BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Epilepsi dan Obat Anti Epilepsi 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epilepsi dan Obat Anti Epilepsi
1. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai serangan paroksismal berulang dengan interval
lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang pasti. Serangan paroksismal tersebut dapat
bermanifestasi
sebagai
positif
eksitasi (motorik,
sensorik, psikis)
atau
bermanifestasi negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, atau kemampuan bicara)
atau gabungan dari keduanya. International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali
definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya
(Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Harsono et al. 2012; Fisher et al. 2005).
2. Diagnosis Epilepsi
Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan anamnesis yang berupa kejang
berulang, kejang fokal atau umum dan apakah disertai perkembangan normal atau
terlambat, pemeriksaan fisis dan neurologis serta pemeriksaan penunjang EEG dan
MRI kepala. Epilepsi pada anak berdasarkan manifestasi klinis dan EEG dapat
dibedakan menjadi epilepsi fokal dan epilepsi umum. Epilepsi fokal ditentukan
berdasarkan semiologi kejang fokal dan atau disertai EEG fokal dengan gelombang
7
8
epileptik repetitif pada satu lobus atau satu hemisfer. Bila semiologi kejang umum
disertai dengan gambaran EEG fokal, hal tersebut menunjukkan epilepsi fokal
menjadi umum. Adapun epilepsi umum ditegakkan berdasarkan semiologi kejang
umum disertai gelombang epiletiform pada seluruh hemisfer (Soetomenggolo dan
Ismael, 1999; Ali et al. 2013; Fisher et al. 2005).
Berdasarkan usia awitan, semiologi klinis, gambaran EEG yang khas, dan
pemeriksaan MRI
kepala dapat ditentukan apakah pasien termasuk sindrom
epilepsi fokal atau umum. Bila tidak termasuk keduanya maka dikategorikan
sebagai bukan sindrom (Ali et al. 2013).
Usia awitan, klinis
EEG, MRI kepala
Gambar 1. Alur diagnosis epilepsi pada anak (Ali et al. 2013).
Semiologi klinis kejang fokal dapat berupa klonus fokal, distonik fokal,
otomatisme ekstremitas fokal atau postur tonik asimetris. Ditandai dengan kepala,
mata atau keduanya bergerak ke sisi kiri atau kanan, dan disertai dengan aura.
Gambaran EEG yang dihasilkan gelombang epileptiform fokal yang hanya terdapat
pada satu hemisfer otak. Adapun semiologi klinis kejang umum yaitu serangan dari
awal mengenai seluruh tubuh dan ekstremitas dan berakhir bersamaan tubuh dan
9
ekstremitas. Bentuk kejang pada kejang umum seperti absens, mioklonik, klonik,
tonik, tonik-klonik, atonik. Gambaran EEG berupa gelombang irama dasar normal,
gelombang epileptiform spike-slow wafe complex atau gelombang polyspike wave
pada seluruh tubuh atau tiga perempat dari hemisfer otak. Pemeriksaan
neuroimaging yang dianjurkan pada pasien epilepsi umumnya adalah MRI kepala,
Tujuan MRI kepala adalah untuk mencari etiologi epilepsi (Ali et al. 2013; Nordhi
et al. 2006).
3. Pendekatan Tatalaksana Epilepsi Pada Anak
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas hidup
optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi
diperlukan beberapa upaya antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi
frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal,
menurunkan angka kesakitan dan kematian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tujuan terpenting dalam pengobatan adalah mempertahankan kadar obat dalam
therapeutic range tanpa menimbulkan gejala toksik, setelah pemberian dosis
tunggal obat anti epilepsi (OAE) puncak kadar plasma akan tercapai dalam waktu
tertentu tergantung pada proses absorbsi. Sebagian besar OAE dosis konvensional
dengan persediaan enzim yang cukup akan mengikuti kaidah first order enzyme
kinetics yaitu kecepatan biotransformasi bertambah secara linier dengan
konsentrasi obat. Namun bila enzimnya telah jenuh maka kecepatan
biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda (zero order
10
atau nonlinier kinetics) (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Harsono et al. 2012;Seth
dan Montourish, 2008). Setelah enzim hati jenuh, maka kenaikan dosis sedikit saja
akan menyebabkan peningkatan kadar plasma yang berlebihan. Keadaan ini akan
menimbulkan gejala toksik bila kadar serum sudah melebihi 10 – 15 mikrogram /
ml. Prinsip pengobatan epilepsi dapat dijelaskan sebagai berikut: (Soetomenggolo
dan Ismael, 1999; Rogawski dan Loscher, 2004; Kliegman et al. 2011; Goodman
dan Gilman, 2007)
a.
Langkah pertama dalam pengobatan adalah diagnosis pasti, karena banyak
keadaan yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi. Pengobatan umumnya
baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini penting karena pengobatan
epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
b.
Setelah diagnosis ditegakkan tindakan berikutnya adalah menentukan jenis
serangan. Setiap OAE mempunyai kekhususannya sendiri dan akan bermanfaat
secara spesifik pada jenis serangan tertentu.
c.
Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian
dosis dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan adalah
untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah, yang terpenting bukan
hanya mencapai kadar terapeutik tetapi kadar OAE bebas yang dapat
menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Kadar
OAE bebas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya penggunaan bersama
obat lain, bahan kimia dan distribusinya yang tergantung pada kelarutan dalam
lemak dan ikatannya dalam jaringan tubuh. Absorbsi dapat dipengaruhi saat
11
makan obat misalnya sebelum atau sesudah makan, jenis makanan dan obat
misalnya antasida.
d.
Kegagalan OAE sering disebabkan karena non compliance atau tidak diminum
menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat dapat diganti dengan OAE
kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap sedangkan dosis OAE pertama
diturunkan bertahap. Monoterapi lebih baik untuk mengurangi potensi adverse
effect, meningkatkan kepatuhan pasien, dan belum ada bukti bahwa politerapi
lebih baik dari monoterapi. Biasanya politerapi kurang efektif karena interaksi
antar obat justru akan mengganggu efektivitas dan adanya akumulasi efek
samping. Sebaiknya menghindari dan meminimalkan penggunaan anti epilepsi
sedatif untuk mengurangi toleransi efek pada intelegensia, memori,
kemampuan
motorik
yang
bisa
menetap
selama
pengobatan,
jika
memungkinkan terapi diinisiasi dengan satu antiepilepsi non sedatif, jika gagal
dapat diberikan anti epilepsi sedatif atau dengan politerapi
4.
Golongan Obat Anti Epilepsi
Jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi, termasuk jenis
epilepsi fokal atau umum. Obat anti epilepsi telah diklasifikasikan kedalam 5
kelompok kimiawi yaitu barbiturat, hidantoin, oksazolidindion, suksinimid
danasetilurea (Ganiswara et al. 2002; Oktaviana dan Fitri, 2008; Levy et al. 1995)
12
a. Golongan hidantoin
Pada golongan ini terdapat 3 senyawa yaitu Fenitoin, mefentoin dan etotoin,
dari ketiga jenis itu yang sering digunakan adalah Fenitoin dan digunakan
untuk semua jenis bangkitan kecuali bangkitan Lena.
b. Golongan barbiturat
Golongan obat ini sebagai hipnotik-sedatif dan efektif sebagai antikonvulsi
yang sering digunakan adalah barbiturat kerja lama (Long Acting
Barbiturates). Jenis obat golongan ini antara lain fenobarbital dan primidon,
kedua obat ini dapat menekan letupan di fokus epilepsi.
c. Golongan oksazolidindion
Salah satu jenis obatnya adalah trimetadion yang mempunyai efek
memperkuat depresi pasca transmisi sehingga transmisi impuls berurutan
dihambat.
d. Golongan suksinimida
Obat yang sering digunakan di klinik adalah jenis etosuksimid, metsuksimid
dan fensuksimid yang mempunyai efek sama dengan trimetadion.
Etosuksimid merupakan obat pilihan untuk bangkitan lena.
e. Golongan karbamazepin
Obat ini efektif terhadap bangkitan parsial komplek dan bangkitan tonik
klonik dan merupakan obat pilihan pertama di Amerika Serikat untuk
mengatasi semua bangkitan kecuali lena.
13
f. Golongan benzodiazepin
Salah satu jenisnya adalah diazepam, disamping sebagai anti konvulsi juga
mempunyai efek antiansietas dan merupakan obat pilihan untuk status
epileptikus.
g. Obat - obat generasi kedua
Vigabatrin, lamotrigin, gabapentin, felbamat, tiagabin, topiramat dan
zonisamida.
Tabel 2.1. Obat pilihan pertama dan kedua epilepsi pada anak.
