BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Rinitis atau

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Rinitis atau dikenal juga sebagai Common Cold, Coryza, atau selesma
didefinisikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas dengan gejala utama pilek dan
batuk akut ringan tanpa komplikasi, disebabkan oleh berbagai virus dan bersifat selflimited (Heikkinen dan Jarvinen, 2003; Turner dan Hayden, 2004). Gejala yang
timbul adalah hidung tersumbat, bersin, coryza(inflamasi mukosa hidung dan
pengeluaran sekret), iritasi faring, serta dapat pula dijumpai demam yang tidak
terlalu tinggi. Sehingga dari kumpulan gejala tersebut, maka terminologi selesma
lebih sesuai daripada rinitis, coryza, atau nasofaringitis (terminologi yang dipakai di
literatur) (Naning dkk, 2008).
Di Indonesia, selesma
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan
pasien, yaitu 40%-60% kunjungan berobat di puskesmas dan 15%-30% kunjungan
berobat di bagian rawat jalan rumah sakit. Seorang balita rata-rata mendapat serangan
batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Depkes, 2004). Dilaporkan anak-anak
sebelum umur satu tahun rata-rata menderita selesma 6-8 kali/tahun, dan menurun
seiring bertambahnya usia. Insidensi bervariasi antar wilayah, umumnya mengalami 5
sampai 7 kali episode selesma setiap tahunnya (Covington dkk,2004;Rajnik dan
Cunha,2011).
Selesma merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri dengan sistem imun
tubuh. Respon imun selular bekerja dengan merusak virus melalui peran leukosit
dengan fagositosis dan merusak sel yang telah terinfeksi untuk mencegah replikasi
virus. Kemudian dalam beberapa hari, respon imun humoral mulai memproduksi
antibodi spesifik yang mencegah virus menginfeksi sel. Pada individu yang status
imunnya baik, penyakit ini akan sembuh dalam waktu kira-kira 7 hari. Meskipun
dapat sembuh sendiri, efek penyakit ini terhadap kesehatan, kenyamanan, dan
1
produktivitas sangat signifikan (Bruce dkk, 2002).
Pada selesma dapat terjadi komplikasi antara lain otitis media akut (OMA),
sinusitis, eksaserbasi asma, infeksi saluran pernafasan bawah (bronkitis, pneumonia),
laringotrakeobronkitis, faringitis streptokokus. Komplikasi lebih banyak terjadi pada
anak kecil, orang lanjut usia dan individu dengan defisiensi sistem imun (Rowland dan
Odle, 2005; Tolan dan Steele, 2012). Penelitian lain melaporkan 80% anak umur 411 tahun dengan serangan asma akut berhubungan dengan infeksi rhinovirus pada
saluran pernapasan atas (Johnston dkk, 1995).
Hingga sekarang belum ada terapi standar untuk selesma. Terapi hanya
sebatas mengurangi gejala yang muncul dengan obat simptomatik seperti
antiinflamasi dan analgesik. Meskipun telah digunakan secara luas, penggunaan
obat-obat pereda gejala selesma pada anak tidak efektif mengurangi keluhan dan
mempercepat penyembuhan (Kelly, 2004; Madeline dan Blandino, 2007). Bahkan
obat-obat tersebut dapat menyebabkan efek samping termasuk toksisitas dengan
dosis yang tidak sesuai, terutama pada anak dibawah 3 tahun (Carr dkk, 2006).
Dewasa ini, penggunaan suplemen kesehatan berbahan dasar produk alami
mulai banyak digunakan, salah satunya penggunaan hasil produk lebah yaitu
propolis. Propolis atau lem lebah adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu,
mengandung resin dan lilin lebah, bersifat lengket yang dikumpulkan dari sumber
tanaman, terutama dari bunga dan pucuk daun, untuk kemudian dicampur dengan air
liur lebah (Marcucci dkk, 2001, Salatino dkk, 2005; Nakajima dkk, 2009). Propolis
terbukti mempunyai beberapa efek
farmakologi seperti antibakteri, antiviral,
antiinflamasi, antikanker, antioksidan dan imunomodulator (Ansorge dkk, 2003;
Kosalec dkk, 2005; Gekker dkk, 2005; Ribeiro dkk, 2006). Efek farmakologi
tersebut diharapkan mampu membantu mengeliminasi virus penyebab selesma dan
mempercepat perbaikan klinis pada selesma.
