Indeks sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi dalam Rumen

advertisement
18
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbeda dengan ternak berlambung tunggal (hewan monogastrik), sumber energi
utama dan protein bagi ternak ruminansia berturut-turut berasal dari asam-asam
lemak terbang (volatile fatty acids atau disingkat VFA) dan protein yang berasal dari
protein mikroba rumen dan protein pakan yang lolos
degradasi mikroba rumen
(bypass protein) atau RUP (rumen undegraded protein).
Peran mikroba rumen
sangat penting yakni selain sebagai penyedia protein (protein mikroba) juga sebagai
penye-dia energi
utama bagi ternak ruminansia berupa VFA terutama hasil
fermentasi kar-bohidrat, khususnya serat kasar yang tidak dapat dicerna ternak
ruminansia. Pada fer-mentasi karbohidrat atau bahan organik (BO) pakan akan
dilepaskan energi dalam bentuk ATP dan ATP ini oleh mikroba rumen digunakan
untuk membentuk protein mikroba dengan menggunakan N-protein yang tersedia
terutama dalam bentuk N-protein hasil degradasi protein pakan (rumen degradable
protein/RDP) dan atau dari urea saliva di dalam rumen. Sebagai kerangka karbonnya
berupa asam alfa keto hasil fermentasi karbohidrat, sementara kerangka karbon
bercabang adalah hasil degradasi protein pakan.
Penyediaan N-protein yang lebih cepat daripada penyediaan energi menyebabkan
kelebihan N-protein akan diangkut via pembuluh darah portal ke hati dibentuk urea
sebagian sebagai
bahan siklus ke dalam saluran pencernaan dan sebagian lagi dibu-
ang melalui urin. Hal ini juga akan menurunkan konsumsi pakan ataupun merugikan
terutama bila protein yang terdegradasi tersebut berasal dari bahan pakan yang berkualitas dan mahal harganya. Demikian pula bila energi yang dilepaskan lebih banyak daripada N-protein yang tersedia akan menyebabkan penurunan efisiensi pertumbuhan mikroba dan pencernaan serat kasar yang selanjutnya menurunkan konsumsi.
Dengan demikian agar pertumbuhan mikroba rumen lebih efisien, penyediaan Nprotein
hasil degradasi protein pakan harus sinkron
dengan penyediaan energi
terutama hasil fermentasi karbohidrat atau BO pakan dalam rumen. Keseimbangan
19
laju penyediaan N-protein dan energi yang dihasilkan pakan untuk mikroba rumen
ditujukan untuk memaksimalkan pemanfaatan protein yang
terdegradasi dalam
rumen, untuk pertumbuhan mikroba rumen yang optimal dan efisiensi pakan.
Sedikit perhatian dalam memformulasi ransum berdasarkan kepada laju
penyediaan N-protein dan energi yang diekspresikan sebagai BO atau karbohidrat
terfermentasi di dalam rumen (Sinclair et al. 1993). Pada umumnya dalam
penyusunan ransum untuk ternak ruminansia didasarkan kebutuhan akan protein
kasar (PK)/protein dapat dicerna (Prdd) dan energi dalam bentuk TDN (total
digestible nutrients), tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang efektif bagi pertumbuhan mikroba dalam rumen. Sehingga kadang kala dijumpai perbedaan yang signifikan penampilan produksi diantara ternak ruminansia percobaan, walaupun ransum masing-masing ternak tersebut disusun relatif sama kandungan protein dan
energi (iso-protein dan iso-energi).
Nilai yang tersedia dalam rumen adalah gabungan dan integrasi daripada rate of
degradation (laju degradasi) , lag time dan rate of passage (laju makanan) (Orskov
dan McDonald 1979). Keseimbangan laju penyediaan N-protein hasil
protein dan laju penyediaan
degradasi
energi hasil degradasi BO atau karbohidrat suatu
makanan dalam rumen, ditujukan agar jumlah gram N-protein yang tersedia setiap
kg BO yang terdegradasi
dalam rumen setiap jam (hourly degradation) adalah
sinkron dengan efisiensi sintesis N mikroba yang optimal, yakni 25 g N-protein /kg
BO terdegradasi dalam rumen (Sinclair et al. 1993). Penentuan indeks sinkronisasi
suatu pakan yakni dengan membandingkan penyediaan per jam N-protein dan energi
pakan tersebut dengan nilai efisiensi sintesis N mikroba tersebut. Bila penyediaan Nprotein/kg BO terfermentasi dalam rumen suatu pakan adalah sama dengan nilai
efisiensi protein mikroba (25g N-protein/BO terfermentasi dalam rumen) maka
indeks sinkronisasi pakan tersebut adalah 1 (Sinclair et al.1993).
Adanya perbedaan jenis dan komposisi kimiawi pakan antara daerah sub tropis
dan daerah tropis akan berbeda pula penyediaan N-protein dan energi bagi
pertumbuhan dan efisiensi sintesis N mikroba rumen. Stern et al. (2006) melaporkan
bahwa rentang nilai efisiensi sintesis N mikroba rumen adalah 10 – 50 g N/kg BO
20
terfermentasi dalam rumen. Dengan demikian kemungkinan besar nisbah sinkronisasi
penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen akan
berbeda antara daerah tropis dan sub tropis, terutama karena berbedanya sumber
protein makanan yang selanjutnya akan berbeda pula tingkat dan laju degradasi
protein. Blumel et al. (2003) melaporkan, bahwa sumber dan karakteristik fermentasi
protein dan karbohidrat dapat mempengaruhi efisiensi sintesis N mikroba rumen,
dengan demikian menolak anggapan
bahwa efisiensi sintesis N mikroba rumen
biasanya konstan.
Dengan memasukkan variabel sinkronisasi ini disamping variabel kebutuhan zat
pakan lain misalnya protein kasar (PK) dan total digestible nutriens (TDN) dalam
menyusun ransum, diharapkan dicapai pemanfaatan protein pakan yang optimal
khususnya untuk sintesis N mikroba rumen sehingga produksi ternak ruminansia
dapat ditingkatkan.
Nilai indeks sinkronisasi tersebut di atas didapat setelah diketahui nilai koefisien
(karakteristik) degradasi protein dan BO bahan pakan dalam rumen. Penentuan
karakteristik degradasi protein dan BO bahan pakan ini diperoleh melalui evaluasi
bahan pakan tersebut dengan metode in sacco (Orskov dan McDonald 1979), yaitu
menggunakan hewan yang berfistula rumen. Dengan demikian hasil metode evaluasi
pakan secara in sacco ini dapat diaplikasikan dalam cara memformulasi ransum yang
sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen
dan efisiensi ransum.
Sumber protein pada ternak ruminansia tidak semata berasal dari protein mikroba
saja tetapi juga berasal dari protein makanan yang lolos degradasi dalam rumen (bypass protein). Ternak yang mempunyai pertumbuhan yang cepat atau berproduksi
tinggi sangat memerlukan bypass protein selain protein mikroba rumen yakni untuk
menunjang produksi ternak yang tinggi tersebut. Agar dicapai pertumbuhan protein
mikroba maupun produksi ternak yang optimal perlu tersedia protein dan energi
makanan yang optimal pula untuk menunjang kebutuhan kedua hal tersebut.
Aplikasi cara formulasi ransum ini disertai pemanfaatan bahan pakan yang tidak
biasa diberikan kepada ternak ruminansia (inkonvensional) akan menekan biaya
21
produksi dari pakan dan gilirannya akan menguntungkan peternak. Pakan nonkonvensional ini adalah pakan yang berasal dari limbah/hasil ikutan (waste/byproduct) agro-industri. Misalnya jerami padi, limbah onggok dan ikan asin afkir di
Sumatra Barat telah dimanfaatkan menjadi pakan
ternak sapi walaupun belum
memasyarakat.
Tujuan Penelitian
1. Mengklarifikasi cara penyusunan ransum dengan memperhitungkan sinkronisasi
penyediaan N-protein dan energi ransum untuk mikroba di dalam rumen selain
memperhitungkan kandungan protein dan energi yang dibutuhkan dalam ransum,
sehingga diperoleh efisiensi pertumbuhan mikroba rumen dan produksi ternak
ruminansia yang optimal serta menguntungkan.
2. Mengetahui nilai indeks sinkronisasi bahan pakan
hijauan dan konsentrat yang
yang dihitung berdasarkan koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan
tersebut dalam rumen, kemudian nilai itu dijadikan basis penyusunan ransum
yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi ransum dan
efisiensi sintesis mikroba dalam rumen.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan dalam penyusunan
ransum dengan memperhitungkan
sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi
ransum selain memperhitungkan kandungan protein dan energi yang dibutuhkan
dalam ransum, agar diperoleh efisiensi sintesis N mikroba rumen dan produksi
ternak ruminansia yang optimal serta menguntungkan.
