18 PENDAHULUAN Latar Belakang Berbeda dengan ternak berlambung tunggal (hewan monogastrik), sumber energi utama dan protein bagi ternak ruminansia berturut-turut berasal dari asam-asam lemak terbang (volatile fatty acids atau disingkat VFA) dan protein yang berasal dari protein mikroba rumen dan protein pakan yang lolos degradasi mikroba rumen (bypass protein) atau RUP (rumen undegraded protein). Peran mikroba rumen sangat penting yakni selain sebagai penyedia protein (protein mikroba) juga sebagai penye-dia energi utama bagi ternak ruminansia berupa VFA terutama hasil fermentasi kar-bohidrat, khususnya serat kasar yang tidak dapat dicerna ternak ruminansia. Pada fer-mentasi karbohidrat atau bahan organik (BO) pakan akan dilepaskan energi dalam bentuk ATP dan ATP ini oleh mikroba rumen digunakan untuk membentuk protein mikroba dengan menggunakan N-protein yang tersedia terutama dalam bentuk N-protein hasil degradasi protein pakan (rumen degradable protein/RDP) dan atau dari urea saliva di dalam rumen. Sebagai kerangka karbonnya berupa asam alfa keto hasil fermentasi karbohidrat, sementara kerangka karbon bercabang adalah hasil degradasi protein pakan. Penyediaan N-protein yang lebih cepat daripada penyediaan energi menyebabkan kelebihan N-protein akan diangkut via pembuluh darah portal ke hati dibentuk urea sebagian sebagai bahan siklus ke dalam saluran pencernaan dan sebagian lagi dibu- ang melalui urin. Hal ini juga akan menurunkan konsumsi pakan ataupun merugikan terutama bila protein yang terdegradasi tersebut berasal dari bahan pakan yang berkualitas dan mahal harganya. Demikian pula bila energi yang dilepaskan lebih banyak daripada N-protein yang tersedia akan menyebabkan penurunan efisiensi pertumbuhan mikroba dan pencernaan serat kasar yang selanjutnya menurunkan konsumsi. Dengan demikian agar pertumbuhan mikroba rumen lebih efisien, penyediaan Nprotein hasil degradasi protein pakan harus sinkron dengan penyediaan energi terutama hasil fermentasi karbohidrat atau BO pakan dalam rumen. Keseimbangan 19 laju penyediaan N-protein dan energi yang dihasilkan pakan untuk mikroba rumen ditujukan untuk memaksimalkan pemanfaatan protein yang terdegradasi dalam rumen, untuk pertumbuhan mikroba rumen yang optimal dan efisiensi pakan. Sedikit perhatian dalam memformulasi ransum berdasarkan kepada laju penyediaan N-protein dan energi yang diekspresikan sebagai BO atau karbohidrat terfermentasi di dalam rumen (Sinclair et al. 1993). Pada umumnya dalam penyusunan ransum untuk ternak ruminansia didasarkan kebutuhan akan protein kasar (PK)/protein dapat dicerna (Prdd) dan energi dalam bentuk TDN (total digestible nutrients), tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang efektif bagi pertumbuhan mikroba dalam rumen. Sehingga kadang kala dijumpai perbedaan yang signifikan penampilan produksi diantara ternak ruminansia percobaan, walaupun ransum masing-masing ternak tersebut disusun relatif sama kandungan protein dan energi (iso-protein dan iso-energi). Nilai yang tersedia dalam rumen adalah gabungan dan integrasi daripada rate of degradation (laju degradasi) , lag time dan rate of passage (laju makanan) (Orskov dan McDonald 1979). Keseimbangan laju penyediaan N-protein hasil protein dan laju penyediaan degradasi energi hasil degradasi BO atau karbohidrat suatu makanan dalam rumen, ditujukan agar jumlah gram N-protein yang tersedia setiap kg BO yang terdegradasi dalam rumen setiap jam (hourly degradation) adalah sinkron dengan efisiensi sintesis N mikroba yang optimal, yakni 25 g N-protein /kg BO terdegradasi dalam rumen (Sinclair et al. 1993). Penentuan indeks sinkronisasi suatu pakan yakni dengan membandingkan penyediaan per jam N-protein dan energi pakan tersebut dengan nilai efisiensi sintesis N mikroba tersebut. Bila penyediaan Nprotein/kg BO terfermentasi dalam rumen suatu pakan adalah sama dengan nilai efisiensi protein mikroba (25g N-protein/BO terfermentasi dalam rumen) maka indeks sinkronisasi pakan tersebut adalah 1 (Sinclair et al.1993). Adanya perbedaan jenis dan komposisi kimiawi pakan antara daerah sub tropis dan daerah tropis akan berbeda pula penyediaan N-protein dan energi bagi pertumbuhan dan efisiensi sintesis N mikroba rumen. Stern et al. (2006) melaporkan bahwa rentang nilai efisiensi sintesis N mikroba rumen adalah 10 – 50 g N/kg BO 20 terfermentasi dalam rumen. Dengan demikian kemungkinan besar nisbah sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen akan berbeda antara daerah tropis dan sub tropis, terutama karena berbedanya sumber protein makanan yang selanjutnya akan berbeda pula tingkat dan laju degradasi protein. Blumel et al. (2003) melaporkan, bahwa sumber dan karakteristik fermentasi protein dan karbohidrat dapat mempengaruhi efisiensi sintesis N mikroba rumen, dengan demikian menolak anggapan bahwa efisiensi sintesis N mikroba rumen biasanya konstan. Dengan memasukkan variabel sinkronisasi ini disamping variabel kebutuhan zat pakan lain misalnya protein kasar (PK) dan total digestible nutriens (TDN) dalam menyusun ransum, diharapkan dicapai pemanfaatan protein pakan yang optimal khususnya untuk sintesis N mikroba rumen sehingga produksi ternak ruminansia dapat ditingkatkan. Nilai indeks sinkronisasi tersebut di atas didapat setelah diketahui nilai koefisien (karakteristik) degradasi protein dan BO bahan pakan dalam rumen. Penentuan karakteristik degradasi protein dan BO bahan pakan ini diperoleh melalui evaluasi bahan pakan tersebut dengan metode in sacco (Orskov dan McDonald 1979), yaitu menggunakan hewan yang berfistula rumen. Dengan demikian hasil metode evaluasi pakan secara in sacco ini dapat diaplikasikan dalam cara memformulasi ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen dan efisiensi ransum. Sumber protein pada ternak ruminansia tidak semata berasal dari protein mikroba saja tetapi juga berasal dari protein makanan yang lolos degradasi dalam rumen (bypass protein). Ternak yang mempunyai pertumbuhan yang cepat atau berproduksi tinggi sangat memerlukan bypass protein selain protein mikroba rumen yakni untuk menunjang produksi ternak yang tinggi tersebut. Agar dicapai pertumbuhan protein mikroba maupun produksi ternak yang optimal perlu tersedia protein dan energi makanan yang optimal pula untuk menunjang kebutuhan kedua hal tersebut. Aplikasi cara formulasi ransum ini disertai pemanfaatan bahan pakan yang tidak biasa diberikan kepada ternak ruminansia (inkonvensional) akan menekan biaya 21 produksi dari pakan dan gilirannya akan menguntungkan peternak. Pakan nonkonvensional ini adalah pakan yang berasal dari limbah/hasil ikutan (waste/byproduct) agro-industri. Misalnya jerami padi, limbah onggok dan ikan asin afkir di Sumatra Barat telah dimanfaatkan menjadi pakan ternak sapi walaupun belum memasyarakat. Tujuan Penelitian 1. Mengklarifikasi cara penyusunan ransum dengan memperhitungkan sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi ransum untuk mikroba di dalam rumen selain memperhitungkan kandungan protein dan energi yang dibutuhkan dalam ransum, sehingga diperoleh efisiensi pertumbuhan mikroba rumen dan produksi ternak ruminansia yang optimal serta menguntungkan. 