BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 telah
dijelaskan bahwa upaya penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatankegiatan kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengawasan makanan dan minuman,
kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, kesehatan jiwa, pemberantasan penyakit,
pemulihan kesehatan, penyuluhan kesehatan masyarakat, pengawasan farmasi dan
alat kesehatan, pengawasan zat aditif, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga,
pengobatan tradisional dan kesehatan mata. Upaya-upaya tersebut telah dilaksanakan
dalam pembangunan kesehatan namun hasilnya masih perlu ditingkatkan lagi agar
derajat kesehatan masyarakat dapat lebih baik dan sesuai dengan arah dan kebijakan
kesehatan yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1992).
Anak usia sekolah adalah investasi bangsa karena mereka adalah generasi
penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan dari kualitas anak-anak
saat ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini,
sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh berkembangnya anak usia sekolah yang
optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantiítas yang baik serta
benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan
pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna (Cahyadi, 2009).
Makanan merupakan salah satu kebutuhan utama dan paling mendasar bagi
manusia. Semakin maju suatu bangsa, tuntutan dan perhatian terhadap kualitas
makanan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi sekedar untuk
Universitas Sumatera Utara
menghilangkan rasa lapar, tetapi semakin kompleks. Masyarakat semakin sadar
bahwa makanan merupakan sumber utama pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi seperti
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan tubuh
(Purnawijayanti, 2001).
Makanan jajanan adalah makanan atau minuman yang diolah oleh pengrajin
makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk
dijual bagi umum selain yang disajikan jasaboga, rumah makan/restoran dan hotel
(Kepmenkes RI No 942/Menkes/SK/VII/2003).
Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), pangan jajanan adalah makanan siap
makan atau diolah di lokasi jualan seperti di daerah pemukiman, pertokoan, terminal,
pasar, atau dijajakan dengan cara berkeliling. Selain berkontribusi positif di bidang
ekonomi, pangan jajanan juga mengandung risiko terhadap kesehatan akibat
kontaminasi mikroba, bahan kimia dan pemakaian bahan tambahan non pangan.
Persoalan ini timbul mulai dari proses persiapan, pengolahan, dan saat penyajian
makanan di lokasi jualan.
Kontaminasi yang terjadi pada makanan dan minuman dapat menyebabkan
makanan tersebut dapat menjadi media bagi suatu penyakit. Makanan yang sudah
tercemar biasanya secara visual tidak terlihat atau tampak tidak membahayakan,
misalnya dari segi warna, rasa dan penampakannya normal dan tidak ada tanda-tanda
kerusakan. Karena itu kita sering terkecoh dan mengkonsumsi makanan tersebut
tanpa ada rasa curiga sedikit pun.Penyakit yang ditimbulkan oleh makanan yang
terkontaminasi disebut penyakit bawaan makanan (food-borned diseases) (Susanna,
2003).
Universitas Sumatera Utara
Dewasa ini masalah keamanan makanan sudah merupakan masalah global,
sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan
masyarakat. Letusan penyakit akibat makanan (foodborne disease) dan kejadiankejadian pencemaran makanan terjadi tidak hanya di berbagai negara berkembang
dimana kondisi sanitasi dan higiene umumnya buruk, tetapi juga di negara-negara
maju.
Ditahun 1993, WHO melaporkan bahwa sekitar 70 % kasus diare yang terjadi
di Negara berkembang disebabkan oleh makanan yang telah tercemar. Pencemaran
ini sebagian besar berasal dari industri boga dan rumah makan. Berdasarkan hasil
survey di Amerika Serikat, 20 % kasus terjadi di rumah makan dan3 % ditemukan di
Industri pangan. Sementara di Eropa, sumber kontaminasi terbesar justru berasal dari
rumah (46 %), restoran/hotel (15 %), jamuan makan (8%), fasilitas kesehatan dan
kantin ( masing-masing 6%) dan sekolah (5 %) (Arisman, 2009).
Di Indonesia sendiri kasus keracunan makanan sering kita temui seperti kasus
yang belakangan ini terjadi yaitu sebanyak 65 orang warga kampung Bantarkalong
mengalami keracunan makanan akibat hidangan yang telah disajikan (pikiran-rakyat,
27/2/2011).
Hasil monotoring dan verifikasi profil keamanan pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) nasional tahun 2008 oleh SEAFAST, PT. Sucofindo dan Badan POM RI
menunjukkan (71.4%) penjaja pangan jajanan anak sekolah ( PJAS ) menyatakan
bahwa pangan jajanan yang mereka jual aman dan 14.3% mempunyai presepsi bahwa
PJAS yang dijual tidak aman, untuk praktek keamanan pangan (>70.0%) penjaja
PJAS menerapkan praktek keamanan pangan yang kurang baik, dan (<53.0%) penjaja
Universitas Sumatera Utara
PJAS yang mengaku menambahkan BTP ke dalam produk minuman. Kondisi usaha
makanan jajanan yang belum dibarengi dengan perhatian khusus terhadap aspek fisik,
lokalisasi, kontrol higiene, pembinaan manajemen, ketiadaan pengaturan dan
ketidakpastian keamanan dalam berusaha akan menimbulkan ketiadaan kontrol dan
pengarahan terhadap kualitas makanan yang dijual dan pengolahan makanan yang
higiene menyebabkan penjaja PJAS menangani pengolahan makanan menurut
pengetahuan yang mereka miliki (Fardiaz & Fardiaz, 1994).
