BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, mereka membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan sandang, pangan atau papan untuk kelangsungan hidupnya. Individu memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun potensi yang ada pada setiap individu sangat terbatas sehingga harus meminta bantuan kepada individu lain yang sama-sama hidup dilingkungan sekitarnya atau yang dikenal manusia sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya. Karena pada dasarnya suatu fungsi yang dimiliki oleh manusia satu akan sangat berguna dan bermanfaat bagi manusia lainnya. Karena fungsi-fungsi sosial yang diciptakan oleh manusia ditujukan untuk saling berkolaborasi dengan sesama fungsi sosial manusia yang lainnya, dengan kata lain, manusia menjadi sangat bermartabat apabila bermanfaat bagi manusia lainnya. Fungsi-fungsi sosial manusia lahir dari kebutuhan akan fungsi tersebut oleh orang lain, dengan demikian produktivitas fungsional dikendalikan oleh berbagai macam kebutuhan manusia. Setiap manusia memiliki kebutuhan masingmasing secara individual maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut, maka perlu adanya perilaku selaras yang dapat diadaptasi oleh 1 masing-masing manusia. Penyelarasan kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan individu, kelompok dan kebutuhan sosial satu dan lainnya, menjadi konsentrasi utama pemikiran manusia dalam masyarakat yang beradab (Bungin, 2008:25-26). Indonesia adalah negara yang multikultural dan multi etnik, akan tetapi golongan keturunan yang paling sulit kedudukannya dalam masyarakat indonesia adalah masyarakat etnik cina. Etnik cina memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan – kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, dan khususnya mempunyai keyakinan keagamaan yang lain sama sekali dari masyarakat yang terdapat di Indonesia (Suparlan, 1978). Orang Tionghoa di Indonesia yang meliputi 3% (sekitar enam juta jiwa) dari penduduk Indonesia, dalam jumlah yang relatif kecil ini orang Tionghoa tersebar di Seluruh wilayah Indonesia. Meskipun merupakan kelompok minoritas, keberadaan orang Tionghoa di Indonesia selalu menjadi bahan perhatian. Dapat dikatakan bahwa hampir selalu ada reaksi bahwa tanggapan dari masyarakat terhadap kehadiran orang Tionghoa di lingkungan kehidupan mereka. Terutama jika muncul masalah yang melibatkan orang Tionghoa. Identitas pribumi dan non pribumi yang sulit dihapus sering menimbulkan masalah yang dapat memicu terjadinya konflik antar etnis. Meskipun minoritas, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia dianggap berarti karena ada anggapan bahwa mereka sangat berperan dalam menjalankan roda perekonomian di negara ini. Di negeri asalnya, nenek moyang orang tionghoa hidup dalam konteks sebagai masyarakat agraris. Namun di perantauan 2 dengan beratnya kondisi pergulatan hidup yang dihadapi, mereka mengembangkan diri diluar bidang pertanian, yaitu perdagangan. Dari sejak zaman VOC sampai beberapa rezim pemerintahan setelah kemerdekaan, kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia dibatasi oleh berbagai peraturan pemerintah yang bernuansa diskriminasi. Kondisi itu memaksa mereka membatasi ekspresi publiknya. Bagi masyarakat pada umumnya sikap hidup orang Tionghoa yang sangat berhati-hati seringkali memberikan kesan bahwa orang Tionghoa sangat tertutup dalam kehidupan sosial budayanya atau dengan kata lain dalam kehidupan sehari-hari orang Tionghoa dianggap bersikap eksklusif. Secara umum etnik cina di Indonesia membuat lingkungannya sendiri untuk dapat hidup secara “eksklusif” dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi leluhur. Ong Hok Kham ( dalam Ning, 1992) menyatakan bahwa eksklusivisme orang cina itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas. Jika memang demikian, alam pemikiran etnik cina itu masih seperti pola pikir masa silam pada masa penjajahan. Era reformasi yang sedang berlangsung di indonesia sejak tahun 1998 mengubah tatanan berbagai segi kehidupan yang ada dalam masyarakat. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang melindas orang Tionghoa di Indonesia. Dalam kaitannya dengan upaya pemerintah pasca orde baru untuk membangun kesetaraan tanpa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, langkah nyata yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid waktu itu adalah dengan mengeluarkan 3 keputusan Presiden No 6/2000 yang mencabut Intruksi Presiden No 14/1967 yang bersisikan tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan dikeluarkannya Kepres No 6/2000, orang Tionghoa di Indonesia diperbolehkan menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat cina tanpa harus meminta izin khusus (Setiati, Dwi, 2012:.3). Generasi-generasi yang pada tahun 1998 masih anak-anak mungkin tidak mengalami secara langsung diskriminasi dan perlakuan buruk dari warga pribumi terhadap warga keturunan Tionghoa. Kalaupun mengalami, mungkin belum cukup dewasa untuk memahami sepenuhnya arti dari kejadian-kejadian tersebut, sehingga kini terbiasa hidup dengan keheterogenan masyarakat Indonesia. Generasi muda Indonesia kini, baik yang pribumi maupun yang bukan, sudah tidak memiliki prasangka seburuk orang tuanya terhadap satu sama lain dalam (Warda, Natia. 2013:2). Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri garis batas antara warga pribumi Indonesia dengan warga Indonesia yang kebetulan memiliki nenek moyang Tionghoa masih ada. Berbagai stereotip masih sering dikenakan pada kelompok etnis Tionghoa. Generasi muda keturunan Tionghoa pun masih ada yang mendapat didikan dan ajaran dari orang tuanya untuk tidak berbaur sepenuhnya dengan warga pribumi, menjunjung tinggi budaya Tionghoa, dan berkiblat ke Tiongkok. Meskipun masyarakat pada umumnya sudah tidak saling berprasangka buruk, nilai-nilai yang diturunkan dari orang tua sebagai akibat dari trauma masa lalu tetap akan membekas dan mempengaruhi pola pikir dan cara hidup (Warda, Natia. 2013:2). 4 Hasil penelitian Rochmawati tahun 2004 dengan judul pembauran yang tak pernah selesai ialah: Pemerintah Hindia Belanda meletakkan masyarakat Tionghoa kedalam strata kelas dua sedangkan pribumi berada di strata kelas 3, sehingga Etnis Tionghoa merasa lebih baik dibanding warga pribumi, Masyarakat Tionghoa yang masih memegang teguh budaya nenek moyang nya dan memandang suku mereka lebih baik dibanding dengan suku lainnya, serta dikarenakan Masyarakat Tionghoa adalah menguasai sektor perekonomian, sehingga timbul kecemburuan sosial dari etnis pribumi. Hasil penelitian yang dilakukan Erika Revida tahun 2006 dengan judul Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina dengan pribumi di Kota Medan Sumatera Utara adalah: karena adanya stereotif (prasangka) masyarakat pribumi terhadap etnis Tionghoa seperti: faktor ekonomi (yang menganggap etnis Tionghoa tidak jujur terhadap masyarakat pribumi), serta karena gaya hidup etnis Tionghoa yang mencolok, serta banyaknya pemukiman elite dan eksklusif warga Tionghoa. Penelitian Taufik dan Thoyibi Tahun 2009 dengan judul Mengurai Akar Kekerasan Etnis pada Masyarakat Pluralis hasilnya adalah: perlakukan secara diskriminatif oleh penjajah Belanda yang menjadikan masyarakat pribumi statusnya berada di kelas ketiga dibanding etnis Tionghoa yang berada di kelas kedua sehingga menyebabkan kecemburuan sosial, serta Etnis Tionghoa merasa kelompoknya lebih baik dibanding masyarakat pribumi. Hasil penelitan Ganda Setia Gunawan tahun 2011 dengan judul Eksklusivitas Golongan dan konflik sosial di Surakarta adalah sikap eksklusif etnis Tionghoa yang tidak mau berbaur dengan masyarakat, sombong, suka 5 mengadu domba, adanya kesenjangan di bidang ekonomi yang dikuasai etnis Tionghoa sehingga masyarakat pribumi menjadi terpinggirkan, serta trauma yang dialami oleh etnis Tionghoa pada masa lalu terkait dengan diskriminasi. Orang-orang Tionghoa sudah Ratusan Tahun berada di Kota Tanjungpinang. dalam berbagai sumber disebutkan bahwa komunitas cukup besar dari orang-orang Cina di Riau bermula pada masa pemerintahan Daeng Celak, yakni yang dipertuan muda Riau II dalam Tahun 1728 – 1745. Ketika itu sedang digalakkan pengembangan produk gambir sebagai salah satu komoditas Ekspor yang cukup bernilai ekonomis tinggi. Orang-orang cina banyak datang dan bekerja dalam bidang pengolahan gambir. (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, 2006). Menurut informasinya, pendapat cina pada masa itu, kemudian oleh yang dipertuan muda Riau II Daeng Celak, diberi kelonggaran untuk menempati Senggarang sebagai tempat kediaman atau pemukiman orang cina. mereka pun membangun kawasan itu sebagai perkampungan dan sejumlah rumah ibadah. Perhatian semakin