KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM Norma Dg. Siame* Abstract At the Arab pre-Islamic era—often called the era of ignorance and barbarity—women are treated unfairly and very painful. The arrival of Islam provide the space and life is very beautiful and satisfying. Elevating women equal to men, as God Almighty says that only taqwa which distinguishes humans from each other. So a woman is considered irregularities if only as a supplement when a woman can give that might exceed its share of men. Therefore, women need to get an education equal to men and equal opportunities in activities including engage in the political world and become a leader, according to their talents and abilities. Kata kunci : Pemimpin, wanita dan Syari’ah Islam Pendahuluan Kepemimpinan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menggerakkan orang lain dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Maka kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out), artinya berhasil tidaknya seorang pemimpin tidak terlepasdari kepribadian maupun ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan didorong oleh keinginan untuk melakukan suatu perubahan dan perbaikan dalam masyarakatnya. Maka peran dan fungsi wanita pada dasarnya sama dengan laki-laki bahkan dalam pandangan Islam didudukan secara sama dalam hukum. Uraian ini sangat jelas dalam Alquran surah An-Nisa ayat 1: 72 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 71-81 Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.1 Wanita juga menempati diri sebagai sang pengayom bagi siapa saja, sehingga dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Ungkapan ini sangat populer lewat sebuah hadits yang mengatakan, "surga di bawah telapak kaki ibu". Yang menjadi pokok persoalan, ialah masih adanya kecenderungan penilaian bahwa normativitas Islam menghambat ruang gerak wanita dalam masyarakat. Hal ini didukung oleh pemahaman bahwa tempat terbaik bagi wanita adalah di rumah, sedangkan di luar rumah banyak terjadi kemudharatan. Pandangan yang paling umum adalah bahwa keluarnya wanita dari rumah untuk maksud tertentu dihukumi dengan subhat, antara diperbolehkan dan tidak. Dalam bahasan fiqh ibadah, jika subhat lebih baik ditinggalkan. Sedangkan dalam fiqh muamallah bisa dijalankan dengan rukhshah darurat. Akan tetapi menurut pandangan Qardhawy, bahwa keluarnya wanita dari rumah untuk keperluan tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan wanita di dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka waktu tertentu sebagai bentuk penghukuman.2 Hal ini tercermin dalam Surah an-Nisa ayat 15; Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah 1 Departermen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: AlHidayah, 1998), 114. 2 Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Qur'an dan Sunnah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), 231 Norma Dg. Siame, Kepemimpinan Wanita dalam 73 Perspektif Syariat Islam sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Wanita dalam Perspektif Sejarah Pandangan Sekitar Wanita Berbicara mengenai wanita dalam Islam penulis mencoba menoleh sejenak untuk melihat kembali sejarah bagaimana posisi wanita dalam pandangan agama-agama sebelum disentuh Islam. Kebudayaan cina menganggap perempuan memiliki dunia tersendiri yang berpusat dirumah, di situ terjadi pemisahan tegas antara dunia lakilaki dan dunia perempuan, dalam the book of changes, dijumpai ungkapan yang sangat ekstrim tentang dua pemisahan jenis ini: istri yang baik itu ialah yang sabar, puas melihat dunia sejauh dunia yang dapat di lihat melalui celah-celah pintunya”.3 Dalam teks-teks ritual klasik posisi wanita dalam