Sampai saat ini, terutama di Indonesia belum ada penelitian yang melaporkan
tentang pemberian propolis terhadap selesma pada anak. Sehingga penting
2
dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian propolis sebagai terapi
ajuvan terhadap perbaikan klinis selesma pada anak.
B.Rumusan Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan dari uraian di atas yang merupakan
latar belakang penelitian ini adalah:
1.
Selesma
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana
kesehatan di Indonesia, yaitu 40%-60% kunjungan berobat di puskesmas dan 15%30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan rumah sakit (Depkes, 2004).
2.
Banyak terjadi peresepan irrasional antibiotik yang potensial menyebabkan risiko
resistensi antibiotik.
3.
Pada respon imun yang lemah, selesma dapat menyebabkan komplikasi seperti
otitis media, sinusitis akut, bronkitis dan pneumonia.
4.
Propolis terbukti mempunyai beberapa efek farmakologi seperti antibakteri,
antiviral, antiinflamasi, antikanker, antioksidan dan imunomodulator
5.
Belum pernah dilakukan penelitian tentang efek propolis terhadap selesma pada
anak.
C.Pertanyaan Penelitian
Apakah pemberian propolis sebagai terapi ajuvan efektif terhadap perbaikan
klinis selesma pada anak?
D.Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efektifitas pemberian propolis sebagai terapi ajuvan
terhadap perbaikan klinis selesma pada anak.
3
E.Manfaat Penelitian
1. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh propolis terhadap
perbaikan klinis selesma pada anak, sehingga dapat dijadikan bukti ilmiah untuk
membantu bagi klinisi dalam membuat keputusan penggunaan fitofarmaka tersebut
dalam menangani selesma pada anak secara rasional.
2. Bidang Pengabdian Masyarakat
Membantu meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pengaruh
imunomodulator, antiinfluenza, antioksidan dan antiinflamasi dari propolis
3. Bidang Penelitian
Hasil penelitian ini akan memberikan informasi baru di masa mendatang
pada dunia kesehatan, anak pada khususnya, sehingga dapat dijadikan acuan dan
bahan pertimbangan dalam menggunakan produk alami seperti propolis sebagai
terapi ajuvan dalam menangani selesma
4. Bidang Pelayanan
Diharapkan hasil yang didapat dapat berperan dalam pemberian terapi selesma
pada anak.
F.Keaslian Penelitian
Metode penelusuran untuk mencari penelitian – penelitian mengenai propolis
dilakukan di Cochrane Review, Cochrane library, Medline, Pubmed, dengan kata
kunci propolis – common cold – children. Hasil penelusuran tidak menemukan artikel
yang sesuai. Sedangkan penelusuran menggunakan kata kunci propolis-clinical trial ,
didapatkan beberapa artikel uji klinis penggunaan propolis.
4
No
1
2
Tabel 1. Penelitian tentang uji klinis propolis pada anak
Peneliti,
Judul Publikasi
Metode
Subjek
Tahun dan Dan Nama Jurnal
Penelitian
Penelitian
Tempat
dan
Intervensi
Marchisio
Effectiveness of a
Double blind, 122 anak usia
dkk,
propolis and zinc
randomized
1-5 tahun
2010, Italia solution in
placebo
dengan Otitis
preventing acute
controlled
Media Akut
otitis media in
trial
berulang (uji:
children with a
61,plasebohistory of recurrent
eliminasi
acute otitis media.
faktor
Int J Immunopathol
lingkunganPharmacol. 2010
:61)
Apr-Jun;23(2):567Uji berupa
75.
larutan 30%
hydroglyceric
extract of
propolis; 1.2%
zinc sulfate
0,3ml/kgbb/ha
ri
Zedan dkk, Propolis as an
2009, Mesir alternative
treatment for
cutaneous warts.
International
Journal of
Dermatology 2009,
48, 1248-1249.
Single blind,
randomized
placebo
controlled
trial
135 pasien
yang
menderita
plane, plantar,
atau common
warts,
mendapat
propolis 500
mg/hari
(n=45),
Echinacea
purpurea 600
mg/hari
(n=40), dan
plasebo
(n=50).
