BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Epilepsi dan Obat Anti Epilepsi 1. Definisi Epilepsi Epilepsi didefinisikan sebagai serangan paroksismal berulang dengan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang pasti. Serangan paroksismal tersebut dapat bermanifestasi sebagai positif eksitasi (motorik, sensorik, psikis) atau bermanifestasi negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, atau kemampuan bicara) atau gabungan dari keduanya. International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Harsono et al. 2012; Fisher et al. 2005). 2. Diagnosis Epilepsi Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan anamnesis yang berupa kejang berulang, kejang fokal atau umum dan apakah disertai perkembangan normal atau terlambat, pemeriksaan fisis dan neurologis serta pemeriksaan penunjang EEG dan MRI kepala. Epilepsi pada anak berdasarkan manifestasi klinis dan EEG dapat dibedakan menjadi epilepsi fokal dan epilepsi umum. Epilepsi fokal ditentukan berdasarkan semiologi kejang fokal dan atau disertai EEG fokal dengan gelombang 7 8 epileptik repetitif pada satu lobus atau satu hemisfer. Bila semiologi kejang umum disertai dengan gambaran EEG fokal, hal tersebut menunjukkan epilepsi fokal menjadi umum. Adapun epilepsi umum ditegakkan berdasarkan semiologi kejang umum disertai gelombang epiletiform pada seluruh hemisfer (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Ali et al. 2013; Fisher et al. 2005). Berdasarkan usia awitan, semiologi klinis, gambaran EEG yang khas, dan pemeriksaan MRI kepala dapat ditentukan apakah pasien termasuk sindrom epilepsi fokal atau umum. Bila tidak termasuk keduanya maka dikategorikan sebagai bukan sindrom (Ali et al. 2013). Usia awitan, klinis EEG, MRI kepala Gambar 1. Alur diagnosis epilepsi pada anak (Ali et al. 2013). Semiologi klinis kejang fokal dapat berupa klonus fokal, distonik fokal, otomatisme ekstremitas fokal atau postur tonik asimetris. Ditandai dengan kepala, mata atau keduanya bergerak ke sisi kiri atau kanan, dan disertai dengan aura. Gambaran EEG yang dihasilkan gelombang epileptiform fokal yang hanya terdapat pada satu hemisfer otak. Adapun semiologi klinis kejang umum yaitu serangan dari awal mengenai seluruh tubuh dan ekstremitas dan berakhir bersamaan tubuh dan 9 ekstremitas. Bentuk kejang pada kejang umum seperti absens, mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik, atonik. Gambaran EEG berupa gelombang irama dasar normal, gelombang epileptiform spike-slow wafe complex atau gelombang polyspike wave pada seluruh tubuh atau tiga perempat dari hemisfer otak. Pemeriksaan neuroimaging yang dianjurkan pada pasien epilepsi umumnya adalah MRI kepala, Tujuan MRI kepala adalah untuk mencari etiologi epilepsi (Ali et al. 2013; Nordhi et al. 2006). 3. Pendekatan Tatalaksana Epilepsi Pada Anak Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan terpenting dalam pengobatan adalah mempertahankan kadar obat dalam therapeutic range tanpa menimbulkan gejala toksik, setelah pemberian dosis tunggal obat anti epilepsi (OAE) puncak kadar plasma akan tercapai dalam waktu tertentu tergantung pada proses absorbsi. Sebagian besar OAE dosis konvensional dengan persediaan enzim yang cukup akan mengikuti kaidah first order enzyme kinetics yaitu kecepatan biotransformasi bertambah secara linier dengan konsentrasi obat. Namun bila enzimnya telah jenuh maka kecepatan biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda (zero order 10 atau nonlinier kinetics) (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Harsono et al. 2012;Seth dan Montourish, 2008). Setelah enzim hati jenuh, maka kenaikan dosis sedikit saja akan menyebabkan peningkatan kadar plasma yang berlebihan. Keadaan ini akan menimbulkan gejala toksik bila kadar serum sudah melebihi 10 – 15 mikrogram / ml. Prinsip pengobatan epilepsi dapat dijelaskan sebagai berikut: (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Rogawski dan Loscher, 2004; Kliegman et al. 2011; Goodman dan Gilman, 2007) a. Langkah pertama dalam pengobatan adalah diagnosis pasti, karena banyak keadaan yang memperlihatkan gejala mirip epilepsi. Pengobatan umumnya baru diberikan setelah serangan kedua. Hal ini penting karena pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. b. Setelah diagnosis ditegakkan tindakan berikutnya adalah menentukan jenis serangan. Setiap OAE mempunyai kekhususannya sendiri dan akan bermanfaat secara spesifik pada jenis serangan tertentu. c. Pengobatan harus dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian dosis dinaikkan bertahap sampai serangan teratasi. Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah, yang terpenting bukan hanya mencapai kadar terapeutik tetapi kadar OAE bebas yang dapat menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Kadar OAE bebas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya penggunaan bersama obat lain, bahan kimia dan distribusinya yang tergantung pada kelarutan dalam lemak dan ikatannya dalam jaringan tubuh. Absorbsi dapat dipengaruhi saat 11 makan obat misalnya sebelum atau sesudah makan, jenis makanan dan obat misalnya antasida. d. Kegagalan OAE sering disebabkan karena non compliance atau tidak diminum menurut aturan. Bila OAE pertama tidak bermanfaat dapat diganti dengan OAE kedua. Dosis OAE kedua dinaikkan bertahap sedangkan dosis OAE pertama diturunkan bertahap. Monoterapi lebih baik untuk mengurangi potensi adverse effect, meningkatkan kepatuhan pasien, dan belum ada bukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi. Biasanya politerapi kurang efektif karena interaksi antar obat justru akan mengganggu efektivitas dan adanya akumulasi efek samping. Sebaiknya menghindari dan meminimalkan penggunaan anti epilepsi sedatif untuk mengurangi toleransi efek pada intelegensia, memori, kemampuan motorik yang bisa menetap selama pengobatan, jika memungkinkan terapi diinisiasi dengan satu antiepilepsi non sedatif, jika gagal dapat diberikan anti epilepsi sedatif atau dengan politerapi 4. Golongan Obat Anti Epilepsi Jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi, termasuk jenis epilepsi fokal atau umum. Obat anti epilepsi telah diklasifikasikan kedalam 5 kelompok kimiawi yaitu barbiturat, hidantoin, oksazolidindion, suksinimid danasetilurea (Ganiswara et al. 2002; Oktaviana dan Fitri, 2008; Levy et al. 1995) 12 a. Golongan hidantoin Pada golongan ini terdapat 3 senyawa yaitu Fenitoin, mefentoin dan etotoin, dari ketiga jenis itu yang sering digunakan adalah Fenitoin dan digunakan untuk semua jenis bangkitan kecuali bangkitan Lena. b. Golongan barbiturat Golongan obat ini sebagai hipnotik-sedatif dan efektif sebagai antikonvulsi yang sering digunakan adalah barbiturat kerja lama (Long Acting Barbiturates). Jenis obat golongan ini antara lain fenobarbital dan primidon, kedua obat ini dapat menekan letupan di fokus epilepsi. c. Golongan oksazolidindion Salah satu jenis obatnya adalah trimetadion yang mempunyai efek memperkuat depresi pasca transmisi sehingga transmisi impuls berurutan dihambat. d. Golongan suksinimida Obat yang sering digunakan di klinik adalah jenis etosuksimid, metsuksimid dan fensuksimid yang mempunyai efek sama dengan trimetadion. Etosuksimid merupakan obat pilihan untuk bangkitan lena. e. Golongan karbamazepin Obat ini efektif terhadap bangkitan parsial komplek dan bangkitan tonik klonik dan merupakan obat pilihan pertama di Amerika Serikat untuk mengatasi semua bangkitan kecuali lena. 13 f. Golongan benzodiazepin Salah satu jenisnya adalah diazepam, disamping sebagai anti konvulsi juga mempunyai efek antiansietas dan merupakan obat pilihan untuk status epileptikus. g. Obat - obat generasi kedua Vigabatrin, lamotrigin, gabapentin, felbamat, tiagabin, topiramat dan zonisamida. Tabel 2.1. Obat pilihan pertama dan kedua epilepsi pada anak. Kejang Parsial Kejang Umum (generalized seizures) Tonik klonik Abssens