10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gagal Ginjal Terminal 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gagal Ginjal Terminal
2.1.1. Definisi Gagal Ginjal Terminal
Gagal ginjal terminal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, sampai pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal yang tetap berupa dialisis atau
transplantasi ginjal, disertai keadaan uremia yaitu suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi akibat menurunnya fungsi ginjal pada Penyakit
Ginjal Kronik (PGK)(NFK.K/DOQI, 2002; PERNEFRI, 2011). Kriteria PGK
dapat dijelaskan seperti pada Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dengan manifestasi
sebagai berikut :
 Kelainan patologis
 Tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin atau kelainan dalam uji pencitraan (imaging
test).
2. Laju Filtrasi Glomerulus <60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
(Dikutip dari : National Kidney Foundation. Kidney Disease Outcome
Quality Initiative (NFK.K/DOQI), 2002)
10
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Klasifikasi PGK
atas dasar derajat (stage) penyakit dibuat
berdasarkan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) (Skorecki 2005;
NFK.K/DOQI 2002 ; PERNEFRI 2011).
Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit atau nilai LFG dapat
dijelaskan seperti pada Tabel 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2 Klasifikasi PGK berdasarkan Derajat Penyakit
Derajat
Penjelasan
LFG (mL/menit/1,73 m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat
≥ 90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang
30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat
15-29
5
Gagal ginjal terminal
<15 atau dialisis
(Dikutip dari : National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome
Quality Initiative (NFK.K/DOQI), 2002)
2.1.3. Epidemiologi Gagal Ginjal Terminal
Angka kejadian PGK di dunia pada tahun 2006 secara global mencapai
lebih dari 500 juta orang dan yang harus menjalani hidup dengan
bergantung pada HD (stadium GGT) berjumlah 1,5 juta orang.
Universitas Sumatera Utara
12
Prevalensi penderita GGT di Amerika Serikat adalah 0,1% (NFK.K/DOQI
2006).Prevalensi penderita gagal ginjal di Amerika Serikat tahun 2007
sebanyak 300 ribu orang dengan penderita yang harus menjalani HD
sebanyak 220 ribu orang (Widiana, 2007). Jumlah penderita gagal ginjal di
Indonesia tahun 2010 sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani HD
sekitar 10 ribu orang (Yulianti, 2010).
Data rekam medik di Unit
Hemodialisa RS.Hasan Sadikin, Bandung, pada tahun 2011 tercatat 1.296
orang penderita GGT dan sekitar 144 orang penderita GGT sedang
menjalani HD rutin, sedangkan pada tahun 2012 terdapat peningkatan
jumlah penderita GGT menjadi 2.004 orang, dan sekitar 167 orang di
antaranya sedang menjalani HD rutin.(Rachmiwatie 2013a)
Kehilangan darah yang terjadi pada penderita GGT dengan HD rutin
akan menimbulkan defisiensi zat besi tubuh. Prevalensi defisiensi zat besi
pada penderita GGT berkisar antara 25-75%. Defisiensi zat besi absolut
berdasarkan pemeriksaan zat besi sumsum tulang didapatkan pada
76,4% penderita GGT dengan HD rutin. Defisiensi zat besi fungsional juga
terjadi pada 80-90% penderita GGT. Hasil penelitian lain menunjukkan 4090% penderita GGT dengan HD mengalami defisiensi zat besi selama
pengobatan dengan erythropoiesis stimulating agent (ESA) (Horl 2009).
Beberapa faktor yang menyebabkan kehilangan darah pada penderita
GGT yang menjalani HD rutin adalah pengambilan darah berulang untuk
pemeriksaan laboratorium, perdarahan saluran cerna, darah yang
tertahan dalam mesin dialyser (tube dialysis) dan perdarahan saat
Universitas Sumatera Utara
13
pemasangan atau pelepasan jarum akses vaskuler (Caro 2006).
Prevalensi perdarahan saluran cerna (occult blood) pada penderita GGT
berkisar antara 6-20%. (PERNEFRI 2011).
2.1.4. Patogenesis Penyakit Ginjal Kronik
Patogenesis PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya, proses yang
terjadi akan sama. Patogenesis PGK melibatkan dua mekanisme besar
kerusakan. Mekanisme pertama adalah mekanisme spesifik penyakit yang
mendasari (seperti misalnya kompleks imun dan mediator inflamasi
tertentu pada penyakit glomerulonefritis atau paparan toksin tertentu pada
tubulus dan interstitium renal), sedangkan mekanisme kedua adalah
mekanisme progresif yang melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi dari
nefron sehat yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors, yang merupakan konsekuensi dari pengurangan massa
renal.Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus (Watnick 2008;
Skorecki 2010).
Ginjal dalam keadaan normal berfungsi sebagai tempat produksi dan
sekresi hormon, mengatur keseimbangan asam-basa, air, elektrolit dan
mengeluarkan produk akhir metabolisme tubuh. Uremia sebagai sindrom
klinik yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan cairan,
Universitas Sumatera Utara
14
elektrolit, hormon dan abnormalitas metabolisme yang timbul akibat
penurunan fungsi ginjal dapat terjadi jika bersihan kreatinin telah menurun
kurang dari 10 mL/menit (Alper 2012).
Patogenesis PGK dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.1 berikut ini :
Gambar 2.1 Patogenesis Penyakit Ginjal Kronik.
(Dikutip dari : Gray, 2006)
Universitas Sumatera Utara
15
2.1.5. Anemia pada Gagal Ginjal Terminal
Anemia pada GGT dikenal dengan nama anemia renal, terutama
disebabkan oleh penurunan kapasitas produksi hormon eritropoietin.
Disebut Anemia renal jika kadar hemoglobin (Hb) < 14 g/dl (laki-laki) atau
<12 g/dl (perempuan). Anemia renal umumnya sudah bermanifestasi pada
LFG <50 mL/menit (PGK derajat 3) dan kadar kreatinin serum >2 mg/dL.
(NFK.K/DOQI 2006; PERNEFRI
2011; Alper 2012 ). Faktor lain yang
berkontribusi pada anemia renal adalah: (PERNEFRI 2011)
a. Defisiensi besi,
(asupan yang berkurang, flebotomi berulang untuk pemeriksaan
laboratorium, retensi darah pada dialiser atau tubing, perdarahan
saluran cerna)
b. Umur eritrosit yang memendek,
c. Hiperparatiroid berat,
d. Inflamasi dan infeksi,
e. Toksisitas alumunium,
f. Defisiensi asam folat,
g. Hipotiroid,
h. Hemoglobinopati
Kehilangan darah pada penderita GGT akibat proses HD ± 4,6 L per
tahun yang mengakibatkan kehilangan zat besi ± 2,3 g per tahun, karena
dalam 2 mL darah mengandung ± 1 mg zat besi. Apabila
rata-rata
Universitas Sumatera Utara
16
seorang penderita GGT menjalani HD 2 kali per minggu, maka penderita
tersebut akan mengalami kehilangan darah ± 48 mL setiap kali menjalani
HD. Semakin lama seorang penderita GGT menjalani HD akan memiliki
risiko kehilangan darah yang semakin besar (Hoffbrand 2006; Wilson
2006). Jumlah residu darah yang tertinggal pada ginjal buatan dan tube
dialysis sekitar
5−10 mL meskipun telah dilakukan pembersihan alat
(Zhang 2007). Keadaan defisiensi zat besi pada penderita GGT
menyebabkan ganguan eritropoiesis di dalam sumsum tulang, yang
berdampak pada menurunnya sintesis hemoglobin di dalam sel-sel
prekursor eritroid sehingga kadar Ret-He menjadi rendah (Bell 2009).
Pemendekan masa hidup eritrosit pada penderita GGT ± 50% dari masa
hidup eritrosit normal disebabkan oleh perubahan lingkungan kimia dalam
darah sehingga eritrosit lebih mudah lisis. Jika individu normal memiliki
masa hidup eritrosit 90−120 hari, maka masa hidup eritrosit penderita
GGT sekitar 45−60 hari
( PERNEFRI 2011; Alper 2012).
