BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, mereka
membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan sandang,
pangan atau papan untuk kelangsungan hidupnya. Individu memiliki potensi
untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun potensi yang ada pada setiap
individu sangat terbatas sehingga harus meminta bantuan kepada individu lain
yang sama-sama hidup dilingkungan sekitarnya atau yang dikenal manusia
sebagai makhluk sosial.
Manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam
pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya. Karena pada
dasarnya suatu fungsi yang dimiliki oleh manusia satu akan sangat berguna dan
bermanfaat bagi manusia lainnya. Karena fungsi-fungsi sosial yang diciptakan
oleh manusia ditujukan untuk saling berkolaborasi dengan sesama fungsi sosial
manusia yang lainnya, dengan kata lain, manusia menjadi sangat bermartabat
apabila bermanfaat bagi manusia lainnya.
Fungsi-fungsi sosial manusia lahir dari kebutuhan akan fungsi tersebut
oleh orang lain, dengan demikian produktivitas fungsional dikendalikan oleh
berbagai macam kebutuhan manusia. Setiap manusia memiliki kebutuhan masingmasing secara individual maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut, maka perlu adanya perilaku selaras yang dapat diadaptasi oleh
1
masing-masing manusia. Penyelarasan kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan
individu, kelompok dan kebutuhan sosial satu dan lainnya, menjadi konsentrasi
utama pemikiran manusia dalam masyarakat yang beradab (Bungin, 2008:25-26).
Indonesia adalah negara yang multikultural dan multi etnik, akan tetapi
golongan keturunan yang paling sulit kedudukannya dalam masyarakat indonesia
adalah masyarakat etnik cina. Etnik cina memiliki kebudayaan yang berbeda
dengan kebudayaan – kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di
Indonesia, dan khususnya mempunyai keyakinan keagamaan yang lain sama
sekali dari masyarakat yang terdapat di Indonesia (Suparlan, 1978).
Orang Tionghoa di Indonesia yang meliputi 3% (sekitar enam juta jiwa)
dari penduduk Indonesia, dalam jumlah yang relatif kecil ini orang Tionghoa
tersebar
di Seluruh wilayah Indonesia. Meskipun merupakan kelompok
minoritas, keberadaan orang Tionghoa di Indonesia selalu menjadi bahan
perhatian. Dapat dikatakan bahwa hampir selalu ada reaksi bahwa tanggapan dari
masyarakat terhadap kehadiran orang Tionghoa di lingkungan kehidupan mereka.
Terutama jika muncul masalah yang melibatkan orang Tionghoa. Identitas
pribumi dan non pribumi yang sulit dihapus sering menimbulkan masalah yang
dapat memicu terjadinya konflik antar etnis.
Meskipun minoritas, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dianggap
berarti karena ada anggapan bahwa mereka sangat berperan dalam menjalankan
roda perekonomian di negara ini. Di negeri asalnya, nenek moyang orang
tionghoa hidup dalam konteks sebagai masyarakat agraris. Namun di perantauan
2
dengan
beratnya
kondisi
pergulatan
hidup
yang
dihadapi,
mereka
mengembangkan diri diluar bidang pertanian, yaitu perdagangan.
Dari sejak zaman VOC sampai beberapa rezim pemerintahan setelah
kemerdekaan, kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia dibatasi oleh berbagai
peraturan pemerintah yang bernuansa diskriminasi. Kondisi itu memaksa mereka
membatasi ekspresi publiknya. Bagi masyarakat pada umumnya sikap hidup
orang Tionghoa yang sangat berhati-hati seringkali memberikan kesan bahwa
orang Tionghoa sangat tertutup dalam kehidupan sosial budayanya atau dengan
kata lain dalam kehidupan sehari-hari orang Tionghoa dianggap bersikap
eksklusif.
Secara umum etnik cina di Indonesia membuat lingkungannya sendiri
untuk dapat hidup secara “eksklusif” dengan tetap mempertahankan kebudayaan
atau tradisi leluhur. Ong Hok Kham ( dalam Ning, 1992) menyatakan bahwa
eksklusivisme orang cina itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan
disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai
kelompok minoritas. Jika memang demikian, alam pemikiran etnik cina itu masih
seperti pola pikir masa silam pada masa penjajahan.
Era reformasi yang sedang berlangsung di indonesia sejak tahun 1998
mengubah tatanan berbagai segi kehidupan yang ada dalam masyarakat. Peristiwa
kerusuhan Mei 1998 yang melindas orang Tionghoa di Indonesia. Dalam
kaitannya dengan upaya pemerintah pasca orde baru untuk membangun
kesetaraan tanpa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, langkah nyata
yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid waktu itu adalah dengan mengeluarkan
3
keputusan Presiden No 6/2000 yang mencabut Intruksi Presiden No 14/1967
yang bersisikan tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan
dikeluarkannya Kepres No 6/2000, orang Tionghoa di Indonesia diperbolehkan
menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat cina tanpa
harus meminta izin khusus (Setiati, Dwi, 2012:.3).
