Jurnal Walasuji

advertisement
WALASUJI
ISSN: 1907-3038
Jurnal Sejarah dan Budaya
Volume 4, No. 2, Desember 2013
TRADISI MAUDUK LOMPOA DI DESA CIKOANG
THE TRADITION OF MAUDUK LOMPOA IN CIKOANG VILLAGE
Nur Alam Saleh
Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221
Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166
Pos-el: [email protected]
Diterima: 5 Juli 2013; Direvisi: 18 Oktober 2013; Disetujui: 27 November 2013
ABSTRACT
Mauduk Lompoa is a religious ritual associated with commemorates the birth of Prophet Muhammad
to the Sayyid community in Cikoang, South Sulawesi. This writing aims to describe the background,
the processing, and the meaning of Mauduk Lompoa tradition ceremony in Cikoang. This writing is
GHVFULSWLYHTXDOLWDWLYHDQGGDWDFROOHFWLRQWHFKQLTXHVDUHOLWHUDWXUHPHWKRGVDQG¿HOGREVHUYDWLRQV
The results of the discussion shows the history of mauduk or maulud in Cikoang village and its process
FRQVLVWVRIWZRSKDVHVVXFKDVWKHSUHSDUDWLRQDQGWKHLPSOHPHQWDWLRQRIULWXDO7KH0DXGXN
Lompoa ceremony was born from a concept of Nur Muhammad by the Acehnese Moslem of Sayyid
Jalaluddin. The concept teachs four components of Islam, such as: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
The implementation of Mauduk Lompoa ceremony is enlivened with performing arts and games.
Keywords: ritual ceremony, kanre mauduk, performing arts, games.
ABSTRAK
Mauduk Lompoa adalah salah satu ritual keagamaan yang berhubungan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad
saw. pada masyarakat Sayyid di Cikoang, Sulawesi Selatan. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar
belakang, proses upacara, dan makna yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi Mauduk Lompoa di Cikoang.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data berupa metode kepustakaan dan
pengamatan di lapangan. Hasil pembahasan menggambarkan tentang sejarah mauduk atau maulud di Desa Cikoang
dan proses pelaksanaannya melalui dua tahap, yaitu: (1) persiapan dan (2) pelaksanaan upacara. Upacara Mauduk
Lompoa lahir dari sebuah konsep ajaran tentang Nur Muhammad yang dibawa oleh seorang ulama Aceh bernama
Sayyid Jalaluddin. Konsep tersebut mengajarkan empat komponen dalam Islam, yaitu: syariat, tarekat, hakikat,
dan makrifat. Pelaksanaan upacara Mauduk Lompoa dimeriahkan dengan seni pertunjukan dan permainan rakyat.
Kata kunci: upacara ritual, kanre mauduk, seni pertunjukan, permainan rakyatKata kunci: sosialisasi, proses
pewarisan, keterampilan menenun
181
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—
PENDAHULUAN
T
radisi merupakan gambaran sikap dan
perilaku manusia yang telah berproses
dalam waktu lama dan dilaksanakan
secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi
dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat
sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi
kebiasaan (http://mulfiblog.wordpress.com
/2009/10/20/pengertian-tradisi).
Tradisi sebagai salah satu bentuk kebudayaan
mengandung sejumlah nilai yang berfungsi
mengukuhkan pandangan masyarakat dan
memberi arah dalam pergaulan yang diinginkan
oleh norma dalam masyarakat (Tuloli, 1990:19).
Sejalan dengan itu, Sztompka (2005:74)
mengatakan bahwa sebagai kebiasaan dan
kesadaran kolektif tradisi merupakan mekanisme
yang bisa memperlancar pertumbuhan pribadi
masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan
keberadaan tradisi sebagai wadah penyimpanan
norma sosial kemasyarakatan.
Tradisi diciptakan oleh manusia kemudian
hidup bersama dalam suatu lingkaran tradisi
yang mengelilinginya. Karena itu, upacara
tradisional telah menjadi bagian integral dalam
kehidupan manusia, di mana pun mereka berada
dan dirasakan demikian penting untuk dihadirkan
maupun untuk dilaksanakan. Penyelenggaraan
upacara tradisional berbeda pada setiap kelompok
masyarakat. Perbedaan tersebut bisa terjadi pada
bentuk upacara, penyelenggaraan, atau pun
intensitas emosi yang menyertai upacara tersebut.
Islam sangat memperhatikan tradisi dan
konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber
bagi jurisprudensi hukum Islam dengan
penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu.
Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi
Muhammad. Kebijakan-kebijakan beliau yang
berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam
sunnahnya banyak mencerminkan kearifan
beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau
masyarakat (Husaini, 1983:74).
Islam dan tradisi merupakan dua substansi
yang berlainan, tetapi dalam perwujudannya
182
dapat saling bertaut, saling mempengaruhi, saling
mengisi, dan saling mewarnai perilaku seseorang.