penganut Konfusionisme, (diterjemahkan dalam banyak arti seperti penuh kebijakan, manusiawi, kemanusiaan, cinta atau bahkan hanya kebaikan), mengaggap bahwa perempuan harus taat kepada suami apapun yang terjadi. Istri tidak pernah mempunyai dasar untuk menuntut cerai terhadap suaminya, bahkan setelah kematian suaminya, ia harus tetap setia kepadanya dan tidak pernah menikah lagi.4 Di mata bangsa Romawi wanita dikenal dengan semboyan “Wanita tidak punya ruh”, sehingga wanita mengalami berbagai siksaan yang kejam seringkali mereka harus menahan panasnya minyak yang disiramkan ketubuhnya yang sudah diikat pada sebuah tiang.5 Inilah kondisi wanita pra-Islam yang difahami sebuah priode kebodohan dimana wanita diperlakukan tidak wajar. Pada masa itu wanita tidak mendapat penghargaan malah diperlakukan lebih dari barang dagangan, sebagai budak, sungguh sangat menyedihkan nasib para wanita dalam sejarah agama-agama dunia. Wanita dalam Perspektif Sejarah Islam. Kiprah wanita dalam sejarah menorehkan hasil yang gemilang. Wanita difahami telah memberikan andil yang besar dalam bidang intelektual klasik. Banyak ditemukan guru-guru agama, perawi hadits, bahkan sufi wanita. Siti Aisyah dikenal sebagai pembawa hadist yang 3 Arfin Sharma, Perempuan dalam agama-agama dunia, (Jakarta: Diperta Depag, CIDA, McGill-proyect, 2002), 24. 4 Ibid., 163-167. 5 Haya binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslim, (Cet. XII; Jakarta: Darul Falah, 1423 H.), 3. 74 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 71-81 sangat berarti, bahkan para shabahat nabi belajar padanya. Dalam sejarah juga ditemukan sufi Rabi'ah Al-Adawiyah yang dalam maqam sufi dikenal sebagai wanita yang sangat berpengaruh di zamannya dengan segala kontroversi yang menyelimutinya.6 Disamping berperan dalam agen intelektual dan kemuliaan, wanita memegang peranan dalam proses da'wah Islam. Wanita seperti Asma bin Abu Bakar merupakan contoh bagaimana seorang wanita dapat memberikan andil yang sangat berarti untuk menyusun strategi hijrah Nabi.7 Karya-karya besar wanita ini menarik para ulama Islam untuk menulis biografi tentang peranan wanita dalam jamannya. Tidak kurang dari 35 ulama besar menulis tentang wanita dan segala perjuangannya. Ulama seperti Ibnu Hajar al-Asqalani (852/1449) menulis kamus biografis pertama tentang semua orang muslim terkemuka yang meninggal pada satu abad tertentu. Islam abad ke delapan Hijrah/Keempat belas Masehi.8 Jumlah dan proporsi wanita yang terekam ke dalam tulisan ulama meliputi para sahabat Shahabat merujuk kepada gender laki-laki dan shahabiah merujuk kepada gender perempuan. Artian secara umum generasi shahabat adalah orang-orang yang hidup semasa nabi yang mengakui, menerima Islam dan menerima segala konsekuensinya, baik usia ketika itu sudah dewasa dan kecil. Shahabat dalam pandangan kaum Sunni menempati kedudukan mulia, sedangkan dalam pandangan kaum Syi'ah para sahabat menyimpang setelah Nabi wafat.9 Dari perspektif ini terlihat bahwa sejarah memberikan peranan yang besar. Peranan besar wanita terlihat pertama kali ketika Siti Khadijah (istri nabi pertama) sebagai pengikut pertama Muhammad, bukan dari laki-laki-laki. Kajian ini telah ditelaah oleh Ibnu Sa'ad secara panjang lebar, sepanjang dengan kajian tentang kajian sahabat.10 Al-Qur'an sebagai sumber yang paling otoritatif dalam Islam, memberikan uraian yang panjang lebar, bahkan salah satu suratnya 6 Lihat lebih jauh dalam Ruth Roded, Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata Penulis Biografi Muslim, (Bandung, Mizan, 1995). 7 Lihat dalam peranan Asma binti Abu Bakar dalam memberikan strategi persembunyian Rasul dan Abu Bakar di gua Tsur ketika di kejar-kejar oleh orang Quraisy dalam Ramadhan al Buthi, Sirah Nabawiyah I, (Jakarta: Rabbani Press, 1990). 