Generasi-generasi yang pada tahun 1998 masih anak-anak mungkin tidak
mengalami secara langsung diskriminasi dan perlakuan buruk dari warga pribumi
terhadap warga keturunan Tionghoa. Kalaupun mengalami, mungkin belum cukup
dewasa untuk memahami sepenuhnya arti dari kejadian-kejadian tersebut,
sehingga kini terbiasa hidup dengan keheterogenan masyarakat Indonesia.
Generasi muda Indonesia kini, baik yang pribumi maupun yang bukan, sudah
tidak memiliki prasangka seburuk orang tuanya terhadap satu sama lain dalam
(Warda, Natia. 2013:2).
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri garis batas antara warga pribumi
Indonesia dengan warga Indonesia yang kebetulan memiliki nenek moyang
Tionghoa masih ada. Berbagai stereotip masih sering dikenakan pada kelompok
etnis Tionghoa. Generasi muda keturunan Tionghoa pun masih ada yang
mendapat didikan dan ajaran dari orang tuanya untuk tidak berbaur sepenuhnya
dengan warga pribumi, menjunjung tinggi budaya Tionghoa, dan berkiblat ke
Tiongkok. Meskipun masyarakat pada umumnya sudah tidak saling berprasangka
buruk, nilai-nilai yang diturunkan dari orang tua sebagai akibat dari trauma masa
lalu tetap akan membekas dan mempengaruhi pola pikir dan cara hidup (Warda,
Natia. 2013:2).
4
Hasil penelitian Rochmawati tahun 2004 dengan judul pembauran yang
tak pernah selesai ialah: Pemerintah Hindia Belanda meletakkan masyarakat
Tionghoa kedalam strata kelas dua sedangkan pribumi berada di strata kelas 3,
sehingga Etnis Tionghoa merasa lebih baik dibanding warga pribumi, Masyarakat
Tionghoa yang masih memegang teguh budaya nenek moyang nya dan
memandang suku mereka lebih baik dibanding dengan suku lainnya, serta
dikarenakan Masyarakat Tionghoa adalah menguasai sektor perekonomian,
sehingga timbul kecemburuan sosial dari etnis pribumi.
Hasil penelitian yang dilakukan Erika Revida tahun 2006 dengan judul
Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina dengan pribumi di Kota Medan Sumatera
Utara adalah: karena adanya stereotif (prasangka) masyarakat pribumi terhadap
etnis Tionghoa seperti: faktor ekonomi (yang menganggap etnis Tionghoa tidak
jujur terhadap masyarakat pribumi), serta karena gaya hidup etnis Tionghoa yang
mencolok, serta banyaknya pemukiman elite dan eksklusif warga Tionghoa.
Penelitian Taufik dan Thoyibi Tahun 2009 dengan judul Mengurai Akar
Kekerasan Etnis pada Masyarakat Pluralis hasilnya adalah: perlakukan secara
diskriminatif oleh penjajah Belanda yang menjadikan masyarakat pribumi
statusnya berada di kelas ketiga dibanding etnis Tionghoa yang berada di kelas
kedua sehingga menyebabkan kecemburuan sosial, serta Etnis Tionghoa merasa
kelompoknya lebih baik dibanding masyarakat pribumi.
Hasil penelitan Ganda Setia Gunawan tahun 2011 dengan judul
Eksklusivitas Golongan dan konflik sosial di Surakarta adalah sikap eksklusif
etnis Tionghoa yang tidak mau berbaur dengan masyarakat, sombong, suka
5
mengadu domba, adanya kesenjangan di bidang ekonomi yang dikuasai etnis
Tionghoa sehingga masyarakat pribumi menjadi terpinggirkan, serta trauma yang
dialami oleh etnis Tionghoa pada masa lalu terkait dengan diskriminasi.
Orang-orang
Tionghoa
sudah
Ratusan
Tahun
berada
di
Kota
Tanjungpinang. dalam berbagai sumber disebutkan bahwa komunitas cukup besar
dari orang-orang Cina di Riau bermula pada masa pemerintahan Daeng Celak,
yakni yang dipertuan muda Riau II dalam Tahun 1728 – 1745. Ketika itu sedang
digalakkan pengembangan produk gambir sebagai salah satu komoditas Ekspor
yang cukup bernilai ekonomis tinggi. Orang-orang cina banyak datang dan
bekerja dalam bidang pengolahan gambir. (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kota Tanjungpinang, 2006).
Menurut informasinya, pendapat cina pada masa itu, kemudian oleh yang
dipertuan muda Riau II Daeng Celak, diberi kelonggaran untuk menempati
Senggarang sebagai tempat kediaman atau pemukiman orang cina. mereka pun
membangun kawasan itu sebagai perkampungan dan sejumlah rumah ibadah.
