BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konstelasi kehidupan di dunia ini manusia tentunya tidak bisa terlepas dari apa yang dinamakan dengan agama. Hal tersebut dikarenakan agama sangatlah inhern dalam kehidupan sosial manusia dengan segala dinamika yang ada. Hal tersebut mengandung arti bahwa manusia dalam aktivitasnya tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama yang ada di dalamnya. Dalam hal ini Islam adalah agama bagi umat manusia yang di dalamnya memuat pesan yang bersifat universal dan abadi dikarenakan ajaranya akan selalu mengikat selama dalam masa taklif (mukallaf). Konsekuensi tersebut tertuang dalam suguhan konsepsi hukum Islam yang menjamin perbaikan dan peningkatan kehidupan umatnya baik di dunia maupun di akhirat. Islam adalah pandangan hidup yang lengkap (kaffah), membimbing sesuai petunjuk-petunjuk Allah SWT, sebagaimana yang disampaikan oleh RasulNya Muhammad SAW.1 Secara praktis, Islam menuntut para pemeluknya untuk senantiasa menyeru, mengajak, dan menyampaikan ajaranya agar apa yang menjadi pesan agama dapat disebarluaskan keseluruh alam semesta.2 Hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam, 1 Begum A’isyah Bawany, Mengenal Islam Selayang Pandang, Terj. Machnun Husein, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 5 2 Konsep tentang menyeru, mengajak, menyempaikan dan mempengaruhi tersebut yang kemudian dinamakan dengan dakwah. Lihat pengertian dakwah Awaludin Pimay, Metodologi Dakwah; Kajian Teoritis dari Khazanah Al-Qur’an, (Semarang: Rasail, 2006), hlm.2 1 2 yang tentunya dalam penyampaian misi dakwah yang diterapkanya dalam rangka mengajak manusia kepada ajaran Islam haruslah mengacu pada apa yang telah dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad SAW.3 Mengenai kewajiban menyampaikan dakwah Islam, Allah SWT berfirman dalam ayat suci Al-Qur’an: 4 ß|¡ômr& }‘Ïδ ÉL©9$$Î/ Οßγø9ω≈y_uρ πuΖ|¡ptø:$# ÏπsàÏãöθyϑø9$#uρ Ïπyϑõ3Ïtø:$$Î/ y7În/u‘ È≅‹Î6y™ 4’n<Î) äí÷Š# tωtGôγßϑø9$$Î/ ÞΟn=ôãr& uθèδuρ ( Ï&Î#‹Î6y™ tã ¨≅|Ê yϑÎ/ ÞΟn=ôãr& uθèδ y7−/u‘ ¨βÎ) Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125) Hermeneutika kata ud’u yang selanjutnya ditafsirkan dengan “seruan” yang merupakan fiil amr, yang dalam kaidah ushul fiqh merujuk kepada hukum wajib mengindikasikan bahwa dakwah mutlak harus direalisasikan di dalam setiap sendi-sendi kehidupan.4 Telah menjadi suatu yang ma’lum, bahwasanya Islam adalah agama dakwah yang mengandung arti bahwa keberadaanya di muka bumi ini adalah dengan disebarluaskan dan diperkenalkan kepada seluruh umat melalui aktivitas dakwah, bukan dengan paksaan, kekerasan, dan tidak pula dengan kekuatan pedang. Hal ini dapat kita pahami, karena Islam sendiri adalah 3 Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, (Jakarta: Media Da’wah, 2000), hlm. 125 Kewajiban berdakwah sesuai dengan surat An-Nahl ayat: 125, merupakan kewajiban mutlak (absolut). Hal tersebut dikarenakan para Ulama’ telah bersepakat mengenai hukum wajibnya, hanya saja diantara mereka ada yang mengatakan wajib ‘ainiyah (berlaku universal/setiap orang), dan Ulama’ lain mengatakan wajib kifayah (dalam arti apabila alam satu kelompok sudah ada yang menjalankanya maka gugurlah kewajiban tersebut). Baca: Aminuddin Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, (Semarang: Fakultas dakwah, 1986), hlm.34 4 3 agama pembawa perdamaian, agama cinta kasih, agama pembebasan dari belenggu perbudakan, dan juga mengakui hak dan kewajiban setiap individu. Ini berarti anggapan para oreientalis yang selama ini mengatakan Islam adalah agama yang kejam, menakutkan dan dikenal dengan radikalismenya adalah tidak benar adanya. Statemen demikian tentunya amatlah tidak sesuai, dikarenakan bila kita mencoba menelaah dalam Al-Qur’an yaitu pada surat Al-Baqoroh ayat 256, Allah berfirman: -∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ yϑsù 4 Äcxöø9$# zÏΒ ß‰ô©”9$# t¨t6¨? ‰s% ( ÈÏe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω îΛÎ=tæ ìì‹Ïÿxœ ª!$#uρ 3 $oλm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’s+øOâθø9$# Íοuρó ãèø9$$Î/ y7|¡ôϑtGó™$# ωs)sù «!$$Î/ Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Al-Baqoroh: 256) Dari ayat di atas dapat kita fahami, bahwa dalam memilih suatu agama tidaklah boleh dipaksakan, termasuk di dalamnya adalah berdakwah dan menyampaikan ajaran Islam.5 Hal senada diungkapkan oleh Ulil Abshar Abdalla yang merupakan tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), menurutnya dalam pandangan Islam, memeluk agama adalah merupakan suatu pilihan yang dilakukan secara sadar, artinya tidak boleh ada unsur paksaan 5 Larangan memaksakan suatu agama seperti dicontohkan oleh Rosulullah ketika tinggal di Madinah, dimana penduduk Madinah sebelum kedatangan Islam, mereka adalah pemeluk agama Yahudi, dan disana banyak terjadi orang tua yang telah memeluk Islam akan tetapi anaknya memilih Yahudi. Hal tersebut dirasa kehidupan Yahudi jauh lebih baik bagi mereka. Dan hal ini pulalah yang menjadi sabab nuzul ayat di atas.Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah; Bekal Perjungan Para Da’I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.13-15 4 sedikitpun.6 Dari hal tersebut di atas, seyogyanya di dalam melakukan aktifitas berdakwah pendekatan yang seharusnya kita lakukan adalah dengan cara yang halus, lembut dan santun sebagaimana tersebut dalam surat AnNahl di atas. Yang menjadi fenomena dan menarik perhatian dari kehidupan kita di negara Indonesia ini yaitu ketika dalam kondisi masyarakat Islam dengan berbagai problematika dakwahnya, maka tak henti-hentinya muncul pemikirpemikir sejak zaman klasik hingga sekarang, dimana di dalamnya lahir aliranaliran yang menaruh perhatian besar terhadap pelaksanaan dakwah Islamiyah. Akan tetapi dalam realitanya, mereka di dalam penyampaian ajarannya cenderung ortodok, kaku dan kolot, bahkan nilai-nilai ajaran yang disampaikannya terkesan jumud dan mandeg ditempat tidak bisa sesuai dengan dinamika kehidupan zaman. Dalam menerjemahkan ayat-ayat AlQur’an pun hanya dikaji secara tekstual, tidak mengenal istilah hermeniutika atau tafsir. Dan yang ironi, tidak berhenti sampai di situ saja, akan tetapi mereka menginginkan ajaran Islam diterapkan di dalam setiap lini kehidupan (totalistik / kaffah) dengan cara yang mereka benarkan, tanpa mengambil dari manhaj hukum yang semestinya. Bukankah hal demikian akan dapat mengganggu keharmonisan dalam kehidupan? Beberapa golongan yang tergabung dalam Islam radikali seperti Darul Islam (DI), Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesi (NII), dan Ikhwanul Muslimin mereka cenderung bersikap eksklusif dan hanya 6 Mengenai hal yang berkaitan dengan memilih suatu agama (keimanan) dapat kita lihat dalam surat Al-Kahfi ayat: 29, Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam; Bunga Rampai Surat-surat Tersiar, (Jakarta: Nalar, 2007), hlm.165 5 mengakui kebenaran mereka sendiri. Mereka menganggap orang kafir adalah musuh yang harus mereka perangi, tidak hanya itu saja, orang muslim lain yang tidak sehaluan dengan mereka pun tak luput mendapat predikat sebagai orang-orang yang sesat. Doktrin yang mereka usung adalah “takfir" yaitu sikap yang selalu mengkafirkan golongan lain yang berada di luar kelompoknya. Salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin yang pemikiranya sangat berpengaruh dalam menyulut radikalisme agama yang ada adalah Sayyid Qutub. Beliau berpendapat “barang siapa yang memutuskan suatu hukum ( termasuk di dalamnya menjalankan pemerintahan) dengan hukum selain AlQur’an berarti ia telah kafir”. Pemikiran tersebut tentunya berpijak pada interpretasi dari suatu ayat yaitu: tβρãÏ≈s3ø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé'sù ª!$# tΑt“Ρr& !$yϑÎ/ Οä3øts† óΟ©9 tΒuρ Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (AlMa’idah: 44) Berawal dari pemikiran tersebut, aliran Islam radikal telah menjustifikasi diri seperti para hakim dan aparat pemerintahan yang ada, yang tidak menggunakan hukum syari’at adalah halal dibunuh. Sikap-sikap demikianlah yang tentunya dapat membawa mereka ke dalam faham keberagamaan yang cenderung kaku dan kolot.7 Selanjutnya sikap tersebut telah mereka ejawantahkan dalam praktik kehidupan, sebagai suatu contoh mereka menganggap harta yang dimiliki oleh pihak/orang lain adalah sah untuk dimiliki organisasinya. Bahkan dengan cara-cara yang tidak Islami 7 Ali Syu’aibi, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), hlm.137 6 seperti penipuan, pencurian, bahkan dengan cara-cara kekerasan sekalipun, mereka mengklaim bahwa harta itu adalah milik Allah.8 . Radikalisme dalam Islam memberikan gambaran adanya kelompok yang ekslusif dan militan. Sampai batas tertentu, seperti yang disebutkan di atas, ada kesan bahwa kelompok itu menganggap orang lain sebagai musuh. Yang dimasukkan dalam golongan musuh itu tidak hanya mereka yang berbeda agama, melainkan juga orang-orang seagama yang mereka anggap telah melakukan banyak kemaksiatan atau diam saja ketika kemaksiatan ada di sekeliling mereka. Klaim kebenaran tunggal juga melekat dalam ingatan para golongan ini. Radikalisme agama yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan, seakan menyiratkan ketidakpuasan suatu kaum dalam adaptasinya dengan yang lain. Hal tersebut menyangkut praktek kehidupan (mu’amalah) dan peribadatan (ubudiyah), terutama tentang perbedaan cara pandang atas agama yang mereka anut. Interpretasi yang berbeda dalam melihat suatu hukum agama dan diperparah dengan nalar egois yang kemudian menghilangkan harmonisme dalam bermasyarakat. Seseorang yang dianggap tidak sesuai pemahaman dia, dianggap telah melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kemudian, banyak orang yang berpengaruh, menyeru kepada umat untuk kembali kepada ajaran agama yang benar. Ia menganggap bahwa ia berkewajiban untuk meluruskan ajaran agama yang bengkok dari praktek kehidupan. Sayangnya, ajaran yang benar ini hanya berdasar atas 8 Endang Turmudzi, Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi press, 2005), hlm.242-243 7 pemahamannya mereka sendiri. Baginya ajaran sebagaimana dipahaminya sendirilah yang dianggap murni dan merupakan representasi dari ajaran Islam yang benar dan sah. Jika hal seperti ini terus berlanjut, maka tentunya perpecahan intern umat