BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Indonesia - USU-IR

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hutan Indonesia
Kehutanan dan hasil hutan di Indonesia telah dikukuhkan dalam Undang-Undang
Kehutanan No. 5 tahun 1967 tanang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan
tidak berubah dalam Undang-Undang Kehutanan yang baru.
Jika rumusan hutan dalam undang-undang dicermati untuk disoroti dari
sudut sumber daya ekonomi, ternyata dalam rumusan itu terdapat tiga macam
sumber daya alam, yaitu lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya,
serta lingkungan itu sendiri sebagai sumber daya ekonomi yang pada akhir-akhir
ini tidak boleh diabaikan. Pengembangan peran lingkungan hidup di atas sumber
daya majemuk itu, misalnya untuk kepentingan tata air, pembinaan satwa liar,
wisata, ameliorsi iklim dan lain-lain memandang massa kayu dan lahan sebagai
modal (Wirakusumah,S.,2003).
Pulau-pulau yang tersebar luas di Indonesia ini menjadi tempat bentangan
hutan hujan tropis terbesar nomor dua di dunia, yang menckup kurang lebih 109
juta hektar atau 56 persen tanah daratannya. Dari 19 jenis hutan yang telah
diidentifikasi sejauh ini, hutan hijau abadi dataran rendah adalah yang paling luas,
mencakup sekitar 55 persen jumlah keseluruhan di pulau-pulau luar jawa
(Barber,C.V.,1999).
2.1.1
Pengelolaan Hutan
Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan fungsi hutan untuk memenuhi kebutuhan
manusia secara maksimal. Pada waktu masyarakat manusia belum mengenal
Universitas Sumatera Utara
hubungan komersial secara luas, hutan hanya dimanfaatkan sebagai tempat untuk
mengambil bahan makanan, nabati maupun hewani, atau tempat untuk mengambil
kayu untuk membuat rumah tempat tinggal dan untuk sumber energi.
Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di Negaranegara maju, khususnya Eropa Barat, Skandinavia, dan Amerika Serikat,
sepanjang abad ke-18 dan 19 sampai paruh pertama abad ke-20. System
pengelolaan kebun kayu itu yang menempatkan kelestarian hasil sebagai landasan
utamanya, dikenal sebagai sistem pengelolaan hutan modern. Di jawa, sistem
tersebut juga dapat terlaksana dengan sukses untuk membuat hutan tanaman jati
(Simon,H.,2008).
2.1.2
Hasil Hutan Kayu
Hasil hutan kayu oleh FAO (1993) digolongkan dalam kayu industri dan kayu
bakar sebagai satu-satunya hasil hutan bukan kayu industri. Di Indonesia
konsumsi hasil-hasil kayu masih sangat terbatas. Hal itu disebabkan permintaan
yang tinggi terhadap kayu bulat disusul permintaan kayu gergajian dan kayu lapis
yang sangat merangsang. Tiga hasil hutan kayu di sini adalah kayu bulat, kayu
gergajian, dan kayu lapis (Wirakusumah,S.,2003).
2.1.3
Kayu Jati
Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9
telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi.
Di indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki
kelas awet tinggi yang tahan ganggu rayap serta jamur dan awet (mampu bertahan
hingga 500 tahun).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Kayu Jati (sumber : kebun-jati.blogspot.com)
Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai
berikut.
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub-kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Verbenales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Spesies
: Tectona grandis Linn. f. (Sumarna,Y.2001).
Serbuk gergaji kayu jati mengandung komponen utama selulosa,
hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif kayu. Komponen kimia didalam kayu
mempunyai arti penting, karena menentukan kegunaan sesuatu jenis kayu juga
dengan mengetahuinya kita dapat membedakan jenis kayu. Komponen kimia kayu
jati dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Komponen-komponen Kimia Kayu Jati
Komponen Kimia
Selulosa
Lignin
Pentosa
Abu
Silika
Kandungan
45,5%
29,9%
14,4%
1,4%
0,4%
Universitas Sumatera Utara
2.2
Polimer
Polimer merupakan suatu makromolekul dengan rantai panjang yang terdiri dari
unit-unit yang lebih kecil yang bergabung bersama. Unit-unit yang lebih kecil ini
disebut monomer.
Polimer merupakan obyek kajian yang amat rumit. Oleh karena itu dibuat
pengelompokan-pengelompokan polimer menurut struktur, keadaan fisik, reaksi
terhadap lingkungan, kimiawi serta penggunaan produk akhirnya. Secara struktur
pembagian polimer adalah polimer yang merupakan molekul individual, polimer
bercabang, polimer jaringan raksasa makroskopik. Secara tradisional polimerisasi
telah diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama yaitu polimerisasi adisi dan
polimerisasi kondensasi (Stevens,M.P.,2007).
Polimer terbentuk melalui suatu proses polimerisasi. Polimerisasi
kondensasi melibatkan penggabungan molekul kecil-kecil, menghasilkan molekul
besar-besar melalui reaksi kondensasi (atau adisi penyingkiran) dalam kimia
organik. Misalnya, jika campuran etanol (etil alkohol) dan asam etanoat (asam
asetat) dihasilkan, disertai penyingkiran air.
CH3COOH + C2H5OH
CH3COOC2H5 + H2O
Asam Asetat
Etiletanoat
Etanol
Air
Polimerisasi kondensasi umumnya melibatkan penghilangan molekul air atau
molekul kecil lainnya. Namun hal ini tidak selalu terjadi contohnya pembentukan
poliuretan dari diol (glikol) dan diisosianat tidak melibatkan penghilangan
molekul air atau molekul kecil lainnya.