Perhatian semakin diberikan bagi pertumbuh kembangan senggarang ketika
Daeng Kamboja menjadi yang dipertuan muda Riau III.
Malahan ada yang
berpendapat, bahwa senggarang adalah kawasan yang dikembangakan secara
nyata sebagai kota kala itu oleh Daeng Kamboja. (Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Tanjungpinang, 2006).
Kemudian pada masa berikutnya, ketika Raja Haji sebagai yang dipertuan
Muda Riau IV (1777-1784) yang wafat pada tanggal 18 Juni 1784 , berdatangan
pula
orang-orang
cina
yang
banyak
6
dipekerjakan
sebagai
pembuat
peluru/proyektol logam dan mesiu/sendawa (obat bedil) untuk kepentingan
penguasa setempat (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang,
2006). Masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kelurahan Tanjung Pinang
Kota keberadaan nya sudah lama juga, terbukti dengan adanya Kelenteng T’en
Hou Kong yang Diperkirakan dibangun tahun 1857 oleh masyarakat cina kala itu
dari etnis Hokien. Lalu, oleh Masyarakat Tionghoa Tanjungpinang kelenteng
tersebut sudah beberapa kali diubah – suai dan dalam tahun 1975 diresmikan
sebagai Vihara. Terletak di Jl. Merdeka, Tanjungpinang. (Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Tanjungpinang, 2006)
Kota Tanjungpinang merupakan salah satu kota di Indonesia yang
konsentrasi penduduk Tionghoanya cukup besar. Keadaan ini membuat budaya
Tionghoa tampak cukup menonjol dalam kehidupan masyarakat di kota ini,
berdampingan dengan budaya penduduk asli setempat yaitu Melayu dan budayabudaya suku pendatang yang sangat beragam. Sampai sejauh ini keberadaan
masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang tidak pernah terusik dengan masalah
pertentangan antar suku seperti yang banyak terjadi di daerah lain.
Rudi Chua, seorang tokoh muda Tionghoa di Kota Tanjungpinang, dalam
pernyataannya yang dimuat dalam Batam Ekpres mengatakan bahwa meskipun
tidak pernah melalui surat pernyataan resmi atau upacara adat, suku melayu,
pemilik sah negeri segantang lada ini telah lama menerima kehadiran orang
Tionghoa sebagai tetangga, teman dan saudara dalam mengisi dan membangun
daerah kepulauan Riau secara bersama-sama tanpa ada perbedaan, serta
berdasarkan hak dan kewajiban yang sama dan dengan semangat yang dijiwai
7
oleh rasa persatuan. Ia juga menyampaikan pandangan bahwa kesediaan
masyarakat melayu menerima kehadiran masyarakat Tionghoa sejak berabad-abad
yang lalu sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan dari masyarakat Kepulauan
Riau, juga harus diterima oleh warga Tionghoa dengan segala konsekuensi dan
tanggung jawab yang menyertainya. Salah satu tanggung jawab moral yang harus
diwujudkan ialah keikut sertaan mereka mengisi pembangunan di Kepulauan Riau
bersama golongan masyarakat yang lain.
Berbagai suku pendatang yang menetap dan menjadi bagian masyarakat
kota Tanjungpinang dalam hidup kesehariannya masih membawa sebagian adatistiadat dari tempat asalnya, begitu juga halnya dengan orang Tionghoa. Budaya
dan sistem kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang nya tidak hilang
begitu saja meskipun mereka merupakan generasi yang secara turun temurun lahir
diperantauan. Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang dalam jangka waktu yang
lama telah berinteraksi dengan masyarakat melayu. Oleh karena itu, sedikit
banyak mereka tentu telah menyerap beberapa aspek budaya dari masyarakat
setempat, misalnya dalam hal bahasa, makanan dan sebagainya. Namun, berkaitan
dengan sistem kepercayaan yang masih dianut oleh sebagian besar dari mereka,
maka dalam kehidupan sosial budayanya, mereka memelihara tradisi yang sesuai
dengan sistem kepercayaan tersebut (Setiati, Dwi, 2012:.4-5).
Masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota rata-rata
merupakan Masyarakat Tionghoa peranakan dan sudah menjadi Warga Negara
Indonesia dan sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga di
Kelurahan Tanjungpinang Kota. Identitas etnis Tionghoa di masa Kolonial dapat
8
di identifikasikan dalam dua term, totok dan peranakan. Totok diidentifikasikan
dalam relasinya dengan sejarah kelahiran mereka di Negeri leluhur mereka,
sementara peranakan mengacu pada kelahiran di luar China dan derajat
penyesuaian diri dengan konteks lokal, misalnya bahasa, agama, nasionalisme,
dan sebagainya (Ibrahim, 2013:24).