Kejang
Parsial
Kejang Umum (generalized seizures)
Tonik klonik
Abssens
Mioklonik
Atonik
Obat
pilihan I
Karbamazepin
Fenitoin
Primidon
Fenobarbital
Valproat
Karbamazepin
Fenitoin
Valproat
Etosuksimid
Lamotrigin
Valproat
Valproat
Lamotrigin
Obat
pilihan II
Valproat
Lamotrigin
Gabapentin
Topiramat
Tiagabin
Lamotrigin
Topiramat
Primidon
Fenobarbital
Benzodiazepin
Clonazepam
Topiramat
Zonisamida
Benzodiazepin Topiramat
Klonazepam
Felbamat
Levitracetam
Topiramat
Zonisamida
Sumber: Soetomenggolo dan Ismael, 1999
Berikut ini akan diuraikan mengenai obat anti epilepsi yang berpengaruh
terhadap enzim CYP450 yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain:
a. Golongan Hidantoin
Dalam golongan ini terdapat tiga senyawa anti konvulsi yaitu Fenitoin
(difenilhidantoin), mefentoin dan etotoin. Dari ketiga jenis OAE diatas yang
paling sering digunakan adalah fenitoin. Berguna untuk kejang tonik lonik
14
umum, sera ngan parsial (sederhana – kompleks) dan beberapa jenis kejang
lainnya.Farmakologi dan farmakokinetik dari obat antiepilepsi ini tidak
menyebabkan efek depresi umum susunan saraf pusat (Soetomenggolo dan
Ismael, 1999; Harsono et al. 2012).
Absorbsi per oral berlangsung lambat dan tidak lengkap dengan 10 %
dari dosis oral akan diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh, kadar
puncak akan tercapai dalam 3 – 12 jam. Pemberian dalam bentuk injeksi
intramuskular akan menyebabkan pengendapan di tempat suntikan kira –
kira 5 hari dan absorbsinya berlangsung lambat. Obat ini kurang baik untuk
pengobatan jangka panjang pada anak karena banyak efek samping dan
adanya variasi yang besar dalam absorbsi dan metabolisme yang mudah
terganggu oleh antikonvulsan lain. Sebagian besar hasil metabolik akan
diekskresikan melalui empedu, mengalami reabsorbsi kembali dan
diekskresikan melalui ginjal (Goodman dan Gilman, 2007; Levy et al.
1995).
Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi adalah memblokade
pergerakan ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion
natrium yang tersisa maupun aliran ion natrium yang mengalir selama
penyebaran potensial aksi. Fenitoin juga dapat menghambat kanal kalsium
( Ca
2+
) dan menunda aktifasi aliran ion K keluar selama potensial aksi
sehingga menyebabkan kanaikan periode refractory dan menurunnya
cetusan ulangan. Dosis rata – rata adalah 5 – 7 mg/kgBB/hari dan akan
mencapai kadar terapeutik ( 10 – 20 mikrogram/ml) dalam 7 10 hari.
15
Interaksi obat golongan hidantoin khusunya fenitoin yaitu pada konsentrasi
fenitoin dalam plasma dapat meningkat bila diberikan bersama dengan
kloramfenikol, isoniazid ( INH ), karbamazepin, simetidin, dan sulfonamide
karena
terjadi
penghambatan
biotransformasi
fenitoin,
sedangkan
sulfioksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat juga akan
meningkatkan kadar fenitoin dalam plasma karena obat – obat ini dapat
mempengaruhi ikatan plasma protein dari fenitoin. Teofilin dapat
menurunkan konsentrasi fenitoin dalam plasma, karena teofilin dapat
meningkatkan biotransformasi fenitoin dan mengurangi absorbsi dan
reabsorbsi. Interaksi dengan fenobarbital dapat meningkatkan kadar fenitoin
akibat inhibisi kompetitif pada inaktifasi fenitoin. Hal yang sama berlaku
untuk kombinasi fenitoin dengan karbamazepin, karena itu terapi kombinasi
harus dilakukan secara hati – hati. Fenitoin dimetabolisir di hepar oleh
enzim mikrosomal. Oleh karena itu obat yang berpengaruh terhadap enzim
tersebut dapat merubah kadar fenitoin dalam plasma, baik secara kompetitif
maupun yang dimetabolisir oleh enzim yang sama atau justru obat yang
memacu enzim mikrosomal (Goodman dan Gilman, 2007; Gomez dan
Klass, 1983; Thilotammal et al. 1999).
Efek samping berupa vertigo, gerakan involunter, pusing, mual,
nistagmus, sakit kepala, ataksia, letargi dan perubahan perilaku. Efek
samping pemberian kronik berupa hirsutisme, hipertofi ginggiva,
peningkatan kadar lipid dan gangguan fungsi kognitif. Dapat terjadi
peningkatan SGOT dan SGPT, sedangkan efek samping berat adalah
16
kelainan hematologis (trombositopenia, leukopenia, dan anemia ) dan
sindrom steven Johnson (Ganiswara et al. 2002).
b. Fenobarbital
Fenobarbital (asam 5,5 fenil etil barbiturat ) merupakan obat yang efektif
untuk kejang parsial sederhana kompleks dan kejang tonik-klonik umum
(grand mal). Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah
menjadikan fenobarbital obat yang penting untuk tipe-tipe epilepsi ini.
Namun efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan
perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat
utama (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Harsono et al. 2012).
Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk
menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks
kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA aktivasi
reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA
dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida. Dosis awal penggunaan
fenobarbital 4-5 mg/kg/hari dalam 2 dosis dan akan mencapai kadar
terapeutik dalam 2-3 minggu. Kadar terapeutik adalah 15 – 40 mikrogram /
ml dan efek toksik mulai terlihat pada kadar lebih dari 60 mikrogram / ml.
Efek samping yang mungkin terjadi adalah mengantuk, sedasi, dan depresi.
Penggunaan
fenobarbital
pada
anak-anak
dapat
menyebabkan
hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan peningkatan profil
lipid danStevens-Johnson syndrome. Fenobarbital akan dapat merangsang
metabolisme dan mengurangi efektivitas antikonvulsan lain seperti
17
karbamazepin dan fenitoin. Pemberian yang sama dengan asam valproat
dapat menimbulkan somnolensi yang nyata dan meningkatkan kadar
fenobarbital sebanyak 40 %(Nordli et al. 2006; Ganiswara et al. 2002).
c. Karbamazepin
Secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin
digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonikklonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+ yang mengakibatkan influx
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis
pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-30 mg/kg/hari dibagi dalam
2- 4 dosis sehari dan akan mencapai kadar terapeutik ( 8 – 12 mikrogram /
ml ) dalam 3 – 4 hari tanpa loading dose, anak usia 6-12 tahun dosis awal
100 mg 2 kali sehari. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun 200 mg
2 kali sehari. Sebaiknya obat ini diberikan dengan dosis rendah dahulu tiga
kali sehari, lalu dosisnya dinaikkan perlahan – lahan dalam 2 minggu untuk
mencegah efek samping (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Ganiswara et
al. 2002).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin
adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda/diplopia), pusing,
lemah, mengantuk, mual dan akibat pemberian kronik dapat mengakibatkan
peningkatan profil lipid, ganguan fungsi hati, leukopenia. Steven johson
syndrome relatif sering terjadi akibat penggunaan obat ini sehingga pasien
harus diperingatkan apabila timbul vesikel setelah meminum obat ini.
18
Pemberian bersama obat lain misalnya Calcium channel blocker, isoniazid
dan erytromisin
menghambat
dapat
mempercepat
metabolismenya.
timbulnya
Fenobarbital
dan
toksisitas
karena
fenitoin
dapat
meningkatkan kadar karbamazepin, sedangkan karbamazepin bersama
asam valproat akan menurunkan kadar asam valproat. Konversi primidon
menjadi fenobarbital ditingkatkan oleh karbamazepin (Ganiswara et al.
2002; Bjornsson, 2008).
d. Asam Valproat
Asam valproat merupakan pilihan terapi untuk kejang parsial sederhana
maupun kompleks, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonikklonik. Pemberian Valproat (dipropilasetat, atau 2-propilpentanoat) secara
oral cepat diabsorbsi dan kadar maksimal serum dapat tercapai dalam 1-3
jam. Masa paruh asam valproat adalah 8 – 10 jam dan kadar dalam darah
stabil setelah 48 jam terapi. Asam valproat selain dapat menghambat sodium
chanel juga dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasinya
atau mengaktivasi sintesis GABA. Dosis penggunaan asam valproat 15 - 20
mg/kg/hari dalam 2 – 4 dosis untuk mencapai kadar terapeutik ( 40 – 150
mikrogram / ml) dalam 1 – 4 hari. Hubungan dosis dengan kadar serum
sangat kompleks karena masa paruh yang pendek dan ikatan protein yang
besar (Ganiswara et al. 2002; Haiser et al. 1996).
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan
(>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan.
Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
19
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai
efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari
penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Interaksi valproat dengan
obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait penggunaannya
pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan
dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi
yang dihasilkan. valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme
lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin, sehingga akan meningkatkan kadar
obat tersebut. Sedangkan kombinasi asam valproat dengan aspirin akan
meningkatkan kadar asam valproat (Coulter et al. 1980; Henriksen et al.
1982).
B. Profil Lipid
1. Definisi Profil Lipid
Lipid adalah senyawa yang berisi karbon dan hidrogen yang tidak larut dalam
air tetapi larut dalam pelarut organik. Lipid berfungsi sebagai sumber energi utama
untuk metabolisme tubuh dan berperan dalam pembentukan membran dan struktur
sel. Sedangkan profil lipid adalah gambaran kadar lipid di dalam darah dan
diperoleh dengan memeriksa kadar kolesterol total, trigliserida, Low-Density
Lipoprotein (LDL)dan High Density Lipoprotein (HDL) (Setiono, 2012).