OCN – R – NCO + HO – R’ – OH
Isosianat
Diol
(– CO – NH – R – NH – CO – O – R’ – O –)
reaksi selanjutnya
Poliuretan
OCN – R – NH – CO – O – R’ – OH
Universitas Sumatera Utara
Pada reaksi diatas, reaksi antara gugus-gugus fungsi melibatkan
pengalihan hydrogen dari gugus hidroksi keatom nitrogen pada gugus –NCO.
Oleh karena rantai polimer yang dihasilkan mengandung gugus uretan, –NH – CO
– O–, polimer disebut suatu poliuretan (Cowd,M.A.,1991).
Sintesa polimer melalui reaksi polimerisasi bertujuan menciptakan polimer
baru dengan struktur rantai tertentu sehingga menghasilkan bahan polimer dengan
karakteristik dan sifat mekanis yang diinginkan. Penerapan bahan polimer
kesegala kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan
papan memerlukan berbagai standar mutu bahan polimer dari polimer komoditas,
sampai bahan polimer teknik, dan polimer khusus. Penyediaan berbagai mutu
bahan polimer ini tidak dapat dipenuhi bila hanya digunakan cara polimerisasi.
Lebih lanjut, molekul polimer yang terbentuk dapat dimodifikasi menjadi polimer
baru melalui reaksi polimer lainnya atau senyawa aditif berbobot molekul rendah
(wirjosentono,B.,1995).
2.3
Lignin
Kayu hampir seluruhnya terdiri dari tiga bahan: polisakarida, selulosa dan
hemiselulosa, dan lignin. Saat ini sebagian besar lignin yang diproduksi dalam
operasi-operasi pembuburan kayu dibakar sebagai bahan bakar pada tempat
pembuburan (Stevens,M.P., 2007).
Lignin berasal dari kata “lignum” yang berarti kayu. Lignin merupakan
salah satu komponen kayu baik kayu jarum (gymnospermae) maupun kayu daun
(angiospermae) di samping polisakarida dan ekstraktif. Ketiganya merupakan
komponenn polimer, bergabung satu sama lain membentuk suatu struktur tiga
dimensi yang sangat kompleks (Heradewi,2007). Lignin dapat dimanfaatkan
secara komersial sebagai bahan pengikat, perekat, pengisi, surfaktan, produk
polimer, dispersan dan sumber bahan kimia lainnya (Heradewi,2007 dan
Simatupang,H., Andi Nata, Netti Herlina,2012).
Universitas Sumatera Utara
Jumlah dan sifat lignin kayu sangat bervariasi bergantung pada jenis kayu,
kayu daun jarum (softwood) atau kayu daun lebar (hard wood), lingkaran usia
kayu. Penelitian pada “Douglas-fir: menunjukkan bahwa kayu di bagian tengah
batang memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian
tepi batang. Kayu daun tropis mempunyai kandungan lignin lebih tinggi
dibandingkan dengan kayu daun dari daerah temperatur sedang. Kandungan lignin
kayu jarum bervariasi antara 24-33% dan kayu daun tropis 26-35%. Dalam
tanaman bukan kayu kandungan lignin umumnya antara 12-17% (Supri, 2000).
Poliuretan diturunkan dari dua jenis lignin, yakni lignin kraft, lignosulfonat dan
molase (Hatakeyama,H.2005).
2.3.1
Gugus Fungsi Pada Lignin
Lignin mempunyai gugus fungsi antara lain metoksil, hidroksil fenolik, hidroksil
non fenolik, karbonil, eter, dan karbosila. Analisis gugus fungsi lignin pada
prinsipnya merupakan analisis gugus fungsi organik yang sulit. Hal tersebut
disebabkan oleh sifat lignin yang khas suatu polimer alam dengan struktur rumit,
sifat polifungsi dan kelarutan sangat terbatas (Fengel dan wagener, 1985). Lignin
mempunyai sifat pertukaran ion karena adanya berbagai macam gugus fungsi
yang membuatnya menjadi substansi yang sangat aktif (Rudnitskaya,A.2012).
2.3.2
Gugus Hidroksil Pada Lignin
Suatu monomer lignin mempunyai gugu hidroksil alifatik terminal pada C-γ pada
rantai samping selain gugus hidroksil fenolik pada C-4 cincin aromatik. Lignin
kayu dan bambu mengandung hidroksil alifatik total lebih dari 1,1 mol/satuan C-9,
sedangkan kandungan hidroksil fenolik total pada lignin kayu kurang dari 0,1 mol
persatuan C-9. Reaktivitas kimiawi lignin dalam berbagai proses modifikasi sangat
dipengaruhi kandungan hidroksil fenolik (reaksi dengan formaldehid untuk
produksi bahan perekat). Pengukuran kuantitatif gugus hidroksil fenolik
memberikan informasi penting tentang struktur dan reaktivitas lignin (Fengel dan
wagener, 1985).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3
Spektroskopi Infra Merah Pada Lignin
Spektrum lignin menunjukkan sejumlah pita serapan utama yang dapat
diperuntukkan secara empiris bagi gugus-gugus struktural, berdasarkan hasil yang
diperoleh dari senyawa model lignin. Pita-pita FTIR khas dengan peruntukan
saling mungkin tercantum dalam tabel 2.2
Tabel 2.2 Pita Serapan Penting FTIR Lignin (menurut Hergert 1971).
