada sirosis hepatis, anemia 8 hemolitik, penyakit parasit, stres karena pembedahan, gangguan emosi dan dapat pula disebabkan karena penggunaan obat-obatan seperti aspirin, epinefrin, dan tetrasiklin (Sutedjo 2006). Penurunan jumlah leukosit total dalam sirkulasi darah dapat terjadi pada penderita infeksi tertentu terutama virus, Sistemik Lupus Eritematosus (SLE), penyakit hemopoietik dan penggunaan obat tertentu seperti asitaminofen, diuretika, dan antibiotika seperti penisilin, kloramfenikol (Sutedjo 2006). Menurunnya jumlah leukosit total dapat terjadi pada penggunaan obat-obatan tertentu, infeksi virus, dan adanya penurunan produksi sel limfoid (Stockham & Scott 2008). Neutrofil Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear, karena memiliki inti dengan berbagai jenis bentuk dan segmen. Neutrofil berupa sel bundar dengan diameter 12 µm, memiliki sitoplasma yang bergranul halus dan di tengahnya terletak nukleus bersegmen yang terdiri dari 2-5 lobus (Tizard 2000). Neutrofil dewasa yang berada dalam peredaran darah perifer memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai lima segmen, sedangkan neutrofil muda (neutrofil band) akan memiliki bentuk inti seperti ladam kuda (Colville & Bassert 2008). Gambar 4 Neutrofil kerbau lumpur betina (Amanda 2012) Netrofil diproduksi di dalam sumsum tulang. Pelepasan neutrofil dipengarui oleh neutrophyl releasing factor (NRF). Neutrofil akan segera mati setelah melakukan fagositosis terhadap benda asing dan akan dicerna oleh enzim lisosom. Kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepaskan asam hidrolasi dan asam lisosom yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi (Dellman & Brown 1992). Neutrofil dikenal sebagai garis pertahanan pertama (first line of defence) (Junqueira & Caneiro 2005). Granul neutrofil mengandung enzim yang dapat menghancurkan bakteri maupun virus yang sedang difagosit. Granul ini sering disebut dengan lisosom (Colville & Bassert 2008). Selain itu neutrofil juga berperan dalam memulai dan membatasi besaran dan durasi dari proses peradangan akut (Guyton & Hall 2006). Peningkatan neutrofil dalam sirkulasi darah dapat terjadi karena proses biologis tubuh, induksi kortikosteroid, peradangan dan neoplasia (Raskin 2000). Induksi kortikosteroid baik secara endogenous maupun eksogenous akan diikuti dengan peningkatan mobilisasi neutrofil, perpanjangan hidup neutrofil, dan 9 penghancuran limfosit sehingga terjadi peningkatan rasio neutrofil/limfosit (Kim et al. 2005). Penurunan jumlah neutrofil dalam sirkulasi dapat terjadi karena faktor kongenital, penyakit infeksius, keracunan, mieloptisis dan irradiasi (Raskin 2000). Penurunan jumlah neutrofil juga dapat terjadi pada kasus leukemia, agranulositosis, anemia aplastik dan anemia defisiensi besi (Sutedjo 2006). Basofil Basofil adalah sel mieloid dengan jumlah paling sedikit di dalam sirkulasi darah. Persentase basofil berkisar antara 0.5–1.5% dari seluruh jumlah leukosit total dalam sirkulasi darah. Diameter antara 10-12 µm dengan inti terdiri dari 2 gelambir dengan bentuk tidak teratur. Basofil memiliki granul basofilik gelap (biru), tetapi juga sangat bervariasi pada tiap spesies (McCurnin & Bassert 2006). Basofil di dalam sirkulasi darah memiliki fungsi yang sama dalam beberapa reaksi alergi, karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi yaitu Imunoglobulin E (IgE) yang cenderung melekat pada sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2006). Perbedaan antara sel mast dengan basofil yaitu : 1) sel mast ditemukan pada jaringan dan tidak bermigrasi ke peredaran