SYOK KARDIOGENIK Sari Harahap, Naomi Dalimunthe, Rahmat

advertisement
SYOK KARDIOGENIK
Sari Harahap, Naomi Dalimunthe, Rahmat Isnanta, Zainal Safri, Refli Hasan, Guntur Ginting
Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU, RSUP H. Adam Malik
Pendahuluan
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung
dan perfusi
sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan hipoksia
jaringan. Istilah syok kardiogenik ini pertama sekali disampaikan oleh Stead (1942) dimana saat
itu dilaporkan 2 orang pasien yang disebutkan mengalami “syok yang diakibatkan oleh jantung
(shock of cardiac origin)”. Belakangan istilah ini kemudian berubah menjadi syok kardiogenik.1
Gambaran yang esensial dari syok kardiogenik adalah adanya hipoperfusi sistemik yang
menyebabkan hipoksia jaringan dengan bukti volume intravaskular yang adekuat. Kriteria
hemodinamik syok kardiogenik adalah adanya hipotensi yang berkepanjangan dengan
batasan/cut-off points tekanan darah sistolik untuk syok kardiogenik adalah < 90 mmHg selama
sekurangnya 30-60 menit atau mean arterial pressure < 30 mmHg dari baseline dengan indeks
kardiak yang berkurang (< 2,2 L/menit/m2) dan tekanan baji kapiler paru (pulmonary capillary
wedge pressure/PCWP) > 15 mmHg.1,2,3,4
Ada suatu keadaan yang merupakan kelanjutan dari kegagalan ventrikel kiri yakni “syok
kardiogenik non hipotensif”. Secara definisi pasien ini memiliki tanda-tanda klinis dari
hipoperfusi periferal seperti yang telah dijelaskan diatas namun dengan tekanan darah sistolik >
90mmHg tanpa dukungan vasopresor. Hal ini sering terjadi pada kejadian infark miokard di
dinding anterior yang ekstensif. Mortalitas selama rawatan pada pasien seperti ini cukup tinggi
meskipun tidak setinggi yang terjadi pada syok kardiogenik bentuk klasik. Oleh karena itu,
diagnosis syok kardiogenik dapat ditegakkan pada pasien dengan tekanan darah >90mmHg
dengan ketentuan sebagai berikut (1) jika parameter hemodinamik merupakan hasil dukungan
dari medikasi dan/atau alat-alat pendukung. (2) adanya tanda-tanda hipoperfusi sistemik dengan
curah jantung yang rendah namun dengan tekanan darah yang masih dapat dipertahankan dengan
vasokonstriksi, serta (3) jika tekanan sistemik rata-rata (MAP) < 30mmHg dari tekanan darah
baseline pada kasus pasien dengan hipertensi.1
1
Universitas Sumatera Utara
80% syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan ventrikel akibat infark miokard akut.
Sedangkan sisanya akibat regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur septum ventrikular, gagal
jantung kanan predominan dan ruptur dinding atau tamponade.5
Pasien-pasien dengan syok kardiogenik biasanya datang dengan adanya tanda-tanda
hipoperfusi sistemik, termasuk perubahan status mental, kulit dingin, dan/atau oliguria.
Keberadaan ronchi basah basal (rales) yang merupakan penanda adanya edema paru, bisa ada
namun bisa juga tidak. Edema paru tidak ditemukan pada 30% pasien-pasien syok kardiogenik
melalui pemeriksaan auskultasi dan radiografi toraks. Pengukuran tekanan darah dengan cara
biasa sering tidak akurat pada keadaan syok, oleh karena itu penentuan tekanan darah intraarterial lebih tepat dimonitor dengan kanula intra-arterial.1
Pada keadaan syok, hipoperfusi yang terjadi pada miokardium dan jaringan perifer akan
mendorong terjadinya metabolisme anaerobik sehingga dapat menyebabkan asidosis laktat.
Keadaan hiperlaktatemia ini dapat dipertimbangkan sebagai petanda adanya hipoperfusi dan
dapat menjadi informasi tambahan terhadap hasil pemeriksaan klinis serta pemeriksaan tekanan
darah yang mungkin kurang meyakinkan bergantung dari status syok. Akumulasi asam laktat
dapat menyebabkan edema mitokondrial, degenerasi serta deplesi glikogen. Hal ini dapat
mengganggu fungsi miokardium dan menghambat glikolisis. Akhir dari proses ini adalah
kerusakan yang ireversibel pada miokard akibat iskemik. Nilai laktat serum sangat penting
sebagai suatu faktor prognostik pada syok kardiogenik. Pada suatu analisa multivariat, nilai
laktat >6,5 mmol/L pada pasien-pasien syok kardiogenik merupakan suatu prediktor independen
yang sangat kuat terhadap mortalitas selama masa rawatan di rumah sakit [odds rasio (OR) 295,
P < 0,01] meski setelah di sesuaikan dengan usia, jenis kelamin, riwayat hipertensi, dan riwayat
diabetes.1
Sejalan dengan parameter metabolik, data hemodinamik juga sangat bermanfaat untuk
diagnostik serta penilaian prognostik pada pasien syok kardiogenik. Ada beberapa perbedaan
dalam definisi syok kardiogenik pada beberapa uji klinik. Namun kebanyakan studi
mendefinisikan syok kardiogenik sebagai suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik <90
mmHg selama sekurangnya 30-60 menit dimana : (1) tidak respon dengan pemberian tunggal
terapi cairan; (2) akibat sekunder dari disfungsi jantung; (3) memiliki hubungan dengan tandatanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,2 L/mnt/m2 dan tekanan baji arteri pulmonalis (PCWP)
>15mmHg. Beberapa studi telah menggunakan metode invasif untuk menilai hemodinamik
2
Universitas Sumatera Utara
sebagai kriteria diagnostik bagi syok kardiogenik serta misalnya menurunnya secara drastis nilai
curah jantung pada jantung kanan, serta pemeriksaan indeks kardiak. Pada pasien-pasien dengan
dukungan agen inotropik/vasopresor atau alat bantu sirkulasi, indeks kardiak 2,2-2,5 L/mnt/m2
dapat dipertimbangkan menjadi cut point. Sedangkan pada pasien yang tidak mendapatkan
dukungan agen inotropik/vasopresor atau alat bantu sirkulasi, cut off pointnya 1,8-2,2 L/mnt/m2.1
Saat ini, dengan semakin luasnya penggunaan echocardiography, maka penentuan fungsi
jantung melalui kateterisasi jantung kanan pada kasus syok kardiogenik semakin berkurang
yakni hanya sebesar 20,2% menurut analisa dari Euro Heart Survey ACS. Sedangkan evaluasi
dengan echocardiography dilakukan sebanyak 68%. Echocardiography dengan pencitraan dopler