Kedudukan (cm-1)
3450-3400
2940-2820
1715-1710
1675-1660
1605-1600
1515-1505
1470-1460
1430-1425
1330-1325
1270-1275
1085-1030
Pita Serapan Asal
Rentangan OH
Rentangan metil dan metilen
Rentangan C=O tak terkonjugasi
Rentangan C=O terkonjugasi
Vibrasi cincin aromatic
Vibrasi cincin aromatic
Deformasi C-H (asimetri)
Vibrasi cincin aromatic
Vibrasi cincin siringil
Vibrasi cincin quaiasil
Deformasi C-H2 C-O
Pita serpan infra merah lignin yang paling karakteristik terdapat pada sekitar
1510 cm-1 dan 1600 cm-1 (vibrasi cincin aromatik). Daerah bilangan gelombang
yang di sebut pertama miskin dalam pita-pita tambahan dan karena itu dapat
digunakan untuk mengkaji adanya lignin dalam sedian-sedian yang tak diketahui.
Hubungan yang berbeda antara intentitas pita-pita serapan pada 1510 cm1
dan 1600 cm-1 dapat digunakan untuk membedakan lignin kayu lunak dan kayu
keras. Dalam senyawa model siringil tak terkonjugasi dan lignin kayu keras.
Intentitas pita-pita serapan tersebut hampir sama, sedangkan dalam senyawa
quaiasil tak terkonjugasi dan lignin kayu lunak intentitas pita-pita serapan 1510
cm-1 jauh lebih tinggi lagi. Serapan quaiasil dan siringil masing-masing terdapat
pada sekitar 1270 cm-1 dan 1330 cm-1 (Fengel dan wagener, 1985).
Universitas Sumatera Utara
2.3.4
Isolasi Lignin
Metoda isolasi lignin pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar:
a.
Metoda yang menghasilkan lignin sebagai sisa.
b.
Metoda yang melarutkan lignin tanpa bereaksi dengan pelarut yang
digunakan untuk ekstraksi atau dengan pembentukan turunan yang larut.
Sebelum isolasi lignin, ekstraktif harus dihilangkan terlebih dahulu untuk
mencegah pembentukan hasil-hasil kondensasi dengan lignin selama proses
isolasi. Dengan alasan yang sama, terutama jika asam mineral kuat digunakan
dalam isolasi pelarut seperti alkohol atau aseton
harus dihilangkan dengan
sempurna dari kayu yang diekstraksi. Metoda isolasi kelompok pertama
menghasilkan lignin asam dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida,
campuran asam-asam tersebut atau mineral lain. Dalam hal lignin asam sulfat
konsentrasi asam yang digunakan untuk tahap hidrolisis pertama adalah antara
68% dan 78% (kebanyakan 72%) kemudian dilanjutkan dengan tahap
pengenceran dan untuk menyempurnakan hidrolisis polisakarida digunakan
asam dengan konsentrasi rendah. Lignin asam klorida yang diperoleh dengan
mereaksikan kayu dengan asam klorida
lewat jenuh dikatakan
kurang
terkondensasi bila dibandingkan dengan lignin asam sulfat. Semua lignin yang
diperoleh dengan hidrolisis asam berubah struktur dan sifat-sifatnya terutama
karena reaksi kondensasi (Fengel dan wagener, 1985).
2.3.5
Penentuan Lignin
Metoda-metoda penentuan lignin secara kuantitatif dapat dibagi sebagai berikut :
1.
Metoda langsung , yaitu lignin ditentukan sebagai sisa.
2.
Metoda tidak langsung, dimana
kandungan lignin dihitung sesudah
penetuan polisakarida, dihitung dengan metoda spektrofotometri,
merupakan hasil reaksi lignin dengan kimia pengoksidasi.
Metoda langsung didasarkan pada prinsip isolasi dan penentuan secara gravimetri
lignin yang tidak larut dalam asam. Metoda yang paling mantap adalah penentuan
lignin menurut Klason. Hidrolisis dilakukan dengan perlakuan kayu yang sudah
Universitas Sumatera Utara
diekstraksi lebih dahulu atau pulp tak dikelantang dengan asam sulfat 72% dan
langkah terakhir hidrolisis dengan asam sulfat 3% pada kondisi tertentu (Fengel
dan wagener, 1985).
2.4
Perekat
2.4.1
Isosianat
Perekat isosianat merupakan bahan reaktif yang kuat rekatannya pada logam,
karet, plastik, gelas, kulit, kain. Yang terpenting ialah dipoli-isosianat, yang
gugus-gugus fungsinya efektif berikatan dengan gugus-gugus berkandungan
hidrogen aktif (seperti amino, imino, karboksil, sulfonat, hidroksil).
Penggunaannya dapat tersendiri atau dicampur larutan elastromer (perekat
karet ke logam atau kain), zat pengubah sifat perekat basis karet (serba guna),
sebagai reaktan dengan poliester atau polieter menghasilkan poliuretan untuk
maksud khusus.
Perekat isosianat misalnya difenilmetan diisosianat dalam khlorobenzen
baik untuk merekatkan logam-elastromer yang tahan panas, pelarut pukulan dan
awet (tidak mengalami fatigue/kelelahan). Larutan 2% isosianat dalam
hidrokarbon aromatik meningkatkan adhesi antara kain dengan karet apabila
dipakai sebagai primer.