Penyebab lain anemia renal pada penderita GGT adalah peningkatan
hormon Paratiroid (PTH) akibat gangguan fungsi ekskresi ginjal,
menyebabkan terjadinya osteodistrofi renal dan osteitis fibrosa dalam
sumsum tulang sehingga mengganggu proses eritropoiesis dan menekan
produksi
eritrosit,
menyebabkan
gambaran
hipoproliferatif
pada
pemeriksaan apus sumsum tulang. Peningkatan PTH juga menyebabkan
peningkatan kadar kalsium darah, terjadi influks kalsium ke dalam eritrosit.
Kalsium intraseluler eritrosit yang berlebih menyebabkan terganggunya
Universitas Sumatera Utara
17
spectrin-actin cytoskeletal network dan lapisan fosfolipid membran eritrosit
menyebabkan perubahan stabilitas dan integritas membran sel eritrosit,
rigiditas eritrosit meningkat sehingga eritrosit lebih mudah lisis Kalsifikasi
sumsum tulang yang diinduksi keadaan hiperparatiroid akan berkurang
setelah dilakukan tindakan paratiroidektomi (Alper 2012; PERNEFRI
2011).
Sasaran kadar hemoglobin dalam penatalaksanaan anemia penderita
GGT menurut berbagai studi klinik adalah 10−12 g/dL serta diupayakan
tidak melebihi 13 g/dL dengan pertimbangan bahwa kadar hemoglobin
>13 g/dL tidak menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang bermakna
secara klinis, bahkan sebaliknya, dapat meningkatkan risiko terjadinya
hipertensi dan trombosis vaskuler serta gangguan kardiovaskuler
(Skorecki 2005; PERNEFRI 2011).
Keadaan uremia pada penderita GGT dapat menyebabkan inaktivasi
eritropoietin atau menekan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin
sehingga mengganggu produksi eritrosit. Keadaan uremia dapat ditandai
pula oleh penumpukan bahan atau zat sisa metabolit, antara lain hormon
paratiroid (Paratyroid Hormone/PTH) akibat retensi fosfat (hiperfosfatemia)
(Alper 2012 ; PERNEFRI 2011).
Uremia pada penderita GGT serta proses HD itu sendiri menyebabkan
keadaan inflamasi kronik, yang mengakibatkan anemia defisiensi zat besi
akibat pelepasan sitokin inflamasi, antara lain Interleukin 6 (IL-6) oleh
makrofag sehingga merangsang produksi hepsidin oleh hepar. Hepsidin
Universitas Sumatera Utara
18
menghambat absorbsi zat besi di intestinal dan menghambat pelepasan
zat besi dari enterosit dan sistem retikuloendotelial sehingga mengganggu
pemenuhan kebutuhan zat besi untuk eritropoiesis dalam sumsum tulang
(Macdougall 2012).
Salah satu parameter untuk mengetahui tingkat inflamasi adalah
pemeriksaan laju endap darah (LED) selain melalui pemeriksaan Creactive protein (CRP) dan kadar sitokin inflamasi IL-6dalam serum.
Pemeriksaan LED merupakan pengukuran non spesifik untuk mengetahui
dan memonitor respon terhadap adanya kondisi/proses inflamasi yang
terjadi, baik akut maupun kronik (seperti pada infeksi, keganasan,
collagen-vascular diseases dan uremia). Peningkatan protein fase akut
pada keadaan inflamasi/infeksi menyebabkan perubahan muatan eritrosit
menjadi netral, sehingga lebih mudah terbentuk roulleaux
eritrosit,
menyebabkan eritrosit lebih mudah dan lebih cepat mengendap, sehingga
nilai LED meningkat (Pagana 2010).
Anemia defisiensi zat besi pada penderita GGT
yang tidak
ditanggulangi dengan baik dapat menyebabkan gangguan sistem
kardiovaskuler, antara lain perikarditis, efusi perikardium, gangguan katup
jantung akibat deposisi fosfat dan supresi kontraktilitas miokardium karena
uremia dan berakhir dengan gagal jantung. Hipertrofi ventrikel kiri dapat
terjadi pada sekitar 75% penderita GGT yang tidak menjalani dialisis.
Hipertrofi ventrikel kiri terjadi akibat penebalan otot ventrikel, kekakuan
arteri, aterosklerosis dan kalsifikasi arteri koroner. Penderita GGT juga
Universitas Sumatera Utara
19
memiliki risiko tinggi mengalami aritmia jantung karena penurunan fungsi
ekskresi kalium pada ginjal sehingga terjadi hiperkalemia (Alper 2012)
Anemia defisiensi zat besi pada penderita GGT menyebabkan stress
hipoksia, yang merangsang sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH)
dari kelenjar hipofise anterior dan sistem saraf simpatis untuk proses
sintesis prekursor hormon adrenalin dengan meningkatkan aktivitas enzim
tyrosine hydroxylase dan dopamine-β hydoxylase, dua enzim yang
berperan dalam proses sintesis katekolamin. ACTH juga merangsang
kelenjar korteks adrenal ginjal untuk melepaskan hormon kortisol yang
meningkatkan aktivitas enzim phenylethanolamine N-methyltransferase
(PNMT) pada sel kromafin korteks adrenal untuk meningkatkan sintesis
adrenalin. Sistem saraf simpatis merangsang medula adrenal ginjal untuk
melepaskan adrenalin melalui serabut
splanchnic. Neurotransmiter
asetilkolin dilepaskan oleh serabut saraf simpatis preganglionik, bekerja
pada reseptor asetilkolin nikotinik menyebabkan depolarisasi dan influks
kalsium melalui calcium channel. Kalsium merangsang eksositosis granula
sel kromafin korteks adrenal untuk melepaskan adrenalin ke dalam
sirkulasi. Efek adrenalin dalam sirkulasi menyebabkan peningkatan denyut
jantung, peningkatan frekuensi respirasi dan vasokonstriksi pembuluh
darah
perifer
sebagai
mekanisme
kompensasi
untuk
memenuhi
kebutuhan oksigen jaringan. Mekanisme kompensasi kardiovaskuler untuk
memenuhi oksigenasi jaringan ini apabila tidak segera diatasi, dapat
berlanjut menjadi dekompensasi dan gagal jantung (Bohlen, V, 2006)
Universitas Sumatera Utara
20
2.1.6. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi Pada Pasien GGT
Pada anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi, kadar
besi
serum
dan
saturasi
transferin
menurun,
dan
hipoferemia
menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk
sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup.
Sebagai perbandingan antara anemia penyakit kronik, anemia defisiensi
besi dan kondisi terdapatnya kedua jenis anemia dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.(Weiss 2005)
Diagnosis Anemia Defisiensi Besi (ADB) absolut dan fungsional pada
PGK non dialisis (ND), PGK dengan dialisis peritoneal (DP) dan PGK
dengan HD sesuai kriteria PERNEFRI 2011 dijelaskan pada Tabel 2.4
Tabel. 2.3. Perbedaan Kadar Serum pada Anemia Penyakit Kronik
dan Anemia Defisiensi Besi.
