BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Indonesia Kehutanan dan hasil hutan di Indonesia telah dikukuhkan dalam Undang-Undang Kehutanan No. 5 tahun 1967 tanang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan tidak berubah dalam Undang-Undang Kehutanan yang baru. Jika rumusan hutan dalam undang-undang dicermati untuk disoroti dari sudut sumber daya ekonomi, ternyata dalam rumusan itu terdapat tiga macam sumber daya alam, yaitu lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya, serta lingkungan itu sendiri sebagai sumber daya ekonomi yang pada akhir-akhir ini tidak boleh diabaikan. Pengembangan peran lingkungan hidup di atas sumber daya majemuk itu, misalnya untuk kepentingan tata air, pembinaan satwa liar, wisata, ameliorsi iklim dan lain-lain memandang massa kayu dan lahan sebagai modal (Wirakusumah,S.,2003). Pulau-pulau yang tersebar luas di Indonesia ini menjadi tempat bentangan hutan hujan tropis terbesar nomor dua di dunia, yang menckup kurang lebih 109 juta hektar atau 56 persen tanah daratannya. Dari 19 jenis hutan yang telah diidentifikasi sejauh ini, hutan hijau abadi dataran rendah adalah yang paling luas, mencakup sekitar 55 persen jumlah keseluruhan di pulau-pulau luar jawa (Barber,C.V.,1999). 2.1.1 Pengelolaan Hutan Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan fungsi hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara maksimal. Pada waktu masyarakat manusia belum mengenal Universitas Sumatera Utara hubungan komersial secara luas, hutan hanya dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengambil bahan makanan, nabati maupun hewani, atau tempat untuk mengambil kayu untuk membuat rumah tempat tinggal dan untuk sumber energi. Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di Negaranegara maju, khususnya Eropa Barat, Skandinavia, dan Amerika Serikat, sepanjang abad ke-18 dan 19 sampai paruh pertama abad ke-20. System pengelolaan kebun kayu itu yang menempatkan kelestarian hasil sebagai landasan utamanya, dikenal sebagai sistem pengelolaan hutan modern. Di jawa, sistem tersebut juga dapat terlaksana dengan sukses untuk membuat hutan tanaman jati (Simon,H.,2008). 2.1.2 Hasil Hutan Kayu Hasil hutan kayu oleh FAO (1993) digolongkan dalam kayu industri dan kayu bakar sebagai satu-satunya hasil hutan bukan kayu industri. Di Indonesia konsumsi hasil-hasil kayu masih sangat terbatas. Hal itu disebabkan permintaan yang tinggi terhadap kayu bulat disusul permintaan kayu gergajian dan kayu lapis yang sangat merangsang. Tiga hasil hutan kayu di sini adalah kayu bulat, kayu gergajian, dan kayu lapis (Wirakusumah,S.,2003). 2.1.3 Kayu Jati Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan ganggu rayap serta jamur dan awet (mampu bertahan hingga 500 tahun). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1 Kayu Jati (sumber : kebun-jati.blogspot.com) Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut. Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona Spesies : Tectona grandis Linn. f. (Sumarna,Y.2001). Serbuk gergaji kayu jati mengandung komponen utama selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif kayu. Komponen kimia didalam kayu mempunyai arti penting, karena menentukan kegunaan sesuatu jenis kayu juga dengan mengetahuinya kita dapat membedakan jenis kayu. Komponen kimia kayu jati dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Komponen-komponen Kimia Kayu Jati Komponen Kimia Selulosa Lignin Pentosa Abu Silika Kandungan 45,5% 29,9% 14,4% 1,4% 0,4% Universitas Sumatera Utara 2.2 Polimer Polimer merupakan suatu makromolekul dengan rantai panjang yang terdiri dari unit-unit yang lebih kecil yang bergabung bersama. Unit-unit yang lebih kecil ini disebut monomer. Polimer merupakan obyek kajian yang amat rumit. Oleh karena itu dibuat pengelompokan-pengelompokan polimer menurut struktur, keadaan fisik, reaksi terhadap lingkungan, kimiawi serta penggunaan produk akhirnya. Secara struktur pembagian polimer adalah polimer yang merupakan molekul individual, polimer bercabang, polimer jaringan raksasa makroskopik. Secara tradisional polimerisasi telah diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama yaitu polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi (Stevens,M.P.,2007). Polimer terbentuk melalui suatu proses polimerisasi. Polimerisasi kondensasi melibatkan penggabungan molekul kecil-kecil, menghasilkan molekul besar-besar melalui reaksi kondensasi (atau adisi penyingkiran) dalam kimia organik. Misalnya, jika campuran etanol (etil alkohol) dan