BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi a. Pengertian Keluarga berencana adalah usaha untuk mengatur banyaknya jumlah kelahiran sehingga ibu maupun bayinya dan ayah serta keluarga yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut. Keluarga berencana merupakan program pemerintah yang bertujuan menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk. Keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa diharapkan menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada pertumbuhan yang seimbang (Irianto, 2014). Sedangkan kontrasepsi ialah cara, alat, atau obat-obatan untuk mencegah terjadinya pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani (spermatozoa) pada saluran telur. Kontrasepsi dibagi menjadi dua, yaitu cara temporer (spacing) dan cara permanen (kontrasepsi mantap). Cara permanen dilakukan dengan mengakhiri kesuburan untuk mencegah kehamilan secara permanen, pada wanita disebut sterilisasi dan pada pria disebut vasektomi (Sofian, 2013). 7 8 b. Tujuan Keluarga Berencana 1) Tujuan Umum Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang menjadi dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin terkendalinya pertambahan penduduk (Irianto, 2014). 2) Tujuan Khusus a) Meningkatkan jumlah akseptor alat kontrasepsi b) Menurunkan jumlah angka kelahiran bayi c) Meningkatkan kesehatan keluarga berencana dengan cara penjarangan kelahiran (Irianto, 2014). c. Metode Keluarga Berencana Ada beberapa macam metode kontrasepsi menurut Saifuddin (2010) yaitu: 1) Mekanis a) Kondom b) Diafragma c) Spermisida : aerosol, tablet vaginal atau supositoria, krim d) Pil e) Implan f) Tubektomi atau MOW g) Vasektomi 9 h) AKDR atau IUD 2) Non Mekanis a) Keluarga Berencana Alamiah (KBA) (1) Metode lendir servik billing atau metode ovulasi billing (2) Metode suhu badan basal (3) Metode sympto-termal atau metode suhu tubuh (4) Metode kalender b) Metode amenore laktasi (MAL) c) Senggama terputus d) Pantang berkala. 2. Medis Operasi Wanita (MOW) a. Pengertian Kontrasepsi mantap atau tubektomi adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur wanita yang mengakibatkan orang/pasangan yang bersangkutan tidak akan mendapat keturunan lagi. Metode ini hanya digunakan untuk jangka panjang, meskipun terkadang dapat dipulihkan kembali kesuburannya (Wiknjosastro, 2005). Kontrasepsi mantap atau sterilisasi pada wanita adalah suatu kontrasepsi permanen yang dilakukan dengan cara melakukan suatu tindakan pada kedua saluran telur sehingga menghalangi pertemuan sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma) (Sofian, 2013). 10 b. Jenis Menurut Sofian (2013), terdapat empat jenis sterilisasi berdasarkan tujuannya, yaitu: 1) Sterilisasi hukuman (compulsary sterilization); 2) Sterilisasi eugenik, untuk mencegah berkembangnya kelainan mental secara turun menurun; 3) Sterilisasi medis, dilakukan berdasarkan indikasi medis demi keselamatan wanita tersebut karena kehamilan berikutnya dapat membahayakan jiwanya; 4) Sterilisasi sukarela (coluntary sterilization), yang bertujuan ganda dari sudut kesehatan, sosial ekonomi dan kependudukan. c. Efektivitas Tubektomi merupakan metode kontrasepsi yang sangat efektif dan tidak menimbulkan efek samping jangka panjang. Efektivitasnya yaitu 0,5 kehamilan per 100 perempuan (0,5%) selama tahun pertama penggunaan (Saifuddin, 2010). d. Waktu Pelaksanaan tindakan sterilisasi dilakukan pada saat: 1) Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini tidak hamil 2) Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (Saifuddin, 2010) 3) Pasca persalinan (post partum) Sebaiknya dilakukan dalam 24 jam atau selambat-lambatnya 48 jam pasca persalinan. Setelah lebih dari 48 jam, operasi akan lebih 11 sulit dengan adanya edema tuba dan infeksi yang akan menyebabkan kegagalan sterilisasi. Jika dilakukan setelah hari ke-7 sampai hari ke-10 pasca persalinan, uterus dan alat genital lainnya telah mengecil dan menciut yang menyebabkan mudah terjadinya perdarahan dan infeksi 4) Pasca keguguran (post abortus) Sterilisasi dapat dilakukan sesaat setelah terjadinya abortus 5) Saat tindakan operasi pembedahan abdominal Hendaknya saat operasi pembedahan abdominal telah dipertimbangkan untuk tindakan sterilisasi karena pada tindakan ini dapan sekaligus dilakukannya kontrasepsi mantap (Sofian, 2013). e. Keuntungan Terdapat beberapa keuntungan dan manfaat sterilisasi wanita yaitu: 1) Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama penggunaan) 2) Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding) 3) Tidak bergantung pada faktor senggama 4) Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi resiko kesehatan yang serius 5) Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal 6) Tidak ada efek samping dalam jangka panjang 7) Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium) 