2. Mengetahui nilai indeks sinkronisasi bahan pakan hijauan dan konsentrat yang yang dihitung berdasarkan koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan tersebut dalam rumen, kemudian nilai itu dijadikan basis penyusunan ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi ransum dan efisiensi sintesis mikroba dalam rumen. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan dalam penyusunan ransum dengan memperhitungkan sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi ransum selain memperhitungkan kandungan protein dan energi yang dibutuhkan dalam ransum, agar diperoleh efisiensi sintesis N mikroba rumen dan produksi ternak ruminansia yang optimal serta menguntungkan. 22 TINJAUAN PUSTAKA Kajian terakhir di Eropa menunjukkan bahwa biaya tidak tetap (variable cost) yang terbesar untuk produksi susu atau produksi daging ternak ruminansia adalah biaya pakan yakni lebih dari 50% dan bahwa menyempitnya nisbah harga komoditi tersebut dengan harga pakan sebagai akibat meningkatnya permintaan bahan pakan ternak, maka hendaknya peternak perlu meningkatkan sistem penyusunan ransum yang akurat sehingga akan sangat efisien penggunaan bahan pakan yang tersedia (Cottrill 1998). Khampa dan Wanapat (2007) menyatakan, bahwa di daerah tropis umumnya ternak ruminansia diberi makanan berupa hijauan berkualitas rendah, jerami tanaman pertanian, hasil ikutan (by-products) industri yang pada dasarnya mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi, karbohidrat terfermentasi yang rendah atau kualitas protein yang rendah. Disamping itu pada musim kemarau, tanah yang tidak subur, dan sedikitnya makanan yang tersedia akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas fermentasi rumen. Atas dasar tersebut dapat dikatakan bahwa untuk meningkatkan pendapatan peternak, yaitu selain perbaikan dalam penyusunan ransum dari bahan pakan konvensional juga ditingkatkan lagi pemanfaatan waste/by-product agro-industri sebagai bahan pakan, misalnya onggok, limbah darah rumah potong hewan (RPH) dan ikan asin afkir yang sampai saat ini di Sumatra Barat belum dimanfaatkan secara luas. Sintesis N Mikroba dalam Rumen Pada ternak ruminansia nutrien dibutuhkan untuk mikroba dalam rumen dan untuk metabolisme antara (intermediatary metabolism), yaitu untuk kedua hal tersebut zat pakan dibutuhkan untuk penyediaan energi dalam bentuk ATP dan sebagai bahan (precursor) untuk sintesis lemak, protein dan karbohidrat dalam tubuh. Dengan demikian ransum hendaknya dalam keadaan seimbang jumlah zat-zat pakan yang tersedia untuk kedua hal tersebut (Taminga dan Williams 1998). Lebih lanjut Fellner (2005) menyatakan, bahwa untuk memaksimalkan produktivitas ternak ruminansia yaitu dengan memenuhi kebutuhan nutrien untuk ternak ruminansia dan mikroba rumen. Berdasarkan tinjauan literatur diindikasikan, perhitungan kebutuhan 23 protein untuk ternak ruminan berdasarkan PK ransum adalah tidak cukup karena ruminally degradable protein (RDP) akan menentukan sintesis N mikroba yang mana sebagai sumber protein utama bagi ternak ruminansia (Karsli dan Russell 2002). Rumen telah dikenal sebagai tempat terjadinya proses fermentasi yang esensial yaitu berkemampuan menyediakan hasil ahir berupa volatile fatty acids (VFA) dan protein mikroba sebagai sumber energi dan protein ternak ruminansia itu sendiri (Fellner 2005; Khampa dan Wanapat 2007) Sel mikroba dan protein makanan yang lolos dari degradasi dalam rumen (bypass protein) adalah sumber utama protein dan asam amino yang dibutuhkan ternak ruminansia. Protein mikroba menyumbang protein dalam jumlah besar masuk ke dalam usus halus, karena protein mikroba dapat mensuplai 50% lebih dari kebutuhan sapi perah, perlu memaksimalkan produksi mikroba (Fellner 2005). Dengan demikian kondisi dalam rumen harus optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen apabila asam amino yang masuk ke dalam usus halus dan produksi susu serta komponen air susunya maksimal (Hoover dan Stoke 1991). Sasaran daripada nutrien dalam rumen adalah untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroba rumen dan pengikatan RDP kedalam sel mikroba rumen, memaksimalkan pengikatan RDP tersebut tidak hanya memperbaiki penyediaan asam amino ke dalam usus halus tetapi juga menurunkan N terbuang (Stern et al. 2006). Dengan demikian pertimbangan nutrien yang dibutuhkan mikroorganisma rumen adalah sangat penting untuk dipahami metabolisma N dalam rumen demikian juga faktor-faktor yang memodifikasinya (Bach et al. 2005). Defisiensi suatu nutrien dapat menurunkan sintesis N mikroba dalam rumen, aliran asam amino ke usus halus, dan menurunkan produksi ternak ruminansia, tetapi dua faktor nutrisi yang sangat memungkinkan membatasi sintesis N mikroba rumen adalah energi dan protein (Clark et al. 1992). Sintesis N mikroba dalam rumen bergantung padaenergi yang tersedia, dan estimasi penyediaan energi dan N-protein yang dapat difermentasi dalam rumen dibutuhkan untuk memprediksi hasil protein mikroba (Cottrill 1998). Penyediaan energi dalam rumen (BO yang terdegradasi dalam rumen) adalah faktor pembatas 24 utama untuk memanfaatkan N-protein dalam rumen (Shabi et al. 1998). Karsli dan Russel (2002) melaporkan bahwa sintesis N mikroba dan pertumbuhan mikroba rumen bergantung padakecukupan energi (ATP) hasil fermentasi BO serta kecukupan N-protein hasil degradasi NPN (non-protein nitrogen) dan protein pakan dalam rumen, juga membutuhkan zat pakan lain seperti sulfur, phosphor dan mineral lain serta vitamin. Di negara berkembang makanan untuk produksi ternak ruminansia berasal dari padang penggembalaan, jerami tanaman dan biomasa selulosa lainnya, makanan tersebut umumnya rendah total protein dan N yang terfermentasi serta sering kali defisien mineralnya (Leng 1997). Di daerah iklim tropis dan subtropis umumnya dikaitkan dengan rendahmya kandungan mineral yakni P, S, K, Ca, Mg, Cu, Mo, Co, Se (Kerridge et al. 1986) dan tinggi Al atau keasamannya yang mana membatasi pertumbuhan akar (Chen et al. 1992). Selanjutnya Leng (1997) menyatakan, bahwa tanah daerah tropis biasanya defisiensi mineral P. Sementara hasil penelitian Scott et al. (1994) menunjukkan, bahwa kekurangan mineral selain menurunkan sintesis N mikroba adalah faktor utama penyebab penurunan laju pembentukan tulang pada kambing yang diberi makan rendah P. Defisiensi setiap nutrien dapat menurunkan sintesis N mikroba dalam rumen, laju asam-asam amino (AA) ke dalam usus halus dan menurunkan produksi susu sapi perah (Clark et al. 1992). Stern dan Hoover (1979) melaporkan, bahwa sulfur dibutuhkan mikroba rumen untuk sintesis metionin dan cytein dan konsumsi sulfur dapat membatasi sintesis N mikroba bila memakai NPN dalam jumlah banyak, dan diperkirakan nisbah yang optimum nitrogen : sulfur adalah 10 : 1 untuk pertumbuhan mikroba yang maksimal. Energi dalam bentuk ATP berasal dari fermentasi karbohidrat yang mengasilkan VFA dan methan sebagai produk akhir, adalah sebagai pengendali dan memasukan NPN kedalam sel mikroba rumen (Gambar 1)(Orskov 1982). Clark et al. (1992) melaporkan, bahwa campuran struktural dan non-struktural karbohidrat adalah umumnya sebagai sumber energi yang terbaik untuk pertumbuhan bakteri karena pada proses fermentasi, karbohidrat menghasilkan lebih banyak energi per unit berat 25 Gambar 1 Ilustrasi populer mengenai saling ketergantungan fermentasi dan