diberikan bagi pertumbuh kembangan senggarang ketika Daeng Kamboja menjadi yang dipertuan muda Riau III. Malahan ada yang berpendapat, bahwa senggarang adalah kawasan yang dikembangakan secara nyata sebagai kota kala itu oleh Daeng Kamboja. (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, 2006). Kemudian pada masa berikutnya, ketika Raja Haji sebagai yang dipertuan Muda Riau IV (1777-1784) yang wafat pada tanggal 18 Juni 1784 , berdatangan pula orang-orang cina yang banyak 6 dipekerjakan sebagai pembuat peluru/proyektol logam dan mesiu/sendawa (obat bedil) untuk kepentingan penguasa setempat (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, 2006). Masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kelurahan Tanjung Pinang Kota keberadaan nya sudah lama juga, terbukti dengan adanya Kelenteng T’en Hou Kong yang Diperkirakan dibangun tahun 1857 oleh masyarakat cina kala itu dari etnis Hokien. Lalu, oleh Masyarakat Tionghoa Tanjungpinang kelenteng tersebut sudah beberapa kali diubah – suai dan dalam tahun 1975 diresmikan sebagai Vihara. Terletak di Jl. Merdeka, Tanjungpinang. (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, 2006) Kota Tanjungpinang merupakan salah satu kota di Indonesia yang konsentrasi penduduk Tionghoanya cukup besar. Keadaan ini membuat budaya Tionghoa tampak cukup menonjol dalam kehidupan masyarakat di kota ini, berdampingan dengan budaya penduduk asli setempat yaitu Melayu dan budayabudaya suku pendatang yang sangat beragam. Sampai sejauh ini keberadaan masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang tidak pernah terusik dengan masalah pertentangan antar suku seperti yang banyak terjadi di daerah lain. Rudi Chua, seorang tokoh muda Tionghoa di Kota Tanjungpinang, dalam pernyataannya yang dimuat dalam Batam Ekpres mengatakan bahwa meskipun tidak pernah melalui surat pernyataan resmi atau upacara adat, suku melayu, pemilik sah negeri segantang lada ini telah lama menerima kehadiran orang Tionghoa sebagai tetangga, teman dan saudara dalam mengisi dan membangun daerah kepulauan Riau secara bersama-sama tanpa ada perbedaan, serta berdasarkan hak dan kewajiban yang sama dan dengan semangat yang dijiwai 7 oleh rasa persatuan. Ia juga menyampaikan pandangan bahwa kesediaan masyarakat melayu menerima kehadiran masyarakat Tionghoa sejak berabad-abad yang lalu sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan dari masyarakat Kepulauan Riau, juga harus diterima oleh warga Tionghoa dengan segala konsekuensi dan tanggung jawab yang menyertainya. Salah satu tanggung jawab moral yang harus diwujudkan ialah keikut sertaan mereka mengisi pembangunan di Kepulauan Riau bersama golongan masyarakat yang lain. Berbagai suku pendatang yang menetap dan menjadi bagian masyarakat kota Tanjungpinang dalam hidup kesehariannya masih membawa sebagian adatistiadat dari tempat asalnya, begitu juga halnya dengan orang Tionghoa. Budaya dan sistem kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang nya tidak hilang begitu saja meskipun mereka merupakan generasi yang secara turun temurun lahir diperantauan. Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang dalam jangka waktu yang lama telah berinteraksi dengan masyarakat melayu. Oleh karena itu, sedikit banyak mereka tentu telah menyerap beberapa aspek budaya dari masyarakat setempat, misalnya dalam hal bahasa, makanan dan sebagainya. Namun, berkaitan dengan sistem kepercayaan yang masih dianut oleh sebagian besar dari mereka, maka dalam kehidupan sosial budayanya, mereka memelihara tradisi yang sesuai dengan sistem kepercayaan tersebut (Setiati, Dwi, 2012:.4-5). Masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota rata-rata merupakan Masyarakat Tionghoa peranakan dan sudah menjadi Warga Negara Indonesia dan sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga di Kelurahan Tanjungpinang Kota. Identitas etnis Tionghoa di masa Kolonial dapat 8 di identifikasikan dalam dua term, totok dan peranakan. Totok diidentifikasikan dalam relasinya dengan sejarah kelahiran mereka di Negeri leluhur mereka, sementara peranakan mengacu pada kelahiran di luar China dan derajat penyesuaian diri dengan konteks lokal, misalnya bahasa, agama, nasionalisme, dan sebagainya (Ibrahim, 2013:24). Pengamatan penulis di lapangan Masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota berbaur dan hidup berkelompok hanya dengan sesamanya sukunya saja, jarang mau berbaur dengan Suku-suku yang lain di luar suku mereka. hanya berkaitan dengan perekonomian saja mereka mau berbaur dengan diluar sukunya, contoh: adanya interaksi di pasar ikan yang bercampur antara pedagang Tionghoa dengan pedagang orang melayu, adanya pekerjaan bongkar muat barang yang berada di pelantar 1, pelantar 2 dan Jl. Pasar Ikan yang mana orang Tionghoa bekerja sama dengan orang melayu untuk mengangkat barang. Tetapi jika berkaitan dengan kegiatan sosial mereka jarang sekali mau berbaur dengan diluar suku Tionghoa. Seperti tidak mau aktif berpartisipasi dalam rapatrapat yang diundang oleh pihak Ketua RT/RW atau Pihak Kelurahan, juga tidak mau aktif dalam kegiatan Gotong-royong yang diadakan pihak RT/RW. Kelenteng T’en Hou Kong merupakan rumah ibadah masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota, pada hari-hari peringatan keagamaan akan ramai dikunjungi oleh masyarakat Tionghoa. Ada juga berasal dari luar daerah seperti dari Kabupaten Bintan, tetapi itu hanya interaksinya dengan sesama Masyarakat Tionghoa saja, tidak dengan masyarakat diluar Etnis Tionghoa. 9 Anak-anak Etnis Tionghoa rata-rata disekolahkan di sekolah-sekolah yang mayoritas banyak anak-anak Tionghoanya atau di Sekolah swasta milik orang Tionghoa. juga Pemudanya tidak mau aktif dalam kegiatan-kegiatan kepemudaan, misalnya tidak mau hadir rapat pemuda yang diundang RT/RW, ataupun tidak hadir ketika mau gotong royong. pemuda Tionghoanya rata-rata akan keluar Kota Tanjungpinang setelah tamat SMA, baik itu untuk bekerja ataupun kuliah. Serta Masyarakatnya tidak mau diwawancari jika ada seseorang yang akan melakukan pendataan Verifikasi dan Validasi Data untuk keperluan di Pemerintahan. Dan Masyarakatnya apatis terhadap kepemimpinan di Tingkat RT/RW, terbukti dari beberapa Ketua RT/RW nya yang masih menjabat 15 sampai 25 Tahun menjadi ketua RT/RW. Oleh karena itu, Penulis merasa tertarik dengan fenomena ini dan ingin mengetahui lebih dalam tentang Perilaku Tertutup Masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota - Kota Tanjungpinang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Mengapa Masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota berperilaku Tertutup? 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Untuk mengetahui Perilaku Tertutup Masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota. 10 1.3.2 Kegunaan Penelitian 1.3.2.1 Bahan masukan dan referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan permasalahan yang sama. 1.3.2.2 Memberikan informasi tentang Kondisi Masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota. 1.4 Konsep Operasional Konsep operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel yaitu semacam petunjuk pelaksanaan dari cara mengukur suatu variabel tersebut. Sedangkan fungsi dari konsep operasional adalah sebagai alat untuk mengidentifikasi fenomena yang diamati dengan jelas, logika atau penalaran yang digunakan oleh peneliti untuk menerangkan fenomena-fenomena yang diteliti atau dikaji. Dalam hal ini Konsep Operasionalnya adalah: 1. Perilaku Tertutup Masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota Masyarakat tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota yang sudah lama berdomisili di Kota Tanjungpinang masih memiliki ketertutupan seperti adanya fenomena hidup suka mengelompok dengan sesamanya saja seperti keramaian yang berada di pujasera yang di dominasi oleh Etnis Tionghoa saja, mereka tidak mau terlibat dalam gotong-royong dan rapat yang diadakan pihak RT atau Kelurahan. Adanya Sikap sinis Etnis Tionghoa terhadap orang yang mau melakukan verifikasi data kepada mereka bahkan tidak mau untuk diwawancarai. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Masyarakat Indonesia dibagi ke dalam 3 strata, pertama orang-orang Eropa, kedua etnis tionghoa dan ketiga pribumi. 11 Dengan posisi etnis tionghoa berada di strata yang kedua, membuat etnis tionghoa merasa lebih baik kedudukannya dibanding pribumi. 