Pengamatan penulis di lapangan Masyarakat Tionghoa di Kelurahan
Tanjungpinang Kota berbaur dan hidup berkelompok hanya dengan sesamanya
sukunya saja, jarang mau berbaur dengan Suku-suku yang lain di luar suku
mereka. hanya berkaitan dengan perekonomian saja mereka mau berbaur dengan
diluar sukunya, contoh: adanya interaksi di pasar ikan yang bercampur antara
pedagang Tionghoa dengan pedagang orang melayu, adanya pekerjaan bongkar
muat barang yang berada di pelantar 1, pelantar 2 dan Jl. Pasar Ikan yang mana
orang Tionghoa bekerja sama dengan orang melayu untuk mengangkat barang.
Tetapi jika berkaitan dengan kegiatan sosial mereka jarang sekali mau berbaur
dengan diluar suku Tionghoa. Seperti tidak mau aktif berpartisipasi dalam rapatrapat yang diundang oleh pihak Ketua RT/RW atau Pihak Kelurahan, juga tidak
mau aktif dalam kegiatan Gotong-royong yang diadakan pihak RT/RW.
Kelenteng T’en Hou Kong merupakan rumah ibadah masyarakat Tionghoa
Kelurahan Tanjungpinang Kota, pada hari-hari peringatan keagamaan akan ramai
dikunjungi oleh masyarakat Tionghoa. Ada juga berasal dari luar daerah seperti
dari Kabupaten Bintan, tetapi itu hanya interaksinya dengan sesama Masyarakat
Tionghoa saja, tidak dengan masyarakat diluar Etnis Tionghoa.
9
Anak-anak Etnis Tionghoa rata-rata disekolahkan di sekolah-sekolah yang
mayoritas banyak anak-anak Tionghoanya atau di Sekolah swasta milik orang
Tionghoa. juga Pemudanya tidak mau aktif dalam kegiatan-kegiatan kepemudaan,
misalnya tidak mau hadir rapat pemuda yang diundang RT/RW, ataupun tidak
hadir ketika mau gotong royong. pemuda Tionghoanya rata-rata akan keluar Kota
Tanjungpinang setelah tamat SMA, baik itu untuk bekerja ataupun kuliah. Serta
Masyarakatnya tidak mau diwawancari jika ada seseorang yang akan melakukan
pendataan Verifikasi dan Validasi Data untuk keperluan di Pemerintahan. Dan
Masyarakatnya apatis terhadap kepemimpinan di Tingkat RT/RW, terbukti dari
beberapa Ketua RT/RW nya yang masih menjabat 15 sampai 25 Tahun menjadi
ketua RT/RW.
Oleh karena itu, Penulis merasa tertarik dengan fenomena ini dan ingin
mengetahui lebih dalam tentang Perilaku Tertutup Masyarakat Tionghoa
Kelurahan Tanjungpinang Kota - Kota Tanjungpinang.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut: Mengapa Masyarakat Tionghoa Kelurahan
Tanjungpinang Kota berperilaku Tertutup?
1.3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1
Tujuan penelitian
Untuk mengetahui Perilaku Tertutup Masyarakat Tionghoa
Kelurahan Tanjungpinang Kota.
10
1.3.2
Kegunaan Penelitian
1.3.2.1 Bahan masukan dan referensi bagi peneliti lain yang akan
melakukan penelitian dengan permasalahan yang sama.
1.3.2.2 Memberikan
informasi
tentang
Kondisi
Masyarakat
Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota.
1.4
Konsep Operasional
Konsep operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan
bagaimana cara mengukur suatu variabel yaitu semacam petunjuk pelaksanaan
dari cara mengukur suatu variabel tersebut. Sedangkan fungsi dari konsep
operasional adalah sebagai alat untuk mengidentifikasi fenomena yang diamati
dengan jelas, logika atau penalaran yang digunakan oleh peneliti untuk
menerangkan fenomena-fenomena yang diteliti atau dikaji.
Dalam hal ini Konsep Operasionalnya adalah:
1. Perilaku Tertutup Masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota
Masyarakat tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota yang sudah lama
berdomisili di Kota Tanjungpinang masih memiliki ketertutupan seperti adanya
fenomena hidup suka mengelompok dengan sesamanya saja seperti keramaian
yang berada di pujasera yang di dominasi oleh Etnis Tionghoa saja, mereka tidak
mau terlibat dalam gotong-royong dan rapat yang diadakan pihak RT atau
Kelurahan. Adanya Sikap sinis Etnis Tionghoa terhadap orang yang mau
melakukan verifikasi data kepada mereka bahkan tidak mau untuk diwawancarai.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Masyarakat Indonesia dibagi ke dalam 3
strata, pertama orang-orang Eropa, kedua etnis tionghoa dan ketiga pribumi.
11
Dengan posisi etnis tionghoa berada di strata yang kedua, membuat etnis tionghoa
merasa lebih baik kedudukannya dibanding pribumi.