Bila dipoli-isosianat dicampur dengan perekat basis karet (sampai 20%
berat, bebas pelarut), dioleskan ke substrat, dikeringkan, lalu curing, terhasil
rekatan
yang
baik.
Difenildiisosianat
modifikasi,
yakni
dengan
karet
(alam/sintetik) dalam pelarut aromatik, baik untuk primer karet ke kain.
Diisosianat juga baik untuk meningkatkan adhesi antara serat poliester dengan
karet, yaitu dengan dimasukkan ke karet saat pemrosesan. Diisosianat juga
memperbaiki rekatan karet-logam dengan perbandingan tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Perekat isosianat-poliester metan juga banyak dipergunakan. Isosianat
polifungsi direaksikan dengan senyawa polihidroksi (poliester tak jenuh atau
fenol) membentuk poliuretan bergugus isosianat bebas, yang dapat bereaksi
dengan permukaan substrat. Reaksinya dapat sempurna atau parsial selama curing
(Hartomo,A.J., 1996).
2.4.1.1 Jenis Perekat Isosianat
Isosianat merupakan bagian yang utama dalam pembentukan poliuretan, ia
mempunyai reaktivitas yang sangat tinggi, khusnya dengan reaktan nukleofilik.
Reaktivitas dari poliuretan ditentukan oleh sifat posistif dari atom C dalamn
ikatan rangkap yang terdiri dari pada N, C, dan O.
Dalam pembentukan poliuretan adalah sangat perlu memilih isosianat
yang sesuai untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil
akhir, seperti terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretana, dan alfanat. Banyak
peneliti telah memakai berbagai isosianat untuk mendapatkan hasil akhir
poliuretan yang diinginkan. Isosianat yang umum digunakan dan telah dipasarkan
contohnya :
a). Difenilmetana diisosianat (MDI)
MDI adalah turunan dari aniline, reaksi dasarnya yaitu
NH2
CH2O
H2N
CH2
NH2
4,4 - diaminodippenylmethane
COCl2
OCN
CH
2
NCO
Diphenylmethane 4,4 - diisosianat
Dalam tahap pertama, aniline bersama dengan formaldehid pada
konsentrasi yang ada. Asam klorida sebagai katalis, produknya campuran dari
Universitas Sumatera Utara
amine, yang disusun terutama dari 4,4 – diamino difenilmetana dengan jumlah 2,4
– isomer dan macam-macam polim ina lebih kurang 6 kelompok amino setiap
molekul. Poliamina mempunyai struktur.
CH
CH
2
HN
2
CH
2
2
CH 2
Komposisi yang tepat dari campuran terutama tergantung perbandingan
aniline formaldehid yang digunakan, ia akan bertambah jumlahnya karena aniline
yang diberikan pada susunan dari diamino difenilmetana. Kadang-kadang
campuran amin adalah fraksi bersih yang diberikan 4,4, - diamino difenilmetana
yang mana selanjutnya melalui tahap phosgenasi dari difenilmetana 4,4
diisosianat.
Difenilmetana diisosianat berwujud padat, dengan titik leleh 37 – 38 oC
disamping itu polimer difenilmetana diisosianat juga ada berwujud cair, keduaduanya produk yang mempunyai tekanan uap rendah disbanding dengan toluene
diidosianat telah digunakan dalam pembuatan elastomer dalam skala pabrik dan
polimer difenilmetana yang paling luas dalam pemakaiannya terutama untuk
produk rigid foam.
b). Toluen Diisosianat (TDI)
Toluene adalah bahan pertama dari produksi toluene diisosianat (TDI).
Prosesnya boleh bervariasi supaya memberikan hasil dari turunan ispmer yang
dikehendaki. Pada proses phosgenasi biasanya mempertimbangkan untuk
mengikutsertakan pada pembentukan dari karbonil klorida didalam keadaan
dingin dan produk ini dalam keadaan panas.
R – NH2 + COCl2
R – NHCOCl
R – NHCOCl + HCl
R – NCO + HCl
Universitas Sumatera Utara
Isomer toluena diisosianat adalah campuran cair dalam batas suhu 5 – 15 0 C dan
karena itu biasanya dijumpai sebagai cairan tolilen 2,4 – diisosianat, dan jika
dijumpai dalam padatan biasanya dengan titik leleh 22 oC.
Toluen diisosianat dapat menimbulkan iritasi pada pernapasan dan sangat
diperhatikan dalam pengguanaannya. Produknya bermacam-macam lebih dari 80
: 20 campuran isomer yang sangat luas penggunaanya, terutama dalam produksi
dari fleksibel foam. 4 – isosianat adalah kelompok paling banyak digunakan yang
lebih reaktif disbanding 2 atau 6 – isosianat.
c). Nafialena 1,5 – diisosianat (NDI)
Naftalena 1,5 – diisosianat adalah turunan dari naftalena
NH2
NO2
[H]
HNO3 H SO
3 4
0
80 – 100 C
NO2
Naphthalene
1,5 - diamine
1,5 - dinitronaphthalene
NH2
Napthalene
COCI 2
NCO
NCO
Napthalene 1,5 - diidosianat
Naftalena 1,5 – diisosianat adalah berwujud padat dengan titik leleh 128 0 C dan
mempunyai tekanan uap rendah dari pada toluen diisosianat dan bersifat kurang
toksit dalam penggunaannya, tetapi ia mempunyai sifat yang sensitive. Naftalenen
1,5 – diisosianat digunakan tertama dalam produk elastomer.