produksi protein mikroba (Orskov 1982) daripada protein. Energi berasal dari lemak makanan dapat dikonsumsi bakteri rumen, tetapi lemak tidak cukup mepenyediaan energi untuk mesintesis N mikroba (Van Soest 1982). Karbohidrat adalah komponen utama dalam makanan ternak ruminasia dan sangat bervariasi tingkat dan laju fermentabilitasnya dalam rumen (Fellner 2005). Selulosa dan hemiselulosa yang jumlahnya berkisar dari 15 – 66 % dari makanan ternak ruminansia adalah insoluble dan sebagian yang tidak tersedia (tidak terfermentasi), pektin walaupun bagian dari structural carbohydrate (dinding sel) bersama dengan karbohidrat yang soluble (fruktosan dan sukrosa) difermentasi secara keseluruhan dan cepat, sementara pati sebagai cadangan karbohidrat yang insoluble dan dapat lolos dari degradasi dalam rumen (NRC 1985). Dewasa ini kajian mengenai keadaan N dan carbon dari AA dalam rumen menunjukkan bahwa beberapa AA disintesis oleh mikroorganisma rumen dengan sangat sulit dibandingkan dengan AA yang lain (Atasoglu et al. 2004). Selanjutnya mengkonfirmasi teori bahwa bakteri rumen sulit mesintesis Phe, Leu, dan Ile, dan dinyatakan bahwa Lys adalah suatu AA yang potensial yang membatasi pertumbuhan bakteri rumen. Bach et al. (2005) melaporkan bahwa selain kecukupan penyediaan sumber karbohidrat (CHO) dan N, faktor nutrisi lain maupun faktor non-nutrisi yakni pH 26 rumen dan dilution rate, termasuk juga mepunyai peranan penting dalam sintesis N mikroba rumen. Bila jumlah bahan organik (BO) yang difermentasi meningkat, sintesis N mikroba meningkat pula dan hasilnya adalah adanya korelasi yang negatif antara pH dan sintesis N mikroba yaitu konsekuensi penyediaan energi yang meningkat pada ransum yang tinggi terfermentasi (Hoover dan Stokes 1991). Selama ini dianggap komponen penghasil energi merupakan hal sangat penting untuk produksi mikroba rumen, tetapi hasil penelitian Gosselink et al. (2003) menunjukkan bahwa meskipun dalam makanan terbatas jumlah karbohidrat yang tersedia untuk difermentasi mikroba, nitrogen yang tersedia dalam rumen adalah sangat penting dalam memprediksi produksi mikroba. Sesuai dengan yang dinyatakan Maeng et al. (1999) bahwa penyediaan nitrogen PK meningkatkan produksi dan efisiensi mikroba lebih tinggi dibandingkan penyediaan baik serat maupun pati (Tabel 1) dan kejadian ini konsisten hasilnya pada peningkatan dilution rate rumen. Pertumbuhan dan produksi mikroba biasanya meningkat dengan meningkatnya dilution rate,bila dilution rate rendah akan lebih banyak jumlah mikroba tinggal dalam rumen dan selanjutnya akan mekonsumsi energi yang tersedia untuk hidup pokok Tabel 1 Pengaruh dilution rate terhadap produksi N dan efisiensi mikroba1 Dilution rate, fraksi/jam . Produksi N mikroba, g/hr 100 % soy hulls Mixed diet2 100 % isolated soy protein Efisiensi Mikroba3 100 % hulls Mixed diet 100 % isolated soy protein 0.025 0.050 0.075 0.10 0.15 0.20 0.80 0.27 1.38 1.25 0.45 1.67 1.44 0.54 2.27 1.69 0.67 2.65 1.66 0.68 3.12 1.23 0.67 3.18 16.6 11.2 27.0 23.6 18.9 34.8 26.6 23.9 47.1 32.0 31.1 56.2 37.0 41.8 65.2 36.5 49.8 71.7 1) Maeng et al. 1990 2) 78% corn, 14% soy hulls, and 8% isolated soy protei 3) Grams of micrrobial N/kg of organic matter truly digested in the rumen dan akan menurunkan efisiensi secara keseluruhan (Block 2006). Dilution rate didefinisikan sebagai proporsi dari total volume rumen yang mengalir dari rumen per 27 jam. Faktor yang mempengaruhinya adalah makanan, infus buffer intraruminal, tingkat konsumsi, dan kondisi lingkungan (Stern dan Hoover 1979). Perubahan makanan pada sapi jantan muda dari seluruhnya konsentrat menjadi terkandung 14% hijauan di dalamnya terjadi peningkatan dilution rate (0.03 menjadi 0.05/jam) disertai peningkatan sintesis N mikroba rumen (7.5 menjadi 11.8 g/100 g bahan kering terfermentasi dalam rumen) (Cole et al. 1976). Stern dan Hoover (1979) melaporkan, bahwa pemberian monensin kepada ternak domba terjadi penurunan dilution rate dari 0.07 menjadi 0.04/jam disertai penurunan sintesis mikroba dari 24.5 menjadi 20.2 g N/kg BO terfermentasi. Infus saliva buatan kedalam rumen telah meningkatkan dilution rate dari 0.03 menjadi 0.08/jam, bersamaan terjadi peningkatan sintesis total AA per mol heksosa yang difermentasi yakni 25.4 menjadi 29.8 gram. Selanjutnya dilaporkan, bahwa pemeliharaan ternak domba dari teperatur udara 18 menjadi 21 oC adalah kurang efisien dibandingkan dengan yang dipelihara dari temperatur -1 menjadi 1 oC, yaitu dalam sintesis N mikroba (47.9 vs 54.9 g N/kg BO terfermentasi). Faktor adanya hubungan yang positif antara dilution rate dan sintesis N mikroba, adalah menurunnya autolysis bakteria berkurang, menurunnya konsumsi bakteria oleh protozoa, perubahan struktur populasi mikroba yang dipicu oleh perubahan substrat atau kemungkinan karena pencucian oleh organisma yang waktu perkembangannya lambat. Metabolisme Protein dalam Rumen Estimasi metabolisme protein yang akurat dalam rumen adalah sangat penting karena sebanyak 70% atau lebih asam amino yang diabsorbsi usus berasal dari protein mikroba rumen (Gustafsson et al. 2006). Sistem evaluasi protein bahan pakan terbaru yakni sistem metabolizable protein (MP), bahwa protein pakan terbagi menjadi protein terdegradasi dalam rumen (rumen degradable protein/RDP) dan yang tidak terdegradasi dalam rumen (rumen undegraded protein disingkat RUP). Produk RDP (terutama N-protein) digunakan oleh mikroorganisma rumen untuk sintesis N mikroba. Dengan demikian absorpsi asam amino di usus ternak ruminansia berasal dari RUP dan dari protein mikroba rumen (Cottrill 1998; Taminga dan 28 Williams 1998; Gustafsson et al. 2006). RUP dibutuhkan dalam jumlah besar dari protein tambahan (feed supplement) pada makanan ternak ruminansia berproduksi tinggi (Stern et al. 2006). Sementara sistem evaluasi protein dengan protein kasar (total crude protein) dan digestible crude protein (DCP) keduanya mempunyai kelemahan terutama terhadap perhitungan transaksi nitrogen dalam rumen (Cottrill 1998). Dibandingkan dengan sistem DCP, sistem MP mepunyai korelasi lebih erat dengan produksi dan juga adanya kemungkinan yang lebih besar untuk mengkombinasikan bahan pakan agar meminimalis surplus protein terdegradsi dalam rumen (Bertilsson et al. 1991). Metabolisma protein dalam rumen dapat dibagi menjadi 2 peristiwa yang berbeda yaitu degradasi protein yang menyediakan sumber N untuk bakteria, dan sintesis N mikroba (Baach et al. 2005). Selanjutnya dinyatakan metabolisme protein dalam rumen ini adalah hasil aktifitas metabolisma daripada microorganisma rumen. Tamminga (1979) menyatakan bahwa mekanisme pemecahan protein makanan adalah sangat komplek dan belum dipahami secara menyeluruh. Degradasi protein dalam rumen diawali menempelnya bakteria pada partikel makanan, diikuti oleh aktifitas enzim protease mikroba (Brock et al. 1982). Sekitar 70-80% mikroba rumen menempel pada partikel makanan dalam rumen (Craig et al. 1987), dan 30-50% nya mempunyai aktivitas proteolitik (Prins et al. 1983). Sejumlah besar spesies mikroba yang berbeda berkongsi menempel pada partikel makanan untuk bekerja secara simbiosis mendegradasi dan memfermentasi nutrien termasuk protein yang menghasilkan AA dan peptida, karena sejumlah ikatan pada protein menyebabkan aktivitas