12 8) Berkurangnya resiko kanker ovarium (Saifuddin, 2010) 9) Motivasi hanya dilakukan satu kali, sehingga tidak diperlukan motivasi yang berulang 10) Tidak adanya kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure) 11) Tidak mempengaruhi libido seksualis (Anwar, 2011). f. Keterbatasan Meskipun banyak keuntungan yang didapat pada metode sterilisasi ini, tetap saja terdapat keterbatasan diantaranya: 1) Tidak dapat melindungi dari Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HBV dan HIV/AIDS 2) Harus dipertimbangkan kembali sifat permanen kontrasepsi ini karena tidak dapat dipulihkan kecuali dengan operasi rekanalisasi 3) Klien dapat menyesal dikemudian hari 4) Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan 5) Hanya dilakukan oleh dokter yang terlatih (Saifuddin, 2010). g. Syarat Terdapat beberapa syarat untuk menjadi akseptor kontrasepsi mantap MOW yaitu: 1) Syarat sukarela Meliputi pengetahuan pasangan mengenai cara kontrasepsi lain, risiko dan keuntungan kontrasepsi mantap, serta sifat permanen metode ini. 13 2) Syarat bahagia Syarat ini dilihat berdasarkan ikatan perkawinan yang sah dan harmonis. Umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun dengan sekurang-kurangnya 2 orang anak hidup dan anak terkecil berumur lebih dari 2 tahun. 3) Syarat medik (Saifuddin, 2009). h. Indikasi Menurut Amru Sofian (2013), sterilisasi dilakukan atas indikasi: 1) Indikasi medis umum Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat jika wanita tersebut hamil lagi, seperti tuberkulosis paru, penyakit jantung, penyakit ginjal maupun skizofrenia. 2) Indikasi medis obstetrik Adanya riwayat toksemia gravidarum yang berulang, seksio sesarea berulang dan histerektomi obstetrik. 3) Indikasi medis ginekologik Pada waktu melakukan operasi ginekologik, dapat dipertimbangkan untuk dilakukannya sterilisasi. 4) Indikasi sosial ekonomi a) Rumus 120; yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu, kemudian dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri b) Rumus 100; yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu, kemudian dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri 14 i. Kontraindikasi 1) Hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai) 2) Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan (hingga harus dievaluasi) 3) Infeksi sistemik atau pelvik yang akut (hingga masalah tersebut sembuh) 4) Tidak boleh menjalani proses pembedahan 5) Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan 6) Belum memberikan persetujuan tertulis (Saifuddin, 2010). j. Konseling Konseling adalah proses pemberian informasi yang objektif dan lengkap berdasarkan pengetahuan untuk membantu memecahkan masalah kesehatan reproduksi yang sedang dihadapi klien, salah satunya yaitu membantu untuk menentukan pilihan metode KB (Manuaba, 2007). Konseling dilakukan oleh tenaga terlatih, misalnya paramedik yang telah mendapat pelatihan sebagai konselor kontrasepsi mantap. Tujuan konseling yaitu agar keputusan untuk menjalani tubektomi diambil sendiri oleh pasangan setelah mendapat penjelasan yang tepat dan benar mengenai kontrasepsi ini. Konseling dilakukan sebelum, selama, dan sesudah tindakan (Wiknjosastro, 2005). 15 k. Teknik 1) Cara Pencapaian Tuba a) Kuldoskopi Suatu teknik operasi untuk mencapai tuba melalui insisi pada forniks posterior atau pungsi pada cul de sac dengan visualisasi kuldoskop. Akseptor dalam posisi genupektoral atau menungging dan setelah vagina disucihamakan dengan betadin, daerah operasi diperjelas dengan memasukkan spekulum. Sayatan kecil dibuat pada forniks posterior dan kuldoskop dimasukkan hingga terlihat rongga pelvis. Segera mengidentifikasi tuba dan masukkan cunam penangkap (grasping forceps) melalui luka sayatan untuk mengeluarkan tuba. Mengikat tuba dan potong atau tutup dengan cara sterilisasi saluran telur (cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi atau pemasangan cincin Falope). Mengembalikan tuba tersebut dan mencari tuba sisi lain untuk dilakukan tindakan yang sama (Sofian, 2013). b) Laparoskopi Akseptor dibaringkan dalam posisi litotomi. Kanula Rubin dipasang pada serviks dan bibir depan serviks dijepit dengan tenakulum. Kemudian dibuat sayatan 1,5 cm di bawah pusat, menusukkan jarum Verres ke dalam rongga peritoneum dan melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan mengaliri 16 gas CO2 sebanyak 1-1,5 liter dengan kecepatan 1 liter/menit. Setelah dirasa cukup, jarum Verres dikeluarkan dan sebagai gantinya dimasukkan trokar serta selubungnya yang berisi laparoskop. Melalui kanula Rubin mencari tuba dan dilakukan sterilisasi menggunakan cincin Folope (Wiknjosastro, 2005). c) Mini Laparotomi Suatu operasi kecil untuk mencapai saluran telur melalui sayatan kecil pada dinding perut. Mula-mula kulit