Universitas Sumatera Utara
d). HDI (Hexametilen diisosianat)
Hexametilen
diisosianat
(HDI)
dihasilkan
melalui
phosgenasi
hexametilendiamin
H2N – (CH2)6 – NH
COCl2
→
OCN – (CH2)6 – NCO
Hexametilen diisosianat merupakan cairan yang tekanan penguapannya hamper
sama dengan TDI juga bersifat mengganggu pernafasan dan dapat menimbulkan
efek yang berbahaya terhadap kulit dan mata. HDI merupakan salah satu
diisosianat yang pertama sekali digunakan dalam pembuatan PU dalam hal ini
dalam pembuatan fiber (Hepburn, C., 1991).
2.4.2
Perekat Lignin
Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue,
mucilage, paste dan cement.
1. Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku,
urat, otot dan tulang yang secara luas digunakan dalam industry pengerjaan
kayu.
2. Mucilage adalah perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan
diperuntukkan terutama untuk merekatkan kertas.
3. Paste merupakan perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan
campuran pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta.
4. Cement adalah istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya
karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut.
Berdasarkan unsure kimia utama (major chemical component), perekat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
1. Perekat alami (Adhesive of natural origin)
a. Berasal dari tumbuhan, seperti starches (pati). Dextrins (turunan pati) dan
vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan.
Universitas Sumatera Utara
b. Berasal dari protein, seperti kulit, tulang, urat daging, blood (albumin dan
darah keseluruhan), casein (susu) serta soybean meal (termasuk kacang
tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon dan biji durian)
c. Berasal dari material lain, seperti asphalt, shellac (lak), rubber(karet),
sodium silikat, magnesium oxychloride dan bahan anorganik lainnya.
2. Perekat sintetis (Adhesive of synthetic origin)
a. Perekat termoplastis yaitu resin yang akan kembali menjadi lunak ketika
dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Contohnya seperti
polyvinyl alkohol (PVA), polyvinyl asetat (PVAc), copolymers, cellulose
esters, poliamida, polistirena, polivinil butiral, serta polivinil formal.
b. Perekat thermosetting yaitu resin yang mengalami atau telah mengalami
reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultra violet dan sebagainya
serta tidak kembali ke bentuk semula. Contohnya seperti urea, melamin,
phenol, resolcinol, furfuryl alcohol, epoxy, polyurethane, unsaturated
polyesters (poli ester tidak jenuh). Untuk perekat urea, melamine, phenol
dan resorcinol menjadi perekat setelah direaksikan dengan formaldehida
(CH2O) (Sucipto, T. 2009).
2.5
Poliuretan
Poliuretan merupakan bahan polimer yang mengandung gugus fungsi uretan (NHCOO-) dalam rantai molekulnya. Gugus fungsi tersebut terbentuk sebagai
hasil reaksi antara gugus isosianat dengan gugus hidroksi. Poliuretan struktur
linier diperoleh dengan cara mereaksikan diol rantai pendek dengan diisosianat.
Poliuretan bercabang dan berikatan silang diperoleh dengan cara mereaksikan
molekul yang mengandung gugus –OH > 2 dengan diisosianat atau dengan
mereaksikan glikol dengan diisosianat dan dilakukan penambahan sejumlah kecil
poliol (Rohaeti,E.,2005). Poliuretan dapat disintetis dari berbagai bahan baku
yang mengandung gugus hidroksil (-OH) baik mono maupun poli (Marlina,2007).
Universitas Sumatera Utara
NCO +
HO
NHCO
O
Isosianat
hidroksil
Uretan
Poliuretan yang disebut juga polikarbamat (dari asam karbamat,
R2NHCO2H), adalah turunan ester amida dari asam karbonat. Poliuretan dipakai
dalam berbagai macam aplikasi, termasuk serat (teristimewa jenis elastis), bahan
perekat,
pelapis,
elastomer,
dan
busa-busa
yang
fleksibel
yang
kuat
(Stevens,M.P.,2007)
Penerapan terpenting poliuretana untuk serat-serat melibatkan kopolimer
blok elastomeric yang terdiri dari segmen “lunak” dan “keras” yang berselangseling. (Spandex dari du Pont adalah salah satu contohnya). Yang khas,
diisosianat aromatic berlebih direaksikan dengan polieter atau polyester berujung
hidroksi yang memiliki berat molekul rata-rata 2000 sampai 3000 untuk
menghasilkan suatu polimer berujung isosianat yang selanjutnya bereaksi dengan
rantai diamin yang berfungsi sebagai pemanjang. Perlu dicatat bahwa
perpanjangan rantai terjadi lewat ikatan-ikatan urea bukan uretana. Polieter dan
poliester
umum,
berturut-turut,
yaitu
poli(propilena
glikol)
dan
poli(dietilenaglikol adipat). Toluena-diisosianat (TDI) dan metilena-4,4’-difenildiisosianat (MDI) merupakan diisosianat-diisosianat yang khas. Diamin-diamin
sebagai etilendiamin dipakai sebagai pemanjang.