Variabel
Anemia penyakit
Anemia
Kondisi
kedua
Kronik
Defisiensi Besi Anemia
Besi Serum
Menurun
Menurun
Menurun
Transferin
Menurun/Normal
Menurun
Menurun
Saturasi
Menurun
Menurun
Menurun
transferin
Feritin
Normal/Meningkat Menurun
Menurun/Normal
Reseptor
Normal
Meningkat
Normal/Meningkat
transferin
Rasio reseptor Rendah (<1)
Tinggi (>2)
Tinggi (>2)
transferin
dengan
log
feritin
Sitokin
Meningkat
Normal
Meningkat
( Sumber : Teddy, 2011)
Universitas Sumatera Utara
21
Tabel 2.4 Kriteria Anemia Defisiensi Zat Besi pada Penyakit Ginjal
Kronik
Parameter
Defisiensi besi absolut Defisiensi Besi fungsional
ND dan DP
HD
ND dan DP
HD
Feritin serum (ng/mL)
<100
<200
≥100
≥200
Saturasi transferin (%)
<20
<20
<20
<20
(Dikutip dari : Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2011)
Keterangan: ND= non dialisis; DP= dialisis peritoneal; HD= hemodialisa
2.1.7 Eritropoesis
Eritropoiesis adalah bagian dari hematopoiesis yang menggambarkan
seluruh proses produksi eritrosit di dalam sumsum tulang, dimulai dari
progenitor
stem
cell
(colony
forming
megakaryocyte,
monocyte/CFU-GEMM,
erythrocyte/BFU-E
dan
colony
forming
unitgranulocyte,
burst
unit
erythrocyte,
forming
erythrocyte/
unit
CFU-E),
selanjutnya menjadi prekursor eritrosit dimulai dari pronormoblas,
mengalami
maturasi
menjadi
normoblas
basofilik,
normoblas
polikromatofilik dan normoblas asidofilik. Normoblas asidofilik selanjutnya
kehilangan inti meninggalkan sisa-sisa Ribosom Nucleatid Acid (RNA) di
dalam sitoplasma menjadi retikulosit (eritrosit muda). Retikulosit matur
tidak memiliki inti tetapi masih memiliki beberapa mitokondria dan
ribosom. Warna sitoplasma retikulosit didominasi merah muda karena
tingginya konsentrasi hemoglobin tetapi masih juga terwarna keabuan
karena masih terdapat ribosom. Ribosom akan mengalami presipitasi
menjadi granula basofil dan selanjutnya menjadi eritrosit yang matur.
Setiap hari dihasilkan sekitar 1012 eritrosit baru oleh serangkaian proses
kompleks eritropoiesis (Bell 2009; Smith 2012)
Universitas Sumatera Utara
22
Retikulosit akan terus mensintesis hemoglobin dalam 24-48 jam
setelah dilepaskan dari sumsum tulang. Retikulosit memiliki ukuran sekitar
20% lebih besar dibandingkan dengan ukuran eritrosit. Satu pronormoblas
akan menghasilkan 14−16 eritrosit matang (Bell 2009; Smith 2012).
Proses regulasi eritropoiesis yang diatur oleh hormon eritropoietin (Epo)
dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.2
2.1.8. Eritropoietin
Eritropoiesis diregulasi oleh hormon eritropoietin (Epo) yang dihasilkan
oleh epithelial like cell atau fibroblas interstisial di sekitar kapiler
peritubuler dan sel epitel tubuler korteks ginjal dan sel perisinusoidal
hepar (Hoffbrand 2006).
Eritropoietin dikenal pula dengan nama hematopoietin, adalah hormon
glikoprotein yang bertugas mengontrol produksi eritrosit (eritropoiesis),
Gambar 2.2 Proses Pematangan Sel pada Eritropoiesis
(Dikutip dari : Higgs, 2005)
Universitas Sumatera Utara
23
suatu sitokin (protein sinyal) untuk prekursor eritroid di dalam sumsum
tulang yang memiliki berat molekul 34 kDa. Produksi Epo dari ginjal lebih
dominan pada masa dewasa, sedangkan produksi Epo dari hepar
dominan pada masa fetal (Haroon 2003).Proses regulasi eritropoiesis
yang diatur oleh hormon Epo dapat dijelaskan seperti pada Gambar.2.3.
Hormon Epo menstimulasi
eritropoiesis dengan cara meningkatkan
jumlah sel progenitor eritrosit melalui reseptor padaBFU-E, CFU-E dan
pronormoblas yang merupakan prekursor eritrosit paling awal yang
terdapat di sumsum tulang. Hormon ini akan mengaktifkan transkripsi
faktor GATA-1 dan FOG-1 yang penting dalam meningkatkan ekspresi
dari
gen
spesifik
eritroid
dan
juga
meningkatkan
ekspresi
gen
antiapoptosis dan reseptor transferin (CD71) (Higgs 2005; Hoffbrand
2006; Smith 2012). Eritropoetin akan berikatan dengan reseptor Epo
(EpoR) pada CFU-E, pronormoblas dan normoblas menyebabkan
diferensiasi dan proliferasi dan mencegah proses apoptosis sel progenitor
eritroid
tersebut.
Eritropoietin
juga
bekerjasama
dengan
faktor
pertumbuhan interleukin-3 (IL-3), interleukin-6 (IL-6) dan glukokortikoid
yang terlibat di dalam sistem eritropoiesis sejak dari tingkat multi-potent
stem cell (Haroon 2003)
Universitas Sumatera Utara
24
Gambar 2.3. Proses Regulasi Eritropoiesis oleh Hormon
Eritropoietin
( Dikutip dari : Hoffbrand 2006)
Jalur sinyal yang terjadi sebagai respon terhadap Epo untuk mengaktivasi
eritropoesis dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.4.
Dimerisasi reseptor EPO setelah EPO mengikat reseptor ditunjukkan
secara skematis. Dimerisasi reseptor EPO memungkinkan dua JAK2
untuk mendekati satu sama bagian aktif lainnya dan transfosforilasi dari
JAK2. JAK2 selanjutnya mengalami fosforilasi residu tirosin dalam domain
intraseluler reseptor EPO, dan kemudian STAT5 terikat pada reseptor
EPO terfosforilasi. STAT5 terfosforilasi oleh JAK2, memisahkan dari
reseptor EPO, dan kemudian membentuk dimer dan translokasi ke inti
untuk mengaktifkan transkripsi gen-gen tertentu , termasuk protein M
oncostatin dan hemoglobin. SHP - 1 mengikat domain pengatur negatif
Universitas Sumatera Utara
25
reseptor EPO melalui domain Src-homologi 2 (SH2) dan menyebabkan
defosforilasi JAK2 dan STAT5; dengan demikian, berfungsi sebagai
pengatur negatif transduksi sinyal EPO. (Akagi 2004)
Gambar 2.4. Jalur Sinyal Respon Prekursor Eritroid terhadap
Eritropoetin (Dikutip dari : Akagi, 2004)
Keterangan :Epo= Eritropoietin; JAK2= Janus kinase pathway 2;
STAT 5=Signal transducers activator transcription 5;
SH2 = Src-homology;
Bcl2-xL= pro survivalB cell lymphoma
2.2.
Metabolisme Besi
2.2.1. Komposisi Besi dalam Tubuh
Besi merupakan mineral penting bagi semua sel tubuh manusia.
Kemampuan besi untuk berubah pada reaksi oksidasi stabil, yaitu Fe2+
dan Fe3+, dalam kondisi fisiologis membuatnya ideal untuk reaksi katalisis
biokimia dan sejumlah besar enzim tergantung pada besi untuk fungsi
Universitas Sumatera Utara
26
biologis
mereka.
Dampak
negatifnya
adalah
logam
ini
mampu
mengkatalisis reaksi yang mengarah ke produksi radikal bebas, terutama
ketika berada dalam jumlah yang berlebihan. Sangatlah penting untuk
memasok zat besi yang cukup untuk memenuhi persyaratan metabolisme
sel, tetapi juga penting untuk mencegah kelebihan zat besi karena hal ini
dapat menempatkan sel di bawah tekanan stress oksidatif (Anderson
2010)
Manusia dewasa rata-rata memiliki 3.500 mg total zat besi tubuh, dua
pertiga bagian dalam bentuk hemoglobin dan
bentuk zat besi jaringan. Hampir
sepertiga bagian dalam
90% total zat besi jaringan adalah
cadangan zat besi dalam bentuk feritin atau hemosiderin. Cadangan zat
besi tubuh dapat meningkat akibat transfusi whole blood (WB) atau
packed red cell (PRC) karena adanya penambahan jumlah eritrosit dari
luar tubuh. Apabila eritrosit tersebut sampai waktunya untuk dihancurkan
oleh makrofag akan menyebabkan meningkatnya kadar heme dan zat
besi tubuh dan akan disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin (Bell
2009). Sepuluh persen zat besi jaringan merupakan elemen zat besi pada
myoglobin dan enzim sitokrom dan sekitar 1% zat besi terdapat dalam
plasma (Hoffbrand 2006). Pengaturan distribusi zat besi dalam tubuh
ditunjukkan pada Gambar. 2.5.