mampu secara bedside menilai hemodinamik, fungsi jantung, keadaan katup-katup, serta
komplikasi mekanik sindrom koroner akut.1
Syok utamanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan
hemodinamik. Bukti klinis adanya penurunan curah jantung yang disertai dengan hipoperfusi
sistemik meskipun tekanan pengisiannya cukup mesti ditemukan untuk mendiagnosa syok
kardiogenik. Bila kateterasi jantung kanan dilakukan, nilai hemodinamik harus menunjukkan
adanya tekanan pengisian yang tinggi namun tekanan output yang rendah. Jika kateterisasi
jantung kanan tidak dilakukan, kombinasi pemeriksaan klinis, radiografi toraks, serta
echocardiography harus secara jelas menunjukkan adanya hipoperfusi sistemik, curah jantung
yang rendah, serta meningkatnya tekanan atrium kiri/arteri pulmonalis dan atau tekanan atrium
kanan. Jika data yang didapat masih meragukan untuk menegakkan diagnosa, maka kateterisasi
jantung kanan harus dilakukan.1
Insidensi dan Epidemiologi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien-pasien yang
dirawat dengan infark miokard. Tindakan revaskularisasi dini terbukti mampu menurunkan
kejadian syok kardiogenik pada kasus infark miokard akut. Tingkat kejadian syok kardiogenik
telah banyak berkurang belakangan ini, mulai dari 20% pada tahun 1960an, hingga saat ini
tinggal + 8% saja. Jenis infark miokard akut yang paling sering menyebabkan syok kardiogenik
adalah STEMI. Sekitar 80% kasus syok kardiogenik yang berkaitan dengan infark miokard akut.
80% Syok kardiogenik yang terjadi akibat infark miokard disebabkan oleh kegagalan ventrikel
kiri. Sedangkan yang lainnya adalah mitral regurgitasi akut, rupture septum ventrikular, gagal
3
Universitas Sumatera Utara
ventrikel kanan, serta tramponade jantung. Insidensi syok kardiogenik lebih tinggi pada pria
daripada wanita (3:2). Perbedaan ini disebabkan karena semakin meningkatnya kejadian
penyakit jantung koroner pada pria. Namun demikian persentase kejadian syok kardiogenik yang
mengikuti infark miokard lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umur rata-rata pasien
dewasa yang mengalami syok kardiogenik adalah 65-66 tahun. Ras yang paling tinggi
persentasenya untuk kejadian syok kardiogenik adalah ras hispanik (74%) sedangkan ras afrika
amerika 65%, kulit putih 56%, sedangkan Asia dan selebihnya 41%.3,4,6
Berdasarkan SHOCK register dan trial disebutkan bahwa : 74,5% syok kardiogenik
disebabkan oleh predominasi kegagalan ventrikel kiri; 8,36% akibat MR: 4,6% akibat ruptur
septum ventrikel; 3,4% masalah pada jantung kanan; 1,7% tamponde/ruptur jantung; 3,0%
penyebab lain 7
Etiologi
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang terjadi pada
jantung seperti : disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi katup, aritmia, penyakit jantung
koroner, komplikasi mekanik. Karena besarnya angka kejadian ACS, maka ACS pun menjadi
etiologi terhadap syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa. Selain itu, banyak
pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan, contohnya pemberian
penyekat beta dan penghambat ACE yang tidak tepat dan tidak terpantau pada kasus ACS. Pada
anak-anak penyebab tersering adalah miokarditis oleh karena infeksi virus, kelainan congenital
dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap jantung.1,3
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni kegagalan
Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-penyebab kegagalan jantung kiri antara lain
: (1) disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang paling
sering adalah infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab lainnya adalah
hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang menekan miokard (penyekat beta,
penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti aritmia), kontusio miokard, asidosis
respiratorius, kelainan metabolic (asidosis metabolic, hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis
severe, kardiomiopati end-stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas
jantung, obat-obatan yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin, adriamycin). (2) disfungsi
diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang ventrikel kiri. Selain itu
4
Universitas Sumatera Utara
dapat pula terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik dan syok septik. Hal-hal yang dapat
menyebabkannya antara lain : iskemik, hipertrofi ventrikel, kardiomiopati restriktif, syok
hipovolemik dan syok septik yang berlama-lama, kompresi eksternal akibat tamponade jantung
(3) Peningkatan afterload yang terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan stenosis aorta,
kardiomiopati hipertrofik, koarktasio aorta, hipertensi maligna. (4) abnormalitas katup dan
struktur jantung. Hal ini dapat terjadi pada keadaan mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi
mitral dan aorta, obstruksi yang disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun
disfungsi otot-otot papilaris, ruptur septum dan tamponade. (5) Menurunnya kontraktilitas
jantung. Hal ini terjadi pada keadaan, infark ventrikel kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis.
Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa antara lain: (1) peningkatan
afterload yang terlalu besar misalnya, emboli paru, penyakit pembuluh darah paru (hipertensi
arteri pulmonalis dan penyakit oklusif vena), vasokonstriksi pulmonal hipoksik, tekanan puncak
akhir ekspirasi, fibrosis pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK. (2) Artimia. Ventrikel
takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik. Sementara bradiaritmia dapat
menyebabkan atau memperburuk syok yang disebabkan oleh etiologi lain. Sinus takikardia dan
takiaritmia atrial dapat menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok.1,3
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard akut atau
non-infark miokard seperti berikut ini :