Lipid secara umum dibagi dalam tiga kelompok yaitu lipid sederhana, lipid
majemuk dan sterol. Lipid sederhana sebagian besar mengandung tiga asam lemak
dan disebut trigliserida. Lipid majemuk adalah fosfolipid dan glikolipid sedangkan
20
jenis sterol yang sangat bermakna adalah kolesterol. Proses sintesis kolesterol
terdiri dari lima tahapan utama antara lain: (Setiono, 2012; Anzar, 2005)
a. Merubah Asetil CoA menjadi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA (HMGCoA).
b. Merubah HMG-CoA menjadi mevalonate
c. Mevalonate diubah menjadi molekul dasar isoprene yaitu isopentenyl
pyrophosphate (IPP) bersamaan dengan hilangnya CO2.
d. IPP diubah menjadi squalene
e. Squalene diubah menjadi kolesterol.
2.
Jenis Lipid
Di dalam plasma terdapat beberapa jenis lipid yang terdiri dari triasilgliserol
(16%), fosfolipid (30%), kolesterol (14%), ester kolesterol (36%) dan asam lemak
bebas (4%). Agar lipid dapat diangkut dalam sirkulasi maka susunan molekul lipid
harus dimodifikasi yaitu dalam bentuk lipoprotein yang bersifat larut dalam
air.Lipoprotein dapat dibagi ke dalam lima kategori utama tergantung pada
komposisinya. Pengelompokan dimulai dari ukuran yang paling besar dengan
densitas yang kecil hingga ke ukuran yang terkecil dengan densitas yang besar yaitu
kilomikron, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), Intermediate-Density
Lipoprotein (IDL), Low-Density Lipoprotein (LDL), dan High Density Lipoprotein
(HDL). Kilomikron mengangkut lipid yang dihasilkan dari pencernaan dan
penyerapan, VLDL mengangkut
triasilgliserol dari hati, LDL menyalurkan
kolesterol ke jaringan dan HDL membawa kolesterol ke jaringan dan
21
mengembalikannya ke hati untuk diekskresikan dalam proses yang dikenal sebagai
transpor kolesterol terbalik (reverse cholesterol transport)(Setiono, 2012; Anzar,
2005; Haris, 2010).Jenis lipid penting yang dibutuhkan di dalam tubuh adalah
sebagai berikut :
a. Trigliserida
Trigliserida adalah satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak dan
mengandung asam lemak jenuh yang saling berikatan serta berbentuk padat
pada suhu kamar. Pembawa utama trigliserida dalam plasma adalah kilomikron
dan VLDL. Trigliserida merupakan simpanan lipid yang utama pada manusia
dan berfungsi sebagai sumber energi. Apabila sel membutuhkan energi maka
enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan
asam lemak serta melepaskan ke pembuluh darah untuk selanjutnya di
metabolisme menjadi energy (Anzar, 2005; Kliegman et al. 2011).
b. Kolesterol
Kolesterol adalah alkohol steroid yang strukturnya mempunyai inti
siklopentanoperhidrofenanten. Dalam tubuh berperan untuk memperbaiki
membran sel, sintesis asam empedu dan vitamin D, prekursor hormon
adrenokortikal, androgen dan estrogen. Sekitar 60-75% kolesterol di angkut
oleh LDL dan sebagian kecil (15-25%) diangkut oleh HDL (Setiono, 2012).
c. Lipoprotein
Lipoprotein merupakan molekul lipid dan protein yang disintesis di hati. Tiap
jenis lipoprotein berbeda dalam ukuran dan densitas serta mengangkut jenis
22
lipid dalam jumlah yang berbeda pula. Fungsi lipoprotein adalah mengangkut
lipid di dalam plasma ke jaringan yang membutuhkan energi, sebagai
komponen membran sel atau prekursor metabolit aktif, lipoprotein terdiri dari:
(Anzar, 2005)
1) HDL disebut juga α-lipoprotein mengandung 30% protein dan 48% lemak.
HDL dikatakan kolesterol baik karena berperan membawa kelebihan
kolesterol di jaringan kembali ke hati untuk diedarkan kembali atau
dikeluarkan dari tubuh. HDL ini mencegah terjadinya penumpukkan
kolesterol di jaringan terutama di pembuluh darah.
2) Fungsi HDL antara lain: (Harris, 2010; Kliegman et al. 2011)
a) Meningkatkan sintesis reseptor LDL
b) Diduga sebagai sumber bahan pembentukan prostasiklin yang bersifat
anti trombosis
c) Sebagai sumber apoprotein untuk metabolisme VLDL remnant dan
kilomikron remnant
3) LDL disebut juga β-lipoprotein yang mengandung 21% protein dan 78%
lemak. LDL dikatakan kolesterol jahat karena LDL berperan membawa
kolesterol ke sel dan jaringan tubuh sehingga bila jumlahnya berlebihan,
kolesterol dapat menumpuk dan mengendap pada dinding pembuluh darah
dan mengeras menjadi plak (Kliegman et al. 2011).
4) Kilomokron merupakan lipoprotein yang paling besar dan memiliki densitas
rendah. Kilomikron berperan dalam mengangkut lipid dari saluran cerna ke
seluruh tubuh. Lipid yang diangkut terutama adalah trigliserida. Di dalam
23
pembuluh darah, kilomikron berikatan dengan Apo C-II dan Apo E dari
HDL plasma. Di dalam kapiler jaringan adiposa dan otot, asam lemak yang
terdapat dalam kilomikron dilepaskan dari trigliserida melalui aktivitas
lipoprotein lipase (LPL) yang terdapat di permukaan sel endotel. Sebagian
fosfolipid, Apo A dan Apo C ditransfer ke HDL. Kilomikron hasil
penguraian oleh LPL disebut kilomikron remnant, mengandung kolesterol,
Apo E dan Apo B-48 yang akan berikatan dengan reseptornya di hati
(Setiono, 2012; Anzar, 2005).
5) VLDL dibentuk di hati, berperan dalam transpor trigliserida ke berbagai
jaringan di dalam tubuh. Komponen VLDL terdiri dari trigliserida,
kolesterol bebas, kolesterol ester, fosfolipid dan apolipoprotein. Bagian
asam lemak dari VLDL dilepaskan ke jaringan adiposa dan otot melalui cara
yang sama dengan kilomikron. Aktivitas lipoprotein lipase mengubah
VLDL menjadi IDL dan VLDL remnant, dimana IDL akan berubah menjadi
LDL (Setiono, 2012).
3.
Metabolisme Lipid
Lemak mengalami pemecahan menjadi asam lemak bebas, trigliserida,
fosfolipid dan kolesterol di dalam usus. Kemudian diolah dan diserap ke dalam
darah dalam bentuk kilomikron. Trigliserida disimpan dalam jaringan lemak
diseluruh tubuh, sedangkan sisa pemecahan kilomikron akan diuraikan menjadi
kilomikron remnant yang beredar menuju hati. Di dalam hati pula trigliserida dan
kolesterol disintesis dari karbohidrat. Sebagian kolesterol ini akan dibuang ke
24
dalam empedu sebagai asam empedu dan sebagian lagi bersama-sama dengan
trigliserida akan bergabung dengan apoprotein B membentuk VLDL (Kliegman et
al. 2011).
VLDL ini lalu dipecah oleh enzim lipoprotein lipase menjadi IDL yang
bertahan selama 2-6 jam kemudian berubah menjadi LDL. Fungsi LDL adalah
membawa kolesterol ke jaringan perifer juga dinding pembuluh darah arteri
sehingga dapat digunakan oleh sel-sel tubuh yang memerlukan dan yang sebagian
lagi dimanfaatkan oleh hati untuk diolah kembali. Tetapi suatu ikatan lain antara
kolesterol dengan apoprotein A akan membentuk HDL. Fungsinya berlawanan
dengan LDL, yakni mengambil kolesterol dari jaringan dan membawanya ke hati
untuk dikeluarkan lewat empedu. Metabolisme lipoprotein terdapat 3 jalur antara
lain sistem eksogen sintesis lemak (melalui usus halus), sistem endogen sintesis
lemak (melalui hati), serta reverse cholesterol transport (Setiono, 2012; Kliegman
et al. 2011).
a. Jalur metabolisme eksogen
Makanan yang mengandung lemak terdiri atas trigliserida dan kolesterol.
Selain dari makanan dalam usus juga terdapat kolesterol dari hati yang
diekskresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak dari makanan
maupun dari hati disebut lemak eksogen. Di dalam enterositmukosa usus
halus, trigliserida akan diserap sebagai asam lemak bebas sedangkan
kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester. Dimana
keduanya akan membentuk lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron
bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein. Kilomikron ini akan masuk
25
ke saluran limfe yang akhirnya masuk ke dalam aliran darah melalui
duktus torasikus (Kliegman et al. 2011).