Islam merupakan suatu normatif yang ideal,
sedangkan tradisi merupakan suatu hasil budi
daya manusia. Tradisi bisa bersumber dari ajaran
nenek moyang, adat istiadat setempat atau hasil
pemikirannya sendiri. Islam berbicara mengenai
ajaran yang ideal, sedangkan tradisi merupakan
realitas dari kehidupan manusia dan lingkungan
(Weldan dan Huda, 2004:29).
Figur yang di tokohkan dalam upacara ini
adalah manusia yang memiliki kemuliaan dan
kharisma karena pengetahuan dan kemampuannya
yang dianggap luar biasa sehingga dapat
mengembangkan agama Islam, suatu agama
yang dianggap sebagai agama penyelamat bagi
umat manusia.
Menurut Robertson (1988:1) agama
berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran
tertinggi dan mutlak tentang tingkah laku manusia
dan petunjuk-petunjuk untuk selamat hidup
di dunia dan di akhirat (setelah mati) yakni
sebagai manusia yang bertakwa kepada TuhanNya, beradab dan berdosa. Meskipun dalam
agama-agama lokal ajaran-ajaran tersebut tidak
dilakukan, tetapi terwujud dalam tradisi-tradisi
atau upacara-upacara.
Bagi masyarakat Cikoang di Kabupaten
Takalar Provinsi Sulawesi Selatan, salah satu
konsep untuk mewujudkan keselarasan dan
keharmonisan hidup terlihat dalam konsep
kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak
yang terdapat dalam tradisi Mauduk Lompoa.
Kedua konsep itu membentuk karakter manusia
Cikoang untuk menghindari berbagai hal yang
dapat menodai kesucian dirinya. Penyelenggaraan
Mauduk Lompoa merupakan suatu upacara yang
mempunyai arti penting bagi masyarakat Cikoang,
dan suatu keharusan untuk dilakukan pada tanggal
12 Rabiul Awal setiap tahun. Begitu pentingnya
acara tersebut, sehingga ….. rela mengorbankan
apa saja yang dimiliki demi mewujudkan upacara
tersebut. Keharusan tersebut telah mengakar
kuat dalam sanubari masyarakat karena mereka
berkeyakinan bahwa melaksanakan maulid secara
7UDGLVL0DXGXN/RPSRDGL... Nur Alam Saleh
teratur, dapat memberi jaminan akan masuk surga.
Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan “balukangi
tedongnu, pappitaggallangngi tananu, naniak
sallang nupakmaudukang” artinya juallah
kerbaumu, gadaikan sawahmu agar engkau nanti
dapat melaksanakan maulid untuk nabi.
Pemahaman masyarakat Cikoang tentang
upacara mauduk telah mengendapkan emosi
keagamaan bagi seseorang, sehingga ia merasa
terpanggil dan bahkan merasa hidupnya tidak
memiliki arti apabila tidak melakukan upacara
mauduk. Dari segi dimensi sosial, upacara mauduk
merupakan wahana dalam pelestarian nilai budaya.
Kemapanan masyarakat dari keturunan sayyid
yang merupakan kelompok masyarakat elite
telah menciptakan hubungan patron-klien dengan
masyarakat lainnya, karena posisi keturunan para
sayyid senantiasa lebih tinggi dari masyarakat
biasa.
Pelaksanaan tradisi upacara Mauduk Lompoa
ri Cikoang berlangsung secara turun temurun oleh
masyarakat keturunan sayyid. Bahkan, mereka
menganggap dirinya masih keturunan langsung
dari Nabi Muhammad saw. Dengan demikian,
wajarlah kalau upacara tersebut dilaksanakan
secara meriah. Selain itu, upacara mauduk menjadi
wahana untuk mengucapkan terima kasih dan
pujian kepada beliau Nabi Muhammad saw.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini,
yaitu bagaimana sejarah tradisi Mauduk Lompoa di
Cikoang, dan bagaimana rangkaian prosesi serta
makna yang terkandung di dalam pelaksanaannya.
Penelitian ini dilakukan di Cikoang, sebuah
desa pantai yang terletak pada muara sungai dan
airnya mengalir langsung ke laut lepas Selat
Makassar. Jaraknya dari ibu kota kabupaten sekitar
11 km, dan jarak Kota Makassar ibu kota Provinsi
Sulawesi Selatan hanya berjarak 60 km ke arah
selatan.
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu metode deskriptif kualitatif. Metode ini
berhubungan langsung dengan pengumpulan dan
pengkajian data dalam tulisan ini. Penggunaan
metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan
sistematis, faktual, dan akurat melalui pengamatan
yang direalisasikan melalui kata atau kalimat. Serta
dan dilakukan dengan apa adanya sesuai kenyataan
dan pengamatan yang ditemukan di lapangan
(Bogdan & Taylor, 1993:5).
PEMBAHASAN
Sejarah Upacara Mauduk Lompoa
Sebelum membahas lebih jauh tentang
upacara Mauduk Lompoa di Cikoang, terlebih
dahulu kita mengetahui latar belakang sejarah
sosial-budaya masyarakat Cikoang dan sejarah
terbentuknya Desa Cikoang itu sendiri. Walaupun
sumbernya hanya penuturan dari para informan,
tetapi dapat dibuktikan dari adanya sumber-sumber
berupa silsilah yang dimiliki oleh kaum sayyid
yang terdapat di masyarakat Cikoang.