Infark miokard akut
 Kegagalan pompa jantung

Infark luas, > 40% ventrikel kiri

Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat infark
sebelumnya

Infark yang meluas

Reinfark
 Komplikasi mekanik

Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda
tendinea

Defek
septum
ventrikel
yang
disebabkan
roleh
ruptum
septum
intraventrikular

Ruptur dinding ventrikel kiri
5
Universitas Sumatera Utara

Tamponade perikard
 Infark ventrikel kanan

Kondisi lain
 Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
 Miokarditis
 Syok septik dengan depresi miokard berat
 Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
 Stenosis aorta
 Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
 Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
 Stenosis mitral
 Myxoma atrium kiri
 Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
 Insufisiensi katup aorta akut
 Kontusio miokardial
 Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan2
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang tidak mudah.
Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan informasi penting dalam menentukan
etiologi syok kardiogenik. Misalnya, jika keluhan utama pasien yang masuk adalah nyeri dada,
maka hal yang dapat diperkirakan adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau
tamponade perikard. Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada pemeriksaan fisik, maka dapat
dipikirkan kemungkinan adanya ruptur septum ventrikel, ruptur otot-otot papillaris, penyakit
akut katup mitral atau aorta. Adanya murmur pada syok kardiogenik merupakan suatu indikasi
untuk segera dilakukan pemeriksaan echocardiography.1,3
Patofisiologi
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan system sirkulasi baik
yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau ventrikel kanan (akibat
disfungsi miokardium) memompakan darah dalam jumlah yang adekuat merupakan penyebab
primer syok kardiogenik pada infark miokard akut (gambar 1). Akibatnya adalah hipotensi,
hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti vena sistemik. Kegagalan ventrikel kiri
6
Universitas Sumatera Utara
merupakan bentuk yang paling sering dari syok kardiogenik, namun bagian lain dari sistem
sirkulasi juga ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya mekanisme kompensasi. Kebanyakan
abnormalitas ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien yang selamat, fungsi jantung
mungkin masih dapat dipertahankan.8.9
Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir semua syok kardiogenik.
Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume sekuncup/stroke volume serta menurunnya indeks
kardiak. Turunnya tekanan darah dapat dikompensasi oleh peningkatan resistensi perifer yang
diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen seperti norepinefrin dan angiotensin II. Namun
demikian gabungan dari rendahnya curah jantung dan meningkatnya tahanan perifer dapat
menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan. Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada
arteri koroner dapat menyebabkan suatu lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi
miokardium, dan disertai dengan progresivitas hipoperfusi organ serta kematian. Hipotensi dan
peningkatan tahanan perifer yang disertai dengan peningkatan PCWP terjadi jika disfungsi
ventrikel kiri merupakan kelainan jantung primernya. Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel
kanan terjadi jika syok akibat kegagalan pada ventrikel kanan, misalnya pada gagal infark luas
ventrikel kanan. Namun pada kenyataannya sebuah penelitian SHOCK trial menunjukkan pada
beberapa pasien post MI, syok malahan disertai oleh vasodilatasi. Hal ini mungkin terjadi
sebagai akibat adanya respon inflamasi sistemik seperti yang terjadi pada sepsis. Respon
inflamasi akut pada infark miokard berkaitan dengan peningkatan konsentrasi sitokin. Aktivasi
sitokin menyebabkan induksi nitrit oksida (NO) sintase dan meningkatkan kadar NO sehingga
menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan berkurangnya perfusi koroner dan sistemik.
Sekuens ini mirip dengan yang terjadi pada syok septik yang juga ditandai dengan adanya
vasodilatasi sistemik.2,8
7
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Patofisiologi Syok Kardiogenik. Gambaran Spiral syok, dimulai dari disfungsi ventrikel kiri dan
berakhir dengan kematian melalui kondisi iskemik dan disfungsi ventrikel kiri yang semakin progresif jika tidak
diberikan intervensi pengobatan. Alur spiral syok mendapat pengaruh negatif oleh (1) disfungsi sitolik dengan
berkurangnya curah jantung dan volume sekuncup sehingga menyebabkan terganggunya perfusi perifer dan
hipotensi. (2) disfungi diastolic sehingga menyebabkan hipoksemia dan kongesti paru, (3) munculnya sindrom
respon inflamasi sistemik (SIRS) yang didorong oleh nitrit oksida sintase endotel dan nitrit oksida sintase yang
terinduksi (eNOS dan iNOS), interleukin-6 (IL-6), TNF-α, sehingga menyebabkan berkurangnya tahanan perifer.
Piihan terapi seperti PCI. CABG, LVADs, inotropik/vasopresor bertujuan untuk membalikkan alur spiral syok
diperlihatkan dengan garis warna hijau. Penghentian pengobatan akibat komplikasi perdarahan serta peran SIRS
diperlihatkan pada garis merah.2
Prognosis dan Komplikasi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian tersering pada infark miokard akut.
Tanpa penanganan yang agresif dan ahli yang berpengalaman, mortalitas syok kardiogenik
8
Universitas Sumatera Utara
mencapai 70-90%. Kunci untuk mencapai prognosis yang baik adalah, diagnose yang cepat,
terapi suportif sesegera mungkin, serta revaskularisasi arteri koroner secara tepat pada pasien