Kilomikron ini kemudian memasuki sistem limfatik dan berjalan ke
seluruh tubuh sampai mereka dipecah oleh enzim lipoprotein lipase di
dalam kapiler menjadi sisa-sisa kilomikron (chylomicron remnants) yang
berukuran lebih kecil, mengandung sedikit asam lemak, tetapi memiliki
apolipoprotein B-48 dan E. Sisa-sisa ini kemudian dibersihkan dari
sirkulasi oleh protein reseptor LDL yang ditemukan di hati (Anzar, 2005;
Kliegman et al. 2011).
b. Jalur metabolisme endogen
Trigliserida dan kolesterol di hati akan disekresi ke dalam sirkulasi
sebagai lipoprotein VLDL. Dalam sirkulasi VLDL akan mengalami
hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase dan akan berubah menjadi IDL
yang juga akan mengalami hidrolisis menjadi LDL. LDL adalah
lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. Sebagian LDL
akan dibawa ke hati, kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang
mempunyai reseptor untuk kolesterol LDL. Sebagian lagi akan mengalami
oksidasi yang akan menjadi sel busa. Makin banyak kolesterol LDL dalam
plasma oksidasi makin banyak dan ditangkap oleh sel makrofag. Beberapa
hal yang dapat mempengaruhi tingkat oksidasi antara lain : (Anzar, 2005)
1) Meningkatnya jumlah small dense LDL
2) Makin tinggi kadar kolesterol HDL yang bersifat protektif terhadap
oksidasi LDL
26
Gambar 2. Metabolisme lipoprotein (Kliegman et al. 2011)
Jalur ini dimulai dengan sintesis VLDL oleh hepar yang kemudian
disirkulasikan ke jaringan lemak dan otot. Trigliserida yang ada pada zat
ini kemudian diambil oleh lemak dan otot sekitar sedangkan komponen
permukaannya ditransfer dalam bentuk HDL. Sekitar 50% dari VLDL
dikeluarkan oleh hepar melalui LDL reseptor. Selain itu, hepar juga dapat
mengeluarkan LDL (suatu lipoprotein yang mengandung kolesterol ester
dan apoprotein B-100). HDL sendiri merupakan suatu lipoprotein yang
disintesa di hepar dan intestinum dan terdiri atas 50% protein dan 20%
kolesterol. Hati mengangkut dan mensintesa trigliserida, kolesterol, Apo
B-100, Apo C dan Apo E kemudian mengeluarkannya ke dalam sirkulasi
dalam bentuk partikel VLDL. Trigliserida yang terkandung di dalam
VLDLdihidrolisa oleh enzim lipoprotein lipase dan hepatik lipase perifer.
Hasil dari proses hidrolisa tersebut adalah partikel IDL yang mengandung
Apo B-100 dan kaya trigliserida. IDL akan ditangkap oleh reseptor Apo
27
B-100 dan Apo E (reseptor LDL) di hati atau akan dihidrolisa lebih lanjut
oleh lipase sel endotel hati menjadi LDL yang merupakan lipprotein
terpenting dalam mengangkut kolesterol serum ke perifer. Apo B-100
merupakan
komponen
protein
terbanyak
dalam
LDLsehingga
mempernudah pengangkutan kolesterol ke perifer. Reseptor-reseptor
LDLyang tersembul keluar dari permukaan sel perifer akan mengikat
lipoprotein-lipoprotein yang berisi Apo B-100 dan Apo E. Partikel LDL
setelah ditangkap reseptor dimasukkan kedalam sel dan dibawa ke
lisosom, LDL akan dikatabolisme untuk mencukupi kebutuhan sel
tersebut maka LDL dikeluarkan dari sirkulasi. Walaupun sebagian besar
jaringan mempunyai sejumlah reseptor LDL tetapi hati menangkap dan
merusak lebih banyak dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan karena
hati ukurannya besar dan mempunyai konsentrasi reseptor LDL yang
tinggi. Sebagian besar kolesterol yang dirusak di hati dirubah menjadi
(asam empedu) yang disekresi ke dalam usus halus bagian atas. Di dalam
usus halus asam empedu akan direabsorbsi dan dimasukkan kedalam
sirkulasi untuk mengulangi siklus (Harris, 2010; Kliegman et al. 2011).
c. Jalur reverse cholesterol transport
HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol mengandung
apolipoprotein A,C dan E disebut HDL nascent. HDL nascent yang
berasal dari usus halus dan hati mengandung apolipoprotein A1. HDL
nascent mengambil kolesterol bebas yang tersimpan di makrofag. Setelah
mengambil kolesterol bebas, kolesterol tersebut akan diesterifikasi
28
menjadi kolesterol ester oleh enzim lecithin cholesterol acyltransferase.
Selanjutnya sebagian kolesterol ester tersebut dibawa oleh HDL akan
mengambil 2 jalur. Jalur pertama akan ke hati sedangkan jalur kedua
kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserida dari
VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein untuk
dibawa kembali ke hati (Harris, 2010; Kliegman et al. 2011).
4.
Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang
utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida serta
penurunan kadar kolesterol HDL. Klasifikasi dislipidemia berdasarkan patogenesis
penyakit adalah dislipidemia primer yang disebabkan oleh kelainan penyakit
genetik dan bawaan yang sehingga menyebabkan kelainan kadar lipid dalam darah.
Sedangkan dislipidemia Sekunder yaitu disebabkan oleh penyakit lain seperti
hipotiroidisme, sindrom nefrotik, kehamilan, dan penyakit hati obstruktif, diabetes
militus, konsumsi alkohol, dan penggunaan obat-obat tertentu (beta bloker,
kontrasepsi oral dan obat – obatan anti epilepsi (Anzar, 2005).
Tabel 2.2. Pedoman profil lipid pada anak
Diinginkan Diwaspadai
(desirable) (boderline)
Kolesterol total < 170
LDL
< 110
HDL
>45
Trigliserida
< 125
Sumber: Anzar, 2005
170 – 199
110 – 129
35 – 45
-
Tidak
diinginkan
(undersirable)
≥ 200
≥ 130
< 35
≥ 125
29
C. Efek Obat Anti Epilepsi Terhadap Profil Lipid
1. Efek Obat Anti Epilepsi Terhadap Profil Lipid melalui Metabolisme di
Hepar
Pengaruh OAE terhadap profil lipid tidak terlepas dari organ tubuh yaitu hati
yang mempunyai fungsi terhadap metabolisme obat dan lipid. Hati merupakan
komponen utama yang berperan dalam metabolisme berbagai macam obat,
termasuk obat anti epilepsi dan melakukan proses biotrasformasi dari hasil
metabolisme ke sirkulasi dan jaringan dengan perantara sejumlah enzim sitokrom
P450. Enzim sitokrom P450 (Cytochrome P450, CYP450) merupakan keluarga
besar enzim berjenis hemeprotein yang berfungsi sebagai katalisoksidator pada
lintasan metabolisme steroid, asam lemak, xenobiotik termasuk obat, racun dan
karsinogen. Sesuai uraian di atas xenobiotika merupakan zat yang asing bagi tubuh
(xenos=asing). Bahan-bahan utama yang termasuk xenobiotika dalam hubungannya
dengan medis bisa berupa obat-obatan, bahan-bahan kimia karsinogen dan berbagai
macam senyawa yang masuk ke dalam tubuh secara insidental atau tidak disadari
misalnya insektisida (Zhang et al. 2008; Setyawati, 2011; Lorbek et al. 2012).
Sistem metabolisme xenobiotika umumnya dibagi menjadi dua fase, begitu
pula dengan metabolisme obat anti epilepsi di dalam hati. Pada fase 1 reaksi utama
yang terjadi berupa hidroksilasi. Reaksi ini melibatkan enzim monooksigenase atau
lebih sering disebut sitokrom P450. Enzim sitokrom P450 banyak terdapat pada
permukaan sitosolik membran retikulum endoplasmik hepatosit. Hidroksilasi dapat
menginaktifasi obat dalam tubuh, tetapi untuk beberapa macam obat atau zat kimia
30
tertentu, reaksi hidroksilasi malah mengaktifasinya.Pada fase 2 senyawa-senyawa
terhidroksilasi atau yang telah mengalami metabolisme fase 1 diubah oleh enzim
spesifik menjadi metabolit yang lebih polar melalui konjugasi dengan asam
glukoronat, sulfat, asetat, glutathione atau beberapa asam amino tertentu atau
dengan metilasi. Tujuan utama dari keseluruhan proses yang melibatkan XME
(Xenobiotic Metabolizing Enzyme) adalah meningkatkan kelarutan zat terkait dalam
air atau meningkatkan polaritasnya dan memudahkan eksresinya keluar tubuh
(Zhang et al. 2008; Setyawati, 2011; Lorbek et al. 2012).
Gambar 3. Skematis metabolisme xenobiotik (Lorbek et al. 2012)
Kapasitas metabolisme hati terhadap obat tergantung pada aliran darah hati
dan aktifitas sistem enzim hati yang beragam. Aktifitas ini dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:(Lorbek et al. 2012; Bibi, 2008)
a. Fase I melalui tahapan fungsionalisasi (non synthetic) yang meliputi
oksidasi, reduksi dan hidrolisis.Membuat senyawa menjadi lebih polar dan
digunakan sebagai substrat untuk reaksi konjugasi pada fase II. Pada kondisi
31
tertentu fase ini dapat merubah senyawa inaktif menjadi aktif. Reaksi
oksidasi melibatkan oksigenase, monooksigenase dan dioksigenase.
b. Fase II Melalui suatu proses sintesis atau konjugasi yang meliputi reaksi
glukoronidasi, sulfatasi, pembentukan asam merkapturat, asilasi / asetilasi,
metilasi.
Metabolit xenobiotik tertentu dapat menghambat atau merangsang kegiatan
enzim metabolisme xenobiotik. Hal ini dapat mempengaruhi dosis obat-obatan
tertentu yang diberikan kepada pasien. Peran dari enzim hati dapat merangsang atau
menghambat metabolisme obat. Rangsangan dari enzim akan menyebabkan
metabolisme obat lebih cepat. Kondisi lain akan menyebabkan peningkatan
clearance, akan memperpendek waktu paruh, dan menurunkan bioavaibilitas.