beragama tentunya akan terbuka lebar. Bagi golongan radikalis, sikap tanpa kompromi (intoleran), tidak menghargai orang yang berbeda keyakinan dan sikap keras merupakan “kebenaran” yang mereka pilih. Jalan kekerasan juga kadang dilakukan kaum ini. Mereka tidak sabar untuk memperbaiki keadaan dengan usaha pelanpelan seperti pendidikan dan penyadaran. Mereka memilih jalan kekerasan dan tidak peduli akan akibat destruktif dari perbuatan yang mereka lakukan. Selain itu mereka juga melakukan kekerasan atas nama agama, padahal ia sendiri bukan pemeluk agama yang baik9. Melihat fenomena di atas, yang perlu kita refleksikan bersama yaitu, mengapa Islam yang merupakan agama “rohmatan lil ‘alamin”, Islam yang merupakan agama samawi yang membawa misi syar’i mengayomi dan melindungi sesama umat manusia justru menjadi objek dari semua aksi kerusuhan yang bernuansa radikal. Hal tersebut tiada lain dikarenakan ada sekelompok golongan yang dalam aktualisasi dakwahnya hanya mengedepankan kajian secara tekstualis, dan menggunakan berbagai aksi kekerasan yang berlabelkan Islam. Mereka menggunakan kedok “jihad” sebagai legitimasi dari aksi yang mereka jalankan dan sebagai pembenaran tindakan-tindakan mereka tanpa mengabaikan harmonisasi dan kearifan lokal 9 . Eko Prasetyo Dkk, Memahami Wajah Para Pembela Tuhan, (Yogyakarta: Interfidie, 2004), hlm 24 8 (local wisdom) seperti sediakala saat Islam masuk di Indonesia seperti yang telah dicontohkan oleh para walisongo. Hal tersebut bukankah berbeda ketika kita berkaca pada kehidupan Rosul yang merupakan Nabi terahir yang di utus Allah untuk menyampaikan wahyu kepada kita. Bukankah Rosul dahulu kala dalam penyampaian misi dakwahnya senantiasa melindungi dan mengayomi, bahkan mengharamkan darahnya kaum kafir dzimmi? Hal terebut semata-mata Islam adalah agama perdamaian dan pembawa keselamatan yang pada dasarnya tidak mengajarkan apalagi menganjurkan kekerasan dalam bentuk apapun.10 Terlepas dari itu semua, Horace M. Kallen mensinyalir, aksi radikalisasi agama yang seperti terjadi sekarang ini ditengarai oleh tiga kecenderungan.11 Pertama, radikalisasi agama merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah yang ditolak bisa berupa ide, asumsi, lembaga, atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap kondisi yang ditolaknya. Kedua, radikalisasi agama tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dalam suatu bentuk tatanan baru atau sebuah tatanan yang lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisasi agama terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk mengganti 10 Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat; Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman, (Yogyakarta : Andi Offset, 2004), hal.2-4 11 Zada Khamami, Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), hal.16-17 9 tatanan yang sudah ada dengan tatanan baru yang mereka inginkan (Islam Kaffah). Ketiga, kuatnya keyakinan atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan sosial, keyakinan terhadap program atau filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatas namakan nilai-nilai ideal seperti kemaslahatan umat atau kemanusiaan. Akan tetapi, kuatnya keyakinan ini dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang menjurus pada aksi kekerasan. Dalam konteks inilah ormas-ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin, Laskar Jihad Ahlussunnah Waljama’ah, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), memiliki ciri-ciri yang sebagaimana diungkapkan oleh Horace M. Kallen diatas. Pertama, mereka memperjuangkan Islam secara kaffah (totalistik); syariat Islam sebagai hukum Negara, Islam sebagai dasar Negara, sekaligus Islam sebagai sistem politik sehingga bukan demokrasi yang menjadi suara aspirasi rakyat yang menjadi sistem politik. Kedua, mereka mendasarkan praktik keagamaanya pada orientasi masa lalu (salafi). Ketiga, mereka sangat memusuhi barat dengan segala produk peradabanya, seperti sekularisasi dan modernisasi. Keempat, perlawanan dengan gerakan liberalisme Islam yang tengah berkembang di kalangan Muslim Indonesia.12 Oleh sebab itulah ormas-ormas Islam seperti ini bisa dikategorikan kedalam golongan Islam radikal. 12 Ibid, hal.17 10 Menganalisa hal-hal tersebut di atas, setidaknya kemunculan Islam radikal (radikalisme agama) di Indonesia ditengarai oleh dua faktor. Pertama, faktor internal dari dalam umat Islam sendiri. Faktor ini terjadi karena adanya penyimpangan norma-norma agama. Kehidupan sekuler dalam kehidupan masyarakat mendorong mereka kembali pada otentitas (fundamen) Islam. Sikap ini ditopang dengan pemahaman agama yang totalistik (kaffah) dan formalistik yang bersikap kaku dalam memahami teks-teks agama. Kajian terhadap agama hanya dipandang dari satu arah yaitu tekstual, tidak melihat dari faktor lain, sehingga tindakan-tindakan yang mereka lakukan harus merujuk pada perilaku Nabi secara literal. Kedua, faktor eksternal di luar umat Islam, baik yang dilakukan oleh rezim penguasa atau hegemoni dari Barat yang tidak mendukung terhadap penerapan syari’at Islam dalam sendisendi kehidupan.13 Sesungguhnya strategi penanganan dan perlawanan terhadap tindakan yang bernuansa radikal, baik itu yang bersifat umum atau telah menjurus kepada radikalisme agama yang menimbulkan kerusakan dan menebarkan kekerasan di mana-mana sejatinya telah gencar dilakukan. Hal tersebut dilakukan baik secara langsung yaitu dengan menggunakan kekuatan (hard power approach), seperti yang dilakukan oleh Densus 88 maupun dengan cara pendekatan bimbingan (soft approach), seperti yang di operasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). 