yang sinergis dari pada protease yang berbeda diperlukan untuk medegradasi protein yang lengkap (Wallace et al. 1997). Peptida dan AA hasil dari aktifitas proteolitik ekstraseluler kemudian diangkut kedalam sel mikroba. Selanjutnya peptida dapat didegradasi enzim peptidase menjadi AA dan AA ini dapat bersatu kedalam protein mikroba atau dideaminasi menjadi VFA, CO2, dan ammonia (Tamminga 1979). Nasib peptida dan AA dalam sel mikroba bergantung padaketersediaan energi. Bila energi tersedia, AA akan ditransaminasi atau digunakan langsung untuk sintesis N mikroba. Tetapi bila energi 29 Gambar 2 Proteolisis dalam rumen dan proses produk akhir fermentasi (Bach et al. 2005) terbatas, AA akan dideaminasi dan kerangka karbonnya difermentasi menjadi VFA (Gambar 2) (Bach et al. 2005) . Sebagian mikroba kurang baik mekanisma pengangkutan AA dari sitoplasma ke lingkungan ekstra-selular dan AA yang berlebihan ini harus diekresi dari sitoplasma berupa ammonia (Tamminga 1979). Faktor yang mempengaruhi degradasi protein adalah natural dan solubilitas protein makanan, laju makanan melalui rumen, level konsumsi makanan (Tamminga 1979). Lebih lanjut Bach et al. (2005) menyatakan bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap degradasi protein adalah type protein, interaksi dengan nutrien lain (terutama dengan karbohidrat dalam bahan pakan yang sama dan dalam isi rumen), dominasi populasi mikroba yang bergantung padatipe ransum, laju makanan rumen, dan pH rumen. Prolamin dan glutelin adalah protein yang tidak larut (insoluble) dan lambat didegradasi, tetapi globulin adalah mudah larut (soluble) dan cepat didegradasi (Romagnolo et al. 1994). Adanya ikatan disulfida dalam dan antara ikatan protein dan ikatan-ikatan peptida yang spesifik menyebabkan resisten terhadap degradasi mis. sebagian albumin adalah soluble tetapi mengandung ikatan disulfida sehingga lambat didegradasi dalam rumen (Bach et al. 2005); peptida yang tersusun 30 dari Lys-Pro dihidrolisis dalam rumen 5x lebih lambat daripada peptida Lys-Ala, dan peptida yang tersusun dari Pro-Met didegradasi 2.5x lebih lambat daripada peptida Met-Ala (Yang dan Russell 1992). Lana et al. (1998) melaporkan, bahwa bakteri rumen yang mendapat makanan 100% hijauan dan pH rumen diturunkan dari 6.5 menjadi 5.7 menyebabkan penurunan konsentrasi ammonia, sementara bakteri rumen pada sapi potong dengan pakan 90% kosentrat mempunyai konsentrasi ammonia rendah dengan mengabaikan pH. Assoumani et al. (1992) menyatakan, bahwa pati berperan terhadap degradasi protein yakni dengan penambahan amilase telah meningkatkan degradasi protein. Bach et al. (2005) menyatakan, bahwa protein tanaman banyak yang terikat pada matrik serat yang perlu didegradasi terlebih dahulu sebelum protease mengakses protein untuk didegradsi. Lebih lanjut menyatakan suatu hipotesis bahwa penurunan bakteri selulolitik sebagai konsekuensi pH yang rendah menyebabkan penurunan degradasi serat, menurunkan akses bakteri proteolitik terhadap protein yang tidak langsung penurunan degradasi protein. Degradasi protein berhubungan terbalik dengan laju makanan melalui rumen (Orskov dan McDonald 1979). Penyebab rendahnya energi yang tersedia didaerah tropis menurut Khampa dan Wanapat (2007), di daerah tropis umumnya ternak ruminansia diberi makanan berupa hijauan berkualitas rendah, jerami tanaman pertanian, hasil ikutan (byproducts) industri yang pada dasarnya mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi, karbohidrat terfermentasi yang rendah atau kualitas protein yang rendah. Nitrogen yang Dibutuhkan Mikroba Rumen Mikroba rumen memproduksi proteinnya karena perkembanganya saat berlangsung fermentasi karbohidrat (fibrous dan non-fibrous) dan menggunakan RDP sebagai sumber nitrogen (Block 2006). Sebagian besar mikroba rumen menggunakan nitrogen-ammonia (N-protein) sebagai sumber N untuk sintesis protein tubuhnya (Karsli dan Russell 2002; Bach et al. 2005; Fellner 2005). Agar 31 diperoleh efisiensi sintesis N mikroba yang maksimal dalam rumen, penyediaan AA, peptide dan nucleotida (DNA dan RNA) diperlukan juga (Jones et al. 1998; SanchezPozo dan Gil 2002; Block 2006). Mikroba yang mendegradasi structural carbohydrates (dinding sel) (selulolitik) mempunyai kebutuhan hidup pokoknya rendah, tumbuh lambat, dan menggunakan N-protein sebagai mendegradasi sumber N utamanya, sedangkan mikroorganisma yang non-structural carbohydrates (karbohidrat isi sel) (amilolitik) mempunyai kebutuhan hidup pokok yang tinggi, tumbuh cepat, dan menggunakan Nprotein, peptida, dan AA sebagai sumber N (Russell et al. 1992). Sesuai menurut Fellner (2005) bakteria yang memfermentasi non-structural carbohydrates (NSC) menyukai asam amino dan peptida dan bakteri yang memfermentasi serat terutama menyukai ammonia sebagai sumber nitrogen. Tetapi penambahan AA atau peptida menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri selulolitik dan amilolitik (Maeng dan Baldwin 1976; Argyle dan Baldwin 1989). Hal yang sama bahwa kecernaan serat oleh bakteri selulolitik meningkat dengan penambahan AA (Griswold et al. 1996; Carro dan Miller 1999), dan penambahan peptida (Crus Soto et al. 1994). Atasoglu et al. ( 2001) melaporkan bahwa bakteri selulolitik lebih suka mengikat N-AA daripada N-peptida ke dalam selnya, tetapi pada konsentrasi AA dan peptida tertentu dalam rumen, sekitar 80% N selnya berasal dari N-protein. Peningkatan pertumbuhan mikroba dengan penambahan AA dan atau peptida dapat disebabkan bergabungnya secara langsung AA kedalam protein mikroba dan atau disebabkan penyediaan kerangka carbon yang meningkat (hasil deaminasi AA) yang mana dapat digunakan untuk produksi energi atau sebagai kerangka karbon untuk AA mikroba yang baru (Bryant 1973). Atasoglu et al. (2004) menduga, bahwa beberapa AA diantaranya lysin dapat membatasi pertumbuhan bakteri rumen. Demeyer dan Fieves (2004) menduga bahwa konsentrasi AA dan peptida yang rendah berpotensi membatasi pertumbuhan mikroba bila pemberian makan yang kaya pati dengan partikel yang halus, yaitu menyebabkan pH rumen yang rendah. Atasoglu et al. (1999) melaporkan bahwa proporsi N bakteri yang berasal dari N-protein menurun karena nisbah N-protein : total N yang tersedia menurun. 