Namun sebaliknya induksi enzim yang berlangsung terus-menerus mengakibatkan
enzim berada dalam kadar yang jenuh dan tidak dapat berfungsi dengan baik maka
metabolisme obat menjadi terhambat dapat menurunkan clearance, meningkatkan
waktu paruh, dan meningkatkan bioavaibilitas dari obat (Setyawati, 2011; Lorbek
et al. 2012).
2.
Efek Induksi Sitokrom P450 terhadap Kadar Profil Lipid
Enzim sitokrom P450 memainkan peran sentral dalam proses metabolisme
dan eliminasi obat. Kebanyakan bentuk sitokrom P450 juga dapat diinduksi,
sebagai contoh pemberian fenobarbital dan obat lainnya dapat menyebabkan
hipertrofi smooth endoplasmic reticulum dan kenaikan jumlah sitokrom dalam
kurun waktu 4-5 hari. Induksi sitokrom P450 memiliki peranan penting dalam
32
pemahaman akan interaksi obat. Sistem sirkulasi hepatik menentukan ukuran
kemampuan hati dalam memindahkan hasil metabolismenya ke dalam sirkulasi dari
jaringan (Hepatic inflow). Pada ekstraksi obat yang lebih tinggi dan diabsorbsi oleh
usus yang kemudian menuju hati biasanya akan menghasilkan metabolisme yang
lebih cepat masuk kedalam sistem sirkulasi sistemik yang dikenal dengan hasil awal
dari metabolisme (First-pass metabolism). Apabila terjadi penurunan dari aliran
darah hepar (liver blood flow) maka akan terjadi juga penurunan transformasi hasil
metabolit, meningkatkan bioavaibilitas sehingga memungkinkan terjadinya
akumulasi obat dalam sirkulasi. Obat-obat yang mempunyai ekstraksi yang lebih
rendah akan mempengaruhi aliran darah hepar lebih ringan namun dapat
mempengaruhi kapasitas dari fungsional sel-sel hepar (functional capacity of
hepatocytes) (Setyawati, 2011; Lorbek et al. 2012; Bibi, 2008).
Kebanyakan obat dimetabolisme oleh enzim di organ hati (cytochrome P450
(CYP) atau sistem mikrosomal enzim). Sistem cytochrome P450 terdiri dari 12
kelompok atau keluarga sembilan kelompok yang memetabolismesubstansi
endogen (berasal dari dalam tubuh) dan tiga kelompok yang berfungsi dalam
metabolisme obat. Tiga kelompok tersebut antara lain CYP1, CYP2, dan CYP3.
Kebanyakan obat di metabolisme oleh hati, kelompok enzim CYP3 diperkiran
memetabolisme sekitar 50%, kelompok enzim CYP2 kira-kira 45%, dan kelompok
enzim CYP1 kira-kira 5%. Jenis isoenzim yang paling penting dalam
biotransformasi agen terapeutik adalah CYP1A2, CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6,
CYP2E1, CYP3D6, CYP3A4 (Perruca et al, 1984; Linch, 2007). Sebagai gambaran
adalah ketika pasien mengkonsumsi antikoagulan warfarin untuk mencegah
33
terjadinya bekuan darah. Obat ini dimetabolisme oleh CYP2C9, jika pada saat yang
bersamaan pasien tersebut juga mengkonsumsi fenobarbital akan tetapi tidak
mendapatkan penyesuaian dosis warfarin. Maka kurang lebih dalam 5 hari level
CYP2C9 di dalam hati akan meningkat dan akibatnya dosis obat menjadi tidak
cukup. Sehingga dosis harus ditingkatkan agar warfarin tetap efektif. Hal ini
tentunya akan menjadi permasalahan di kemudian hari saat fenobarbital tiba-tiba
dihentikan. Pasien akan berada pada resiko perdarahan mengingat bahwa warfarin
dosis tinggi tersebut akan lebih aktif bila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya
sebab bila konsumsi fenobarbital diturunkan maka level CYP2C9 akan menurun
(Husein et al. 2010; Handschin dan Meyer, 2004)
Pada pemberian obat dalam jangka lama (kronis) beberapa obat merangsang
sel hati untuk memproduksi enzim untuk metabolisme obat dalam jumlah banyak
(perosesnya disebut induksi enzim). Induksi enzim mempercepat metabolisme
karena jumlah enzim yang besar
(dan lebih banyak tempat berikatan)
membolehkan jumlah obat secara besar dimetabolisme pada waktu yang diberikan.
Sebagai hasil dosis obat yang besar dari metabolisme obat yang cepat dibutuhkan
untuk menghasilkan atau menjaga efek terapeutik obat. Metabolisme cepat juga
34
dapat meningkatkan produksi racun metabolit dengan beberapa obat. Obat yang
menginduksi produksi enzim juga meningkatkan kecepatan metabolisme hormon
steroid endogen (seperti kortisol, estrogen, testosteron, dan vitamin D) (Setyawati,
2011; Perruca et al. 1984).
Gambar 4. Efek induksi enzim CYP450 (Zhang et al. 2008)
Metabolisme juga dapat menurun atau gagal dalam peroses yang disebut
inhibisi enzim yang sering terjadi dengan pemberian obat bersama-sama dua atau
lebih obat yang kompetitif (saling bersaing) terhadap enzim metabolisme yang
sama. Penghambatan metabolisme obat akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi plasma dan senyawa induk. Kondisi ini akan memberikan efek terhadap
efikasi dari obat sehubungan dengan metabolisme xenobiotik secara sempuma.
Namun proses inhibisi ini juga akan memberikan efek sangat besar jika jalur
altenatif eliminasi tidak tersedia. Biasanya penghambatan metabolisme obat
mengarah ke peningkatan efektifitas dan toksisitas. Berbeda dengan induksi enzim
yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk
berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari
sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang
paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450.
Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh
mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik
interaksi tidak penting secara klinis (Yalcin et al. 1997).
Sejumlah OAE klasik seperti karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, pirimidon,
dapat menginduksi lebih kuat enzim CYP450. Sebuah studi oleh Kantoush et al.
35
(1998) menemukan bahwa salah satu efek pemberian OAE adalah peningkatan
profil lipid, dimana hal ini didasari oleh adanya metabolisme secara in vivo di hepar
yang terjadi akibat induksi enzim mikrosomal hati yaitu sitokrom P450. Pada
penelitian tersebut didapatkan bahwa kadar profil lipid meningkat secara signifikan
pada pemberian karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin. Berbeda dengan asam
valproat yang tidak didapatkan peningkatan pada kadar profil lipid karena tidak
terbukti dalam menginduksi enzim CYP450 (Kantoush et al. 1998). Kerugian
induksi enzim atau inhibisi enzim hati ini adalah interaksi dengan terapi
farmakologis lainnya. Induksi dari enzim ini dapat menurunkan konsentrasi serum
dan efikasi terapi obat yang dimetabolisme oleh enzim CYP45O dalam hal ini
termasuk OAE itu sendiri dan obat lain seperti antikoagulan, antibiotik, antineoplastik, immunosupressan. Tabel berikut menggambarkan beberapa jenis obat
anti epilepsi terkait dengan induksi dan inhibisi CYP450 (Yalcin et al. 1997; Jorge
et al. 2011).
3.
Efek Obat Anti Epilepsi Terhadap Homeostasis Lipid Melalui Perantara
Reseptor Inti (Nuclear Reseptor)
Hati merupakan organ utama dalam homeostasis lipid yang meliputi Fatty
acid Synthese (FASN), ATP citrate lyase (ACLY), Steroyl Coa Desaturase-1
(SCD-1) dan reseptor utama yang berperan dalam implikasi homeostasis lipid
adalah Liver X Receptoralfa dan beta (LXRa, LXRβ ). Peran LXR terhadap
lipogenesis terjadi secara simultan. dengan sejumlah reseptor lain yang telah
diidentifikasi seperti Pregnane X Receptor (PXR), Farnesoid X Receptor (FXR),
36
Constilutive Androstane Receptor (CAR), Peroxysome Proliferator Activated
Receptor (PPAR) melalui suatu mekanisme yang sangat komplek (Jorge et al. 2011;
Horton et al. 2002).
Tabel 2.3. Induksi dan inhibisi enzim CYP450
AED
Carbamazepine
Ethosuximide
Felbamate
Gabapentin
Lamotrigine
Levetiracetam
Major Hepatic
Enzymes
CYP3A4;
CYP1A1;CYP2C8
CYP3A4
CYP3A4; CYP2E1;
other
None
Renal
Ellimination
(%)
<1
12-20
50
Induced
Inhibited
CYP1A2;
CYP2A;GT
None
CYP3A4
None
Almost
completely
10
66
None
None
CYP2C19; oxidation
None
GT
None
None
None
27
CYP3A; CYP3A;
GT
CYP3A; CYP3A;
GT
CYP3A; CYP3A;
GT
None
None
CYP2C19
Oxcarbazepime
GT
None (undergoes nonhepatic hydrolysis)
Cytosolic system
Phenobarbital
CYP2C9; other
25
Phenytoin
CYP2C9; CYP2C19
5
Pregabalin
Tiagabine
None
CYP3A4
100
2
Topiramate
Not know
70
Valproate
Zonisamide
GT; -oxidation
CYP2A4
2
35
CYP3A4 (dose
dependent)
None
None
None
None
CYP2C19
CYP2C9; GT;
Epoxide hydrolase
None
None
Sumber: Fisher et al. 2005
Reseptor intraseluler atau nuclear receptor (NR) adalah adalah kelas reseptor
yang diaktifkan ligan faktor transkripsi yang aktifitas utamanya adalah regulasi
transkripsi gen. Hasil ikatan antara ligan dan reseptor intraseluler ini akan
menghasilkan sejumlah besar ekspresi gen yang akhirnya akan menghasilkan efek
pada organisme tersebut. Nuclear receptor (NR) berada di dalam sitoplasma atau
nukleus dengan aktivitas utama adalah regulasi transkripsi gen. Ligan untuk
37
reseptor ini umumnya berbobot molekul kecil (< 1000 dalton), bersifat lipofilik,
sehingga dengan mudah dapat menembus membran sel dan masuk ke dalam sel
untuk mencapai reseptornya (Ory, 2014).