2. Empat Tipe Tindakan Sosial Max Weber A. Tindakan yang berorientasi Tujuan: Etnis Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota merupakan penguasa di sektor perekonomian di wilayah Kelurahan Tanjungpinang Kota, sehari-hari mereka selalu sibuk bekerja sehingga menjadikannya tidak bisa aktif dalam kegiatan sosial. B. Rasionalitas yang berorientasi nilai : Perilaku Etnis Tionghoa yang berbaur dan hidup berkelompok hanya dengan sesamanya saja dan jarang membaur dengan etnis lain nya, karena mereka merasa aman berbaur dengan sesama etnis tionghoa. C. Tindakan afektif : Masyarakat Tionghoa sinis jika berjumpa dengan orang yang baru dikenalnya, terutama yang bukan berasal dari suku mereka. D. Tindakan tradisional : Etnis Tionghoa merasa lebih baik kedudukannya dibanding pribumi, masih menjunjung tinggi budaya Tionghoa dan berkiblat ke Tiongkok dan masih mendapat didikan dan ajaran dari orang tuanya untuk tidak berbaur sepenuhnya dengan warga pribumi. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tindakan Sosial Max Weber dalam (Damsar,2015:116) Tindakan Sosial merupakan suatu tindakan individu yang memiliki arti atau makna (meaning) subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang lain. Contoh: katakanlah anda seorang pria, biasanya dipandang tidak sebagai pesolek. Ketika gaya rambut anda berubah, dari sisiran kesamping, dikenal dengan beatle, menjadi belah tengah, membuat para sahabat anda memberikan bermacam komentar. Jawaban anda adalah. “cari suasana baru saja!” maka aktivitas mengubah gaya rambut, apapun alasannya, dapat dipandang sebagai tindakan sosial. Kenapa demikian? Apapun alasan anda, tetap akan berujung pada keberadaan kaitan dengan orang lain atau dikenal dengan konsep sosial. Oleh sebab itu, tindakan anda yang memiliki makna subjektif, seperti “cari suasana baru saja” berkait dengan orang lain. Kenapa bisa begitu? Sebab anda perlu “cari suasana baru saja” agar ada sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya dalam kaitannya dengan orang lain. Inilah dimensi sosial dari suatu tindakan subjektif. Weber menemukan bahwa tindakan sosial tidak selalu memiliki dimensi rasional tetapi terdapat berbagai tindakan non rasional yang dilakukan oleh orang, termasuk dalam tindakan orang dalam kaitannya dengan berbagai aspek dalam kehidupan, seperti politik, sosial dan ekonomi. 13 Menurut Marx Weber tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seseorang melempar batu ke dalam sungai bukan tindakan sosial. Tapi tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan sosial kalau dengan melemparkan batu tersebut dimaksudkannya untuk menimbulkan reaksi dari orang lain seperti mengganggu seseorang yang sedang memancing misalnya dalam (George Ritzer,2009). Max Weber dalam (George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2004 mengemukakan empat tipe Tindakan Sosial yaitu: 1. Tindakan Sosial yang berorientasi tujuan atau penggunaan Rasionalitas instrumental (Werktrational Action) tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku obyek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain. Artinya tindakan sosial itu sudah dipertimbangkan dengan benar tujuan dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. 2. Tindakan Sosial yang berorientasi nilai (Zwerk Rational) tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya. 3. Tindakan Afektif (Affectual Action) yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosional aktor. 14 4. Tindakan tradisional (Traditional Action) yaitu tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan. Max Weber mengakui bahwa empat jenis tindakan sosial yang diutarakan adalah merupakan tipe ideal dan jarang bisa ditemukan dalam kenyataan. Tetapi, lepas dari soal itu, apa yang hendak disampaikan weber adalah bahwa tindakan sosial apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan polapola motivasional yang berkaitan dengan itu. Untuk mengetahui arti subjektif dan motivasi individu yang bertindak, yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati pada peranan orang lain. 15 BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Jumlah Etnis Tionghoa Berdasarkan Data dari Kantor Kelurahan Tanjungpinang Kota, Etnis Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota berjumlah 5.724 jiwa dengan rincian sebagai berikut: Tabel. 3.2 Jumlah Etnis Tionghoa No. 1. 2. 3. 4. 