Mioklonik Atonik Obat pilihan I Karbamazepin Fenitoin Primidon Fenobarbital Valproat Karbamazepin Fenitoin Valproat Etosuksimid Lamotrigin Valproat Valproat Lamotrigin Obat pilihan II Valproat Lamotrigin Gabapentin Topiramat Tiagabin Lamotrigin Topiramat Primidon Fenobarbital Benzodiazepin Clonazepam Topiramat Zonisamida Benzodiazepin Topiramat Klonazepam Felbamat Levitracetam Topiramat Zonisamida Sumber: Soetomenggolo dan Ismael, 1999 Berikut ini akan diuraikan mengenai obat anti epilepsi yang berpengaruh terhadap enzim CYP450 yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain: a. Golongan Hidantoin Dalam golongan ini terdapat tiga senyawa anti konvulsi yaitu Fenitoin (difenilhidantoin), mefentoin dan etotoin. Dari ketiga jenis OAE diatas yang paling sering digunakan adalah fenitoin. Berguna untuk kejang tonik lonik 14 umum, sera ngan parsial (sederhana – kompleks) dan beberapa jenis kejang lainnya.Farmakologi dan farmakokinetik dari obat antiepilepsi ini tidak menyebabkan efek depresi umum susunan saraf pusat (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Harsono et al. 2012). Absorbsi per oral berlangsung lambat dan tidak lengkap dengan 10 % dari dosis oral akan diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh, kadar puncak akan tercapai dalam 3 – 12 jam. Pemberian dalam bentuk injeksi intramuskular akan menyebabkan pengendapan di tempat suntikan kira – kira 5 hari dan absorbsinya berlangsung lambat. Obat ini kurang baik untuk pengobatan jangka panjang pada anak karena banyak efek samping dan adanya variasi yang besar dalam absorbsi dan metabolisme yang mudah terganggu oleh antikonvulsan lain. Sebagian besar hasil metabolik akan diekskresikan melalui empedu, mengalami reabsorbsi kembali dan diekskresikan melalui ginjal (Goodman dan Gilman, 2007; Levy et al. 1995). Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion natrium yang tersisa maupun aliran ion natrium yang mengalir selama penyebaran potensial aksi. Fenitoin juga dapat menghambat kanal kalsium ( Ca 2+ ) dan menunda aktifasi aliran ion K keluar selama potensial aksi sehingga menyebabkan kanaikan periode refractory dan menurunnya cetusan ulangan. Dosis rata – rata adalah 5 – 7 mg/kgBB/hari dan akan mencapai kadar terapeutik ( 10 – 20 mikrogram/ml) dalam 7 10 hari. 15 Interaksi obat golongan hidantoin khusunya fenitoin yaitu pada konsentrasi fenitoin dalam plasma dapat meningkat bila diberikan bersama dengan kloramfenikol, isoniazid ( INH ), karbamazepin, simetidin, dan sulfonamide karena terjadi penghambatan biotransformasi fenitoin, sedangkan sulfioksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat juga akan meningkatkan kadar fenitoin dalam plasma karena obat – obat ini dapat mempengaruhi ikatan plasma protein dari fenitoin. Teofilin dapat menurunkan konsentrasi fenitoin dalam plasma, karena teofilin dapat meningkatkan biotransformasi fenitoin dan mengurangi absorbsi dan reabsorbsi. Interaksi dengan fenobarbital dapat meningkatkan kadar fenitoin akibat inhibisi kompetitif pada inaktifasi fenitoin. Hal yang sama berlaku untuk kombinasi fenitoin dengan karbamazepin, karena itu terapi kombinasi harus dilakukan secara hati – hati. Fenitoin dimetabolisir di hepar oleh enzim mikrosomal. Oleh karena itu obat yang berpengaruh terhadap enzim tersebut dapat merubah kadar fenitoin dalam plasma, baik secara kompetitif maupun yang dimetabolisir oleh enzim yang sama atau justru obat yang memacu enzim mikrosomal (Goodman dan Gilman, 2007; Gomez dan Klass, 1983; Thilotammal et al. 1999). Efek samping berupa vertigo, gerakan involunter, pusing, mual, nistagmus, sakit kepala, ataksia, letargi dan perubahan perilaku. Efek samping pemberian kronik berupa hirsutisme, hipertofi ginggiva, peningkatan kadar lipid dan gangguan fungsi kognitif. Dapat terjadi peningkatan SGOT dan SGPT, sedangkan efek samping berat adalah 16 kelainan hematologis (trombositopenia, leukopenia, dan anemia ) dan sindrom steven Johnson (Ganiswara et al. 2002). b. Fenobarbital Fenobarbital (asam 5,5 fenil etil barbiturat ) merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial sederhana kompleks dan kejang tonik-klonik umum (grand mal). Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting untuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Harsono et al. 2012). Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida. Dosis awal penggunaan fenobarbital 4-5 mg/kg/hari dalam 2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik dalam 2-3 minggu. Kadar terapeutik adalah 15 – 40 mikrogram / ml dan efek toksik mulai terlihat pada kadar lebih dari 60 mikrogram / ml. Efek samping yang mungkin terjadi adalah mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan peningkatan profil lipid danStevens-Johnson syndrome. Fenobarbital akan dapat merangsang metabolisme dan mengurangi efektivitas antikonvulsan lain seperti 17 karbamazepin dan fenitoin. Pemberian yang sama dengan asam valproat dapat menimbulkan somnolensi yang nyata dan meningkatkan kadar fenobarbital sebanyak 40 %(Nordli et al. 2006; Ganiswara et al. 2002). c. Karbamazepin Secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonikklonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+ yang mengakibatkan influx (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-30 mg/kg/hari dibagi dalam 2- 4 dosis sehari dan akan mencapai kadar terapeutik ( 8 – 12 mikrogram / ml ) dalam 3 – 4 hari tanpa loading dose, anak usia 6-12 tahun dosis awal 100 mg 2 kali sehari. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun 200 mg 2 kali sehari. Sebaiknya obat ini diberikan dengan dosis rendah dahulu tiga kali sehari, lalu dosisnya dinaikkan perlahan – lahan dalam 2 minggu untuk mencegah efek samping (Soetomenggolo dan Ismael, 1999; Ganiswara et al. 2002). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda/diplopia), pusing, lemah, mengantuk, mual dan akibat pemberian kronik dapat mengakibatkan peningkatan profil lipid, ganguan fungsi hati, leukopenia. Steven johson syndrome relatif sering terjadi akibat penggunaan obat ini sehingga pasien harus diperingatkan apabila timbul vesikel setelah meminum obat ini. 18 Pemberian bersama obat lain misalnya Calcium channel blocker, isoniazid dan erytromisin menghambat dapat mempercepat metabolismenya. timbulnya Fenobarbital dan toksisitas karena fenitoin dapat meningkatkan kadar karbamazepin, sedangkan karbamazepin bersama asam valproat akan menurunkan kadar asam valproat. Konversi primidon menjadi fenobarbital ditingkatkan oleh karbamazepin (Ganiswara et al. 2002; Bjornsson, 2008). d. Asam Valproat Asam valproat merupakan pilihan terapi untuk kejang parsial sederhana maupun kompleks, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonikklonik. Pemberian Valproat (dipropilasetat, atau 2-propilpentanoat) secara oral cepat diabsorbsi dan kadar maksimal serum dapat tercapai dalam 1-3 jam. Masa paruh asam valproat adalah 8 – 10 jam dan kadar dalam darah stabil setelah 48 jam terapi. Asam valproat selain dapat menghambat sodium chanel juga dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasinya atau mengaktivasi sintesis GABA. Dosis penggunaan asam valproat 15 - 20 mg/kg/hari dalam 2 – 4 dosis untuk mencapai kadar terapeutik ( 40 – 150 mikrogram / ml) dalam 1 – 4 hari. Hubungan dosis dengan kadar serum sangat kompleks karena masa paruh yang pendek dan ikatan protein yang besar (Ganiswara et al. 2002; Haiser et al. 1996). Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan 19 keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin, sehingga akan meningkatkan kadar obat tersebut. Sedangkan kombinasi asam valproat dengan aspirin akan meningkatkan kadar asam valproat (Coulter et al. 1980; Henriksen et al. 1982). B. Profil Lipid 1. Definisi Profil Lipid Lipid adalah senyawa yang berisi karbon dan hidrogen yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik. Lipid berfungsi sebagai sumber energi utama untuk metabolisme tubuh dan berperan dalam pembentukan membran dan struktur sel. Sedangkan profil lipid adalah gambaran kadar lipid di dalam darah dan diperoleh dengan memeriksa kadar kolesterol total, trigliserida, Low-Density Lipoprotein (LDL)dan High Density Lipoprotein (HDL) (Setiono, 2012). Lipid secara umum dibagi dalam tiga kelompok yaitu lipid sederhana, lipid majemuk dan sterol. Lipid sederhana sebagian besar mengandung tiga asam lemak dan disebut trigliserida. Lipid majemuk adalah fosfolipid dan glikolipid sedangkan 20 jenis sterol yang sangat bermakna adalah kolesterol. Proses sintesis kolesterol terdiri dari lima tahapan utama antara lain: (Setiono, 2012; Anzar, 2005) a. Merubah Asetil CoA menjadi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA (HMGCoA). b. Merubah HMG-CoA menjadi mevalonate c. Mevalonate diubah menjadi molekul dasar isoprene yaitu isopentenyl pyrophosphate (IPP) bersamaan dengan hilangnya CO2. d. IPP diubah menjadi squalene e. Squalene diubah menjadi kolesterol. 2. Jenis Lipid Di dalam plasma terdapat beberapa jenis lipid yang terdiri dari triasilgliserol (16%), fosfolipid (30%), kolesterol (14%), ester kolesterol (36%) dan asam lemak bebas (4%). Agar lipid dapat diangkut dalam sirkulasi maka susunan molekul lipid harus dimodifikasi yaitu dalam bentuk lipoprotein yang bersifat larut dalam air.Lipoprotein dapat dibagi ke dalam lima kategori utama tergantung pada komposisinya. Pengelompokan dimulai dari ukuran yang paling besar dengan densitas yang kecil hingga ke ukuran yang terkecil dengan densitas yang besar yaitu kilomikron, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), Intermediate-Density Lipoprotein (IDL), Low-Density Lipoprotein (LDL), dan High Density Lipoprotein (HDL). Kilomikron mengangkut lipid yang dihasilkan dari pencernaan dan penyerapan, VLDL mengangkut triasilgliserol dari hati, LDL menyalurkan kolesterol ke jaringan dan HDL membawa kolesterol ke jaringan dan 21 mengembalikannya ke hati untuk diekskresikan dalam proses yang dikenal sebagai transpor kolesterol terbalik (reverse cholesterol transport)(Setiono, 2012; Anzar, 2005; Haris, 2010).Jenis lipid penting yang dibutuhkan di dalam tubuh adalah sebagai berikut : a. Trigliserida Trigliserida adalah satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak dan mengandung asam lemak jenuh yang saling berikatan serta berbentuk padat pada suhu kamar. Pembawa utama trigliserida dalam plasma adalah kilomikron dan VLDL. Trigliserida merupakan simpanan lipid yang utama pada manusia dan berfungsi sebagai sumber energi. Apabila sel membutuhkan energi maka enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak serta melepaskan ke pembuluh darah untuk selanjutnya di metabolisme menjadi energy (Anzar, 2005; Kliegman et al. 2011). b. Kolesterol Kolesterol adalah alkohol steroid yang strukturnya mempunyai inti siklopentanoperhidrofenanten. Dalam tubuh berperan untuk memperbaiki membran sel, sintesis asam empedu dan vitamin D, prekursor hormon adrenokortikal, androgen dan estrogen. Sekitar 60-75% kolesterol di angkut oleh LDL dan sebagian kecil (15-25%) diangkut oleh HDL (Setiono, 2012). c. Lipoprotein Lipoprotein merupakan molekul lipid dan protein yang disintesis di hati. Tiap jenis lipoprotein berbeda dalam ukuran dan densitas serta mengangkut jenis 22 lipid dalam jumlah yang berbeda pula. Fungsi lipoprotein adalah mengangkut lipid di dalam plasma ke jaringan yang membutuhkan energi, sebagai komponen membran sel atau prekursor metabolit aktif, lipoprotein terdiri dari: (Anzar, 2005) 1) HDL disebut juga α-lipoprotein mengandung 30% protein dan 48% lemak. HDL dikatakan kolesterol baik karena berperan membawa kelebihan kolesterol di jaringan kembali ke hati untuk diedarkan kembali atau dikeluarkan dari tubuh. HDL ini mencegah terjadinya penumpukkan kolesterol di jaringan terutama di pembuluh darah. 2) Fungsi HDL antara lain: (Harris, 2010; Kliegman et al. 2011) a) Meningkatkan sintesis reseptor LDL b) Diduga sebagai sumber bahan pembentukan prostasiklin yang bersifat anti trombosis c) Sebagai sumber apoprotein untuk metabolisme VLDL remnant dan kilomikron remnant 3) LDL disebut juga β-lipoprotein yang mengandung 21% protein dan 78% lemak. LDL dikatakan kolesterol jahat karena LDL berperan membawa kolesterol ke sel dan jaringan tubuh sehingga bila jumlahnya berlebihan, kolesterol dapat menumpuk dan mengendap pada dinding pembuluh darah dan mengeras menjadi plak (Kliegman et al. 2011). 4) Kilomokron merupakan lipoprotein yang paling besar dan memiliki densitas rendah. Kilomikron berperan dalam mengangkut lipid dari saluran cerna ke seluruh tubuh. Lipid yang diangkut terutama adalah trigliserida. Di dalam 23 pembuluh darah, kilomikron berikatan dengan Apo C-II dan Apo E dari HDL plasma. Di dalam kapiler jaringan adiposa dan otot, asam lemak yang terdapat dalam kilomikron dilepaskan dari trigliserida melalui aktivitas lipoprotein lipase (LPL) yang terdapat di permukaan sel endotel. Sebagian fosfolipid, Apo A dan Apo C ditransfer ke HDL. Kilomikron hasil penguraian oleh LPL disebut kilomikron remnant, mengandung kolesterol, Apo E dan Apo B-48 yang akan berikatan dengan reseptornya di hati (Setiono, 2012; Anzar, 2005). 5) VLDL dibentuk di hati, berperan dalam transpor trigliserida ke berbagai jaringan di dalam tubuh. Komponen VLDL terdiri dari trigliserida, kolesterol bebas, kolesterol ester, fosfolipid dan apolipoprotein. Bagian asam lemak dari VLDL dilepaskan ke jaringan adiposa dan otot melalui cara yang sama dengan kilomikron. Aktivitas lipoprotein lipase mengubah VLDL menjadi IDL dan VLDL remnant, dimana IDL akan berubah menjadi LDL (Setiono, 2012). 3. Metabolisme Lipid Lemak mengalami pemecahan menjadi asam lemak bebas, trigliserida, fosfolipid dan kolesterol di dalam usus. Kemudian diolah dan diserap ke dalam darah dalam bentuk kilomikron. Trigliserida disimpan dalam jaringan lemak diseluruh tubuh, sedangkan sisa pemecahan kilomikron akan diuraikan menjadi kilomikron remnant yang beredar menuju hati. Di dalam hati pula trigliserida dan kolesterol disintesis dari karbohidrat. Sebagian kolesterol ini akan dibuang ke 24 dalam empedu sebagai asam empedu dan sebagian lagi bersama-sama dengan trigliserida akan bergabung dengan apoprotein B membentuk VLDL (Kliegman et al. 2011). VLDL ini lalu dipecah oleh enzim lipoprotein lipase menjadi IDL yang bertahan selama 2-6 jam kemudian berubah menjadi LDL. Fungsi LDL adalah membawa kolesterol ke jaringan perifer juga dinding pembuluh darah arteri sehingga dapat digunakan oleh sel-sel tubuh yang memerlukan dan yang sebagian lagi dimanfaatkan oleh hati untuk diolah kembali. Tetapi suatu ikatan lain antara kolesterol dengan apoprotein A akan membentuk HDL. Fungsinya berlawanan dengan LDL, yakni mengambil kolesterol dari jaringan dan membawanya ke hati untuk dikeluarkan lewat empedu. Metabolisme lipoprotein terdapat 3 jalur antara lain sistem eksogen sintesis lemak (melalui usus halus), sistem endogen sintesis lemak (melalui hati), serta reverse cholesterol transport (Setiono, 2012; Kliegman et al. 2011). a. Jalur metabolisme eksogen Makanan yang mengandung lemak terdiri atas trigliserida dan kolesterol. Selain dari makanan dalam usus juga terdapat kolesterol dari hati yang diekskresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak dari makanan maupun dari hati disebut lemak eksogen. Di dalam enterositmukosa usus halus, trigliserida akan diserap sebagai asam lemak bebas sedangkan kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester. Dimana keduanya akan membentuk lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein. Kilomikron ini akan masuk 25 ke saluran limfe yang akhirnya masuk ke dalam aliran darah melalui duktus torasikus (Kliegman et al. 2011). Kilomikron ini kemudian memasuki sistem limfatik dan berjalan ke seluruh tubuh sampai mereka dipecah oleh enzim lipoprotein lipase di dalam kapiler menjadi sisa-sisa kilomikron (chylomicron remnants) yang berukuran lebih kecil, mengandung sedikit asam lemak, tetapi memiliki apolipoprotein B-48 dan E. Sisa-sisa ini kemudian dibersihkan dari sirkulasi oleh protein reseptor LDL yang ditemukan di hati (Anzar, 2005; Kliegman et al. 2011). b. Jalur metabolisme endogen Trigliserida dan kolesterol di hati akan disekresi ke dalam sirkulasi sebagai lipoprotein VLDL. Dalam sirkulasi VLDL akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase dan akan berubah menjadi IDL yang juga akan mengalami hidrolisis menjadi LDL. LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. Sebagian LDL akan dibawa ke hati, kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor untuk kolesterol LDL. Sebagian lagi akan mengalami oksidasi yang akan menjadi sel busa. Makin banyak kolesterol LDL dalam plasma oksidasi makin banyak dan ditangkap oleh sel makrofag. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingkat oksidasi antara lain : (Anzar, 2005) 1) Meningkatnya jumlah small dense LDL 2) Makin tinggi kadar kolesterol HDL yang bersifat protektif terhadap oksidasi LDL 26 Gambar 2. Metabolisme lipoprotein (Kliegman et al. 2011) Jalur ini dimulai dengan sintesis VLDL oleh hepar yang kemudian disirkulasikan ke jaringan lemak dan otot. Trigliserida yang ada pada zat ini kemudian diambil oleh lemak dan otot sekitar sedangkan komponen permukaannya ditransfer dalam bentuk HDL. Sekitar 50% dari VLDL dikeluarkan oleh hepar melalui LDL reseptor. Selain itu, hepar juga dapat mengeluarkan LDL (suatu lipoprotein yang mengandung kolesterol ester dan apoprotein B-100). HDL sendiri merupakan suatu lipoprotein yang disintesa di hepar dan intestinum dan terdiri atas 50% protein dan 20% kolesterol. Hati mengangkut dan mensintesa trigliserida, kolesterol, Apo B-100, Apo C dan Apo E kemudian mengeluarkannya ke dalam sirkulasi dalam bentuk partikel VLDL. Trigliserida yang terkandung di dalam VLDLdihidrolisa oleh enzim lipoprotein lipase dan hepatik lipase perifer. Hasil dari proses hidrolisa tersebut adalah partikel IDL yang mengandung Apo B-100 dan kaya trigliserida. IDL akan ditangkap oleh reseptor Apo 27 B-100 dan Apo E (reseptor LDL) di hati atau akan dihidrolisa lebih lanjut oleh lipase sel endotel hati menjadi LDL yang merupakan lipprotein terpenting dalam mengangkut kolesterol serum ke perifer. Apo B-100 merupakan komponen protein terbanyak dalam LDLsehingga mempernudah pengangkutan kolesterol ke perifer. Reseptor-reseptor LDLyang tersembul keluar dari permukaan sel perifer akan mengikat lipoprotein-lipoprotein yang berisi Apo B-100 dan Apo E. Partikel LDL setelah ditangkap reseptor dimasukkan kedalam sel dan dibawa ke lisosom, LDL akan dikatabolisme untuk mencukupi kebutuhan sel tersebut maka LDL dikeluarkan dari sirkulasi. Walaupun sebagian besar jaringan mempunyai sejumlah reseptor LDL tetapi hati menangkap dan merusak lebih banyak dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan karena hati ukurannya besar dan mempunyai konsentrasi reseptor LDL yang tinggi. Sebagian besar kolesterol yang dirusak di hati dirubah menjadi (asam empedu) yang disekresi ke dalam usus halus bagian atas. Di dalam usus halus asam empedu akan direabsorbsi dan dimasukkan kedalam sirkulasi untuk mengulangi siklus (Harris, 2010; Kliegman et al. 2011). c. Jalur reverse cholesterol transport HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol mengandung apolipoprotein A,C dan E disebut HDL nascent. HDL nascent yang berasal dari usus halus dan hati mengandung apolipoprotein A1. HDL nascent mengambil kolesterol bebas yang tersimpan di makrofag. Setelah mengambil kolesterol bebas, kolesterol tersebut akan diesterifikasi 28 menjadi kolesterol ester oleh enzim lecithin cholesterol acyltransferase. Selanjutnya sebagian kolesterol ester tersebut dibawa oleh HDL akan mengambil 2 jalur. Jalur pertama akan ke hati sedangkan jalur kedua kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserida dari VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein untuk dibawa kembali ke hati (Harris, 2010; Kliegman et al. 2011). 4. Dislipidemia Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL. Klasifikasi dislipidemia berdasarkan patogenesis penyakit adalah dislipidemia primer yang disebabkan oleh kelainan penyakit genetik dan bawaan yang sehingga menyebabkan kelainan kadar lipid dalam darah. Sedangkan dislipidemia Sekunder yaitu disebabkan oleh penyakit lain seperti hipotiroidisme, sindrom nefrotik, kehamilan, dan penyakit hati obstruktif, diabetes militus, konsumsi alkohol, dan penggunaan obat-obat tertentu (beta bloker, kontrasepsi oral dan obat – obatan anti epilepsi (Anzar, 2005). Tabel 2.2. Pedoman profil lipid pada anak Diinginkan Diwaspadai (desirable) (boderline) Kolesterol total < 170 LDL < 110 HDL >45 Trigliserida < 125 Sumber: Anzar, 2005 170 – 199 110 – 129 35 – 45 - Tidak diinginkan (undersirable) ≥ 200 ≥ 130 < 35 ≥ 125 29 C. Efek Obat Anti Epilepsi Terhadap Profil Lipid 1. Efek Obat Anti Epilepsi Terhadap Profil Lipid melalui Metabolisme di Hepar Pengaruh OAE terhadap profil lipid tidak terlepas dari organ tubuh yaitu hati yang mempunyai fungsi terhadap metabolisme obat dan lipid. Hati merupakan komponen utama yang berperan dalam metabolisme berbagai macam obat, termasuk obat anti epilepsi dan melakukan proses biotrasformasi dari hasil metabolisme ke sirkulasi dan jaringan dengan perantara sejumlah enzim sitokrom P450. Enzim sitokrom P450 (Cytochrome P450, CYP450) merupakan keluarga besar enzim berjenis hemeprotein yang berfungsi sebagai katalisoksidator pada lintasan metabolisme steroid, asam lemak, xenobiotik termasuk obat, racun dan karsinogen. Sesuai uraian di atas xenobiotika merupakan zat yang asing bagi tubuh (xenos=asing). Bahan-bahan utama yang termasuk xenobiotika dalam hubungannya dengan medis bisa berupa obat-obatan, bahan-bahan kimia karsinogen dan berbagai macam senyawa yang masuk ke dalam tubuh secara insidental atau tidak disadari misalnya insektisida (Zhang et al. 2008; Setyawati, 2011; Lorbek et al. 2012). Sistem metabolisme xenobiotika umumnya dibagi menjadi dua fase, begitu pula dengan metabolisme obat anti epilepsi di dalam hati. Pada fase 1 reaksi utama yang terjadi berupa hidroksilasi. Reaksi ini melibatkan enzim monooksigenase atau lebih sering disebut sitokrom P450. Enzim sitokrom P450 banyak terdapat pada permukaan sitosolik membran retikulum endoplasmik hepatosit. Hidroksilasi dapat menginaktifasi obat dalam tubuh, tetapi untuk beberapa macam obat atau zat kimia 30 tertentu, reaksi hidroksilasi malah mengaktifasinya.Pada fase 2 senyawa-senyawa terhidroksilasi atau yang telah mengalami metabolisme fase 1 diubah oleh enzim spesifik menjadi metabolit yang lebih polar melalui konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asetat, glutathione atau beberapa asam amino tertentu atau dengan metilasi. Tujuan utama dari keseluruhan proses yang melibatkan XME (Xenobiotic Metabolizing Enzyme) adalah meningkatkan kelarutan zat terkait dalam air atau meningkatkan polaritasnya dan memudahkan eksresinya keluar tubuh (Zhang et al. 2008; Setyawati, 2011; Lorbek et al. 2012). Gambar 3. Skematis metabolisme xenobiotik (Lorbek et al. 2012) Kapasitas metabolisme hati terhadap obat tergantung pada aliran darah hati dan aktifitas sistem enzim hati yang beragam. Aktifitas ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:(Lorbek et al. 2012; Bibi, 2008) a. Fase I melalui tahapan fungsionalisasi (non synthetic) yang meliputi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.Membuat senyawa menjadi lebih polar dan digunakan sebagai substrat untuk reaksi konjugasi pada fase II. Pada kondisi 31 tertentu fase ini dapat merubah senyawa inaktif menjadi aktif. Reaksi oksidasi melibatkan oksigenase, monooksigenase dan dioksigenase. b. Fase II Melalui suatu proses sintesis atau konjugasi yang meliputi reaksi glukoronidasi, sulfatasi, pembentukan asam merkapturat, asilasi / asetilasi, metilasi. Metabolit xenobiotik tertentu dapat menghambat atau merangsang kegiatan enzim metabolisme xenobiotik. Hal ini dapat mempengaruhi dosis obat-obatan tertentu yang diberikan kepada pasien. Peran dari enzim hati dapat merangsang atau menghambat metabolisme obat. Rangsangan dari enzim akan menyebabkan metabolisme obat lebih cepat. Kondisi lain akan menyebabkan peningkatan clearance, akan memperpendek waktu paruh, dan menurunkan bioavaibilitas. Namun sebaliknya induksi enzim yang berlangsung terus-menerus mengakibatkan enzim berada dalam kadar yang jenuh dan tidak dapat berfungsi dengan baik maka metabolisme obat menjadi terhambat dapat menurunkan clearance, meningkatkan waktu paruh, dan meningkatkan bioavaibilitas dari obat (Setyawati, 2011; Lorbek et al. 2012). 