BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Neuroanatomi Saluran Napas Secara dominan persarafan dari otot polos saluran napas dimediasi oleh serat-serat parasimpatik yang dibawa oleh nervus vagus. Nervus vagus membawa serabut saraf preganglionik dari nukleus vagal di medulla ke ganglia di saluran napas. Ganglion parasimpatik ini diselingi secara tidak beraturan sepanjang aspek posterior dari dinding trakea dan bronkus utama. Dari ganglia ini serabut saraf postganglionik yang pendek lewat untuk mempersarafi otot polos saluran napas, sirkulasi bronkus dan asinus glandular. Penelitian histologis menunjukkan tidak adanya serabut eferen postganglionik di bawah tingkat bronkus terminalis dan secara fungsional tidak menemukan suatu efek dari perangsangan vagus di bronkiolus respiratorius dan alveoli.12 Asetilkolin bekerja di reseptor muskarinik dan nikotinik. Lima reseptor muskarinik yang berbeda (M1-M5) diurutkan secara genetik. Reseptor muskarinik M1-M5 ini juga dapat diidentifikasi berdasarkan perbedaan afinitas ikatan antara antagonis yang berbeda. Penelitian secara autoradiografik memperlihatkan reseptor muskarinik M1 dan M2 sepanjang gabungan serabut saraf dan di dalam ganglion kolinergik. Sel-sel otot polos saluran napas mengekspresikan reseptor muskarinik M2 dan M3, dimana reseptor muskarinik M3 memediasi kontraksi otot polos.12 5 2.2. Fisiologi Nervus Vagus Gambar 2.1. Susunan spesifik organ dari sistem saraf autonom.14 Nervus vagus (nervus kranialis X) memiliki komponen autonomik yang luas, yang dimulai dari nucleus ambiguus dan nucleus motorius dorsalis di medula. Diperkirakan bahwa output vagus mencapai 75% dari keseluruhan 6 aktivitas parasimpatis. Akson-akson preganglion yang panjang berjalan sepanjang batang nervus vagus ke ganglion di jantung dan paru-paru, sampai ke pleksus intrinsik dari saluran cerna.14 Nervus vagus kanan mensuplai akson ke SA node di jantung, dan nervus vagus kiri mensuplai AV node. Aktivasi vagal memperlambat denyut jantung dan menurunkan kekuatan kontraksi. Eferen nervus vagus ke paru-paru mengontrol otot polos yang mengkonstriksi bronkiolus dan juga mengatur kerja dari sel sekresi. Output vagal terhadap esofagus dan lambung mengatur motilitas dan mempengaruhi fungsi sekresi dari lambung. Asetilkolin (Ach) dan vasoactive intestinal polypeptide (VIP) adalah transmiter di neuron postsinap. Ada juga inervasi vagus terhadap ginjal, hati, limpa, dan pankreas, tapi pengaturannya terhadap organ-organ ini sepenuhnya belum dapat dijelaskan.14 Kontrol lokal yang paling penting terhadap pelepasan asetilkolin yang berlebihan dari saraf kolinergik postganglionik dilakukan oleh asetilkolin itu sendiri. Asetilkolin bekerja pada penghambatan reseptor muskarinik M2 yang terletak sebelum sambungan dari saraf postganglionik membatasi pelepasan asetilkolin yang lebih banyak (gambar 3). Jadi reseptor ini berperan sebagai autoreseptor.12 7 Gambar 2.2. Asetilkolin bekerja pada penghambatan reseptor muskarinik M2 yang terletak sebelum sambungan dari saraf postganglionik membatasi pelepasan asetilkolin yang lebih banyak.12 Respon fisiologi terhadap bronkoskopi termasuk hipertensi, takikardi, meningkatnya cardiac output, laringospasme, bronkospasme, dan muntahmuntah. Perubahan hemodinamik dan pernapasan ini bisa ditoleransi oleh individu yang sehat, tetapi dapat mencetuskan iskemia miokard atau membahayakan pernapasan pada individu lain. Untuk pelaksanaan bronkoskopi yang aman dan efektif