Serat elastomerik memperlihatkan karakteristik morfologis yang serupa
dengan elastomer termoplastik. Menurut Min,K.2003 untuk mengkarakterisasi
polimerisasi poliuretan sangat baik menggunakan spektroskopi Raman dalam
mengukur intensitas hamburan yang berasal dari diisosianat. Segmen-segmennya
yang keras bergabung ke dalam mikrodomain Kristal sedangkan segmen-segmen
lunaknya yang dominan, yang mengkonstitusi fasa kontinyu. Tetap amorf dan
membentuk koil yang acak. Dengan penegangan, segmen-segmen lunak menjadi
memanjang dan berkristal, tetapi ketika penegangan tersebut dihilangkan ia akan
Universitas Sumatera Utara
segera kembali ke keadaan amorfus dengan tenaga yang sebanding dengan
besarnya perubahan entropi sistem tersebut.
Elastomer poliuretan digunakan sebagai perekat kontak yang dihasilkan
melalui reaksi antara poliester diol dengan 4,4’-difenil-imetan-diisosianat yang
menghasilkan suatu polimmer linier yang cabangnya dapat diabaikan. Poliester ini
akan menyumbangkan sifat kristalinitas pada produk akhir poliuretan. Polimer ini
dihasilkan melalui suatu proses polimerisasi dengan temperatur reaksi 100-140oC
(umumnya 120oC) dan waktu reaksinya sekita 0,5-24 jam (umumnya adalah
sekitar 1-2 jam). Massa molarnya dapat dihitung dengan mengukur viskositas
spesifiknya.
Untuk menghasilkan sifat-sifat larutan yang baik, maka perbandingan
molar isosianat dengan hidroksil, biasanya berkisar antara 0,97:1,0 dan
0,999:1,000, yang dapat menghasilkan suatu polimer dengan gugus hidroksil
terminal.
Walaupun ada sejumlah reaksi yang merumuskan pembentukan poliuretan,
tetapi hanya satu bentuk umum yang paling penting: yaitu reaksi antara suatu
isosianat dengan suatu alkohol. Untuk menghasilkan polimer ini, maka paling
tidak harus mengandung dua gugus fungsional :
n OCNRNCO + n HOR’OH → n OCN(RNHCOOR’)OH
(Wake,W.C.,1987)
Penentuan degradasi termal dari elastomer poliuretan didasarkan pada
4,4’-dipenilmetan diisosianat dalam atmosfer nitrogen pada 600oC (Rosu,D.2010).
Dimana stabilitas termal akan meningkat dengan adanya komponen molase dalam
campuran poliol (Tay,G.S.2011). Sedangkan menurut Chen,S.2012 stabilitas
termal poliuretan piridin secara kuantitatif menunjukkan bahwa poliuretan piridin
memiliki minimal dua tahap degradasi, dimana stabilitas termalnya lebih baik di
bawah oksigen dibandingkan dengan nitrogen.
Universitas Sumatera Utara
2.5.1
Pembuatan Poliuretan
Pada dasarnya poliuretan dapat dibuat melalui reaksi polimerisasi antara
monomer-monomer diisosianat dengan poliol polieter atau poliester. Polieter yang
dapat
digunakan
sebagai
poliol
dalam
sintesis
poliuretan,
yaitu
politetrametilenglikol, polietilen glikol, dan polipropilen glikol. Poliester yang
umum digunakan untuk sintesis poliuretan yaitu poliester jenuh yang mengandung
gugus hidroksi terminal, diantaranya polietilen adipat, polipropilen adipat, dan
gliserol adipat (Rohaeti,E.,2005).
Ada dua metode utama untuk pembuatan poliuretan: reaksi biskloroformat
dengan diamin dan lebih penting dari prespektif industry, reaksi diisosianat
dengan senyawa-senyawa dihidrasi. Biskloroformat, yang dipreparasi lewat reaksi
diol atau bisfenol dengan fosgena berlebih,
O
O
2Cl – C – Cl + HO – R – OH
O
Cl – C – O – R – O – C – Cl + 2HCl
Kurang reaktif daripada kloroda-klorida asam; meskipun demikian, ia bereaksi
dengan diamin pada suhu rendah dibawah kondisi-kondisi polimerisasi antar
permukaan. poliuretan yang terbentuk dalam reaksi
O
O
Cl – C – O – (CH2)2 – O – C – Cl + H2N – (CH2)6 – NH2
O
O
– C – O – (CH2)2 – O – C – NH – (CH2)6 – NH – + 2HCl
melebur pada suhu sekitar 180oC, dibandingkan dengan 295oC untuk poliamida
(nilon 46) yang strukturnya sebanding (Stevens,M.P.,2007).
Sedangkan menurut Rohaeti,E.,2005 metode yang umum dilakukan untuk
mensintesis poliuretan adalah dengan mereaksikan suatu diol dengan diisosianat
Universitas Sumatera Utara
melalui metode polimerisasi larutan dan lelehan pada temperature cukup tinggi.
Kereaktifan diisosianat merupakan factor penting dalam mensintesis poliuretan.
Diisosianat aromatic bersifat lebih reaktif dibandingkan diisosianat alifatik, dan
gugus diisosianat pada atom sekunder dan atom karbon tersier. Diisosianat
komersial yang biasa digunakan, yaitu heksametilen-1,6-diisosianat(HMDI),
difenilmetan-4,4’-diisosianat(MDI), dan campuran tolilen-2,4-diisosianat dengan
tolilen-2,6-diisosianat(TDI).