Upacara adalah suatu kegiatan pesta
tradisional yang diatur menurut tata aturan adat
atau hukum yang berlaku dalam masyarakat
dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa
penting atau lain-lain dengan ketentuan adat
yang bersangkutan (Suyono dalam Alamsyah,
2005:216). Sehingga untuk mengetahui latar
belakang diselenggarakannya upacara tersebut,
tampaknya terlebih dahulu mengetahui ceritera
yang beredar di tengah-tengah masyarakat
setempat.
Berdasarkan informasi, Cikoang pada
mulanya dibangun oleh seseorang berasal dari
Binamu bernama Karaeng Cikondong keturunan
Karaeng Binamu sendiri. Setelah daerah tersebut
dibeli dari Raja Gowa, Kareang inilah bersama
ratusan orang pengikutnya membuka suatu
permukiman baru. Di tempat ini Karaeng tersebut
bersama rakyatnya bertani dan menangkap ikan
sebagai sumber mata pencahariannya.
Versi lain ditemukan oleh Manyambeang
(1983/1984:15), bahwa nama Cikoang diambil dari
kata Paccakkoang, artinya tempat bersembunyi.
Hal ini terjadi akibat pergolakan politik yang
terjadi dalam Kerajaan Gowa. Peristiwa itu terjadi
ketika Sayyid Jalaluddin Al-Aidid tidak diterima
oleh Raja Gowa, karena itu beliau melanjutkan
perjalanannya ke arah selatan untuk bersembunyi.
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—
Pakcokkoang kemudian berubah menjadi Cikoang.
Versi lainnya ditemukan oleh Hisyam
(1983:123), setelah Sayyid Jalaluddin Al-Aidid
sampai di Cikoang dengan menggunakan tikar
sembayang (sejadah) sebagai perahu, ia berjumpa
dengan dua orang nelayan yang kelak menjadi
muridnya. Sayyid Jalaluddin mendekati kedua
orang tersebut dan bertanya dengan bahasanya
sendiri “negeri apa ini”? I Bundrang, seorang
dari nelayan tersebut mengira Sayyid Jalaluddin
menanyakan ikan yang tangkapnya dengan
menjawab ciko, yakni jenis ikan laut yang terdapat
di sungai itu. Dari kata Ciko ini berubah menjadi
Cikoang dan menjadi sebuah nama desa.
Terlepas dari versi-versi di atas tampaknya
kehadiran Sayyid Jalaluddin sebagai tokoh
sejarah dalam masyarakat Cikoang memberi
arti yang mendalam bagi masyarakat Cikoang
sendiri. Menurut silsilah, Sayyid Jalaluddin
bin Muhammad Wahid Aidid berasal dari Irak,
kemudian berpindah ke Hadramaut bagian selatan
Jazirah Arabiah. Beliau termasuk keturunan ke29 Nabi Muhammad saw. (Nurdin, 1977/1978).
Kegemarannya berpetualang menyebarkan agama
Islam yang akhirnya bermukim di Aceh, yakni
negeri yang dikenal sebagai pusat pengembangan
Islam di masa lalu. Di Aceh inilah dua orang
penduduk pengembara Cikoang bertemu dengan
ulama itu dan berguru kepadanya. Kedua orang
tersebut kemudian mengundang Sayyid Jalaluddin
ke Cikoang. Namun, sebelum ulama ini ke
Cikoang, beliau terlebih dahulu singgah di daerah
Banjar. Sumber lain menyebutkan di daerah
Kutai Kalimantan Timur dan bertemu dengan
seorang bangsawan Gowa yang melarikan diri
dari kerajaan karena terlibat sirik. Kemudian,
bangsawan ini berguru pada ulama besar itu,
bahkan Sayyid Jalaluddin mempersunting salah
seorang putri bangsawan tersebut, yang bernama
Yaccara Daeng Tamami.
Perkawinan Sayyid Jalaluddin dengan
Daeng Tamami dikarunia dua orang anak lakilaki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah
Sayyid Sahabuddin, Sayyid Umar, dan Sayyid
Saharibaneng yang meninggal dunia dalam
184
usia muda, sedang kedua anak laki-lakinya
menetap bersama ayahnya (Sayyid Jalaluddin)
di Cikoang. Kedua anak laki-lakinya kawin dan
ikut mengembangkan Islam di sana. Kira-kira
seperempat abad di Cikoang mengembangkan
agama Islam, Sayyid Jalaluddin melanjutkan
perjalanannya ke Sumba untuk mengembangkan
agama Islam di sana, dan menurut riwayat di pulau
inilah ulama tersebut meninggal.
Upacara maulid pada mulanya hanya
dilakukan di rumah atau tempat kediaman
Sayyid Jalaluddin yang diselenggarakan oleh
masyarakat setempat secara sederhana. Akan
tetapi lama kelamaan, banyak tamu yang datang
baik dari dalam desa maupun dari luar desa ikut
berpartisipasi meramaikan upacara tersebut.