dan tindakan di saluran napas lainnya, spesialis paru harus dapat melakukan anestesi yang adekuat di saluran napas atas dengan anestesi lokal, dan memberikan sedasi tingkat sedang (pasien sadar) secara aman.3 8 2.3. Bronkoskopi Bronkoskopi berfungsi sebagai prosedur diagnostik dan terapi berbagai penyakit dan kelainan saluran napas. Indikasi tindakan diagnostik pada bronkoskopi antara lain pada keadaan:14 • Batuk • Batuk darah • Mengi dan stridor • Gambaran foto toraks yang abnormal. • Pemeriksaan Bronchoalveolar Lavage (BAL) : - Infeksi paru. - Penyakit paru difus (bukan infeksi). • Pembesaran kelenjar limfe atau massa pada rongga toraks. • Karsinoma bronkus. - Ada bukti sitologi atau masih tersangka. - Penentuan derajat karsinoma bronkus. - Follow up karsinoma bronkus. • Karsinoma metastasis. • Tumor esofagus dan mediastinum. • Benda asing pada saluran napas. • Striktur dan stenosis pada saluran napas. • Cedera akibat zat kimia dan panas pada saluran napas. • Trauma dada. • Kelumpuhan pita suara dan suara serak. • Kelumpuhan diafragma. 9 • Efusi pleura. • Pneumotoraks yang menetap. • Miscellaneous. - Sangkaan fistel trakeoesofagus atau bronkoesofagus. - Fistel bronkopleura. - Bronkografi. - Memastikan pemasangan pipa endotrakeal. - Memastikan pipa endotrakeal terpasang dengan baik pada kasuskasus trauma. - Pemeriksaan paska operasi trakea, trakeobronkial atau penyambungan bronkus. Indikasi tindakan bronkoskopi terapeutik adalah pada keadaan:14 • Dahak yang tertahan, gumpalan mukus. • Benda asing pada saluran pernapasan. • Mengeluarkan sesuatu dengan bronkoskopi. • Laser therapy. • Brachytherapy. • Pemasangan sten trakeobronkial. • Melebarkan bronkus. • Laser. • Dilatasi dengan menggunakan balon. • Abses paru. • Kista pada mediastinum. • Kista pada bronkus. 10 • Pneumotoraks. • Fistel bronkopleura. • Miscellaneous. - Injeksi intralesi. - Pemasangan pipa endotrakeal. - Kistik fibrosis. - Asma. - Trauma dada. - Therapeutic lavage (pulmonary alveolar proteinosis). Beberapa prosedur rutin seperti bronchoalveolar lavage (BAL), bilasan bronkus, dapat digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab penyakit-penyakit infeksi saluran napas dan paru, juga dapat mendeteksi penyakit lainnya yang bukan disebabkan infeksi mikroorganisme. Sikatan bronkus dan biopsi jaringan pada daerah lesi di saluran napas dapat menentukan diagnosis dari kelainan di saluran napas tersebut.14 Panduan yang dikeluarkan oleh American Thoracic Society (ATS) tahun 1987 menyatakan ada empat kontraindikasi absolut untuk tindakan BSOL, yaitu:10 1. operator yang tidak berpengalaman, 2. kurangnya fasilitas yang memadai, 3. tidak ada informed consent, 4. ketidakmampuan untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat. Kontraindikasi penting lainnya didasarkan atas pemikiran akan memberi resiko tinggi terhadap pasien selama tindakan BSOL, yaitu:11 11 1. hipoksemia berat yang sulit diatasi, 2. diatesis perdarahan yang berat yang tidak dapat dikoreksi sebelum prosedur, 3. malignant cardiac arrhythmias. Kondisi medis lain yang juga meningkatkan resiko selama BSOL dan dimasukkan ke dalam kontraindikasi relatif, yaitu:11 1. pasien yang kurang kooperatif, 2. riwayat infark miokard atau unstable angina, 3. insufisiensi atau gagal napas, 4. uremia, 5. asma tidak stabil, 6. aritmia jantung tidak stabil, 7. debil atau malnutrisi. 