32 Sementara pada penelitian lain melaporkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara konsentrasi N-protein dan persentase protein mikroba yang berasal dari NPN (Siddon et al. 1985; Firkins et al. 1987). Bach et al. (2005) memperkirakan bahwa akumulasi N-protein dalam rumen adalah hasil penggunaan pilihan peptida atau AA oleh mikroba, baik sebagai sumber N atau sebagai sumber energi. Selanjutnya dinyatakan bahwa proposi N bakteria yang berasal dari N-protein adalah bukan nilai tetap. Pertumbuhan sel mikroba rumen memerlukan nucleotida baik yang disintesis atau yang didapat (Block 2006). Nucleotida disintesis dari AA dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba dengan mengonsumsi pada porsi yang cukup energi dan nitrogen yang tersedia (Sanchez-Pozo dan Gil 2002). Pemberian urea sebagai sumber N pada makanan yang semi bebas protein pada domba meningkatkan konsentrasi N dari 0.95 menjadi 1.82% dan meningkatkan produksi protein mikroba, tetapi tidak ada peningkatan sintesis N mikroba bila konsentrasi N makanan meningkat sampai 3.2% (Hume et al. 1970). Kemungkinan mikroba rumen memperoleh N melalui pengikatan N dalam bentuk gas. Pendikteksian fiksasi N secara in vivo dapat dilakukan dengan menggunakan isotop 15 N (Moisio et al. 1969). Dengan menggunakan acetylene-reduction screening test, Hardy et al. (1968) mengestimasi bahwa seekor sapi (steer) dapat mengikat 10 mg N per hari. Kebutuhan Protein dan Energi Protein kasar, nonstructural dan structural carbohydrates adalah komponen makanan yang potensial dapat dimanipulasi untuk mengoptimalkan fermentasi dalam rumen dan untuk meningkatkan aliran AA ke usus halus (Clark et al. 1992). Selanjutnya dinyatakan, ketersediaan energi dan N adalah menentukan sekali terhadap jumlah protein mikroba yang disintesis dalam rumen. Manipulasi protein yang tersedia dalam rumen kelihatannya sangat menguntungkan apabila sapi dalam keadaan keseimbangan energi dan cukup lemak tubuh yang tersedia untuk kebutuhan energi (Nocek dan Russell 1988). Hume et al. (1970) menyatakan, bahwa sintesis N mikroba terhambat bila konsentrasi protein kasar (PK) dalam rumen dibawah 11%. Satter dan Roffler (1975) 33 mengindikasikan, bahwa konsentrasi PK makanan dimana pertumbuhan mikroba yang maksimum terjadi pada ternak sapi sekitar dua persen lebih tinggi dari ternak domba yang diberi makan yang hampir sama. Diperkirakan bahwa sintesis N mikroba akan mencapai puncak bila makan sapi mengandung sekitar 12-13% PK, kisaran ini tidak baku tetapi akan bervariasi menurut kandungan energi terfermentasi makanan, jumlah NPN makanan, tingkat degradasi protein makanan, efisiensi pertumbuhan mikroba rumen, dan input N saliva ke dalam rumen (Satter et al. 1977). Selanjutnya dinyatakan bahwa penurunan protein yang tersedia dalam rumen meningkatkan produksi susu bila konsumsi PK adalah marginal (<14% CP), tetapi tidak ada respon bila PK lebih dari 16%. Setelah dicapai kandungan PK optimal dalam ransum, peningkatan lebih lanjut konsentrasi PK ransum tidak akan meningkatkan sintesis N mikroba tetapi dapat meningkatkan total asam amino ke usus halus karena lolos dari degradasi protein dalam rumen (Stern et al. 1978). Gustafsson et al. (2006) melaporkan, bahwa surplus PK dalam ransum sapi perah dapat membebani lingkungan dan menurunkan penampilan reproduksi (fertilitas), dan kerusakan akibat kelebihan N ini dapat dikurangi melalui peningkatan pengikatan N yang terdegradasi dalam rumen. Selanjutnya dinyatakan, bahwa protein yang berlebihan mengakibatkan meningkatnya biaya energi secara khusus yakni dalam ransum kelebihan N dikonversi menjadi urea dan diekresi dalam urin keduanya membutuhkan energi. Keuntungan yang utama dalam sistim formulasi ransum yang terbaru adalah mengindentifikasi makanan dimana sapi perah akan merespon suplemen rumen undegraded protein (RUP) (Broderick 2006). Selanjutnya dilaporkan, bahwa ransum di daerah Midwestern sering mempunyai kandungan PK yang tinggi, NPN silase alfalfa yang tinggi, mengupayakan bypass protein yang tinggi dengan cara perlakuan pemanasan terhadap SBM atau soybeans, atau melalui proses manufaktur yang khusus yakni penurunan kandungan protein yang mudah larut pada tepung ikan. Gustafsson et al. (2006) melaporkan, bahwa peningkatan RUP dari 5 % menjadi 7% dari BK ransum dengan kadar PK ransum 18% untuk sapi pada awal laktasi adalah menguntungkan untuk produksi susu. 34 Pelepasan energi (ATP) hasil fermentasi terutama karbohidrat oleh mikroba digunakan untuk memproduksi sel baru, enzim dsb. Tingkat energi yang dihasilkan fermentasi tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, karbohidrat yang berbeda akan berbeda pula tingkkat dan laju fermentasinya (Gustafsson et al. 2006). Clark et al. (1992) melaporkan, bahwa campuran structural dan nonstructural carbohydrates secara normal adalah sumber energi yang terbaik untuk pertumbuhan bakteri karena pada proses fermentasi karbohidrat menghasilkan lebih banyak energi per satuan berat daripada protein. Sedangkan energi yang tersedia dalam makanan berupa lemak dapat dikonsumsi oleh bakteri rumen, tetapi tidak menyediaan energi untuk sintesis protein (Van Soest 1982). Asam lemak bebas yang tinggi yang dihasilkan ketika hidrolisis lemak akan menghambat pencernaan serat, kemungkinan melalui coating (menyelimuti) partikel makanan dan preventing baterial kontak (Orskov dan Ryle 1990). Mikroba rumen yang memfermentasi non-fiber carbohydrate (NFC) (terutama gula-gula yang mudah larut dan pektin) dilaporkan mempunyai kontribusi yang besar terhadap sintesis N mikroba per satuan karbohidrat terfermentasi (Russell et al. 1992). Chamberlain et al. (1993) mendapatkan, bahwa suplemen gula lebih efektif dibandingkan pati pada ransum silase rumput untuk meningkatkan ekskresi derivat purin dalam urin ternak domba, efekifitas karbohidrat secara berurutan adalah sukrosa > laktosa > fruktosa > xylosa > pati gandum. Trevaskis et al. (2001) melaporkan, bahwa infus sukrosa ke dalam rumen adalah efektif untuk mestimulir pembentukan protein mikroba yaitu disinkronkan dengan konsentrasi amonia yang mencapai puncak pada waktu 1-2 jam setelah makan. Penurunan ukuran partikel makanan butiran meningkatkan pembentukan protein mikroba, bersamaan dengan itu pH rumen tidak menurun (Broderick 2006). Hasil penelitian Shabi et al. (1998), ketersediaan energi dalam rumen (BO yang dapat didegradasi dala rumen) adalah faktor yang sangat membatasi terhadap pemanfaatan N. Karsli dan Russell (2002) melaporkan, bahwa bila penyediaan N tidak terbatas pertimbangan selanjutnya pada produksi protein mikroba adalah tergantung ketersediaan energi. Selanjutnya dilaporkan, bahwa penambahan karbo- 35 hidrat yang mudah terfermentasi (readily fermentable carbohydrates) ke dalam rumen akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, tetapi penambahan energi melebihi tingkat optimal tidak lagi meningkatkan pertumbuhan mikroba. Penurunan aliran protein mikroba rumen ke dalam usus halus akibat ransum mengandung konsentrat lebih dari 70% dan hal ini dapat terjadi karena laju degradasi yang cepat dari pada karbohidrat nonstruktural, selanjutnya terjadi fermentasi uncoupled. Uncoupled fermentation terjadi karena laju pelepasan energi lebih cepat dibandingkan dengan laju pengikatan dan pemanfaatan oleh bakteri rumen (Karsli dan Russell 2001). Leng (1997) menyatakan, bahwa uncoupling adalah reaksi pelepasan energi dalam sel mikroba yang dapat juga menyebabkan pelepasan energi ATP berupa panas tanpa adanya pembelahan sel dan pertumbuhan, hal ini terjadi bila defisiensi mineral, amonia atau nutrien lain yang esensial untuk pertumbuhan mikroba dan juga bila sel mikroba lisis dalam rumen. Makanan yang tinggi total digestible nutrients (TDN) pada umumnya lebih terfermentasi daripada yang rendah TDN, oleh karena itu banyak ammonia (NPN) dapat dimanfaatkan dengan makanan yang tinggi TDNnya (Satter dan Roffler 1975). Dalam hal ini dinyatakan bahwa peningkatan TDN merupakan “opens the gates” dan memudahkan bayak ammonia yang digunakan untuk menunjang perkembangan mikroba lebih tinggi. Tetapi yang tidak menguntungkan penggunaan TDN sebagai indikator fermentabilitas yang jelek adalah bila ransum mengandung lemak atau minyak yang tinggi . Efisiensi Sintesis N Mikroba Rumen Efisiensi sintesis mikroba didefinisikan