Manusia dewasa sehat dengan volume darah 4.500−5.000 mL akan
kehilangan zat besi sekitar 18,5−21 mg setiap hari melalui penggunaan
Universitas Sumatera Utara
27
dalam bentuk myoglobin otot, deskuamasi sel mukosa dan proses
berkeringat. (Hoffbrand 2006).
Duodenum (1-2
mg/hari)
Transferin
plasma (3 mg)
Sumsum tulang
(300 mg)
Otot (myoglobin-300
mg)
Eritrosit dalam
sirkulasi (1800
mg)
Cadangan besi
Parenkim hepar
(1000 mg)
Makrofag (dalam RES)-600
mg
Pelepasan sel mukosa, deskuamasi sel, menstruasi,
dll (1-2 mg/hari)
Kehilangan besi
Gambar 2.5. Distribusi Zat Besi dalam Tubuh
(Dikutip dari:Hoffbrand, 2006)
Setiap 2 mL darah mengandung ±1 mg zat besi, sehingga sekitar 18.5−21
mg zat besi dibutuhkan setiap hari untuk menggantikan zat besi yang
hilang. Hanya ±1 mg/hari zat besi yang hilang akan digantikan melalui
Universitas Sumatera Utara
28
konsumsi makanan (diabsorbsi sekitar 5−10% di duodenum dan jejunum)
(Hoffbrand 2006).
2.2.2. Absorpsi Besi
Besi lebih mudah diserap dalam bentuk Ferro (Fe2+) tetapi
kebanyakan besi yang ada dalam makanan berada dalam bentuk Ferri
(Fe3+) (Ullrich 2005). Hanya sedikit sekali besi yang diserap dalam
lambung, tetapi di dalam lambung besi dalam bentuk Ferri (Fe+3) akan
diubah menjadi Ferro (Fe+2)
oleh ferric reductase dengan bantuan
kofaktor duodenal cytochrom b-like (DCYTB) (NKF.K/DOQI 2006)
Perubahan ini sangat penting, karena duodenal metal transporter-1
(DMT1) memungkinkan hanya divalen logam (terutama besi, tetapi juga
Cu, Pb, dan Mn) yang dapat melalui membran apikal enterosit duodenal.
Namun,
DMT1
bukan
molekul
satu-satunya
yang
memfasilitasi
transportasi besi melalui membran enterosit. Heme carrier protein
merupakan molekul penting yang mengangkut besi heme dari permukaan
apikal ke enterosit. Besi heme akan terikat oleh reseptor heme di
membran brush border dan di dalam sel akan dilepaskan oleh heme
oxygenase se-belum memasuki penampungan besi labil dan kemudian
akan mengikuti jalur yang sama dengan besi non-heme (Bell 2009)
Di dalam enterosit sebagian besi disimpan sebagai feritin, dan
sebagian lagi menuju ke membrane basolateral ke sirkulasi melalui
Universitas Sumatera Utara
29
basolateral transporter dalam bentuk Fe2+ yang disebut ferroportin
(Henrika 2012). Ferroportin juga dapat ditemukan pada permukaan
membran makrofag. Jika total besi dalam tubuh tinggi, sintesis hati
terhadap hepsidin akan meningkat. Pengikatan hepsidin ke segmen
eksterior ferroportin akan menyebabkan internalisasi, ubiquitinasi dan
degradasi dari ferroportin. Akibatnya, besi yang ditransfer ke sirkulasi
akan menurun. Ferroportin, seperti DMT1 bersifat permeabel hanya untuk
besi dalam bentuk Ferro (Fe+2). Di sisi lain, besi harus berada dalam
bentuk Ferri (Fe+3) agar dapat terikat dengan transferin. Oleh karena itu,
oksidasi
besi dari
bentuk Ferro (Fe+2 ) menjadi Ferri (Fe+3) oleh
ferrooxidase atau hephaestin sangat diperlukan (Ozbek 2010; Hernika
2012). Seruloplasmin adalah homolog hephaestin menetap di membran
makrofag dekat dengan ferroportin, melakukan kerja yang sama dengan
hephaestin. Singkatnya, besi ferro
(Fe+2 ) yang berasal dari enterosit
dioksidasi oleh hephaestin, dan besi ferro (Fe+2 ) yang berasal dari
makrofag akan dioksidasi oleh seruloplasmin dengan cara yang sama
(Ozbek 2010) sebagaimana Gambar 2.6.
2.2.3. Transport Besi
Transferin (Tf) adalah protein utama yang mengikat dan menyalurkan
zat besi ke jaringan. Setiap molekul transferin dapat mengangkut 2
molekul besi (Fe3+) (NKF.K/DOQI, 2006).
Universitas Sumatera Utara
30
Gambar 2.6. Mekanisme absorpsi besi (Worwood 2005)
Transferin akan berikatan dengan salah satu transferrin reseptor (TfR)
pada membran sel, transferrin reseptor- 1 (TfR-1) atau transferrin
reseptor– 2 (TfR-2). Setiap reseptor transferin mengikat 2 molekul
transferin.TRF-1 ada dalam semua jaringan kecuali eritrosit yang matang.
TRF-2 paling banyak berada di hati. Meskipun struktur protein dari TfR-1
dan TfR-2 hampir sama tetapi fungsi dan regulasinya berbeda. Ekspresi
dari TfR1 diatur sangat ketat oleh kadar zat besi seluler melalui human
hemochromathosis protein (HFE). Namun, kadar zat besi seluler tidak
berpengaruh pada TfR2. TfR2 diatur oleh saturasi transferin dan berfungsi
meregulasi ekspresi hepsidin. (Bell 2009; NKF.K/DOQI 2006)
Setelah pengikatan diferric-Tf
ke TFR, kompleks diferric-Tf/TFR
bersama dengan DMT1 pada membran sel yang dilapisi clathrin akan
diinternalisasi secara endositosis. Dalam endosome, proses pengasaman
melalui pompa proton ATPase (pH 5,5-6) akan mengakibatkan ikatan Fe3+
dan Tf terlepas. Sebuah protein disebut STEAP3 (Six-Transmembrane
Epithelial Antigen of Prostate 3) akan mengubah Fe+3 menjadi Fe+2 di
Universitas Sumatera Utara
31
dalam prekursor sel eritroid, seperti pada Gambar. 2.7. Konversi ini
diperlukan karena DMT1 hanya mengangkut divalent logam dari
endosome ke sitoplasma seperti pada enterosit (Ozbex 2010). Besi di
dalam sel eritroid hampir seluruhnya akan menuju mitokondria dimana
akan bergabung dengan protoporphyrin membentuk heme, sedangkan
pada
sel
lain
besi
akan
disimpan
dalam
bentuk
feritin
dan
hemosiderin.(Andrews 1999).
Gambar 2.7. Siklus transferin
(Dikutip dari : Andrews 1999)
Kompleks tansferin/TfR yang sudah tidak berikatan dengan besi
(Apotransferrin) akan didaur ulang ke permukaan sel di mana pH akan
dipulihkan kembali. Di permukaan sel pH menjadi 7.4, perubahan pH ini
mengakibatkan terlepasnya ikatan antara apotransferrin dari TfR.