yang mengalami iskemik dan infark miokard. Mortalitas pasien-pasien yang dirawat inap secara
keseluruhan mencapai 57%. Pasien dengan usia >75 tahun, mortalitas 64,1%. Mortalitas syok
kardiogenik yang disebabkan STEMI dan NSTEMI adalah sama. Infark yang melibatkan
ventrikel kanan memiliki prognosis yang lebih buruk. Prognosis pasien-pasien yang berhasil
selamatt dari syok kardiogenik belum diteliti dengan baik namun mungkin lebih baik jika
penyebab yang mendasarinya berhasil dikoreksi dengan tepat.3
Namun penelitian terbaru menunjukkan mortalitas syok kardiogenik di era modern saat
ini ≈ 50%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain: usia, tanda-tanda klinis
hipoperfusi perifer, kerusakan organ anoksik, LVEF, serta kemamuan pompa jantung. Mortalitas
jangka pendek dipengaruhi oleh data hemodinamik pasien sedangkan angka keselamatan jangka
panjang dapat dilihat pada tabel 1.9
Tabel 1. Angka harapan hidup pada uji klinis SHOCK
Komplikasi kardiogenik syok antara lain: kardiopulmonari arrest, disritmia, gagal ginjal,
gagal organ multipel, aneurisma ventricular, tromboembolik, stroke, kematian. Prediktor
9
Universitas Sumatera Utara
mortalitas dapat diidentifikasi berdasarkan trial GUSTO-I yakni : usia, riwayat infark miokard
sebelumnya, perubahan kesadaran, kulit yang basah dan dingin serta oliguria. Temuan
echocardiogram sepert fraksi ejeksi ventrikular kiri, regurgitasi mitral, merupakan predictor
independen terhadap mortalitas. EF < 28% memilki persentase keselamatan 24% dalam 1 tahun,
sedangkan EF > 28% persentase keselamatannya dalam setahun mencapai 56%. Regurgitasi
mitral sedang-berat memiliki persentase keselamatan dalam 1 tahun sebesar 31% sedangkan
tanpa regurgitasi mitral, persentase keselamatannya mencapai 58%. Dalam SHOCK trial,
mortalitas syok kardiogenik sangat menurun dengan tindakan revaskularisasi yang cepat
dibandingkan dengan yang tidak ( 38% vs 70%). Follow up jangkap panjang terhadap pasien
syok kardiogenik yang menjalani revaskularisasi dini (ERV) dibandingkan dengan stabilisasi
kondisi medis (IMS) dapat dilihat pada gambar 2.3
Gambar 2. Follow up jangka panjang studi cohort SHOCK. ERV (early revascularization) memberikan keuntungan
dibandingkan IMS (initial medical stabilization)3
Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik merupakan kasus kegawatdaruratan. Penilaian klinis yang lengkap
sangat penting untuk mendapatkan penyebabnya dan menetapkan sasaran terapi untuk mengatasi
penyebabnya. Syok kardiogenik yang muncul akibat infark miokard biasanya muncul setelah
pasien masuk ke rumah sakit, namun demikian, sebagian kecil pasien datang ke rumah sakit
10
Universitas Sumatera Utara
sudah dalam keadaan syok. Pada pasien terlihat tanda-tanda hipoperfusi (curah jantung yang
rendah) yang terlihat dari adanya sinus takikardia, volume urine yang sedikit, serta ekstremitas
dingin. Hipotensi sistemik ( TDS < 90mmHg atau turunnnya TD < 30 mmHg dari TD rata-rata)
belakangan akan muncul dan meyebabkan hipoperfusi jaringan.3,10
Kebanyakan pasien yang datang dengan infark miokard akut merasakan nyeri dada yang
muncul tiba-tiba seperti diperas atau ditimpa beban berat di substernal. Nyeri ini dapat menyebar
hingga ke lengan kiri atau leher. Nyeri dada bisa saja tidak khas, terutama jika lokasinya hanya
di epigastrium, leher atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti terbakar, seperti ditusuk-tusuk
atau seperti ditikam. Bahkan nyeri bisa saja tidak dirasakan pada pasien-pasien diabetes dan usia
tua. Gejala-gejala autonomik lain bisa juga muncul seperti mual, muntah, serta berkeringat.
Riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat penggunaan kokain, riwayat infark miokard
sebelumnya, atau riwayat pembedahan jantung sebelumnya perlu ditanyakan. Faktor resiko
penyakit jantung perlu dinilai pada pasien yang disangkakan mengalami iskemik miokardial.
Evaluasinya antara lain mencakup riwayat hiperlipidemia, hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi,
riwayat merokok, serta riwayat keluarga yang mengalami penyakit jantung koroner premature.
Keberadaan 2 atau lebih faktor resiko meningkatkan kecenderungan suatu infark miokard.
Gejala-gejala lain yang berkaitan antara lain : diaphoresis, sesak nafas saat beraktifitas, sesak
nafas saat beristrahat. Presinkop, sinkop, palpitasi, ansietas generalisata serta depresi.3,11
Syok kardiogenik didiagnosa jika ditemukan adanya disfungsi miokardium setelah
mengeksklusikan penyebab lain yang mungkin misalnya hipovolemia, perdarahan, sepsis, emboli
paru, tamponade perikard, diseksi aorta atau penyakit katup jantung. Dikatakan syok jika
terdapat bukti adanya hipoperfusi organ yang dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik. Adapun
karakteristik pasien-pasien syok kardiogenik antara lain :
 Kulit berwarna keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit dingin dan bisa
muncul gambaran mottled skin pada ekstremitas.
 Nadi cepat dan halus/lemah serta dapat juga disertai dengan irama yang tidak teratur
jika terdapat aritmia
 Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada namun tidak harus
selalu. Edema perifer juga biasanya bisa dijumpai.
 Suara jantung terdengar agak jauh, bunyi jantung III dan IV bisa terdengar
 Tekanan nadi lemah dan pasien biasanya dalam keadaan takikardia
11
Universitas Sumatera Utara
 Tampak pada pasien tanda-tanda hipoperfusi misalnya perubahan status mental dan
penurunan jumlah urine
 Murmur sistolik biasanya terdengar pada pasien dengan regurgitasi mitral, murmur
biasanya terdengar di awal sistol
 Dijumpainya thrill parasternal menandakan adanya defek septum ventrikel.3,11