2. Efek Induksi Sitokrom P450 terhadap Kadar Profil Lipid Enzim sitokrom P450 memainkan peran sentral dalam proses metabolisme dan eliminasi obat. Kebanyakan bentuk sitokrom P450 juga dapat diinduksi, sebagai contoh pemberian fenobarbital dan obat lainnya dapat menyebabkan hipertrofi smooth endoplasmic reticulum dan kenaikan jumlah sitokrom dalam kurun waktu 4-5 hari. Induksi sitokrom P450 memiliki peranan penting dalam 32 pemahaman akan interaksi obat. Sistem sirkulasi hepatik menentukan ukuran kemampuan hati dalam memindahkan hasil metabolismenya ke dalam sirkulasi dari jaringan (Hepatic inflow). Pada ekstraksi obat yang lebih tinggi dan diabsorbsi oleh usus yang kemudian menuju hati biasanya akan menghasilkan metabolisme yang lebih cepat masuk kedalam sistem sirkulasi sistemik yang dikenal dengan hasil awal dari metabolisme (First-pass metabolism). Apabila terjadi penurunan dari aliran darah hepar (liver blood flow) maka akan terjadi juga penurunan transformasi hasil metabolit, meningkatkan bioavaibilitas sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi obat dalam sirkulasi. Obat-obat yang mempunyai ekstraksi yang lebih rendah akan mempengaruhi aliran darah hepar lebih ringan namun dapat mempengaruhi kapasitas dari fungsional sel-sel hepar (functional capacity of hepatocytes) (Setyawati, 2011; Lorbek et al. 2012; Bibi, 2008). Kebanyakan obat dimetabolisme oleh enzim di organ hati (cytochrome P450 (CYP) atau sistem mikrosomal enzim). Sistem cytochrome P450 terdiri dari 12 kelompok atau keluarga sembilan kelompok yang memetabolismesubstansi endogen (berasal dari dalam tubuh) dan tiga kelompok yang berfungsi dalam metabolisme obat. Tiga kelompok tersebut antara lain CYP1, CYP2, dan CYP3. Kebanyakan obat di metabolisme oleh hati, kelompok enzim CYP3 diperkiran memetabolisme sekitar 50%, kelompok enzim CYP2 kira-kira 45%, dan kelompok enzim CYP1 kira-kira 5%. Jenis isoenzim yang paling penting dalam biotransformasi agen terapeutik adalah CYP1A2, CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1, CYP3D6, CYP3A4 (Perruca et al, 1984; Linch, 2007). Sebagai gambaran adalah ketika pasien mengkonsumsi antikoagulan warfarin untuk mencegah 33 terjadinya bekuan darah. Obat ini dimetabolisme oleh CYP2C9, jika pada saat yang bersamaan pasien tersebut juga mengkonsumsi fenobarbital akan tetapi tidak mendapatkan penyesuaian dosis warfarin. Maka kurang lebih dalam 5 hari level CYP2C9 di dalam hati akan meningkat dan akibatnya dosis obat menjadi tidak cukup. Sehingga dosis harus ditingkatkan agar warfarin tetap efektif. Hal ini tentunya akan menjadi permasalahan di kemudian hari saat fenobarbital tiba-tiba dihentikan. Pasien akan berada pada resiko perdarahan mengingat bahwa warfarin dosis tinggi tersebut akan lebih aktif bila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya sebab bila konsumsi fenobarbital diturunkan maka level CYP2C9 akan menurun (Husein et al. 2010; Handschin dan Meyer, 2004) Pada pemberian obat dalam jangka lama (kronis) beberapa obat merangsang sel hati untuk memproduksi enzim untuk metabolisme obat dalam jumlah banyak (perosesnya disebut induksi enzim). Induksi enzim mempercepat metabolisme karena jumlah enzim yang besar (dan lebih banyak tempat berikatan) membolehkan jumlah obat secara besar dimetabolisme pada waktu yang diberikan. Sebagai hasil dosis obat yang besar dari metabolisme obat yang cepat dibutuhkan untuk menghasilkan atau menjaga efek terapeutik obat. Metabolisme cepat juga 34 dapat meningkatkan produksi racun metabolit dengan beberapa obat. Obat yang menginduksi produksi enzim juga meningkatkan kecepatan metabolisme hormon steroid endogen (seperti kortisol, estrogen, testosteron, dan vitamin D) (Setyawati, 2011; Perruca et al. 1984). Gambar 4. Efek induksi enzim CYP450 (Zhang et al. 2008) Metabolisme juga dapat menurun atau gagal dalam peroses yang disebut inhibisi enzim yang sering terjadi dengan pemberian obat bersama-sama dua atau lebih obat yang kompetitif (saling bersaing) terhadap enzim metabolisme yang sama. Penghambatan metabolisme obat akan menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma dan senyawa induk. Kondisi ini akan memberikan efek terhadap efikasi dari obat sehubungan dengan metabolisme xenobiotik secara sempuma. Namun proses inhibisi ini juga akan memberikan efek sangat besar jika jalur altenatif eliminasi tidak tersedia. Biasanya penghambatan metabolisme obat mengarah ke peningkatan efektifitas dan toksisitas. Berbeda dengan induksi enzim yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Yalcin et al. 1997). Sejumlah OAE klasik seperti karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, pirimidon, dapat menginduksi lebih kuat enzim CYP450. Sebuah studi oleh Kantoush et al. 35 (1998) menemukan bahwa salah satu efek pemberian OAE adalah peningkatan profil lipid, dimana hal ini didasari oleh adanya metabolisme secara in vivo di hepar yang terjadi akibat induksi enzim mikrosomal hati yaitu sitokrom P450. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa kadar profil lipid meningkat secara signifikan pada pemberian karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin. Berbeda dengan asam valproat yang tidak didapatkan peningkatan pada kadar profil lipid karena tidak terbukti dalam menginduksi enzim CYP450 (Kantoush et al. 1998). Kerugian induksi enzim atau inhibisi enzim hati ini adalah interaksi dengan terapi farmakologis lainnya. Induksi dari enzim ini dapat menurunkan konsentrasi serum dan efikasi terapi obat yang dimetabolisme oleh enzim CYP45O dalam hal ini termasuk OAE itu sendiri dan obat lain seperti antikoagulan, antibiotik, antineoplastik, immunosupressan. Tabel berikut menggambarkan beberapa jenis obat anti epilepsi terkait dengan induksi dan inhibisi CYP450 (Yalcin et al. 1997; Jorge et al. 2011). 3. Efek Obat Anti Epilepsi Terhadap Homeostasis Lipid Melalui Perantara Reseptor Inti (Nuclear Reseptor) Hati merupakan organ utama dalam homeostasis lipid yang meliputi Fatty acid Synthese (FASN), ATP citrate lyase (ACLY), Steroyl Coa Desaturase-1 (SCD-1) dan reseptor utama yang berperan dalam implikasi homeostasis lipid adalah Liver X Receptoralfa dan beta (LXRa, LXRβ ). Peran LXR terhadap lipogenesis terjadi secara simultan. dengan sejumlah reseptor lain yang telah diidentifikasi seperti Pregnane X Receptor (PXR), Farnesoid X Receptor (FXR), 36 Constilutive Androstane Receptor (CAR), Peroxysome Proliferator Activated Receptor (PPAR) melalui suatu mekanisme yang sangat komplek (Jorge et al. 2011; Horton et al. 2002). Tabel 2.3. Induksi dan inhibisi enzim CYP450 AED Carbamazepine Ethosuximide Felbamate Gabapentin Lamotrigine Levetiracetam Major Hepatic Enzymes CYP3A4; CYP1A1;CYP2C8 CYP3A4 CYP3A4; CYP2E1; other None Renal Ellimination (%) <1 12-20 50 Induced Inhibited CYP1A2; CYP2A;GT None CYP3A4 None Almost completely 10 66 None None CYP2C19; oxidation None GT None None None 27 CYP3A; CYP3A; GT CYP3A; CYP3A; GT CYP3A; CYP3A; GT None None CYP2C19 Oxcarbazepime GT None (undergoes nonhepatic hydrolysis) Cytosolic system Phenobarbital