Apotransferin akan dilepaskan keluar dari sel menuju sirkulasi dan
berfungsi kembali menjadi pengangkut besi, sedangkan TfR akan menjadi
truncated transferrin receptor atau soluble transferrin receptor (sTfR)
(Henrika 2012).
Universitas Sumatera Utara
32
2.2.4. Pembentukan Hemoglobin
Molekul hemoglobin adalah protein globular terkonjugasi terdiri dari
empat molekul heme dan dua pasang rantai polipeptida serta merupakan
komponen sitoplasma utama eritrosit. Hemoglobin bebas berasal dari
eritrosit yang mengalami hemolisis, memiliki waktu paruh yang pendek,
cepat dipecah dan dibersihkan melalui ekskresi oleh ginjal. Fungsi utama
hemoglobin sebagai penghantar oksigen dari paru-paru ke berbagai
jaringan tubuh. Hemoglobin juga mengatur dilatasi vaskuler melalui
penghantaran nitric oxide (NO) dan penghantaran karbondioksida dari
jaringan ke paru-paru untuk selanjutnya dikeluarkan melalui ekspirasi
(Hilman 2005).
Molekul heme merupakan cincin yang terdiri dari atom karbon,
hidrogen dan nitrogen yang disebut protoporphyrin IX dengan sebuah
atom
besi
(divalent
ferrous/Fe2+)
melekat
di
tengah
cincin
(ferroprotoporphyrin). Setiap molekul heme dapat mengikat satu molekul
oksigen, sehingga satu molekul hemoglobin dapat mengikat empat
molekul oksigen (Hilman 2005; Hoffbrand 2006). Sekitar 1,34 mL oksigen
dapat diikat oleh setiap gram hemoglobin (Bell 2009; Smith 2012).
Satu molekul hemoglobin terdiri dari 2 pasang rantai globin yang
identik. Setiap rantai globin terdiri dari 141−146 asam amino. Molekul zat
besi akan melalui membran prekursor eritrosit masuk ke dalam
mitokondria,
direduksi
menjadi
bentuk
ferrous
(Fe2+)
selanjutnya
bergabung dengan protoporphyrin IX untuk membentuk molekul heme.
Universitas Sumatera Utara
33
Molekul heme selanjutnya meninggalkan mitokondria dan bergabung
dengan rantai globin di dalam sitoplasma (Bell 2009; Smith 2012).Proses
sintesis hemoglobin dapat dijelaskan pada Gambar 2.8.
Setiap molekul heme selanjutnya berikatan dengan satu rantai globin
α dan satu rantai globin non α membentuk heterodimer. Dua molekul
heterodimer tersebut selanjutnya bergabung membentuk satu molekul
tetramer (Andrews 2004; Smith 2012).
Gambar 2.8. Proses Sintesis Hemoglobin
(Dikutip dari : Bell 2009)
2.2.5. Retikulosit
Retikulosit merupakan tahapan diferensiasi jalur eritroid sebelum
menjadi eritrosit matur, adalah sel darah merah yang masih muda, yang
baru dilepaskan dari sumsum tulang dan masih mengandung ribosomal
RNA. Retikulosit berukuran 20% lebih besar dari eritrosit. Retikulosit akan
Universitas Sumatera Utara
34
berada di sumsum tulang sekitar 2−3 hari sebelum dilepaskan ke sirkulasi
perifer dan akan beredar selama 1−2 hari dalam sirkulasi perifer sebelum
menjadi eritrosit yang matur (Bell, 2009)
Membran retikulosit mengekspresikan reseptor transferin yaitu reseptor
yang berikatan dengan zat besi yang akan digunakan oleh sel untuk
sintesis hemoglobin. Reseptor transferin dilambangkan dengan cluster of
differentiation 71 (CD71). Antigen CD71 ini dapat digunakan sebagai
penanda untuk retikulosit. Perbedaan antara normoblas, retikulosit dan
eritrosit matur dapat dijelaskan seperti tampak pada Gambar. 2.9.
Gambar 2.9 Struktur Retikulosit.
(Dikutip dari : Hoffbrand 2006)
Universitas Sumatera Utara
35
Retikulosit dapat terlihat jelas pada sediaan apus darah tepi dengan
menggunakan pewarnaan New methylene blue seperti tampak pada
Gambar.2.10.
Gambar.2.10. Gambaran retikulosit pada sediaan apus darah tepi
(Dikutip dari : Rozenberg 2011)
2.3.
Pemeriksaan Status Besi
2.3.1. Serum Iron (SI)
Serum iron adalah banyaknya besi yang diangkut oleh apotransferin
(Henrika, 2012). Secara fisiologis, konsentrasi SI memiliki irama diurnal,
dimana SI akan berkurang di sore dan malam hari, mencapai titik nadir
dekat pukul 9 malam dan meningkat menjadi maksimum antara pukul 7
dan 10 pagi. Hal ini terkait kegiatan harian yang lebih aktif pada pagi hari,
sehingga tubuh memerlukan oksigen lebih banyak, menyebabkan
meningkatnya kebutuhan zat besi dalam bentuk senyawa hemoglobin
untuk
mengikat
dan
membawa
oksigen
ke
seluruh
tubuh
dan
Universitas Sumatera Utara
36
meningkatnya kebutuhan zat besi untuk sintesis berbagai enzim untuk
metabolisme tubuh, walaupun dinyatakan bahwa pembatasan waktu
sampling untuk pemeriksaan kadar besi serum pada jam tertentu tidak
meningkatkan reliabilitas hasil pemeriksaan (Dale 2002). Konsentrasi SI
berkurang dengan adanya proses inflamasi baik akut maupun kronis,
infeksi, dan keganasan (Buttarello 2004; WHO 2004; Brugnara 2006).
Pemeriksaan SI merupakan pengukuran zat besi yang terikat pada
transferin,
menggunakan
alat
spektrofotometer
otomatis.
Prinsip
pemeriksaan SI adalah dalam keadaan asam, zat besi dibebaskan dari
transferin. Askorbat akan mereduksi ion Ferri (Fe3+) menjadi ion ferro
(Fe2+) dan bereaksi dengan ferrozine membentuk kompleks warna.
Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan kadar zat besi dalam
serum dan diukur menggunakan metode fotometri (Pagana, 2010).Prinsip
pemeriksaan kadar SI adalah sebagai berikut:
Kompleks Transferin-Fe3+(pH < 2,0)  apotransferin + Fe3+
Fe3+ (askorbat-reduktor) Fe2+
Ferrozine + Fe2+ kompleks berwarna
Bahan pemeriksaan (serum) yang lipemik akan dijernihkan oleh deterjen.
Nilai rujukan kadar zat besi serum pada
laki-laki dewasa adalah
70−150 µg/dL (12−27 µmol/L)danpada wanita dewasa adalah 80−150
µg/dL (14−27 µmol/L) (Pagana 2010)
Faktor interferensi pada pemeriksaan zat
besi serum adalah: (Hilman
2005; Pagana 2010).
Universitas Sumatera Utara
37
a. Faktor yang dapat meningkatkan kadar zat besi serum : pemberian
Kloramfenikol, Cisplatin (antineoplastik golongan alkylating agent)
hormon estrogen, preparat besi, etanol, metotreksat dan vitamin
B12 pada 48 jam sebelum pemeriksaan serta sampel yang
hemolisis.
b. Faktor yang dapat menurunkan kadar zat besi serum : pemberian
Adrenocorticotropic hormone (ACTH), Testosteron,
Colchicines,
Methicillin, dan keadaan stres fisik dan kurang tidur.