asam etanoat (asam asetat) dihasilkan, disertai penyingkiran air. CH3COOH + C2H5OH CH3COOC2H5 + H2O Asam Asetat Etiletanoat Etanol Air Polimerisasi kondensasi umumnya melibatkan penghilangan molekul air atau molekul kecil lainnya. Namun hal ini tidak selalu terjadi contohnya pembentukan poliuretan dari diol (glikol) dan diisosianat tidak melibatkan penghilangan molekul air atau molekul kecil lainnya. OCN – R – NCO + HO – R’ – OH Isosianat Diol (– CO – NH – R – NH – CO – O – R’ – O –) reaksi selanjutnya Poliuretan OCN – R – NH – CO – O – R’ – OH Universitas Sumatera Utara Pada reaksi diatas, reaksi antara gugus-gugus fungsi melibatkan pengalihan hydrogen dari gugus hidroksi keatom nitrogen pada gugus –NCO. Oleh karena rantai polimer yang dihasilkan mengandung gugus uretan, –NH – CO – O–, polimer disebut suatu poliuretan (Cowd,M.A.,1991). Sintesa polimer melalui reaksi polimerisasi bertujuan menciptakan polimer baru dengan struktur rantai tertentu sehingga menghasilkan bahan polimer dengan karakteristik dan sifat mekanis yang diinginkan. Penerapan bahan polimer kesegala kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan memerlukan berbagai standar mutu bahan polimer dari polimer komoditas, sampai bahan polimer teknik, dan polimer khusus. Penyediaan berbagai mutu bahan polimer ini tidak dapat dipenuhi bila hanya digunakan cara polimerisasi. Lebih lanjut, molekul polimer yang terbentuk dapat dimodifikasi menjadi polimer baru melalui reaksi polimer lainnya atau senyawa aditif berbobot molekul rendah (wirjosentono,B.,1995). 2.3 Lignin Kayu hampir seluruhnya terdiri dari tiga bahan: polisakarida, selulosa dan hemiselulosa, dan lignin. Saat ini sebagian besar lignin yang diproduksi dalam operasi-operasi pembuburan kayu dibakar sebagai bahan bakar pada tempat pembuburan (Stevens,M.P., 2007). Lignin berasal dari kata “lignum” yang berarti kayu. Lignin merupakan salah satu komponen kayu baik kayu jarum (gymnospermae) maupun kayu daun (angiospermae) di samping polisakarida dan ekstraktif. Ketiganya merupakan komponenn polimer, bergabung satu sama lain membentuk suatu struktur tiga dimensi yang sangat kompleks (Heradewi,2007). Lignin dapat dimanfaatkan secara komersial sebagai bahan pengikat, perekat, pengisi, surfaktan, produk polimer, dispersan dan sumber bahan kimia lainnya (Heradewi,2007 dan Simatupang,H., Andi Nata, Netti Herlina,2012). Universitas Sumatera Utara Jumlah dan sifat lignin kayu sangat bervariasi bergantung pada jenis kayu, kayu daun jarum (softwood) atau kayu daun lebar (hard wood), lingkaran usia kayu. Penelitian pada “Douglas-fir: menunjukkan bahwa kayu di bagian tengah batang memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tepi batang. Kayu daun tropis mempunyai kandungan lignin lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun dari daerah temperatur sedang. Kandungan lignin kayu jarum bervariasi antara 24-33% dan kayu daun tropis 26-35%. Dalam tanaman bukan kayu kandungan lignin umumnya antara 12-17% (Supri, 2000). Poliuretan diturunkan dari dua jenis lignin, yakni lignin kraft, lignosulfonat dan molase (Hatakeyama,H.2005). 2.3.1 Gugus Fungsi Pada Lignin Lignin mempunyai gugus fungsi antara lain metoksil, hidroksil fenolik, hidroksil non fenolik, karbonil, eter, dan karbosila. Analisis gugus fungsi lignin pada prinsipnya merupakan analisis gugus fungsi organik yang sulit. Hal tersebut disebabkan oleh sifat lignin yang khas suatu polimer alam dengan struktur rumit, sifat polifungsi dan kelarutan sangat terbatas (Fengel dan wagener, 1985). Lignin mempunyai sifat pertukaran ion karena adanya berbagai macam gugus fungsi yang membuatnya menjadi substansi yang sangat aktif (Rudnitskaya,A.2012). 2.3.2 Gugus Hidroksil Pada Lignin Suatu monomer lignin mempunyai gugu hidroksil alifatik terminal pada C-γ pada rantai samping selain gugus hidroksil fenolik pada C-4 cincin aromatik. Lignin kayu dan bambu mengandung hidroksil alifatik total lebih dari 1,1 mol/satuan C-9, sedangkan kandungan hidroksil fenolik total pada lignin kayu kurang dari 0,1 mol persatuan C-9. Reaktivitas kimiawi lignin dalam berbagai proses modifikasi sangat dipengaruhi kandungan hidroksil fenolik (reaksi dengan formaldehid untuk produksi bahan perekat). Pengukuran kuantitatif gugus hidroksil fenolik memberikan informasi penting tentang struktur dan reaktivitas lignin (Fengel dan wagener, 1985). Universitas Sumatera Utara 2.3.3 Spektroskopi Infra Merah Pada Lignin Spektrum lignin menunjukkan sejumlah pita serapan utama yang dapat diperuntukkan