WALASUJI ISSN: 1907-3038 Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 4, No. 2, Desember 2013 TRADISI MAUDUK LOMPOA DI DESA CIKOANG THE TRADITION OF MAUDUK LOMPOA IN CIKOANG VILLAGE Nur Alam Saleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el: [email protected] Diterima: 5 Juli 2013; Direvisi: 18 Oktober 2013; Disetujui: 27 November 2013 ABSTRACT Mauduk Lompoa is a religious ritual associated with commemorates the birth of Prophet Muhammad to the Sayyid community in Cikoang, South Sulawesi. This writing aims to describe the background, the processing, and the meaning of Mauduk Lompoa tradition ceremony in Cikoang. This writing is GHVFULSWLYHTXDOLWDWLYHDQGGDWDFROOHFWLRQWHFKQLTXHVDUHOLWHUDWXUHPHWKRGVDQG¿HOGREVHUYDWLRQV The results of the discussion shows the history of mauduk or maulud in Cikoang village and its process FRQVLVWVRIWZRSKDVHVVXFKDVWKHSUHSDUDWLRQDQGWKHLPSOHPHQWDWLRQRIULWXDO7KH0DXGXN Lompoa ceremony was born from a concept of Nur Muhammad by the Acehnese Moslem of Sayyid Jalaluddin. The concept teachs four components of Islam, such as: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. The implementation of Mauduk Lompoa ceremony is enlivened with performing arts and games. Keywords: ritual ceremony, kanre mauduk, performing arts, games. ABSTRAK Mauduk Lompoa adalah salah satu ritual keagamaan yang berhubungan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. pada masyarakat Sayyid di Cikoang, Sulawesi Selatan. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang, proses upacara, dan makna yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi Mauduk Lompoa di Cikoang. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data berupa metode kepustakaan dan pengamatan di lapangan. Hasil pembahasan menggambarkan tentang sejarah mauduk atau maulud di Desa Cikoang dan proses pelaksanaannya melalui dua tahap, yaitu: (1) persiapan dan (2) pelaksanaan upacara. Upacara Mauduk Lompoa lahir dari sebuah konsep ajaran tentang Nur Muhammad yang dibawa oleh seorang ulama Aceh bernama Sayyid Jalaluddin. Konsep tersebut mengajarkan empat komponen dalam Islam, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Pelaksanaan upacara Mauduk Lompoa dimeriahkan dengan seni pertunjukan dan permainan rakyat. Kata kunci: upacara ritual, kanre mauduk, seni pertunjukan, permainan rakyatKata kunci: sosialisasi, proses pewarisan, keterampilan menenun 181 WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— PENDAHULUAN T radisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan (http://mulfiblog.wordpress.com /2009/10/20/pengertian-tradisi). Tradisi sebagai salah satu bentuk kebudayaan mengandung sejumlah nilai yang berfungsi mengukuhkan pandangan masyarakat dan memberi arah dalam pergaulan yang diinginkan oleh norma dalam masyarakat (Tuloli, 1990:19). Sejalan dengan itu, Sztompka (2005:74) mengatakan bahwa sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif tradisi merupakan mekanisme yang bisa memperlancar pertumbuhan pribadi masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan keberadaan tradisi sebagai wadah penyimpanan norma sosial kemasyarakatan. Tradisi diciptakan oleh manusia kemudian hidup bersama dalam suatu lingkaran tradisi yang mengelilinginya. Karena itu, upacara tradisional telah menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia, di mana pun mereka berada dan dirasakan demikian penting untuk dihadirkan maupun untuk dilaksanakan. Penyelenggaraan upacara tradisional berbeda pada setiap kelompok masyarakat. Perbedaan tersebut bisa terjadi pada bentuk upacara, penyelenggaraan, atau pun intensitas emosi yang menyertai upacara tersebut. Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat (Husaini, 1983:74). Islam dan tradisi merupakan dua substansi yang berlainan, tetapi dalam perwujudannya 182 dapat saling bertaut, saling mempengaruhi, saling mengisi, dan saling mewarnai perilaku seseorang. Islam merupakan suatu normatif yang ideal, sedangkan tradisi merupakan suatu hasil budi daya manusia. Tradisi bisa bersumber dari ajaran nenek moyang, adat istiadat setempat atau hasil pemikirannya sendiri. Islam berbicara mengenai ajaran yang ideal, sedangkan tradisi merupakan realitas dari kehidupan manusia dan lingkungan (Weldan dan Huda, 2004:29). Figur yang di tokohkan dalam upacara ini adalah manusia yang memiliki kemuliaan dan kharisma karena pengetahuan dan kemampuannya yang dianggap luar biasa sehingga dapat mengembangkan agama Islam, suatu agama yang dianggap sebagai agama penyelamat bagi umat manusia. Menurut Robertson (1988:1) agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang tingkah laku manusia dan petunjuk-petunjuk untuk selamat hidup di dunia dan di akhirat (setelah mati) yakni sebagai manusia yang bertakwa kepada TuhanNya, beradab dan berdosa. Meskipun dalam agama-agama lokal ajaran-ajaran tersebut tidak dilakukan, tetapi terwujud dalam tradisi-tradisi atau upacara-upacara. Bagi masyarakat Cikoang di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan, salah satu konsep untuk mewujudkan keselarasan dan keharmonisan hidup terlihat dalam konsep kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak yang terdapat dalam tradisi Mauduk Lompoa. Kedua konsep itu membentuk karakter manusia Cikoang untuk menghindari berbagai hal yang dapat menodai kesucian dirinya. Penyelenggaraan Mauduk Lompoa merupakan suatu upacara yang mempunyai arti penting bagi masyarakat Cikoang, dan suatu keharusan untuk dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal setiap tahun. Begitu pentingnya acara tersebut, sehingga ….. rela mengorbankan apa saja yang dimiliki demi mewujudkan upacara tersebut. Keharusan tersebut telah mengakar kuat dalam sanubari masyarakat karena mereka berkeyakinan bahwa melaksanakan maulid secara 7UDGLVL0DXGXN/RPSRDGL... Nur Alam Saleh teratur, dapat memberi jaminan akan masuk surga. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan “balukangi tedongnu, pappitaggallangngi tananu, naniak sallang nupakmaudukang” artinya juallah kerbaumu, gadaikan sawahmu agar engkau nanti dapat melaksanakan maulid untuk nabi. Pemahaman masyarakat Cikoang tentang upacara mauduk telah mengendapkan emosi keagamaan bagi seseorang, sehingga ia merasa terpanggil dan bahkan merasa hidupnya tidak memiliki arti apabila tidak melakukan upacara mauduk. Dari segi dimensi sosial, upacara mauduk merupakan wahana dalam pelestarian nilai budaya. Kemapanan masyarakat dari keturunan sayyid yang merupakan kelompok masyarakat elite telah menciptakan hubungan patron-klien dengan masyarakat lainnya, karena posisi keturunan para sayyid senantiasa lebih tinggi dari masyarakat biasa. Pelaksanaan tradisi upacara Mauduk Lompoa ri Cikoang berlangsung secara turun temurun oleh masyarakat keturunan sayyid. Bahkan, mereka menganggap dirinya masih keturunan langsung dari Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, wajarlah kalau upacara tersebut dilaksanakan secara meriah. Selain itu, upacara mauduk menjadi wahana untuk mengucapkan terima kasih dan pujian kepada beliau Nabi Muhammad saw. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana sejarah tradisi Mauduk Lompoa di Cikoang, dan bagaimana rangkaian prosesi serta makna yang terkandung di dalam pelaksanaannya. Penelitian ini dilakukan di Cikoang, sebuah desa pantai yang terletak pada muara sungai dan airnya mengalir langsung ke laut lepas Selat Makassar. Jaraknya dari ibu kota kabupaten sekitar 11 km, dan jarak Kota Makassar ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan hanya berjarak 60 km ke arah selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif. Metode ini berhubungan langsung dengan pengumpulan dan pengkajian data dalam tulisan ini. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistematis, faktual, dan akurat melalui pengamatan yang direalisasikan melalui kata atau kalimat. Serta dan dilakukan dengan apa adanya sesuai kenyataan dan pengamatan yang ditemukan di lapangan (Bogdan & Taylor, 1993:5). PEMBAHASAN Sejarah Upacara Mauduk Lompoa Sebelum membahas lebih jauh tentang upacara Mauduk Lompoa di Cikoang, terlebih dahulu kita mengetahui latar belakang sejarah sosial-budaya masyarakat Cikoang dan sejarah terbentuknya Desa Cikoang itu sendiri. Walaupun sumbernya hanya penuturan dari para informan, tetapi dapat dibuktikan dari adanya sumber-sumber berupa silsilah yang dimiliki oleh kaum sayyid yang terdapat di masyarakat Cikoang. Upacara adalah suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata aturan adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa penting atau lain-lain dengan ketentuan adat yang bersangkutan (Suyono dalam Alamsyah, 2005:216). Sehingga untuk mengetahui latar belakang diselenggarakannya upacara tersebut, tampaknya terlebih dahulu mengetahui ceritera yang beredar di tengah-tengah masyarakat setempat. Berdasarkan informasi, Cikoang pada mulanya dibangun oleh seseorang berasal dari Binamu bernama Karaeng Cikondong keturunan Karaeng Binamu sendiri. Setelah daerah tersebut dibeli dari Raja Gowa, Kareang inilah bersama ratusan orang pengikutnya membuka suatu permukiman baru. Di tempat ini Karaeng tersebut bersama rakyatnya bertani dan menangkap ikan sebagai sumber mata pencahariannya. Versi lain ditemukan oleh Manyambeang (1983/1984:15), bahwa nama Cikoang diambil dari kata Paccakkoang, artinya tempat bersembunyi. Hal ini terjadi akibat pergolakan politik yang terjadi dalam Kerajaan Gowa. Peristiwa itu terjadi ketika Sayyid Jalaluddin Al-Aidid tidak diterima oleh Raja Gowa, karena itu beliau melanjutkan perjalanannya ke arah selatan untuk bersembunyi. WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— Pakcokkoang kemudian berubah menjadi Cikoang. Versi lainnya ditemukan oleh Hisyam (1983:123), setelah Sayyid Jalaluddin Al-Aidid sampai di Cikoang dengan menggunakan tikar sembayang (sejadah) sebagai perahu, ia berjumpa dengan dua orang nelayan yang kelak menjadi muridnya. Sayyid Jalaluddin mendekati kedua orang tersebut dan bertanya dengan bahasanya sendiri “negeri apa ini”? I Bundrang, seorang dari nelayan tersebut mengira Sayyid Jalaluddin menanyakan ikan yang tangkapnya dengan menjawab ciko, yakni jenis ikan laut yang terdapat di sungai itu. Dari kata Ciko ini berubah menjadi Cikoang dan menjadi sebuah nama desa. Terlepas dari versi-versi di atas tampaknya kehadiran Sayyid Jalaluddin sebagai tokoh sejarah dalam masyarakat Cikoang memberi arti yang mendalam bagi masyarakat Cikoang sendiri. Menurut silsilah, Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Aidid berasal dari Irak, kemudian berpindah ke Hadramaut bagian selatan Jazirah Arabiah. Beliau termasuk keturunan ke29 Nabi Muhammad saw. (Nurdin, 1977/1978). Kegemarannya berpetualang menyebarkan agama Islam yang akhirnya bermukim di Aceh, yakni negeri yang dikenal sebagai pusat pengembangan Islam di masa lalu. Di Aceh inilah dua orang penduduk pengembara Cikoang bertemu dengan ulama itu dan berguru kepadanya. Kedua orang tersebut kemudian mengundang Sayyid Jalaluddin ke Cikoang. Namun, sebelum ulama ini ke Cikoang, beliau terlebih dahulu singgah di daerah Banjar. Sumber lain menyebutkan di daerah Kutai Kalimantan Timur dan bertemu dengan seorang bangsawan Gowa yang melarikan diri dari kerajaan karena terlibat sirik. Kemudian, bangsawan ini berguru pada ulama besar itu, bahkan Sayyid Jalaluddin mempersunting salah seorang putri bangsawan tersebut, yang bernama Yaccara Daeng Tamami. Perkawinan Sayyid Jalaluddin dengan Daeng Tamami dikarunia dua orang anak lakilaki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah Sayyid Sahabuddin, Sayyid Umar, dan Sayyid Saharibaneng yang meninggal dunia dalam 184 usia muda, sedang kedua anak laki-lakinya menetap bersama ayahnya (Sayyid Jalaluddin) di Cikoang. Kedua anak laki-lakinya kawin dan ikut mengembangkan Islam di sana. Kira-kira seperempat abad di Cikoang mengembangkan agama Islam, Sayyid Jalaluddin melanjutkan perjalanannya ke Sumba untuk mengembangkan agama Islam di sana, dan menurut riwayat di pulau inilah ulama tersebut meninggal. Upacara maulid pada mulanya hanya dilakukan di rumah atau tempat kediaman Sayyid Jalaluddin yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat secara sederhana. Akan tetapi lama kelamaan, banyak tamu yang datang baik dari dalam desa maupun dari luar desa ikut