2. Empat Tipe Tindakan Sosial Max Weber
A. Tindakan yang berorientasi Tujuan:
Etnis Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota merupakan
penguasa di sektor perekonomian di wilayah Kelurahan Tanjungpinang
Kota, sehari-hari mereka selalu sibuk bekerja sehingga menjadikannya
tidak bisa aktif dalam kegiatan sosial.
B. Rasionalitas yang berorientasi nilai :
Perilaku Etnis Tionghoa yang berbaur dan hidup berkelompok hanya
dengan sesamanya saja dan jarang membaur dengan etnis lain nya, karena
mereka merasa aman berbaur dengan sesama etnis tionghoa.
C. Tindakan afektif :
Masyarakat Tionghoa sinis jika berjumpa dengan orang yang baru
dikenalnya, terutama yang bukan berasal dari suku mereka.
D. Tindakan tradisional :
Etnis Tionghoa merasa lebih baik kedudukannya dibanding pribumi,
masih menjunjung tinggi budaya Tionghoa dan berkiblat ke Tiongkok dan
masih mendapat didikan dan ajaran dari orang tuanya untuk tidak berbaur
sepenuhnya dengan warga pribumi.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tindakan Sosial
Max Weber dalam (Damsar,2015:116) Tindakan Sosial merupakan suatu
tindakan individu yang memiliki arti atau makna (meaning) subjektif bagi dirinya
dan dikaitkan dengan orang lain. Contoh: katakanlah anda seorang pria, biasanya
dipandang tidak sebagai pesolek. Ketika gaya rambut anda berubah, dari sisiran
kesamping, dikenal dengan beatle, menjadi belah tengah, membuat para sahabat
anda memberikan bermacam komentar. Jawaban anda adalah. “cari suasana baru
saja!” maka aktivitas mengubah gaya rambut, apapun alasannya, dapat dipandang
sebagai tindakan sosial. Kenapa demikian? Apapun alasan anda, tetap akan
berujung pada keberadaan kaitan dengan orang lain atau dikenal dengan konsep
sosial.
Oleh sebab itu, tindakan anda yang memiliki makna subjektif, seperti “cari
suasana baru saja” berkait dengan orang lain. Kenapa bisa begitu? Sebab anda
perlu “cari suasana baru saja” agar ada sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya
dalam kaitannya dengan orang lain. Inilah dimensi sosial dari suatu tindakan
subjektif.
Weber menemukan bahwa tindakan sosial tidak selalu memiliki dimensi
rasional tetapi terdapat berbagai tindakan non rasional yang dilakukan oleh orang,
termasuk dalam tindakan orang dalam kaitannya dengan berbagai aspek dalam
kehidupan, seperti politik, sosial dan ekonomi.
13
Menurut Marx Weber tindakan individu yang diarahkan kepada benda
mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain
bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seseorang melempar batu ke dalam
sungai bukan tindakan sosial. Tapi tindakan tersebut dapat berubah menjadi
tindakan sosial kalau dengan melemparkan batu tersebut dimaksudkannya untuk
menimbulkan reaksi dari orang lain seperti mengganggu seseorang yang sedang
memancing misalnya dalam (George Ritzer,2009).
Max Weber dalam (George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2004
mengemukakan empat tipe Tindakan Sosial yaitu:
1. Tindakan Sosial yang berorientasi tujuan atau penggunaan Rasionalitas
instrumental (Werktrational Action)
tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku obyek dalam
lingkungan dan perilaku manusia lain. Artinya tindakan sosial itu sudah
dipertimbangkan dengan benar tujuan dan cara yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut.
2.
Tindakan Sosial yang berorientasi nilai (Zwerk Rational)
tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai
perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang
terlepas dari prospek keberhasilannya.
3. Tindakan Afektif (Affectual Action)
yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosional aktor.
14
4. Tindakan tradisional (Traditional Action)
yaitu tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang biasa dan
telah lazim dilakukan.
Max Weber mengakui bahwa empat jenis tindakan sosial yang diutarakan
adalah merupakan tipe ideal dan jarang bisa ditemukan dalam kenyataan. Tetapi,
lepas dari soal itu, apa yang hendak disampaikan weber adalah bahwa tindakan
sosial apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan polapola motivasional yang berkaitan dengan itu. Untuk mengetahui arti subjektif dan
motivasi individu yang bertindak, yang diperlukan adalah kemampuan untuk
berempati pada peranan orang lain.
15
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Jumlah Etnis Tionghoa
Berdasarkan Data dari Kantor Kelurahan Tanjungpinang Kota, Etnis
Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota berjumlah 5.724 jiwa dengan rincian
sebagai berikut:
Tabel. 3.2
Jumlah Etnis Tionghoa
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Etnis Tionghoa yang pindah agama
Islam
Kristen Protestan
Hindu (semua Tionghoa)
Budha (semua Tionghoa)
Konghucu (semua Tionghoa)
Jumlah
Jumlah Jiwa
5
21
3
5.655
40
5.724
Penjelasan dari tabel diatas Etnis Tionghoa yang pindah ke agama islam
berjumlah 5 orang dikarenakan terjadi perkawinan diantara mereka. sedangkan
Etnis Tionghoa yang pindah ke Agama Kristen Protestan berjumlah 21 orang juga
dikarenakan terjadi perkawinan dengan non tionghoa. Sedangkan Yang beragama
Hindu, Budha dan Konghucu adalah semua Etnis Tionghoa.