secara empiris bagi gugus-gugus struktural, berdasarkan hasil yang diperoleh dari senyawa model lignin. Pita-pita FTIR khas dengan peruntukan saling mungkin tercantum dalam tabel 2.2 Tabel 2.2 Pita Serapan Penting FTIR Lignin (menurut Hergert 1971). Kedudukan (cm-1) 3450-3400 2940-2820 1715-1710 1675-1660 1605-1600 1515-1505 1470-1460 1430-1425 1330-1325 1270-1275 1085-1030 Pita Serapan Asal Rentangan OH Rentangan metil dan metilen Rentangan C=O tak terkonjugasi Rentangan C=O terkonjugasi Vibrasi cincin aromatic Vibrasi cincin aromatic Deformasi C-H (asimetri) Vibrasi cincin aromatic Vibrasi cincin siringil Vibrasi cincin quaiasil Deformasi C-H2 C-O Pita serpan infra merah lignin yang paling karakteristik terdapat pada sekitar 1510 cm-1 dan 1600 cm-1 (vibrasi cincin aromatik). Daerah bilangan gelombang yang di sebut pertama miskin dalam pita-pita tambahan dan karena itu dapat digunakan untuk mengkaji adanya lignin dalam sedian-sedian yang tak diketahui. Hubungan yang berbeda antara intentitas pita-pita serapan pada 1510 cm1 dan 1600 cm-1 dapat digunakan untuk membedakan lignin kayu lunak dan kayu keras. Dalam senyawa model siringil tak terkonjugasi dan lignin kayu keras. Intentitas pita-pita serapan tersebut hampir sama, sedangkan dalam senyawa quaiasil tak terkonjugasi dan lignin kayu lunak intentitas pita-pita serapan 1510 cm-1 jauh lebih tinggi lagi. Serapan quaiasil dan siringil masing-masing terdapat pada sekitar 1270 cm-1 dan 1330 cm-1 (Fengel dan wagener, 1985). Universitas Sumatera Utara 2.3.4 Isolasi Lignin Metoda isolasi lignin pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar: a. Metoda yang menghasilkan lignin sebagai sisa. b. Metoda yang melarutkan lignin tanpa bereaksi dengan pelarut yang digunakan untuk ekstraksi atau dengan pembentukan turunan yang larut. Sebelum isolasi lignin, ekstraktif harus dihilangkan terlebih dahulu untuk mencegah pembentukan hasil-hasil kondensasi dengan lignin selama proses isolasi. Dengan alasan yang sama, terutama jika asam mineral kuat digunakan dalam isolasi pelarut seperti alkohol atau aseton harus dihilangkan dengan sempurna dari kayu yang diekstraksi. Metoda isolasi kelompok pertama menghasilkan lignin asam dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida, campuran asam-asam tersebut atau mineral lain. Dalam hal lignin asam sulfat konsentrasi asam yang digunakan untuk tahap hidrolisis pertama adalah antara 68% dan 78% (kebanyakan 72%) kemudian dilanjutkan dengan tahap pengenceran dan untuk menyempurnakan hidrolisis polisakarida digunakan asam dengan konsentrasi rendah. Lignin asam klorida yang diperoleh dengan mereaksikan kayu dengan asam klorida lewat jenuh dikatakan kurang terkondensasi bila dibandingkan dengan lignin asam sulfat. Semua lignin yang diperoleh dengan hidrolisis asam berubah struktur dan sifat-sifatnya terutama karena reaksi kondensasi (Fengel dan wagener, 1985). 2.3.5 Penentuan Lignin Metoda-metoda penentuan lignin secara kuantitatif dapat dibagi sebagai berikut : 1. Metoda langsung , yaitu lignin ditentukan sebagai sisa. 2. Metoda tidak langsung, dimana kandungan lignin dihitung sesudah penetuan polisakarida, dihitung dengan metoda spektrofotometri, merupakan hasil reaksi lignin dengan kimia pengoksidasi. Metoda langsung didasarkan pada prinsip isolasi dan penentuan secara gravimetri lignin yang tidak larut dalam asam. Metoda yang paling mantap adalah penentuan lignin menurut Klason. Hidrolisis dilakukan dengan perlakuan kayu yang sudah Universitas Sumatera Utara diekstraksi lebih dahulu atau pulp tak dikelantang dengan asam sulfat 72% dan langkah terakhir hidrolisis dengan asam sulfat 3% pada kondisi tertentu (Fengel dan wagener, 1985). 2.4 Perekat 2.4.1 Isosianat Perekat isosianat merupakan bahan reaktif yang kuat rekatannya pada logam, karet, plastik, gelas, kulit, kain. Yang terpenting ialah dipoli-isosianat, yang gugus-gugus fungsinya efektif berikatan dengan gugus-gugus berkandungan hidrogen aktif (seperti amino, imino, karboksil, sulfonat, hidroksil). Penggunaannya dapat tersendiri atau dicampur larutan elastromer (perekat karet ke logam atau kain), zat pengubah sifat perekat basis karet (serba guna), sebagai reaktan dengan poliester atau polieter menghasilkan poliuretan untuk maksud khusus. Perekat isosianat misalnya difenilmetan diisosianat dalam khlorobenzen baik untuk merekatkan logam-elastromer yang tahan panas, pelarut pukulan dan awet (tidak mengalami fatigue/kelelahan). Larutan 2% isosianat dalam hidrokarbon aromatik meningkatkan adhesi