Adisi senyawa dihidroksi ke diisosianat untuk membentuk poliuretan pada
prinsipnya serupa dengan sintesis poliurea. Di antara produk komersial yang
paling awal (di kembangkan di Jerman sebagai alternative untuk serat-serat nilon
yang dilindungi paten) adalah poliuretana 28 (Farbenfabriken Bayer, merek
dagang Perlon U), yang di preparasi dari 1,6-heksanadiisosianat dan 1,4-butanadiol. Reaksi tersebut dikatalisis oleh amin dan beberapa garam logam, tetapi tidak
diperlukan katalis-katalis untuk pembuatan polimer dengan berat molekul tinggi.
Meskipun 28 secara komersial tidak lagi secemerlang nilon, rute diisosianat
sekarang dipakai untuk membuat serat, plastik, elastomer, dan bahan pelapis
uretana. Karena reaksinya sedemikian cepat, maka cocok sekali untuk teknologi
RIM.
O
OCN(CH2)6NCO + HO(CH2)4OH
O
–CNH(CH2)6NHCO(CH2)4O–
28
Poliuretan linier biasanya dipreparasi dalam larutan karena polimer ini
cenderung berdisosiasi menjadi alkohol dan isosianat atau terdekomposisi menjadi
amin, olefin dan karbon dioksida pada suhu tinggi yang diperlukan untuk
polimerisasi leburan. Hal ini teristimewa berlaku untuk poliuretan yang
dipreparasi dengan diisosianat aromatik.
Stabilitas termal antara lignin-hidroksi lebih baik daripada hanya
menggunakan hidrosi saja pada pembuatan poliuretan (Sarkar,S.2001). Banyak
Universitas Sumatera Utara
dari produksi poliuretan melibatkan pemakaian polyester-poliester berujung
hidroksi dengan berat molekul rendah atau polieter-polieter sebagai “monomer”
dihidroksi. Kopolimer yang fleksibel dari tipe ini tidak hanya bermanfaat sebagai
serat tetapi bias juga dikonversi menjadi elastomer-elastomer yang terikat silang
lewat reaksi lebih lanjut dengan diisosianat berlebih, suatu reaksi adisi yang
melibatkan nitrogen dari ikatan uretana. gugus yang terjadi adalah suatu alofonat
(allophonate).
O
NHCO
O
+
NCO
∆
NCO
C
O
NH
(Stevens,M.P.,2007)
Jenis dan ukuran setiap monomer pembentuk poliuretan akan memberikan
sumbangan terhadap sifat poliuretan yang dihasilkan. Hal ini membuat poliuretan
dapat disintesis dengan massa jenis dan kekakuan bervariasi mulai dari elastomer
yang sangat fleksibel hingga plastik kaku dan rigid. Bervariasinya massa jenis dan
kekakuan poliuretan, sehingga produk poliuretan dapat dijumpai pada berbagai
bidang kehidupan (Rohaeti,E.,2011).
2.5.2
Pembentukan Ikatan Silang Poliuretan
Akibat dari struktur lignin yang rumit dan adanya ikatan hidrogen akan
membentuk ikatan silang yang teratur pada poliuretan, akhirnya Poliuretan
menjadi kaku (Supri,2004). Secara umum ada dua tahap pembentukan ikatan
silang poliuretan, yaitu:
1. Mereaksikan diisosianat dengan dua atau lebih monomer yang mempunyai
dua atau lebih gugus hidroksi per molekulnya. Dimana tingkat ikatan
silang
tergantung
pada
dasar
struktur,
fungsi
dari
kandungan
polihidroksinya, dan variasi kandungan hidroksi.
Universitas Sumatera Utara
2. Poliuretan liniear direaksikan dengan gugus hidroksi atau gugus
diisosianat yang mempunyai dua gugus fungsi.
Poliuretan elastis pertama kali disintesis oleh O, Bayer (1962) dengan dua
tahap, yaitu pengeringan dan berat molekul rendah. Poliester atau polieter yang
memiliki gugus hidroksi akan direaksikan dengan isosianat berlebih. Kira-kira 2
atau 3 molekul dioal linear berikatan secara bersama-sama sehingga dapat
memperpanjang rantai rantai yang lurus serta mengandung beberapa gugus uretan
(Eisenbach and Hartmuth, 1990). Sedangkan menurut Kurimoto,Y.2001
komponen kayu yang terlarut dapat bertindak sebagai titik pengikatan silang
dalam jaringan struktur poliuretan.
Reaksi ikat silang bisa juga diefektifkan dengan mempreparasi bagian dari
polimer tersebut dengan suatu poliol seperti gliserol sehingga gugus-gugus
hidroksi pendan yang terjadi sepanjang kerangka polimer bias bereaksi dengan
diisosianat untuk memberikan ikatan-ikatan silang uretana.
+
OH
NCO
O
C
O
NH
Kopolimer-kopolimer terkait dipreparasi dengan cara mereaksikan
polyester berujung hidroksi atau polieter dengan diisosianat berlebih untuk
memberikan suatu produk yang berujung isosianat. Kemudian reaksi ikat silang
bisa diefektifkan dengan berbagai cara. Sebagai suatu bahan pelapis permukaan,
gugus-gugus isosianat tersebut bereaksi dengan air atmosferik untuk memberikan
perpanjangan rantai melalui ikatan-ikatan urea. reaksi tersebut melibatkan
pembentukan asam karbamat tak stabil, yang berdekarbosilasi. Reaksi antara amin
yang terjadi dan isosianat yang tak bereaksi akan menghasilkan urea.