disayat secara melintang sampai ke jaringan subkutis dan membuka fascia m.rectun serta m.pyramidalis dibuka secara tumpul sepanjang 2,5 cm. Peritoneum dibuka sekitar 2 cm dan memasukkan elevator untuk mengatur posisi rahim dan tuba ke daerah operasi. Tuba ditangkap, dilakukan tubektomi dan terakhir menutup luka operasi (Sofian, 2013). d) Histeroskopi Untuk melihat rongga rahim dan sudut tuba dengan jelas, digunakana alat histeroskop sehingga obat-obatan yang bersifat kausatif dan adhesif untuk menyumbat tuba dapat dimasukkan langsung ke dalam saluran telur (Sofian, 2013). e) Kolpotomi Cara ini mengendaki pasien dalam posisi sikap litotomi. Dinding belakang vagina dijepit pada jarak 1 cm dan 3 cm dari serviks dengan 2 buah cunam kemudian digunting hingga 17 menembus peritoneum. Area pandang diperluas menggunakan spekulum Soonawalla, sehingga dengan mudah tuba terlihat dan ditarik keluar. Tubektomi dilakukan dengan cara penutupan tuba (Wiknjosastro, 2005). 2) Cara Penutupan Tuba a) Cara Pomeroy Mula-mula mengangkat pertengahan tuba hingga membentuk lengkungan, kemudian bagian dasarnya diklem dan diikat dengan benang yang mudah diserap, memotong tuba bagian atas ikatan. Setelah luka sembuh dan benang ikatan diserap, kedua ujung potongan akan terpisah. Cara ini paling banyak digunakan dibanding cara lain karena angka kegagalan hanya 0-0,4% (Sofian, 2013). b) Cara Kroener Cara ini dilakukan dengan mengangkat fimbria dan mengikat dengan benang sutera pada bagian avaskular mesosalping di bawah fimbria dengan dua kali lilitan serta pada bagian proksimal dari ikatan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong (fimbriektomi) dan dikembalikan ke dalam rongga perut setelah perdarahan berhenti. Meskipun angka kegagalannya sangat kecil bahkan tidak akan terjadi kegagalan, namun cara ini kurang disukai karena kesuburan tidak dapat dipulihkan 18 kembali dan kemungkinan terjadinya perdarahan disfungsional di kemudian hari lebih besar (Sofian, 2013). c) Cara Madlener Bagian tengah tuba diangkat dan diklem, kemudian bagian bawah klem diikat dengan benang yang tidak mudah diserap dan klem dilepas. Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan tuba. Teknik ini sudah jarang silakukan karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1,2 % (Sofian, 2013). d) Cara Aldridge Peritoneum ligamentum latum dibuka, kemudian fimbria ditanamkan ke dalam atau ke bawah ligamentum latum dan luka dijahit. Angka kegagalan cara ini kecil sekali dan fimbria dapat dibuka kembali jika ibu menginginkan kesuburannya kembali (Sofian, 2013). e) Cara Uchida Bagian tuba ditarik keluar dan pada sekitar ampula tuba disuntikkan larutan salin adrenalin pada lapisan subserosa sebagai vasokonstriktor agar mesosalping membesar. Pada bagian tersebut dilakukan insisi kecil dan bebaskan serosa sepanjang 4-6 cm hingga tuba terlihat dan klem. Tuba diikat dan dipotong, kemudian luka pada serosa dijahit dengan putung tuba menonjol ke arah rongga perut. Menurut penemunya, cara ini tidak pernah gagal (Sofian, 2013). 19 f) Cara Irving Pada cara ini tuba diikat pada dua tempat dengan benang yang dapat diserap. Ujung bagian proksimal ditanamkan ke dalam miometrium, sedangkan ujung bagian distal ditanamkan ke ligamentum latum (Sofian, 2013). g) Pemasangan cincin Falope (Yoon ring) Menggunakan aplikator (laparotomi mini, laparoskopi atau laprokator) bagian istmus tuba ditarik dan cincin dipasang. Tuba akan tampak keputih-putihan dan menjadi jibrotik akibat tidak mendapatkan aliran darah (Wiknjosastro, 2005). h) Pemasangan klip Penggunaan klip pada kontrasepsi tidak memperpendek panjang tuba hanya menjepit tuba, sehingga rekanalisasi lebih mungkin dilakukan bila diperlukan (Wiknjosastro, 2005). i) Elektro-koagulasi dan pemutusan tuba Cara ini dilakukan dengan memasukkan grasping forceps melalui laparoskopi. Kemudian tuba dijepit sekitar 2 cm, diangkat dan dilakukan kauterisasi hingga tampak putih, menggembung dan putus. Tuba terbakar kurang lebih 1 cm ke proksimal dan distal serta mesosalping terbakar sejauh 2 cm (Wiknjosastro, 2005). 20 l. Komplikasi dan Penanganannya Komplikasi yang mungkin terjadi diperlukan penanganan yang efisien dan tepat. Tentunya penanganan yang diberikan merupakan instruksi dari tenaga medis ahli. Tabel 2.1. Komplikasi MOW dan penanganannya Komplikasi Infeksi luka Demam pasca operasi (> 380C) Penanganan Apabila terlihat infeksi luka, obati dengan antibiotik. Bila terdapat abses, lakukan drainase dan obati seperti yang terindikasi. Obati infeksi ditemukan. berdasarkan apa yang Mengacu ke tingkat asuhan yang tepat. Apabila kandung kemih atau usus luka dan Luka pada kandung diketahui sewaktu operasi, lakukan reparasi kemih, intestinal primer. Apabila ditemukan pasca operasi, (jarang terjadi) rujuk ke rumah sakit yang tepat bila