antara kain dengan karet apabila dipakai sebagai primer. Bila dipoli-isosianat dicampur dengan perekat basis karet (sampai 20% berat, bebas pelarut), dioleskan ke substrat, dikeringkan, lalu curing, terhasil rekatan yang baik. Difenildiisosianat modifikasi, yakni dengan karet (alam/sintetik) dalam pelarut aromatik, baik untuk primer karet ke kain. Diisosianat juga baik untuk meningkatkan adhesi antara serat poliester dengan karet, yaitu dengan dimasukkan ke karet saat pemrosesan. Diisosianat juga memperbaiki rekatan karet-logam dengan perbandingan tertentu. Universitas Sumatera Utara Perekat isosianat-poliester metan juga banyak dipergunakan. Isosianat polifungsi direaksikan dengan senyawa polihidroksi (poliester tak jenuh atau fenol) membentuk poliuretan bergugus isosianat bebas, yang dapat bereaksi dengan permukaan substrat. Reaksinya dapat sempurna atau parsial selama curing (Hartomo,A.J., 1996). 2.4.1.1 Jenis Perekat Isosianat Isosianat merupakan bagian yang utama dalam pembentukan poliuretan, ia mempunyai reaktivitas yang sangat tinggi, khusnya dengan reaktan nukleofilik. Reaktivitas dari poliuretan ditentukan oleh sifat posistif dari atom C dalamn ikatan rangkap yang terdiri dari pada N, C, dan O. Dalam pembentukan poliuretan adalah sangat perlu memilih isosianat yang sesuai untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil akhir, seperti terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretana, dan alfanat. Banyak peneliti telah memakai berbagai isosianat untuk mendapatkan hasil akhir poliuretan yang diinginkan. Isosianat yang umum digunakan dan telah dipasarkan contohnya : a). Difenilmetana diisosianat (MDI) MDI adalah turunan dari aniline, reaksi dasarnya yaitu NH2 CH2O H2N CH2 NH2 4,4 - diaminodippenylmethane COCl2 OCN CH 2 NCO Diphenylmethane 4,4 - diisosianat Dalam tahap pertama, aniline bersama dengan formaldehid pada konsentrasi yang ada. Asam klorida sebagai katalis, produknya campuran dari Universitas Sumatera Utara amine, yang disusun terutama dari 4,4 – diamino difenilmetana dengan jumlah 2,4 – isomer dan macam-macam polim ina lebih kurang 6 kelompok amino setiap molekul. Poliamina mempunyai struktur. CH CH 2 HN 2 CH 2 2 CH 2 Komposisi yang tepat dari campuran terutama tergantung perbandingan aniline formaldehid yang digunakan, ia akan bertambah jumlahnya karena aniline yang diberikan pada susunan dari diamino difenilmetana. Kadang-kadang campuran amin adalah fraksi bersih yang diberikan 4,4, - diamino difenilmetana yang mana selanjutnya melalui tahap phosgenasi dari difenilmetana 4,4 diisosianat. Difenilmetana diisosianat berwujud padat, dengan titik leleh 37 – 38 oC disamping itu polimer difenilmetana diisosianat juga ada berwujud cair, keduaduanya produk yang mempunyai tekanan uap rendah disbanding dengan toluene diidosianat telah digunakan dalam pembuatan elastomer dalam skala pabrik dan polimer difenilmetana yang paling luas dalam pemakaiannya terutama untuk produk rigid foam. b). Toluen Diisosianat (TDI) Toluene adalah bahan pertama dari produksi toluene diisosianat (TDI). Prosesnya boleh bervariasi supaya memberikan hasil dari turunan ispmer yang dikehendaki. Pada proses phosgenasi biasanya mempertimbangkan untuk mengikutsertakan pada pembentukan dari karbonil klorida didalam keadaan dingin dan produk ini dalam keadaan panas. R – NH2 + COCl2 R – NHCOCl R – NHCOCl + HCl R – NCO + HCl Universitas Sumatera Utara Isomer toluena diisosianat adalah campuran cair dalam batas suhu 5 – 15 0 C dan karena itu biasanya dijumpai sebagai cairan tolilen 2,4 – diisosianat, dan jika dijumpai dalam padatan biasanya dengan titik leleh 22 oC. Toluen diisosianat dapat menimbulkan iritasi pada pernapasan dan sangat diperhatikan dalam pengguanaannya. Produknya bermacam-macam lebih dari 80 : 20 campuran isomer yang sangat luas penggunaanya, terutama dalam produksi dari fleksibel foam. 4 – isosianat adalah kelompok paling banyak digunakan yang lebih reaktif disbanding 2 atau 6 – isosianat. c). Nafialena 1,5 – diisosianat (NDI) Naftalena 1,5 – diisosianat adalah turunan dari naftalena NH2 NO2 [H] HNO3 H SO 3 4 0 80 – 100 C NO2 Naphthalene 1,5 - diamine 1,5 - dinitronaphthalene NH2 Napthalene COCI 2 NCO NCO Napthalene 1,5 - diidosianat Naftalena 1,5 – diisosianat adalah berwujud padat dengan titik leleh 128 0 C dan mempunyai tekanan uap rendah dari pada toluen diisosianat dan bersifat kurang toksit dalam penggunaannya, tetapi ia mempunyai sifat yang sensitive. Naftalenen 1,5 – diisosianat digunakan tertama dalam produk elastomer. Universitas Sumatera Utara d). HDI (Hexametilen diisosianat) Hexametilen diisosianat (HDI) dihasilkan melalui phosgenasi hexametilendiamin H2N – (CH2)6 – NH COCl2 → OCN – (CH2)6 – NCO Hexametilen diisosianat merupakan cairan yang tekanan penguapannya hamper sama dengan TDI juga bersifat mengganggu pernafasan dan dapat menimbulkan efek yang berbahaya terhadap kulit dan mata. HDI merupakan salah satu diisosianat yang pertama sekali digunakan dalam pembuatan PU dalam hal ini dalam pembuatan fiber (Hepburn, C., 1991). 