8 Lihat dalam F. Rosenthal, "Ibnu Hajar al-Asqalani," yang dikutip oleh Ruth Roded, Kembang…, 23 9 Juynboll, Muslim Tradition, yang dikutip oleh Ruth Roded, ibid., 39 10 Ibid., 48 Norma Dg. Siame, Kepemimpinan Wanita dalam 75 Perspektif Syariat Islam merujuk langsung kepada wanita (surat An-Nisa'). Banyak ditemukan bahwa wanita menjadi sebab turunnya ayat, baik dalam kapasitas peringatan ataupun dalam kapasitas memberikan kejelasan. Ayat tentang wanita yang berkait dengan peringatan adalah tentang ayat Hijab dalam Al-Ahzab dan An-Nur, dan ayat tentang tuntutan harta istri nabi, sedangkan ayat tentang sanjungan dan kejelasan adalah ayat yang memberikan keterangan tentang kesucian Aisyah yang sempat didiamkan Nabi dalam surat. Meski kita lihat setting utama yang digunakan adalah istri-istri nabi.11 Bahkan dalam keluarga Nabi sendiri, anak wanita menjadi sangat dominan. Nabi pernah mempunyai anak laki-laki (Ibrahim bin Muhammad) akan tetapi meninggal dunia ketika masih remaja. Sedangkan anak yang perempuan sebanyak 4 orang, dan yang paling utama adalah Fatimah Zahrah. Bahkan dari generasi Fatimah ini diklaim sebagai generasi yang akan melahirkan keturunan yang paling baik dan ma'shum. Hal ini dapat dilihat dengan kemunculan mazhab politik Syi'ah yang kemudian menjadi mazhab Aqidah. Bahkan dalam sejarah varian dari mazhab Syi'ah ini mengambil nama Fatimah az-Zahra sebagai varian dari Syiah. Lebih jauh mazhab ini mampu mendirikan sebuah pemerintahan Fatimiyah Isma'liyyah di Mesir.12 Karya lain wanita dalam sejarah Islam adalah keterlibatannya dalam proses ba'iah (sumpah setia). Sumpah setia dari 2 wanita Madinah untuk masuk Islam dan setia kepada Nabi tercermin dalam Bai'ah AnNisa'i (bai'ah Perempuan). Bukan hanya itu saja, dalam bai'ah kedua jumlah wanita mencapai 449 wanita menyatakan diri masuk Islam dan menerima kerasulan Muhammad, yang kemudian dikenal dengan bai'ah harbi (perang). Bai'ah itu sendiri dimaknai sebagai bentuk kesepakatan atau kontrak sosial. Bai'ah masih satu rumpun dengan kata al-ba'i atau jual beli. Bai'ah ini dilaksanakan di bukit Aqobah, antara Nabi dan orang-orang Madinah. 11 Q.S. An-Nisa: 128, An-Nur: 20, Al-Ahazab 32-33. Ataupun peran Ummi Kultsum binti 'Uqbah yang masuk ke Madinah setelah Perjanjian Hudaibiyyah, lihat dalam Q.S. Mumtahanah: 10 12 Abu Zahrah Muhammad, Mazhab Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta, Logos, 1996). 76 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 71-81 Dalam perspektif yang khusus bai'ah sebagai tonggak berdirinya masyarakat Islam atau sebagai embrio negara Islam Madinah.13 Kedudukan wanita mendapat posisi yang menakjubkan dalam sejarah, orang yang pertama kali mendapat syahadah adalah wanita bukan pria. Orang itu adalah Sumayyah binti Khubbat, yang meninggal di Makkah dibunuh oleh Abu Jahl. Bahkan banyak wanita menjadi perantaraan turunnya peristiwa mukjizat, maupun ramalan masa mendatang.14 Hal lain yang cukup mengedepan adalah keterlibatan wanita dalam beberapa pertempuran yang menentukan. Baik dalam masa Nabi maupun dalam masa khilafah Rasyidin. Yang cukup kontroversial adalah keterlibatan Siti Aisyah dalam perang Unta (Jamal) melawan Ali bin Abu Thalib karena masalah pengusutan pembunuhan Utsman yang tidak tuntas. Di samping analisis di sekitar shahabat dan keluarga Nabi, wanita di jaman tabi'in. Wanita seperti 'Amra binti 'Abdur Rahman, sebagai seorang ahli fiqih yang mempunyai hubungan yang dekat dengan Aisyah. Terdapat pula Hafshah binti Sirin, sebagai seorang ahli hadist generasi kedua dari Basrah, yang terkenal dengan