22
TINJAUAN PUSTAKA
Kajian terakhir di Eropa menunjukkan bahwa biaya tidak tetap (variable cost)
yang terbesar untuk produksi susu atau produksi daging ternak ruminansia adalah
biaya pakan yakni lebih dari 50% dan bahwa menyempitnya nisbah harga komoditi
tersebut dengan harga pakan sebagai akibat meningkatnya permintaan bahan pakan
ternak, maka hendaknya peternak perlu meningkatkan sistem penyusunan ransum
yang akurat sehingga akan sangat efisien penggunaan bahan pakan yang tersedia
(Cottrill 1998). Khampa dan Wanapat (2007) menyatakan, bahwa di daerah tropis
umumnya ternak ruminansia diberi makanan berupa hijauan berkualitas rendah,
jerami tanaman pertanian, hasil ikutan (by-products) industri yang pada dasarnya
mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi, karbohidrat terfermentasi yang rendah
atau kualitas protein yang rendah. Disamping itu pada musim kemarau, tanah yang
tidak subur, dan sedikitnya makanan yang tersedia akan mempengaruhi kuantitas dan
kualitas fermentasi rumen.
Atas dasar tersebut dapat dikatakan bahwa untuk
meningkatkan pendapatan peternak, yaitu selain perbaikan dalam penyusunan ransum
dari bahan pakan konvensional juga ditingkatkan lagi pemanfaatan waste/by-product
agro-industri sebagai bahan pakan, misalnya onggok, limbah darah rumah potong
hewan (RPH) dan ikan asin afkir yang sampai saat ini di Sumatra Barat belum
dimanfaatkan secara luas.
Sintesis N Mikroba dalam Rumen
Pada ternak ruminansia nutrien dibutuhkan untuk mikroba dalam rumen dan
untuk metabolisme antara (intermediatary metabolism), yaitu untuk kedua hal
tersebut zat pakan dibutuhkan untuk penyediaan energi dalam bentuk ATP dan
sebagai bahan (precursor) untuk sintesis lemak, protein dan karbohidrat dalam tubuh.
Dengan demikian ransum hendaknya dalam keadaan seimbang jumlah zat-zat pakan
yang tersedia untuk kedua hal tersebut (Taminga dan Williams 1998). Lebih lanjut
Fellner (2005) menyatakan, bahwa untuk memaksimalkan produktivitas ternak
ruminansia yaitu dengan memenuhi kebutuhan nutrien untuk ternak ruminansia dan
mikroba rumen. Berdasarkan tinjauan literatur diindikasikan, perhitungan kebutuhan
23
protein untuk ternak ruminan berdasarkan PK ransum adalah tidak cukup karena
ruminally degradable protein (RDP) akan menentukan sintesis N mikroba yang mana
sebagai sumber protein utama bagi ternak ruminansia (Karsli dan Russell 2002).
Rumen telah dikenal sebagai tempat terjadinya proses fermentasi yang esensial yaitu
berkemampuan menyediakan hasil ahir berupa volatile fatty acids (VFA) dan protein
mikroba sebagai sumber energi dan protein ternak ruminansia itu sendiri (Fellner
2005; Khampa dan Wanapat 2007)
Sel mikroba dan protein makanan yang lolos dari degradasi dalam rumen
(bypass protein) adalah sumber utama protein dan asam amino yang dibutuhkan
ternak ruminansia. Protein mikroba menyumbang protein dalam jumlah besar masuk
ke dalam usus halus, karena protein mikroba dapat mensuplai 50% lebih dari
kebutuhan sapi perah, perlu memaksimalkan produksi mikroba (Fellner 2005).
Dengan demikian kondisi dalam rumen harus optimal untuk pertumbuhan mikroba
rumen apabila asam amino yang masuk ke dalam usus halus dan produksi susu serta
komponen air susunya maksimal (Hoover dan Stoke 1991). Sasaran daripada nutrien
dalam rumen adalah untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroba rumen dan
pengikatan RDP kedalam sel mikroba rumen, memaksimalkan pengikatan RDP
tersebut tidak hanya memperbaiki penyediaan asam amino ke dalam usus halus tetapi
juga menurunkan N terbuang (Stern et al. 2006). Dengan demikian pertimbangan
nutrien yang dibutuhkan mikroorganisma rumen adalah sangat penting untuk dipahami metabolisma N dalam rumen demikian juga faktor-faktor yang memodifikasinya (Bach et al. 2005).
Defisiensi suatu nutrien dapat menurunkan sintesis N mikroba dalam rumen,
aliran asam amino ke usus halus, dan menurunkan produksi ternak ruminansia, tetapi
dua faktor nutrisi yang sangat memungkinkan membatasi sintesis N mikroba rumen
adalah energi dan protein (Clark et al. 1992).
Sintesis N mikroba dalam rumen bergantung padaenergi yang tersedia, dan
estimasi penyediaan energi dan N-protein yang dapat difermentasi dalam rumen
dibutuhkan untuk memprediksi hasil protein mikroba (Cottrill 1998). Penyediaan
energi dalam rumen (BO yang terdegradasi dalam rumen) adalah faktor pembatas
24
utama untuk memanfaatkan N-protein dalam rumen (Shabi et al. 1998). Karsli dan
Russel (2002) melaporkan bahwa sintesis N mikroba dan pertumbuhan mikroba
rumen bergantung padakecukupan energi (ATP) hasil fermentasi BO serta kecukupan
N-protein hasil degradasi NPN (non-protein nitrogen) dan protein pakan dalam
rumen, juga membutuhkan zat pakan lain seperti sulfur, phosphor dan mineral lain
serta vitamin.
Di negara berkembang makanan untuk produksi ternak ruminansia berasal dari
padang penggembalaan, jerami tanaman dan biomasa selulosa lainnya, makanan
tersebut umumnya rendah total protein dan N yang terfermentasi serta sering kali
defisien mineralnya (Leng 1997). Di daerah iklim tropis dan subtropis umumnya
dikaitkan dengan rendahmya kandungan mineral yakni P, S, K, Ca, Mg, Cu, Mo, Co,
Se (Kerridge et al. 1986) dan tinggi Al atau keasamannya yang mana membatasi
pertumbuhan akar (Chen et al. 1992). Selanjutnya Leng (1997) menyatakan, bahwa
tanah daerah tropis biasanya defisiensi mineral P. Sementara hasil penelitian Scott et
al. (1994) menunjukkan, bahwa kekurangan mineral selain menurunkan sintesis N
mikroba adalah faktor utama penyebab penurunan laju pembentukan tulang pada
kambing yang diberi makan rendah P.
Defisiensi setiap nutrien dapat menurunkan sintesis N mikroba dalam rumen,
laju asam-asam amino (AA) ke dalam usus halus dan menurunkan produksi susu sapi
perah (Clark et al. 1992). Stern dan Hoover (1979) melaporkan, bahwa sulfur
dibutuhkan mikroba rumen untuk sintesis metionin dan cytein dan konsumsi sulfur
dapat membatasi sintesis N mikroba bila memakai NPN dalam jumlah banyak, dan
diperkirakan nisbah yang optimum nitrogen : sulfur adalah 10 : 1 untuk pertumbuhan
mikroba yang maksimal.
Energi dalam bentuk ATP berasal dari fermentasi karbohidrat yang mengasilkan VFA dan methan sebagai produk akhir, adalah sebagai pengendali dan memasukan NPN kedalam sel mikroba rumen (Gambar 1)(Orskov 1982). Clark et al.
(1992) melaporkan, bahwa campuran struktural dan non-struktural karbohidrat adalah
umumnya sebagai sumber energi yang terbaik untuk pertumbuhan bakteri karena pada proses fermentasi, karbohidrat menghasilkan lebih banyak energi per unit berat
25
Gambar 1 Ilustrasi populer mengenai saling ketergantungan
fermentasi dan produksi protein mikroba (Orskov 1982)
daripada protein. Energi berasal dari lemak makanan dapat dikonsumsi bakteri
rumen, tetapi lemak tidak cukup mepenyediaan energi untuk mesintesis N mikroba
(Van Soest 1982).