Hasil
Penelitian
Dalam 3 bulan
terapi, didapatkan
episode Otitis
Media Akut pada
kelompok uji
mengalami
pengurangan
jumlah episode
32% (p=0,03)
dibandingkan
kelompok kontrol
(placebo)
Dalam 30 hari
intervensi, dalam
kelompok diberi
Propolis,
kesembuhan
didapatkan pada
75% dan 73%
pasien, dan hasil ini
lebih baik secara
signifikan
dibandingkan yang
mendapat
Echinacea atau
plasebo.
5
No
Peneliti,
Tahun dan
Tempat
Judul Publikasi
Dan Nama Jurnal
3
Samet dkk,
2006,
Boston
The effect of bee
propolis on
recurrent aphtous
stomatitis: a pilot
study.
Clin Oral Invest
2007,Jun;11(2):14
3-7. Epub 2007
Feb 7
4
Cohen dkk,
2004,
Petach
Tikva
Effectiveness of an
herbal preparation
containing
echinacea, propolis,
and vitamin C in
preventing
respiratory tract
infections in
children.
Arch Pediatr
Adolesc Med. 2004
Mar;158(3):217-21.
Metode
Penelitian
Subjek
Penelitian
dan
Intervensi
Double blind, 19 pasien
randomized
recurrent
placebo
aphtous
controlled
stomatitis,
trial
mendapat
propolis 500
mg /hari
(n=10),
plasebo (n=9)
Double blind,
randomized
placebo
controlled
trial
430 anak usia
1-5 tahun,
diberikan
preparat
ekstrak herbal
(n = 215) atau
berupa
placebo elixir
(n = 215).
Preparat herbal
terdiri dari
propolis
50mg/ml,
echinacea
50mg/ml,vit.C
10mg/ml.
1-3 tahun:
2x5ml
4-5 tahun:
2x 7,5ml
Hasil
Penelitian
Selama intervensi
minimal 6 bulan,
dalam kelompok
propolis,
didapatkan
pengurangan
kekambuhan yang
bermakna (p=0,04)
serta perbaikan
kualitas hidup
(p=0,03)
Pada 12 minggu
follow up,
didapatkan
pengurangan yang
bermakna dari
episode kesakitan
saluran pernafasan
atas pada kelompok
uji, dimana episode
kejadian ISPA pada
kontrol 150 (89%)
dari 168 dan 85
(53%) dari 160
pada kelompok uji.
Sehingga
didapatkan
pengurangan risiko
absolute sebesar
36%.
6
No
Peneliti,
Tahun dan
Tempat
Judul Publikasi
Dan Nama Jurnal
Metode
Penelitian
Subjek
Penelitian
Hasil
Penelitian
5
Khayyal
dkk, 2003,
Egypt
A clinical
pharmacological
study of the
potential beneficial
effects of a propolis
food product as an
adjuvant in
asthmatic patients
Fundam Clin
Pharmacol. 2003
Feb;17(1):93-102.
a comparativ
e clinical
study in
parallel with
a placebo
preparation
46 pasien
asma dengan
rentang usia
19-52 tahun
(36 laki-laki,
10 perempuan)
mendapat
terapi ajuvan
(propolis : 22,
plasebo :24 *1
drop-out)
Pada 2 bulan terapi,
didapatkan
penurunan serangan
pada malam hari
dengan rerata 2,5
kali per minggu
menjadi 1 kali.
Peningkatan fungsi
paru, yaitu terdapat
peningkatan
sebesar: 19% pada
KVP, 29,5% pada
VEP1, 30% pada
aliran puncak
ekspirasi, 41% pada
FEF25-75.
6
Miyares
dkk, 1988,
Cuba
Clinical trial with a
preparation based
on propolis
“propolisina” in
human giardiasis.
Acta Gastroenterol
Latinoam, 1988;
18(3): 195-201.
Clinical trial
138 pasien
yang dibagi
dalam 2
kelompok
yaitu yang
mendapat
Propolis dan
yang mendapat
tinidazole.
Pada pemberian
propolis dengan
konsentrasi 20%
angka kesembuhan
tidak berbeda
bermakna secara
statistik antara
kelompok propolis
dan tinidazole. Pada
pemberian propolis
konsentrasi 20%
(n=50), angka
kesembuhan lebih
tinggi dibandingkan
kelompok
tinidazole (60% vs
40%).
7
Download