ketaqwaan dan kezahidannya. Ia digambarkan oleh Ibnu Jauzi digambarkan sebagai wanita yang shaleh, ia melakukan shalat sepanjang waktu. Terdapat pula Aisyah binti Thalhah cucu Abu Bakar yang dalam sejarah cukup mengandung kontroversi, dari kepandaiannya sebagai penyampai hadist maupun tentang kecantikannya. Analisis tentang peran wanita dalam sejarah dalam zaman Abbasiyah melebar ke dalam masalah politik kenegaraan. Ummu Salamah, istri dari Abu al-Abbas sang pendiri Abbasiyah mempunyai pengaruh yang besar kepada suaminya, bahkan Abu al-Abbas selalu meminta pertimbangannya dalam segala hal. Kemenakan perempuan Harun al-Rasyid, Zubaidah mampu mempengaruhi untuk mendapatkan hak-hak istimewa. Pengaruh Zubaidah sendiri sampai masa pemerintahan khalifah al-Makmun. Dalam kekhilafahan Abbasiyah, puncak peran wanita dalam masalah politik adalah dengan tampilnya Syajarat ad-Durr yang sempat memerintah di Mesir selama beberapa bulan. Kapasitas Syadjarat ad-Durr sebelumnya adalah sebagai istri Sultan Ayyubiyah yakni Malik Ash-Shalih Najmuddin. Kemampuan Syadjarat at-Durr tidak hanya dalam masalah pemerintahan, ia juga terlibat dalam perang melawan pasukan Salib. Dia memerintah 13 Fathi Osman, "Bay'ah Al-Imam: Kesepakatan Pengangkatan Kepala Negara Islam" dalam Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993), 75-96. 14 Ruth Roded, Kembang…, 74 Norma Dg. Siame, Kepemimpinan Wanita dalam 77 Perspektif Syariat Islam karena kondisi yang sangat darurat, suaminya terbunuh yang mengharuskan ia mengambil kekuasaan ketika kondisi pemerintahan kacau, dan ancaman eksternal sangat kuat. Hal demikian juga dialami oleh Ghaziyah, yang memerintah mengatasnamakan putranya yang masih kecil setelah suaminya meninggal. Ia dilukiskan oleh Adz-Dzahabi sebagai orang yang shaleh dan sopan. Kekayaan tampilnya wanita dalam politik banyak di warnai dalam sejarah dinasti Mamluk dan Seljuk. Wanita dalam Sistem Islam. Dalam sistem Islam, wanita ditempatkan dalam 3 kategori besar: 1. Wanita sebagai umat beriman Wanita sebagai bagian tak terpisahkan dari umat mendapat perlakuan yang sama persis dengan laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan Muamalah, tidak ada kelebihan laki-laki atas wanita. Dengan demikian wanita mempunyai hak yang sama dalam usaha melakukan perbaikan (Is}lah) dalam masyarakat. Memang dalam batasan tertentu menurut Mazhab Hambali, seorang wanita yang kafir tidak disiksa seberat laki-laki kafir. Bahkan dalam sejarah banyak ditemukan bahwa wanita bagi umat memberikan makna dan simbol kesucian dengan pengabdiannya yang luar biasa.15 Dengan peranannya tersebut wanita menjadi sangat mempunyai arti penting dalam dimensi spiritual. Di samping dalam lingkup spiritual, wanita juga mempunyai peran penting dalam hal pendidikan anak. 2. Wanita sebagai anggota keluarga Kedudukan wanita di keluarga dalam Islam ditempatkan sebagai tempat terhormat. Bahkan wanita di rumah tangganya menjadi pilar utama yang akan menopang keberlangsungan keluarga. Kehormatan wanita ini tercermin dalam ungkapan hadits: Seseorang bertanya kepada Nabi, pekerjaan apakah yang sangat disenangi Tuhan. Ia berkata: menunaikan shalat tepat pada waktunya. Orang itu melanjutkan: kemudian apa? Nabi bersabda, bersikap murahlah kepada ayah dan ibumu. Bahkan dalam ungkapan hadits yang lain, yang paling dihormati di dalam keluarga adalah ibu, baru kemudian ayah. Sebelum kehadiran Islam, seperti yang telah diungkap Qur'an kelahiran seorang wanita adalah sebuah aib bahkan jika lahir hidup akan dikubur hidup-hidup. 