berpartisipasi meramaikan upacara tersebut. Apalagi setelah masyarakat mengetahui maksud dan tujuan penyelenggaraan maulid itu, sehingga upacara tersebut makin lama makin ramai dan akhirnya dinamai Mauduk Lompoa atau maulid yang penuh kebesaran. Sebelum kedatangan Sayyid Jalaluddin Al Aidid di Cikoang, pelapisan sosial tradisional sudah ada dan berlaku umum bagi kelompok etnik Makassar, yakni Karaeng sebagai lapisan bangsawan, tumaradeka sebagai kelompok masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan), dan ata atau lapisan masyarakat yang mengabdi terutama kepada lapisan bangsawan. Akan tetapi, semenjak kedatangan Sayyid Jalaluddin di desa ini, terbentuklah pelapisan sosial tersendiri sebagai lapisan masyarakat yang memiliki keturunan langsung Nabi Muhammad saw. Kelompok ini lapisan ini menganggap dirinya lebih mulia daripada karaeng. Kedatangan Sayyid Jalaluddin di Cikoang membawa babak baru dalam sejarah masyarakat Cikoang. Sayyid Jalaluddin telah menyandang sebagai ulama karena kearifan dan kepandaiannya. Beliau cepat diterima di kalangan masyarakat Cikoang. Karena itu, perkawinan campuran pun terjadi antara lapisan karaeng dengan lapisan sayyid yang melahirkan strata baru yakni lapisan masyarakat yang paling terhormat dalam masyarakat tersebut. Menurut informan, sekarang 7UDGLVL0DXGXN/RPSRDGL... Nur Alam Saleh ini tidak seorang pun karaeng di Cikoang yang tidak berdarah sayyid. Sayyid yang bukan karaeng dianggap sebagai lapisan masyarakat kedua. Mereka biasa dipanggil tuan atau daeng. Lapisan Jawi merupakan lapisan orang kebanyakan yang tidak berdarah sayyid atau pun karaeng. Walaupun lapisan Jawi merupakan lapisan minoritas, tetapi kelompok sosial ini memiliki pengaruh yang amat besar dalam masyarakat Cikoang. Pelestarian dalam tradisi budaya masyarakat desa ini sebagian besar didominasi atau diberi warna oleh kelompok masyarakat tersebut. Hal ini tampak sekali pada beberapa segi kehidupan seperti keagamaan dan tatanan sosial. Kelompok ini pun mengorientasikan diri pada tatanan tersebut dan ikut mengejawantahkannya. .RQVHS8SDFDUDMauduk Lompoa Upacara adat tradisional masyarakat merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan yang mempunyai nilai-nilai universal yang dapat menunjang kebudayaan nasional. Upacara tradisional ini bersifat sacral, suci, dan setiap DNWL¿WDVPDQXVLDVHODOXPHPSXQ\DLPDNVXGGDQ tujuan yang ingin dicapai, termasuk kegiatankegiatan yang bersifat religius. Suyono (1985:4) menilai bahwa adat itu merupakan kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi kebudayaan, norma atau aturan-aturan yang saling berkaitan dan menjadi satu sistem pengaturan tradisional. Mengacu pendapat di atas maka upacara adat tradisional Mauduk Lompoa merupakan tindakan simbolik manusia terkait dengan kepercayaan yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Oleh karena itu, masyarakat Cikoang sangat meyakini bahwa perayaan maulid, bukan hanya sekedar peringatan tentang kelahiran Nabi Muhammad saw., melainkan upacara itu mengandung makna yang lebih dalam. Perayaan mauduk mengandung falsafah hidup yang sangat erat hubungannya dengan kejadian alam semesta dan permulaan penciptaan roh manusia. Hal ini berkaitan erat dengan paham makrifat yakni kaniakkang, kalasukang, dan pakaramula. a. Kaniakkang Kaniakkang mengandungmakna keberadaan atau eksistensi. Hal ini sangat erat hubungannya dengan paham makrifat. Makrifat adalah pemahaman rohaniah secara hakiki terhadap Allah swt., karena itu perlu ada pemahaman secara mendalam tentang hakikat kelahiran Nabi Muhammad saw. Menurut penuturan masyarakat Cikoang terutama mereka dari golongan sayyid, Nabi Muhammad saw. mengalami dua kali proses kelahiran, yakni proses kelahiran pertama yang disebut kaniakkang dan proses kelahiran keduayang disebut kalasukkang. Kaniakkang ini merupakan proses awal secara abstrak sebelum dilahirkan secara nyata oleh ibunya. Itulah sebabnya perwujudan atau penciptaan awal disebut “Nur Muhammad”. Dari “Nur Muhammad” ini diciptakan Nabi Adam as berserta anak cucunya. Demikianlah sehingga keberadaan “Nur Muhammad” merupakan sumber dari segalanya yang ada di alam nyata. Karena itu sebelum alam semesta bersama isinya tercipta, maka yang ada ialah “Nur Allah”, “Nur Muhammad”, dan “Nur Adam” yang disebut alamuljism atau alam jasmani. b. Kalassukang Kata Kalassukang berasal dari bahasa Makassar yang berarti kelahiran. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa Nabi Muhammad saw. mengalami dua kali proses kelahiran, yakni kaniakkang dan kalassukang. Proses kelahiran yang kedua ini merupakan kelahiran Nabi Muhammad saw. ke alam nyata melalui ibunya yaitu Sitti Aminah. Berdasarkan pengertian dan pemahaman tersebut, maka semua proses kelahiran yang sama dengan kalassukang dapat dikategorikan sebagai mauled, termasuk keberadaan Nabi Muhammad saw. di alam ini melalui proses kelahiran dari 185 WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— rahim ibunya. Masyarakat Cikoang beranggapan bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw. yang pertama adalah sumber perwujudan segala sesuatu di alam semesta ini, sedangkan kelahiran yang kedua merupakan kebenaran mutlak yang harus dipegang dan diikuti oleh seluruh ummatnya. c. Pakaramula Istilah pakaramula diambil dari bahasa Makassar yang berarti permulaan. Pakaramula dapat pula berarti awal adanya dan tampaknya sesuatu bagi panca indera manusia. Hal tersebut dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang tampak di alam semesta ini, mengalami proses maulid atau pakaramula, kecuali Sang Pencipta yakni Allah swt. Berdasarkan pemahaman tersebut dmaka penyelenggaraan upacara Mauduk Lompoa lebih diutamakan daripada ibadah-ibadah lainnya. Mereka meragukan keimanan seseorang yang mengaku beragama Islam, tetapi tidak menyelenggarakan mauduk. Mereka juga belum dikategorikan pengikut setia kepada Nabi Muhammad saw. $NWLYLWDV8SDFDUDMauduk Lompoa Menurut Koentjaraningrat (1992:221) dalam sistem upacara keagamaan terkandung lima aspek yakni (1) tempat upacara, (2) waktu pelaksanaan upacara, (3) benda-benda dan peralatan upacara, (4) penyelenggara upacara, dan (5) orang-orang yang terlibat dalam upacara. Pelaksanaan pesta akbar Mauduk Lompoa ri Cikoang ini digelar setiap tanggal 30 bulan Rabiul Awal. Namun, sebelum dilangsungkan perhelatan akbar tersebut, terlebih dahulu diawali dengan pelaksanaan upacara maulid secara perorangan maupun kelompok oleh masyarakat kampung dalam bentuk upacara mauduk cakdi, mauduk tangngaya dan langgarak atau masigik. Pelaksanaan ketiga kategori mauduk itu berlangsung dari tanggal 12 Rabiul Awal tahun itu. Awalnya Maulid di Cikoang diselenggarakan di rumah Anrong guru, yakni tokoh yang 186 berperan sebagai guru, memiliki kharisma dan pengetahuan luas mengenai masalah agama dan kemasyarakatan. Anrong guru ini mempunyai pengikut atau murid yang semakin lama semakin bertambah sehingga penyelenggaraan maulid dipindahkan ke pekarangan Anrong guru. Puncak perayaan upacara Mauduk Lompoa di selenggarakan secara meriah dan besar-besaran. Pesertanya tidak terbatas pada masyarakat Desa Cikoang, khususnya di kalangan para sayyid, tetapi juga diikuti para sayyid yang berdomisili di luar desa, seperti yang ada di Kota Makassar atau kotakota lainnya. Mereka ini berbondong-bondong datang ke Cikoang hanya untuk merayakan maulid tersebut sehingga upacaranya pun harus dilaksanakan di lapangan yang cukup luas. Upacara Mauduk Lompoa selalu dilaksanakan di pinggir pantai dan muara sungai, karena bagian sisinya terdapat lapangan yang memungkinkan sebagai tempat membangun panggung upacara dan tempat berzikir. Penyelenggaraan Mauduk Lompoa ini dibagi ke dalam dua tahap, yakni tahap persiapan dan tahap penyelenggaraan. 7DKDS3HUVLDSDQ Meskipun pelaksanaanya baru berlangsung pada 30 Rabiul Awal tahun berjalan, segala persiapan penyelenggaraan telah dilakukan selama sebulan sebelumnya. Semua perlengkapan yang akan digunakan dalam perayaan Mauduk Lompoa sudah harus disiapkan. Setiap orang harus menyiapkan seekor ayam, beras empat liter, telur ayam atau telur bebek beberapa butir, bakul khusus tempat makanan (kanre mauduk), dan minyak kelapa yang dibuat sendiri. Selain itu, pendukung upacara harus menyiapkan kandawari, bembengang, julung-julung, panggung upacara, dan lapangan upacara. Karena penyelenggaraannya tergolong meriah maka terlebih dahulu dibentuk suatu panitia yang unsur-unsurnya terdiri atas camat, kepala desa dan para bangsawan sayyid. Camat dan kepala desa biasanya bertindak sebagai pengawas, sedang Anrong guru senior bertindak sebagai ketua pelaksana dan dibantu oleh paratek (para penzikir). 