Karbohidrat adalah komponen utama dalam makanan ternak
ruminasia dan sangat bervariasi tingkat dan laju fermentabilitasnya dalam rumen
(Fellner 2005). Selulosa dan hemiselulosa yang jumlahnya berkisar dari 15 – 66 %
dari makanan ternak ruminansia adalah insoluble dan sebagian yang tidak tersedia
(tidak terfermentasi), pektin walaupun bagian dari structural carbohydrate (dinding
sel) bersama dengan karbohidrat yang soluble (fruktosan dan sukrosa) difermentasi
secara keseluruhan dan cepat, sementara pati sebagai cadangan karbohidrat yang
insoluble dan dapat lolos dari degradasi dalam rumen (NRC 1985).
Dewasa ini kajian mengenai keadaan N dan carbon dari AA dalam rumen
menunjukkan bahwa beberapa AA disintesis oleh mikroorganisma rumen dengan
sangat sulit dibandingkan dengan AA yang lain (Atasoglu et al. 2004). Selanjutnya
mengkonfirmasi teori bahwa bakteri rumen sulit mesintesis Phe, Leu, dan Ile, dan
dinyatakan bahwa Lys adalah suatu AA yang potensial yang membatasi pertumbuhan bakteri rumen.
Bach et al. (2005) melaporkan bahwa selain kecukupan penyediaan sumber
karbohidrat (CHO) dan N, faktor nutrisi lain maupun faktor non-nutrisi yakni pH
26
rumen dan dilution rate, termasuk juga mepunyai peranan penting dalam sintesis N
mikroba rumen. Bila jumlah bahan organik (BO) yang difermentasi meningkat,
sintesis N mikroba meningkat pula dan hasilnya adalah adanya korelasi yang negatif
antara pH dan sintesis N mikroba yaitu konsekuensi penyediaan energi yang
meningkat pada ransum yang tinggi terfermentasi (Hoover dan Stokes 1991). Selama
ini dianggap komponen penghasil energi merupakan hal sangat penting untuk
produksi mikroba rumen, tetapi hasil penelitian Gosselink et al. (2003) menunjukkan
bahwa meskipun dalam makanan terbatas jumlah karbohidrat yang tersedia untuk
difermentasi mikroba, nitrogen yang tersedia dalam rumen adalah sangat penting
dalam memprediksi produksi mikroba. Sesuai dengan yang dinyatakan Maeng et al.
(1999) bahwa penyediaan nitrogen PK meningkatkan produksi dan efisiensi mikroba
lebih tinggi dibandingkan penyediaan baik serat maupun pati (Tabel 1) dan kejadian
ini konsisten hasilnya pada peningkatan dilution rate rumen.
Pertumbuhan dan produksi mikroba biasanya meningkat dengan meningkatnya
dilution rate,bila dilution rate rendah akan lebih banyak jumlah mikroba tinggal dalam rumen dan selanjutnya akan mekonsumsi energi yang tersedia untuk hidup pokok
Tabel 1 Pengaruh dilution rate terhadap produksi N dan efisiensi mikroba1
Dilution rate, fraksi/jam
.
Produksi N mikroba, g/hr
100 % soy hulls
Mixed diet2
100 % isolated soy protein
Efisiensi Mikroba3
100 % hulls
Mixed diet
100 % isolated soy protein
0.025
0.050
0.075
0.10
0.15
0.20
0.80
0.27
1.38
1.25
0.45
1.67
1.44
0.54
2.27
1.69
0.67
2.65
1.66
0.68
3.12
1.23
0.67
3.18
16.6
11.2
27.0
23.6
18.9
34.8
26.6
23.9
47.1
32.0
31.1
56.2
37.0
41.8
65.2
36.5
49.8
71.7
1) Maeng et al. 1990
2) 78% corn, 14% soy hulls, and 8% isolated soy protei
3) Grams of micrrobial N/kg of organic matter truly digested in the rumen
dan akan menurunkan efisiensi secara keseluruhan (Block 2006). Dilution rate
didefinisikan sebagai proporsi dari total volume rumen yang mengalir dari rumen per
27
jam. Faktor yang mempengaruhinya adalah makanan, infus buffer intraruminal,
tingkat konsumsi, dan kondisi lingkungan (Stern dan Hoover 1979).
Perubahan makanan pada sapi jantan muda dari seluruhnya konsentrat menjadi
terkandung 14% hijauan di dalamnya terjadi peningkatan dilution rate (0.03 menjadi
0.05/jam) disertai peningkatan sintesis N mikroba rumen (7.5 menjadi 11.8 g/100 g
bahan kering terfermentasi dalam rumen) (Cole et al. 1976). Stern dan Hoover
(1979) melaporkan, bahwa pemberian monensin kepada ternak domba terjadi
penurunan dilution rate
dari 0.07 menjadi 0.04/jam disertai penurunan sintesis
mikroba dari 24.5 menjadi 20.2 g N/kg BO terfermentasi.
Infus saliva buatan
kedalam rumen telah meningkatkan dilution rate dari 0.03 menjadi 0.08/jam,
bersamaan terjadi peningkatan sintesis total AA per mol heksosa yang difermentasi
yakni 25.4 menjadi 29.8 gram. Selanjutnya dilaporkan, bahwa pemeliharaan ternak
domba dari teperatur udara 18 menjadi 21 oC adalah kurang efisien dibandingkan
dengan yang dipelihara dari temperatur -1 menjadi 1 oC, yaitu dalam sintesis N
mikroba (47.9 vs 54.9 g N/kg BO terfermentasi).
Faktor adanya hubungan yang positif antara dilution rate dan sintesis N
mikroba, adalah menurunnya autolysis bakteria berkurang, menurunnya konsumsi
bakteria oleh protozoa, perubahan struktur populasi mikroba yang dipicu oleh
perubahan substrat atau kemungkinan karena pencucian oleh organisma yang waktu
perkembangannya lambat.
Metabolisme Protein dalam Rumen
Estimasi metabolisme
protein yang akurat
dalam rumen adalah sangat
penting karena sebanyak 70% atau lebih asam amino yang diabsorbsi usus berasal
dari protein mikroba rumen (Gustafsson et al. 2006). Sistem evaluasi protein bahan
pakan terbaru yakni sistem metabolizable protein (MP), bahwa protein pakan terbagi
menjadi protein terdegradasi dalam rumen (rumen degradable protein/RDP) dan
yang tidak terdegradasi dalam rumen (rumen undegraded protein disingkat RUP).
Produk RDP (terutama N-protein) digunakan oleh mikroorganisma rumen untuk
sintesis N mikroba. Dengan demikian absorpsi asam amino di usus ternak ruminansia
berasal dari RUP dan dari protein mikroba rumen (Cottrill 1998; Taminga dan
28
Williams 1998; Gustafsson et al. 2006). RUP dibutuhkan dalam jumlah besar dari
protein tambahan (feed supplement) pada makanan ternak ruminansia berproduksi
tinggi (Stern et al. 2006).
Sementara sistem evaluasi protein dengan protein kasar (total crude protein) dan
digestible crude protein (DCP) keduanya mempunyai kelemahan terutama terhadap
perhitungan transaksi nitrogen dalam rumen (Cottrill 1998). Dibandingkan dengan
sistem DCP, sistem MP mepunyai korelasi lebih erat dengan produksi dan juga
adanya kemungkinan yang lebih besar untuk mengkombinasikan bahan pakan agar
meminimalis surplus protein terdegradsi dalam rumen (Bertilsson et al. 1991).
Metabolisma protein dalam rumen dapat dibagi menjadi 2 peristiwa yang
berbeda yaitu degradasi protein yang menyediakan sumber N untuk bakteria, dan
sintesis N mikroba (Baach et al. 2005). Selanjutnya dinyatakan metabolisme protein
dalam rumen ini adalah hasil aktifitas metabolisma daripada microorganisma rumen.
Tamminga (1979) menyatakan bahwa mekanisme pemecahan protein makanan
adalah sangat komplek dan belum dipahami secara menyeluruh. Degradasi protein
dalam rumen diawali menempelnya bakteria pada partikel makanan, diikuti oleh
aktifitas enzim protease mikroba (Brock et al. 1982). Sekitar 70-80% mikroba rumen
menempel pada partikel makanan dalam rumen (Craig et al. 1987), dan 30-50% nya
mempunyai aktivitas proteolitik (Prins et al. 1983). Sejumlah besar spesies mikroba
yang berbeda berkongsi menempel pada partikel makanan untuk bekerja secara
simbiosis mendegradasi dan memfermentasi nutrien termasuk protein yang
menghasilkan AA dan peptida, karena sejumlah ikatan pada protein menyebabkan
aktivitas yang sinergis dari pada protease yang berbeda diperlukan untuk medegradasi
protein yang lengkap (Wallace et al. 1997).