perlu. Hematoma (subkutan) Emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi (sangat jarang terjadi) Rasa sakit pada lokasi pembedahan Gunakan packs yang hangat dan lembab di tempat tersebut. Amati. Hal ini biasanya akan berhenti dengan berjalannya waktu tetapi dapat membutuhkan drainase bila ekstensif. Ajukan ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah resusitasi intensit, termasuk: cairan intravena, resusitasi kardio pulmonar, dan tindakan penunjang kehidupan lainnya. Pastikan adanya infeksi atau abses dan obati berdasarkan apa yang ditemukan. Perdarahan Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan superfisial (tepi apa yang ditemukan kulit atau subkutan) Sumber: Saifuddin (2010) 21 m. Penatalaksanaan Klinis Menurut Saifuddin (2010), prosedur pelaksanaan tubektomi terdiri atas: 1. Persetujuan tindakan medik Setiap tindakan medis yang mengandung risiko harus dengan persetujuan tertulis berupa informed consent, yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan, yaitu akseptor yang bersangkutan harus dalam keadaan sadar dan sehat mental (Saifuddin, 2010). Informed consent merupakan surat pernyataan persetujuan untuk memberikan izin kepada seorang yang dipercaya untuk melakukan tindakan medis, yang umumnya berupa tindakan operasi. Klien juga berhak untuk menolak tindakan medis, yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan tertulis (Manuaba, 2007). Calon akseptor harus memahami bahwa operasi yang akan dilakukan merupakan tindakan permanen dan meskipun patensi dapat dikembalikan, pembedahan rekanalisasi tuba tidak menjamin adanya fungsi normal yang dapat mengarah ke pembuahan (Hanretty, 2014). 2. Persiapan atau tahap pra operasi a) Persiapan ruang operasi (1) penerangan yang cukup (2) lantai semen atau keramik yang mudah dibersihkan 22 (3) bebas debu dan serangga (4) tersedia air bersih yang mengalir, tempat cuci tangan, ruang ganti pakaian, tempat sampah yang dapat ditutup rapat dan bebas dari kebocoran (5) sedapat mungkin tersedia alat pengatur suhu ruangan b) Suasana ruang operasi (1) Meminimalkan jumlah petugas dan kegiatan selama tindakan operasi berlangsung (2) Kunci ruang operasi agar petugas yang tidak berkepentingan tidak keluar masuk ruangan dan suhu ruangan tetap terjaga (3) memisahkan peralatan yang masih steril dengan yang sudah terkontaminasi (4) klien diatur agar tidak menyentuh instrumen steril yang tersedia atau tersimpan pada saat masuk dan keluar ruang operasi c) Persiapan klien (1) Klien dianjurkan mandi sebelum mengunjungi tempat pelayanan. Bila tidak sempat, minta klien untuk membersihkan bagian abdomen/ perut bawah, pubis dan vagina dengan sabun dan air (2) Bila menutupi daerah operasi, rambut pubis cukup digunting. Pencukuran hanya dilakukan apabila sangat 23 menutupi daerah operasi dan waktu pencukuran adalah sesaat sebelum operasi dilakukan (3) Bila menggunakan elevator atau manipulator rahim, sebaiknya dilakukan pengusapan larutan antiseptik (misalnya povidon iodien) pada serviks dan vagina (4) Setelah pengolesan povidon iodine pada kulit, tunggu 1-2 menit agar yodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mikroorganisme dengan baik d) Kelengkapan klien dan petugas ruang operasi (1) Klien menggunakan pakaian operasi. Bila tidak tersedia, dapat menggunakan kain penutup yang bersih (2) Operator dan petugas kamar operasi harus dalam keadaan siap (mencuci tangan, berpakaian operasi, memakai sarung tangan, topi dan masker) saat berada di ruang operasi (3) Masker harus menutupi mulut dan hidung, bila basah/ lembab harus diganti (4) Topi harus menutupi rambut (5) Sepatu luar harus dilepas, ganti dengan sepatu atau sandal yang tertutup khusus digunakan untuk ruang operasi 24 e) Pencegahan infeksi (1) Sebelum pembedahan (a) Operator dan petugas mencuci tangan menggunakan larutan antiseptik serta mengenakan pakaian operasi dan sarung tangan steril (b) Menggunakan larutan antiseptik untuk membersihkan vagina dan serviks (c) Mengusapkan larutan antiseptik pada daerah operasi, mulai dari tengah kemudian meluas ke daerah luar dengan gerakan memutar hingga bagian tepi dinding perut. Untuk klien pasca persalinan, membersihkan daerah umbilikus dengan baik (d) Menunggu 1-2 menit agar yodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mikroorganisme dengan baik. (2) Selama pembedahan (a) Membatasi jumlah kegiatan dan petugas di dalam ruang operasi (b) Menggunakan instrumen, sarung tangan dan kain penutup yang steril (c) Melakukan prosedur dengan keterampilan dan teknik yang tinggi untuk menghindari trauma dan komplikasi (perdarahan) 25 (d) Menggunakan teknik “pass” yang aman untuk menghindari luka tusuk instrumen. (3) Setelah pembedahan (a) Operator atau petugas ruang operasi membuang limbah ke dalam wadah atau kantong yang tertutup rapat dan