2.4.2 Perekat Lignin Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, paste dan cement. 1. Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku, urat, otot dan tulang yang secara luas digunakan dalam industry pengerjaan kayu. 2. Mucilage adalah perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan diperuntukkan terutama untuk merekatkan kertas. 3. Paste merupakan perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta. 4. Cement adalah istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut. Berdasarkan unsure kimia utama (major chemical component), perekat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Perekat alami (Adhesive of natural origin) a. Berasal dari tumbuhan, seperti starches (pati). Dextrins (turunan pati) dan vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan. Universitas Sumatera Utara b. Berasal dari protein, seperti kulit, tulang, urat daging, blood (albumin dan darah keseluruhan), casein (susu) serta soybean meal (termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon dan biji durian) c. Berasal dari material lain, seperti asphalt, shellac (lak), rubber(karet), sodium silikat, magnesium oxychloride dan bahan anorganik lainnya. 2. Perekat sintetis (Adhesive of synthetic origin) a. Perekat termoplastis yaitu resin yang akan kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Contohnya seperti polyvinyl alkohol (PVA), polyvinyl asetat (PVAc), copolymers, cellulose esters, poliamida, polistirena, polivinil butiral, serta polivinil formal. b. Perekat thermosetting yaitu resin yang mengalami atau telah mengalami reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultra violet dan sebagainya serta tidak kembali ke bentuk semula. Contohnya seperti urea, melamin, phenol, resolcinol, furfuryl alcohol, epoxy, polyurethane, unsaturated polyesters (poli ester tidak jenuh). Untuk perekat urea, melamine, phenol dan resorcinol menjadi perekat setelah direaksikan dengan formaldehida (CH2O) (Sucipto, T. 2009). 2.5 Poliuretan Poliuretan merupakan bahan polimer yang mengandung gugus fungsi uretan (NHCOO-) dalam rantai molekulnya. Gugus fungsi tersebut terbentuk sebagai hasil reaksi antara gugus isosianat dengan gugus hidroksi. Poliuretan struktur linier diperoleh dengan cara mereaksikan diol rantai pendek dengan diisosianat. Poliuretan bercabang dan berikatan silang diperoleh dengan cara mereaksikan molekul yang mengandung gugus –OH > 2 dengan diisosianat atau dengan mereaksikan glikol dengan diisosianat dan dilakukan penambahan sejumlah kecil poliol (Rohaeti,E.,2005). Poliuretan dapat disintetis dari berbagai bahan baku yang mengandung gugus hidroksil (-OH) baik mono maupun poli (Marlina,2007). Universitas Sumatera Utara NCO + HO NHCO O Isosianat hidroksil Uretan Poliuretan yang disebut juga polikarbamat (dari asam karbamat, R2NHCO2H), adalah turunan ester amida dari asam karbonat. Poliuretan dipakai dalam berbagai macam aplikasi, termasuk serat (teristimewa jenis elastis), bahan perekat, pelapis, elastomer, dan busa-busa yang fleksibel yang kuat (Stevens,M.P.,2007) Penerapan terpenting poliuretana untuk serat-serat melibatkan kopolimer blok elastomeric yang terdiri dari segmen “lunak” dan “keras” yang berselangseling. (Spandex dari du Pont adalah salah satu contohnya). Yang khas, diisosianat aromatic berlebih direaksikan dengan polieter atau polyester berujung hidroksi yang memiliki berat molekul rata-rata 2000 sampai 3000 untuk menghasilkan suatu polimer berujung isosianat yang selanjutnya bereaksi dengan rantai diamin yang berfungsi sebagai pemanjang. Perlu dicatat bahwa perpanjangan rantai terjadi lewat ikatan-ikatan urea bukan uretana. Polieter dan poliester umum, berturut-turut, yaitu poli(propilena glikol) dan poli(dietilenaglikol adipat). Toluena-diisosianat (TDI) dan metilena-4,4’-difenildiisosianat (MDI) merupakan diisosianat-diisosianat yang khas. Diamin-diamin sebagai etilendiamin dipakai sebagai pemanjang. Serat elastomerik memperlihatkan karakteristik morfologis yang