Implikasi klinis dari penggunaan OAE terhadap profil lipid terkait dengan
metabolisme obat tersebut di hati. Hal ini akan mengakibatkan induksi dari enzim
mikrosomal hati yaitu CYP450 dan selanjutnya dapat mengganggu aktifasi LXR
dalam homeostasis lipid sehingga mempengaruhi secara luas biosintesis kolesterol
dan trigliserida melalui perantara sterol regulatory element-binding proteins
(SREBP), SREBP-2 yang mengkoordinasi aktifasi gen terhadap kolesterol hepatik
38
dan SREBP-lc dapat menginduksi biosintesis trigliserida (Berlit et al. 1982;
Ihunnah et al. 2011).
Gambar 5. Peran LXR dalam peningkatan sintesis kolesterol dan trigliserida
(Berlit et al. 1982)
Khusus efek terhadap kolesterol, enzim CYP450 terutama CYP51A1 terlibat
secara luas terhdap regulasi sintesis kolesterol melalui suatu proses katalisasi
dengan beberapa langkah yang berbeda dimana lanosterol dikonversi menjadi
kolesterol melalui pembentukan beberapa oxysterol intermediet yang merupakan
39
subtrat dari CYP51A1. Oxysterol intermediet tampaknya menjadi sumber utama
umpan balik terhadap inhibisi hydroxymethylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA)
reduktase. Adanya suatu agen inhibitor CYP45O akan menyebabkan peningkatan
oxysterol intermediet dan terjadi penurunan produksi kolesterol, namun sebaliknya
pada kondisi induksi enzim CYP45O dalam hal ini akibat pemberian jangka
panjang OAE akan menurunkan oxysterol intermediate level dan mengurangi
proses inhibisi umpan balik hydroxymethylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA)
reduktase sehinggga meningkatkan produksi kolesterol (Berlit et al. 1982; Ihunnah
et al. 2011).
Peran LXR dalam lipogenesis ini mengakibatkan ikatan dengan heterodimer
partner yang lain seperti PXR, PPAR, dan CAR. Ikatan PXR dengan LXR dan
PPARγ mengakibatkan adanya peningkatan deposit trigliserida di hepar melalui
perantara enzim lipogenik yaitu SteroylCoA Desaturase-1 (SCD-1), Fatty Acid
Elongase (FAE) dan dibawa oleh suatu transporterfatty acid yaitu CD-36 sehingga
meningkatkan fatty liver, peningkatan lipogenesis, dan akumulasi trigliserida
(Ihunnah et al, 2011). Penelitian yang dilakukan pada manusia yang menggunakan
OAE diantaranya adalah karbamazepin dan fenitoin dapat meningkatkan 20 kali
lipat kadar 4β-hydroxycholesterol dibandingkan subyek kontrol dan mempunyai
waktu paruh oxyterol dalam plasma 52 jam lebih panjang dari oxysterol lain seperti
24-hydroxycholesterol, 27 hydroxycholesterol dan 7a-hydroxycholesterol, yang
hanya mempunyai waktu paruh 12 jam. Tampaknya aktivasi PXR akan
meningkatkan CYP3A dalam mengkatalisasi 4β-hydroxycholesterol. Akibat waktu
paruh yang lebih panjang terjadi akumulasi kadar lipid dengan adanya peningkatan
40
ATP citrate lyase dan paningkatan fatty acid synthetase (Wang dan Lecluyse, 2003;
Yang et al. 2010).
Gambar 6. Efek ikatan LXR dengan heterodimer partner PXR, PPARγ (Yang et
al. 2010).
Aktifasi PXR selain dapat menginduksi lipogenesis ternyata juga berperan
dalam menghambat fatty acid β oxidation, yaitu suatu proses katabolisme atau
pemecahan molekul asam lemak di mitokondria. PXR menghambat fatty acid β
oxidation melalui supresi pada PPAR∝ dan thiolase. PXR juga menghambat
forkhead box factor A2 (FOXA2) yang memegang peranan penting dalam regulasi
β-oxidation,
serta
menghambat
FOXA1
melalui
perantara
carnitine
palmitoyltransferase 1a (Cpt1a) dan mitochondrial 3-hydroxy-3-methylglutaryl
CoA synthase 2 (Hmgcs2). Disamping itu PXR juga menghambat Constilutive
Androstane Receptor (CAR). CAR berfungsi untuk menghambat lipogenesis
melalui induksi Insig-1, yaitu suatu protein yang berperan dalam regulasi gen
41
lipogenik yang diperantarai oleh SREBP. Insig-1 juga mengikat SREBP cleavageactivating protein SCD1 (SCAP) dan menyimpannya dalam reticulum endoplasmic
serta mencegah aktifasi SREBP. Penghambatan aktifasi CAR juga menghambat
fatty acid β oxidation melalui penurunan enzim Cpt1, dimana enzim tersebut
berperan dalam regulasi fatty acid β oxidation. Peran PXR dalam menghambat CAR
merupakan feedback mechanism sehingga proses penghambatan lipogenesis tidak
terjadi. Akibatnya terdapat akumulasi kadar lipid (Ory, 2014; Yang et al. 2010;
Yilmaz et al. 2010).
Gambar 7. Pengaruh PXR dalam peningkatan lipogenesis (Ory, 2014).
Mekanisme induksi enzim juga berpengaruh terhadap interaksi obat dan
toksikologi. Identifikasi PXR membantu mengungkapkan mekanisme molekuler
terjadinya interaksi obat. Ketika dua atau lebih obat digabungkan, dan salah satunya
adalah ligan PXR sedangkan yang lainnya adalah substrat dari gen target PXR yang
42
mengkode enzim atau transporter maka interaksi obat-obat dapat terjadi.
Konsekuensi klinis interaksi obat dimediasi PXR umumnya menurunkan efikasi
terapi dan kadang-kadang meningkatkan toksisitas obat termasuk dalam hal ini
adalah efeknya terhadap sintesis trigliserida. Adanya induksi pada enzim
mikrosomal hati akibat OAE inducing enzime khususnya pada CYP7A1
menghambat transkripsi Farnesoid X Receptor (FXR). Hambatan aktifasi FXR
mengakibatkan penurunan ekspresi phospholipid transfer protein, sehingga transfer
fosfolipid dan kolesterol dari LDL ke HDL terganggu dan lebih banyak kolesterol
yang berada dalam sel dan jaringan tubuh. Selain itu penurunan hepatic lipogenesis
melalui reduksi SREBP-1c serta katabolisme fatty acid melalui fatty acid β
oxidation juga terhambat (Wang dan Lecluyse, 2003; Yang et al. 2010).
Berdasarkan pembahasan di atas maka kelainan metabolisme lipid sering
dikaitkan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan melalui proses induksi
enzim sitokrom P450 yang dapat meningkatkan transkripsi sejumlah reseptor
nuklear yang berperan dalam metabolisme lipid. Mekanisme ini menjadi penting
mengingat gangguan metabolisme lipid yang mengarah ke suatu dislipidemia.
Obat-obat OAE lini pertama yang sangat potensial menginduksi enzim sitokrom
P450 sehingga kemungkinan akan munculnya efek yang merugikan perlu
dipertimbangkan. Fenitoin, karbamazepin dan fenobarbital adalah suatu agen yang
kuat dapat menginduksi enzim sitokrom P450 (Dewan et al. 2008).
Pengaruh OAE terhadap profil lipid sangatlah komplek dan belum sepenuhnya
dapat dipahami. Mekanisme induksi enzim pada dasarnya mempercepat proses
detoksifikasi dan metabolisme xenobiotik namun proses induksi ini juga dapat
43
berpengaruh terhadap berbagai metabolisme lain seperti interaksi obat, toksikologi
dan metabolisme lipid melalui mekanisme transkripsi enzim CYP45O yang
dimediasi sejumlah nuclear receptor seperti Constitutive Androstante (CAR), Liver
X Receptor (LXR), Pregnant X Receptor (PXR). Mekanisme induksi enzim
CYP45O oleh obat anti epilepsi golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital saat
ini telah diidentifikasi secara spesifik diantaranya ialah CYP2B, CYP3A, CYP2C,
CYP2B6 yang dapat meningkatkan transkripsi
LXR, PXR dalam human
hepatocyte serta negative feedback mechanism melalui CAR dan FXR sehingga
merubah homeostasis lipid dengan meningkatnya lipogenesis dan hepatic deposit
of triglycerides. Peningkatan transkripsi PXR akan meningkatkan ekspresi fatty
acid synthese (FASN) dan ATP citrate lyase (ACLY) yang akhirnya akan terjadi
akumulasi sintesis asam lemak dan lipogenesis. Aktifasi PXR terhadap homeostasis
lipid akan menurunkan β-oxidation, peningkatan free fatty acid (FFA). Perubahan
ini akan menyebabkan peningkatan trigliserida dan hepar steatosis (Ihunnah et al.