Jumlah terbanyak penganut agama Etnis Tionghoa adalah agama Budha,
terbukti dengan adanya Kelenteng T’en Hou Kong yang sekarang dirubah menjadi
menjadi Vihara Bahtra Sasana yang Diperkirakan dibangun tahun 1857 di
Kelurahan Tanjungpinang Kota. sedangkan agama paling sedikit adalah Hindu
16
karena Masyarakat Tionghoa dari nenek moyangnya dahulu rata-rata sudah
beragama Budha.
3.2 Peta Kelurahan Tanjungpinang Kota
R
W
IX
Sumber: Kantor Kelurahan Tanjungpinang Kota
Masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kelurahan Tanjungpinang Kota
Rata-rata berada di setiap RW yang ada di Kelurahan tersebut, kecuali di RW I,
RW II dan RW V, karena di RW tersebut didominasi Masyarakat non Tionghoa
17
seperti masyarakat yang berasal dari suku Melayu, jawa, bugis, Batak, dan
Padang.
Ketua RW nya juga rata-rata dari Etnis Tionghoa, kecuali ketua RW I, RW
II dan RW V itu adalah non Tionghoa dan beragama islam. Masyarakat Tionghoa
kebanyakan memiliki rumah-rumah yang berada di pelantar-pelantar atau diatas
laut, dikarenakan dari dahulu mereka mengikuti cara dari nenek moyang membuat
rumah diatas laut salah satu fungsinya adalah mempermudah mereka melakukan
transaksi dalam berdagang atau berjualan dan mudah menyebrang antar pulau,
serta mereka merasa nyaman karena jauh dari jalan raya.
Rumah mayoritas Etnis Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota
berbentuk rumah dan toko (ruko) dan berdekatan dengan yang lainnya, juga
kebanyakan setiap rukonya memiliki usaha baik itu usaha menjual makanan atau
barang seperti pakaian, elektronik ataupun perhiasan. Pemilik ruko merupakan
orang-orang tionghoa dan ada juga ruko yang mereka sewakan kepada orang
Padang, Jawa dan Melayu.
Etnis Tionghoa sering berkumpul-kumpul antar sesama mereka di Warung
Kopi pada siang hari, warung kopi yang sering dijadikan berkumpul etnis
tionghoa adalah warung kopi pagi-sore yang berada di jalan merdeka. Pada malam
harinya pusat keramaian juga berada di Pujasera, berada di sepanjang jalan
menuju pelantar II, berada di Pasar malam Jl. Tengku Umar yang mayoritas di
dominasi oleh orang-orang Tionghoa yang berjualan makanan.
18
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Perilaku Tertutup Masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota
Perilaku tertutup Masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota
adalah perilaku tertutup dari aspek sosial, bukan ketertutupan dari aspek Ekonomi.
Yg dimaksud bukan ketertutupan dari aspek ekonomi adalah terjadi interaksi yang
baik antara penjual Tionghoa dengan non tionghoa yang berada di pasar bongkar
muat barang, pasar ikan ataupun pasar sayur.
Ketertutupan dari aspek sosial seperti tidak bisa mengikuti rapat yang
diadakan pihak Rukun Tetangga (RT) atau Kelurahan juga tidak aktif dalam
kegiatan gotong royong, sinis atau memiliki rasa curiga dengan orang yang baru
dikenalnya. Bahkan jika Penulis ingin menjumpai informan sulit sekali dan harus
melalui perantara Ketua RT/RW, jika tidak melaui Ketua RT/RW maka tidak
akan bisa mewawancarainya, akan terjadi penolakan dari informan/etnis tionghoa
tersebut.
Menurut informasi yang disampaikan oleh salah satu pegawai Kelurahan
Tanjungpinang Kotayang berinisial IS berpendapat bahwa masyarakat tionghoa di
Kelurahan Tanjungpinang Kota ini masih memiliki rasa trauma terkait
diskriminasi pada masa orde baru meskipun anak mudanya sekarang tidak
merasakan diskriminasi tersebut secara langsung tetapi ada nilai-nilai yang
ditanamkan dari orang tuanya terkait sikap diskriminasi masyarakat pribumi
sehingga mereka menganggap orang pribumi (asli indonesia) jahat sehingga orang
tionghoa membatasi berbaur dengan masyarakat pribumi.