serupa dengan elastomer termoplastik. Menurut Min,K.2003 untuk mengkarakterisasi polimerisasi poliuretan sangat baik menggunakan spektroskopi Raman dalam mengukur intensitas hamburan yang berasal dari diisosianat. Segmen-segmennya yang keras bergabung ke dalam mikrodomain Kristal sedangkan segmen-segmen lunaknya yang dominan, yang mengkonstitusi fasa kontinyu. Tetap amorf dan membentuk koil yang acak. Dengan penegangan, segmen-segmen lunak menjadi memanjang dan berkristal, tetapi ketika penegangan tersebut dihilangkan ia akan Universitas Sumatera Utara segera kembali ke keadaan amorfus dengan tenaga yang sebanding dengan besarnya perubahan entropi sistem tersebut. Elastomer poliuretan digunakan sebagai perekat kontak yang dihasilkan melalui reaksi antara poliester diol dengan 4,4’-difenil-imetan-diisosianat yang menghasilkan suatu polimmer linier yang cabangnya dapat diabaikan. Poliester ini akan menyumbangkan sifat kristalinitas pada produk akhir poliuretan. Polimer ini dihasilkan melalui suatu proses polimerisasi dengan temperatur reaksi 100-140oC (umumnya 120oC) dan waktu reaksinya sekita 0,5-24 jam (umumnya adalah sekitar 1-2 jam). Massa molarnya dapat dihitung dengan mengukur viskositas spesifiknya. Untuk menghasilkan sifat-sifat larutan yang baik, maka perbandingan molar isosianat dengan hidroksil, biasanya berkisar antara 0,97:1,0 dan 0,999:1,000, yang dapat menghasilkan suatu polimer dengan gugus hidroksil terminal. Walaupun ada sejumlah reaksi yang merumuskan pembentukan poliuretan, tetapi hanya satu bentuk umum yang paling penting: yaitu reaksi antara suatu isosianat dengan suatu alkohol. Untuk menghasilkan polimer ini, maka paling tidak harus mengandung dua gugus fungsional : n OCNRNCO + n HOR’OH → n OCN(RNHCOOR’)OH (Wake,W.C.,1987) Penentuan degradasi termal dari elastomer poliuretan didasarkan pada 4,4’-dipenilmetan diisosianat dalam atmosfer nitrogen pada 600oC (Rosu,D.2010). Dimana stabilitas termal akan meningkat dengan adanya komponen molase dalam campuran poliol (Tay,G.S.2011). Sedangkan menurut Chen,S.2012 stabilitas termal poliuretan piridin secara kuantitatif menunjukkan bahwa poliuretan piridin memiliki minimal dua tahap degradasi, dimana stabilitas termalnya lebih baik di bawah oksigen dibandingkan dengan nitrogen. Universitas Sumatera Utara 2.5.1 Pembuatan Poliuretan Pada dasarnya poliuretan dapat dibuat melalui reaksi polimerisasi antara monomer-monomer diisosianat dengan poliol polieter atau poliester. Polieter yang dapat digunakan sebagai poliol dalam sintesis poliuretan, yaitu politetrametilenglikol, polietilen glikol, dan polipropilen glikol. Poliester yang umum digunakan untuk sintesis poliuretan yaitu poliester jenuh yang mengandung gugus hidroksi terminal, diantaranya polietilen adipat, polipropilen adipat, dan gliserol adipat (Rohaeti,E.,2005). Ada dua metode utama untuk pembuatan poliuretan: reaksi biskloroformat dengan diamin dan lebih penting dari prespektif industry, reaksi diisosianat dengan senyawa-senyawa dihidrasi. Biskloroformat, yang dipreparasi lewat reaksi diol atau bisfenol dengan fosgena berlebih, O O 2Cl – C – Cl + HO – R – OH O Cl – C – O – R – O – C – Cl + 2HCl Kurang reaktif daripada kloroda-klorida asam; meskipun demikian, ia bereaksi dengan diamin pada suhu rendah dibawah kondisi-kondisi polimerisasi antar permukaan. poliuretan yang terbentuk dalam reaksi O O Cl – C – O – (CH2)2 – O – C – Cl + H2N – (CH2)6 – NH2 O O – C – O – (CH2)2 – O – C – NH – (CH2)6 – NH – + 2HCl melebur pada suhu sekitar 180oC, dibandingkan dengan 295oC untuk poliamida (nilon 46) yang strukturnya sebanding (Stevens,M.P.,2007). Sedangkan menurut Rohaeti,E.,2005 metode yang umum dilakukan untuk mensintesis poliuretan adalah dengan mereaksikan suatu diol dengan diisosianat Universitas Sumatera Utara melalui metode polimerisasi larutan dan lelehan pada temperature cukup tinggi. Kereaktifan diisosianat merupakan factor penting dalam mensintesis poliuretan. Diisosianat aromatic bersifat lebih reaktif dibandingkan diisosianat alifatik, dan gugus diisosianat pada atom sekunder dan atom karbon tersier. Diisosianat komersial yang biasa digunakan, yaitu heksametilen-1,6-diisosianat(HMDI), difenilmetan-4,4’-diisosianat(MDI), dan campuran tolilen-2,4-diisosianat dengan tolilen-2,6-diisosianat(TDI). Adisi senyawa dihidroksi ke diisosianat untuk membentuk poliuretan pada prinsipnya serupa dengan sintesis poliurea. Di antara produk komersial yang paling awal (di kembangkan di Jerman sebagai alternative untuk serat-serat nilon