Pada tahun 2006 Badan POM menguji makanan jajanan anak sekolah di 195
Sekolah Dasar di 18 provinsi. Diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar
Lampung, Denpasar dan Padang. Jumlah makanan yang di sajikan sampel sebanyak
861 contoh. Dari hasil uji didapatkan, 39,95% atau 344 contoh tidak memenuhi syarat
keamanan pangan, untuk es sirup atau buah sebesar 48,19% dan minuman ringan,
62,50% juga mengandung bahan berbahaya (Naiboho, 2005).
Menurut Linda dan Venter (2003), faktor yang berkontribusi terhadap
kejadian outbreaks dikarenakan oleh penyakit akibat makanan yang tercemar oleh
bakteri dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang tidak baik, penyimpanan
makanan, higiene perorangan yang kurang, sanitasi dapur dan peralatan yang tidak
baik, pengolahan yang tidak memenuhi syarat, penyimpanan yang tidak memenuhi
syarat dan lamanya makanan sejak disajikan sampai dengan dikonsumsi.
Penelitian Yunaenah (2009) di kantin sekolah dasar wilayah Jakarta Pusat
menunjukkan bahwa ada hubungan antara fasilitas sanitasi dengan kontaminasi E.
coli pada makanan jajanan anak sekolah dasar (p=0,000, OR=9,214), dan variabel
tenaga penjamah makanan juga memiliki hubungan dengan kontaminasi E. coli pada
Universitas Sumatera Utara
makanan jajanan anak sekolah dasar ( p=0,001, OR=7,404). Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa penyimpanan makanan matang yang tidak memenuhi syarat
beresiko 6,78 kali untuk terkontaminasi E. coli dibandingkan dengan penyimpanan
makanan yang memenuhi syarat. Penyajian makanan juga memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kontaminasi E. coli pada makanan jajajanan anak sekolah dasar
(p=0,003, OR=6,118).
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Arisman (2000) di Kota Palembang
didapatkan hasil bahwa hanya 6,6% penjamah makanan yang mengenakan celemek
pada saat bekerja dan ditemukan 11,1% penjamah makanan yang mempunyai
perilaku suka menggaruk kepala dan hidung pada saat sedang bekerja.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa di Palembang, sarana penjaja
makanan berupa lemari makanan yang dipajang di warung dan kantin sebagian besar
dalam keadaan tidak tertutup. Kalaupun ada, penutup itu hanya berupa kain bekas
gorden tipis yang jarang sekali dirapatkan terutama ketika tamu sedang ramai. Oleh
karena itu, beberapa lalat dapat dengan mudah mencemari makanan yang dijajakan.
Penelitian Swandatitak (2008) menyebutkan bahwa sanitasi kantin di
lingkungan Universitas Airlangga yang terdiri dari 12 kantin belum memenuhi syarat
kesehatan. Dan indeks kepadatan lalat tertinggi adalah kantin FKM dengan nilai 18,8
dan termasuk dalam kategori populasi padat dan perlu dilakukan pengamanan.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan penulis di Puskesmas Perbaungan,
penulis memperolah data penyakit yang berhubungan dengan penyelenggaraan
makanan dan minuman di kecamatan tersebut yaitu : Diare ( ± rata-rata 90 kasus ) per
tahun. Selain itu penulis juga masih banyak menjumpai di beberapa kantin Sekolah
Universitas Sumatera Utara
Menengah Atas ( SMA ) kurangnya kebersihan penjamah makanan dalam
penyelenggaraan makanan dan minuman, masih adanya penjual tidak menutup lemari
makanannya, dan kondisi kantin yang kurang bersih. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui gambaran mengenai kondisi higiene dan sanitasi
penyelenggaraan makanan dan minuman pada kantin SMA di Kecamatan Perbaungan
dan hasil yang didapat akan penulis sesuaikan dengan Kepmenkes RI No.
1098/Menkes/SK/VII/2003.
Peneliti memilih Sekolah Menengah Atas ( SMA ) di Kecamatan Perbaungan
sebagai objek penelitian dikarenakan Kecamatan Perbaungan merupakan wilayah
dengan jumlah Sekolah Menengah Atas dan sederajat terbanyak dibandingkan dengan
kecamatan lain yang ada di kabupaten serdang bedagai, dan masing-masing sekolah
memiliki kantin.
1.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kondisi higiene dan sanitasi
penyelenggaraan makanan dan minuman pada kantin Sekolah Menengah Atas (SMA)
di Kecamatan Perbaungan tahun 2013”.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran Kondisi Higiene dan Sanitasi Penyelenggaraan
Makanan dan Minuman di Kantin Sekolah Menengah Atas ( SMA ) di Kecamatan
Perbaungan Tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui keadaan Lokasi dan Bangunan di Kantin Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Kecamatan Perbaungan Tahun 2013.
2. Untuk mengetahui fasiltas sanitasi di kantin Sekolah Menengah Atas (SMA)
di Kecamatan Perbaungan Tahun 2013.
3. Untuk mengetahui 6 prinsip higiene sanitasi mulai dari pemilihan bahan baku,
penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan
jadi, pengangkutan makanan, dan penyajian makanan di Kantin Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Kecamatan Perbaungan Tahun 2013.
4. Untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat pada kantin Sekolah Menengah
Atas ( SMA ) di Kecamatan Perbaungan Tahun 2013.
1.4.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan dalam upaya pencegahan,
pengurangan dan penanggulangan keracunan makanan dan minuman pada
anak sekolah di Kecamatan Perbaungan kabupaten Serdang Bedagai.
2. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi para pemilik
kantin.
3. Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam melakukan
kegiatan penelitian.
4. Sebagai
informasi
dan
bahan
referensi
bagi
penelitian-penelitian
selanjutnya, khususnya pada bidang ilmu kesehatan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Download