Diagnosa diferensial yang mungkin dipikirkan pada kasus syok kardiogenik antara lain3
 Sepsis bakterial
 Syok septik
 Syok distributif
 Syok hemoragik
 Infark miokard
 Iskemik miokard
 Ruptur miokard
 Miokarditis
 Edema paru kardiogenik
 Emboli paru
Penjajakan
Pemeriksaan Laboratorium
Seperti telah disampaikan sebelumnya, kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien syok
kardiogenik adalah diagnosis yang cepat, terapi suportif sesegera mungkin, serta revaskularisasi
arteri koroner yang tepat pada kasus iskemik dan infark miokard. Seluruh pasien yang datang
dengan syok harus dijajaki untuk tujuan diagnosis kerja dengan cepat, resusitasi segera dan
konfirmasi selanjutnya terhadap diagnosa kerja. Selain pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
pencitraan seperti echocardiography, toraks foto, angiografi, elektrokardiografi serta monitoring
hemodinamik invasif.3
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap terutama berguna untuk
mengeksklusikan anemia. Peningkatan jumlah leukosit hitung menandakan kemungkinan adanya
infeksi, sedangkan jumlah platelet yang rendah mungkin disebabkan oleh koagulopati yang
disebabkan oleh sepsis. Pemeriksaan biokimia darah termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi
hati, bilirubin, aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), laktat
12
Universitas Sumatera Utara
dehidrogenase (LDH), dapat dilakukan untuk menilai fungsi organ-organ vital. Pemeriksaan
enzim jantung perlu dilakukan termasuk kreatinin kinase dan subklasnya, troponin, myoglobin,
dan LDH untuk mendiagnosa infark miokard. Kreatinin kinase merupakan pemeriksaan yang
paling spesifik namun dapat menjadi positif palsu pada keadaan myopathy, hipotroidisme, gagal
ginjal, serta injuri pada otot rangka. Nilai myoglobin merupakan pemeriksaan yang sensitif pada
infark miokard, nilainya dapat meningkat 4 kali lipat dalam 2 jam. Nilai LDH dapat meningkat
pada 10 jam pertama setelah onset infark miokard dan mencapai kadar puncak pada 24-48 jam,
selanjutnya kembali ke kadar normal dalam 6-8 hari. Troponin T dan I banyak digunakan dalam
mendiagnosa infark miokard. Jika kadar troponin meningkat namun tidak dijumpai adanya bukti
klinis iskemik jantung, maka harus segera dicari kemungkinan lain dari kerusakan jantung
misalnya miokarditis. Kadar troponin T meningkat dalam beberapa jam setelah onset infark
miokard. Kadar puncak dicapai dalam 14 jam setelah onset, mencapai kadar puncak kembali
pada beberapa hari setelah onset (kadar puncak bifasik) dan tetap akan menunjukkan nilai
abnormal dalam 10 hari. Hal ini menyebabkan kombinasi troponin T dan CK-MB menjadi
parameter diagnostik retrospektif yang amat bermanfaat bagi pasien yang datangnya terlambat
dari onset penyakit. Troponin T juga merupakan suatu indikator prognostik independen sehingga
dapat digunakan sebagai stratifikator resiko pada pasien angina tidak stabil dan infark miokard
gelombang non-Q. pemerksaan analisa gas darah dapat melihat homeostasis asam basa secara
keseluruhan serta tingkat oksigenasi darah di arteri. Peningkatan defisit basa di darah
berhubungan dengan keparahan syok dan sebagai marker dalam pemantauan selama resusitasi
terhadap pasien syok. Pemeriksaan laktat serial bermanfaat sebagai marker hipoperfusi dan
indikator dari prognosis. Meningkatnya kadar laktat pada pasien dengan adanya gejala
hipoperfusi menunjukkan prognosis yang buruk. Meningkatnya kadar laktat selama proses
resusitasi menunjukkan mortalitas yang sangat tinggi. Kadar brain natriuretic peptide (BNP)
berguna sebagai pertanda adanya gagal jantung kongestif dan merupakan suatu indikator
prognostik yang independen. Nilai BNP yang rendah dapat menyingkirkan syok kardiogenik
pada keadaan hipotensi. Namun demikian, nilai BNP yang meningkat tidak serta merta dikatakan
syok kardiogenik. Pemeriksaan saturasi oksigen juga bermanfaat khusunya dapat mendeteksi
defek septum ventrikel.3
13
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan Pencitraan
Echocardiography : harus dilakukan secepatnya untuk menetapkan penyebab syok
kardiogenik. Echocardiography mampu memberikan informasi tentang fungsi sistolik global dan
regional serta disfungsi diastolik. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat mendiagnosa dengan
cepat penyebab mekanik syok seperti defek septum ventrikel akut, ruptur dinding miokardium,
tamponade perikard, serta ruptur muskulus papilaris yang menyebabkan regurgitasi miokardial
akut. Selain itu, dapat pula ditentukan area yang mengalami diskinetik atau akinetik pada
pergerakan dinding ventrikular atau dapat juga memperlihatkan disfungsi katup-katup. Fraksi
ejeksi juga dapat dinilai pada echocardiography. Jika ditemukan hiperdinamik pada ventrikel
kiri, maka penyebab lain harus ditelusuri seperti syok sepsis atau anemia.3,5
Radiografi toraks : sangat penting dilakukan untuk mengeksklusikan penyebab lain
syok atau nyeri dada. Mediastinum yang melebar mungkin adalah suatu diseksi aorta. Tension
pneumothorax atau pneumomediastinum yang mudah ditemukan pada foto toraks dapat
bermanifestasi syok dengan low-output. Gambaran radiologis pasien syok kardiogenik
kebanyakan memperlihatkan gambaran kegagalan ventrikel kiri berupa redistribusi pembuluh
darah peulmonal, edema paru interstisial, bayangan hilus melebar, dijumpai garis kerley-B,
kardiomegali serta effusi pleura bilateral. Edema alveolar tampak pada foto toraks berupa
opasitas perihilar bilateral (butterfly distribution).3
Ultrasonografi : dapat menjadi panduan dalam manajemen cairan. Pada pasien yang
bernafas spontan, vena kava inferior yang kolaps saat respirasi menandakan adanya dehidrasi.