yang dilindungi paten) adalah poliuretana 28 (Farbenfabriken Bayer, merek dagang Perlon U), yang di preparasi dari 1,6-heksanadiisosianat dan 1,4-butanadiol. Reaksi tersebut dikatalisis oleh amin dan beberapa garam logam, tetapi tidak diperlukan katalis-katalis untuk pembuatan polimer dengan berat molekul tinggi. Meskipun 28 secara komersial tidak lagi secemerlang nilon, rute diisosianat sekarang dipakai untuk membuat serat, plastik, elastomer, dan bahan pelapis uretana. Karena reaksinya sedemikian cepat, maka cocok sekali untuk teknologi RIM. O OCN(CH2)6NCO + HO(CH2)4OH O –CNH(CH2)6NHCO(CH2)4O– 28 Poliuretan linier biasanya dipreparasi dalam larutan karena polimer ini cenderung berdisosiasi menjadi alkohol dan isosianat atau terdekomposisi menjadi amin, olefin dan karbon dioksida pada suhu tinggi yang diperlukan untuk polimerisasi leburan. Hal ini teristimewa berlaku untuk poliuretan yang dipreparasi dengan diisosianat aromatik. Stabilitas termal antara lignin-hidroksi lebih baik daripada hanya menggunakan hidrosi saja pada pembuatan poliuretan (Sarkar,S.2001). Banyak Universitas Sumatera Utara dari produksi poliuretan melibatkan pemakaian polyester-poliester berujung hidroksi dengan berat molekul rendah atau polieter-polieter sebagai “monomer” dihidroksi. Kopolimer yang fleksibel dari tipe ini tidak hanya bermanfaat sebagai serat tetapi bias juga dikonversi menjadi elastomer-elastomer yang terikat silang lewat reaksi lebih lanjut dengan diisosianat berlebih, suatu reaksi adisi yang melibatkan nitrogen dari ikatan uretana. gugus yang terjadi adalah suatu alofonat (allophonate). O NHCO O + NCO ∆ NCO C O NH (Stevens,M.P.,2007) Jenis dan ukuran setiap monomer pembentuk poliuretan akan memberikan sumbangan terhadap sifat poliuretan yang dihasilkan. Hal ini membuat poliuretan dapat disintesis dengan massa jenis dan kekakuan bervariasi mulai dari elastomer yang sangat fleksibel hingga plastik kaku dan rigid. Bervariasinya massa jenis dan kekakuan poliuretan, sehingga produk poliuretan dapat dijumpai pada berbagai bidang kehidupan (Rohaeti,E.,2011). 2.5.2 Pembentukan Ikatan Silang Poliuretan Akibat dari struktur lignin yang rumit dan adanya ikatan hidrogen akan membentuk ikatan silang yang teratur pada poliuretan, akhirnya Poliuretan menjadi kaku (Supri,2004). Secara umum ada dua tahap pembentukan ikatan silang poliuretan, yaitu: 1. Mereaksikan diisosianat dengan dua atau lebih monomer yang mempunyai dua atau lebih gugus hidroksi per molekulnya. Dimana tingkat ikatan silang tergantung pada dasar struktur, fungsi dari kandungan polihidroksinya, dan variasi kandungan hidroksi. Universitas Sumatera Utara 2. Poliuretan liniear direaksikan dengan gugus hidroksi atau gugus diisosianat yang mempunyai dua gugus fungsi. Poliuretan elastis pertama kali disintesis oleh O, Bayer (1962) dengan dua tahap, yaitu pengeringan dan berat molekul rendah. Poliester atau polieter yang memiliki gugus hidroksi akan direaksikan dengan isosianat berlebih. Kira-kira 2 atau 3 molekul dioal linear berikatan secara bersama-sama sehingga dapat memperpanjang rantai rantai yang lurus serta mengandung beberapa gugus uretan (Eisenbach and Hartmuth, 1990). Sedangkan menurut Kurimoto,Y.2001 komponen kayu yang terlarut dapat bertindak sebagai titik pengikatan silang dalam jaringan struktur poliuretan. Reaksi ikat silang bisa juga diefektifkan dengan mempreparasi bagian dari polimer tersebut dengan suatu poliol seperti gliserol sehingga gugus-gugus hidroksi pendan yang terjadi sepanjang kerangka polimer bias bereaksi dengan diisosianat untuk memberikan ikatan-ikatan silang uretana. + OH NCO O C O NH Kopolimer-kopolimer terkait dipreparasi dengan cara mereaksikan polyester berujung hidroksi atau polieter dengan diisosianat berlebih untuk memberikan suatu produk yang berujung isosianat. Kemudian reaksi ikat silang bisa diefektifkan dengan berbagai cara. Sebagai suatu bahan pelapis permukaan, gugus-gugus isosianat tersebut bereaksi dengan air atmosferik untuk memberikan perpanjangan rantai melalui ikatan-ikatan urea. reaksi tersebut melibatkan pembentukan asam karbamat tak stabil, yang berdekarbosilasi. Reaksi antara amin yang terjadi dan isosianat yang tak bereaksi akan menghasilkan urea. Universitas Sumatera Utara O OCN NCO + H2O OCN (−CO2 ) NHCOH → O OCN NH2 NHCNH Reaksi ikat silang bisa terjadi lewat reaksi gugus-gugus urea dengan isosianat yang tak bereaksi untuk membentuk ikatan silang biuret. Pelapis-pelapis tipe ini biasanya diformulasikan dengan polyester yang dipreparasi