15 Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi, Hak Azazi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), 230-233 78 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 71-81 Hal dapat di lihat dalam ayat berikut: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (Q.S. 16: 58-59) Dengan mempertimbangkan kejadian ini, maka Alquran memberikan jaminan persamaan akan hak hidup perempuan: "Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh ... maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya" (Q.S. 31:8-9). Dalam pandangan Islam, kedudukan wanita di keluarga memberikan makna penjagaan syariat. Dialah pendidik dan penanam utama syariat sedari dini kepada anggota keluarga yang lain. Lebih dari itu, seorang wanita akan menjadi peletak kepemimpinan dan syura dalam keluarga. Dari sinilah arti penting wanita dalam proses pendidikan dan sosialisasi dalam keluarga. 3. Wanita sebagai Anggota dalam Masyarakat Peranan wanita dalam masyarakat tidak terpisahkan dari keluarga. Perubahan sosial di masyarakat tidak akan berlangsung jika tidak terdapat gerakan dari keluarga. Keterlibatan wanita dalam masyarakat adalah; sebagai agen intelektual, sebagai agen ketrampilan masyarakat, sebagai agen di bidang politik, sebagai agen di bidang militer, sebagai agen di bidang hukum dan di bidang ekonomi. Norma Dg. Siame, Kepemimpinan Wanita dalam 79 Perspektif Syariat Islam Kepemimpinan Wanita: Feminis dan Syariah Kepemimpinan wanita merupakan persoalan pelik yang sampai saat ini terus menjadi perbincangan. Lingkup perbincangan tersebut bermula dari tatanan syari'ah yang memberikan barrier berupa sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita (HR. Bukhari). Interprestasi akan Hadits sebagai sumber kedua setelah Alquran biasanya diletakkan kepada persoalan Sanad dan Perawinya. Artinya apakah secara matan (isi) suatu hadits tersebut bertentangan atau tidak dengan Alquran, atau dapat difahami dengan logika Islam sebagai agama yang fitrah atau tidak. Kemudian interprestasi yang lain adalah berdasarkan kekuatan sanad ataupun pembawanya. Dengan menggunakan kekuatan sanad akan melahirkan jenis hadist dari tingkat Shahih sampai dloif, mursal bahkan palsu. Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah Shahih sebab periwayatannya dari Abu Bakrah yang kemudian dikutip Bukhari. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari termasuk ke dalam hadis yang shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada yang difahami secara tekstual, ataupun difahami secara kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum wanita menjadi kepala pemerintahan. Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa hadits tersebut berkaitan dengan diangkatnya seorang wanita Persia menjadi pemimpin meski disekitarnya terdapat banyak calon pemimpin yang memadai, hanya karena hukum kerajaan menghendaki demikian.16 Mayoritas ulama ushul melihat bahwa pertimbangan keumuman lafazh lebih mengedepan bukan pada kekhususan sebab. Meski demikian Ibnu Abbas dan Ibnu Umar tidak semata-semata itu, hal ini setidaknya melihat dampak dari pemahaman yang demikian dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti Khawarij yang berlebihan dalam agama. Golongan Khawarij dalam menafisrkan ayat maupun hadits secara tekstual, sehingga menjadikan agama sangat berat, bahkan sampai mengkafirkan perbedaan pendapat.17 Jumhur ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan dalam al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di mana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam matan hadits tersebut terdapat kata 16 Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah…, 246 Abu Zahrah Muhammad, Mazhab Politik … 17 80 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 71-81 "Wallu Amrakum" (Yang Memerintah Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam. Sehingga