bebas dari kebocoran (b) Melakukan tindakan dekontaminasi dengan larutan klorin 0,5% pada instrumen atau peralatan yang akan digunakan sebelum dicuci (c) Melakukan dekontaminasi pada meja operasi, lampu, meja instrumen atau benda lain yang mungkin tekontaminasi/tercemar selama operasi dengan mengusap larutan klorin 0,5% (d) Melakukan pencucian dan penatalaksanaan instrumen/ peralatan seperti biasa (e) Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan. 3. Tindakan dan pelaksanaan tubektomi a) Persiapan prabedah (1) Memasang tensimeter. Periksa dan catat tekanan darah dan pernafasan setiap 15 menit (2) Memasang wing needle (3) Jika klien memerlukan tambahan sedasi, berikan pethidin 1 mg/kg BB secara IM 26 (4) Mengusap genitalia eksterna dan perineum dengan kassa berantiseptik dan melakukan kateterisasi (5) Melakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai posisi, besar uterus dan kelainan dalam pelvik (6) Memasang spekulum, menilai serviks dan vagina, kemudian melakukan tindakan asepsis pada portio dan vagina (7) Memasang tenakulum dan melakukan sonde (8) Memasang elevator uterus untuk mengubah posisi uterus menjadi antefleksi (9) Mengikat gagang elevator pada gagang tenakulum untuk mempertahankan posisi uterus b) Membuka dinding abdomen (1) Menyuntikkan diazepam 0,1 mg/kg BB IV dan tunggu 3 menit. Kemudian menyuntikkan ketalar 0,5 mg/kg BB IV dan tunggu 3 menit (2) Menentukan daerah insisi pada dinding abdomen dengan menggerakkan elevator uterus ke bawah, sehingga fundus uteri menyentuh dinding abdomen ± 2-3 cm di atas simpisis pubis (3) Melakukan tindakan asepsis menggunakan betadin atau yodium alkohol pada tempat insisi dengan gerakan melingkar dari tengah ke luar dan menutup dengan kain steril berlubang tengah 27 (4) Menyuntikkan secara infiltrasi 3-4 cc anestesi local (lignokain 2%) dibawah kulit pada tempat insisi dengan mengaspirasi terlebih dahulu. Menunggu 2 menit dan menilai efek anestesi dengan menjepit kulit menggunakan pinset sirurgis (5) Melakukan insisi melintang pada kulit dan jaringan subkutan sepanjang 3 cm pada tempat yang telah ditentukan (6) Memisahkan jaringan subkutan secara tumpul menggunakan retraktor sampai terlihat fasia (7) Menyuntikkan jarum ke fasia dan melakukan infiltrasi anestesi lokal 3 cc sambil menarik jarum (8) Menjepit fasia menggunakan kocher pada 2 tempat dalam arah vertikal dengan 2 cm. Melakukan insisi dalam arah horizontal, perlebar ke kiri dan ke kanan (9) Memisahkan jaringan otot secara tumpul pada garis tengah dengan jari telunjuk atau klem arteri sehingga tampak peritoneum dan melakukan infiltrasi anestesi lokal 3 cc sambil menarik jarum (10) Menjepit peritoneum dengan 2 klem, transiluminasi untuk identifikasi. Menyisihkan omentum dan usus dari peritoneum dengan menggunakan sisi luar gunting (bagian yang tumpul) 28 (11) Menggunting peritoneum arah vertikal 2 cm ke atas dan 1 cm ke bawah (hingga mencapai batas peritoneum – vesika urinaria) (12) Memasukkan 2 buah bak retractor pada tempat insisi peritoneum dan merenggangkan untuk menampakkan uterus pada lapangan operasi (13) Bila omentum atau usus menghalangi lapang pandang, menggunakan kassa gulung dan menjepitnya menggunakan klem c) Mencapai tuba (1) Menggerakkan elevator uterus sampai fundus uteri tampak pada lapangan operasi (jika perlu mengubah posisi klien ke posisi Trendelenberg) (2) Menampakkan salah satu kornu uteri dan ligamentum rotundum pada lapangan operasi dengan menggerakkan elevator. Mengidentifikasi tuba (3) Menjepit tuba menggunakan pinset atau klem Babcock dan menariknya pelan-pelan keluar melalui lubang insisi hingga terlihat fimbria d) Oklusi atau memotong tuba Melakukan oklusi tuba sesuai metode yang dipilih 29 e) Menutup dinding abdomen (1) Memeriksa rongga abdomen ada tidaknya perdarahan atau laserasi usus dan mengeluarkan kassa gulung (2) Menjahit fasia dengan jahitan simpul atau angka 8 menggunakan benang chromic catgut nomor 1 (3) Menjahit subkutis dengan jahitan simpul menggunakan benang plain catgut nomor 0 (4) Menjahit kulit dengan jahitan simpul menggunakan benang sutera nomor 0 (5) Menutup luka dengan kain steril dan plester 4. Perawatan pasca tindakan a) Memeriksa tekanan darah dan nadi setiap 15 menit b) Menganjurkan pemberian cairan yang mengandung gula (jika sudah diperbolehkan) seperti sari buah atau gula-gula untuk meningkatkan kadar glukosa darah c) Melakukan Romberg sign, yaitu klien berdiri dengan menutup mata. Jika terlihat stabil, klien dianjurkan untuk mengenakan pakaian dan menentukan pemulihan kesadaran d) Memulangkan klen jika keadaan stabil setelah 4-6 jam e) Nasihat yang diberikan kepada klien: (1) Istirahat cukup dan menjaga tempat sayatan operasi agar tidak basah minimal selama 2 hari. 30 (2) Melakukan kegiatan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pemulihan. Umumnya