2011; Wang dan Lecluyse, 2003; Yang et al. 2010).
Laporan penelitian kombinasi OAE baik fenitoin dengan fenobarbital atau
fenitoin dengan karbamazepin akan merangsang sintesis hepatik kolesterase dan
meningkatkan pembentukan asam empedu, yang pada giliranya akan diikuti oleh
peningkatkan penyerapan kolesterol oleh usus. Peningkatan kolesterol serum dapat
dianggap sebagai dampak buruk terhadap pengobatan epilepsi, karena dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Oleh karena itu
kadar profil lipid dalam serum harus dipantau secara teratur pada pasien yang
menjalani terapi OAE. OAE sering kali digunakan dalam jumlah besar dan jangka
44
panjang, sehingga memungkinkan terjadinya kelainan metabolik dan hati dengan
mengubah fungsi hati dan meningkatkan aktivitas enzim mikrosomal hati.
Fenomena induksi enzim ini akan berdampak terhadap perubahan metabolisme
berbagai macam zat dan lipid (Fajriman, 2011).
Kantoush et al. (1998) meneliti tentang efek pemberian obat anti epilepsi
terhadap peningkatan profil lipid dan data yang diperoleh sebanyak 40 anak yang
menderita epilepsi dan diberikan terapi karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin
didapatkan kadar kolesterol total, trigliserida, dan LDL yang secara signifikan
meningkat dalam 6 bulan setelah terapi dibandingkan sebelum terapi dimulai.
Sedangkan pada terapi menggunakan asam valproat perubahan kadar profil lipid
tidak signifikan dibandingkan sebelum terapi. Rasio LDL/HDL pada penelitian ini
tidak berubah secara signifikan pada kelompok yang mendapat terapi
karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin.Peneltian yang lain oleh Yilmaz dan Dosan
di Turki pada tahun 2001, melihat efek pemberian karbamazepin, asam valproat dan
fenobarbital terhadap profil lipid dalam kurun waktu 3 bulan setelah terapi dan di
follow up 1 tahun setelah terapi. Hasil yang diperoleh peningkatan profil lipid
terjadi setelah 3 bulan terapi pada penggunaan karbamazepin dan fenobarbital,
tetapi peningkatan setelah bulan ke-12 tidak didapatkan hasil yang signifikan
berbeda dibandingkan dengan follow up bulan ke-3 terapi. Subyek dengan terapi
asam valproat tidak didapatkan peningkatan profil lipid baik pada terapi bulan ke3 maupun bulan ke-12 (Jakubus et al, 2009).Dewan et al. (2008) membandingkan
efek fenitoin dan asam valproat sebagai monoterapi terhadap peningkatan profil
lipid dan didapatkan kadar trigliserida serta kolesterol total yang meningkat pada
45
kelompok yang mendapat terapi fenitoin dibandingkan dengan asam valproat. Pada
beberapa penelitian lain menemukan kesimpulan yang sama dimana terapi dengan
asam valproat tidak menunjukkan adanya peningkatan profil lipid dibandingkan
dengan fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital (Jakubus et al, 2009).
Tabel 2. 4. Penelitian efek samping obat antiepilepsi terhadap peningkatan profil
lipid
Penelitian
Eiris et al
Fanzoni et al
Eiris et al
Verromi et al
Sonmez et al
Yilmaz et al
Sonmez et al
Demicioglu et
al
OAE
CBZ
PB
VPA
CBZ,
PB,PHT
VPA
CBZ
PB
VPA
CBZ
PB
VPA
CBZ
PB
VPA
CBZ
PB
VPA
CBZ
PB
CBZ
VPA
TC
↑
↑
↓
↑
LDL
↑
↑
↓
-
TG
-
HDL
-
↓
↑
↑
↓
↑
↑
↑
↑
↑
↑
↑
-
↑
↓
↑
↑
↓
↑
↑
↑
↑
-
↑
↓
↓
↑
-
↑
↑
↑
-
Keterangan
300 pasien anak dan
dewasa epilepsi (129
CBZ; 64 PB; 127 VPA)
208 anak epilepsi (78
CBZ; 40PB; 17 PHT
119 anak apilepsi (58
CBZ; 22 PB; 39 VPA)
114 anak epilepsi
(35 CBZ; 34 PB; 45
VPA)
64 anak epilepsi
(22 CBZ; 18 PB;
24 VPA)
53 anak epilepsi
(21 CBZ; 14 PB; 18
VPA)
39 anak epilepsi
(23 CBZ; 16 VPA)
38 anak epilepsi (31
CBZ; 7 VPA)
Keterangan: VPA:valproic acid; PB:phenobarbital; CBZ:carbamazepineSumber:
Jakubus et al. 2009
Hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Salehiomran et al. (2010)
dimana penelitian tersebut juga menilai efek fenobarbital dan asam valproat pada
110 anak dengan epilepsi terhadap kadar profil lipid (kolesterol, HDL, LDL,
trigliserida, lipoprotein a) yang di foloow up pada awal terapi, setelah terapi bulan
ke-3 dan bulan ke-6. Subyek penelitian dibagi dalam 2 kelompok dimana grup A
mendapat fenobarbital (5mg/kg/hari) dua kali sehari dengan usia rata-rata
6,22±2,01 tahun dan grup B mendapat asam valproat (20mg/kg/hari) dua kali sehari
46
dan usia rata-rata 8,14±3,46 tahun. Pada grup A didapatkan peningkatan signifikan
kadar LDL, penurunan HDL dan lipoprotein a (LPa) baik pada bulan ke-3 maupun
bulan ke-6, untuk kadar kolesterol baru tampak perubahan yang signifikan setelah
terapi bulan ke-6 (175,62±35,340 mg/dl) (P=0,0001). Sedangkan kadar trigliserida
tidak terdapat perubahan secara signifikan baik pada bulan ke 3 maupun bulan ke
6. Pada grup B diperoleh perubahan yang signifikan pada kadar lipoprotein a dan
HDL, tetapi tidak terdapat perubahan yang signifikan pada kadar kolesterol,
trigliserida, dan LDL baik pada evaluasi bulan ke-3 maupun bulan ke-6
(Salehiomran et al. 2010).
Sonmez et al. (2006) menemukan bahwa pada pemberian fenobarbital,
karbamazepin dan asam valproat secara signifikan meningkatkan kadar lipoprotein
a pada evaluasi terapi bulan ke-3, 6, dan 12. Dimana hal tersebut tidak hanya
merupakan parameter profil lipid tetapi juga merupakan faktor risiko mayor
terjadinya aterosklerosis. Kadar lipoprotein a dalam plasma tergantung pada
kecepatan produksinya di hati, dan obat anti epilepsi dapat mempengaruhi kadar
lipoprotein a melalui induksi enzim mikrosomal yang ada di hati. Berbanding
terbalik dengan penelitian Tekgul et al. (2006) meneliti efek obat antiepilepsi
terhadap kadar lipid dalam serum yang mengindikasikan keadaan atherogenic
setelah pemberian asam valproat, karbamazepin dan fenobarbital selama 2 tahun
sebagai monoterapi. Kadar atherogenic dapat dinilai dari rasio total kolesterol /
HDL dan juga kadar apoprotein A (Apo A) / apoprotein B (Apo B), pada penelitian
ini didapatkan setelah 2 tahun terapi obat antiepilepsi tidak terdapat peningkatan
signifikan kadar profil lipid dalam serum yang memberikan efek atherogenic.
47
Tabel 2.5. Grup A terapi dengan fenobarbital
Sumber: Salehiomran et al. 2010
Karaoglu et al. (2009)meneliti efek dosis rendah asam valproat
(20mg/kg/hari) terhadap fungsi liver, parameter hematologi, serum lipid dan
lipoprotein a (LPa) sebelum terapi dan 3 bulan setelah terapi pada anak usia 18
bulan sampai dengan 14 tahun. Didapatkan hasil secara statistik tidak berbeda
signifikan pada perubahan kadar liver funtion test, parameter hematologi, dan
serum lipid. Tetapi kadar lipoprotein a (LPa) setelah 3 bulan terapi (40,71±50,73
mg/dl) meningkat secara signifikan dibandingkan sebelum terapi (25,86±36,54
mg/dl) (p < 0,01). Peningkatan LPa > 30mg/dl pada anak yang mendapatkan obat
antiepilepsi akan menigkatkan risiko atherosklerosis dan occlusive vascular disease
(Karaoglu et al 2009).