Apalagi setelah masyarakat mengetahui maksud
dan tujuan penyelenggaraan maulid itu, sehingga
upacara tersebut makin lama makin ramai dan
akhirnya dinamai Mauduk Lompoa atau maulid
yang penuh kebesaran.
Sebelum kedatangan Sayyid Jalaluddin Al
Aidid di Cikoang, pelapisan sosial tradisional
sudah ada dan berlaku umum bagi kelompok
etnik Makassar, yakni Karaeng sebagai lapisan
bangsawan, tumaradeka sebagai kelompok
masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan), dan
ata atau lapisan masyarakat yang mengabdi
terutama kepada lapisan bangsawan. Akan tetapi,
semenjak kedatangan Sayyid Jalaluddin di desa ini,
terbentuklah pelapisan sosial tersendiri sebagai
lapisan masyarakat yang memiliki keturunan
langsung Nabi Muhammad saw. Kelompok
ini lapisan ini menganggap dirinya lebih mulia
daripada karaeng.
Kedatangan Sayyid Jalaluddin di Cikoang
membawa babak baru dalam sejarah masyarakat
Cikoang. Sayyid Jalaluddin telah menyandang
sebagai ulama karena kearifan dan kepandaiannya.
Beliau cepat diterima di kalangan masyarakat
Cikoang. Karena itu, perkawinan campuran
pun terjadi antara lapisan karaeng dengan
lapisan sayyid yang melahirkan strata baru yakni
lapisan masyarakat yang paling terhormat dalam
masyarakat tersebut. Menurut informan, sekarang
7UDGLVL0DXGXN/RPSRDGL... Nur Alam Saleh
ini tidak seorang pun karaeng di Cikoang yang
tidak berdarah sayyid.
Sayyid yang bukan karaeng dianggap
sebagai lapisan masyarakat kedua. Mereka
biasa dipanggil tuan atau daeng. Lapisan Jawi
merupakan lapisan orang kebanyakan yang tidak
berdarah sayyid atau pun karaeng. Walaupun
lapisan Jawi merupakan lapisan minoritas,
tetapi kelompok sosial ini memiliki pengaruh
yang amat besar dalam masyarakat Cikoang.
Pelestarian dalam tradisi budaya masyarakat
desa ini sebagian besar didominasi atau diberi
warna oleh kelompok masyarakat tersebut. Hal
ini tampak sekali pada beberapa segi kehidupan
seperti keagamaan dan tatanan sosial. Kelompok
ini pun mengorientasikan diri pada tatanan tersebut
dan ikut mengejawantahkannya.
.RQVHS8SDFDUDMauduk Lompoa
Upacara adat tradisional masyarakat
merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan
yang mempunyai nilai-nilai universal yang
dapat menunjang kebudayaan nasional. Upacara
tradisional ini bersifat sacral, suci, dan setiap
DNWL¿WDVPDQXVLDVHODOXPHPSXQ\DLPDNVXGGDQ
tujuan yang ingin dicapai, termasuk kegiatankegiatan yang bersifat religius.
Suyono (1985:4) menilai bahwa adat itu
merupakan kebiasaan yang bersifat magis religius
dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi
kebudayaan, norma atau aturan-aturan yang saling
berkaitan dan menjadi satu sistem pengaturan
tradisional.
Mengacu pendapat di atas maka upacara
adat tradisional Mauduk Lompoa merupakan
tindakan simbolik manusia terkait dengan
kepercayaan yang mempunyai maksud-maksud
tertentu. Oleh karena itu, masyarakat Cikoang
sangat meyakini bahwa perayaan maulid, bukan
hanya sekedar peringatan tentang kelahiran
Nabi Muhammad saw., melainkan upacara itu
mengandung makna yang lebih dalam. Perayaan
mauduk mengandung falsafah hidup yang sangat
erat hubungannya dengan kejadian alam semesta
dan permulaan penciptaan roh manusia. Hal ini
berkaitan erat dengan paham makrifat yakni
kaniakkang, kalasukang, dan pakaramula.
a.
Kaniakkang
Kaniakkang mengandungmakna
keberadaan atau eksistensi. Hal ini sangat
erat hubungannya dengan paham makrifat.
Makrifat adalah pemahaman rohaniah secara
hakiki terhadap Allah swt., karena itu perlu ada
pemahaman secara mendalam tentang hakikat
kelahiran Nabi Muhammad saw.
Menurut penuturan masyarakat Cikoang
terutama mereka dari golongan sayyid, Nabi
Muhammad saw. mengalami dua kali proses
kelahiran, yakni proses kelahiran pertama
yang disebut kaniakkang dan proses kelahiran
keduayang disebut kalasukkang. Kaniakkang
ini merupakan proses awal secara abstrak
sebelum dilahirkan secara nyata oleh ibunya.
Itulah sebabnya perwujudan atau penciptaan
awal disebut “Nur Muhammad”. Dari “Nur
Muhammad” ini diciptakan Nabi Adam as berserta
anak cucunya.