klien akan merasa baik selama 7 hari (3) Tidak melakukan aktivitas seksual selama 1 minggu atau tunggu hingga sudah merasa nyaman (4) Jangan mengangkat benda berat atau yang menekan daerah operasi sekurang-kurangnya selama 1 minggu (5) Jika terdapat gejala-gejala seperti di bawah ini, segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan: (a) panas/demam di atas 380c (b) pusing dan rasa terputar/ bergoyang (c) nyeri perut menetap atau meningkat (d) keluar cairan atau darah dari luka sayatan (6) Mengonsumsi analgesik (ibuprofen) setiap 4-6 jam untuk mengurangi nyeri. Jangan menggunakan aspirin karena dapat meningkatkan perdarahan n. Kunjungan ulang Jadwal kunjungan ulang tubektomi dilakukan minimal 2 kali yaitu seminggu pasca tubektomi dan dua minggu pasca tubektomi. Pemeriksaan meliputi daerah operasi, tanda-tanda komplikasi atau hal lain yang dikeluhkan klien. Jika menggunakan benang sutera, maka pada saat kontrol pertama benang tersebut dicabut (Saifuddin, 2010). 31 B. Teori Manajemen Asuhan Kebidanan 1. Pengertian Asuhan Kebidanan Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi dan kegiatan yang menjadi tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada klien yang mempunyai kebutuhan/masalah dalam bidang kesehatan ibu masa hamil, masa persalinan, nifas, bayi setelah lahir serta keluarga berencana (IBI, 2006). 2. Pengertian Manajemen Kebidanan Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari pengkajian analisis data, diagnosa kebidanan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (IBI, 2006). Pada kasus ini, penulis menggunakan pengelolaan manajemen kebidanan menurut Varney, yang terdiri dari 7 langkah berurutan dimana setiap langkah disempurnakan secara periodik. Penerapan manajemen kebidanan menurut 7 langkah Varney pada kasus Medis Operasi Wanita adalah sebagai berikut: Langkah I. Pengumpulan Data Dasar Pada langkah ini diperlukan 2 data yaitu data subjektif dan data objektif. a. Data subjektif terdiri atas: 1) Biodata; yaitu data diri pasien yang dikaji, meliputi nama, umur, agama, suku dan bangsa, pendidikan, pekerjaan dan alamat. 32 Umur, akseptor kontrasepsi mantap dianjurkan berumur sekurangkurangnya 25 tahun jika telah memiliki 4 anak hidup atau dianjurkan berumur di atas 35 tahun jika telah memiliki 2 anak hidup (Wiknjosastro, 2009). 2) Keluhan utama; alasan klien mendatangi fasilitas kesehatan yang diungkapkan dengan kata-katanya sendiri. Calon akseptor MOW hendaknya yakin telah memiliki keluarga yang sesuai dengan keinginannya dan telah mempertimbangkan dengan suaminya (Saifuddin, 2010). 3) Riwayat kebidanan, terdiri atas: a) Riwayat menstruasi; yang dikaji yaitu usia saat menarche, frekuensi, lama, siklus, jumlah darah yang keluar, karakteristik darah yang keluar (misalnya terdapat bekuan darah), periode menstruasi terakhir dan keluhan berkaitan dengan pola menstruasi (Varney, 2007). Melalui riwayat menstruasi ini, dapat digunakan sebagai identifikasi apakah ibu mengalami gangguan organ reproduksi atau tidak. Perdarahan pervagina yang belum terjelaskan sebabnya merupakan keadaan yang memerlukan penundaan dilakukannya MOW (Saifuddin, 2010). b) Riwayat obstetri; yang perlu diperhatikan sehubungan dengan MOW adalah ibu mempunyai sekurang-kurangnya 2 orang anak 33 hidup dan anak terkecil berumur lebih dari 2 tahun (Saifuddin, 2009). c) Riwayat perkawinan; mencakup berapa kali menikah, lama menikah dan usia pertama kali menikah. Calon akseptor kontrasepsi mantap hendaknya memenuhi syarat bahagia yaitu ibu masih teikat perkawinan yang sah dan harmonis (Saifuddin, 2009). 4) Riwayat kontrasepsi; meliputi pengetahuan dan pengalaman mengenai cara-cara kontrasepsi, risiko dan keuntungan, serta sifat kepermanenan masing-masing kontrasepsi, sehingga ibu menetapkan pilihan pada kontrasepsi mantap sebagai metode kontrasepsinya. Hal ini menunjukkan bahwa ibu telah memenuhi syarat sukarela sebagai calon akseptor MOW (Wiknjosastro, 2005). 5) Riwayat kesehatan; meliputi: a) Riwayat kesehatan sekarang Deteksi dini terhadap penyakit yang dapat mempengaruhi proses asuhan yang akan diberikan sangat diperlukan. Sebelum dilakukan MOW, perlu dilakukan anamnesis kesehatan yang meliputi: anemia defisiensi zat besi (Hb < 8 g%), hipertensi, diabetes, hipertiroid, penyakit vaskuler, trombosis vena dalam (TVD), penyakit jantung iskemik, penyakit jantung ventrikular dengan komplikasi, perdarahan yang belum jelas sebabnya, endometriosis, penyakit trofoblas ganas (PTG), kanker serviks, 34 kanker endometrium, kanker ovarium, penyakit radang panggul (PRP), penyakit menular seksual (AIDS), TBC pelvis, serta hamil ektopik (Saifuddin, 2010). b) Riwayat medis terdahulu atau riwayat kesehatan yang lalu, yang perlu diperhatikan yaitu bedah mayor dengan imobilisasi lama, penyakit radang panggul, penyakit jantung iskemik, perlekatan uterus oleh pembedahan/infeksi yang lalu (Saifuddin, 2010), serta stroke (Irianto, 2014). c) Riwayat kesehatan keluarga; yaitu riwayat penyakit yang berhubungan dengan ibu, ayah, saudara kandung, kakek, nenek, paman dan bibi (Varney, 2007). 