7UDGLVL0DXGXN/RPSRDGL... Nur Alam Saleh Mereka yang terlibat langsung dalam pelaksanaan teknis selain Anrong guru senior yang dianggap memiliki pengetahuan luas dan memiliki banyak murid serta paratek, juga warga masyarakat sebagai peserta upacara. Selain itu, pejabat pemerintah setempat, maupun pada tingkat kecamatan dan kabupaten, demikian pula orangorang yang ingin menyaksikan atau mempelajari (meneliti) upacara Mauduk Lompoa ikut serta di dalamnya. Perlengkapan upacara terdiri atas bahan yang akan digunakan untuk membuat makanan yang akan diisikan masuk ke dalam bakul upacara \DQJEHQWXNQ\DVSHVL¿Ngandawari dan julungjulung), bahan yang akan dijadikan hiasan, serta bahan perlengkapan dalam panggung upacara maupun lapangan upacara. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi makanan, antara lain: (1) berasa atau beras harus dipersiapkan sedemikian rupa dan dibersihkan. Padi yang akan diolah menjadi beras harus dijaga sebaik-baiknya, misalnya harus dijemur sendiri, ditumbuk sampai pada saat diproses menjadi makanan dan dimasukkan ke dalam bakul. Bahkan dedak maupun antah beras tersebut tidak boleh dibuang sembarangan karena dikhawatirkan dimakan oleh binatang lain dan hal tersebut tidak boleh terjadi. (2) Jangang atau ayam disiapkan satu ekor ayam untuk satu orang. Ayam tersebut harus dipilih karena merupakan hewan suci yang dapat mendengar langsung suara arasy, bahkan dapat memberikan tanda-tanda waktu. Mulai masuk bulan Safar, ayam yang akan digunakan dalam upacara tersebut sudah harus dikurung dan dipelihara. Makanan dan minuman ayam harus diatur sebaik-baiknya. Bulan Safar ini biasanya dinamakan bulan pannyongkokang jangang atau bulan kurungan ayam. (3) Bayao atau telur: Telur ini berfungsi sebagai tambahan dari bahan pokok dan dipergunakan sebagai hiasan utama. Namun dapat pula menggantikan fungsi ayam manakala kebutuhan akan ayam tidak mencukupi pada waktunya. (4) Kaluku atau kelapa. Kelapa ini haruslah kelapa pilihan yang utuh, tua, dan bersabut. Buah kelapa inilah yang akan diproses menjadi minyak untuk bahan penggorengan ayam maupun bahan untuk membuat ka’do minnya (makanan khas yang terbuat dari beras ketan). Bahan yang dapat dikategorikan sebagai hiasan-hiasan, berupa telur, NXWXNXWX VSHVL¿N GRGRO EDMH ZDMLN UDQJJLQD dan lain-lain, termasuk buah-buahan yang ada di daerah tersebut, kain-kain (pakaian, sarung) serta kertas berwarna untuk dijadikan hiasan bunga. Bahan atau perlengkapan dalam bentuk wadah adalah bakul. Bakul ini terbuat dari ayaman daun lontar dan dibuat sebesar kebutuhan setiap keluarga atau dapat memuat beberapa liter beras yang akan dijadikan kanre mauduk. Bembengang adalah alat yang digunakan untuk meletakkan kanre mauduk, sedang julung-julung yang berbentuk seperti perahu berfungsi sebagai tempat meletakkan bakul-bakul berisi kanre mauduk yang sudah dihiasi. Hiasan-hiasan itu ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai bendera dan layar perahu yang menarik. Selain itu, sarana upacara berbentuk panggung upacara dan lapangan upacara. Satu atau dua minggu sebelum hari pelaksanaan upacara, padi ditumbuk secara beramai-ramai oleh tetangga (appadudu) sehingga terdengar irama yang bersemangat. Wanita sebagian menumbuk dan memisahkan sekam (allangga) dan sebagian lagi menampih dan membersihkan beras. Dua hari sebelum upacara dilaksanakan, ayam yang telah dikurung mulai disembelih. Ayam tersebut dimasak kemudian digoreng lalu dibungkus dengan daun pisang dalam bentuk utuh (seekor ayam). Selanjutnya ayam tersebut dimasukkan ke dalam bakul upacara, demikian pula kue-kue (wajik, UDJJLQDGRGRO dalam bakulbakul kecil (tepa-tepa atau patti-patti). Menjelang malam pelaksanaan upacara, beras dikukus setengah masak kemudian diolah. Menjelang pagi hari, semua persiapan harus sudah selesai termasuk telur-telur telah dihias. Setelah itu, semua perlengkapan upacara lalu diarak ke lapangan upacara diiringi tabuhan gendang yang ada di tempat upacara. 