jumhur ulama memberikan pengharaman pada wanita. Hampir ulama klasik memandang perlu untuk mengetengahkan bahwa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun.18 Akan tetapi dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang tertentu, yang tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri.19 Meski demikian perkembangan pemikiran tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan. Pandangan kaum modernis terutama yang diwakili oleh kalangan feminis. Fatimah Mernisi seorang feminis muslim asal Aljazair bahkan secara radikal menyerang pemahaman ulama yang telah membuat fiqh yang diskriminasi kepada perempuan. Banyak hak perempuan dikebiri. Dan sabahat Abu Bakrah dalam hal ini menjadi tertuduh terbesar. Sebab dialah yang mengingatkan Khalifah Ali setelah perang Jamal dengan Aisyah. Abu Bakrah sendiri menurut Mernisi adalah Sahabat yang pernah dihukum oleh Umar bin Khattab karena keraguan dalam memberikan saksi. Sehingga menurut Fatimah Mernisi hadis yang diriwayatkan Abu Bakrah adalah palsu dan tidak bisa dijadikan hujjah. Tampaknya Fatimah Mernisi menjadi sangat emosional, sehingga ketika Ali membenarkan hadis tersebut tak gubris. Bahkan Ali dipahami juga turut berbohong demi kepentingan politiknya. Lebih lanjut Hasan bin Ali juga mendukung hadis tersebut, dan disebutnya Hasan bin Ali ada kepentingan karena kekuasaannya akan diambil Muawiyah.20 Kesimpulan Sejak awal Islam dipromosikan sebagai agama pembebasan maka pembebasan yang pertama adalah pembebasan kaum wanita dari kesewangwenangan kaum pria baik karena kultural suatu bangsa atau budaya masyarakat setempat yang pasti bahwa dengan kedatangan Islam wanita terbebas dari segala belenggu penindasan dan ketidak adilan atas segala haknya, termasuk menjadi seorang pemimpin. Tidak bolehnya wanita duduk dalam kepemimpinan politik adalah produk ulama bias gender. 18 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). 19 Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah..., 248. 20 Fatimah Mernisi, Wanita dan Politik di dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994). Norma Dg. Siame, Kepemimpinan Wanita dalam 81 Perspektif Syariat Islam Karena dari pengertian kepemimpinan itu sendiri sampai pada pengangkatan derajat wanita yang dilakukan Rasulullah bahkan dalam Alqurantidak satupun ayat yang menyatakan pelarangan bagi wanita untuk menjadi pemimpin. Saat wanita memiliki kemampuan dan loyalitas serta kecerdasan yang tinggi maka tidak ada salahnya wanita maju dipanggung politik untuk memberikan sumbangsi yang berharga untuk kepentingan agama, bagsa dan negara atas ridha Allah swt. Daftar Pustaka Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Islam dan Barat, Departemen Agama RI. Alqurandan Terjemahnya. Surabaya: Al-Hidayah 1998. Qardhawy, Yusuf, Fiqh Daulah dalam Perspektif Alqurandan Sunnah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997 Muhammad, Abu Zahrah, Jakarta: Logos 1996. Mazhab Politik dan Akidah dalam Islam. Mubarak al-Barik Haya, Ensiklopedi Wanita Muslim cet.12, Jakarta: Darul Falah, 1423 H. Mernisi Fatimah, Wanita dan Politik dalam Islam. Bandung: Pustaka 1994. Nasution Harun, Bahtiar Efendi, Hak Azazi Manusia dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989. Arfin, Sharma, Perempuan dalam Agama-Agama Dunia. Jakarta: Diperta Depag (CIDA) Manusia.Gill Proyek 2002 Roded Ruth, Kembang Peradaban Citra Wanita di mata penulis Biografi Muslim, Bandung: Mizan 1995. Fathir, Usman, Bai’ah al-Imam Kesepakatan Pengangkatan Kepala Negara Islam (Masalah-masalah politik dalam Islam), Bandung: Mizan, 1993. *Dosen Tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Datokarama Palu