2.4. Komplikasi Bronkoskopi Meskipun BSOL adalah suatu tindakan yang relatif aman, tetap ada sejumlah komplikasi potensial termasuk masalah di saluran napas (seperti masalah-masalah yang diakibatkan dari iritasi saluran napas yaitu laringospasme, meningkatnya resistensi saluran napas, eksaserbasi dari penyakit obstruktif saluran napas, dan obstruksi secara fisik). Bisa juga berupa masalah mekanis seperti epistaksis, hemoptisis atau pneumotoraks. Komplikasi bisa menjadi sangat penting karena berpengaruh langsung secara hemodinamik seperti aritmia jantung, termasuk bradikardi atau fenomena lain yang dimediasi vagal (refleks vagus), takiaritmia, atau henti jantung. Bronkoskop dapat menimbulkan 12 komplikasi baik terhadap operator maupun pasien melalui paparan terhadap infeksi. Kontaminasi silang dari spesimen atau bronkoskop juga terjadi.15 Kematian jarang terjadi, dimana angka kematian yang dilaporkan dari penelitian-penelitian 0% - 0,04%.8 Penelitian yang dilakukan oleh Credle et al tahun 1974 melaporkan bahwa angka kematian dari 24.521 tindakan BSOL adalah 0,01% dan komplikasi mayor 0,08%. Sementara penelitian Suratt et al tahun 1976 mendapatkan angka kematian 0,02% dan komplikasi mayor 0,3% dari 48.000 kasus. Sedangkan penelitian Pue dan Pacht tahun 1995 dari 4000 kasus, termasuk 2000 tindakan BAL dan 173 biopsi transbronkial, menunjukkan tidak ada kematian dengan komplikasi mayor 0,5% dan komplikasi minor 0,8%.15 I. II. III. IV. Tabel 2.1. Komplikasi yang potensial dari BSOL16,17 Premedikasi - Depresi pernapasan - Hipotensi atau sinkop - Hipereksitasi Anestesi lokal - Laringospasme - Bronkospasme - Kejang - Henti jantung paru Bronkoskopi - Refleks vasovagal - Bronkospasme - Laringospame - Hipoksemia - Aritmia jantung - Hipotensi - Demam - Pneumonia Prosedur sikatan atau biopsi - Pneumotoraks - Perdarahan 13 2.5. Penanganan dan Pencegahan Refleks Vagus Refleks vasovagal dapat dihambat dengan pemberian 1 mg atropin intra muskular.18 Bila refleks vasovagal terjadi saat prosedur tindakan, maka penanganannya adalah menghentikan prosedur secepatnya, tetapi dari pengalaman mengindikasikan bahwa aktifitas vasovagal dapat ditekan seketika dengan efedrin dan atropin.19 Gordon AG melaporkan penanganan refleks vagal adalah dengan pemberian:20 1. Atropin 0,5 mg intra vena. 2. Oksigen 4-6 liter/ menit melalui endotrakeal tube. 3. Adrenalin 0,5-1,0 ml (1:100.000) secara perlahan intra vena. 4. Resusitasi jantung pulmoner. Zat antikolinergik seperti atropin dan glikopirolat memang telah digunakan secara umum sebagai premedikasi untuk bronkoskopi. Tujuannya adalah untuk mengurangi sekret bronkus dan menekan aktivitas yang berlebihan dari vagus (episode vasovagal), meskipun kebanyakan dari penggunaan obat ini berdasarkan atas praktik anastesi tradisional untuk tindakan bronkoskopi kaku (rigid bronchoscopy). Dengan BSOL hanya ada sedikit keuntungan dari pemberian sedasi untuk menenangkan pasien saat bronkoskopi. Pada penelitian lain pasien yang diberi premedikasi atropin membutuhkan dosis analgesik lidokain yang lebih sedikit, kendati tidak ada keuntungan lain yang nyata. Premedikasi dengan zat antikolinergik juga bisa melemahkan konstriksi bronkus yang disebabkan oleh anestesi lokal. Hal ini menjadi nilai yang potensial pada pasien asma yang menjalani bronkoskopi. Atropin dapat menimbulkan takikardi 14 dan menjadi pro-arrhytmogenic, dengan efek samping pandangan kabur, mempresipitasi glaukoma dan mulut kering.6 Atropin dan glikopirolat adalah zat antikolinergik yang bekerja antagonis terhadap aktivitas yang mirip