Sedangkan jika tidak maka status cairan intravaskular adalah euvolume.3
Angiografi arteri koroner : perlu dilakukan segera pada pasien dengan iskemik atau
infark miokard yang mengalami syok kardiogenik. Angiografi penting untuk menilai anatomi
arteri koroner dan tindakan revaskularisasi segera jika diperlukan. Pada kasus dimana ditemukan
kelainan yang luas pada angiografi, maka respon kompensasi berupa hiperkinetik tidak dapat
berlangsung akibat beratnya aterosklerosis arteri koroner. Penyebab tersering syok kardiogenik
adalah infark miokard yang luas atau infark yang lebih kecil pada pasien yang sebelumnya telah
mengalami dekompensasi ventrikel kiri.3
14
Universitas Sumatera Utara
Elektrokardiografi
Iskemik miokard akut didiagnosa berdasarkan munculnya elevasi segmen ST, depresi
segmen ST, gelombang Q. Inversi gelombang T, meskipun paling tidak sensitif, dapat pula
terlihat pada orang-orang dengan iskemik miokard. EKG pada dada kanan dapat memperlihatkan
adanya infark pada ventrikular kanan selain sebagai diagnostik juga dapat berguna sebagai faktor
prognostik. Hasil EKG yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan infark miokard akut.3,11
Monitoring Hemodinamik Secara Invasif
Monitoring hemodinamik secara invasif (kateterisasi Swan-Ganz) sangat bermanfaat
untuk mengeksklusi penyebab dan jenis syok. Pemeriksaan hemodinamik pada syok kardiogenik
adalah PCWP lebih dari 18 mmHg dan indeks kardiak < 2,2 L/mnt/m2. Meningkatnya tekanan
pengisian jantung kanan tanpa adanya peningkatan PCWP, menandakan infark pada ventrikel
kanan jika disertai dengan kriteria dari EKG. Meningkatnya saturasi darah pada ventrikel dan
atrium kanan merupakan diagnostik suatu ruptur septum ventrikel.3,5
Penatalaksanaan
Syok kardiogenik merupakan suatu kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan
resusitasi sesegera mungkin sebelum syok menjadi ireversibel dan merusak organ-organ vital.
Kunci keberhasilan penatalaksanaan syok kardiogenik adalah pendekatan yang terorganisir untuk
mendapatkan diagnosis secara tepat dan cepat serta terapi farmakologik sesegera mungkin untuk
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung. Seluruh pasien syok kardiogenik harus
dirawat di ruang perawatan intensif.3
Hipoperfusi sistemik berat yang terjadi dapat menyebabkan hipoksemia dan asidosis
laktat yang dapat lebih jauh lagi memperberat miokardium baik secara langsung maupun sebagai
akibat dari berkurangnya respon sistemik terhadap vaspresor seperti dopamin dan norepinefrin.
Oleh karena itu, jika memungkinkan koreksi terhadap kondisi metabolik seperti yang disebutkan
diatas sangatlah penting.2
Penanganan Suportif (Resusitasi dan Ventilasi)
Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan hipotensi,
kecuali dijumpai adanya edema paru. Pemasangan jalur vena sentral dan arteri, katetrisasi Swan15
Universitas Sumatera Utara
Ganz, serta pulse oksimeter perlu dilakukan.3 Oksigenasi dan proteksi jalan nafas merupakan hal
yang penting di awal penanganan khususnya pada kondisi hipoksemia (SpO2 <90% atau PaO2 <
60 mmHg), oksigen dapat diberikan mulai dari 40-60% selanjutnya dapat dititrasi sampai SpO2 >
90%. Jika diperlukan, intubasi jalan nafas dan ventilasi mekanik dapat dilakukan. Selain itu
monitoring tekanan darah juga harus dilakukan.3
Hipovolemia dapat terjadi pada kasus syok kardiogenik misalnya dengan riwayat
penggunaan diuretik atau jika ada muntah. Pemberian terapi pengganti cairan harus dipantau
dengan pemeriksaan PCWP, saturasi oksigen arteri (SaO2), tekanan arteri sistemik, serta curah
jantung. Pemberian challenge volume intravaskular yakni saline isotonik sebanyak sekurangnya
250 mL dalam 10 menit dapat dilakukan sebelum tindakan kateterisasi pada jantung kanan jika
tidak ada bukti bendungan paru pada pemeriksaan fisik maupun rontgen torak serta pasien tidak
dalam keadaan distres pernafasan.3
Pada beberapa kondisi dukungan cairan yang lebih besar kadang-kadang diperlukan
misalnya pada syok kardiogenik akibat infark ventrikular kanan, dimana tekanan pengisian yang
tinggi diperlukan untuk memaksimalkan aliran ke ventrikel kiri. Infark pada ventrikel kanan
dapat disangkakan jika dijumpai gambaran infark inferior, lapangan paru bersih pada
pemeriksaan auskultasi serta syok. Pemberian cairan dalam jumlah banyak diindikasikan dalam
kasus ini sepanjang tidak dijumpai peningkatan tekanan vena jugularis/sentral.
Pasien yang datang dengan overload cairan dan edema paru kardiogenik tanpa adanya
hipotensi dapat diterapi dengan diuretik, morfin, suplemen oksigenm serta vasodilator.
Manajemen Hemodinamik
Kateterisasi arteri pulmonalis (Swan-Ganz) saat ini tidak begitu sering dilakukan karena
adanya kontroversi dimana disebutkan dalam suatu studi prospektif observasional bahwa
kateterisasi arteri pulmonalis dapat memperburuk hasil pengobatan. Saat ini penilaian klinis lebih
banyak dilakukan dengan echocardiography. Melalui modalitas ini, tekanan sistolik arteri
pulmonalis dan tekanan baji dapat dihitung secara akurat dengan echocardiography dopler.9
Dukungan farmakologi (inotropik dan vasopresor) harus digunakan dengan dosis sekecil
mungkin yang memberi efek terapeutik. Semakin tinggi dosis vasopresor, makan semakin kecil
angka keselamatannya. Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa keadaan penyakit yang
mendasarinya sudah sedemikian berat serta efek toksik obat itu sendiri. Pemberian inotropik
16
Universitas Sumatera Utara
merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun sayangnya
dengan pemberian inotropik, konsumsi ATP miokardium juga meningkat, sehingga perbaikan
hemodinamik yang membaik dalam sesaat harus dibayar dengan peningkatan kebutuhan oksigen