Demikianlah sehingga keberadaan “Nur
Muhammad” merupakan sumber dari segalanya
yang ada di alam nyata. Karena itu sebelum
alam semesta bersama isinya tercipta, maka yang
ada ialah “Nur Allah”, “Nur Muhammad”, dan
“Nur Adam” yang disebut alamuljism atau alam
jasmani.
b. Kalassukang
Kata Kalassukang berasal dari bahasa
Makassar yang berarti kelahiran. Seperti telah
dikemukakan sebelumnya bahwa Nabi Muhammad
saw. mengalami dua kali proses kelahiran, yakni
kaniakkang dan kalassukang. Proses kelahiran
yang kedua ini merupakan kelahiran Nabi
Muhammad saw. ke alam nyata melalui ibunya
yaitu Sitti Aminah.
Berdasarkan pengertian dan pemahaman
tersebut, maka semua proses kelahiran yang sama
dengan kalassukang dapat dikategorikan sebagai
mauled, termasuk keberadaan Nabi Muhammad
saw. di alam ini melalui proses kelahiran dari
185
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—
rahim ibunya.
Masyarakat Cikoang beranggapan bahwa
kelahiran Nabi Muhammad saw. yang pertama
adalah sumber perwujudan segala sesuatu di alam
semesta ini, sedangkan kelahiran yang kedua
merupakan kebenaran mutlak yang harus dipegang
dan diikuti oleh seluruh ummatnya.
c.
Pakaramula
Istilah pakaramula diambil dari bahasa
Makassar yang berarti permulaan. Pakaramula
dapat pula berarti awal adanya dan tampaknya
sesuatu bagi panca indera manusia. Hal tersebut
dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang tampak
di alam semesta ini, mengalami proses maulid
atau pakaramula, kecuali Sang Pencipta yakni
Allah swt.
Berdasarkan pemahaman tersebut dmaka
penyelenggaraan upacara Mauduk Lompoa lebih
diutamakan daripada ibadah-ibadah lainnya.
Mereka meragukan keimanan seseorang
yang mengaku beragama Islam, tetapi tidak
menyelenggarakan mauduk. Mereka juga belum
dikategorikan pengikut setia kepada Nabi
Muhammad saw.
$NWLYLWDV8SDFDUDMauduk Lompoa
Menurut Koentjaraningrat (1992:221)
dalam sistem upacara keagamaan terkandung
lima aspek yakni (1) tempat upacara, (2) waktu
pelaksanaan upacara, (3) benda-benda dan
peralatan upacara, (4) penyelenggara upacara, dan
(5) orang-orang yang terlibat dalam upacara.
Pelaksanaan pesta akbar Mauduk Lompoa
ri Cikoang ini digelar setiap tanggal 30 bulan
Rabiul Awal. Namun, sebelum dilangsungkan
perhelatan akbar tersebut, terlebih dahulu diawali
dengan pelaksanaan upacara maulid secara
perorangan maupun kelompok oleh masyarakat
kampung dalam bentuk upacara mauduk
cakdi, mauduk tangngaya dan langgarak atau
masigik. Pelaksanaan ketiga kategori mauduk itu
berlangsung dari tanggal 12 Rabiul Awal tahun itu.
Awalnya Maulid di Cikoang diselenggarakan
di rumah Anrong guru, yakni tokoh yang
186
berperan sebagai guru, memiliki kharisma dan
pengetahuan luas mengenai masalah agama dan
kemasyarakatan. Anrong guru ini mempunyai
pengikut atau murid yang semakin lama semakin
bertambah sehingga penyelenggaraan maulid
dipindahkan ke pekarangan Anrong guru.
Puncak perayaan upacara Mauduk Lompoa
di selenggarakan secara meriah dan besar-besaran.
Pesertanya tidak terbatas pada masyarakat Desa
Cikoang, khususnya di kalangan para sayyid, tetapi
juga diikuti para sayyid yang berdomisili di luar
desa, seperti yang ada di Kota Makassar atau kotakota lainnya. Mereka ini berbondong-bondong
datang ke Cikoang hanya untuk merayakan
maulid tersebut sehingga upacaranya pun harus
dilaksanakan di lapangan yang cukup luas.
Upacara Mauduk Lompoa selalu dilaksanakan
di pinggir pantai dan muara sungai, karena bagian
sisinya terdapat lapangan yang memungkinkan
sebagai tempat membangun panggung upacara
dan tempat berzikir. Penyelenggaraan Mauduk
Lompoa ini dibagi ke dalam dua tahap, yakni tahap
persiapan dan tahap penyelenggaraan.
7DKDS3HUVLDSDQ
Meskipun pelaksanaanya baru berlangsung
pada 30 Rabiul Awal tahun berjalan, segala
persiapan penyelenggaraan telah dilakukan
selama sebulan sebelumnya. Semua perlengkapan
yang akan digunakan dalam perayaan Mauduk
Lompoa sudah harus disiapkan. Setiap orang
harus menyiapkan seekor ayam, beras empat
liter, telur ayam atau telur bebek beberapa butir,
bakul khusus tempat makanan (kanre mauduk),
dan minyak kelapa yang dibuat sendiri. Selain itu,
pendukung upacara harus menyiapkan kandawari,
bembengang, julung-julung, panggung upacara,
dan lapangan upacara.