6) Data psikologi dan sosial a) Data psikologi dibutuhkan untuk mengetahui sikap dan kesiapan ibu terhadap dirinya dan asuhan yang akan diberikan. Kontrasepsi mantap merupakan tindakan pembedahan yang bersifat permanen, tidak dapat dipulihkan kembali. Ibu yakin telah memiliki besar keluarga yang sesuai dengan keinginannya (Saifuddin, 2010). b) Data sosial untuk mengetahui hubungan ibu dan suami, keluarga dan masyarakat. Calon akseptor hendaknya memilihi hubungan yang harmonis, terutama dengan suami (Wiknjosastro, 2005). 35 b. Data objektif diperoleh dari: 1) Pemeriksaan umum Pemeriksaan umum dilakukan dengan memeriksa tanda-tanda vital yang meliputi suhu, denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tinggi badan dan berat badan (Varney, 2007). Ibu dengan tekanan darah tinggi (sistolik > 160 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) merupakan kontraindikasi dilakukannya MOW (Saifuddin, 2010). 2) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik secara head to toe, meliputi pemeriksaan rambut, kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada, payudara, abdomen serta ekstremitas atas dan bawah (Varney, 2007). Ibu dengan perdarahan pervagina yang belum diketahui sebabnya sebaiknya ditunda untuk pelaksanaan MOW hingga tertangani. Infeksi sistemik atau pelvik yang akut harus disembuhkan atau dikontrol terlebih dahulu (Saifuddin, 2010). 3) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorik dan pemeriksaan terkait merupakan komponen penting dalam pengkajian fisik. Semua uji dan pemeriksaan dilakukan sebagai bagian skrining rutin yang bervariasi berdasarkan usia klien, status risikonya dan apakah ia sedang hamil (Varney, 2007). Pemeriksaan yang perlu dilakukan sebelum dilakukan MOW yaitu pemeriksaan darah (kadar Hb) dan pemeriksaan kehamilan (PP test). Ibu yang diduga atau diketahui 36 hamil tidak diizinkan untuk dilakukan MOW. Begitu pula ibu yang mengalami anemia defisiensi besi dengan kadar Hb < 7 gr% (Saifuddin, 2010). Langkah II. Interpretasi Data Dasar Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan (Soepardan, 2008). a. Diagnosis kebidanan Diagnosis yang dapat ditegakkan pada kasus ini adalah Ny. E umur 31 tahun P3A0 dengan medis operasi wanita di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali. b. Masalah Masalah yang dapat ditemukan pada akseptor baru MOW adalah cemas, yang ditandai dengan ketakutan terhadap tindakan yang akan dilakukan pada dirinya (Trismiati, 2009). c. Kebutuhan Kecemasan yang dihadapi klien dapat dikurangi dengan pemberian konseling dengan benar mengenai asuhan yang akan diberikan dan segala kenyamanan yang mungkin terjadi (Trismiati, 2009). Kebutuhan yang ditetapkan pada Ny. E umur 31 tahun P3A0 dengan medis operasi wanita di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali adalah konseling yang diberikan pratindakan, selama tindakan dan pasca tindakan MOW (Wiknjosastro, 2005). 37 Langkah III. Identifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial dan Antisipasi Penanganannya Mengidentifikasi masalah potensial atau diagnosis potensial berdasarkan diagnosis/masalah yang sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan. Bidan diharapkan waspada dan bersiap diri bila diagnosis potensial ini terjadi. Langkah ini sangat penting dalam melakukan asuhan yang aman (Soepardan, 2008). Pada asuhan kebidanan akseptor MOW, seharusnya tidak ditemukan diagnosis potensial. Jika terdapat tanda-tanda yang mengarah pada komplikasi, lebih baik dilakukan penundaan proses bedah hingga temuan tersebut dapat dievaluasi dan keadaan klien membaik (Saifuddin, 2010). Meskipun demikian, komplikasi mungkin dapat terjadi setelah dilakukan tindakan MOW. Komplikasi tersebut antara lain infeksi luka, demam pasca operasi, luka pada kandung kemih, luka intestinal, hematoma, emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi, rasa sakit pada lokasi pembedahan serta perdarahan superfisial. Antisipasi dan penanganan diberikan sesuai dengan komplikasi yang timbul (Saifuddin, 2010). Langkah IV. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera Mengidentifikasi perlunya tindakan segera yang dilakukan oleh bidan atau dokter untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama anggota tim kesehatan lain sesuai dengan kondisi klien (Soepardan, 2008). 