CYP2C9; other 25 Phenytoin CYP2C9; CYP2C19 5 Pregabalin Tiagabine None CYP3A4 100 2 Topiramate Not know 70 Valproate Zonisamide GT; -oxidation CYP2A4 2 35 CYP3A4 (dose dependent) None None None None CYP2C19 CYP2C9; GT; Epoxide hydrolase None None Sumber: Fisher et al. 2005 Reseptor intraseluler atau nuclear receptor (NR) adalah adalah kelas reseptor yang diaktifkan ligan faktor transkripsi yang aktifitas utamanya adalah regulasi transkripsi gen. Hasil ikatan antara ligan dan reseptor intraseluler ini akan menghasilkan sejumlah besar ekspresi gen yang akhirnya akan menghasilkan efek pada organisme tersebut. Nuclear receptor (NR) berada di dalam sitoplasma atau nukleus dengan aktivitas utama adalah regulasi transkripsi gen. Ligan untuk 37 reseptor ini umumnya berbobot molekul kecil (< 1000 dalton), bersifat lipofilik, sehingga dengan mudah dapat menembus membran sel dan masuk ke dalam sel untuk mencapai reseptornya (Ory, 2014). Implikasi klinis dari penggunaan OAE terhadap profil lipid terkait dengan metabolisme obat tersebut di hati. Hal ini akan mengakibatkan induksi dari enzim mikrosomal hati yaitu CYP450 dan selanjutnya dapat mengganggu aktifasi LXR dalam homeostasis lipid sehingga mempengaruhi secara luas biosintesis kolesterol dan trigliserida melalui perantara sterol regulatory element-binding proteins (SREBP), SREBP-2 yang mengkoordinasi aktifasi gen terhadap kolesterol hepatik 38 dan SREBP-lc dapat menginduksi biosintesis trigliserida (Berlit et al. 1982; Ihunnah et al. 2011). Gambar 5. Peran LXR dalam peningkatan sintesis kolesterol dan trigliserida (Berlit et al. 1982) Khusus efek terhadap kolesterol, enzim CYP450 terutama CYP51A1 terlibat secara luas terhdap regulasi sintesis kolesterol melalui suatu proses katalisasi dengan beberapa langkah yang berbeda dimana lanosterol dikonversi menjadi kolesterol melalui pembentukan beberapa oxysterol intermediet yang merupakan 39 subtrat dari CYP51A1. Oxysterol intermediet tampaknya menjadi sumber utama umpan balik terhadap inhibisi hydroxymethylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase. Adanya suatu agen inhibitor CYP45O akan menyebabkan peningkatan oxysterol intermediet dan terjadi penurunan produksi kolesterol, namun sebaliknya pada kondisi induksi enzim CYP45O dalam hal ini akibat pemberian jangka panjang OAE akan menurunkan oxysterol intermediate level dan mengurangi proses inhibisi umpan balik hydroxymethylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase sehinggga meningkatkan produksi kolesterol (Berlit et al. 1982; Ihunnah et al. 2011). Peran LXR dalam lipogenesis ini mengakibatkan ikatan dengan heterodimer partner yang lain seperti PXR, PPAR, dan CAR. Ikatan PXR dengan LXR dan PPARγ mengakibatkan adanya peningkatan deposit trigliserida di hepar melalui perantara enzim lipogenik yaitu SteroylCoA Desaturase-1 (SCD-1), Fatty Acid Elongase (FAE) dan dibawa oleh suatu transporterfatty acid yaitu CD-36 sehingga meningkatkan fatty liver, peningkatan lipogenesis, dan akumulasi trigliserida (Ihunnah et al, 2011). Penelitian yang dilakukan pada manusia yang menggunakan OAE diantaranya adalah karbamazepin dan fenitoin dapat meningkatkan 20 kali lipat kadar 4β-hydroxycholesterol dibandingkan subyek kontrol dan mempunyai waktu paruh oxyterol dalam plasma 52 jam lebih panjang dari oxysterol lain seperti 24-hydroxycholesterol, 27 hydroxycholesterol dan 7a-hydroxycholesterol, yang hanya mempunyai waktu paruh 12 jam. Tampaknya aktivasi PXR akan meningkatkan CYP3A dalam mengkatalisasi 4β-hydroxycholesterol. Akibat waktu paruh yang lebih panjang terjadi akumulasi kadar lipid dengan adanya peningkatan 40 ATP citrate lyase dan paningkatan fatty acid synthetase (Wang dan Lecluyse, 2003; Yang et al. 2010). Gambar 6. Efek ikatan LXR dengan heterodimer partner PXR, PPARγ (Yang et al. 2010). Aktifasi PXR selain dapat menginduksi lipogenesis ternyata juga berperan dalam menghambat fatty acid β oxidation, yaitu suatu proses katabolisme atau pemecahan molekul asam lemak di mitokondria. PXR menghambat fatty acid β oxidation melalui supresi pada PPAR∝ dan thiolase. PXR juga menghambat forkhead box factor A2 (FOXA2) yang memegang peranan penting dalam regulasi β-oxidation, serta menghambat FOXA1 melalui perantara carnitine palmitoyltransferase 1a (Cpt1a) dan mitochondrial 3-hydroxy-3-methylglutaryl CoA synthase 2 (Hmgcs2). Disamping itu PXR juga menghambat Constilutive Androstane Receptor (CAR). CAR berfungsi untuk menghambat lipogenesis melalui induksi Insig-1, yaitu suatu protein yang berperan dalam regulasi gen 41 lipogenik yang diperantarai oleh SREBP. Insig-1 juga mengikat SREBP cleavageactivating protein SCD1 (SCAP) dan menyimpannya dalam reticulum endoplasmic serta mencegah aktifasi SREBP. Penghambatan aktifasi CAR juga menghambat fatty acid β oxidation melalui penurunan enzim Cpt1, dimana enzim tersebut berperan dalam regulasi fatty acid β oxidation. Peran PXR dalam menghambat CAR merupakan feedback mechanism sehingga proses penghambatan lipogenesis tidak terjadi. Akibatnya terdapat akumulasi kadar lipid (Ory, 2014; Yang et al. 2010; Yilmaz et al. 2010). Gambar 7. Pengaruh PXR dalam peningkatan lipogenesis (Ory, 2014). Mekanisme induksi enzim juga berpengaruh terhadap interaksi obat dan toksikologi. Identifikasi PXR membantu mengungkapkan mekanisme molekuler terjadinya interaksi obat. Ketika dua atau lebih obat digabungkan, dan salah satunya adalah ligan PXR sedangkan yang lainnya adalah substrat dari gen target PXR yang 42 mengkode enzim atau transporter maka interaksi obat-obat dapat terjadi. Konsekuensi klinis interaksi obat dimediasi PXR umumnya menurunkan efikasi terapi dan kadang-kadang meningkatkan toksisitas obat termasuk dalam hal ini adalah efeknya terhadap sintesis trigliserida. Adanya induksi pada enzim mikrosomal hati akibat OAE inducing enzime khususnya pada CYP7A1 menghambat transkripsi Farnesoid X Receptor (FXR). Hambatan aktifasi FXR mengakibatkan penurunan ekspresi phospholipid transfer protein, sehingga transfer fosfolipid dan kolesterol dari LDL ke HDL terganggu dan lebih banyak kolesterol yang berada dalam sel dan jaringan tubuh. Selain itu penurunan hepatic lipogenesis melalui reduksi SREBP-1c serta katabolisme fatty acid melalui fatty acid β oxidation juga terhambat (Wang dan Lecluyse, 2003; Yang et al. 2010). Berdasarkan pembahasan di atas maka kelainan metabolisme lipid sering dikaitkan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan melalui proses induksi enzim sitokrom P450 yang dapat meningkatkan transkripsi sejumlah reseptor nuklear yang berperan dalam metabolisme lipid. Mekanisme ini menjadi penting mengingat gangguan metabolisme lipid yang mengarah ke suatu dislipidemia. Obat-obat OAE lini pertama yang sangat potensial menginduksi enzim sitokrom P450 sehingga kemungkinan akan munculnya efek yang merugikan perlu dipertimbangkan. Fenitoin, karbamazepin dan fenobarbital adalah suatu agen yang kuat dapat menginduksi enzim sitokrom P450 (Dewan et al. 2008). Pengaruh OAE terhadap profil lipid sangatlah komplek dan belum sepenuhnya dapat dipahami. Mekanisme induksi enzim pada dasarnya mempercepat proses detoksifikasi dan metabolisme xenobiotik namun proses induksi ini juga dapat 43 berpengaruh terhadap berbagai metabolisme lain seperti interaksi obat, toksikologi dan metabolisme lipid melalui mekanisme transkripsi enzim CYP45O yang dimediasi sejumlah nuclear receptor seperti Constitutive Androstante (CAR), Liver X Receptor (LXR), Pregnant X Receptor (PXR). Mekanisme induksi enzim CYP45O oleh obat anti epilepsi golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital saat ini telah diidentifikasi secara spesifik diantaranya ialah CYP2B, CYP3A, CYP2C, CYP2B6 yang dapat meningkatkan transkripsi LXR, PXR dalam human hepatocyte serta negative feedback mechanism melalui CAR dan FXR sehingga merubah homeostasis lipid dengan meningkatnya lipogenesis dan hepatic deposit