5. Etnis Tionghoa yang pindah agama Islam Kristen Protestan Hindu (semua Tionghoa) Budha (semua Tionghoa) Konghucu (semua Tionghoa) Jumlah Jumlah Jiwa 5 21 3 5.655 40 5.724 Penjelasan dari tabel diatas Etnis Tionghoa yang pindah ke agama islam berjumlah 5 orang dikarenakan terjadi perkawinan diantara mereka. sedangkan Etnis Tionghoa yang pindah ke Agama Kristen Protestan berjumlah 21 orang juga dikarenakan terjadi perkawinan dengan non tionghoa. Sedangkan Yang beragama Hindu, Budha dan Konghucu adalah semua Etnis Tionghoa. Jumlah terbanyak penganut agama Etnis Tionghoa adalah agama Budha, terbukti dengan adanya Kelenteng T’en Hou Kong yang sekarang dirubah menjadi menjadi Vihara Bahtra Sasana yang Diperkirakan dibangun tahun 1857 di Kelurahan Tanjungpinang Kota. sedangkan agama paling sedikit adalah Hindu 16 karena Masyarakat Tionghoa dari nenek moyangnya dahulu rata-rata sudah beragama Budha. 3.2 Peta Kelurahan Tanjungpinang Kota R W IX Sumber: Kantor Kelurahan Tanjungpinang Kota Masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kelurahan Tanjungpinang Kota Rata-rata berada di setiap RW yang ada di Kelurahan tersebut, kecuali di RW I, RW II dan RW V, karena di RW tersebut didominasi Masyarakat non Tionghoa 17 seperti masyarakat yang berasal dari suku Melayu, jawa, bugis, Batak, dan Padang. Ketua RW nya juga rata-rata dari Etnis Tionghoa, kecuali ketua RW I, RW II dan RW V itu adalah non Tionghoa dan beragama islam. Masyarakat Tionghoa kebanyakan memiliki rumah-rumah yang berada di pelantar-pelantar atau diatas laut, dikarenakan dari dahulu mereka mengikuti cara dari nenek moyang membuat rumah diatas laut salah satu fungsinya adalah mempermudah mereka melakukan transaksi dalam berdagang atau berjualan dan mudah menyebrang antar pulau, serta mereka merasa nyaman karena jauh dari jalan raya. Rumah mayoritas Etnis Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota berbentuk rumah dan toko (ruko) dan berdekatan dengan yang lainnya, juga kebanyakan setiap rukonya memiliki usaha baik itu usaha menjual makanan atau barang seperti pakaian, elektronik ataupun perhiasan. Pemilik ruko merupakan orang-orang tionghoa dan ada juga ruko yang mereka sewakan kepada orang Padang, Jawa dan Melayu. Etnis Tionghoa sering berkumpul-kumpul antar sesama mereka di Warung Kopi pada siang hari, warung kopi yang sering dijadikan berkumpul etnis tionghoa adalah warung kopi pagi-sore yang berada di jalan merdeka. Pada malam harinya pusat keramaian juga berada di Pujasera, berada di sepanjang jalan menuju pelantar II, berada di Pasar malam Jl. Tengku Umar yang mayoritas di dominasi oleh orang-orang Tionghoa yang berjualan makanan. 18 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Perilaku Tertutup Masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota Perilaku tertutup Masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota adalah perilaku tertutup dari aspek sosial, bukan ketertutupan dari aspek Ekonomi. Yg dimaksud bukan ketertutupan dari aspek ekonomi adalah terjadi interaksi yang baik antara penjual Tionghoa dengan non tionghoa yang berada di pasar bongkar muat barang, pasar ikan ataupun pasar sayur. Ketertutupan dari aspek sosial seperti tidak bisa mengikuti rapat yang diadakan pihak Rukun Tetangga (RT) atau Kelurahan juga tidak aktif dalam kegiatan gotong royong, sinis atau memiliki rasa curiga dengan orang yang baru dikenalnya. Bahkan jika Penulis ingin menjumpai informan sulit sekali dan harus melalui perantara Ketua RT/RW, jika tidak melaui Ketua RT/RW maka tidak akan bisa mewawancarainya, akan terjadi penolakan dari informan/etnis tionghoa tersebut. Menurut informasi yang disampaikan oleh salah satu pegawai Kelurahan Tanjungpinang Kotayang berinisial IS berpendapat bahwa masyarakat tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota ini masih memiliki rasa trauma terkait diskriminasi pada masa orde baru meskipun anak mudanya sekarang tidak merasakan diskriminasi tersebut secara langsung tetapi ada nilai-nilai yang ditanamkan dari orang tuanya terkait sikap diskriminasi masyarakat pribumi sehingga mereka menganggap orang pribumi (asli indonesia) jahat sehingga orang tionghoa membatasi berbaur dengan masyarakat pribumi. 