Peptida dan AA hasil dari aktifitas proteolitik ekstraseluler kemudian diangkut
kedalam sel mikroba. Selanjutnya peptida dapat didegradasi enzim peptidase menjadi
AA dan AA ini dapat bersatu kedalam protein mikroba atau dideaminasi menjadi
VFA, CO2, dan ammonia (Tamminga 1979). Nasib peptida dan AA dalam sel
mikroba bergantung padaketersediaan energi. Bila energi tersedia, AA akan
ditransaminasi atau digunakan langsung untuk sintesis N mikroba. Tetapi bila energi
29
Gambar 2 Proteolisis dalam rumen dan proses produk akhir fermentasi
(Bach et al. 2005)
terbatas, AA akan dideaminasi dan kerangka karbonnya difermentasi menjadi VFA
(Gambar 2) (Bach et al. 2005) . Sebagian mikroba kurang baik mekanisma pengangkutan AA dari sitoplasma ke lingkungan ekstra-selular dan AA yang berlebihan ini
harus diekresi dari sitoplasma berupa ammonia (Tamminga 1979).
Faktor yang mempengaruhi degradasi protein adalah natural dan solubilitas
protein makanan, laju makanan melalui rumen, level konsumsi makanan (Tamminga
1979).
Lebih lanjut Bach et al. (2005) menyatakan bahwa faktor yang sangat
berpengaruh terhadap degradasi protein adalah type protein, interaksi dengan nutrien
lain (terutama dengan karbohidrat dalam bahan pakan yang sama dan dalam isi
rumen), dominasi populasi mikroba yang bergantung padatipe ransum, laju makanan
rumen, dan pH rumen. Prolamin dan glutelin adalah protein yang tidak larut
(insoluble) dan lambat didegradasi, tetapi globulin adalah mudah larut (soluble) dan
cepat didegradasi (Romagnolo et al. 1994). Adanya ikatan disulfida dalam dan antara
ikatan protein dan ikatan-ikatan peptida yang spesifik menyebabkan resisten terhadap
degradasi mis. sebagian albumin adalah soluble tetapi mengandung ikatan disulfida
sehingga lambat didegradasi dalam rumen (Bach et al. 2005); peptida yang tersusun
30
dari Lys-Pro dihidrolisis dalam rumen 5x lebih lambat daripada peptida Lys-Ala, dan
peptida yang tersusun dari Pro-Met didegradasi 2.5x lebih lambat daripada peptida
Met-Ala (Yang dan Russell 1992).
Lana et al. (1998) melaporkan, bahwa bakteri rumen yang mendapat makanan
100% hijauan dan
pH rumen diturunkan dari 6.5 menjadi 5.7 menyebabkan
penurunan konsentrasi ammonia, sementara bakteri rumen pada sapi potong dengan
pakan 90% kosentrat mempunyai konsentrasi ammonia rendah dengan mengabaikan
pH. Assoumani et al. (1992) menyatakan, bahwa pati berperan terhadap degradasi
protein yakni dengan penambahan amilase telah meningkatkan degradasi protein.
Bach et al. (2005) menyatakan, bahwa protein tanaman banyak yang terikat pada
matrik serat yang perlu didegradasi terlebih dahulu sebelum protease mengakses
protein untuk didegradsi. Lebih lanjut menyatakan suatu hipotesis bahwa penurunan
bakteri selulolitik sebagai konsekuensi pH yang rendah menyebabkan penurunan
degradasi serat, menurunkan akses bakteri proteolitik terhadap protein yang tidak
langsung penurunan degradasi protein.
Degradasi protein berhubungan terbalik
dengan laju makanan melalui rumen (Orskov dan McDonald 1979).
Penyebab rendahnya energi yang tersedia didaerah tropis menurut Khampa dan
Wanapat (2007),
di daerah tropis umumnya ternak ruminansia diberi makanan
berupa hijauan berkualitas rendah, jerami tanaman pertanian, hasil ikutan (byproducts) industri yang pada dasarnya mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi,
karbohidrat terfermentasi yang rendah atau kualitas protein yang rendah.
Nitrogen yang Dibutuhkan Mikroba Rumen
Mikroba rumen memproduksi proteinnya karena perkembanganya saat
berlangsung
fermentasi karbohidrat (fibrous dan non-fibrous) dan menggunakan
RDP sebagai sumber nitrogen (Block 2006). Sebagian besar mikroba rumen
menggunakan nitrogen-ammonia (N-protein)
sebagai sumber N untuk sintesis
protein tubuhnya (Karsli dan Russell 2002; Bach et al. 2005; Fellner 2005). Agar
31
diperoleh efisiensi sintesis N mikroba yang maksimal dalam rumen, penyediaan AA,
peptide dan nucleotida (DNA dan RNA) diperlukan juga (Jones et al. 1998; SanchezPozo dan Gil 2002; Block 2006).
Mikroba yang mendegradasi structural carbohydrates (dinding sel) (selulolitik)
mempunyai kebutuhan hidup pokoknya rendah, tumbuh lambat, dan menggunakan
N-protein sebagai
mendegradasi
sumber
N
utamanya,
sedangkan
mikroorganisma
yang
non-structural carbohydrates (karbohidrat isi sel) (amilolitik)
mempunyai kebutuhan hidup pokok yang tinggi, tumbuh cepat, dan menggunakan Nprotein, peptida, dan AA sebagai sumber N (Russell et al. 1992). Sesuai menurut
Fellner (2005) bakteria yang memfermentasi non-structural carbohydrates (NSC)
menyukai asam amino dan peptida dan bakteri yang memfermentasi serat terutama
menyukai ammonia sebagai sumber nitrogen. Tetapi penambahan AA atau peptida
menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri selulolitik dan amilolitik (Maeng dan
Baldwin 1976; Argyle dan Baldwin 1989). Hal yang sama bahwa kecernaan serat
oleh bakteri selulolitik meningkat dengan penambahan AA (Griswold et al. 1996;
Carro dan Miller 1999), dan penambahan peptida (Crus Soto et al. 1994). Atasoglu
et al. ( 2001) melaporkan bahwa bakteri selulolitik lebih suka mengikat N-AA
daripada N-peptida ke dalam selnya, tetapi pada konsentrasi AA dan peptida tertentu
dalam rumen, sekitar 80% N selnya berasal dari N-protein.
Peningkatan pertumbuhan mikroba dengan penambahan AA dan atau peptida
dapat disebabkan bergabungnya secara langsung AA kedalam protein mikroba dan
atau disebabkan penyediaan kerangka carbon yang meningkat (hasil deaminasi AA)
yang mana dapat digunakan untuk produksi energi atau sebagai kerangka karbon
untuk AA mikroba yang baru (Bryant 1973). Atasoglu et al. (2004) menduga, bahwa
beberapa AA diantaranya lysin dapat membatasi pertumbuhan bakteri rumen.
Demeyer dan Fieves (2004) menduga bahwa konsentrasi AA dan peptida yang rendah
berpotensi membatasi pertumbuhan mikroba bila pemberian makan yang kaya pati
dengan partikel yang halus, yaitu menyebabkan pH rumen yang rendah.
Atasoglu et al. (1999) melaporkan bahwa proporsi N bakteri yang berasal dari
N-protein menurun karena nisbah N-protein : total N yang tersedia menurun.
32
Sementara pada penelitian lain melaporkan bahwa adanya hubungan yang negatif
antara konsentrasi N-protein dan persentase protein mikroba yang berasal dari NPN
(Siddon et al. 1985; Firkins et al. 1987). Bach et al. (2005) memperkirakan bahwa
akumulasi N-protein dalam rumen adalah hasil penggunaan pilihan peptida atau AA
oleh mikroba, baik sebagai sumber N atau sebagai sumber energi. Selanjutnya
dinyatakan bahwa proposi N bakteria yang berasal dari N-protein adalah bukan nilai
tetap. Pertumbuhan sel mikroba rumen memerlukan nucleotida baik yang disintesis
atau yang didapat (Block 2006). Nucleotida disintesis dari AA dapat digunakan
untuk pertumbuhan mikroba dengan mengonsumsi pada porsi yang cukup energi dan
nitrogen yang tersedia (Sanchez-Pozo dan Gil 2002).