13 Ibid, hal.95 11 Penanganan tindak radikal tersebut, nampak sekali terlihat setelah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan yang bernuansa agama. Pada level tertentu bom pun menjadi isu yang santer dibicarakan dan menjadi sorotan dunia Internasional, terutama yaitu pasca ledakan bom Bali 12 Oktober 2002. Kajian atas peran-peran jaringan Islam Radikal menjadi objek studi-studi di berbagai forum. Berbagai aksi kekerasan yang berkedok agama semakin marak di Indonesia. Hal tersebut ditengarai sebagai aksi dari para pemikir kelompok radikal yang ada di Indonesia. Beberapa kelompok Islam tersebut adalah mereka yang tergabung mulai dari Kelompok Salafi, Negara Islam Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujhidin Indonesia (MMI), dan Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), sampai dalam lembaga pendidikan seperti Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo.14 Masuknya pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo dalam daftar “terorisme“ dikarenakan orang yang paling dicurigai terlibat dalam kasus terorisme di Asia Tenggara yaitu Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah pendiri dan pengasuh pesantren tersebut. Di sisi lain, bahkan keyakinan banyak pihak semakin menguat ketika peristiwa bom Bali 1 Oktober 2002 dan teror lainnya seperti pada 17 Juli 2009, bom kembali diledakkan di Mega Kuningan Jakarta yang sebagian pelakunya memiliki keterkaitan dengan Ngruki atau setidaktidaknya dekat dengan Abu Bakar Baasyir.15 14 Endang Turmudi, Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm.120 15 Abdurrahman, Pribadi Abu, Rayyan Membongkar Jaringan Terorisme, (Jakarta: Abdika Press, 2009), hlm.53 12 Lebih spesifik lagi, bila kita amati aksi radikalisme agama yang terjadi di Jawa Tengah yaitu khususnya di wilayah Semarang dapat kita lihat seperti masuknya jaringan NII (Negara Islam Indonesia). Dalam kasus tersebut yaitu tepatnya pada 22 Juli 2011 saja terdapat enam tersangka dengan dakwaan tindakan makar. Keenam tersangka tersebut adalah Totok Dwi Harjanto alias Nizam Sidik, warga Banyumanik Semarang, Sulamin, warga Kebumen, Mardiyanto, warga Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Nur Basuki, warga Magelang, Supandi, warga Jakarta Selatan, dan Mujono Agus Salim, warga Tegal.16 Dakwah yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai agama yang ditransfer ke dalam jiwa dan raga manusia di dalam praktiknya dapat diaplikasikan melalui dua bentuk pendekatan yaitu dakwah secara kultural dan struktural.17 Dakwah dengan pendekatan kultural merupakan suatu konsep pendekatan dakwah dengan cara menyentuh akar budaya yang ada, menyampaikan ajaran Islam dengan tetap menghormati dan menghargai tradisi terdahulu yang sudah lama tertanam seperti yang telah dicontohkan oleh Walisongo dalam penyebaran dakwahnya. Nampaknya hal demikianlah yang diterapkan oleh NU. NU yang selalu mengedepankan ajaran tasammuh (toleran), tawassut (moderat) yang dalam pengambilan hukumnya tidak secara tektual saja akan tetapi mengambil juga hukum dari Al-Qu’ran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas adalah merupakan fenomena yang mengundang toleransi 16 http://wartapedia.com/nasional/hukum-dan-kriminal/4334-radikalisme-10-jaksa-siapkansusunan-dakwaan-tersangka-nii.html 17 Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 26-27 13 keberagamaan yang ada di Indonesia. 18 Penafsiran Al-Qur’an secara kaidah yang benar dengan memperdulikan sabab nuzul ayat, maka transformasi pesan agama tidak serta merta diterapkan ke dalam kehidupan secara membabi buta. Akan tetapi tetap memperhatikan kearifan lokal (local wisdom) yang ada, yang mana hal tersebut tidak bisa terlepas dari sejarah lahirnya NU itu sendiri. NU mengambil tindakan dengan cara bagaimana menyampaikan pesan Islam yang sesuai dengan kondisi sosio kultural budaya Indonesia. NU bersikap sebagai Islam yang moderat, sebagai muslim yang toleran, dalam kehidupan yang pluralis yang tentunya tidak bertentangan dengan ideologi Negara yaitu Pancasila.19 Di sisi lain, dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan. Dalam dakwah struktural bergerak mendakwahkan ajaran Islam melalui struktur sosial, politik maupun ekonomi. Yang dalam hal ini NU yang merupakan ormas dengan basis massa terbesar yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, tentunya mempunyai visi, misi, dan arahan bagi semua anggota dan lembaga yang berada di bawah naunganya. Hal tersebut dilakukan sebagai wujud tanggung jawab dan apresiasi NU terhadap keutuhan wilayah Negara dari dis-integrasi, baik dari luar maupun dalam negeri yang berupa penyebaran