Karena penyelenggaraannya tergolong
meriah maka terlebih dahulu dibentuk suatu panitia
yang unsur-unsurnya terdiri atas camat, kepala
desa dan para bangsawan sayyid. Camat dan
kepala desa biasanya bertindak sebagai pengawas,
sedang Anrong guru senior bertindak sebagai ketua
pelaksana dan dibantu oleh paratek (para penzikir).
7UDGLVL0DXGXN/RPSRDGL... Nur Alam Saleh
Mereka yang terlibat langsung dalam
pelaksanaan teknis selain Anrong guru senior
yang dianggap memiliki pengetahuan luas dan
memiliki banyak murid serta paratek, juga warga
masyarakat sebagai peserta upacara. Selain itu,
pejabat pemerintah setempat, maupun pada tingkat
kecamatan dan kabupaten, demikian pula orangorang yang ingin menyaksikan atau mempelajari
(meneliti) upacara Mauduk Lompoa ikut serta di
dalamnya.
Perlengkapan upacara terdiri atas bahan
yang akan digunakan untuk membuat makanan
yang akan diisikan masuk ke dalam bakul upacara
\DQJEHQWXNQ\DVSHVL¿Ngandawari dan julungjulung), bahan yang akan dijadikan hiasan, serta
bahan perlengkapan dalam panggung upacara
maupun lapangan upacara.
Bahan-bahan tersebut diolah menjadi
makanan, antara lain: (1) berasa atau beras harus
dipersiapkan sedemikian rupa dan dibersihkan.
Padi yang akan diolah menjadi beras harus dijaga
sebaik-baiknya, misalnya harus dijemur sendiri,
ditumbuk sampai pada saat diproses menjadi
makanan dan dimasukkan ke dalam bakul. Bahkan
dedak maupun antah beras tersebut tidak boleh
dibuang sembarangan karena dikhawatirkan
dimakan oleh binatang lain dan hal tersebut tidak
boleh terjadi. (2) Jangang atau ayam disiapkan
satu ekor ayam untuk satu orang. Ayam tersebut
harus dipilih karena merupakan hewan suci yang
dapat mendengar langsung suara arasy, bahkan
dapat memberikan tanda-tanda waktu. Mulai
masuk bulan Safar, ayam yang akan digunakan
dalam upacara tersebut sudah harus dikurung dan
dipelihara. Makanan dan minuman ayam harus
diatur sebaik-baiknya. Bulan Safar ini biasanya
dinamakan bulan pannyongkokang jangang atau
bulan kurungan ayam. (3) Bayao atau telur:
Telur ini berfungsi sebagai tambahan dari bahan
pokok dan dipergunakan sebagai hiasan utama.
Namun dapat pula menggantikan fungsi ayam
manakala kebutuhan akan ayam tidak mencukupi
pada waktunya. (4) Kaluku atau kelapa. Kelapa
ini haruslah kelapa pilihan yang utuh, tua, dan
bersabut. Buah kelapa inilah yang akan diproses
menjadi minyak untuk bahan penggorengan ayam
maupun bahan untuk membuat ka’do minnya
(makanan khas yang terbuat dari beras ketan).
Bahan yang dapat dikategorikan sebagai
hiasan-hiasan, berupa telur, NXWXNXWX VSHVL¿N
GRGRO EDMH ZDMLN UDQJJLQD dan lain-lain,
termasuk buah-buahan yang ada di daerah tersebut,
kain-kain (pakaian, sarung) serta kertas berwarna
untuk dijadikan hiasan bunga.
Bahan atau perlengkapan dalam bentuk
wadah adalah bakul. Bakul ini terbuat dari ayaman
daun lontar dan dibuat sebesar kebutuhan setiap
keluarga atau dapat memuat beberapa liter beras
yang akan dijadikan kanre mauduk. Bembengang
adalah alat yang digunakan untuk meletakkan
kanre mauduk, sedang julung-julung yang
berbentuk seperti perahu berfungsi sebagai tempat
meletakkan bakul-bakul berisi kanre mauduk
yang sudah dihiasi. Hiasan-hiasan itu ditata
sedemikian rupa sehingga menyerupai bendera
dan layar perahu yang menarik. Selain itu, sarana
upacara berbentuk panggung upacara dan lapangan
upacara.
Satu atau dua minggu sebelum hari
pelaksanaan upacara, padi ditumbuk secara
beramai-ramai oleh tetangga (appadudu) sehingga
terdengar irama yang bersemangat. Wanita
sebagian menumbuk dan memisahkan sekam
(allangga) dan sebagian lagi menampih dan
membersihkan beras.
Dua hari sebelum upacara dilaksanakan,
ayam yang telah dikurung mulai disembelih.
Ayam tersebut dimasak kemudian digoreng lalu
dibungkus dengan daun pisang dalam bentuk
utuh (seekor ayam). Selanjutnya ayam tersebut
dimasukkan ke dalam bakul upacara, demikian
pula kue-kue (wajik, UDJJLQDGRGRO dalam bakulbakul kecil (tepa-tepa atau patti-patti).