19
menurut salah satu pendapat warga yang ada di RW IV berinisial IJ
mengatakan: orang tionghoa itu sombong, kalau ngumpul maunya hanya dengan
sesama nya saja, sudahlah tidak lancar bicara bahasa Indonesia, mereka tidak
mau belajar lagi. Jadi sampai tua tak pandai bahasa indonesia. kalau berada di
depan orang ramai apalagi didepan orang-orang melayu kan tidak enak didengar
kalau dia ngomong pake bahasa china terus.
Menurut pendapat yang disampaikan oleh warga RW IX berinisial NI
yang berprofesi sebagai pedagang bahwa orang tionghoa kalau berteman sangat
selektif, mereka tidak mau sembarangan berteman. Mereka suka ngumpul dengan
sesamanya saja karena suku yang sama.
Perilaku Tertutup Masyarat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota
dalam penelitian ini dikelompokkan dalam Tipe Tindakan Sosial oleh Max
Weber, pertama yaitu Tindakan Sosial yang berorientasi tujuan, kedua Tindakan
Sosial yang berorientasi Nilai, ketiga Tindakan Afektif dan keempat Tindakan
Tradisional.
masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota pada dasarnya
memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap orang yang bukan dari sukunya baik
itu dari suku melayu, jawa, batak, flores dan padang. Terbukti jarang Adanya
konflik terhadap masyarakat Tionghoa. Mereka berinteraksi dengan baik dengan
orang non tionghoa, seperti terjalinnya kerjasama yang baik dipasar bongkar muat
barang, orang tionghoa dan melayu saling menolong dalam bekerja, juga anakanak muda tionghoa yang sekarang sudah banyak berteman dengan orang melayu,
jawa dll. bahkan mereka tidak suka kalau disebut orang cina, mereka lebih suka
20
dipanggil orang tionghoa. mereka juga sudah mengakui sebagai pribumi karena
dari lahir bahkan sejak nenek moyang mereka sudah berada di Kota
Tanjungpinang, bahkan ada juga yang tidak mengetahui lagi keluarga mereka
yang di China.
Faktor yang mendominasi ketertutupan Masyarakat Tionghoa adalah
dikarenakan mereka sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan mereka
rela untuk membayar apabila tidak bisa hadir gotong-royong. Menurut mereka
mencari kerja di Tanjungpinang lama-kelamaan semakin sulit misal banyak anak
mudanya setelah tamat SMA itu bekerja diluar Tanjungpinang seperti pergi ke
Bali atau Singapore, jadi sekarang mereka harus bersungguh-sungguh untuk
bekerja. karena terlalu sibuk bekerja dari beberapa informan penulis jumpai
mereka bahkan ada yang tidak mengenal Ketua RT nya.
Sikap sinis masyarakat tionghoa terhadap orang yang baru dikenalnya
mungkin akan membuat orang berkata orang Tionghoa itu sombong, tetapi ada
faktor yang menyebabkan mereka berperilaku seperti itu karena mereka masih ada
rasa trauma pada masa lalu sehingga membuat mereka harus waspada terhadap
orang yang baru dikenalnya.
Didalam kehidupan Masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota
tidak ada nilai-nilai yang diajarkan dari orang tua ataupun nenek moyang mereka
untuk membatasi berbaur dengan orang-orang non tionghoa, juga tidak ada
anggapan bahwa mereka sebagai etnis tionghoa lebih baik statusnya dibandingkan
dengan orang-orang non tionghoa, bagi mereka semua suku itu sama saja ada
orang baik dan ada yang tidak baik.
21
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa penelitian yang telah dilakukan, maka selanjutnya
hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku tertutup Masyarakat
Tionghoa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
Pertama, Etnis Tionghoa berperilaku tertutup karena sibuk bekerja, bagi
Etnis Tionghoa bekerja merupakan kebutuhan paling utama sehingga mereka
bersedia untuk membayar atau mengupah orang lain untuk menggantikan mereka
karena tidak bisa aktif dalam kegiatan sosial seperti tidak datang gotong-royong
atau rapat yang diundang Ketua RT ataupun dari pihak kelurahan, tindakan ini
merupakan tindakan berorientasi tujuan.
Kedua, perilaku tertutup Masyarakat Tionghoa dikarenakan beberapa
sebab yaitu:
faktor makanan dan minuman yang berbeda, bagi Etnis Tionghoa yang
rata-rata beragama Budha tidak haram kalau mengkonsumsi daging Babi, Juga
minuman seperti minuman beralkohol atau minuman keras lainnya, kalau menurut
yang beragama islam itu diharamkan. Jadi menurut etnis tionghoa hal ini yang
membatasi interaksi mereka.
faktor komunikasi, karena Masyarakat Tionghoa tidak lancar berbahasa
indonesia yang menyebabkan mereka tidak bisa berbaur dengan baik, tindakan ini
merupakan tindakan berorientasi nilai.