187 WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— Seperti telah disebutkan bahwa, kanre mauduk diantar ke tempat upacara dengan bembengan atau gandawari, bila melalui jalur sungai atau laut, dipergunakan sarana yang disebut julung-julung. Tahap Penyelenggaraan Penyelenggaraan upacara ditandai dengan menyiapkan sesajian, mengisi bahan makanan dalam bakul upacara (ammonei kanre mauduk), memberikan hiasan bakul upacara (akmode kanre mauduk), mengantar (angngantarak kanre mauduk), penerimaan bakul upacara oleh pemimpin upacara (pannarimang kanre mauduk), berzikir (akratek), penyuguhan kepada tamu (pattoanang), membagi-bagikan makanan yang telah diupacarakan kepada orang-orang yang mengikuti upacara (SDPEDJHDQJNDQUHPDXGXN Di tempat upacara telah siap beberapa orang yang akan mengatur dan menempatkan kanre mauduk. Kanre mauduk terdiri atas beberapa jenis, seperti kanre bayuang, yakni bakul upacara yang akan disedekahkan kepada calon pengantin wanita. Bakul tersebut biasanya dihiasi dengan berbagai perlengkapan perkawinan. Kanre bunting beru yakni bakul kepunyaan pengantin baru yang tampak lebih semarak. Orang yang lebih mampu biasa menggunakan julungjulung yang berhiaskan kain-kain dan barang berharga yang diperoleh dari para keluarga dan sahabat. Julung-julung tersebut sangat menarik sehingga mudi-mudi tertarik untuk bernasar jika kelak menjadi pengantin baru, mereka akan mempersembahkan kanre mauduk dalam bentuk julung-julung seperti itu. Kanre pidandang atau kanre passidakka, adalah bakul yang diperuntukkan bagi orang yang baru meninggal. Keluarganya mengikutsertakan dalam upacara maulid. Kanre barata, yakni bakul upacara kepunyaan keluarga yang kematian. Tandanya adalah hiasannya kurang dan telurnya tidak diberi warna. Sebelum upacara dimulai, masing-masing peserta upacara disuruh menyaksikan kanre mauduk-nya oleh Anrong guru. Dalam kesempatan 188 itu para peserta saling mencela kekurangan dan membanggakan kanre mauduk-nya masingmasing sehingga terjadilah pertengkaran semu yang diakhiri dengan dorong-dorongan sampai ke pinggir hingga tercebur ke sungai sambil ditertawakan. Acara ini diselingi dengan beberapa macam atraksi berupa perlombaan perahu, pertunjukan pencak silat, perlombaan renang tradisional, dan perlombaan selam tradisional. Setelah acara selesai, barulah upacara berzikir dilakukan dan dipimpin oleh Anrong guru. Upacara ini berlangsung kira-kira dua atau tiga jam. Setelah itu diadakan lagi pembacaan salawat kepada Nabi Muhammad saw. dengan posisi tangan ke atas sebagai permintaan doa agar Nabi Muhammad saw. bersama seluruh sahabat dan keluarganya serta pengikutnya mendapat keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Bilamana upacara tersebut selesai dilaksanakan, maka jamuan kepada para tamutamu pun segera dimulai. Bahan jamuan tidak diambil dari isi kanre mauduk, tetapi dari bahan lain yang telah disiapkan. Kanre mauduk tetap akan dibagi-bagikan oleh Anrong guru kepada orang yang berhak mendapatkannya sesuai dengan kedudukan seseorang dalam masyarakatnya. 0DNQD GDQ )XQJVL \DQJ 7HUNDQGXQJ GDODP 6LPEROVLPEROMauduk Simbol-simbol dalam suatu upacara mempunyai makna dan fungsi tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Notosudirjo (1990:330) bahwa fungsi sosial dari upacara tradisional dapat dilihat dalam kehidupan masyarakatnya, yakni adanya pengendalian sosial, media sosial, norma sosial, serta pengelompokan sosial. Beberapa makna dan fungsi dari unsurunsur upacara tradisional Mauduk Lompoa di Cikoang dapat dikemukakan, sebagai berikut: Penyelenggaraan upacara tradisional Mauduk Lompoa cukup menguras waktu, tenaga dan harta benda bagi komunitas sayyid di Cikoang, yang merupakan salah satu wujud kecintaan terhadap Nabi Muhammad saw. 7UDGLVL0DXGXN/RPSRDGL... Nur Alam Saleh Bahan-bahan yang digunakan