ideologi yang berupaya memecah belah keutuhan Negara. Mengingat NU merupakan salah satu lembaga yang mempunyai kiprah besar 18 Laode Ida, Kaum Progresif dan Sekularis Baru, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hlm.7 19 Baso Ahmad, NU Studies; Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm.5 14 dalam perjuangan Negara Indonesia ini, NU turut pula dalam menentukan ideology Negara yaitu Pancasila sebagai dasar Negara.20 Maraknya tindak radikalisme agama yang berimplikasi pada kekerasan, sedikit banyak telah mempengaruhi pandangan masyarakat umum tentang Islam. Hal tersebut terlebih lagi ketika media cetak dan elektronik banyak memberitakan masalah-masalah baru yang terjadi berkaitan dengan hal tersebut. Seperti disebutkan di atas, kemunculan Islam radikal di Indonesia yang ditengarai oleh faktor internal yaitu adanya penyimpangan norma-norma agama, dan juga faktor eksternal seperti yang dilakukan oleh rezim penguasa atau hegemoni dari Barat mendorong NU sebagai ormas dakwah untuk turut serta dalam penanganan masalah tersebut. Berawal dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk menulis” “Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam Upaya Deradikalisasi Agama”. Hal tersebut mengingat NU merupakan organisasi masyarakat (ormas) yang bergerak dibidang sosial keagamaan, melakukan pendekatan kultural dan bermanuver langsung pada sektor yang selama ini menjadi sasaran empuk perekrutan dan ladang kaderisasi golongan Islam radikal seperti pesantren. Dalam masyarakat umum, kadang tidak kita sadari ajaranya dapat menyelusup dalam jama’ah-jama’ah pengajian dan juga dalam bidang pendidikan seperti semakin menjamurnya lembaga dakwah kampus (LDK) yang terindikasi masuk dalam jaringan NII. 20 Ibid, hlm.56 15 Dalam hal tersebut sebagaimana di atas, NU Kota Semarang dalam masyarakat umum telah menerapkan strateginya dalam bidang pembinaan terhadap jama’ah pengajian yang tentunya rutin dilakukan. Di sisi lain dalam lingkup pendidikan, strategi yang dilakukan oleh NU Kota Semarang yaitu dengan melakukan pelatihan sekolah kader dan penanaman ilai-nilai aswaja melalui pendidikan ma’arif yang berada di bawah naungannya. Hal tersebut sebagai upaya kaderisasi ideologi guna melestarikan tongkat estafet perjuangan dalam membentengi masuknya radikalisme agama yang dapat merusak citra Islam yang humanis dan dapat memicu perpecahan bangsa. 1.2. Rumusan masalah Dari latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam upaya Deradikalisasi Agama? 2. Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat implementasi Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam upaya Deradikalisasi Agama? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan apa yang menjadi perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 16 1. Untuk mendeskripsikan Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam upaya Deradikalisasi Agama. 2. Untuk mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat implementasi Strategi Dakwah NU Kota Semarang, dalam upaya Deradikalisasi Agama. 1.3.2. Manfaat Penelitian Sedangkan dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahnya khazanah ilmu pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan deradikalisasi agama, serta sebagai sumbangsih dan dedikasi keilmuan dakwah khususnya Manajemen Dakwah. 2. Secara Praktis o Untuk memperluas pengetahuan penulis dalam masalah strategi dakwah yang diterapkan oleh NU Kota Semarang, khususnya yang berkaitan dengan upaya deradikalisasi agama. o Sebagai input (masukan) bagi para pembaca pada umumnya dan lembaga lembaga-lembaga dakwah yang bersangkutan pada khusunya, sehingga untuk ke depannya dapat dirumuskan langkah-langkah kebijakan dakwah yang lebih tepat, terutama yang berkenaan dengan masalah deradikalisasi agama. 17 1.4. Tinjauan Pustaka Radikalisasi agama saat ini menjadi isu yang aktual untuk dibicarakan. Negara Indonesia dengan kompleksitas etnis, suku dan agama tentunya mengundang berbagai problem di berbagai lini kehidupan masyarakat. Hal tersebut menarik penulis untuk meneliti sektor keagamaan yang ada di masyarakat, khususnya di Kota Semarang yang disinyalir bermotif radikal-agamis yang dapat memperkeruh ke-Bhinekaan dalam masyarakat. Mengingat kemajuan dan perkembangan daripada suatu disiplin ilmu pengetahuan yang tidaklah murni sendiri, akan tetapi merupakan perkembangan ataupun komparasi dari ilmu-ilmu sebelumnya, baik dari segi metoda maupun disiplin ilmu yang ditelitinya, maka untuk menghindari kesamaan dan tindak plagiat terhadap hasil ilmu penelitian, dibawah ini peneliti perlu menuliskan beberapa hasil penelitian yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini yaitu: Pertama “Strategi Dakwah Muslimat NU dalam memberdyakan Perempuan di Kabupaten Tegal 2005-2008”, tahun 2008 oleh Mifrohatun. Dalam penelitian tersebut di ungkap bagaimana strategi yang digunakan oleh Muslimat NU dalam memberdayakan dan memajukan peran perempuan di berbagai lini kehidupan. Diantaranya yaitu perempuan turut andil menjabat struktural organisasi yang biasanya diduduki oleh laki-laki. Melalui program pengajian rutinannya, Muslimt NU juga memberikan pengarahan kepada ibuibu jama’ah dalam rumah tangga yang bertanggung jawab tidak hanya pihak 18 laki-laki sebagai kepala rumah tangga dalam mengurus keluarganya akan tetapi perlu peran perempuan juga dalam praktiknya. Kedua “Strategi Dakwah NU dalam Memajukan Masyarakat Islam (Studi Kasus Organisasi MWC NU Godong Kabupaten Grobogan)”, tahun 2008 oleh Any Masriatin. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bagaimana kepedulian MWC NU Godong di dalam memajukan masyarakat Islam daerahnya yang masih tertinggal dari daerah yang lain dengan berbagai cara yang ditempuh. Diantara cara yang diterapkan yaitu dengan mengoptimalisasi majlis ta’lim yang ada dengan penyuluhan, program BMT dan lain sebagainya. Ketiga “Strategi Dakwah KH. Muhammad Hasan dalam Pengembangan Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Mantrianom Bawang Banjar Negara Sebagai Lembaga Dakwah”, tahun 2008 oleh Trisnawansih. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang lain dalam penelitian ini yaitu mengungkap bagaimana strategi yang dipakai oleh KH. Muhammad Hasan di dalam pengembagan dakwahnya. Diantara strategi yang beliau terapkan yaitu dengan melakukan pengajian rutin kitab kuning pagi dan sore dan takror pada malam harinya, kepada para santrinya. Di sisi lain yaitu beliau mengadakan pengajian di masjid desanya. Keempat “Strategi dakwah Nahdlatul Ulama’ dalam Membentengi Warga Nahdliyyin dari Aliraan Islam Radikal studi Kasus Cabang Nahdlatul Ulama’ Kota Semarang Tahun 2001-2006”, tahun 2008 oleh Awaludin. Tidak jauh beda dengan penelitian yang lain, Teknis pengumpulan data yang 19 dipakai yaitu menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggambarkan strategi NU dalam membentengi warga Nahdliyyin dari aliran Islam radikal. Diantara strategi yang digunakan NU Kota Semarang dalam upaya membentengi warganya dari aliran Islam radikal yaitu dengan menggunakan media dakwah, pengembangan ekonomi, dan pendidikan baik formal ataupun non formal. Karya-karya tulis di atas, merupakan starting poin bagi penulis sebagai konstruksi teoritik dalam penggunaan metode penelitian, sumber hipotesis dan tolok ukur dalam penelitian. 1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Jenis dan Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Krik dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif yaitu sebagai suatu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.21 Metode ini digunakan untuk mengembangkan suatu konsep dan pemahaman serta kepekaan peneliti terhadap data yang didapat dari objek penelitian, bukan dimaksudkan untuk membuat suatu fakta, melakukan prediksi dan tidak pula menunjukkan hubungan antar variabel. Penelitian ini mengedepankan spesifikasi penelitian deskripsi di dalam penyusunan dan penyajian laporanya. Situasi dan strategi 21 Lexi J Moleong, Metodelogi penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 4 20 yang didapat dari penelitian disajikan dalam menggambarkan dinamika organisasi NU Kota Semarang, khususnya dalam program strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi Agama. 1.5.2. Definisi Operasional Untuk mengantisipasi dan menghindari kesalah pahaman pembaca terhadap judul skripsi yang dimaksud, maka dirasa perlu adanya penjelasan dan penegasan terhadap istilah-istilah yang penulis gunakan dalam penulisan judul diatas, yaitu Strategi Dakwah NU Kota Semarang Dalam Upaya Deradikalisasi Agama: 1. Strategi Dakwah Seperti yang telah kita ma’lumi bersama, pada prinsipnya strategi dakwah merupakan suatu istilah yang tersusun dari dua suku kata yaitu strategi dan dakwah. Term pertama yaitu berasal dari bahasa Yunani yaitu “strategos” yang artinya tentara, dan term penyusun kalimat seajutnya yaitu “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang artinya mengajak, menyeru dan memanggil. Hal tersebut bukan berarti dalam penelitian ini akan membahas dakwah secara militer (tentara), melainkan strategi ataupun cara yang diterapkan oleh lembaga NU kota Semarang dalam upaya menangani munculnya paham Islam radikal melalui penanganan kontra-radikal (pendekatan non-radikal). 21 Istilah strategi oleh Dr. Awaludin Pimay, lebih di identikkan dengan istilah “taktik”22 yang dapat berarti suatu jenis rencana yang digunakan untuk menentukan tindakan-tindakan dimasa yang akan datang dengan mempertimbangkan factor- faktor kekurangan dan kelemahan yang ada dari kondisi internal mataupun eksternal suatu organisasi. Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garisgaris besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Strategi adalah cara yang dipakai guna memecahkan dan menghadapi masalah tertentu yang sedang bergejolak sehingga ditemukan jalan keluar.23 Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus kajian penulis adalah mengenai bagaimana strategi dakwah yang diterapkan oleh NU kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama, berikut dengan faktor penghambat dan pendukung implementasinya yaitu periode kepengurusan tahun 2006-2011. 2. Nahdlatul Ulama’ (NU) Nahdlatul Ulama’ atau yang sering disingkat dengan NU merupakan organisasi masyarakat yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926 M / 1344 H di Surabaya. 