Menjelang malam pelaksanaan upacara,
beras dikukus setengah masak kemudian diolah.
Menjelang pagi hari, semua persiapan harus sudah
selesai termasuk telur-telur telah dihias. Setelah
itu, semua perlengkapan upacara lalu diarak ke
lapangan upacara diiringi tabuhan gendang yang
ada di tempat upacara.
187
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—
Seperti telah disebutkan bahwa, kanre
mauduk diantar ke tempat upacara dengan
bembengan atau gandawari, bila melalui jalur
sungai atau laut, dipergunakan sarana yang disebut
julung-julung.
Tahap Penyelenggaraan
Penyelenggaraan upacara ditandai dengan
menyiapkan sesajian, mengisi bahan makanan
dalam bakul upacara (ammonei kanre mauduk),
memberikan hiasan bakul upacara (akmode
kanre mauduk), mengantar (angngantarak
kanre mauduk), penerimaan bakul upacara oleh
pemimpin upacara (pannarimang kanre mauduk),
berzikir (akratek), penyuguhan kepada tamu
(pattoanang), membagi-bagikan makanan yang
telah diupacarakan kepada orang-orang yang
mengikuti upacara (SDPEDJHDQJNDQUHPDXGXN
Di tempat upacara telah siap beberapa orang
yang akan mengatur dan menempatkan kanre
mauduk. Kanre mauduk terdiri atas beberapa jenis,
seperti kanre bayuang, yakni bakul upacara yang
akan disedekahkan kepada calon pengantin wanita.
Bakul tersebut biasanya dihiasi dengan berbagai
perlengkapan perkawinan.
Kanre bunting beru yakni bakul kepunyaan
pengantin baru yang tampak lebih semarak. Orang
yang lebih mampu biasa menggunakan julungjulung yang berhiaskan kain-kain dan barang
berharga yang diperoleh dari para keluarga dan
sahabat. Julung-julung tersebut sangat menarik
sehingga mudi-mudi tertarik untuk bernasar
jika kelak menjadi pengantin baru, mereka akan
mempersembahkan kanre mauduk dalam bentuk
julung-julung seperti itu.
Kanre pidandang atau kanre passidakka,
adalah bakul yang diperuntukkan bagi orang yang
baru meninggal. Keluarganya mengikutsertakan
dalam upacara maulid. Kanre barata, yakni bakul
upacara kepunyaan keluarga yang kematian.
Tandanya adalah hiasannya kurang dan telurnya
tidak diberi warna.
Sebelum upacara dimulai, masing-masing
peserta upacara disuruh menyaksikan kanre
mauduk-nya oleh Anrong guru. Dalam kesempatan
188
itu para peserta saling mencela kekurangan dan
membanggakan kanre mauduk-nya masingmasing sehingga terjadilah pertengkaran semu
yang diakhiri dengan dorong-dorongan sampai
ke pinggir hingga tercebur ke sungai sambil
ditertawakan. Acara ini diselingi dengan beberapa
macam atraksi berupa perlombaan perahu,
pertunjukan pencak silat, perlombaan renang
tradisional, dan perlombaan selam tradisional.
Setelah acara selesai, barulah upacara
berzikir dilakukan dan dipimpin oleh Anrong
guru. Upacara ini berlangsung kira-kira dua atau
tiga jam. Setelah itu diadakan lagi pembacaan
salawat kepada Nabi Muhammad saw. dengan
posisi tangan ke atas sebagai permintaan doa agar
Nabi Muhammad saw. bersama seluruh sahabat
dan keluarganya serta pengikutnya mendapat
keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Bilamana upacara tersebut selesai
dilaksanakan, maka jamuan kepada para tamutamu pun segera dimulai. Bahan jamuan tidak
diambil dari isi kanre mauduk, tetapi dari bahan
lain yang telah disiapkan. Kanre mauduk tetap
akan dibagi-bagikan oleh Anrong guru kepada
orang yang berhak mendapatkannya sesuai dengan
kedudukan seseorang dalam masyarakatnya.
0DNQD GDQ )XQJVL \DQJ 7HUNDQGXQJ GDODP
6LPEROVLPEROMauduk
Simbol-simbol dalam suatu upacara
mempunyai makna dan fungsi tertentu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Notosudirjo
(1990:330) bahwa fungsi sosial dari upacara
tradisional dapat dilihat dalam kehidupan
masyarakatnya, yakni adanya pengendalian sosial,
media sosial, norma sosial, serta pengelompokan
sosial.
Beberapa makna dan fungsi dari unsurunsur upacara tradisional Mauduk Lompoa di
Cikoang dapat dikemukakan, sebagai berikut:
Penyelenggaraan upacara tradisional
Mauduk Lompoa cukup menguras waktu, tenaga
dan harta benda bagi komunitas sayyid di Cikoang,
yang merupakan salah satu wujud kecintaan
terhadap Nabi Muhammad saw.