Hormon estrogen dapat meningkatkan kadar SI melalui mekanisme
hambatan mRNA hepsidin dalam hepatosit sehingga sintesis hepsidin
oleh hepatosit berkurang, sedangkan Kloramfenikol, Metotreksat, Cisplatin
dan etanol menyebabkan gangguan pada mitokondria hepatosit sehingga
sintesis hepsidin terhambat. Hepsidin merupakan protein regulator utama
homeostasis zat besi dalam tubuh, sehingga penurunan kadar hepsidin
menyebabkan meningkatnya absorbsi dan pelepasan zat besi dari
enterosit, makrofag maupun hepatosit yang merupakan tempat cadangan
zat besi utama tubuh. Hal ini menyebabkan kadar zat besi serum
meningkat (Yang 2012)
Kadar SI pada penderita GGT dapat menurun akibat cadangan zat
besi yang kurang (defisiensi zat besi absolut) atau akibat hambatan
pelepasan zat besi dari makrofag atau enterosit (defisiensi zat besi
fungsional) (Skorecki 2005; PERNEFRI 2011).
Universitas Sumatera Utara
38
2.3.2. Feritin Serum
Pada orang sehat dan penderita defisiensi besi tahap awal,
konsentrasi feritin di dalam serum akan seimbang dengan yang tersimpan.
Pada orang dewasa setiap 1 μg/L serum feritin mengindikasikan kurang
lebih 8 mg dari besi yang tersimpan. Meskipun demikian, hubungan
langsung antara besi yang dikonsumsi dengan feritin tidak begitu baik. Hal
ini disebabkan oleh karena feritin juga merupakan protein reaktan fase
akut yang kadarnya akan meningkat apabila terjadi proses infeksi,
inflamasi, keganasan dan penyakit hati. Cut-off feritin untuk defisiensi besi
menurut WHO adalah <15 μg/L, tetapi apabila didapati infeksi cut off
defisiensi besi adalah < 30 μg/L (Mast 2008)
Prinsip pemeriksaan feritin serum yaitu mengukur pendaran cahaya
pada zat kimia yang dicetuskan oleh tenaga listrik menggunakan metode
Sandwich
electro
chemiluminescence
immuno
assay
(Sandwich
ECLIA)(Pagana 2010).
Nilai rujukan kadar feritin serum pada populasi normal: )(Pagana, 2010).
 Laki-laki: 12−300 ng/mL (12-300 mcg/L-SI Unit).
 Wanita: 10−150 ng/mL (10−150 mcg/L-SI Unit).
 Bayi baru lahir
: 25−200 ng/mL.
 Bayi usia < 1 bulan
: 200−600 ng/mL.
 Bayi usia 2-5 bulan
: 50−200 ng/mL.
 Usia 6 bulan-15 tahun
: 7−142 ng/mL.
Universitas Sumatera Utara
39
Kadar feritin serum cenderung stabil pada laki-laki dewasa dan wanita
post menopausal. Faktor interferensi yang dapat meningkatkan kadar
feritin serum antara lain transfusi darah dan makanan yang mengandung
zat besi dengan kadar tinggi (misalnya red meat).(Pagana, 2010)
Keterbatasan pemeriksaan feritin serum adalah karena feritin serum
merupakan protein fase akut yang kadarnya dipengaruhi oleh keadaan
infeksi-inflamasi, sehingga kadar feritin serum yang meningkat belum
tentu menggambarkan kecukupan cadangan zat besi tubuh, misalnya
pada keadaan infeksi/inflamasi akut dan tumor ganas metastatik. Kadar
feritin serum akan meningkat pada 1−2 hari setelah awitan penyakit,
mencapai puncaknya pada hari ke 3-5, sehingga apabila keadaan
defisiensi zat besi menyertai penderita ini, defisiensi zat besi tersebut sulit
ditemukan karena kadar feritin serum yang meningkat (Hilman, 2005;
Skorecki, 2005; Alper, 2012).
Kombinasi pemeriksaan kadar feritin serum dengan TIBC dapat
membedakan dan menentukan klasifikasi anemia yang terjadi. Penurunan
kadar feritin serum dapat menggambarkan penurunan cadangan zat besi
terkait dengan anemia defisiensi zat besi, tetapi dapat pula sebagai
penanda gangguan produksi feritin, misalnya pada malnutrisi dan
gangguan hati lanjut. Kadar feritin dapat menurun pada penderita GGT
dengan hemodialisa akibat berkurangnya cadangan zat besi selama
proses dialisis berlangsung. Peningkatan kadar feritin serum dapat
menggambarkan hemosiderosis, hemokromatosis, keracunan zat besi
Universitas Sumatera Utara
40
atau riwayat transfusi yang baru saja dilakukan, anemia megaloblastik,
anemia hemolitik, gangguan hepatoseluler, hepatitis kronik (Hilman, 2005;
Pagana, 2010)
2.3.3. Total Iron Binding Capacity (TIBC)
Besi akan ditransportasikan di dalam plasma dan cairan ekstraseluler
oleh transferin. Metaloprotein ini memiliki afinitas yang sangat tinggi
terhadap besi. Hampir seluruh besi dalam plasma akan diikat oleh
transferin. Oleh karena itu, sangat tepat untuk mengukur konsentrasi
plasma transferin secara indirek dengan mengukur jumlah total iron
binding capacity (TIBC) yang merupakan jumlah total ikatan besi dengan
tranferin (Mast, 2008). TIBC akan meningkat apabila terjadi pengurangan
simpanan besi dan
akan berkurang apabila terjadi infeksi, inflamasi
ataupun keganasan (Vaisman, 2000).
Total iron binding capacity menunjukkan total kadar zat besi serum jika
semua transferin terikat dengan zat besi. Transferin adalah protein yang
terbentuk di dalam hati yang berfungsi sebagai transpor besi ke sumsum
tulang untuk sintesis hemoglobin atau digunakan oleh sel tubuh (Pagana,
2010)
Pemeriksaan TIBC merupakan
pengukuran transferin secara tidak
langsung. Prinsip pemeriksaan ini adalah zat besi feri berlebihan (Fe3+)
yang telah diketahui kadarnya ditambahkan pada bahan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
41
hingga semua transferin berikatan (jenuh) dengan zat besi. Sisa zat besi
feri yang tidak terikat transferin akan direduksi menjadi besi bentuk fero
oleh reagen reduktan dan berikatan dengan zat kromogen ferrozine
membentuk kompleks warna magenta yang kadarnya diukur dengan
metode fotometrik. Pemeriksaan TIBC menggunakan bahan pemeriksaan
serum (Pagana, 2010)
Kadar TIBC dihitung berdasarkan penjumlahan Unsaturated iron
binding capacity (UIBC) dengan besi serum. Nilai rujukan UIBC 160−280
µg/dL.
TIBC = UIBC + Fe serum.
Nilai rujukan TIBC pada anak dan dewasa :240−450 µg/dL (41−77
µmol/L). (Pagana, 2010)Faktor interferensi pada pemeriksaan TIBC :
a.
Faktor
yang
dapat
meningkatkan
hasil
TIBC:
antibiotika
Kloramfenikol, kontrasepsi oral, suplemen besi (suplemen zat besi
dapat menyebabkan peningkatan zat besi serum dan penurunan
TIBC serum) (Pagana, 2010)
b.
Faktor yang dapat menurunkan hasil TIBC
:
ACTH (Pagana,
2010)
Penderita PGK dengan defisiensi zat besi absolut menunjukkan nilai
TIBC yang meningkat, sedangkan penderita PGK yang disertai defisiensi
zat besi fungsional nilai TIBC dapat normal (dalam rentang nilai rujukan)
(Hilman, 2005; Adamson, 2010)
Universitas Sumatera Utara
42
2.3.4. Saturasi Transferin (ST)
Konsentrasi besi dalam serum dan saturasi transferin akan turun
seiring dengan pasokan besi yang menurun. Level saturasi dibawah 16%
mengindikasikan ketidakcukupan besi untuk mempertahankan sintesa
hemoglobin dalam kadar yang normal (Caro, 2006). Persen saturasi
transferin dengan besi ditentukan dengan membagi serum besi dengan
TIBC dikali 100 (NKF.K/DOQI, 2006)
% 𝑆𝑎𝑡𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑆𝑇 =
𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚𝑖𝑟𝑜𝑛
× 100%
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑖𝑟𝑜𝑛𝑏𝑖𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔𝑐𝑎𝑝𝑎𝑐𝑖𝑡𝑦
Nilai rujukan saturasi transferin populasi normal untuk laki-laki 20−50%
dan untuk wanita adalah 15−50% (Pagana, 2010)
Penderita PGK dengan defisiensi zat besi absolut maupun fungsional,
nilai saturasi transferin dapat lebih rendah dari nilai rujukan yang sesuai
jenis kelamin (Hilman, 2005; Adamson, 2010).