Pemberian urea sebagai sumber N pada makanan yang semi bebas protein pada
domba meningkatkan konsentrasi N dari 0.95 menjadi 1.82% dan meningkatkan
produksi protein mikroba, tetapi tidak ada peningkatan sintesis N mikroba bila
konsentrasi N makanan meningkat sampai 3.2% (Hume et al. 1970). Kemungkinan
mikroba rumen memperoleh N melalui pengikatan N dalam bentuk gas.
Pendikteksian fiksasi N secara in vivo dapat dilakukan dengan menggunakan isotop
15
N (Moisio et al. 1969). Dengan menggunakan acetylene-reduction screening test,
Hardy et al. (1968) mengestimasi bahwa seekor sapi (steer) dapat mengikat 10 mg N
per hari.
Kebutuhan Protein dan Energi
Protein kasar, nonstructural dan structural carbohydrates adalah komponen
makanan yang potensial dapat dimanipulasi untuk mengoptimalkan fermentasi dalam
rumen dan untuk meningkatkan aliran AA ke usus halus (Clark et al. 1992).
Selanjutnya dinyatakan, ketersediaan energi dan N adalah menentukan sekali
terhadap jumlah protein mikroba yang disintesis dalam rumen. Manipulasi protein
yang tersedia dalam rumen kelihatannya sangat menguntungkan apabila sapi dalam
keadaan keseimbangan energi dan cukup lemak tubuh yang tersedia untuk kebutuhan
energi (Nocek dan Russell 1988).
Hume et al. (1970) menyatakan, bahwa sintesis N mikroba terhambat bila konsentrasi protein kasar (PK) dalam rumen dibawah 11%. Satter dan Roffler (1975)
33
mengindikasikan, bahwa konsentrasi PK makanan dimana pertumbuhan mikroba
yang maksimum terjadi pada ternak sapi sekitar dua persen lebih tinggi dari ternak
domba yang diberi makan yang hampir sama.
Diperkirakan bahwa sintesis N
mikroba akan mencapai puncak bila makan sapi mengandung sekitar 12-13% PK,
kisaran ini tidak baku tetapi akan bervariasi menurut kandungan energi terfermentasi
makanan, jumlah NPN makanan, tingkat degradasi protein makanan, efisiensi
pertumbuhan mikroba rumen, dan input N saliva ke dalam rumen (Satter et al. 1977).
Selanjutnya dinyatakan bahwa penurunan protein yang tersedia dalam rumen
meningkatkan produksi susu bila konsumsi PK adalah marginal (<14% CP), tetapi
tidak ada respon bila PK lebih dari 16%.
Setelah dicapai kandungan PK optimal dalam ransum, peningkatan lebih lanjut
konsentrasi PK ransum tidak akan meningkatkan sintesis N mikroba tetapi dapat
meningkatkan total asam amino ke usus halus karena lolos dari degradasi protein
dalam rumen (Stern et al. 1978). Gustafsson et al. (2006) melaporkan, bahwa surplus
PK dalam ransum sapi perah dapat membebani lingkungan dan menurunkan
penampilan reproduksi (fertilitas), dan kerusakan akibat kelebihan N ini dapat
dikurangi melalui peningkatan pengikatan N yang terdegradasi dalam rumen.
Selanjutnya
dinyatakan,
bahwa
protein
yang
berlebihan
mengakibatkan meningkatnya biaya energi secara khusus yakni
dalam
ransum
kelebihan N
dikonversi menjadi urea dan diekresi dalam urin keduanya membutuhkan energi.
Keuntungan yang utama dalam sistim formulasi ransum yang terbaru adalah
mengindentifikasi makanan dimana sapi perah akan merespon suplemen rumen
undegraded protein (RUP) (Broderick 2006). Selanjutnya dilaporkan, bahwa ransum
di daerah Midwestern sering mempunyai kandungan PK yang tinggi, NPN silase
alfalfa yang tinggi, mengupayakan bypass protein yang tinggi dengan cara perlakuan
pemanasan terhadap SBM atau soybeans, atau melalui proses manufaktur yang
khusus yakni penurunan kandungan protein yang mudah larut pada tepung ikan.
Gustafsson et al. (2006) melaporkan, bahwa peningkatan RUP dari 5 % menjadi 7%
dari BK ransum dengan kadar PK ransum 18% untuk sapi pada awal laktasi adalah
menguntungkan untuk produksi susu.
34
Pelepasan energi (ATP) hasil fermentasi terutama karbohidrat oleh mikroba
digunakan untuk memproduksi sel baru, enzim dsb. Tingkat energi yang dihasilkan
fermentasi tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, karbohidrat yang berbeda
akan berbeda pula tingkkat dan laju fermentasinya (Gustafsson et al. 2006). Clark et
al. (1992) melaporkan, bahwa campuran structural dan nonstructural carbohydrates
secara normal adalah sumber energi yang terbaik untuk pertumbuhan bakteri karena
pada proses fermentasi karbohidrat menghasilkan lebih banyak energi per satuan
berat daripada protein. Sedangkan energi yang tersedia dalam makanan berupa lemak
dapat dikonsumsi oleh bakteri rumen, tetapi tidak menyediaan energi untuk sintesis
protein (Van Soest 1982). Asam lemak bebas yang tinggi yang dihasilkan ketika
hidrolisis lemak akan menghambat pencernaan serat, kemungkinan melalui coating
(menyelimuti) partikel makanan dan preventing baterial kontak (Orskov dan Ryle
1990).
Mikroba rumen yang memfermentasi non-fiber carbohydrate (NFC) (terutama
gula-gula yang mudah larut dan pektin) dilaporkan mempunyai kontribusi yang besar
terhadap sintesis N mikroba per satuan karbohidrat terfermentasi (Russell et al.
1992). Chamberlain et al. (1993) mendapatkan, bahwa suplemen gula lebih efektif
dibandingkan pati pada ransum silase rumput untuk meningkatkan ekskresi derivat
purin dalam urin ternak domba, efekifitas karbohidrat secara berurutan
adalah
sukrosa > laktosa > fruktosa > xylosa > pati gandum. Trevaskis et al. (2001)
melaporkan, bahwa infus sukrosa ke dalam rumen adalah efektif untuk mestimulir
pembentukan protein mikroba yaitu disinkronkan dengan konsentrasi amonia yang
mencapai puncak pada waktu 1-2 jam setelah makan. Penurunan ukuran partikel
makanan butiran meningkatkan pembentukan protein mikroba, bersamaan dengan itu
pH rumen tidak menurun (Broderick 2006).
Hasil penelitian Shabi et al. (1998), ketersediaan energi dalam rumen (BO yang
dapat didegradasi dala rumen) adalah faktor yang sangat membatasi terhadap
pemanfaatan N. Karsli dan Russell (2002) melaporkan, bahwa bila penyediaan N
tidak terbatas pertimbangan selanjutnya pada produksi protein mikroba adalah
tergantung ketersediaan energi. Selanjutnya dilaporkan, bahwa penambahan karbo-
35
hidrat yang mudah terfermentasi (readily fermentable carbohydrates) ke dalam
rumen akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, tetapi penambahan energi melebihi
tingkat optimal tidak lagi meningkatkan pertumbuhan mikroba. Penurunan aliran
protein mikroba rumen ke dalam usus halus akibat ransum mengandung konsentrat
lebih dari 70% dan hal ini dapat terjadi karena laju degradasi yang cepat dari pada
karbohidrat nonstruktural, selanjutnya terjadi fermentasi uncoupled.
Uncoupled fermentation terjadi karena laju pelepasan energi lebih cepat
dibandingkan dengan laju pengikatan dan pemanfaatan oleh bakteri rumen (Karsli
dan Russell 2001). Leng (1997) menyatakan, bahwa uncoupling
adalah reaksi
pelepasan energi dalam sel mikroba yang dapat juga menyebabkan pelepasan energi
ATP berupa panas tanpa adanya pembelahan sel dan pertumbuhan, hal ini terjadi bila
defisiensi mineral, amonia atau nutrien lain yang esensial untuk pertumbuhan
mikroba dan juga bila sel mikroba lisis dalam rumen.
Makanan yang tinggi total digestible nutrients (TDN) pada umumnya lebih
terfermentasi daripada yang rendah TDN, oleh karena itu banyak ammonia (NPN)
dapat dimanfaatkan dengan makanan yang tinggi TDNnya (Satter dan Roffler 1975).
Dalam hal ini dinyatakan bahwa peningkatan TDN merupakan “opens the gates” dan
memudahkan bayak ammonia yang digunakan untuk menunjang perkembangan
mikroba lebih tinggi. Tetapi yang tidak menguntungkan penggunaan TDN sebagai
indikator fermentabilitas yang jelek adalah bila ransum mengandung lemak atau
minyak yang tinggi .