jantung dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah mengalami kegagalan ditambah lagi
ketersediaan kebutuhan sudah terbatas. Namun demikian inotropik dan vasopresor saat ini tetap
dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi koroner dan sistemik sambil menunggu pemasangan
IABP (Intra-aortic balloon pump) atau sampai syok berhasil ditangani. Data yang
membandingkan efektifitas penggunaan beberapa agen vasopresor masih sedikit. Dopamine,
norepinefrin
dan
epinefrin
merupakan
vaskonstriktor
yang
dapat
digunakan
untuk
mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan membantu memperbaiki tekanan perfusi pada
hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan arteri rata-rata (MAP) yakni 60-65 mmHg.3,9
Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular yang
adekuat, inisiasi permberian obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai diberikan. Yang
termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan levosimendan Dosis
reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan hingga 20 mcg/kg/min.
Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan dalam keadaan sepsis dapat
ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. obat-obat inotropik antara lain : dobutamin dan
fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-10 mcg/kg/min. Dalam keadaan
hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok), Dobutamin dapat digunakan, namun
dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang nyata, pilihan yang terbaik adalah
dopamin (TDS 70-100 mmHg dengan klinis syok) dan norepinefrin (TD < 70 mmHg).3,5
Terapi Farmakologi lain
Pemberian terapi antitrombotik yakni aspirin dan heparin harus diberikan sebagaimana
yang telah direkomendasikan pada infark miokard. Clopidogrel dapat ditunda setelah tindakan
angiografi emergensi sebab, bisa saja setelah dilakukan angiografi, pasien selanjutnya diputuskan
akan segera menjalani bedah pintas jantung / CABG (coronary artery bypass grafting).
Clopidogrel dianjurkan bagi semua pasien yang menjalani PCI (pada pasien infark miokard yang
dalam keadaan syok ataupun tidak). Pemberian inotropik negatif dan vasodilator (termasuk
nitrogliserin) harus dihindari. Oksigenasi arteri dan pH darah harus dipertahankan dalam batas
normal untuk meminimalisasi iskemia. Pemberian insulin dapat meningkatkan angka
17
Universitas Sumatera Utara
keselamatan pada pasien kritis yang mengalami hiperglikemia. Pemberian ventilasi mekanik
perlu dipertimbangkan baik melalui sungkup ataupun pipa endotrakeal. Hal ini bermanfaat untuk
menurunkan preload dan afterload serta mengurangi kerja pernafasan.3
Terapi Mekanikal : IABP (Intra-aortic balloon pump)
Intra-aortic ballon pump merupakan terapi mekanik yang sudah sejak lama digunakan
pada syok kardiogenik. IABP dapat memperbaiki perfusi koroner dan perifer melalui deflasi
balon pada saat sistole dan inflasi balon saat diastol sehingga afterload menjadi sangat berkurang
dan aliran ke koroner menjadi semakin baik. Namun tidak semua pasien dapat memberikan
respon hemodinamik terhadap pemasangan IABP, hal ini selanjutnya menjadi salah satu faktor
prognostik. IABP semestinya dilakuan secepatnya bahkan jika ada operator yang terlatih dan
prosedur memungkinkan untuk dilakukan secepatnya, maka IABP dapat dilakukan sebelum
pasien dikirim untuk tidakan revaskularisasi. Komplikasi dari tindakan ini semakin jarang sejalan
dengan dengan kemajuan zaman yakni sebesar 7,2% untuk komplikasi secara keseluruhan dan
2,8%9
Reperfusi
Reperfusi koroner dapat dilakukan dengan fibrinolisis, PCI (percutaneous coronary
intervention), atai CABG (coronary artery grafting baypass). Semakin cepat reperfusi dilakukan,
maka hasil yang didapat semakin baik. Keuntungan tindakan revaskularisasi dini pada syok
kardiogenik jelas terlihat pada beberapa studi observasional terutama pada SHOCK trial yakni
sebesar peningkatan angka keselamatan pada 1 tahun pertama sebesar 13% pada pasien syok
kardiogenik yang menjalani reperfusi dini. ACC/AHA merekomendasikan dalam guideline agar
revaskularisasi dilakukan pada pasien syok kardiogenik dengan usia <75 tahun. Terapi
trombolitik kurang efektif dibanding PCI namun dapat diindikasikan jika transport pasien
menuju sarana PCI tidak memungkinkan ataupun membutuhkan waktu yang lama dan jika onset
infark miokard dan syok kardiogenik terjadi dalam rentang waktu kurang dari atau sama dengan
3 jam. Waktu yang terbaik untuk PCI dini adalah 0-6 jam sejak onset. CABG diindikasikan pada
pasien dengan oklusi pada arteri left main atau sembatan terjadi pada 3 pembuluh darah. Stenting
dan pemberian obat golongan glikoprotein IIb/IIIa inhibitor memperlihatkan peningkatan akan
18
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan pada beberapa studi. Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik
dapat dilihat pada gambar3.2,9,12
Gambar 3. Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik dari ACC/AHA guidelines ; IRA : infark
related artery. (circulation)
Bantuan Sirkulasi Total
Bantuan sirkulasi total mencakup pemasangan LVADs (Left ventricular assist devices)
dan ECLS (Extra corporeal life support). Prinsip kerja kedua alat ini adalah mengalirkan darah
keluar dari ventrikel kiri dan memompakannya ke sistemik sehingga memungkinkan jantung
untuk istrahat, memulihkan miokard, memperbaiki kondisi neurohormonal, mencegah hipotensi,
iskemik dan disfungsi miokard. Namun pada prakteknya, aplikasi dari alat ini sangat terbatas
karena komplikasi yang disebabkan oleh alat itu sendiri serta adanya kerusakan organ yang
ireversibel.9
19
Universitas Sumatera Utara
Kesimpulan

Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung
dan perfusi
sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan
hipoksia jaringan dimana TDS <90 mmHg selama sekurangnya 1 jam dimana :
(1) Tidak respon dengan pemberian tunggal terapi cairan
(2) Akibat sekunder dari disfungsi jantung
(3)Memiliki hubungan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,2
L/mnt/m2 dan tekanan baji arteri pulmonalis (PAWP) >15mmHg

Penyebab syok kardiogenik tersering adalah kegagalan ventrikel kiri akibat infark
miokard akut

Mortalitas syok kardiogenik di era modern saat ini ≈ 50%

Revaskularisasi dini pada syok kardiogenik memberikan harapan hidup lebih baik
dibandingkan stabilisasi kondisi medis terlebih dahulu

Diagnosa syok kardiogenik dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
penunjang (radiografi toraks, echocardiography dan data hemodinamik)

Manajemen syok kardiogenik meliputi penganan suportif (resusitasi dan ventilasi),
manajemen hemodinamik termasuk pemberian agen inotropik atau dan vasopresor, terapi
farmakologi lain (aspirin, heparin, clopidogrel), terapi mekanik (IABP), terapi reperfusi
(fibrinolitik, PCI, CABG) serta alat bantu sirkulasi (LVADs dan ECLS).

Seluruh pasien syok kardiogenik harus dirawat di ruang intensif
20
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Hochman JS, Ohman EM. Cardiogenic Shock. The AHA Clinical Series. Wiley-Blackwell.
Januari 2009
2. Hochman JS, Menon Venu. Clinical manifestations and diagnosis of cardiogenic shock in
acute myocardial infarction. UpToDate. Wolters Kluwer Health. Juni 2013
Available from www.uptodate.com
3. Ren X, Lenneman A. Cardiogenic Shock. Medscape Reference. May 2013.
Available from www.emedicine.medscape.com
4. Hochman JS, Ingbar D. Cardiogenic Shock and Pulmonary Edema ; in Kasper DL et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill inc. USA ; 2005
5. Alwi I, Nasution SA. Syok Kardiogenik. Dalam Sudoyo AW dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, ed kelima jilid I. Interna Publishing. Jakarta ; November 2009
6. Khalid L, Dhakam SH. A Review of Cardiogenic Shock In Acute Myocardial Infarction.
Current Cardiology Review. Pakistan ; 2008
7. Kruger W, Ludman A. Acute Heart Failure. Birkhauser. p72-85. Berlin ; 1997
8. Antman EM, ST-Elevation Myocard Infarc Management. In Libby P et al. Braunwald's Heart
Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed. Saunders. Philadelphia ; 2008
9. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving outcomes.
Circulation. Feb 5 2008;117(5):686-97
10. Hochman JS, Menon V. Management of Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial
Infarction. Heart. 2002
Available from : www.bmjjournals.com
11. Fuster V et al. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In Hurst’s The Heart, 12th ed.
The McGraw-Hill Companies ; 2008
12. Califf RM, Bengtson JR. Cardiogenic Shock, Current Concepts. NEJM. June 1994
21
Universitas Sumatera Utara
Download