2.3.5. Retikulosit Hemoglobin (RET-HE)
Penilaian besi yang terkait eritropoiesis dapat dilakukan dengan
penilaian pada sumsum tulang tetapi tindakan ini terlalu invasif. Sel-sel
darah merah yang secara aktif menggunakan besi untuk sintesa
hemoglobin berada di dalam sumsum tulang, tidak di
dalam sirkulasi
perifer. Retikulosit adalah sel-sel darah merah yang belum matang tetapi
yang paling dekat yang dapat dengan mudah dinilai dan diidentifikasi di
darah perifer (Mast 2008).Ketika produksi sel darah merah dalam keadaan
Universitas Sumatera Utara
43
normal, retikulosit akan berada dalam sirkulasi hanya 1 sampai 2 hari tapi
mencerminkan status besi yang ada 3 sampai 4 hari sebelum
penggabungan besi ke hemoglobin berada pada saat maksimum
(Besarab
2001,
Brugnara
2006;
Wish 2006).
Dengan
demikian,
ketersediaan besi fungsional untuk dimasukkan ke dalam sel darah merah
pada sumsum tulang selama proses pembentukan sel darah merah
beberapa hari sebelumnya tercermin dari jumlah hemoglobin dalam
retikulosit (Mast 2008; Butarello 2010).
Dengan demikian, jumlah hemoglobin dalam retikulosit adalah refleksi
yang cukup baik dari seberapa banyak zat besi yang tersedia. Daripada
memeriksa kadar hemoglobin di keseluruhan eritrosit yang mungkin
berada di mana saja antara 1 sampai 120 hari, hemoglobin retikulosit
akan memberikan gambaran berapa banyak besi tersedia untuk produksi
sel darah merah dalam jangka waktu yang relevan secara klinis. Oleh
karena itu, secara teoritis hemoglobinretikulosit merupakan penanda yang
cukup baik (Buttarello 2010).
Pemeriksaan Ret-He adalah parameter yang menggambarkan secara
langsung sintesis hemoglobin paling akhir pada prekursor sumsum tulang,
merupakan parameter yang diukur dalam channel retikulosit pada alat
hematologi otomatis. Hal ini lebih berguna dibanding dengan parameter
pemeriksaan zat besi yang telah ada yang merupakan perkiraan kasar
status zat besi dalam tubuh. Kepentingan parameter ini adalah menilai
kecukupan zat besi untuk eritropoiesis dan untuk memonitor respon awal
Universitas Sumatera Utara
44
dari terapi suplemen zat besi intravena serta mencegah kelebihan
pemberian suplemen zat besi. Parameter ini telah terbukti berguna dalam
mendiagnosis defisiensi zat besi. Informasi mengenai kadar hemoglobin
pada retikulosit memungkinkan penegakan diagnosis pada tahap awal
terjadinya defisiensi zat besi pada saat parameter biokimia tradisional
lainnya belum memberikan informasi (Sysmex 2010).
Pemeriksaan Ret-He merupakan penilaian langsung jumlah zat besi
yang akan membentuk hemoglobin dalam sumsum tulang sehingga
memperkirakan ketersediaan fungsional zat besi terkini untuk hemoglobin
dalam eritrosit. Parameter ini merupakan indikator yang sensitif untuk iron
defficient erythropoiesis karena masa hidup retikulosit yang singkat,
indikator untuk functional iron deficiency serta indikator respon terhadap
terapi recombinant Human Erythropoietin (r-HuEPO) (Sysmex 2007 ;
Sysmex 2010).
Pemeriksaan Ret-He menggambarkan jumlah hemoglobin yang
terdapat
dalam
eritrosit
muda
yang
baru
diproduksi
sehingga
menyediakan informasi real-time mengenai pasokan zat besi pada
eritropoiesis (Sysmex 2007). Parameter ini dapat diperiksa bersamaan
dengan analisis hematologi rutin lainnya sehingga lebih praktis dan
ekonomis. Keuntungan lain parameter ini dibandingkan pemeriksaan
feritin adalah Ret-He tidak dipengaruhi oleh ‘acute phase reactant’. Kadar
Ret-He merupakan hasil transformasi matematika dari Reticulocyte Y (Ret
Y) menggunakan alat automatic hematology analyzer. Reticulocyte
Universitas Sumatera Utara
45
Ymerupakan hasil pengukuran forward scatter dari retikulosit berlabel zat
fluoresensi, selanjutnya diekspresikan sebagai Ret-He. Rentang normal
Ret-Y
1630−1860 arbitrary units (AU). Hasil transformasi matematika
menjadi kadar Ret-He menghasilkan rentang normal Ret-He : 28,2−35,7
pg/sel (Sysmex 2007).Prinsip pemeriksaan Ret-He dijelaskan pada
Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Prinsip Pemeriksaan Ret-He (Fluorescence
Flowcytometry) (Dikutip dari: Sysmex, 2007)
2.4.
HEPSIDIN
2.4.1. Struktur dan sintesa Hepsidin
Hepsidinadalah peptida dengan 25 asam amino, 8 residu sistein, dan
4 ikatan disulfida yang belum lama ini ditemukan dalam rangka pencarian
peptida antimikrobial baru (Pardede 2013). Park et.al.(2001) saat
melakukan studi tentang antimikrobial dari berbagai cairan tubuh manusia,
mengisolasi suatu peptida baru dari urin manusia dan menamakan
peptida ini sebagai hepcidin, berdasarkan tempat diproduksinya (hati, hep-
Universitas Sumatera Utara
46
) dan karakter antimikrobial in vitro (- cidin). Studi sebelumnya oleh Krause
et.al.(2000), juga mengisolasi peptidayang samadari ultrafiltrat plasma dan
menamakannya LEAP-1 (liver expressed antimicrobial peptide).
Secara struktur, hepsidin manusia merupakan peptida kecil yang kaya
sistein (8 sistein) yang di dapat dari gugus c-terminal suatu asam amino
prepropeptida, yang diisolasi dari urine dan ultrafiltrat darah, yang
sebagian besar mengandung 25 asam amino (hep-25) dan sebagian lagi
ditemukan dengan rantai asam amino yang lebih pendek (hep-20 dan
hep-22). Molekul hepsidin berbentuk seperti jepitan rambut (hairpin)
dimana kedua lengannya silang oleh gugusan disulfida seperti pada
Gambar.2.12. (Ganz, 2003).
Hepsidin manusia diproduksi oleh hepatosit (Pigeon 2001). Gen
hepsidin manusia berlokasi pada lengan panjang dari kromosom 19q13,
yang mengkode 84 asam amino prepropeptida, terdiri dari 24 asam amino
N-terminal dan 60 asam amino prohormon ( Bayele 2009).
Gambar 2.12.Urutan asam amino dan struktur utama hepcidin
manusia (Sumber: Ganz, 2003)
2.4.2. Hepsidin dan Metabolisme Besi
Universitas Sumatera Utara
47
Hepsidin diproduksi lebih banyak pada hati, sedangkan pada ginjal,
jantung, otot, tulang dan otak hanya sedikit diproduksi. Kulaksiz et.al
menjelaskan bahwa kadar hepsidin pada periportal hepatosit paling tinggi
(Kulaksiz 2004).