dengan alkohol-alkohol polifungsional untuk memastikan bahwa reaksi ikat silang akan terjadi menurut reaksi. Karena tidak diperlukan bahan tambahan untuk mengefektifkan proses ikat silang, formulasi bahan pelapis demikian sering dinyatakan sebagai sistem “satu komponen” atau “satu pot”. Polimer-polimer berujung isosianat bisa dipolimerisasikan lebih lanjut lewat reaksi-reaksi dengan diol atau diamin untuk membentuk berturut-turut gugus uretana dan urea tambahan. Menurut Min,K.2005 reaksi polimerisasi poliuretan akan memiliki sifat termodinamik yang meningkat dengan adanya poli (vinil klorida) dan hpencampuran ikatan silang yang dihasilkan menjadi lebih baik. O NHCNH O + NCO NHCN C O NH (Stevens,M.P.,2007) 2.6 Karakterisasi Poliuretan Karakteristik dari poliuretan yang dihasilkan meliputi analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy (SEM), analisa Sifat Thermal dengan Uji Differential Scanning Calorimeter (DSC). Universitas Sumatera Utara 2.6.1 Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR) Spektroskopi inframerah merupakan teknik spektroskopi yang dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tak diketahui maupun untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui. Identifikasi dengan spektroskopi inframerah adalah berdasarkan penentuan gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawaan yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Selain dari senyawaan isomer-optik, tidak satupun antara 2 senyawaan yang mempunyai kurva serapan inframerah yang identik. Daerah inframerah terletak pada daerah spektrum 4000400 cm-1. Analisis infra merah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai struktur polimer. Di samping itu analisis mengenai bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap polimer. Gugus lain yang menunjukkan terjadinya degradasi oksidatif adalah gugus karbonil dan karboksilat. Umumnya pita serapan polimer pada spektrum infra merah adalah adanya ikatan C/H/regangan pada daerah 2880 cm-1 sampai dengan 2900 cm-1 dan regangan dari gugus lain yang mendukung suatu analisa mineral (Hummel, 1985). Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya ( Hummel, 1985 ). Spektrofotometer infra merah terutama ditujukan untuk senyawa organik yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada daerah sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif Universitas Sumatera Utara dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan -bahan yang dicampurkan. (Antonius Sitorus, 2009). 2.6.2 Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan absorpsi elektron. Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam suatu disket. Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atas campuran emas dan palladium (Rusdi Rafli, 2008). Universitas Sumatera Utara 2.6.3 Analisa Sifat Termal dengan Uji Differential Scanning Calorimeter (DSC) Differential Scanning Calorimetry (DSC) merupakan teknik analisa termal yang dapat digunakan untuk mempelajari temperatur transisi, kalor transisi, entalpi reaksi, kalor spesifik dari material padat. Analisa termal dapat diartikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik maupun kimia suatu material sebagai fungsi dari temperatur. Pada awal data diplot kemudian dianalisa untuk menentukan nilai Tg, Tm, Entalpi reaksi baik eksoterm maupun endotermik dan lain-lain. Peralatan DSC dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengukur perbedaan energi yang diberikan pada substansi dan material referensi sebagai fungsi dari temperatur atau waktu. Dalam bidang polimer peralatan ini banyak digunakan untuk menentukan temperatur transisi gelas (Tg) dan temperatur leleh (Tm). Temperatur transisi gelas (Tg) merupakan temperatur dimana terjadi perubahan sifat-sifat fisik polimer dari bentuk kaku (glassy) menjadi bersifat elastik (lunak). Temperatur transisi gelas sendiri bersfat spesifik untuk setiap material padat yang dianalisa. Untuk material yang kristalin atau semikristralin, puncak-puncak tersebut akan tampak tajam (jelas), sedangkan untuk material yang amorf, puncak-puncak tersebut tampak sebagai lereng (slope) atau bahkan tidak tampak sama sekali (Bandrup, 1985). Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur bahan polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS. campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak Tg , karena disamping masing-masing komponen masih merupakan fase terpisah, daerah antarmuka mungkin memberikan Tg yang berbeda (Basuki wirjosentono, 1995). Universitas Sumatera Utara