dalam upacara ini diupayakan tidak boleh dibeli. Hal ini mengandung makna bahwa jika seseorang akan memberi (dalam hal ini dimanifestasikan dalam upacara) haruslah barang bahan yang halal dan harus diusahakan sendiri. Ayam mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Cikoang, karena ayam dianggap binatang suci yang berada di arasy yakni tempat bersemayamnya Tuhan dan para malaikat. Ayam pun bisa memberi dan mengetahui tanda-tanda alam. Karena itu hanya daging ayamlah satusatunya yang dipersembahkan dalam upacara itu dan bukan daging kerbau atau daging sapi. Beras yang akan disajikan dalam upacara bukanlah beras yang telah diproses sampai matang melainkan beras yang dimasak setengah matang. Ini merupakan suatu usaha menghindari pemborosan, karena pada waktu upacara makanan berlimpah ruah. Karena itu, beras setengah matang bisa diproses atau diolah kembali menjadi makanan. Beras yang akan disumbangkan untuk upacara berjumlah empat liter perorang. Ini mengandung makna akan kejadian manusia yang terdiri atas empat unsur. yakni, air, tanah, angin dan api. Telur berbentuk bulat melambangkan kebulatan tekad masyarakat untuk selalu bahu membahu dalam menempuh hidup ini. Perahu julung-julung, mengandung arti semangat masyarakat Cikoang sebagai masyarakat pelayar walaupun mereka berprofesi sebagai petani tradisional. Semaraknya hiasan-hiasan dalam kanre mauduk baik yang diletakkan di bembengang maupun di julung-julung memberi arti semangat dan keceriaan hidup masyarakat dalam mencari nafkah. PENUTUP Pelaksanaan Mauduk Lompoa berlandaskan pada ajaran Sayyid Jalaluddin terhadap jamaahnya di Cikoang. Ajaran tersebut meliputi dua hal utama, yaitu pengetahuan tentang Nabi Muhammad (Maarifat) dan kecintaan terhadap Nabi Muhammad 0DKDEEDK Tata cara pelaksanaannya dilakukan berdasarkan adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun. Makna yang terkandung di dalam ritual tersebut adalah bentuk kecintaan dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad saw., yang merupakan pembawa kebenaran mutlak di dunia. Upacara ritual ini dianggap wajib oleh masyarakat Cikoang karena mengenal dan mencintai Nabi Muhammad adalah suatu kewajiban bagi seluruh umat muslim di dunia. Tidak ikut melaksanakan ritual ini dianggap suatu kerugian baginya, karena mereka merasa tidak akan mendapat petunjuk dan keselamatan jika tidak menunjukkan rasa cintanya kepada Nabi Muhammad saw. DAFTAR PUSTAKA Alamsyah P, Suwardi. 2005. ”Upacara Tutup %XNX *XDU %XPL 8SDFDUD 1JDURW GL Kabupaten Sumedang” dalam Budaya Spiritual masyarakat Sunda. Ed Sildu Galba. Jatinangor Sumedang: Alqaprint. Bogdan, Ribert dan Tylor J. Steven. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. Budhisantoso, Subur. 1989. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Dalam Analisa Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud Hisyam, Muhammad. 1983. Sayyid – Jawi Study Kasus Jaringan Sosial di Desa Cikoang.Ujung Pandang: PLPIS. Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Terj.) Cet. I. Bandung: Pustaka. (http://mulfiblog.wordpress.com/2009/10/20/ pengertian-tradisi). Diakses pada tanggal 7 Juni 2013. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Manyambeang, Kadir 1983/1984. Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Perstiwa Alam dan Kepercayaan di Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud. Nurdin, Idrus, dkk. 1978. Maulid Cikoang Sebagai 6DODK 6DWX %HQWXN .HEXGD\DDQ 6SHVL¿N 189 WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— Tradisioanal di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin. Notosudirjo, Suwandi. 1990. Kosakata Bahasa Indonesia. Yokyakarta: Kanisius Roberston, Ronal. 1988. Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali Suryono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Persindo. Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada. Tuloli, Nani. 1990. Tanggamo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta. :HOGDQ$KPDG7DX¿TGDQ+XGD0'LP\DWL 2004. Metodologi Studi Islam: Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru. Malang: Bayumedia Publishing.