darah, sedangkan basofil tidak ditemukan di dalam jaringan, dan 2) ukuran sel mast lebih besar dibandingkan dengan basofil, memiliki granul sitoplasma yang lebih banyak dan granul tidak larut air (Colville & Bassert 2008). Basofil dan sel mast sangat berperan pada beberapa tipe reaksi alergi. Hal ini disebabkan karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu IgE (Imunoglobulin E), mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2006). ImunoglobulinE memiliki bagian Fc yang unik yang memungkinkannya untuk berikatan dengan sel jaringan tertentu terutama sel mast dan basofil. Bersama-sama dengan antigen, IgE menyebabkan keluarnya zat vasoaktif dari sel mast dan basofil (Tizard 2000). Basofil memiliki beberapa fungsi penting sebagai mediator aktifitas perbarahan dan alergi, ikut berperan dalam metabolisme trigliserida, dan memiliki reseptor imunoglobulin E (IgE) serta imunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi (Dharmawan 2002). Basofil mempunyai fungsi utama dalam membangkitkan reaksi hipersensitifitas dengan sekresinya yang bersifat vasoaktif. Eosinofil Eosinofil mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan neutrofil. Persentase eosinofil dalam sirkulasi darah sekitar 2% dari seluruh jumlah leukosit total. Eosinofil berdiameter antara 10-15μm, dengan inti bergelambir dua, sitoplasma dikelilingi granul asidofil yang cukup besar berukuran antara 0.5–1.0 µm dan jangka hidup 3-5 hari (Jungueira & Caneiro 2005). Keberadaan eosinofil di mukosa saluran gastrointestinal, saluran pernafasan dan saluran kemih berfungsi dalam mempertahankan serangan terhadap berbagai parasit (Ganong 2002). 10 Gambar 5 Eosinofil kerbau lumpur betina (Amanda 2012) Eosinofil dibentuk di dalam sumsum tulang, bersifat sangat motil. Secara umum fungsi eosinofil dalam sistem pertahanan tubuh tidak sebanyak neutrofil. Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah besar jika terjadi infeksi oleh parasit. Eosinofil memiliki kemampuan melawan parasit cacing, dan bersamaan dengan basofil atau sel mast sebagai mediator peradangan dan berpotensi merusak jaringan inang (Weiss & Wardrop 2010). Eosinofil adalah sel multifungsi yang memegang peranan fisiologis, dan berfungsi melakukan fagositosis selektif terhadap kompleks antigen dan antibodi. Eosinofil tidak lama berada di peredaran darah dan akan bermigrasi dan tinggal di jaringan seperti kulit, paru-paru dan usus halus (Colville & Bassert 2008). Eosinofil bekerja dengan melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit yang berukuran jauh lebih besar. Eosinofil melakukan proses tersebut melalui beberapa cara, yaitu: 1) dengan enzim hidrolitik dari granul yang dimodifikasi lisosom; 2) melepaskan bentuk oksigen yang sangat reaktif dan sangat mematikan untuk parasit; 3) melepaskan polipeptida yang sangat larvasidal (Guyton & Hall 2006). Limfosit Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah dominan pada ruminansia dan babi, dibandingkan pada karnivora. Berdasarkan ukuran sel, dapat dibedakan adanya limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit kecil berdiameter antara 6-9 µm, inti besar dan kuat mengambil zat warna, dikelilingi sedikit sitoplasma yang berwarna biru pucat. Limfosit besar berdiameter 12-15 µm, memiliki lebih banyak sitoplasma dibandingkan dengan limfosit kecil (Junqueira & Caneiro 2005). Limfosit memiliki fungsi utama dalam memproduksi antibodi sebagai respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 2000). Sebagian besar sel limfosit berada pada jaringan limfoid dan akan bersirkulasi kembali secara konstan ke pembuluh darah (Colville & Bassert 2008). Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang, tapi sebagian besar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa (Ganong 2002). Berdasarkan fungsi, limfosit dapat digolongkan menjadi dua yaitu limfosit B dan limfosit T. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjasi sel plasma yang berperan dalam respon imunitas humoral untuk memproduksi antibodi, sedangkan sel limfosit T akan berperan dalam respon imunitas seluler (Junqueira & Caneiro 2005). 11 Gambar 6 Limfosit kerbau lumpur betina (Amanda 2012) Peningkatan jumlah limfosit dapat terjadi pada leukemia limfositik, infeksi virus, infeksi kronik, dan hipofungsi adrenokortikal (Sutedjo 2006). Raskin (2000), memaparkan bahwa jumlah limfosit akan mengalami peningkatan pada saat adanya induksi epinefrin, dan neoplasia. Penurunan jumlah limfosit dapat terjadi karena induksi kortikosteroid, penyakit infeksius, kerusakan pada sistem limfatik, kongenital dan mastositosis (Raskin 2000). Penurunan jumlah limfosit juga dapat terjadi pada penderita kanker, leukemia mieloid, hiperfungsi adrenokortikal, anemia aplastik, agranulositosis, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik (Sutedjo 2006). Monosit Monosit merupakan leukosit yang memiliki ukuran paling besar dengan diameter 15-20 µm. Persentase di dalam sirkulasi darah berkisar antara 3-12% dari seluruh jumlah leukosit total. Sitoplasma pada monosit lebih banyak dibandingkan dengan limfosit, dengan warna biru abu-abu pucat. Inti monosit berbentuk lonjong, seperti ginjal atau mirip tapal kuda dengan lekuk yang cukup dalam dan sangat jelas. Kromatin inti berwarna lebih pucat dibandingkan dengan limfosit, dengan inti satu sampai tiga nukleolus, akan tetapi pada ulas yang diwarnai tidak tampak. Selain itu pada monosit sering tampak adanya granul azurofil halus seperti debu (Dellman & Brown 1992). Gambar 7 Monosit kerbau lumpur betina (Amanda 2012) Monosit dibentuk di sumsum tulang, dan setelah dewasa akan bermigrasi dari aliran darah ke jaringan perifer dengan proses diapedesis. Monosit yang ada di jaringan dinamakan makrofag. Makrofag merupakan sel yang sangat aktif pada jaringan saat diperlukan. Monosit dan makrofag memiliki kemampuan fagositik yang lebih besar dari limfosit. Jangka hidup makrofag lebih panjang dari neutrofil, sehingga ia sering berperan dalam infeksi kronis (Colville & Bassert 2008). 12 Fungsi monosit diantaranya; 1) membersihkan sel debris yang dihasilkan dari proses peradangan atau infeksi; 2) memproses beberapa antigen yang menempel pada membran sel limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan makrofag; 3) menghancurkan zat asing yang masuk kedalam tubuh (Colville & Bassert 2008). Rasio Neutrofil/Limfosit (Rasio N/L) Leukosit akan dimobilisasi secara intensif selama periode stres (cekaman) akut melalui aktivitas katekolamin dan glukokortikoid dari kelenjar adrenal. Rasio N/L dapat membantu untuk mengevaluasi apakah hewan berada dalam kondisi tercekam, dan apakah cekaman tersebut bersifat akut atau kronis (Maheshwari et al. 2008). Menurut Kannan et al. (2000), indeks stres dapat ditentukan dengan melihat rasio neutrofil/limfosit (N/L). Hewan yang mengalami stres transportasi akan memiliki rasio N/L yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan normal. Maheshwari et al. (2008) melaporkan bahwa rasio N/L merupakan indikator yang cukup baik untuk mengevaluasi respon cekaman suatu individu. Nilai rasio N/L pada domba periangan yang melebihi 1.5 mengindikasikan bahwa hewan mengalami stres (Kannan et al. 2000).