Efisiensi Sintesis N Mikroba Rumen
Efisiensi
sintesis
mikroba
didefinisikan
sebagai
gram
protein
kasar
mikroba/100 gram BO terfermentasi dalam rumen (Stern dan Hoover 1979; Karsli
dan Russell
2001). Van Soest (1982) mendefinisikan efisiensi microba adalah
sebagai proporsi energi substrat yang terikat dalam sel mikroba, dengan demikian
berhubungan terbalik dengan produksi VFA. Sementara menurut Block (2006)
efisiensi mikroba dihitung sebagai jumlah gram N mikroba yang dihasilkan per kg
BO terfermentasi dalam rumen, dengan kata lain seberapa banyak mikroba
36
menggunakan BO untuk membuat protein. Penentuan efisiensi mikroba penting
karena efisiensi ini adalah bagian daripada kalkulasi produksi mikroba (mirobial
yield) dan penentuan produksi mikroba ini penting karena merupakan suatu indeks
sejumlah protein mikroba yang tersedia bagi sapi setiap hari (Fellner 2005)
Faktor yang mempengaruhi sintesis N mikroba rumen adalah sumber dan
konsentarsi nitrogen dan karbohidrat, dilution rate rumen, sulfur makanan, dan
frekuensi pemberian makan (Stern dan Hoover 1979); konsumsi bahan kering (BK),
nisbah hijauan : konsentrat dalam ransum, laju degradasi protein dan karbohidrat,
sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi, laju pakan, dan faktor lain yakni
vitamin dan mineral (Karsli dan Russell 2001). Konsumsi, rumen turnover dan
efisiensi mikroba adalah berkorelasi positif.
Peningkatan konsumsi akan
meningkatkan rumen turnover selanjutnya menyebabkan peningkatan pertumbuhan
mikroba (Fellner 2005).
Peningkatan efisiensi sintesis N mikroba dicapai dengan peningkatan konsumsi
BK dan laju pakan, laju degradasi sumber protein dan karbohidrat yang sama-sama
lambat dan sebaliknya, sinkronisasi laju penyediaan N-protein dan karbohidrat yang
sama-sama lambat atau yang sama-sama cepat, campuran hijauan dan konsentrat
(Karsli dan Russell
2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa efisiensi sintesis N
mikroba yang maksimal diperoleh
untuk sumber protein yang RDP nya tinggi
dibandingkan yang rendah, adanya sumber asam amino atau peptida selain pemakaian
NPN (urea) dalam ransum, dan pencampuran sumber karbohidrat yang struktural dan
non-struktural karbohidrat. Blumel et al. (2003) melaporkan, bahwa sumber dan
karakteristik fermentasi protein dan karbohidrat dapat mempengaruhi efisiensi
sintesis N mikroba rumen, dengan demikian menolak anggapan bahwa efisiensi
sintesis N mikroba rumen biasanya konstan.
Hasil penelitian Warly et al. (1998) menunjukkan bahwa penurunan nisbah
jerami padi amoniasi : konsentrat, dari 80 : 20 sampai 20 : 80 (% BK ransum)
mempunyai pengaruh yang tidak nyata (P > 0.05) terhadap efisiensi sintesis N
mikroba rumen yakni berkisar 9.55 – 10.32 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen,
walaupun cenderung meningkat efisiensi tersebut dengan penurunan nisbah tersebut.
37
Karsli dan Russell (2001) melaporkan, bahwa rata-rata efisiensi sintesis N mikroba
adalah 13.0 dengan kisaran 7.5 – 24.3 untuk makanan dasar hijauan (hasil 34 studi),
17.6 dengan kisaran 9.1 – 27.9 untuk makanan campuran hijauan dan konsentrat
(hasil 36 studi), dan 13.2 denga kisaran 7.0 -23.7 g protein mikroba/100 g BO
terfermentasi dalam rumen untuk makanan konsentrat (hasil 14 studi). Nocek dan
Russell (1988) melaporkan, bahwa makanan hijauan (roughage) menghasilkan
sintesis 45 g mikroba/kg karbohidrat tercerna dan
hasilnya lebih rendah (29 g
mikroba/kg karbohidrat tercerna) bila digunakan makanan konsentrat.
Semakin tinggi efisiensi sintesis N mikroba semakin besar kontribusi protein
mikroba tersebut terhadap kebutuhan protein total ternak sapi, kontribusinya lebih
tinggi pada sapi potong dibandingkan sapi perah
karena kemungkinan
kurang
meningkatnya konsumsi BK pada sapi potong sebagai akibat ADG (average daily
gain) yang meningkat (Stern et al. 2006). Selanjutnya dinyatakan, bahwa efisiensi
sintesis N mikroba rumen pada sapi potong lebih rendah daripada sapi perah
kemungkinan besar disebabkan populasi bakteria amilolitik yang tinggi.
Penambahan AA branced-chain (rantai cabang) akan difermentasi menjadi FVA
rantai cabang, dan penambahan peptida ke dalam rumen telah meningkatkan
kecernaan serat , produksi protein mikroba , dan efisiensi pertumbuhan mikroba
(Russell dan Sniffen 1984; Thomsen 1985).
Sinkronisasi Pelepasan N-protein dan Energi Makanan dalam Rumen
Dewasa ini sistem yang digunakan untuk formulasi ransum untuk ternak
ruminansia berdasarkan kepada penyediaan RDP dan RUP serta berdasarkan tingkat
fermentasi BO atau ME terfermentasi dalam rumen (ARC 1984). Bila laju degradasi
protein melebihi laju fermentasi karbohidrat akan banyak N yang terbuang sebagai
ammonia (N-protein), dan sebaliknya bila laju fermentasi karbohidrat melebihi laju
degradasi protein dapat menurunkan sintesis N mikroba rumen (Nocek dan Russell
1988). Sinkronisasi penyediaan zat makan yang tersedia dalam rumen adalah penting
untuk memacu pertumbuhan mikroba dan untuk memaksimalkan pengikatan RDP
kedalam sel mikroba (Valkeners 2004; Stern et al. 2006)
38
Sinclair et al. (1993) menyatakan bahwa
formulasi ransum menggunakan
koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan yaitu membuat ransum yang sinkron
dalam hal pelepasan N-protein dan energi per jam (hourly ) untuk fraksi mikroba
dalam rumen,
dimana nisbah yang optimal
degradasi protein dan BO yang
terfermentasi dalam rumen adalah 25 g N-protein/kg BO (Czerkawski 1986 diacu
Sinclair et al. (1993); atau 32 g N-protein/kg karbohidrat (Sinclair et al. 1991).
Selanjutnya dinyatakan, bahwa ransum yang sinkron tersebut bertujuan untuk
memaksimalkan sintesis N mikroba dari RDP yang tersedia, menurunkan kebutuhan
akan sumber RUP yang mahal harganya dan juga menurunkan ekskresi N-protein
urin. Ekresi N-protein melalui urin sebagai akibat kelebihan protein ransum memerlukan energi (energy cost) untuk pembentukan urea sebelum dibuang melalui urin
(Gustafsson et al. 2006).
Untuk memperdalam konsep sinkronisasi, mikroba rumen membutuhkan sumber
N-protein, energi, mineral, vitamin dan faktor-faktor pertumbuhan untuk pertumbuhannya. Tetapi N-protein dan energi dibutuhkan dalam jumlah yang besar dan harus
tersedia secara simultan untuk merangsang pertumbuhan yang cepat (Huber dan
Herrera-Saldana 1994). Kebutuhan terhadap kedua komponen (energi dan N-protein)
tersebut pada aktifitas mikroba rumen tercermin adanya korelasi parsial yang erat (r
= 0.95, P < 0.01) antara degradasi protein dan BO ransum dalam rumen (Hermon
dan Warly, 2001); demikian juga pada silase rumput, yaitu antara degradasi protein
dan bahan kering serta degradasi serat kasar dalam rumen (0.69 vs 0.42 ; P < 0.01)
(Hermon 1999).
Sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi dalam rumen merupakan teknik
yang disarankan untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan bakteri dan
meningkatkan efisiensi penggunaan zat pakan (Huber dan Herrera-Saldana 1994).