sebagai gram protein kasar mikroba/100 gram BO terfermentasi dalam rumen (Stern dan Hoover 1979; Karsli dan Russell 2001). Van Soest (1982) mendefinisikan efisiensi microba adalah sebagai proporsi energi substrat yang terikat dalam sel mikroba, dengan demikian berhubungan terbalik dengan produksi VFA. Sementara menurut Block (2006) efisiensi mikroba dihitung sebagai jumlah gram N mikroba yang dihasilkan per kg BO terfermentasi dalam rumen, dengan kata lain seberapa banyak mikroba 36 menggunakan BO untuk membuat protein. Penentuan efisiensi mikroba penting karena efisiensi ini adalah bagian daripada kalkulasi produksi mikroba (mirobial yield) dan penentuan produksi mikroba ini penting karena merupakan suatu indeks sejumlah protein mikroba yang tersedia bagi sapi setiap hari (Fellner 2005) Faktor yang mempengaruhi sintesis N mikroba rumen adalah sumber dan konsentarsi nitrogen dan karbohidrat, dilution rate rumen, sulfur makanan, dan frekuensi pemberian makan (Stern dan Hoover 1979); konsumsi bahan kering (BK), nisbah hijauan : konsentrat dalam ransum, laju degradasi protein dan karbohidrat, sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi, laju pakan, dan faktor lain yakni vitamin dan mineral (Karsli dan Russell 2001). Konsumsi, rumen turnover dan efisiensi mikroba adalah berkorelasi positif. Peningkatan konsumsi akan meningkatkan rumen turnover selanjutnya menyebabkan peningkatan pertumbuhan mikroba (Fellner 2005). Peningkatan efisiensi sintesis N mikroba dicapai dengan peningkatan konsumsi BK dan laju pakan, laju degradasi sumber protein dan karbohidrat yang sama-sama lambat dan sebaliknya, sinkronisasi laju penyediaan N-protein dan karbohidrat yang sama-sama lambat atau yang sama-sama cepat, campuran hijauan dan konsentrat (Karsli dan Russell 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa efisiensi sintesis N mikroba yang maksimal diperoleh untuk sumber protein yang RDP nya tinggi dibandingkan yang rendah, adanya sumber asam amino atau peptida selain pemakaian NPN (urea) dalam ransum, dan pencampuran sumber karbohidrat yang struktural dan non-struktural karbohidrat. Blumel et al. (2003) melaporkan, bahwa sumber dan karakteristik fermentasi protein dan karbohidrat dapat mempengaruhi efisiensi sintesis N mikroba rumen, dengan demikian menolak anggapan bahwa efisiensi sintesis N mikroba rumen biasanya konstan. Hasil penelitian Warly et al. (1998) menunjukkan bahwa penurunan nisbah jerami padi amoniasi : konsentrat, dari 80 : 20 sampai 20 : 80 (% BK ransum) mempunyai pengaruh yang tidak nyata (P > 0.05) terhadap efisiensi sintesis N mikroba rumen yakni berkisar 9.55 – 10.32 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen, walaupun cenderung meningkat efisiensi tersebut dengan penurunan nisbah tersebut. 37 Karsli dan Russell (2001) melaporkan, bahwa rata-rata efisiensi sintesis N mikroba adalah 13.0 dengan kisaran 7.5 – 24.3 untuk makanan dasar hijauan (hasil 34 studi), 17.6 dengan kisaran 9.1 – 27.9 untuk makanan campuran hijauan dan konsentrat (hasil 36 studi), dan 13.2 denga kisaran 7.0 -23.7 g protein mikroba/100 g BO terfermentasi dalam rumen untuk makanan konsentrat (hasil 14 studi). Nocek dan Russell (1988) melaporkan, bahwa makanan hijauan (roughage) menghasilkan sintesis 45 g mikroba/kg karbohidrat tercerna dan hasilnya lebih rendah (29 g mikroba/kg karbohidrat tercerna) bila digunakan makanan konsentrat. Semakin tinggi efisiensi sintesis N mikroba semakin besar kontribusi protein mikroba tersebut terhadap kebutuhan protein total ternak sapi, kontribusinya lebih tinggi pada sapi potong dibandingkan sapi perah karena kemungkinan kurang meningkatnya konsumsi BK pada sapi potong sebagai akibat ADG (average daily gain) yang meningkat (Stern et al. 2006). Selanjutnya dinyatakan, bahwa efisiensi sintesis N mikroba rumen pada sapi potong lebih rendah daripada sapi perah kemungkinan besar disebabkan populasi bakteria amilolitik yang tinggi. Penambahan AA branced-chain (rantai cabang) akan difermentasi menjadi FVA rantai cabang, dan penambahan peptida ke dalam rumen telah meningkatkan kecernaan serat , produksi protein mikroba , dan efisiensi pertumbuhan mikroba (Russell dan Sniffen 1984; Thomsen 1985). Sinkronisasi Pelepasan N-protein dan Energi Makanan dalam Rumen Dewasa ini sistem yang digunakan untuk formulasi ransum untuk ternak ruminansia berdasarkan kepada penyediaan RDP dan RUP serta berdasarkan tingkat fermentasi BO atau ME terfermentasi dalam rumen (ARC 1984). Bila laju degradasi protein melebihi laju fermentasi karbohidrat akan banyak N yang terbuang sebagai ammonia (N-protein), dan sebaliknya bila laju fermentasi karbohidrat melebihi laju degradasi protein dapat menurunkan sintesis N mikroba rumen (Nocek dan Russell 1988). Sinkronisasi penyediaan zat makan yang tersedia dalam rumen adalah penting untuk memacu pertumbuhan mikroba dan untuk memaksimalkan pengikatan RDP kedalam sel mikroba (Valkeners 2004; Stern et al. 2006) 38 Sinclair et al. (1993) menyatakan bahwa formulasi ransum menggunakan koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan yaitu membuat ransum yang sinkron dalam hal pelepasan N-protein dan energi per jam (hourly ) untuk fraksi mikroba dalam rumen, dimana nisbah yang optimal degradasi protein dan BO yang terfermentasi dalam rumen adalah 25 g N-protein/kg BO (Czerkawski 1986 diacu Sinclair et al. (1993); atau 32 g N-protein/kg karbohidrat (Sinclair et al. 1991). Selanjutnya dinyatakan, bahwa ransum yang sinkron tersebut bertujuan untuk memaksimalkan sintesis N mikroba dari RDP yang tersedia, menurunkan kebutuhan akan sumber RUP yang mahal harganya dan juga menurunkan ekskresi N-protein urin. Ekresi N-protein melalui urin sebagai akibat kelebihan protein ransum memerlukan energi (energy cost) untuk pembentukan urea sebelum dibuang melalui urin (Gustafsson et al. 2006). Untuk memperdalam konsep sinkronisasi, mikroba rumen membutuhkan sumber N-protein, energi, mineral, vitamin dan faktor-faktor pertumbuhan untuk pertumbuhannya. Tetapi N-protein dan energi dibutuhkan dalam jumlah yang besar dan harus tersedia secara simultan untuk merangsang pertumbuhan yang cepat (Huber dan Herrera-Saldana 1994). Kebutuhan terhadap kedua komponen (energi dan N-protein) tersebut pada aktifitas mikroba rumen tercermin adanya korelasi parsial yang erat (r = 0.95, P < 0.01) antara degradasi protein dan BO ransum dalam rumen (Hermon dan Warly, 2001); demikian juga pada silase rumput, yaitu antara degradasi protein dan bahan kering serta degradasi serat kasar dalam rumen (0.69 vs 0.42 ; P < 0.01) (Hermon 1999). Sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi dalam rumen merupakan teknik yang disarankan untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan bakteri dan meningkatkan efisiensi penggunaan zat pakan (Huber dan Herrera-Saldana 1994). Selanjutnya dinyatakan bahwa sinkronisasi dapat dikaitkan dengan “assosiative effect” dalam memanfaatkan unsur A dan B dalam rumen secara sederhana karena bakteri mendapat kebutuhan zat pakan (N-protein dan energi) pada waktu yang bersamaan dalam konsentrasi yang diperlukan dan kejadian sinkronisasi ini merupakan assosiative effect yang positif. Bila terjadi perbedaan pelapasan zat pakan A dan B 39 dengan kebutuhan untuk pertumbuhan