Tabel 2.6. Grup B terapi dengan asam valproat
48
Sumber: Salehiomran et al. 2010
Penelitian lainnya membandingkan efek samping terapi obat antiepilepsi
terhadap perubahan profil lipid baik dalam monoterapi maupun kombinasi terapi
dan di evaluasi setelah 6 bulan terapi. Tiga macam kelompok terapi penelitian ini
antara lain :monoterapi (karbamazepin/fenitoin/fenobarbital/asam valproat),
kombinasi
terapi
antiepilepsi
konvensional
(fenitoin
dan
fenobarbital,
karbamazepin dan fenobarbital, asam valproat dan fenitoin, asam valproat dan
karbamazepin) serta kelompok kombinasi terapi obat antiepilepsi konvensional
dengan
newer
antiepileptic
drug
(karbamazepin+klobazam+topiramat,
karbamazepin+klobazam+levitiracetam,karbamazepin+fenobarbital+levitiracetam
,asam valproat+lamotrigin) diperoleh hasil bahwa pemberian kombinasi terapi obat
antiepilepsi konvensional secara signifikan (P<0,01) lebih toxic terhadap
peningkatan profil lipid pada evaluasi terapi bulan ke-6 dibandingkan dengan
kombinasi terapi obat antiepilepsi generasi terbaru maupun dengan monoterapi.
Kadar HDL secara signifikan turun baik pada kombinasi terapi konvensional
maupun newer antiepileptic drug (P<0,01), tetapi lebih signifikan pada kelompok
49
terapi kombinasi obat antiepilepsi konvensional (P<0,05) (Bhosale et al. 2014).
Pada tahun 2013 di Irak, Radeef
mengadakan penelitian efek samping obat
antiepilepsi dalam monoterapi maupun kombinasi terapi terhadap profil lipid yang
dilakukan pada kelompok 6 bulan sebelum penelitian (retrospective group) dan
kelompok yang baru terdiagnosis setelah penelitian dimulai (prospective group).
Hasil profil lipid setelah 3 bulan terapi, terdapat perubahan secara signifikan
(P<0,05) pada kadar total kolesterol, HDL, dan LDL di retrospective group baik
pada monoterapi maupun kombinasi terapi sedangkan pada prospective group
setelah 3 bulan terapi hanya kadar HDL yang berubah secara signifikan
dibandingkan kadar profil lipid baseline (Radeef et al. 2013).
Pada penelitian yang dilakukan di Kairo tahun 2012 dimana kadar profil lipid
dibandingkan pada 4 kelompok antara lain kelompok I mendapat asam valproat,
kelompok II mendapat karbamazepin, kelompok III mendapatkan kombinasi asam
valproat dan karbamazepin, sedangkan kelompok yang ke IV adalah kelompok
kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan kadar kolesterol total
21,4% pada kelompok yang mendapat asam valproat, 78,5% pada kelompok
karbamazepin, 80% pada pasien dengan kombinasi terapi. Kadar LDL juga
meningkat 21,4% pada kelompok yang mendapat asam valproat, 78,5% pada
kelompok karbamazepin, 90% pada pasien dengan kombinasi terapi. Kadar
kolesterol total dan LDL secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang
mendapat kombinasi terapi dan karbamazepin dibandingkan dengan asam
valproat.(P<0,001) (Shaleh et al. 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Fajriman di
Semarang menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap
50
kadar profil lipid pada pemberian asam valproat, karbamazepin, fenitoin sebagai
monoterapi ataupun kombinasi terapi. Perbedaan terjadi berdasarkan durasi terapi,
terdapat peningkatan kolesterol, trigliserida dan LDL pada pemberian kombinasi
terapi dengan durasi pemberian diatas 5 tahun, sedangkan untuk pemberian OAE
sebagai monoterapi hanya didapatkan peningkatan kadar LDL secara signifikan
pada durasi pemberian yang sama yaitu dalam waktu 5 tahun, dan rerata kadarnya
lebih tinggi dibandingkan pada lama pemberian 1-5 tahun (Fajriman, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Mintzer et al. (2009) terhadap penderita
epilepsi yang mendapat terapi karbamazepin atau fenitoin sebagai monoterapi
kemudian dilakukan penggantian terapi menggunakan non inducing antiepileptic
drug seperti lamotrigin atau levitiracetam dan selanjutnya dilakukan pemantauan
kadar lipid sebelum penggantian terapi dan 6 minggu setelah penggantian terapi.
Diperoleh penurunan yang signifikan terhadap kadar kolesterol total (-24,8mg/dl),
atherogenic kolesterol
(-19,9mg/dl), trigliserida (-47,1mg/dl) P<0,0001. Pada
kelompok yang dihentikan pemberian obat karbamazepin juga terdapat penurunan
kadar lipoprotein a yang signifikan (P= 0,0004).
Efek pemberian asam valproat terhadap profil lipid memang masih menjadi
perdebatan. Beberapa penelitian menunjukkan mekanisme yang berbeda untuk
asam valproat, tidak seperti karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital yang
merupakan agen kuat yang menginduksi enzim CYP450, pada asam valproat
beberapa peneliti menunjukkan adanya keterkaitan dengan weight gain associated
valproic acid Peneliatian yang dilakukan oleh Kanemura et al. (2012) menunjukkan
sekitar 53% pasien anak yang mendapatkan asam valproat terjadi peningkatan nafsu
51
makan dan body mass index (BMI) pada 6 bulan setelah terapi. Hal ini dihubungkan
dengan adanya peningkatan kadar serum insulin dan rasio insulin dibanding
glukosa pada pengamatan selama 6 bulan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Martin et al. (2009), pada sampel anak yang sehat dan diamati efek
pemberian asam valproat setelah 3 minggu terdapat peningkatan pola makan dan
penambahan berat badan sebanyak 4,9 kg dibandingkan dengan berat badan awal
sebelum dimulai terapi.Beberapa Jenis OAE seperti fenitoin, karbamazepin,
lamotrigin, levetiracetam, asam valproat, dan oxkarbamazepin dapat memberikan
efek samping berupa peningkatan berat badan. Penelitian yang dilakukan oleh
Greenwood tahun 2000 menunjukkan peningkatan berat badan terjadi pada 71%
subyek penelitian yang mendapat terapi asam valproat. Penambahan berat badan
berkisar antara 4-49 kg dalam waktu 3-24 bulan terapi. Pada penelitian tersebut
menjelaskan bahwa peran OAE dalam peningkatan berat badan melibatkan
regulasi metabolisme glukosa dan peningkatan food intake (Greenwood, 2000).
52
D. Kerangka Konsep
OAE
Metabolisme
Hepar
( Asam Valproat, Karbamazepin, Fenobarbital, Fenitoin)
Induksi enzim CYP450
Lama terapi
Perlemakan hati
Meningkatkan regulasi lipid
melalui perantara reseptor inti
Mempeng
aruhi
kecepatan
Meningkatkan biosintesis
kolesterol dan trigliserida
LXR
Menghambat
transkripsi
FXR
Kolesterol
total 
Trigliserida 
Hambatan
CAR
Oxyterol
waktu paruh
PXR
Kolesterol
total 
Peningkat
an Fatty
acid
syntetase
Peningkatan
hepatic
deposit lipid
Aktivitas
fisik
= variabel antara
= variabel perancu
PPARγ
Deposit
fosfolipid,
Kolesterol
di jaringan
LDL
HDL
Kolesterol
Diet
= ranah penelitian
Mengkatalisasi
lipogenesis
Perlemakan
hati
53
Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas yaitu OAE yang terdiri dari asam
valproat, fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin, sedangkan yang merupakan
variabel tergantung adalah kadar profil lipid yang terdiri dari kolesterol total,
trigliserida, HDL dan LDL. Faktor perancu yang tidak dapat dikontrol dalam
penelitian ini adalah aktifitas fisik dan diet. Untuk lama terapi dan dosis obat
dibatasi pada waktu dan jumlah yang sama sesuai dengan yang digunakan di RS
Dr.Moewardi. Pengaruh OAE terhadap kadar kolesterol total, trigliserida, HDL dan
LDL melalui beberapa variabel antara dalam hal ini adalah enzim CYP450. Dimana
induksi enzim CYP450 mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yang pada
akhirnya dapat merangsang regulasi lipid atau meningkatkan lipogenesis melalui
perantara reseptor inti (nuclear reseptor) dalam beberapa jalur. Jalur pertama
melibatkan LXR (Liver X Receptor) yang mengganggu homeostasis lipid sehingga
mempengaruhi
secara
luas
biosintesis
kolesterol
dan
trigliserida
dan
mengakibatkan peningkatan kadar kolesterol total dan trigliserida. Jalur kedua
melalui hambatan terhadap aktifasi FXR (Farnesoid X Receptor) mengakibatkan
penurunan ekspresi phospholipid transfer protein, sehingga transfer fosfolipid dan
kolesterol dari LDL ke HDL terganggu dan lebih banyak kolesterol yang berada
dalam sel dan jaringan tubuh. Jalur ketiga melalui aktifasi PXR (Pregnan X
Receptor) yang menginduksi lipogenesis melalui dua proses yaitu melalui
pembentukan oxyterol dengan waktu paruh yang panjang dan hambatan terhadap
CAR (Constitutive Androstane Receptor) sehingga hambatan terhadap lipogenesis
tidak terjadi dan mengakibatkan
akumulasi lipid melalui sintesis fatty acid
syntetase. Jalur keempat adalah melalui PPARγ (Peroxysome Proliferator
54
Activated Receptor) yang menyebabkan deposit atau penumpukan trigliserida di
hepar dan merangsang pembentukan perlemakan hati, namun hal ini tidak masuk
dalam ranah penelitian.
E. Hipotesis
Ada perbedaan pengaruh OAE (asam valproat, karbamazepin, fenobarbital dan
fenitoin) terhadap profil lipid.
55
Download