of triglycerides. Peningkatan transkripsi PXR akan meningkatkan ekspresi fatty acid synthese (FASN) dan ATP citrate lyase (ACLY) yang akhirnya akan terjadi akumulasi sintesis asam lemak dan lipogenesis. Aktifasi PXR terhadap homeostasis lipid akan menurunkan β-oxidation, peningkatan free fatty acid (FFA). Perubahan ini akan menyebabkan peningkatan trigliserida dan hepar steatosis (Ihunnah et al. 2011; Wang dan Lecluyse, 2003; Yang et al. 2010). Laporan penelitian kombinasi OAE baik fenitoin dengan fenobarbital atau fenitoin dengan karbamazepin akan merangsang sintesis hepatik kolesterase dan meningkatkan pembentukan asam empedu, yang pada giliranya akan diikuti oleh peningkatkan penyerapan kolesterol oleh usus. Peningkatan kolesterol serum dapat dianggap sebagai dampak buruk terhadap pengobatan epilepsi, karena dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Oleh karena itu kadar profil lipid dalam serum harus dipantau secara teratur pada pasien yang menjalani terapi OAE. OAE sering kali digunakan dalam jumlah besar dan jangka 44 panjang, sehingga memungkinkan terjadinya kelainan metabolik dan hati dengan mengubah fungsi hati dan meningkatkan aktivitas enzim mikrosomal hati. Fenomena induksi enzim ini akan berdampak terhadap perubahan metabolisme berbagai macam zat dan lipid (Fajriman, 2011). Kantoush et al. (1998) meneliti tentang efek pemberian obat anti epilepsi terhadap peningkatan profil lipid dan data yang diperoleh sebanyak 40 anak yang menderita epilepsi dan diberikan terapi karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin didapatkan kadar kolesterol total, trigliserida, dan LDL yang secara signifikan meningkat dalam 6 bulan setelah terapi dibandingkan sebelum terapi dimulai. Sedangkan pada terapi menggunakan asam valproat perubahan kadar profil lipid tidak signifikan dibandingkan sebelum terapi. Rasio LDL/HDL pada penelitian ini tidak berubah secara signifikan pada kelompok yang mendapat terapi karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin.Peneltian yang lain oleh Yilmaz dan Dosan di Turki pada tahun 2001, melihat efek pemberian karbamazepin, asam valproat dan fenobarbital terhadap profil lipid dalam kurun waktu 3 bulan setelah terapi dan di follow up 1 tahun setelah terapi. Hasil yang diperoleh peningkatan profil lipid terjadi setelah 3 bulan terapi pada penggunaan karbamazepin dan fenobarbital, tetapi peningkatan setelah bulan ke-12 tidak didapatkan hasil yang signifikan berbeda dibandingkan dengan follow up bulan ke-3 terapi. Subyek dengan terapi asam valproat tidak didapatkan peningkatan profil lipid baik pada terapi bulan ke3 maupun bulan ke-12 (Jakubus et al, 2009).Dewan et al. (2008) membandingkan efek fenitoin dan asam valproat sebagai monoterapi terhadap peningkatan profil lipid dan didapatkan kadar trigliserida serta kolesterol total yang meningkat pada 45 kelompok yang mendapat terapi fenitoin dibandingkan dengan asam valproat. Pada beberapa penelitian lain menemukan kesimpulan yang sama dimana terapi dengan asam valproat tidak menunjukkan adanya peningkatan profil lipid dibandingkan dengan fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital (Jakubus et al, 2009). Tabel 2. 4. Penelitian efek samping obat antiepilepsi terhadap peningkatan profil lipid Penelitian Eiris et al Fanzoni et al Eiris et al Verromi et al Sonmez et al Yilmaz et al Sonmez et al Demicioglu et al OAE CBZ PB VPA CBZ, PB,PHT VPA CBZ PB VPA CBZ PB VPA CBZ PB VPA CBZ PB VPA CBZ PB CBZ VPA TC ↑ ↑ ↓ ↑ LDL ↑ ↑ ↓ - TG - HDL - ↓ ↑ ↑ ↓ ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ - ↑ ↓ ↑ ↑ ↓ ↑ ↑ ↑ ↑ - ↑ ↓ ↓ ↑ - ↑ ↑ ↑ - Keterangan 300 pasien anak dan dewasa epilepsi (129 CBZ; 64 PB; 127 VPA) 208 anak epilepsi (78 CBZ; 40PB; 17 PHT 119 anak apilepsi (58 CBZ; 22 PB; 39 VPA) 114 anak epilepsi (35 CBZ; 34 PB; 45 VPA) 64 anak epilepsi (22 CBZ; 18 PB; 24 VPA) 53 anak epilepsi (21 CBZ; 14 PB; 18 VPA) 39 anak epilepsi (23 CBZ; 16 VPA) 38 anak epilepsi (31 CBZ; 7 VPA) Keterangan: VPA:valproic acid; PB:phenobarbital; CBZ:carbamazepineSumber: Jakubus et al. 2009 Hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Salehiomran et al. (2010) dimana penelitian tersebut juga menilai efek fenobarbital dan asam valproat pada 110 anak dengan epilepsi terhadap kadar profil lipid (kolesterol, HDL, LDL, trigliserida, lipoprotein a) yang di foloow up pada awal terapi, setelah terapi bulan ke-3 dan bulan ke-6. Subyek penelitian dibagi dalam 2 kelompok dimana grup A mendapat fenobarbital (5mg/kg/hari) dua kali sehari dengan usia rata-rata 6,22±2,01 tahun dan grup B mendapat asam valproat (20mg/kg/hari) dua kali sehari 46 dan usia rata-rata 8,14±3,46 tahun. Pada grup A didapatkan peningkatan signifikan kadar LDL, penurunan HDL dan lipoprotein a (LPa) baik pada bulan ke-3 maupun bulan ke-6, untuk kadar kolesterol baru tampak perubahan yang signifikan setelah terapi bulan ke-6 (175,62±35,340 mg/dl) (P=0,0001). Sedangkan kadar trigliserida tidak terdapat perubahan secara signifikan baik pada bulan ke 3 maupun bulan ke 6. Pada grup B diperoleh perubahan yang signifikan pada kadar lipoprotein a dan HDL, tetapi tidak terdapat perubahan yang signifikan pada kadar kolesterol, trigliserida, dan LDL baik pada evaluasi bulan ke-3 maupun bulan ke-6 (Salehiomran et al. 2010). Sonmez et al. (2006) menemukan bahwa pada pemberian fenobarbital, karbamazepin dan asam valproat secara signifikan meningkatkan kadar lipoprotein a pada evaluasi terapi bulan ke-3, 6, dan 12. Dimana hal tersebut tidak hanya merupakan parameter profil lipid tetapi juga merupakan faktor risiko mayor terjadinya aterosklerosis. Kadar lipoprotein a dalam plasma tergantung pada kecepatan produksinya di hati, dan obat anti epilepsi dapat mempengaruhi kadar lipoprotein a melalui induksi enzim mikrosomal yang ada di hati. Berbanding terbalik dengan penelitian Tekgul et al. (2006) meneliti efek obat antiepilepsi terhadap kadar lipid dalam serum yang mengindikasikan keadaan atherogenic setelah pemberian asam valproat, karbamazepin dan fenobarbital selama 2 tahun sebagai monoterapi. Kadar atherogenic dapat dinilai dari rasio total kolesterol / HDL dan juga kadar apoprotein A (Apo A) / apoprotein B (Apo B), pada penelitian ini didapatkan setelah 2 tahun terapi obat antiepilepsi tidak terdapat peningkatan signifikan kadar profil lipid dalam serum yang memberikan efek atherogenic. 47 Tabel 2.5. Grup A terapi dengan fenobarbital Sumber: Salehiomran et al. 2010 Karaoglu et al. (2009)meneliti efek dosis rendah asam valproat (20mg/kg/hari) terhadap fungsi liver, parameter hematologi, serum lipid dan lipoprotein a (LPa) sebelum terapi dan 3 bulan setelah terapi pada anak usia 18 bulan sampai dengan 14 tahun. Didapatkan hasil secara statistik tidak berbeda signifikan pada perubahan kadar liver funtion test, parameter hematologi, dan serum lipid. Tetapi kadar lipoprotein a (LPa) setelah 3 bulan terapi (40,71±50,73 mg/dl) meningkat secara signifikan dibandingkan sebelum terapi (25,86±36,54 mg/dl) (p < 0,01). Peningkatan LPa > 30mg/dl pada anak yang mendapatkan obat antiepilepsi akan menigkatkan risiko atherosklerosis dan occlusive vascular disease (Karaoglu et al 2009). Tabel 2.6. Grup B terapi dengan asam valproat 48 Sumber: Salehiomran et al. 2010 Penelitian lainnya membandingkan efek samping terapi obat antiepilepsi terhadap perubahan profil lipid baik dalam monoterapi maupun kombinasi terapi dan di evaluasi setelah 6 bulan terapi. Tiga macam kelompok terapi penelitian ini antara lain :monoterapi (karbamazepin/fenitoin/fenobarbital/asam valproat), kombinasi terapi antiepilepsi konvensional (fenitoin dan fenobarbital, karbamazepin dan fenobarbital, asam valproat dan fenitoin, asam valproat dan karbamazepin) serta kelompok kombinasi terapi obat antiepilepsi konvensional dengan newer antiepileptic drug (karbamazepin+klobazam+topiramat, karbamazepin+klobazam+levitiracetam,karbamazepin+fenobarbital+levitiracetam ,asam valproat+lamotrigin) diperoleh hasil bahwa pemberian kombinasi terapi obat antiepilepsi konvensional secara signifikan (P<0,01) lebih toxic terhadap peningkatan profil lipid pada evaluasi terapi bulan ke-6 dibandingkan dengan kombinasi terapi obat antiepilepsi generasi terbaru maupun dengan monoterapi. Kadar HDL secara signifikan turun baik pada kombinasi terapi konvensional maupun newer antiepileptic drug (P<0,01), tetapi lebih signifikan pada kelompok 49 terapi kombinasi obat antiepilepsi konvensional (P<0,05) (Bhosale et al. 2014). Pada tahun 2013 di Irak, Radeef mengadakan penelitian efek samping obat antiepilepsi dalam monoterapi maupun kombinasi terapi terhadap profil lipid yang dilakukan pada kelompok 6 bulan sebelum penelitian (retrospective group) dan kelompok yang baru terdiagnosis setelah penelitian dimulai (prospective group). Hasil profil lipid setelah 3 bulan terapi, terdapat perubahan secara signifikan (P<0,05) pada kadar total kolesterol, HDL, dan LDL di retrospective group baik pada monoterapi maupun kombinasi terapi sedangkan pada prospective group setelah 3 bulan terapi hanya kadar HDL yang berubah secara signifikan dibandingkan kadar profil lipid baseline (Radeef et al. 2013). Pada penelitian yang dilakukan di Kairo tahun 2012 dimana kadar profil lipid dibandingkan pada 4 kelompok antara lain kelompok I mendapat asam valproat, kelompok II mendapat karbamazepin, kelompok III mendapatkan kombinasi asam valproat dan karbamazepin, sedangkan kelompok yang ke IV adalah kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan kadar kolesterol total 21,4% pada kelompok yang mendapat asam valproat, 78,5% pada kelompok karbamazepin, 80% pada pasien dengan kombinasi terapi. Kadar LDL juga meningkat 21,4% pada kelompok yang mendapat asam valproat, 78,5% pada kelompok karbamazepin, 90% pada pasien dengan kombinasi terapi. Kadar kolesterol total dan LDL secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang mendapat kombinasi terapi dan karbamazepin dibandingkan dengan asam valproat.(P<0,001) (Shaleh et al. 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Fajriman di Semarang menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap 50 kadar profil lipid pada pemberian asam valproat, karbamazepin, fenitoin sebagai monoterapi ataupun kombinasi terapi. Perbedaan terjadi berdasarkan durasi terapi, terdapat peningkatan kolesterol, trigliserida dan LDL pada pemberian kombinasi terapi dengan durasi pemberian diatas 5 tahun, sedangkan untuk pemberian OAE sebagai monoterapi hanya didapatkan peningkatan kadar LDL secara signifikan pada durasi pemberian yang sama yaitu dalam waktu 5 tahun, dan rerata kadarnya lebih tinggi dibandingkan pada lama pemberian 1-5 tahun (Fajriman, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Mintzer et al. (2009) terhadap penderita epilepsi yang mendapat terapi karbamazepin atau fenitoin sebagai monoterapi kemudian dilakukan penggantian terapi menggunakan non inducing antiepileptic drug seperti lamotrigin atau levitiracetam dan selanjutnya dilakukan pemantauan kadar lipid sebelum penggantian terapi dan 6 minggu setelah penggantian terapi. Diperoleh penurunan yang signifikan terhadap kadar kolesterol total (-24,8mg/dl), atherogenic kolesterol (-19,9mg/dl), trigliserida (-47,1mg/dl) P<0,0001. Pada kelompok yang dihentikan pemberian obat karbamazepin juga terdapat penurunan kadar lipoprotein a yang signifikan (P= 0,0004). Efek pemberian asam valproat terhadap profil lipid memang masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian menunjukkan mekanisme yang berbeda untuk asam valproat, tidak seperti karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital yang merupakan agen kuat yang menginduksi enzim CYP450, pada asam valproat beberapa peneliti menunjukkan adanya keterkaitan dengan weight gain associated valproic acid Peneliatian yang dilakukan oleh Kanemura et al. (2012) menunjukkan sekitar 53% pasien anak yang mendapatkan asam valproat terjadi peningkatan nafsu 51 makan dan body mass index (BMI) pada 6 bulan setelah terapi. Hal ini dihubungkan dengan adanya peningkatan kadar serum insulin dan rasio insulin dibanding glukosa pada pengamatan selama 6 bulan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martin et al. (2009), pada sampel anak yang sehat dan diamati efek pemberian asam valproat setelah 3 minggu terdapat peningkatan pola makan dan penambahan berat badan sebanyak 4,9 kg dibandingkan dengan berat badan awal sebelum dimulai terapi.Beberapa Jenis OAE seperti fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, levetiracetam, asam valproat, dan oxkarbamazepin dapat memberikan efek samping berupa peningkatan berat badan. Penelitian yang dilakukan oleh Greenwood tahun 2000 menunjukkan peningkatan berat badan terjadi pada 71% subyek penelitian yang mendapat terapi asam valproat. Penambahan berat badan berkisar antara 4-49 kg dalam waktu 3-24 bulan terapi. Pada penelitian tersebut menjelaskan bahwa peran OAE dalam peningkatan berat badan melibatkan regulasi metabolisme glukosa dan peningkatan food intake (Greenwood, 2000). 52 D. Kerangka Konsep OAE Metabolisme Hepar ( Asam Valproat, Karbamazepin, Fenobarbital, Fenitoin) Induksi enzim CYP450 Lama terapi Perlemakan hati Meningkatkan regulasi lipid melalui perantara reseptor inti Mempeng aruhi kecepatan Meningkatkan biosintesis kolesterol dan trigliserida LXR Menghambat transkripsi FXR Kolesterol total Trigliserida Hambatan CAR Oxyterol waktu paruh PXR Kolesterol total Peningkat an Fatty acid syntetase Peningkatan hepatic deposit lipid Aktivitas fisik = variabel antara = variabel perancu PPARγ Deposit fosfolipid, Kolesterol di jaringan LDL HDL Kolesterol Diet = ranah penelitian Mengkatalisasi lipogenesis Perlemakan hati 53 Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas yaitu OAE yang terdiri dari asam valproat, fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin, sedangkan yang merupakan variabel tergantung adalah kadar profil lipid yang terdiri dari kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL. Faktor perancu yang tidak dapat dikontrol dalam penelitian ini adalah aktifitas fisik dan diet. Untuk lama terapi dan dosis obat dibatasi pada waktu dan jumlah yang sama sesuai dengan yang digunakan di RS Dr.Moewardi. Pengaruh OAE terhadap kadar kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL melalui beberapa variabel antara dalam hal ini adalah enzim CYP450. Dimana induksi enzim CYP450 mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yang pada akhirnya dapat merangsang regulasi lipid atau meningkatkan lipogenesis melalui perantara reseptor inti (nuclear reseptor) dalam beberapa jalur. Jalur pertama melibatkan LXR (Liver X Receptor) yang mengganggu homeostasis lipid sehingga mempengaruhi secara luas biosintesis kolesterol dan trigliserida dan mengakibatkan peningkatan kadar kolesterol total dan trigliserida. Jalur kedua melalui hambatan terhadap aktifasi FXR (Farnesoid X Receptor) mengakibatkan penurunan ekspresi phospholipid transfer protein, sehingga transfer fosfolipid dan kolesterol dari LDL ke HDL terganggu dan lebih banyak kolesterol yang berada dalam sel dan jaringan tubuh. Jalur ketiga melalui aktifasi PXR (Pregnan X Receptor) yang menginduksi lipogenesis melalui dua proses yaitu melalui pembentukan oxyterol dengan waktu paruh yang panjang dan hambatan terhadap CAR (Constitutive Androstane Receptor) sehingga hambatan terhadap lipogenesis tidak terjadi dan mengakibatkan akumulasi lipid melalui sintesis fatty acid syntetase. Jalur keempat adalah melalui PPARγ (Peroxysome Proliferator 54 Activated Receptor) yang menyebabkan deposit atau penumpukan trigliserida di hepar dan merangsang pembentukan perlemakan hati, namun hal ini tidak masuk dalam ranah penelitian. E. Hipotesis Ada perbedaan pengaruh OAE (asam valproat, karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin) terhadap profil lipid. 55