22
Ketiga, perilaku tertutup Masyarakat Tionghoa berupa sinis dan tidak mau
diwawancarai jika bertemu orang yang baru dikenalnya, diakibatkan karena
trauma pada masa dahulu ada orang yang memintai iuran terus menerus kepada
mereka bahkan orang tersebut mengaku dari unsur pemerintah, juga trauma
karena adanya pencurian yang terjadi di lingkungan mereka dan takut kalau
mereka terkena hipnotis sehingga mereka sinis terhadap orang yang baru
dikenalnya, tindakan ini merupakan bentuk tindakan afektif.
5.2 Saran
Untuk
menindaklanjuti
pembahasan
dan
kesimpulan
yang
telah
dikemukakan, maka disampaikan beberapa saran yaitu:
a. sebagai warga negara indonesia yang baik tentunya juga harus bisa
berinteraksi yang baik pula dengan sesama WNI, meskipun masyarakat Tionghoa
selalu sibuk dalam kesehariannya sebaiknya bisa menyempatkan waktu untuk bisa
berbaur dengan baik masyarakat disekitarnya terutama dengan orang-orang diluar
sukunya agar tidak mendapat label eksklusif dan sombong.
b. sebaiknya Masyarakat Tionghoa bisa membiasakan diri untuk nyaman
dan beradaptasi dengan baik kalau berbaur dengan non tionghoa, tidak hanya
berkaitan perekonomian saja, tetapi juga dalam pergaulan sehari-hari. Karena
mereka merasa sudah menjadi masyarakat pribumi di Kota Tanjungpinang.
c. Masyarakat Tionghoa yang belum lancar berbahasa Indonesia sebaiknya
harus belajar Bahasa Indonesia, karena keberadaan mereka sudah lama di Kota
Tanjungpinang tentu harus bisa menyesuaikan cara komunikasinya, agar bisa
berinteraksi dengan baik dengan orang-orang non tionghoa.
23
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana
Bungin, Burhan. 2015. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Formatformat Kuantitatif dan Kualitatif Untuk Studi Sosiologi, Kebijakan Publik,
Komunikasi, Manajemen dan Pemasaran. Jakarta: Kencana
Damsar. 2015. Pengantar Teori Sosiologi. Jakarta: Kencana
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang. 2006. Tanjungpinang
Land of Malay History. Tanjungpinang: Pemerintah Kota Tanjungpinang
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tanjungpinang. 2012. Profil
Perkembangan
Kependudukan
Kota
Tanjungpinang
Tahun
2011.
Tanjungpinang: Pemerintah Kota Tanjungpinang
Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi Teks Pengantar & Terapan.
Jakarta: Kencana
Noorkholish. 2009. Sosiologi From Max Weber, Essays in Sosiology, Oxford
University Press, 1946. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern: Dari
Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
24
Ritzer, George. 2009. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
Rajawali Pers
Shadily, Hassan. 1993. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Setiati, Dwi, Suarman. 2012. Budaya Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang.
Tanjungpinang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung:
Alfabeta
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
Suryadinata, Leo. 2005. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002.
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia
B. Skripsi
Anggria, Rian. 2014. Budaya Politik Etnis Tionghoa di Kota Tanjungpinang.
Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji
Susilawati, Mely. 2012. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan anak (studi
kasus masyarakat Desa Berakit Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten
Bintan). Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji
Yusriana, Ra. K. Dip. Skripsi Perilaku Sosial Remaja Dalam Memanfaatkan
Ruang Publik Perkotaan
C. Jurnal
Budiman, Didin. Bahan Ajar M.K Psikologi Anak Dalam Penjas PGSD
25
eJournal Sosiatri - Sosiologi Konsentrasi, Volume 3, Nomor 1, 2015: 60-70
Juditha, Christiany. 2015. Stereotip dan Prasangka dalam Konflik Etnis Tionghoa
dan Bugis Makassar,Makassar: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Komunikasi dan Informatika Volume 12, Nomor 1, Juni 2015: 87-104.
Revida, Erika. 2006. Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina dengan pribumi di
Kota Medan Sumatera Utara. Departemen Administrasi Negara FISIP
USU
Rochmawati. 2004. Pembauran yang tak pernah selesai. Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI. Jurnal Masyarakat dan
Budaya, Volume 6 No. 2 Tahun 2004
Setia Gunawan, Ganda. 2011. Eksklusivitas Golongan dan Konflik Sosial. FISIP
Universitas Sebelas Maret
Warda, Natia. 2013. Identitas Tionghoa pada masyarakat Bandung Kontemporer.
Bandung: Institut Teknologi Bandung
Winarta, Frans H. 2004. Hambatan Sosial Budaya Dalam Pembauran Masyarakat
Tionghoa dengan Masyarakat Lokal dalam Law Review, Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan, Vol IV, No. I, Juli 2004.
D. Internet
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23488/3/Chapter%20II.pdf
diakses 08 Februari 2016
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta dalam http://rayendar.blogspot.co.id/2015/06/metode-penelitian
menurut-sugiyono-2013.html diakses 09 September 2016
26
Download