19 menurut salah satu pendapat warga yang ada di RW IV berinisial IJ mengatakan: orang tionghoa itu sombong, kalau ngumpul maunya hanya dengan sesama nya saja, sudahlah tidak lancar bicara bahasa Indonesia, mereka tidak mau belajar lagi. Jadi sampai tua tak pandai bahasa indonesia. kalau berada di depan orang ramai apalagi didepan orang-orang melayu kan tidak enak didengar kalau dia ngomong pake bahasa china terus. Menurut pendapat yang disampaikan oleh warga RW IX berinisial NI yang berprofesi sebagai pedagang bahwa orang tionghoa kalau berteman sangat selektif, mereka tidak mau sembarangan berteman. Mereka suka ngumpul dengan sesamanya saja karena suku yang sama. Perilaku Tertutup Masyarat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota dalam penelitian ini dikelompokkan dalam Tipe Tindakan Sosial oleh Max Weber, pertama yaitu Tindakan Sosial yang berorientasi tujuan, kedua Tindakan Sosial yang berorientasi Nilai, ketiga Tindakan Afektif dan keempat Tindakan Tradisional. masyarakat Tionghoa di Kelurahan Tanjungpinang Kota pada dasarnya memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap orang yang bukan dari sukunya baik itu dari suku melayu, jawa, batak, flores dan padang. Terbukti jarang Adanya konflik terhadap masyarakat Tionghoa. Mereka berinteraksi dengan baik dengan orang non tionghoa, seperti terjalinnya kerjasama yang baik dipasar bongkar muat barang, orang tionghoa dan melayu saling menolong dalam bekerja, juga anakanak muda tionghoa yang sekarang sudah banyak berteman dengan orang melayu, jawa dll. bahkan mereka tidak suka kalau disebut orang cina, mereka lebih suka 20 dipanggil orang tionghoa. mereka juga sudah mengakui sebagai pribumi karena dari lahir bahkan sejak nenek moyang mereka sudah berada di Kota Tanjungpinang, bahkan ada juga yang tidak mengetahui lagi keluarga mereka yang di China. Faktor yang mendominasi ketertutupan Masyarakat Tionghoa adalah dikarenakan mereka sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan mereka rela untuk membayar apabila tidak bisa hadir gotong-royong. Menurut mereka mencari kerja di Tanjungpinang lama-kelamaan semakin sulit misal banyak anak mudanya setelah tamat SMA itu bekerja diluar Tanjungpinang seperti pergi ke Bali atau Singapore, jadi sekarang mereka harus bersungguh-sungguh untuk bekerja. karena terlalu sibuk bekerja dari beberapa informan penulis jumpai mereka bahkan ada yang tidak mengenal Ketua RT nya. Sikap sinis masyarakat tionghoa terhadap orang yang baru dikenalnya mungkin akan membuat orang berkata orang Tionghoa itu sombong, tetapi ada faktor yang menyebabkan mereka berperilaku seperti itu karena mereka masih ada rasa trauma pada masa lalu sehingga membuat mereka harus waspada terhadap orang yang baru dikenalnya. Didalam kehidupan Masyarakat Tionghoa Kelurahan Tanjungpinang Kota tidak ada nilai-nilai yang diajarkan dari orang tua ataupun nenek moyang mereka untuk membatasi berbaur dengan orang-orang non tionghoa, juga tidak ada anggapan bahwa mereka sebagai etnis tionghoa lebih baik statusnya dibandingkan dengan orang-orang non tionghoa, bagi mereka semua suku itu sama saja ada orang baik dan ada yang tidak baik. 21 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisa penelitian yang telah dilakukan, maka selanjutnya hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku tertutup Masyarakat Tionghoa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, Etnis Tionghoa berperilaku tertutup karena sibuk bekerja, bagi Etnis Tionghoa bekerja merupakan kebutuhan paling utama sehingga mereka bersedia untuk membayar atau mengupah orang lain untuk menggantikan mereka karena tidak bisa aktif dalam kegiatan sosial seperti tidak datang gotong-royong atau rapat yang diundang Ketua RT ataupun dari pihak kelurahan, tindakan ini merupakan tindakan berorientasi tujuan. Kedua, perilaku tertutup Masyarakat Tionghoa dikarenakan beberapa sebab yaitu: faktor makanan dan minuman yang berbeda, bagi Etnis Tionghoa yang rata-rata beragama Budha tidak haram kalau mengkonsumsi daging Babi, Juga minuman seperti minuman beralkohol atau minuman keras lainnya, kalau menurut yang beragama islam itu diharamkan. Jadi menurut etnis tionghoa hal ini yang membatasi interaksi mereka. faktor komunikasi, karena Masyarakat Tionghoa tidak lancar berbahasa indonesia yang menyebabkan mereka tidak bisa berbaur dengan baik, tindakan ini merupakan tindakan berorientasi nilai. 22 Ketiga, perilaku tertutup Masyarakat Tionghoa berupa sinis dan tidak mau diwawancarai jika bertemu orang yang baru dikenalnya, diakibatkan karena trauma pada masa dahulu ada orang yang memintai iuran terus menerus kepada mereka bahkan orang tersebut mengaku dari unsur pemerintah, juga trauma karena adanya pencurian yang terjadi di lingkungan mereka dan takut kalau mereka terkena hipnotis sehingga mereka sinis terhadap orang yang baru dikenalnya, tindakan ini merupakan bentuk tindakan afektif. 