mikroba, sinkronisasi tidak terjadi dan merupakan suatu assosiative effect yang negatif. Richardson et al. (2003) melaporkan bahwa dewasa ini sistem formulasi ransum berdasarkan sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi dalam rumen per jam menunjukan adanya keuntungan terhadap peningkatan produksi dan efisiensi mikroba rumen serta terhadap produksi ternak, tetapi hasil peneliti lain menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan mikroba atau sangat dipengaruhi oleh energi ransum daripada sinkronisasi. Hasil penelitian Richardson et al. (2003) menunjukkan bahwa baik ransum sinkron maupun sumber energi berpengaruh tidak nyata terhadap laju pertumbuhan kambing. Walaupun demikian ransum tidak sinkron menyebabkan efisiensi penggunaan energi ransum rendah, dan upaya formulasi ransum yang sinkron penyediaan zat pakan dalam rumen dapat meningkatkan efisiensi energi pada kambing muda. Pengaruh ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk mikroba rumen terhadap penampilan ternak adalah tidak konsisten (Bach et al. 2005). Beberapa kajian in vivo (Casper dan Schingoethe 1989; Herrera-Saldana et al. 1990; Matras et al. 1991) menunjukkan respon yang positif terhadap penampilan ternak pada ransum yang sinkron, sementara penelitian batch culture (Henning et al. 1991; Newbold dan Rust 1992) menunjukkan tidak ada pengaruhnya. Interpretasi kedua macam kajian tersebut sulit dilakukan karena laju penyediaan energi dan protein sering kali dikacaukan dengan total penyediaan energi dan protein (Bach et al. 2005). Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsep sinkronisasi protein dan energi berbasis teoritis semata, hal ini kemungkinan pada ekosistim yang komplek daripada campuran mikroba rumen ketika disinkronkan penyediaan nutrien untuk sub- populasi yang spesifik tetapi kemungkinan tidak sinkron untuk populasi lainnya. Dengan demikian rataan efisiensi sintesis mikroba adalah tetap stabil, dan juga recycling N ke dalam rumen dapat menyebabkan stabilitas pertumbuhan mikroba walaupun penyediaan N tidak sinkron (Bach et al. 2005). Bahan pakan yang terfermentasinya dalam jumlah banyak dapat menyebabkan konsentrasi metabolit berfluktuasi sekali meskipun adanya sinkronisasi penyediaan BO dan PK, 40 selanjutnya mengakibatkan pH lebih rendah (Satter dan Baumgardt 1962) dan sintesis mikroba menurun (Robinson 1989). Hasil penelitian Biricik et al. (2006), sinkronisasi degradasi pati dan protein dalam rumen tidak berpengaruh terhadap konsumsi dan daya cerna nutrien dalam rumen dan seluruh saluran pencernaan pada ternak domba. Broderick (2006) melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan sedikit atau tidak ada kenutungan produksi hasil manipulasi sinkronisasi degradasi protein dan fermentasi energi dalam rumen, tetapi penelitian tersebut tidak mencoba untuk meminimalkkan konsumsi PK. Selanjutnya dinyatakan, bahwa pemberian makan yang rendah PK akan membatasi RDP untuk pembentukan protein mikroba dan dapat diupayakan melalui sinkronisasi fermentasi energi dengan penyediaan N dalam rumen. Retensi Nitrogen Retensi nitrogen merupakan salah satu metode untuk menilai suatu kualitas protein ransum dengan jalan mengukur konsumsi nitrogen dan pengeluaran nitrogen ekskreta, sehingga dapat diketahui banyaknya nitrogen yang tertinggal dalam tubuh (Lioyd et al. 1978). Pengukuran neraca nitrogen menurut Tillman dkk. (1991) dilakukan dengan menghitung selisih antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dengan jumlah nitrogen yang keluar melalui feses dan urin, sehingga dapat diketahui jumlah nitrogen yang dapat tertinggal dalam tubuh. Selanjutnya dinyatakan, bahwa neraca nitrogen dapat dirumuskan dengan persamaan : B = I – (U + F) , dimana : B = neraca nitrogen I = konsumsi nitrogen U = nitrogen urin F = nitrogen feses Neraca nitrogen mempunyai nilai positif, nol , dan negatif (Maynard et al. 1969). Selanjutnya dinyatakan bahwa bila neraca nitrogen bernilai positif, sistem kehidupan mengalami pertumbuhan jaringan baru atau peletakan protein di dalam jaringan. Bila bernilai sama dengan nol, maka sistem dalam keadaan seimbang 41 artinya nitrogen yang dikonsumsi hanya cukup untuk kebutuhan hidup pokok saja. Tetapi bila neraca nitrogen bernilai negatif, ini berarti terjadi suatu kehilangan nitrogen jaringan melalui metabolisme sebagai akibat nitrogen makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak yang bersangkutan. Menurut Orskov (1982) faktor-faktor yang mempengaruhi deposit protein pada bobot hidup yang relatif sama, adalah 1) Genotype; yaitu laju deposit protein pada sapi dengan bobot hidup relatif sama akan berbeda antara bangsa sapi ukuran kecil dan ukuran besar; 2) Jenis kelamin; pertambahan bobot hidup pada ternak ruminansia dengan bobot dan genotype yang relatif sama, pada sapi betina lebih banyak lemak dan sedikit protein dibandingkan sapi jantan; 3) Pengaruh nutrisi sebelumnya; pada bangsa dan jenis kelamin yang sama kebutuhan protein dikaitkan dengan bobot hidup dapat bervariasi sekali akibat nutrisi sebelumnya apakah cukup atau kekurangan protein.; 4) Level nutrisi; peningkatan konsumsi energi akan meningkatkan retensi protein sampai suplai protein menjadi pembatasnya. Peningkatan retensi protein ini bergantung padafase dewasa ternak, jenis kelamin, dan genotype. Bani et al. (1991) melaporkan bahwa level urea darah (blood urea) pada ternak ruminansia umumnya diduga sebagai ekspresi dari amonia rumen, dengan demikian urea darah yang sangat tinggi dapat merupakan suatu indeks kelebihan protein dan resiko yang potensial terhadap kesuburan yang rendah (low fertility). Selanjutnya berdasarkan hasil penelitiannya dinyatakan bahwa penyerapan amonia rumen dan glukoneogenesis dari absorbsi asam-asam amino menyebabkan kan- dungan urea darah bervariasi, tetapi glukoneogenesis nampaknya sangat berperan terutama ketika pemberian protein relatif tinggi. Kandungan Blood urea nitrogen (BUN) atau amonia plasma yang tinggi kemungkinan bertalian dengan perubahan fisiologi ovary dan uterus yang mengakibatkan tidak cukupnya luteal dan kematian embrio (Sinclair et al. 2000). Metode untuk evaluasi kualitas protein selain pengukuran retensi N diantaranya adalah PER, yaitu didefinisikan sebagai pertambahan bobot badan per gram protein yang dikonsumsi (Fuller 2000). 