38 Telah disebutkan bahwa pada asuhan kebidanan akseptor MOW seharusnya tidak ditemukan diagnosis potensial. Namun, jika terjadi komplikasi pasca operasi, maka dilakukan penanganan yang sesuai (Saifuddin, 2010). Langkah V. Perencanaan Asuhan Menyeluruh Pada langkah ini, direncanakan asuhan menyeluruh yang ditentukan berdasarkan langkah-langkah sebelumnya. Tidak hanya meliputi semua hal yang sudah teridentifikasi, asuhan yang menyeluruh juga berdasarkan kerangka pedoman antisipasi terhadap klien (Soepardan, 2008). Asuhan yang diberikan pada Ny. E umur 31 tahun P3A0 dengan medis operasi wanita di RSUD Banyudono Kabupaten Boyolali yaitu: a. Konseling prabedah Menjelaskan teknik operasi, anestesi dan kemungkinan rasa sakit dan tidak nyaman selama operasi. Jika ibu telah bersedia untuk dilakukan tindakan, berikan surat persetujuan atau informed consent pada ibu dan keluarga yang mendampingi. b. Persiapan prabedah Meliputi persiapan kelengkapan peralatan bedah dan obat anestesi. Selain itu memberikan support mental agar klien tenang dan tidak cemas. c. Pelaksanaan tindakan Melakukan kolaborasi tindakan dengan dokter spesialis kebidanan dan kandungan untuk pelaksanaan tindakan operasi. 39 d. Tindakan pascabedah Meliputi pemindahan klien dari meja operasi ke ruang pemulihan untuk dilakukan observasi selama 1 jam. e. Dekontaminasi Meliputi membuang sampah-sampah medis, merendam alat-alat yang telah digunakan dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit serta merapikan ruangan. f. Konseling dan instruksi pascabedah Menjelaskan untuk menjaga daerah operasi tetap kering serta meyakinkannya untuk segera ke fasilitas kesehatan jika ada keluhan. (Saifuddin, 2010) Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman Asuhan menyeluruh seperti yang telah direncanakan dilaksanakan secara efisien dan aman. Pelaksanaan ini dapat dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian oleh anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan berkolaborasi dengan dokter dalam penanganan klien yang mengalami komplikasi, bidan tetap bertanggung jawab terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama yang menyeluruh tersebut. Penatalaksanaan yang efisien dan berkualitas dapat menyingkat waktu dan menghemat biaya (Soepardan, 2008). 40 Langkah VII. Evaluasi Pada langkah terakhir ini, dilakukan evaluasi keefektifan asuhan yang sudah diberikan, meliputi pemenuhan kebutuhan masalah yang telah teridentifikasi (Soepardan, 2008). Evaluasi yang diharapkan dari klien setelah dilakukan asuhan pasca MOW dan tidak ditemukan masalah, maka klien dapat dipulangkan setelah 4-6 jam (Saifuddin, 2010). C. Follow Up Data Perkembangan Kondisi Pasien Tujuh langkah Varney disarikan menjadi empat langkah yaitu SOAP (Subjective, Objective, Assesment dan Planning). SOAP disarikan dari proses pemikiran penatalaksanaan kebidanan sebagai perkembangan catatan kemajuan keadaan klien (Kepmenkes RI Nomor: 938/Menkes/SK/VIII/2007). 1. S : Subjective (Data Subjektif) Data subjektif adalah catatan kualitatif dan kuantitatif dari pasien yang mencakup perasaan, reaksi atau pengamatan terhadap masalah. Data ini menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui anamnesis sebagai langkah I Varney. 2. O : Objective (Data Objektif) Data objektif menggambarkan hasil pemeriksaan fisik, hasil laboratorium dan hasil tes diagnostik lain klien yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney. Setiap 15 menit dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan nadi. Jika telah diperbolehkan minum, hendaknya klien diberi cairan yang 41 mengandung gula untuk membantu meningkatkan kadar glukosa darah (Saifuddin, 2010). 3. A : Assesment (Analisis) Analisis menggambarkan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi data subjektif dan objektif dalam suatu identifikasi diagnosa dan masalah kebidanan serta kebutuhan sebagai langkah II Varney. Analisis pada kasus ini adalah ibu akseptor medis operasi wanita (MOW) pasca tindakan. 4. P : Planning (Penatalaksanaan) Penatalaksanaan mencakup seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan secara komprehensif (seperti penyuluhan, dukungan, kolaborasi, evaluasi atau follow up dari rujukan) sebagai langkah III, IV, V, VI dan VII Varney. Asuhan perawatan setelah tindakan MOW menurut Saifuddin (2010), yaitu: a. Mengobservasi keadaan umum, tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu) serta perdarahan pada luka operasi dan vagina b. Menganjurkan ibu untuk istirahat dan menjaga tempat sayatan operasi agar tidak basah minimal selama 2 hari c. Menganjurkan ibu untuk melapor ke petugas kesehatan jika menemui keluhan panas/demam di atas 380C, pusing dan terasa terputar/ 42 bergoyang, nyeri perut menetap atau meningkat serta keluar cairan atau darah dari/melalui luka sayatan d. Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi untuk pemberian terapi dan anjuran pulang e. Menganjurkan kunjungan ulang seminggu setelah tindakan dan kontrol lanjutan pada minggu kedua.