Universitas Sumatera Utara
O
OCN
NCO + H2O
OCN
(−CO2 )
NHCOH →
O
OCN
NH2
NHCNH
Reaksi ikat silang bisa terjadi lewat reaksi gugus-gugus urea dengan
isosianat yang tak bereaksi untuk membentuk ikatan silang biuret. Pelapis-pelapis
tipe ini biasanya diformulasikan dengan polyester yang dipreparasi dengan
alkohol-alkohol polifungsional untuk memastikan bahwa reaksi ikat silang akan
terjadi menurut reaksi. Karena tidak diperlukan bahan tambahan untuk
mengefektifkan proses ikat silang, formulasi bahan pelapis demikian sering
dinyatakan sebagai sistem “satu komponen” atau “satu pot”. Polimer-polimer
berujung isosianat bisa dipolimerisasikan lebih lanjut lewat reaksi-reaksi dengan
diol atau diamin untuk membentuk berturut-turut gugus uretana dan urea
tambahan. Menurut Min,K.2005 reaksi polimerisasi poliuretan akan memiliki sifat
termodinamik yang meningkat dengan adanya poli (vinil klorida) dan
hpencampuran ikatan silang yang dihasilkan menjadi lebih baik.
O
NHCNH
O
+
NCO
NHCN
C
O
NH
(Stevens,M.P.,2007)
2.6
Karakterisasi Poliuretan
Karakteristik dari poliuretan yang dihasilkan meliputi analisa Gugus Fungsi
dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), analisa Sifat Morfologi
dengan Uji Scanning Electron Microscopy (SEM), analisa Sifat Thermal dengan
Uji Differential Scanning Calorimeter (DSC).
Universitas Sumatera Utara
2.6.1
Analisa
Gugus
Fungsi
dengan
Fourier
Transform
Infrared
Spectroscopy (FT-IR)
Spektroskopi inframerah merupakan teknik spektroskopi yang dapat digunakan
untuk menentukan struktur senyawa yang tak diketahui maupun untuk
mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui. Identifikasi dengan
spektroskopi inframerah adalah berdasarkan penentuan gugus fungsinya.
Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawaan yang
berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Selain dari senyawaan
isomer-optik, tidak satupun antara 2 senyawaan yang mempunyai kurva serapan
inframerah yang identik. Daerah inframerah terletak pada daerah spektrum 4000400 cm-1.
Analisis infra merah memberikan informasi tentang kandungan aditif,
panjang rantai struktur polimer. Di samping itu analisis mengenai bahan polimer
yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan
ikatan rangkap polimer. Gugus lain yang menunjukkan terjadinya degradasi
oksidatif adalah gugus karbonil dan karboksilat. Umumnya pita serapan polimer
pada spektrum infra merah adalah adanya ikatan C/H/regangan pada daerah 2880
cm-1 sampai dengan 2900 cm-1 dan regangan dari gugus lain yang mendukung
suatu analisa mineral (Hummel, 1985).
Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan
yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan
spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer
penyusun material dan struktur molekulnya ( Hummel, 1985 ).
Spektrofotometer infra merah terutama ditujukan untuk senyawa organik
yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada
daerah sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif
Universitas Sumatera Utara
dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang
gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar.
Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi
atau interaksi antara bahan -bahan yang dicampurkan. (Antonius Sitorus, 2009).
2.6.2
Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy
(SEM)
SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara
makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada
spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa
fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan
absorpsi elektron.
Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa
permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau
dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar permukaan
yang diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang
pada permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder
yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan
ditangkap oleh detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh
gambar yang khas menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya
gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau
dapat pula direkam ke dalam suatu disket.
Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan
dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah
maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis.
Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang
lama, lebih baik digunakan emas atas campuran emas dan palladium (Rusdi Rafli,
2008).
Universitas Sumatera Utara
2.6.3
Analisa Sifat Termal dengan Uji Differential Scanning Calorimeter
(DSC)
Differential Scanning Calorimetry (DSC) merupakan teknik analisa termal yang
dapat digunakan untuk mempelajari temperatur transisi, kalor transisi, entalpi
reaksi, kalor spesifik dari material padat. Analisa termal dapat diartikan sebagai
pengukuran sifat-sifat fisik maupun kimia suatu material sebagai fungsi dari
temperatur. Pada awal data diplot kemudian dianalisa untuk menentukan nilai Tg,
Tm, Entalpi reaksi baik eksoterm maupun endotermik dan lain-lain.
Peralatan DSC dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengukur
perbedaan energi yang diberikan pada substansi dan material referensi sebagai
fungsi dari temperatur atau waktu. Dalam bidang polimer peralatan ini banyak
digunakan untuk menentukan temperatur transisi gelas (Tg) dan temperatur leleh
(Tm). Temperatur transisi gelas (Tg) merupakan temperatur dimana terjadi
perubahan sifat-sifat fisik polimer dari bentuk kaku (glassy) menjadi bersifat
elastik (lunak). Temperatur transisi gelas sendiri bersfat spesifik untuk setiap
material padat yang dianalisa.
Untuk material yang kristalin atau semikristralin, puncak-puncak tersebut
akan tampak tajam (jelas), sedangkan untuk material yang amorf, puncak-puncak
tersebut tampak sebagai lereng (slope) atau bahkan tidak tampak sama sekali
(Bandrup, 1985).
Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang
perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya
proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan
sebagainya. Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan
ketahanan bentur bahan polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS.
campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak Tg , karena
disamping masing-masing komponen masih merupakan fase terpisah, daerah
antarmuka mungkin memberikan Tg yang berbeda (Basuki wirjosentono, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Download