22 Penggunaan daripada stilah “taktik” biasanya cenderung lebih mudah untuk kita fahami dibandingan dengan istilah yang lain, ini dapat kita lihat dalam : Dr. H. Awaludin,Pimay, Paradigma Dakwah Humanis Strategi dan Metode Prof. K.H. Saefudin Zuhri. (Semarang:Rasail, 2005), hlm.51 23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002), hal.1250 22 Organisasi ini terbentuk dari adanya respon terhadap kebangkitan para kiai tradisional terhadap gerakan kebangkitan syar’i dan pembaharuan agama, baik yang terjadi di Timur Tengah maupun di Indonesia.24 Adapun yang dimaksud dari NU dalam penelitian ini adalah NU cabang kota Semarang. 3. Deradikalisasi Agama Istilah deradikalisasi agama merupakan penggabungan dari dua suku kata yaitu deradikalisasi dan agama. Deradikalisasi sendiri yaitu merupakan serapan dari bahasa latin yang berasal dari kata ”radix” yang artinya akar. Dalam bahasa Ingris radical dapat berarti ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner dan fundamental. Setelah mendapatkan awalan ”de” dan akhiran ”isasi” sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, maka kalimat tersebut menjadi ”deradikalisasi”, yang memiliki arti anti radikal atau kontra radikal. Hal tersebut dapat kita analog-kan seperti pada kata ”depolitisasi” yang berarti penghapusan kegiatan politik, dan ”depopulasi” yang berarti pengurangan penduduk.25 Radikalisme agama sebagai suatu faham merujuk pada keyakinan sekelompok tertentu, yang menginginkan dan melakukan perubahan terhadap tata nilai agama yang dianggap bertentangan dengan pemahaman mereka. Hal tersebut ditempuh 24 25 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.127 Pius A. Partant, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka, 2001), hlm.102 23 dengan cara meruntuhkan sistem dan struktur yang sudah ada sampai ke akar-akarnya dengan cepat atas pertimbangan kebenaran yang subyektif.26 Dengan demikian deradikalisasi agama merupakan penanganan kontra radikal terhadap permasalahan yang muncul dari agama, yang dalam penelitian ini yang dimaksud dengan agama adalah agama Islam. 1.5.3. Sumber Data Penelitian Sumber yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini yaitu menggunakan dua sumber sebagaimana yang telah lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Kedua sumber tersebut adalah :27 1. Sumber Primer Sumber primer atau yang sering disebut dengan data tangan pertama adalah sumber data yang diperoleh langsung dari objek penelitian atau instansi yeng terkait.28 Adapun sumber data primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berasal dari NU Kota Semarang dan segenap lembaga yang ada didalamnya, baik secara struktural maupun non-struktural yang meliputi Dewan Pembina, Ketua Syuriah dan Tanfidiyah, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Ma’arif, serta Segenap Anggota pengurus NU Kota Semarang. 26 Nur Syam, Radikalisme dan Masa Depan Agama;Rekontruksi Tafsir Sosial Agama, dalam M.Ridwan Nasir,(Surabaya: IAIN Press, 2001), hlm.242 27 Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.91 28 Suryabrata Sumardi, Metodologi Penelitian, (Jakarta:Rajawali Pers, 1992), hlm.84 24 2. Sumber Skunder Sumber sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari pihak lain yang merupakan data-data tambahan, yang diambil dari buku-buku (arsip dan dokumen), hasil pemikiran para ahli, dan sumber lain yang memiliki relevansi dengan penelitian yang dimaksud.29 1.5.4. Teknik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalan penelitian ini yaitu: a. Observasi. Merupakan suatu tehnik pengumpulan data dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis terhadap fenomenfenomena di lapangan yang hendak diteliti.30 Metode ini digunakan penulis untuk mencari data yang ada, dengan cara datang langsung ke objek ataupun lokasi penelitian dengan memperhatikan dan mencatat segala hal yang dianggap penting guna memperoleh gambaran objek penelitian yang dalam penelitian ini yaitu NU Kota Semarang. Selain itu, yang menjadi objek penelitian adalah semua yang berkaitan dengan keadaan gedung ataupun perkantoran sebagai pusat kegiatan NU Kota Semarang, fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung 29 30 Azwar Saifudin, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.5 Hadi, Sutrisno.. Metodologi Research. Jilid. II (Yogyakarta: FP UGM, 1991), hlm. 136 25 terlaksananya program kerja, serta keaktifan pengurus NU Kota Semarang. b. Wawancara Tehnik wawancara yaitu suatu pengumpulan data dengan cara tanya jawab sepihak, yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.31 Dari wawancara ini peneliti dapat memperoleh informasi data tentang masalah yang diteliti secara akurat. c. Dokumentasi Tekhnik dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip, buku-buku, dan notulen dari rapat serta teori-teori yang berhubungan dengan masalah penelitian.32 Dokumentasi merupakan sumber pendukung dan penguat terhadap akurasi dan keabsahan objek penelitian. 1.5.5. Teknik Analisis Data Setelah data-data diperoleh, maka langkah selanjutnya yaitu menyusun data-data tersebut dan kemudian melakukan analisis data. Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan melakukan perincian terhadap objek yang diteliti atau dengan cara penanganan suatu objek ilmiah tertentu dengan cara memilah-milah antara pengertian yang satu dengan 31 32 Hadi Sutrisno, Metodologi Research jilid II, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1991), hlm.192 Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2000), hlm.181 26 pengertian yang lain guna memperoleh kejelasan.33 Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa analisis kualitatif terhadap data yang diperoleh dari lapangan, baik berupa observasi, wawancara dan dokumentasi, yang kemudian diuraian dalam bentuk deskripsi-narasi dari data-data tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Matter B. Miles Hubermen, analisis data kualitatif dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu:34 1) Reduksi data Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, dan pengabstraksian, serta proses pentransformasian data-data kasar yang didapat dari catatancatatan tertulis di lokasi penelitian yang dalam hal ini yaitu NU Kota Semarang. Reduksi data dilakukan dengan cara membuat ringkasaan, membuat-kode-kode yang diperlukan (mengkode), menelusuri tema, dan membuat gugus-gugus yang selanjutnya dilakukan penelitian lapangan sampai penyusunan ahir laporan. 2) Penyajian data Penyajian data adalah penyampaian informasi berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari informan, catatan pengamatan pada waktu mengamati. Penyajian data dalam penelitian ini 33 34 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.59 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm.91-99 27 disuguhkan dalam bentuk deskripsi-narasi tentang strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama. 3) Menarik kesimpulan (verifikasi) Verifikasi merupakan langkah peninjauan ulang terhadap catatan-catatan lapangan dengan cara menelaah kembali dan dengan bertukar pikiran, untuk mengembangkan kesepakatan inter subjektif atau upaya yang luas untuk menetapkan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Atau dengan kata lain, verifikasi merupakan usaha memunculkan makna-makna dari data yang harus diuji kebenaranya, kekokohan, dan kecocokanya dengan validitas penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data deskriptif. Deskriptif merupakan gambaran atau melukiskan obyekobyek permasalahan berdasarkan fakta, secara sistematis. Memberi analis secara cermat, kritis, dan mendalam terhadap obyek kajian dengan mempertimbangkan kemaslahatan.35 Sehingga diharapkan dengan metode ini penulis dapat mendeskripsikan strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalsasi agama, yang selanjutnya menganalisa dengan kebenaran bukti yang ada. Dalam hal ini analisis difokuskan pada strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama. 35 Nawawi Hadrawi,.. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. (Semarang: Gajah Mada University, 1999), hlm. 30 28 1.5.6. Sistematika Penulisan Untuk menguraikan pembahasan permasalahan penelitian di atas, maka penulis menyusun kerangka pembahasan yang sistematis agar pembahasannya dapat lebih terarah dan mudah untuk dipahami serta yang lebih penting lagi adalah agar permasalahan yang menjadi tujuan penulis dapat tercapai. Sistematika pembahasan di atas merupakan urutan sekaligus kerangka berfikir dalam menulis laporan penelitian. Adapun yang menjadi sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab Pertama, akan diuraikan tentang pendahuluan, yang didalamnya membahas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan laporan. Bab kedua akan membahas tentang landasan teori yang terdiri atas dua sub bab pembahasan sebagai berikut: sub bab pertama: Konsep dasar strategi dakwah yang meliputi: Pengertian strategi dakwah, Faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan strategi dakwah, tekhnik-tekhnik dan proses dalam penyusunan strategi dakwah. Sub bab kedua: Konsep dasar deradikalisasi agamam yang meliputi: Pengertian dan ciri-ciri radikalisasi agama, Sejarah dan pemicu munculnya radikalisasi agama, Proses dan langkah dalam deradikalisasi agama. 29 Bab ketiga, merupakan deskripsi wilayah penelitian. Pembahasan dalam bab tiga ini difokuskan pada gambaran (profil) NU Kota Semarang yang terdiri dari: Latar belakang berdirinya NU Kota Semarang, Struktur kepengurusan NU Kota Semarang, visi misi tujuan dan sasaran NU Kota Semarang, Program kerja NU Kota Semarang periode 2006-2011. Bab keempat merupakan penyajian data dan analisisnya. Bab ini difokuskan pada strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama, yang terdiri dari: Radikalisasi dan deradikalisasi agama dalam perspektif NU Kota Semarang, Strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama, Faktor pendukung dan penghambat implementasi NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama. Bab kelima adalah bab penutup. Bagian ini merupakan akhir dari penulisan skripsi, yang terdiri dari kesimpulan, dan saran-saran serta dilengkapi dengan daftar pustaka, daftar kosakata dan daftar riwayat hidup penulis.