muskarinik (muscarine-like activity) dari asetilkolin dengan aksi terapeutik terutama berasal dari inhibisi otot polos dan kelenjar yang dipersarafi oleh serabut saraf kolinergik postganglion. Karena efeknya terhadap otot polos bronkus, kelenjar saliva dan bronkus, obat-obat ini menyebabkan dilatasi bronkus dan menghambat produksi sekret nasofaring/orofaring dan bronkus. Secara teoritis manfaat dari pemberian obat-obat ini sebelum bronkoskopi termasuk mengurangi sekret untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih baik di tracheobronchial tree dan perlindungan terhadap reaksi vasovagal dan bronkospasme.7 Beberapa penelitian menilai efek antisialagogik dari atropin dan mendapatkan bahwa tidak ada pengurangan sekret bronkus yang bermakna secara klinis. Pada penelitian yang paling besar, double-blind, menggunakan kontrolplasebo, menilai efek atropin dan glikopirolat pada bronkoskopi, 1000 pasien diacak untuk mendapatkan premedikasi atropin 0,01mg/kg, glikopirolat 0,005 mg/kg, atau garam fisiologis secara intramuskular. Glikopirolat, tidak untuk atropin, berhubungan dengan pengurangan sekret saluran napas berdasarkan pengamatan operator bronkoskopi. Dan tidak ada obat yang signifikan berhubungan dengan pengurangan batuk, kenyamanan pasien, desaturasi oksigen, ataupun lama prosedur. Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah secara signifikan lebih besar pada pemberian zat antikolinergik dibanding plasebo.4,5,7 15 2.6. Farmakodinamik dan Farmakokinetik Atropin Gambar 2.3. Struktur kimia atropin21 Atropin adalah prototipe antimuskarinik. Rumus kimia: (8-methyl-8azabicyclo[3.2.1]oct-3-yl) 3-hydroxy-2-phenylpropanoate. Atropin terutama ditemukan pada Atropa belladonna dan Datura stramonium.21 Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. Efeknya lebih kuat di perifer yaitu terhadap jantung, usus dan otot bronkos. Pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) atropin hanya menekan sekresi air liur, mukus bronkus dan keringat, belum jelas mempengaruhi jantung. Pada dosis yang lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan nervus vagus sehingga terlihat takikardi. Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk menghambat peristaltik usus dan sekresi kelenjar di lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi serabut paskaganglion kolinergik dan pada keadaan ini biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata.21 Dalam dosis 0,5 mg (untuk orang Indonesia mungkin ± 0,3 mg) atropin merangsang nervus vagus sehingga frekuensi denyut jantung berkurang. 16 Perangsangan respirasi terjadi sebagai akibat dilatasi, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh sebab tertentu, atropin tidak berguna merangsang respirasi. Bahkan pada dosis yang besar sekali atropin menyebabkan depresi pernapasan, eksitasi, disorientasi, delirium, halusinasi dan perangsangan lebih jelas di pusat-pusat yang lebih tinggi. Lebih lanjut terjadi depresi dan paralisis medula oblongata.21 Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mungkin disebabkan oleh perangsangan pusat vagus. Bradikardi biasanya tidak nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida organofosfat, terjadi hambatan nervus vagus sehingga terjadi takikardi. Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung, tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek terhadap sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah tidak dipersarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher terjadi pada dosis toksik (atropine flush). Vasodilatasi ini merupakan kompensasi kulit untuk melepaskan panas dari naiknya suhu kulit akibat penghentian evaporasi.21 Tonus bronkus sangat dipengaruhi oleh sistem parasimpatis melalui reseptor M3 demikian juga sekresi kelenjar submukosanya. Penggunaannya pada premedikasi anestesia dimaksudkan untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas sehingga mengurangi resiko aspirasi pada saat pemulihan. Sementara itu, sebagai bronkodilator atropin tidak berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau aminofilin.21 17 Efek pemberian atropin terhadap mata menyebabkan midriasis dan siklopegia dengan dosis lebih besar dari 1 mg. Karena bersifat menghambat peristaltik lambung dan usus, atropin juga disebut antispasmodik. Saluran kemih dipengaruhi atropin dalam dosis besar (kira-kira 5 mg). Efek antispasmodik pada saluran empedu, tidak cukup kuat untuk menghilangkan kolik yang disebabkan oleh batu saluran empedu. Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin adalah kelenjar liur dalam mulut serta bronkus.21 Atropin mudah diserap di semua tempat kecuali di kulit. Dari sirkulasi darah, atropin cepat memasuki jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisis enzimatik di hepar. Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal. Waktu paruh atropin sekitar 4 jam.21 Indikasi atropin sebagai premedikasi anestesia berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas pada anestesia, terutama anestesia inhalasi dengan gas yang merangsang. Kelenjar yang sekresinya dihambat secara baik oleh antikolinergik adalah kelenjar keringat dan kelenjar ludah. Atropin kadangkadang berguna untuk menghambat nervus vagus pada bradikardi atau sinkop akibat refleks sinus karotis yang hiperaktif. Beberapa jenis blok AV yang disertai dengan hiperaktivitas vagus dapat diperbaiki dengan atropin.21 Efek samping samping atropin hampir semuanya merupakan efek farmakodinamiknya, seperti mulut kering, gangguan miksi, meteorisme, sindrom demensia, retensi urin, dan memburuknya penglihatan pada pasien glaukoma. Muka merah setelah pemberian atropin bukan reaksi alergi melainkan akibat kompensasi pembuluh darah di wajah.21 18 Diagnosis keracunan atropin tidak akan meleset, asal saja kemungkinan keracunan ini diingat pada tiap keadaan toksik dengan gejala sentral ditambah midriasis, kulit merah dan kering, serta takikardi. Teoritis diagnosis dapat ditegakkan bila sesudah suntikan 10 mg metakolin, terlihat efek kolinergik yaitu salivasi, berkeringat, lakrimasi dan lain-lain, tapi hal ini jarang dilakukan. Antidotum yang dianjurkan ialah fisostigmin. Fisostigmin salisilat 2-4 mg subkutan dapat mengatasi semua gejala susunan saraf pusat serta menghilangkan efek anhidrosis. Dapat juga diberikan 1-2 mg subkutan setiap 2 jam, sampai pasien dapat mengenal lingkungannya.21 19 2.7. Kerangka Konsep -Sekret dahak -Refleks vagus (-) -Bronkokonstriksi (-) Premedikasi dengan atropin Diazepam Codein Indikasi Bronkoskopi: 1. Diagnostik. 2. Terapeutik. 3. Pre operatif BRONKOSKOPI Komplikasi bronkoskopi: - Refleks vagus - Bronkospasme - Laringospame - Hipoksemia - Aritmia jantung - Hipotensi - Demam - Pneumonia KETERANGAN: variabel yang diteliti variabel yang tidak diteliti Gambar 2.4. Kerangka konsep 2.8. Hipotesis Tidak ada perbedaan dalam mengurangi sekret dahak selama tindakan bronkoskopi berlangsung antara premedikasi dengan atropin dan tanpa atropin. 20