Nicolas et.al (2001) menemukan bahwa pada hewan percobaan tikus
yang dihilangkan fungsi gen USF2-nya akan mengalami kondisi seperti
hematokromatosis, dimana terjadi hiperabsorpsi besi pada usus dan
peningkatan pelepasan besi dari makrofag sehingga terjadi peningkatan
kandungan besi pada hati dan pankreas serta defisiensi besi pada lien.
Pada hati terjadi kekurangan mRNA hepsidin. Hal ini membuktikan bahwa
hepsidin dapat secara langsung sebagai sensor pada homeostasis besi.
Diduga kuat bahwa hepsidin menghambat pelepasan besi dari
makofag dan sistem retikuloendotelial sehingga terjadi retensi besi, serta
mengurangi penyerapan besi di usus, sehingga terjadi disregulasi
homeostasis besi yang akhimya terjadi kondisi kekurangan besi yang
mengganggu proses eritropoesis (Ganz 2003).
2.4.3. Hepsidin dan infeksi/inflamasi
Nemeth et.al melakukan pemeriksaan peptida hepsidin yang terdapat
dalarn urin pada penderita anemia karena infeksi kronis atau penyakit
inflamasi yang berat, dan terjadi peningkatan ekskresi hepsidin sebesar
100 kali lipat. Sedangkan pada pasien dengan penyakit inflamasi yang
lebih ringan, peningkatannya lebih sedikit. Pada studi tentang efek sitokin
Universitas Sumatera Utara
48
terhadap
hepatosit
manusia
diketahui
bahwa
produksi
hepsidin
dirangsang oleh lipopolisakarida dan sitokin dari monosit yang telah
terpapar lipopolisakarida sebelumnya. Diantara sitokin proinflamasi
tersebut, interleukin-6 (lL-6) merupakan sitokin terkuat merangsang mRNA
hepsidin. lnfeksi dan makromolekul seperti lipopolisakarida, kemungkinan
bekerja pada makrofag termasuk sel-sel Kupfer hati untuk merangsang
produksi IL-6 dan pada gilirannya akan meningkatkan ekspresi mRNA
hepsidin dihati (Nemeth 2004).
2.4.4. Hepsidin dan Anemia atau hipoksia
Mekanisme molekuler regulasi hepsidin oleh hipoksia atau anemia belum
diketahui dengan jelas.Penelitian menunjukkan bahwa hypoxia inducible
factor (HIF) – 1 alpha, yaitu suatu faktor transkripsi heterodimer yang juga
memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin dan berbagai gen terinduksi
hipoksia, berkontribusi menghambat produksi hepsidin. HIF diduga
menekan ekspresi hepsidin secara tidak langsung dengan menurunkan
induksi hepsidin termediasi BMP-SMAD dan/atau induksi hepsidin
termediasi HFE/TFR2. Penelitian lain menunjukkan bahwa induksi
eritropoiesis akibat hipoksia atau anemia itu sendiri yang menghambat
produksi hepsidin (Swinkels 2008; Babitt 2010). Regulasi hepsidin oleh
eritropoesis juga belum dimengerti sepenuhnya. Peningkatan aktivitas
eritropoiesis yang juga dapat disebabkan oleh pemberian Erythropoiesisstimulating agent (ESA) menurunkan kadar hepsidin disirkulasi dan
Universitas Sumatera Utara
49
menyebabkan
mobilisasi
cepat
besi
dari
penyimpanannya
untuk
memenuhi kebutuhan sumsum tulang (Swinkels 2008).
2.4.5. Hepsidin dan Penyakit Ginjal Kronik
Hepsidin diekskresikan melalui urin dan dimetabolisme oleh ginjal.
Gangguan pada kedua proses tersebut terjadi pada keadaan LFG yang
menurun. sehingga menyebabkan penumpukan hepsidin di ginjal. Pada
pasien PGK terjadi peningkatan kadar hepsidin yang dipengaruhi oleh
kelebihan cadangan besi, keadaan inflamasi, dan penurunan LFG.
Sedangkan kadar hepsidin menurun pada kondisi anemia, hipoksia,
peningkatan eritropoesis, dan defisiensi besi, serta pemberian ESA
(Darshan 2010).
Kemna et.al menjelaskan hubungan antara hepsidin dan feritin serum
pada penyakit ginjal kronik yaitu kadar dari kedua parameter tersebut
terjadi peningkatan tetapi pada kondisi defisiensi besi keduanya akan
menurun. Diantara keunggulan dan hepsidin serum adalah dapat
mencerminkan ketersediaan besi dan kebutuhan eritropoiesis, dan lebih
mencerminkan homeostasis besi dibandingkan dengan masing-masing
parameter seperti saturasi transferin, reseptor transferin dan CRP (Kemna
2007).
Pada penelitian Zaritsky et.al , yang menguji hubungan hepsidin
serum dengan indikator anemia, status besi, inflamasi dan fungsi ginjal.
Pada PGK stadium 2 - 4, feritin dan reseptor transferin berbanding lurus
Universitas Sumatera Utara
50
dengan hepsidin, tetapi berbanding terbalik dengan LFG. Sedangkan
pada PGK stadium 5, saturasi transferin dan feritin dapat menentukan
kadar hepsidin. Peningkatan kadar hepsidin berperan pada gangguan
pengaturan besi dan proses eritropoesis. Hepsidin dapat dijadikan
sebagai parameter biokimia pada anemia defisiensi besi dan salah satu
penyebab terjadinya respon eritropoetin tidak adekuat. (Zaritsky 2009).
Peters et.al melaporkan 83 pasien PGK non dialisis, dan 48 pasien
HD, tidak terdapat korelasi kadar hepsidin dengan LFG (p =0,30 dan
r =0,12). Kadar hepsidin pada pasien HD lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar hepsidin pasien PGK non dialisis. LFG bukan merupakan faktor
utama yang menentukan kadar hepsidin pada pasien PGK.(Pieter 2010).
2.4.6. Pengukuran Hepsidin
Kadar
hepsidin
pemeriksaan
telah
sulit
diukur
dikembangkan.
meskipun
berbagai
Pemeriksaan
metode
hepsidin
yang
pertama adalah dengan imunodot untuk mengukur hepsidin urin, akan
tetapi pemeriksaan ini sifatnya semi-kuantitatif, sulit, dan tidak cocok
unutk
mengukur
hepsidin
serum.
Selanjutnya
dikembangkan
pemeriksaan lebih komersial yang mendeteksi kadar prohepsidin,
tetapi tidak berkorelasi dengan aktivitas biologik, status besi, inflamasi
dan tidak lagi dianggap memiliki kegunaan klinis. Teknik pemeriksaan
lain adalah dengan mass spectroscopy yang mengukur hepsidin matur
di urin dan serum. Meskipun teknik ini memiliki keuntungan dapat
Universitas Sumatera Utara
51
membedakan hepsidin-25, hepsidin-22 dan hepsidin-20, tetapi masih
mengandalkan peralatan mahal yang tidak tersedia luas dan bersifat
semi-kuantitatif.
Belakangan
telah
dikembangkan
pemeriksaan
imunologis (immunoassay) dan pemeriksaan berdasarkan kompetisi
terhadap ikatan 125I-hepsidin-25 ke peptida yang identik dengan tempat
ikatan hepsidin feroportin yang dapat mengukur hepsidin-25 secara
kuantitatif. (Malyzko 2007; Kemna 2007; Swinkels 2008; Babitt 2010).
2.5.
Kerangka Konsep
Penurunan
kadar
Eritropoeitin
Kehilangan
darah ↑
Diet ↓
Penderita GGT
dengan HD reguler
Frekuensi
phlebotomi
↑
Infeksi/
Inflamasi
Hepsidin
?
Ret.He
Gambar. 2.13. Kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara
Download