7UDGLVL0DXGXN/RPSRDGL... Nur Alam Saleh
Bahan-bahan yang digunakan dalam
upacara ini diupayakan tidak boleh dibeli. Hal
ini mengandung makna bahwa jika seseorang akan
memberi (dalam hal ini dimanifestasikan dalam
upacara) haruslah barang bahan yang halal dan
harus diusahakan sendiri.
Ayam mempunyai arti tersendiri bagi
masyarakat Cikoang, karena ayam dianggap
binatang suci yang berada di arasy yakni tempat
bersemayamnya Tuhan dan para malaikat. Ayam
pun bisa memberi dan mengetahui tanda-tanda
alam. Karena itu hanya daging ayamlah satusatunya yang dipersembahkan dalam upacara itu
dan bukan daging kerbau atau daging sapi.
Beras yang akan disajikan dalam upacara
bukanlah beras yang telah diproses sampai
matang melainkan beras yang dimasak setengah
matang. Ini merupakan suatu usaha menghindari
pemborosan, karena pada waktu upacara makanan
berlimpah ruah. Karena itu, beras setengah
matang bisa diproses atau diolah kembali menjadi
makanan. Beras yang akan disumbangkan untuk
upacara berjumlah empat liter perorang. Ini
mengandung makna akan kejadian manusia yang
terdiri atas empat unsur. yakni, air, tanah, angin
dan api.
Telur berbentuk bulat melambangkan
kebulatan tekad masyarakat untuk selalu bahu
membahu dalam menempuh hidup ini.
Perahu julung-julung, mengandung arti
semangat masyarakat Cikoang sebagai masyarakat
pelayar walaupun mereka berprofesi sebagai
petani tradisional. Semaraknya hiasan-hiasan
dalam kanre mauduk baik yang diletakkan di
bembengang maupun di julung-julung memberi
arti semangat dan keceriaan hidup masyarakat
dalam mencari nafkah.
PENUTUP
Pelaksanaan Mauduk Lompoa berlandaskan
pada ajaran Sayyid Jalaluddin terhadap jamaahnya
di Cikoang. Ajaran tersebut meliputi dua hal utama,
yaitu pengetahuan tentang Nabi Muhammad
(Maarifat) dan kecintaan terhadap Nabi Muhammad
0DKDEEDK Tata cara pelaksanaannya dilakukan
berdasarkan adat istiadat yang telah diwariskan
oleh nenek moyang secara turun temurun.
Makna yang terkandung di dalam ritual
tersebut adalah bentuk kecintaan dan penghormatan
terhadap Nabi Muhammad saw., yang merupakan
pembawa kebenaran mutlak di dunia. Upacara
ritual ini dianggap wajib oleh masyarakat
Cikoang karena mengenal dan mencintai Nabi
Muhammad adalah suatu kewajiban bagi seluruh
umat muslim di dunia. Tidak ikut melaksanakan
ritual ini dianggap suatu kerugian baginya, karena
mereka merasa tidak akan mendapat petunjuk dan
keselamatan jika tidak menunjukkan rasa cintanya
kepada Nabi Muhammad saw.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah P, Suwardi. 2005. ”Upacara Tutup
%XNX *XDU %XPL 8SDFDUD 1JDURW GL
Kabupaten Sumedang” dalam Budaya
Spiritual masyarakat Sunda. Ed Sildu
Galba. Jatinangor Sumedang: Alqaprint.
Bogdan, Ribert dan Tylor J. Steven. 1993. Kualitatif
Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha
Nasional.
Budhisantoso, Subur. 1989. Tradisi Lisan Sebagai
Sumber Informasi Kebudayaan Dalam
Analisa Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud
Hisyam,
Muhammad. 1983. Sayyid –
Jawi Study Kasus Jaringan Sosial di Desa
Cikoang.Ujung Pandang: PLPIS.
Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983. Sistem Pembinaan
Masyarakat Islam (Terj.) Cet. I. Bandung:
Pustaka.
(http://mulfiblog.wordpress.com/2009/10/20/
pengertian-tradisi). Diakses pada tanggal 7
Juni 2013.
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok
Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Manyambeang, Kadir 1983/1984.
Upacara
Tradisional Dalam Kaitannya Dengan
Perstiwa Alam dan Kepercayaan di Sulawesi
Selatan. Jakarta: Depdikbud.
Nurdin, Idrus, dkk. 1978. Maulid Cikoang Sebagai
6DODK 6DWX %HQWXN .HEXGD\DDQ 6SHVL¿N
189
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—
Tradisioanal di Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Universitas Hasanuddin.
Notosudirjo, Suwandi. 1990. Kosakata Bahasa
Indonesia. Yokyakarta: Kanisius
Roberston, Ronal. 1988. Agama: Dalam Analisis
dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali
Suryono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi.
Jakarta: Persindo.
Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan
Sosial. Jakarta: Prenada.
Tuloli, Nani. 1990. Tanggamo: Salah Satu Ragam
Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta.
:HOGDQ$KPDG7DX¿TGDQ+XGD0'LP\DWL
2004. Metodologi Studi Islam: Suatu
Tinjauan Perkembangan Islam Menuju
Tradisi Islam Baru. Malang: Bayumedia
Publishing.
Download