5.2 Saran Untuk menindaklanjuti pembahasan dan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka disampaikan beberapa saran yaitu: a. sebagai warga negara indonesia yang baik tentunya juga harus bisa berinteraksi yang baik pula dengan sesama WNI, meskipun masyarakat Tionghoa selalu sibuk dalam kesehariannya sebaiknya bisa menyempatkan waktu untuk bisa berbaur dengan baik masyarakat disekitarnya terutama dengan orang-orang diluar sukunya agar tidak mendapat label eksklusif dan sombong. b. sebaiknya Masyarakat Tionghoa bisa membiasakan diri untuk nyaman dan beradaptasi dengan baik kalau berbaur dengan non tionghoa, tidak hanya berkaitan perekonomian saja, tetapi juga dalam pergaulan sehari-hari. Karena mereka merasa sudah menjadi masyarakat pribumi di Kota Tanjungpinang. c. Masyarakat Tionghoa yang belum lancar berbahasa Indonesia sebaiknya harus belajar Bahasa Indonesia, karena keberadaan mereka sudah lama di Kota Tanjungpinang tentu harus bisa menyesuaikan cara komunikasinya, agar bisa berinteraksi dengan baik dengan orang-orang non tionghoa. 23 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Bungin, Burhan. 2015. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Formatformat Kuantitatif dan Kualitatif Untuk Studi Sosiologi, Kebijakan Publik, Komunikasi, Manajemen dan Pemasaran. Jakarta: Kencana Damsar. 2015. Pengantar Teori Sosiologi. Jakarta: Kencana Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang. 2006. Tanjungpinang Land of Malay History. Tanjungpinang: Pemerintah Kota Tanjungpinang Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tanjungpinang. 2012. Profil Perkembangan Kependudukan Kota Tanjungpinang Tahun 2011. Tanjungpinang: Pemerintah Kota Tanjungpinang Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi Teks Pengantar & Terapan. Jakarta: Kencana Noorkholish. 2009. Sosiologi From Max Weber, Essays in Sosiology, Oxford University Press, 1946. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 24 Ritzer, George. 2009. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers Shadily, Hassan. 1993. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta Setiati, Dwi, Suarman. 2012. Budaya Masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang. Tanjungpinang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Suryadinata, Leo. 2005. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia B. Skripsi Anggria, Rian. 2014. Budaya Politik Etnis Tionghoa di Kota Tanjungpinang. Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji Susilawati, Mely. 2012. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan anak (studi kasus masyarakat Desa Berakit Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan). Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji Yusriana, Ra. K. Dip. Skripsi Perilaku Sosial Remaja Dalam Memanfaatkan Ruang Publik Perkotaan C. Jurnal Budiman, Didin. Bahan Ajar M.K Psikologi Anak Dalam Penjas PGSD 25 eJournal Sosiatri - Sosiologi Konsentrasi, Volume 3, Nomor 1, 2015: 60-70 Juditha, Christiany. 2015. Stereotip dan Prasangka dalam Konflik Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar,Makassar: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Volume 12, Nomor 1, Juni 2015: 87-104. Revida, Erika. 2006. Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina dengan pribumi di Kota Medan Sumatera Utara. Departemen Administrasi Negara FISIP USU Rochmawati. 2004. Pembauran yang tak pernah selesai. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 6 No. 2 Tahun 2004 Setia Gunawan, Ganda. 2011. Eksklusivitas Golongan dan Konflik Sosial. FISIP Universitas Sebelas Maret Warda, Natia. 2013. Identitas Tionghoa pada masyarakat Bandung Kontemporer. Bandung: Institut Teknologi Bandung Winarta, Frans H. 2004. Hambatan Sosial Budaya Dalam Pembauran Masyarakat Tionghoa dengan Masyarakat Lokal dalam Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol IV, No. I, Juli 2004. D. Internet http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23488/3/Chapter%20II.pdf diakses 08 Februari 2016 Sugiyono, 2013. Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta dalam http://rayendar.blogspot.co.id/2015/06/metode-penelitian menurut-sugiyono-2013.html diakses 09 September 2016 26