Selanjutnya dinyatakan bahwa sinkronisasi dapat dikaitkan dengan “assosiative
effect” dalam memanfaatkan unsur A dan B dalam rumen secara sederhana karena
bakteri mendapat kebutuhan zat pakan (N-protein dan energi) pada waktu yang bersamaan dalam konsentrasi yang diperlukan dan kejadian sinkronisasi ini merupakan
assosiative effect yang positif. Bila terjadi perbedaan pelapasan zat pakan A dan B
39
dengan kebutuhan untuk pertumbuhan mikroba, sinkronisasi tidak terjadi dan
merupakan suatu assosiative effect yang negatif.
Richardson et al. (2003) melaporkan bahwa dewasa ini sistem formulasi ransum
berdasarkan sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi dalam rumen per jam
menunjukan adanya keuntungan terhadap peningkatan produksi dan efisiensi mikroba rumen serta terhadap produksi ternak, tetapi hasil peneliti lain menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan mikroba atau sangat dipengaruhi
oleh energi ransum daripada sinkronisasi. Hasil penelitian Richardson et al. (2003)
menunjukkan bahwa baik ransum sinkron maupun sumber energi berpengaruh tidak
nyata terhadap laju pertumbuhan kambing. Walaupun demikian ransum tidak sinkron
menyebabkan efisiensi penggunaan energi ransum rendah, dan upaya formulasi
ransum yang sinkron penyediaan zat pakan dalam rumen dapat meningkatkan
efisiensi energi pada kambing muda.
Pengaruh ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk mikroba
rumen terhadap penampilan ternak adalah tidak konsisten (Bach et al. 2005).
Beberapa kajian in vivo (Casper dan Schingoethe 1989; Herrera-Saldana et al. 1990;
Matras et al. 1991) menunjukkan respon yang positif terhadap penampilan ternak
pada ransum yang sinkron, sementara penelitian batch culture (Henning et al. 1991;
Newbold dan Rust 1992) menunjukkan tidak ada pengaruhnya. Interpretasi kedua
macam kajian tersebut sulit dilakukan karena laju penyediaan energi dan protein
sering kali dikacaukan dengan total penyediaan energi dan protein (Bach et al. 2005).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsep sinkronisasi protein dan energi berbasis
teoritis semata, hal ini
kemungkinan pada ekosistim yang komplek daripada
campuran mikroba rumen ketika disinkronkan penyediaan nutrien
untuk sub-
populasi yang spesifik tetapi kemungkinan tidak sinkron untuk populasi lainnya.
Dengan demikian rataan efisiensi sintesis mikroba adalah tetap stabil, dan juga
recycling N ke dalam rumen dapat menyebabkan stabilitas pertumbuhan mikroba
walaupun penyediaan N tidak sinkron (Bach et al. 2005).
Bahan pakan yang
terfermentasinya dalam jumlah banyak dapat menyebabkan konsentrasi metabolit
berfluktuasi sekali
meskipun adanya sinkronisasi penyediaan BO dan PK,
40
selanjutnya mengakibatkan pH lebih rendah (Satter dan Baumgardt 1962) dan sintesis
mikroba menurun (Robinson 1989). Hasil penelitian Biricik et al. (2006), sinkronisasi
degradasi pati dan protein dalam rumen tidak berpengaruh terhadap konsumsi dan
daya cerna nutrien dalam rumen dan seluruh saluran pencernaan pada ternak domba.
Broderick (2006) melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan sedikit atau tidak
ada kenutungan produksi hasil manipulasi sinkronisasi degradasi protein dan fermentasi energi dalam rumen, tetapi penelitian tersebut tidak mencoba untuk meminimalkkan konsumsi PK. Selanjutnya dinyatakan, bahwa pemberian makan yang
rendah PK akan membatasi RDP untuk pembentukan protein mikroba dan dapat
diupayakan melalui sinkronisasi fermentasi energi dengan penyediaan N dalam
rumen.
Retensi Nitrogen
Retensi nitrogen merupakan salah satu metode untuk menilai suatu kualitas
protein ransum dengan jalan mengukur konsumsi nitrogen dan pengeluaran nitrogen
ekskreta, sehingga dapat diketahui banyaknya nitrogen yang tertinggal dalam tubuh
(Lioyd et al. 1978).
Pengukuran neraca nitrogen menurut Tillman dkk. (1991)
dilakukan dengan menghitung selisih antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dengan
jumlah nitrogen yang keluar melalui feses dan urin, sehingga dapat diketahui jumlah
nitrogen yang dapat tertinggal dalam tubuh. Selanjutnya dinyatakan, bahwa neraca
nitrogen dapat dirumuskan dengan persamaan :
B = I – (U + F) , dimana :
B = neraca nitrogen
I = konsumsi nitrogen
U = nitrogen urin
F = nitrogen feses
Neraca nitrogen mempunyai nilai positif, nol , dan negatif (Maynard et al.
1969). Selanjutnya dinyatakan bahwa bila neraca nitrogen bernilai positif, sistem
kehidupan mengalami pertumbuhan jaringan baru atau peletakan protein di dalam
jaringan. Bila bernilai sama dengan nol, maka sistem dalam keadaan seimbang
41
artinya nitrogen yang dikonsumsi hanya cukup untuk kebutuhan hidup pokok saja.
Tetapi bila neraca nitrogen bernilai negatif, ini berarti terjadi suatu kehilangan
nitrogen jaringan melalui metabolisme sebagai akibat nitrogen makanan yang
dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak yang bersangkutan.
Menurut Orskov (1982) faktor-faktor yang mempengaruhi deposit protein pada
bobot hidup yang relatif sama, adalah 1) Genotype; yaitu laju deposit protein pada
sapi dengan bobot hidup relatif sama akan berbeda antara bangsa sapi ukuran kecil
dan ukuran besar; 2) Jenis kelamin;
pertambahan bobot hidup pada ternak
ruminansia dengan bobot dan genotype yang relatif sama, pada sapi betina lebih
banyak lemak dan sedikit protein dibandingkan sapi jantan; 3) Pengaruh nutrisi
sebelumnya; pada bangsa dan jenis kelamin yang sama kebutuhan protein dikaitkan
dengan bobot hidup dapat bervariasi sekali akibat nutrisi sebelumnya apakah cukup
atau kekurangan protein.; 4) Level nutrisi; peningkatan konsumsi energi akan
meningkatkan retensi protein sampai suplai protein menjadi pembatasnya.
Peningkatan retensi protein ini bergantung padafase dewasa ternak, jenis kelamin,
dan genotype.
Bani et al. (1991) melaporkan bahwa level urea darah (blood urea) pada
ternak ruminansia umumnya diduga sebagai ekspresi dari amonia rumen, dengan
demikian urea darah yang sangat tinggi dapat merupakan suatu indeks kelebihan
protein dan resiko yang potensial terhadap kesuburan yang rendah (low fertility).
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitiannya dinyatakan bahwa penyerapan amonia
rumen dan glukoneogenesis dari absorbsi asam-asam
amino menyebabkan kan-
dungan urea darah bervariasi, tetapi glukoneogenesis nampaknya sangat berperan
terutama ketika pemberian protein relatif tinggi. Kandungan Blood urea nitrogen
(BUN) atau amonia plasma yang tinggi kemungkinan bertalian dengan perubahan
fisiologi ovary dan uterus yang mengakibatkan tidak cukupnya luteal dan kematian
embrio (Sinclair et al. 2000).
Metode untuk evaluasi kualitas protein selain pengukuran retensi N diantaranya
adalah PER, yaitu didefinisikan sebagai pertambahan bobot badan per gram protein
yang dikonsumsi (Fuller 2000).
42
Pertambahan Bobot Badan (PBB)
Ukuran komersil untuk pertumbuhan ternak adalah pertambahan bobot badan,
yakni sebagai penimbunan energi dalam karkas. Kuantitas penimbunan energi
dalam satuan berat ini bergantung pada komposisi kimia pertambahan bobot badan,
yakni air, tulang, protein (daging), dan lemak.
Energi yang terkandung pada
pertambahan bobot badan hampir sepenuhnya diwujudkan oleh protein dan lemak,
dengan demikian komposisi pertambahan bobot badan tidak konstan sepanjang fase
pertumbuhan (Davies 1982).
Kenaikan berat badan dengan mudah dilakukan dengan penimbangan yang
berulang-ulang untuk menentukan pertambahan bobot badan tiap hari, tiap minggu,
atau tiap waktu tertentu lainnya (Tillman dkk. 1991). Maynard et al. (1969)
menyatakan bahwa semakin baik kualitas makanan, semakin efisien pembentukan
energi dan semakin cepat proses penambahan bobot badan. Selanjutnya dinyatakan
bahwa nutrien utama yang dibutuhkan ternak adalah energi dan protein, kelebihan
energi dan protein dari kebutuhan hidup pokok digunakan untuk pertumbuhan atau
pertambahan bobot badan.