42 Pertambahan Bobot Badan (PBB) Ukuran komersil untuk pertumbuhan ternak adalah pertambahan bobot badan, yakni sebagai penimbunan energi dalam karkas. Kuantitas penimbunan energi dalam satuan berat ini bergantung pada komposisi kimia pertambahan bobot badan, yakni air, tulang, protein (daging), dan lemak. Energi yang terkandung pada pertambahan bobot badan hampir sepenuhnya diwujudkan oleh protein dan lemak, dengan demikian komposisi pertambahan bobot badan tidak konstan sepanjang fase pertumbuhan (Davies 1982). Kenaikan berat badan dengan mudah dilakukan dengan penimbangan yang berulang-ulang untuk menentukan pertambahan bobot badan tiap hari, tiap minggu, atau tiap waktu tertentu lainnya (Tillman dkk. 1991). Maynard et al. (1969) menyatakan bahwa semakin baik kualitas makanan, semakin efisien pembentukan energi dan semakin cepat proses penambahan bobot badan. Selanjutnya dinyatakan bahwa nutrien utama yang dibutuhkan ternak adalah energi dan protein, kelebihan energi dan protein dari kebutuhan hidup pokok digunakan untuk pertumbuhan atau pertambahan bobot badan. Demikian pula menurut Van Soest (1982) bahwa meningkatnya konsumsi protein dan energi akan meningkatkan pertambahan bobot badan, dan tidak seluruh energi yang tersedia dalam makanan dapat dimanfaatkan oleh ternak karena sangat erat hubungannya dengan kapasitas dan kemampuan alat pencernaan terhadap kualitas bahan makanan. Tillman dkk. (1991) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan, konsumsi pakan, total protein yang dikonsumsi tiap hari, jenis atau bangsa ternak dan manajemen ternak. Menurut Davies (1982) umumnya pertambahan bobot badan pada ternak muda mempunyai kandungan energi yang rendah karena mengandung air dan tulang yang tinggi dengan sedikit lemak, sedangkan pertambahan bobot badan ternak dewasa sangat tinggi kandungan energi yang direfleksikan dengan proporsi lemak yang tinggi. Kebutuhan Energi dan Protein Ternak Sapi Ternak menggunakan makanan untuk hidup pokok maupun untuk produksi. Kebutuhan untuk hidup pokok adalah nutrien yang dibutuhkan oleh ternak untuk 43 mempertahankan kesehatan tubuh dan untuk memelihara temperatur tubuhnya tanpa penambahan atau kehilangan bobot badan, sementara kebutuhan untuk produksi adalah nutrien yang dibutuhkan ternak selain untuk hidup pokok juga untuk proses produksi diantaranya pertumbuhan, penggemukan, dan pembentukan air susu (Nelson 1979). Selanjutnya dinyatakan bahwa dua nutrien utama untuk kedua hal tersebut, yaitu suplai energi dan prortein. Nutrien yang dibutukan ternak adalah energi, protein, mineral, dan vitamin (Davies 1982). Kebutuhan energi untuk hidup pokok bergantung pada ukuran atau bobot tubuh, bangsa sapi, temperatur udara dan aktifitas. Kebutuhan ini erat hubungannya dengan fungsi bobot tubuh atau dikenal bobot metabolis, yakni W0,73. Kebutuhan energi untuk hidup pokok di daerah tropis (temperatur udara panas) dan yang dikandangkan adalah lebih rendah dibandingkan di daerah temperate (udara dingin) dan yang tidak dikandangkan (Davies 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa jumlah protein yang dibutuhkan bergantung padakecernaannya dan efisiensi penggunaannya dalam tubuh; pada ternak ruminansia, proporsi rumen degradable protein (RDP) dan rumen undegradable protein (RUP) adalah penting ketika laju pertambahan bobot badan yang cepat. Kebutuhan energi didasarkan kepada bobot tubuh, pertambahan bobot badan (PBB), jenis kelamin dan kondisi tubuh. Sapi tipe besar atau mempunyai PBB yang tinggi atau sapi jantan kebutuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan sapi tipe kecil, PBB yang rendah, sapi betina pada periode yang sama (NRC 1984). Laju pertumbuhan terutama ditentukan oleh konsumsi energi, pada laju pertumbuhan tersebut dibutuhkan berbagai asam amino untuk berlangsungnya sintesis protein jaringan yang baru (Davies 1982). Konsumsi energi besarnya sebanding dengan konsumsi bahan kering ransum, dengan demikian kosumsinya dipengaruhi oleh hal yang sama terhadap konsumsi bahan kering, yaitu bervariasi antara/dalam bangsa sapi, periode/bobot badan, daya cerna bahan kering, nisbah konsentrat dan hijauan, pemrosesan pakan, kandungan air, dan suhu udara (NRC 1987). Church dan Pond (1982) melaporkan bahwa konsumsi energi dibatasi oleh kepadatan kalori (caloric density) yang tinggi, 44 keambaan (bulk density yaitu berat/satuan volume) yang rendah, lemak yang tinggi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsentrasi energi yang tinggi menurunkan konsumsi makanan dan konsumsi energi, kemungkinan disebabkan fermentasi dalam rumen tidak normal atau hambatan cita rasa (appetite) oleh faktor kimiawi yang dihasilkannya atau yang ada dalam saluran pencernaan. Peningkatan konsumsi ransum sebagai resultan dari kecernaan dan passage rate akan meningkatkan pula ketersediaan nutrien (terutama protein dan energi) untuk proses produksi ternak. Faktor yang sangat penting mempengaruhi produksi ternak adalah total nutrien diserap. Dengan demikian konsumsi dan daya cerna adalah parameter kunci dalam system efaluasi makanan, diantara keduanya konsumsi sangat penting karena sangat berbeda antara type makanan (Poppi et al. 2000). Selanjutnya dinyatakan, bahwa ada hubungan yang erat antara konsumsi dan daya cerna walaupun secara keseluruhan tidak selalu ada hubungan. Hubungan antara konsumsi dan daya cerna ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bila kecernaan zat makanan tinggi akan cepat laju makan selanjutnya akan cepat pula pengosongan perut dan gilirannya akan cepat mengkonsumsi makanan yang mengandung nutrien tersebut. Konsumsi diregulasi oleh laju pengosongan digesta dari rumen oleh proses pencernaan dan proses pengaliran (passage). Protein digunakan dalam tubuh ternak terutama untuk unsur pembangun dan pengatur tubuh (prekursor enzim dan hormon), sehingga kebutuhannya lebih besar untuk sapi muda dari pada sapi yang telah mencapai dewasa tubuh, untuk sapi yang mepunyai pertambahan bobot badan yang tinggi daripada yang rendah, untuk sapi type besar daripada type kecil (NRC 1984) Varhegyi and Varhegyi (1991) melaporkan bahwa konsumsi energi berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi jantan dibandingkan dengan protein, suplai protein yang tinggi menghasilkan pertambahan bobot badan sangat nyata bila konsumsi energi yang tinggi. Selanjutnya dinyatakan bahwa peningkatan level protein meningkatkan konsumsi makanan, dan suplai protein yang rendah berpengaruh negatif terhadap efisiensi penggunaan makanan. 45 Sapi Pesisir di Sumatera Barat Di Sumatera Barat terutama di Kabupaten Pesisir Selatan terdapat sapi lokal yang disebut masyarakat sebagai sapi Pesisir (Sarbaini 2004). Menurut Merkens (1926) yang diacu Sarbaini (2004), bahwa di Padang dan dataran tinggi sekitarnya tedapat sapi dengan ciri-ciri : pejantannya memiliki kepala pendek; bertanduk pendek dan mengarah ke luar; lehernya lebar, kokoh dan pendek. Punuknya cukup berkembang, daerah pinggulnya pendek dan oval. Bagian depan badannya lebih ringan Gambar 3 Sapi Pesisir betina berfistula rumen dibandingkan bagian belakangnya, dan kakinya relatif pendek. Pada sapi betina kepalanya lebih panjang dan kecil, pundak dan dadanya kurang berkembang, selangkangnya miring ke belakang, pendek dan kecil. Warnanya coklat muda sampai coklat tua, atau sampai hitam. Sekitar mata, mulut dan sebelah dalam kaki-kakinya, Tabel 2 Rataan bobot badan (kg) sapi Pesisir Sumatera Barat Umur (th) 0.5 – 1.0 1.0 – 2.0 2.0 – 2.5 3.0 – 3.5 4.0 – 6.0 Sumber : Sarbaini (2004) Sapi jantan 88.91 131.95 149.22 168.87 186.10 Sapi betina 84.81 119.88 142.16 163.87 174.80 46 perut bagian bawah berwarna lebih muda. Tinggi pundak pada sapi jantan berkisar 1 – 1.26 m (rata-rata 1.15 m) dan pada sapi betina sekitar 1.05 m. Sejak umur muda sampai dewasa, sapi jantan mempunyai bobot badan yang lebih berat dibandingkan sapi betina (Tabel 2). Berdasarkan bobot badan pada setiap periode umur tersebut dapat ditentukan rataan pertambahan bobot badan per hari (PBB), yaitu berturut-turut untuk sapi jantan dan betina adalah 72.3 dan 73.4 g/ekor /hari. Apabila sampai umur 2 tahun, maka pertambahan bobot badan sapi jantan dan betina berturut-turut sebesar 119.6 dan 97.4 g/ekor/hari.