Demikian pula menurut Van Soest (1982) bahwa
meningkatnya konsumsi protein dan energi akan meningkatkan pertambahan bobot
badan, dan tidak seluruh energi yang tersedia dalam makanan dapat dimanfaatkan
oleh ternak karena sangat erat hubungannya dengan kapasitas dan kemampuan alat
pencernaan terhadap kualitas bahan makanan.
Tillman dkk. (1991) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan adalah makanan, konsumsi pakan, total protein yang dikonsumsi tiap
hari, jenis atau bangsa ternak dan manajemen ternak. Menurut Davies (1982)
umumnya pertambahan bobot badan pada ternak
muda mempunyai kandungan
energi yang rendah karena mengandung air dan tulang yang tinggi dengan sedikit
lemak, sedangkan pertambahan bobot badan ternak dewasa sangat tinggi kandungan
energi yang direfleksikan dengan proporsi lemak yang tinggi.
Kebutuhan Energi dan Protein Ternak Sapi
Ternak menggunakan makanan untuk hidup pokok maupun untuk produksi.
Kebutuhan untuk hidup pokok adalah nutrien yang dibutuhkan oleh ternak untuk
43
mempertahankan kesehatan tubuh dan untuk memelihara temperatur tubuhnya tanpa
penambahan atau kehilangan bobot badan, sementara kebutuhan untuk produksi
adalah nutrien yang dibutuhkan ternak selain untuk hidup pokok juga untuk proses
produksi diantaranya pertumbuhan, penggemukan, dan pembentukan air susu (Nelson
1979). Selanjutnya dinyatakan bahwa dua nutrien utama untuk kedua hal tersebut,
yaitu suplai energi dan prortein. Nutrien yang dibutukan ternak adalah energi, protein,
mineral, dan vitamin (Davies 1982).
Kebutuhan energi untuk hidup pokok bergantung pada ukuran atau bobot
tubuh, bangsa sapi, temperatur udara dan aktifitas. Kebutuhan ini erat hubungannya
dengan fungsi bobot tubuh atau dikenal bobot metabolis, yakni W0,73. Kebutuhan
energi untuk hidup pokok di daerah tropis (temperatur udara panas) dan yang
dikandangkan adalah lebih rendah dibandingkan di daerah temperate (udara dingin)
dan yang tidak dikandangkan (Davies 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa jumlah
protein yang dibutuhkan bergantung padakecernaannya dan efisiensi penggunaannya
dalam tubuh; pada ternak ruminansia, proporsi rumen degradable protein (RDP) dan
rumen undegradable protein (RUP) adalah penting ketika laju pertambahan bobot
badan yang cepat.
Kebutuhan energi didasarkan kepada bobot tubuh, pertambahan bobot badan
(PBB), jenis kelamin dan kondisi tubuh. Sapi tipe besar atau mempunyai PBB yang
tinggi atau sapi jantan kebutuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan sapi tipe kecil,
PBB yang rendah, sapi betina pada periode yang sama
(NRC 1984).
Laju
pertumbuhan terutama ditentukan oleh konsumsi energi, pada laju pertumbuhan
tersebut dibutuhkan berbagai asam amino untuk berlangsungnya sintesis protein
jaringan yang baru (Davies 1982).
Konsumsi energi besarnya sebanding dengan konsumsi bahan kering ransum,
dengan demikian kosumsinya dipengaruhi oleh hal yang sama terhadap konsumsi
bahan kering, yaitu bervariasi antara/dalam bangsa sapi, periode/bobot badan, daya
cerna bahan kering, nisbah konsentrat dan hijauan, pemrosesan pakan, kandungan
air, dan suhu udara (NRC 1987).
Church dan Pond (1982) melaporkan bahwa
konsumsi energi dibatasi oleh kepadatan kalori (caloric density) yang tinggi,
44
keambaan (bulk density yaitu berat/satuan volume) yang rendah, lemak yang tinggi.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsentrasi energi yang tinggi menurunkan konsumsi
makanan dan konsumsi energi, kemungkinan disebabkan fermentasi dalam rumen
tidak normal atau hambatan cita rasa (appetite) oleh faktor kimiawi yang
dihasilkannya atau yang ada dalam saluran pencernaan.
Peningkatan konsumsi ransum sebagai resultan dari kecernaan dan passage
rate akan meningkatkan pula ketersediaan nutrien (terutama protein dan energi)
untuk proses produksi ternak. Faktor yang sangat penting mempengaruhi produksi
ternak adalah total nutrien diserap. Dengan demikian konsumsi dan daya cerna adalah
parameter kunci dalam system efaluasi makanan, diantara keduanya konsumsi sangat
penting karena sangat berbeda antara type makanan (Poppi et al. 2000). Selanjutnya
dinyatakan, bahwa ada hubungan yang erat antara konsumsi dan daya cerna walaupun
secara keseluruhan tidak selalu ada hubungan. Hubungan antara konsumsi dan daya
cerna ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bila kecernaan zat makanan tinggi akan
cepat laju makan selanjutnya akan cepat pula pengosongan perut dan gilirannya akan
cepat mengkonsumsi makanan yang mengandung nutrien tersebut. Konsumsi diregulasi oleh laju pengosongan digesta dari rumen oleh proses pencernaan dan proses
pengaliran (passage).
Protein digunakan dalam tubuh ternak terutama untuk unsur pembangun dan
pengatur tubuh (prekursor enzim dan hormon), sehingga kebutuhannya lebih besar
untuk sapi muda dari pada sapi yang telah mencapai dewasa tubuh, untuk sapi yang
mepunyai pertambahan bobot badan yang tinggi daripada yang rendah, untuk sapi
type besar daripada type kecil (NRC 1984)
Varhegyi and Varhegyi (1991) melaporkan bahwa konsumsi energi berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi jantan dibandingkan dengan
protein, suplai protein yang tinggi menghasilkan pertambahan bobot badan sangat
nyata bila konsumsi energi yang tinggi. Selanjutnya dinyatakan bahwa peningkatan
level protein meningkatkan konsumsi makanan, dan suplai protein yang rendah
berpengaruh negatif terhadap efisiensi penggunaan makanan.
45
Sapi Pesisir di Sumatera Barat
Di Sumatera Barat terutama di Kabupaten Pesisir Selatan terdapat sapi lokal
yang disebut masyarakat sebagai sapi Pesisir (Sarbaini 2004). Menurut Merkens
(1926) yang diacu Sarbaini (2004),
bahwa di Padang dan dataran tinggi sekitarnya
tedapat sapi dengan ciri-ciri : pejantannya memiliki kepala pendek; bertanduk pendek
dan mengarah ke luar; lehernya lebar, kokoh dan pendek. Punuknya cukup berkembang, daerah pinggulnya pendek dan oval. Bagian depan badannya lebih ringan
Gambar 3 Sapi Pesisir betina berfistula rumen
dibandingkan bagian belakangnya, dan kakinya relatif pendek. Pada sapi betina
kepalanya lebih panjang dan kecil, pundak dan dadanya kurang berkembang,
selangkangnya miring ke belakang, pendek dan kecil. Warnanya coklat muda sampai
coklat tua, atau sampai hitam. Sekitar mata, mulut dan sebelah dalam kaki-kakinya,
Tabel 2 Rataan bobot badan (kg) sapi Pesisir Sumatera Barat
Umur (th)
0.5 – 1.0
1.0 – 2.0
2.0 – 2.5
3.0 – 3.5
4.0 – 6.0
Sumber : Sarbaini (2004)
Sapi jantan
88.91
131.95
149.22
168.87
186.10
Sapi betina
84.81
119.88
142.16
163.87
174.80
46
perut bagian bawah berwarna lebih muda. Tinggi pundak pada sapi jantan berkisar 1
– 1.26 m (rata-rata 1.15 m) dan pada sapi betina sekitar 1.05 m.
Sejak umur muda sampai dewasa, sapi jantan mempunyai bobot badan yang lebih berat dibandingkan sapi betina (Tabel 2). Berdasarkan bobot badan pada setiap
periode umur tersebut dapat ditentukan rataan pertambahan bobot badan per hari
(PBB), yaitu berturut-turut untuk sapi jantan dan betina adalah 72.3 dan 73.4 g/ekor
/hari. Apabila sampai umur 2 tahun, maka pertambahan bobot badan sapi jantan dan
betina berturut-turut sebesar 119.6 dan 97.4 g/ekor/hari.
Download